• Tidak ada hasil yang ditemukan

Buku Dasar Dasar Pemikiran Hukum EKonomi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Buku Dasar Dasar Pemikiran Hukum EKonomi"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PRAKATA v

DAFTAR ISI vii

DAFTAR TABEL/BAGAN ix

BAB I PENGERTIAN HUKUM EKONOMI 1

A. Istilah Hukum Ekonomi 1

B. Istilah Hukum Ekonomi di Indonesia 5 C. Pengertian Hukum Ekonomi Menurut Ahli 5

D. Ruang Lingkup Hukum Ekonomi 9

BAB II DIALEKTIKA HUKUM DAN EKONOMI 12

A. Keterkaitan Antara Hukum dan Ekonomi dalam

Perspektif Teori Hukum dan Ekonomi 12

B. Tujuan Hukum Ekonomi 26

C. Karakteristik Hukum Ekonomi 29

D. Pengelompokan Hukum Ekonomi 32

BAB III SISTEM EKONOMI 35

A. Sistem Ekonomi Kapitalis (Market Economic System) 35 B. Sistem Ekonomi Terencana (Planned Economic

System) 39

C. Sistem Ekonomi Campuran (Mixed Economic

System) 41

D. Sistem Ekonomi Islam (Islamic Economic System) 42

E. Sistem Ekonomi Indonesia 44

BAB IV PERKEMBANGAN HUKUM EKONOMI

INDONESIA 51

A. Masa Awal Kemerdekaan 1945 – 1966 (Orde Lama) 51

B. Masa 1966 – 1998 (Orde Baru) 57

C. Masa 1999 (Pemulihan Krisis Ekonomi Melalui

(3)

D. Sistem Hukum Ekonomi Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945 82

BAB V LANDASAN HUKUM EKONOMI INDONESIA 111 A. Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Hukum

Ekonomi Indonesia 111

B. UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Hukum

Ekonomi Indonesia 115

C. Realitas Sosial Bangsa Indonesia Sebagai Landasan

Sosiologis Hukum Ekonomi Indonesia 120

BAB VI ASAS-ASAS HUKUM EKONOMI INDONESIA 127

A. Asas Keadilan Sosial 128

B. Asas Kemanfaatan Hukum 129

C. Asas Kepastian Hukum 130

D. Asas Nasionalisme Ekonomi 130

E. Asas Demokrasi Ekonomi 131

F. Asas Pemerataan Pembangunan Ekonomi 132 G. Asas Pembangunan Berkelanjutan 132

H. Asas Kemandirian Nasional 132

I. Asas Keterbukaan dan Keterbukaan Informasi 133 J. Asas Hak Menguasai Negara (HMN) 136

DAFTAR PUSTAKA 139

DAFTAR INDEKS 150

(4)

PRAKATA

Salah satu persoalan hukum yang dihadapi oleh Indonesia, adalah membangun Hukum Ekonomi Indonesia berlandaskan Pancasila, UUD 1945 dan kebutuhan rakyat Indonesia. Selama ini terlihat pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia lebih condong mengacu pada persetujuan WTO dan mengikuti keinginan pihak asing dalam pembentukan undang-undang. Tidak mengherankan jika beberapa undang-undang dalam bidang Hukum Ekonomi diajukan uji materil oleh banyak pihak kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI), dan ditafsirkan kembali oleh MKRI agar sesuai dengan UUD 1945 dan beberapa pasal dari undang-undang yang tersebut dibatalkan karena bertentangan dengan UUD 1945. Misalnya putusan MKRI: Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 21-22/PUU-V/2007, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 002/PUU-I/2003, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 001-021-022/PUU-I/2003, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 03/PUU-VIII/2010, Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004, dan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 036/PUU-X/2012. Berkaitan dengan hal tersebut, buku ini bermaksud memberikan penjelasan tentang dasar-dasar pemikiran Hukum Ekonomi Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai filosofi Pancasila, norma-norma UUD 1945 dan realitas sosial rakyat Indonesia, sehingga kepentingan nasional lebih terlindungi di tengah gempuran globalisasi dan tekanan pihak asing kepada Indonesia. Buku ini juga menjelaskan asal-usul istilah dan arti Hukum Ekonomi di dunia dan di Indonesia, sistem ekonomi dunia dan sistem ekonomi yang dianut Indonesia menurut UUD 1945, dan asas-asas Hukum Ekonomi Indonesia.

(5)

cukup layak untuk dikaji terutama berkaitan dengan persoalan pengaruh pihak asing (WTO, organisasi internasional, negara maju) dalam pembentukan peraturan perundang-undangan bidang perekonomian, filsafat ekonomi Pancasila dan asas-asas Hukum Ekonomi Indonesia.

Penulis berharap dari kalangan pembaca, kiranya dapat memberikan kritik dan saran berupa pemikiran yang mencerahkan dan mencerdaskan untuk penyempurnaan buku ini selanjutnya. Buku ini masih banyak kekurangannya, karena keterbatasan ilmu pengetahuan penulis. Meskipun demikian, besar harapan penulis agar buku ini memberi manfaat dan bermakna dalam proses pendidikan hukum dan pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia di masa depan (ius constituendum).

Terima kasih yang tak terhingga kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyelesaian buku ini, terutama kepada: Allah SWT yang dengan keagungan rahmat-Nya telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berkarya, orang tuaku (Ibnur A.

Majid dan Subaiyana Ajisali) yang terus berdo’a untuk anaknya tanpa

mengenal waktu dan tempat agar sukses dan bermanfaat bagi umat,

istriku (Rini Tri Wahyuni, S.H) yang tak henti berdo’a dan mendukung setiap rencana dan pekerjaan positif suaminya, para kolega (pimpinan, dosen dan karyawan) Fakultas Hukum Universitas Bengkulu yang telah menjadi teman diskusi setiap saat, dan kepada CV. Mandar Maju Bandung yang telah mengapresiasi tulisan ini dan bersedia menerbitkannya menjadi sebuah buku yang dapat dibaca oleh khalayak luas.

Bengkulu, Juli 2012

(6)

DAFTAR BAGAN/TABEL

NO TABEL/BAGAN HALAMAN

1 Bagan 1 : Dimensi Hukum Privat dan Hukum lPublik dalam Hukum Ekonomi

10

2 Tabel 1 : Komitmen Indonesia Dengan IMF lSebagaimana Tertuang dalam LOI

72

3 Tabel 2 : Indeks Daya Saing Indonesia 2008 - l2012

(7)

BAB I

PENGERTIAN HUKUM EKONOMI

A.

Istilah Hukum Ekonomi

Literatur hukum sebelumnya tidak mengenal istilah Hukum Ekonomi termasuk juga di Indonesia. Sementara itu sejak lama ilmu ekonomi sudah sering menggunakan istilah hukum ekonomi untuk menjelaskan hukum permintaan dan penawaran (supply and demand), yang belum dikaitkan dengan ilmu hukum. Ilmu hukum mengenal istilah hukum ekonomi justru berasal dari kalangan ahli ekonomi. Istilah ini berkembang setelah Ronald Coase (1960)1 menerbitkan artikel yang berjudul “the problem of social cost”. Artikel Ronald Coase tersebut paling sering dikutip dalam literatur ekonomi dan hukum, yang kemudian dikenal dengan istilah The Coase Theorem (Coase yang Teorema). Coase berpendapat bahwa, dari perspektif ekonomi, tujuan dari sistem hukum harus mengarah pada pencapaian efisiensi ekonomi. Sistem hukum berpengaruh terhadap biaya transaksi dan tujuan dari sistem hukum tersebut adalah untuk meminimalkan kerugian atau biaya yang harus dikeluarkan. Menurut Coase, terkait dengan biaya transaksi yang harus dikeluarkan pola negosiasi atau kontraktual dapat dilakukan, misalnya pada kasus terjadinya kerusakan tanaman yang disebabkan oleh ternak orang lain. Negosiasi antara para pihak yang terlibat akan menghasilkan penyelesaian yang efisien dan akan menekan biaya di bawah standar asumsi pasar yang kompetitif, selama hal tersebut diselesaikan secara baik. Persoalan utamanya adalah harus diketahui secara pasti apakah tindakan tersebut merugikan pihak lain atau tidak.

(8)

Selanjutnya diikuti oleh Guido Calabresi (1961)2 dengan menerbitkan artikel berjudul “some thoughts on risk distribution and law the torts”. Guido Calabresi diakui sebagai bapak pendiri Hukum dan Ekonomi. Analisis ekonomi mulai menembus perdebatan di bidang hukum yang dikenal sebagai analisis ekonomi terhadap hukum, seperti hukum persaingan usaha dan regulasi ekonomi pada sektor industri. Jelas bahwa wawasan ekonomi sangat relevan dalam melakukan analisis terhadap persoalan pada bidang lain, termasuk hukum privat. Calabresi meletakkan dasar-dasar analisis ekonomi terhadap hukum ganti rugi. Para advokat dalam gugatannya cenderung melihat kompensasi sebagai tujuan utama dari aturan kewajiban. Menurut pandangan Calabresi, tujuan utama dari aturan kewajiban adalah untuk meminimalkan biaya kecelakaan. Biaya ini dapat dibagi menjadi tiga kategori: biaya kerugian primer yang ditentukan berdasarkan jumlah dan tingkat kerugian yang dialami, biaya kerugian sekunder berupa ada atau tidak adanya penyebaran risiko; dan kerugian tersier adalah biaya yang dibebankan oleh aturan hukum untuk menetapkan kewajiban yang harus dibayar. Kerangka analisis yang kuat akan mampu mencapai efisiensi dan keadilan. Efisiensi dilakukan dengan mencegah kegiatan yang berbahaya (merugikan). Sedangkan pertimbangan keadilan dapat mencegah tersebarnya risiko yang lebih besar (mengurangi biaya sekunder). Cara untuk mengurangi biaya primer dan tersier, Calabresi mengemukakan konsep the cheapest cost avoider. Kewajiban harus menjadi tanggung jawab dari pelaku (pihak) yang berada dalam posisi terbaik untuk membuat analisis biaya-manfaat antara biaya kecelakaan dan biaya menghindari kecelakaan, dan untuk mengambil tindakan pencegahan jika hal itu lebih murah daripada biaya menghindari kecelakaan. Misalnya terhadap kasus kecelakaan lalu lintas dan kerusakan lingkungan.3

2 Guido Calabresi, Some Thoughts on Risk Distributions and the Law of Torts, The Yale Law Journal Volume 70 March 1961 Number 4, Melalui http://digitalcommons.law.yale.edu/, Diakses (23/03/2012).

(9)

Bab I. Pengertian Hukum Ekonomi

Pemikiran tersebut dapat dilihat sebagai titik awal untuk pengkajian hukum dan ekonomi. Pada awal 1970-an, Henry Manne (murid Coase) mulai membangun Pusat Pendidikan Hukum dan Ekonomi di Miami, pindah ke Emory, dan terakhir di George Mason, yang kemudian mulai berkembang di Amerika Serikat (USA).4

Istilah hukum ekonomi semakin diminati dan menjadi kajian yang lebih sistematis tidak terlepas dari pemikiran Richard A. Posner (1970) yang memperkenalkan konsep “the economic analysis of law”. Pemikiran tersebut langsung memicu kontroversi yang hebat dari akademisi hukum, khususnya terkait dengan landasan filosofis dari konsep “the economic analysis of law”. Posner bersandar pada dua klaim: (1) aturan hukum kebiasaan dalam kenyataannya efisien, dan (2) aturan hukum (positif) seharusnya efisien. Hal ini terkait dengan kesediaan masyarakat untuk membayar. Dua hal tersebut kemudian diartikulasikan oleh Kornhauser (1984, 1985), dengan menambahkan dua klaim: (1) proses pilihan hukum yang efisien, dan (2) respon individu terhadap hukum ekonomi.5 Ejan Mackaay meyakini bahwa istilah hukum ekonomi berasal dari Amerika Serikat pada akhir 1950-an d1950-an diterima oleh komunitas hukum sejak dari tahun 1970 d1950-an seterusnya, khususnya dari tulisan-tulisan Richard A. Posner.6 Secara ringkas perkembangan pemikiran tentang Hukum Ekonomi tergambar dari uraian sebagai berikut:

“This debate spills over into the economic analysis of law. Since the 1980s, gone is the beautiful consensus about method and agenda, generated by the first editions of Posner’s textbook (1972b, 1977) solidly based on neoclassical economic insights. Besides the Chicago approach, various shades of institutional (Benson, 1994; Mercuro and Medema, 1997; Samuels, 1990, 1998a, 1998b, 1998c; Samuels and Mercuro, 1984; Samuels and Rutherford, 1998; Samuels and Schmid,

4 Berdasarkan artikel “Law and Economics”, http://en.wikipedia.org, diakses tanggal 27 Agustus 2011.

5 Lewis Kornhauser, “The Economic Analysis of Law” dalam Stanford Encyclopedia of Philosophy, http://plato.stanford.edu/rss/sep.xml, diakses 27 Agustus 2011.

(10)

1981; Schmid, 1989a, 1989b, 1994; Teijl and Holzhauer, 1990) or neo-institutional (Alston, Eggertsson and North, 1996; Coase, 1984, 1992; Eggertsson, 1990; Furubotn, 1989, 1993; Furubotn and Richter, 1992, 1997; Knight, 1992; Langlois, 1986; Medema, 1989; Mercuro, 1989; North, 1984, 1986, 1991, 1993, 1994, 1995, 1996; Williamson, 1985, 1986, 1996) approach to law and economics have come to the fore, as has the Austrian approach (Barnett, 1992, 1998; Benson, 1994; Boettke, 1994; Bouckaert, 1984; Boudreaux, 1994; Hayek, 1973, 1976, 1979; Kinsella, 1995; Leoni, 1991; Lepage, 1985; Ogus, 1989; Rizzo, 1979b, 1980a, 1980b, 1980c, 1980d, 1981, 1982a, 1982b, 1985, 1987; Rizzo and Arnold, 1980, 1987; Rowley, 1989a, 1989b; Rowley and Brough, 1987; Schmidtchen, 1993; Teijl and Holzhauer, 1997; Thornton, 1991; Vanberg, 1998a; Voigt, 1992; Wonnell, 1986). These approaches emphasise the interest of historical studies, which received a powerful endorsement when the 1993 Nobel prize for economics was awarded to two economic historians, Douglass North and Robert Fogel (North, 1994). Since Posner’s initial impetus, the sources from which the law and economics movement may draw inspiration have broadened. They now also include the public choice school, bringing an economic approach to political processes, and game theory, which has become a rallying point for the social sciences in that it applies rational choice ideas to the interaction of two or more actors, or indeed a multitude of them with the attendant opportunities for freerider and hold-out strategies. For the purpose of exposition, it will be helpful to divide the history of law and economics into phases. Duxbury (1995) cautions against the danger of historical reductionism in such periodisation. Simplicity of exposition makes it nonetheless worthwhile in my view”.7

Terlihat bahwa konsep dasar pemikiran hukum ekonomi berpusat pada ekonomi bukan pada hukum, karena dasar filosofisnya adalah efisiensi hukum dalam mendukung kegiatan ekonomi. Hal ini harus dicermati secara hati-hati, jangan sampai hukum dimanfaatkan untuk melegalkan kegiatan ekonomi yang justru mengakibatkan nilai

(11)

Bab I. Pengertian Hukum Ekonomi

keadilan menjadi berkurang atau bahkan hilang. Jangan sampai hukum hanya mengabdi pada kepentingan ekonomi, hanya karena alasan efisiensi dan kebutuhan untuk mendukung perkembangan kegiatan ekonomi.

B.

Istilah Hukum Ekonomi di Indonesia

Selama ini istilah yang digunakan terkait dengan pengaturan hukum terhadap berbagai kegiatan ekonomi adalah hukum dagang, yang kemudian menjadi hukum perusahaan. Hukum ekonomi muncul kemudian dan digunakan lebih luas di seluruh dunia termasuk Indonesia untuk mengakomodasikan berbagai perkembangan dan kemajuan perekonomian dunia sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), serta globalisasi dalam berbagai aspek kehidupan (seperti sosial, budaya, politik, ekonomi dan hukum). Hukum dagang atau hukum perusahaan secara substansial lebih berdimensi keperdataan (hukum privat), padahal akibat perkembangan dan kemajuan IPTEK kegiatan ekonomi tidak selalu berdimensi keperdataan semata tetapi juga berdimensi publik (hukum publik). Hampir sulit ditemukan kegiatan ekonomi sekarang ini yang terlepas dari aspek kepentingan publik (kepentingan masyarakat luas /umum), kepentingan nasional (negara), sehingga keterlibatan hukum positif dalam pengaturan kegiatan ekonomi selalu berupaya menyatukan aspek hukum perdata dan hukum publik dalam wujud keseimbangan kepentingan antara kepentingan privat dan kepentingan umum. Misalnya Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, Undang-undang Penanaman Modal, Undang-undang Pertambangan dan Batubara, Undang-undang Minyak dan Gas, Undang-undang Hak Kekayaan Intelektual, dan Undang-undang Perlindungan Konsumen.

C.

Pengertian Hukum Ekonomi Menurut Ahli

(12)

hukum mendukung efisiensi dalam kegiatan ekonomi. Hukum harus mampu menciptakan aturan yang efisien, dan dalam memformalisasikan menjadi ketentuan pasal-pasal berpijak pada teori-teori ilmu ekonomi. Beberapa pengertian demikian terlihat dari pendapat sebagai berikut:

a. David Friedman:

Mengartikan Law and Economics or Economic Analysis of Law adalah: “The application of economic methods to analysis of law. Economic concepts are used to explain the effects of laws, to assess which legal rules are economically efficient, and to predict which legal rules will be promulgated”.8

b. Denis J. Brion:

Mengatakan: “Proceeding from these definitions, law and economics is the use of the analytical techniques and values of economic analysis either for explanation or for prescription. In the realm of explanation, it is the enterprise of developing models that, in economic terms, accounts for the phenomena of human activity - the ongoing decisions and actions of such legal institutions as legislative bodies and the judicial process, and such practices as the legally permissible interactions of individuals. In the realm of prescription, law and economics discourse advocates the application of economic principles in the decision making of legal institutions, both substantively and procedurally, and the use of economic principles in shaping the permissible scope of interactions among legal persons”.9

c. Charles K Rowley:

Menyatakan bahwa, “The law and Economics Discipline is the application of economic theory and econometric methods to

8 David Friedman, Law and Economics, The New Palgrave: A Dictionary of Economics, http://en.wikipedia.org, diakses tanggal (24/03/2011).

(13)

Bab I. Pengertian Hukum Ekonomi

examine the formation, structure, processes and impact of law and legal institutions”.10

Hal demikian dapat dimaklumi karena pemikiran tersebut sangat dipengaruhi oleh sistem ekonomi kapitalis yang dianut di USA dan Uni Eropa, yang membatasi keterlibatan Negara turut campur dalam kegiatan ekonomi dan menyerahkan urusan ekonomi pada mekanisme pasar bebas (liberalisme).

Tentu saja pemikiran demikian perlu dicermati secara seksama dan dikritisi apabila ingin digunakan di Indonesia, karena belum tentu sesuai dengan sistem ekonomi Indonesia yang tercantum dalam UUD 1945 dan kepentingan Indonesia.

Menurut C.F.G Sunaryati Hartono, istilah Hukum Ekonomi merupakan terjemahan dari Economisch Recht (Belanda) atau Economic Law (Amerika). Pengertian atau konotasi Economisch Recht di Belanda ternyata berbeda dengan arti Economic Law di Amerika Serikat. Pengertian Economisch Recht (Belanda) Droit E’conomique adalah kaidah-kaidah hukum Administrasi Negara (terutama yang berasal dari kekuasaan eksekutif) yang mulai sekitar tahun 1930-an diadakan untuk membatasi kebebasan pasar di Perancis, demi keadilan ekonomi bagi rakyat miskin, agar tidak hanya mereka yang berduit saja yang dapat memenuhi kebutuhan akan pangan, tetapi agar rakyat petani dan buruh tidak mati kelaparan. Krisis ekonomi dunia yang dikenal dengan nama malaise di tahun 1930-an itulah yang mengakibatkan adanya koreksi terhadap paham pasar bebas, karena ternyata pemerintah Perancis merasa wajib untuk mengeluarkan peraturan Hukum Administrasi Negara yang menentukan harga maksimum dan harga minimum bagi bahan-bahan pokok maupun menentukan izin-izin Pemerintah yang diperlukan untuk berbagai usaha di bidang ekonomi, seperti misalnya untuk

(14)

mendirikan perusahaan, untuk menentukan banyaknya penanaman modal, dan bidang usaha yang akan dimasuki, untuk menentukan kemana dan seberapa banyak mengimpor atau mengekspor barang, dan sebagainya. Peraturan-peraturan Hukum Administrasi Negara seperti itu dinamakan Droit E’conomique (Hukum Ekonomi dalam arti sempit).11 Sedangkan keseluruhan kebijaksanaan dan peraturan hukum yang tidak hanya terbatas pada Hukum Administrasi Negara saja, tetapi juga mengatur hal-hal yang termasuk substansi Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Dagang, Hukum Perdata Internasional, bahkan juga Hukum Acara Perdata dan Pidana, dicakup dengan nama Droit de l’Economique (Hukum Ekonomi dalam arti luas).12 Hukum Ekonomi bertujuan pembangunan ekonomi nasional jangka panjang secara makro dan sekaligus memelihara keseimbangan yang adil antara berbagai pelaku ekonomi, mampu mengayomi seluruh masyarakat baik golongan masyarakat ekonomi kuat maupun rakyat jelata.13

Jauh sebelum pendapat tersebut dikemukakan dalam seminar tersebut (2003), C.F.G Sunaryati Hartono (1982) berdasarkan hasil penelitiannya, telah membedakan Hukum Ekonomi Indonesia menjadi dua, yaitu:14

1. Hukum Ekonomi Pembangunan, yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara peningkatan dan pengembangan kehidupan ekonomi Indonesia (peningkatan produksi) secara nasional dan berencana.

2. Hukum Ekonomi Sosial, yang menyangkut pengaturan dan pemikiran hukum mengenai cara-cara pembagian hasil

11 C.F.G Sunaryati Hartono, Upaya Menyusun Hukum Ekonomi Indonesia Pasca Tahun 2003, Makalah Disampaikan Pada Seminar Pembangunan Nasional VIII, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Denpasar, 14 Juli 2003.

12 Ibid.

13 C.F.G Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, P.T. Alumni, Bandung, 1991, Hlm. 99.

(15)

Bab I. Pengertian Hukum Ekonomi

pembangunan ekonomi nasional itu secara adil dan merata, sesuai dengan martabat kemanusiaan (Hak Asasi Manusia) manusia Indonesia (distribusi yang adil dan merata).

Ismail Saleh (1990) tidak memberikan definisi Hukum Ekonomi, tetapi beliau lebih menyoroti betapa dekatnya hubungan antara Hukum dan Ekonomi. Hukum harus menjadi pigura ekonomi, sebaliknya ekonomi juga tidak boleh meninggalkan hukum. Hukum harus berfungsi sebagai pengaman kebijaksanaan ekonomi sekaligus sebagai stabilisator ekonomi.15 Ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi adalah tiang-tiang penopang kemajuan suatu bangsa, namun tidak dapat disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang pada akhirnya menentukan bagaimana kesejahteraan yang dicapai tersebut dapat dinikmati secara merata, bagaimana keadilan sosial dapat diwujudkan dan bagaimana ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membawa kebahagiaan bagi rakyat banyak.16

D.

Ruang Lingkup Hukum Ekonomi

Setelah menyimak berbagai pendapat yang sudah dipaparkan sebelumnya, penulis berpendapat bahwa Hukum Ekonomi adalah keseluruhan peraturan perundang-undangan yang mengatur kebijakan ekonomi dan kegiatan ekonomi yang berdimensi Hukum Perdata dan Hukum Publik (Hukum Tata Negara/Administrasi Negara, Hukum Pidana, Hukum Internasional) agar terciptanya keteraturan dan keadilan dalam sistem perekonomian nasional. Secara visual terlihat dari bagan berikut:

15 Ismail Saleh, Serias: Apa yang Saya Alami: Hukum dan Ekonomi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1990, Hlm. xviii.

(16)

Bagan 1:

Dimensi Hukum Privat dan Hukum Publik dalam Hukum Ekonomi

HUK UM EKONOMI

Kepentingan Pr ivat (Hukum Pr ivat )

Kepentingan Publik (Hukum Publik )

KEADILAN

Artinya negara harus terlibat aktif dalam menata sistem perekonomian melalui berbagai instrumen hukum, mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Keputusan Presiden, Instruksi Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, Peraturan/Keputusan Gubernur/Bupati/ Walikota, agar tercapai tujuan nasional yang diamanatkan oleh UUD 1945. Negara memiliki dua pintu masuk untuk terlibat aktif dalam kegiatan perekonomian, yaitu:

1. Melalui perancangan dan pembentukan peraturan perundang-undangan (hukum positif) yang memihak pada keadilan sosial.

2. Keterlibatan aktif dalam kegiatan ekonomi melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada tingkat pusat atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) pada tingkat daerah.

(17)

Bab I. Pengertian Hukum Ekonomi

(18)

DIALEKTIKA HUKUM DAN EKONOMI

A.

Keterkaitan Antara Hukum dan Ekonomi dalam

Perspektif Teori Hukum dan Ekonomi

Hukum tidak bisa dilepaskan dari aspek non hukum. Hukum lahir, berkembang dan hidup atau mati berada dalam kehidupan bermasyarakat. Pernyataan tidak ada hukum jikalau tidak ada masyarakat sungguh tepat.

(19)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

Keterkaitan antara hukum dan ekonomi dapat dijelaskan melalui beberapa teori baik teori hukum maupun teori ekonomi.

1. Teori Keadilan

Definisi keadilan sangat beragam, dipengaruhi oleh masa dan sudut pandang para ahli. Teori-teori keadilan dapat diruntut dari zaman Yunani Kuno, zaman abad pertengahan dan teori-teori hukum modern. Aristoteles memaknai keadilan dalam pengertian persamaan di hadapan hukum. Berdasarkan hal itu Aristoteles membedakan dua jenis keadilan, yaitu keadilan distributif dan keadilan korektif. Keadilan distributif terfokus pada pendistribusian berbagai aset seperti kemartabatan, kekayaan dan jenis lainnya kepada masyarakat untuk mencapai kesejahteraan. Keadilan berpijak pada prinsip proporsional. Keadilan korektif terfokus pada aspek mengkoreksi berbagai keadaan atau tindakan yang salah. Hal ini merupakan tugas hakim untuk mengembalikan suatu keadaan dalam kondisi baik dan seimbang seperti semula melalui instrumen ganti kerugian, rehabilitasi dan pemberian sanksi kepada pihak yang bersalah. Terlihat bahwa keadilan distributif berada di wilayah perumusan dan pengesahan hukum (legislatif) dan implementasi hukum yang sudah disahkan (pemerintah). Sedangkan keadilan korektif dilaksanakan oleh lembaga peradilan (hakim)1. Menurut Plato, keadilan (justice) adalah tindakan yang benar, tidak dapat diidentifikasikan dengan hanya kepatuhan pada aturan hukum. Keadilan adalah suatu ciri sifat manusia yang mengkoordinasi dan membatasi pelbagai elemen dari psikis manusia pada lingkungannya yang tepat (proper spheres) agar

(20)

memungkinkan manusia dalam keutuhannya berfungsi dengan baik.2

Menurut Satjipto Rahardjo, apabila membicarakan hukum maka membicarakan hubungan antar manusia. Membicarakan hubungan antar manusia adalah membicarakan keadilan. Dengan demikian setiap pembicaraan mengenai hukum, jelas atau samar-samar senantiasa merupakan pembicaraan mengenai keadilan pula. Tidak dapat membicarakan hukum hanya sampai pada wujudnya sebagai suatu bangunan formal. Penting melihatnya sebagai ekspresi dari cita-cita keadilan masyarakat.3 Sesungguhnya keadilan adalah suatu kondisi kebenaran ideal secara moral mengenai sesuatu hal, baik menyangkut benda atau orang.4

Selanjutnya John Rawls menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial. Suatu teori, betapapun elegan dan ekonomisnya harus ditolak atau direvisi jika tidak benar termasuk juga hukum dan institusi, apabila tidak adil.5 Berangkat dari teori kontrak sosial yang dikemukakan Locke, Rousseau dan Kant, Rawls sampai pada kesimpulan bahwa keadilan itu adalah fairness. Prinsip utamanya terdiri dari (1) adanya keterlibatan institusi sosial bekerja sama dalam posisi yang bebas dan setara dalam penerapan hak dan kewajiban dasar dan (2) ketimpangan sosial dan ekonomi harus dieliminasi dengan sebaik-baiknya, khususnya bagi kalangan anggota masyarakat yang kurang beruntung. Tidak adil jika sebagian orang harus kekurangan agar orang lain bisa menikmati kemakmuran.6

2 Lili Rasjidi dan Ira Thania, Dasar-dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2007, hlm. 18

3 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hlm. 159. 4 http://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan, Diakses pada tanggal 21 Januari 2009.

5 John Rawls, A Theory of Justice (Teori Keadilan) diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 3

(21)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

Menurut ajaran Islam, keadilan (secara salaf) dapat disinonimkan dengan kata al-mi’za’n (keseimbangan/moderasi) seperti terdapat pada Al Qur’an (QS). Syura Ayat 17 dan Al-Hadid Ayat 25. Pada ayat lain perintah agar manusia berbuat adil juga terdapat pada QS. Al-Maidah Ayat 8, QS. Al-An’am Ayat 152, QS. An-Nisa Ayat 128, QS. Hujrat Ayat 9, dan QS. Al-An’am Ayat 52.7 Menurut Alie Yafie, dan kawan-kawan, arti keseimbangan dalam sistem sosial Islam adalah tidak mengakui hak mutlak dan kebebasan mutlak, tetapi ada batasan-batasan tertentu. Hanya keadilanlah yang melindungi keseimbangan antara batasan-batasan yang ditetapkan dalam sistem Islam untuk kepemilikan individu dan kepentingan umum. Terkait dengan kegiatan ekonomi Islam mewajibkan pemilik harta agar menginvestasikan hartanya pada jalan yang sah, tidak bertentangan dengan kepentingan masyarakat. Apabila pemilik harta tidak menjalankan tugasnya sebagai khalifah atas kemauan sendiri, maka Islam memberikan hak kepada pemerintah untuk mengambil langkah-langkah dan tindakan yang sesuai. Selanjutnya penyelesaian problem sosial dalam Islam diarahkan melawan kezaliman dan membatasi tindakan individu, demi terwujudnya keadilan dan keseimbangan”.8

Keadilan selayaknya selalu diperjuangkan melalui koreksi dan perbaikan terhadap kondisi ketimpangan yang terjadi dengan melakukan perbaikan institusi sosial, institusi ekonomi, politik dan institusi lainnya melalui revisi peraturan atau kesepakatan yang dijadikan dasar hukum untuk diarahkan kepada keadilan bagi semua pihak yang berkepentingan.9 Kegiatan ekonomi yang selalu berorientasi pada keuntungan cenderung menghalalkan segala cara untuk memaksimalisasi keuntungan materi, misalnya eksploitasi sumber daya berlebihan, menjual produk-produk yang

7nNurul Hakim, Prinsip-prinsip dan Asas-asas Hukum Islam, dalam Http://www.badilag.Net, Diakses Tanggal (19/06/2012).

8 Alie Yafie, dkk, Fiqih Perdagangan Bebas, Teraju, Jakarta, 2003, hlm. 45.

(22)

merugikan kesehatan konsumen, persaingan usaha yang tidak sehat, membayar upah tenaga kerja murah dan tidak peduli terhadap lingkungan sosial dan lingkungan hidup. Hal tersebut jika tidak dicegah pasti akan menimbulkan kerugian pada masyarakat luas. Hukumlah yang dijadikan instrumen untuk membatasi kegiatan ekonomi agar tidak merugikan kepentingan masyarakat. Hukum pula yang memberikan kriteria-kriteria keadilan ekonomi secara normatif baik yang terdapat pada hukum positif maupun yang dipraktikkan oleh anggota masyarakat karena dianggap merupakan kebiasaan yang dianggap suatu kepatutan (living law).

2. Teori Negara Kesejahteraan

Perkembangan kenegaraan dan pemerintahan serta teori negara hukum yang dianut oleh negara-negara di dunia pasca perang dunia kedua adalah negara kesejahteraan (welfare state). Konsep ini muncul sebagai reaksi atas kegagalan konsepsi negara hukum klasik, negara penjaga malam (nachtwakerstaat, nacht-wachtersstaat). Negara dan pemerintah dibatasi perannya dalam bidang politik, bertumpu pada dalil “the least government is the best government” dan berlaku prinsip “laissez faire, laissez aller” dalam bidang ekonomi yang melarang negara dan pemerintah mencampuri bidang perekonomian. Hal ini menyebabkan peran pemerintah menjadi pasif, dan berdampak munculnya praktik-praktik kegiatan ekonomi yang merugikan rakyat, seperti monopoli, penguasaan lini produksi dari hulu sampai ke hilir, permainan harga yang tidak wajar dan menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat. Ciri utama dari negara kesejahteraan adalah adanya kewajiban pemerintah untuk mewujudkan kesejahteraan umum bagi warga negaranya, misalnya melalui pengaturan terhadap kegiatan ekonomi dan sosial, terlibat langsung dalam kegiatan ekonomi, sekaligus melakukan pengawasan dan pemberian sanksi kepada pihak-pihak yang melanggar peraturan yang ditetapkan.10 Indonesia dapat

(23)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

digolongkan sebagai penganut negara kesejahteraan, misalnya dilihat dari tujuan Negara Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan keadilan sosial dan adanya keterlibatan negara dan pemerintah dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya warga negaranya. Secara jelas hal tersebut diatur dalam UUD 1945, antara lain pada Pasal 27, Pasal 28, Pasal 28A – 28J, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33 dan Pasal 34.

3. Teori Utilitarianisme

Jeremy Bentham mengatakan bahwa tujuan negara dan tujuan hukum adalah mewujudkan kebahagiaan bagi komunitas terbesar dari masyarakat. Inti pemikiran Bentham bersandar pada prinsip utilitas (kemanfaatan hukum).11 Maka para pembuat Undang-undang wajib menjadikan kebahagiaan publik sebagai tujuan pembentukan Undang-undang. Prinsip utilitas sesungguhnya merupakan istilah yang abstrak, diartikan sebagai upaya atau kecenderungan untuk mencegah terjadinya kejahatan dan untuk menciptakan kebaikan, sebab kejahatan adalah penderitaan atau penyebab penderitaan dan kebaikan adalah kebahagiaan atau penyebab bahagia. Manfaat yang ingin dicapai adalah memperbanyak kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya individu dalam masyarakat.12 Maka dari itu tujuan peraturan perundang-undangan haruslah berusaha mencapai empat tujuan, yaitu: to provide subsistence (untuk memberi nafkah hidup), to provide abundance (untuk memberikan makanan berlimpah), to provide security (untuk memberikan perlindungan) dan to attain equality (untuk mencapai persamaan).13

11 Jeremy Bentham, Teori Perundang-undangan Prinsip Legislasi Hukum Perdata dan Hukum Pidana (terjemahan Indonesia oleh Nurhadi), Nusamedia dan Nuansa, Bandung, 2006, Hlm. 25.

12 Ibid, Hlm. 26.

(24)

Kegiatan ekonomi yang cenderung individualis dan eksploitatif tentu saja tidak sesuai dengan teori utilitas, sebab dapat menimbulkan penderitaan bagi banyak orang dan hanya menguntungkan seseorang atau sekelompok orang saja. Hukum harus hadir membalikkan keadaan tersebut agar terjadi keseimbangan (keadilan) antara kepentingan individu dan kepentingan masyarakat dalam kegiatan ekonomi.

4. Teori Sociological Jurisprudence

Teori ini berkembang di Amerika Serikat, diusung oleh Roscoe Pound, Eugen Erlich, Benyamin Cardozo dan lain-lain. Menurut teori ini, hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Hukum merupakan cerminan dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (the living law). Hukum dan masyarakat memiliki hubungan timbal balik,14 saling pengaruh dan mempengaruhi. Setiap aspek kehidupan masyarakat (ekonomi, sosial, budaya, agama dan lain-lain) memberikan pengaruh kepada hukum yang menentukan jenis hukum yang dibangun, sehingga muncul istilah pembagian hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, hukum ekonomi, cyberlaw dan sebagainya. Demikan pula dengan hukum yang dapat mengarahkan perilaku masyarakat melalui norma-norma (patokan dalam bertingkah laku) yang ada di dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya larangan mencuri dan korupsi, kewajiban membayar pajak, kepedulian sosial perusahaan (CSR), keharusan memiliki izin pada usaha-usaha tertentu, yang bilamana tidak ditaati akan mendapatkan sanksi dari negara.

5. Mazhab Sejarah

Friedrich Von Savigny mengatakan: Das Recht wird nicht gemacht, est ist und wird mit dem volke (Hukum itu tidak dibuat,

(25)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

tetapi tumbuh dan berkembang bersama masyarakat).15 Setiap bangsa memiliki jiwa rakyat (volkgeist), yang berbeda-beda sesuai dengan waktu dan tempatnya, yang tercermin pada aneka ragam kebudayaan dari bangsa-bangsa di dunia. Hal tersebut juga terlihat pada hukum yang berlaku di berbagai bangsa, maka Savigny menolak adanya hukum yang berlaku universal dan pada semua waktu. Pemikiran demikian muncul karena adanya keinginan agar hukum rakyat Jerman asli diberlakukan menjadi hukum nasional bukan kodifikasi Perancis.16

Spirit yang tertangkap dari Savigny adalah nasionalisme dalam pembangunan hukum. Bunyi Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan dasar konstitusional pembangunan hukum ekonomi Indonesia dirumuskan berdasarkan sejarah bangsa Indonesia yang dijajah tiga setengah abad lebih. Penjajahan menyadarkan bangsa Indonesia bahwa kekayaan nasional harus dikelola oleh bangsa Indonesia dan dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat Indonesia bukan untuk kepentingan pihak asing.

6. Teori Hukum Progresif

Teori ini diusung oleh Pak Tjip (Satjipto Rahardjo), berawal dari keprihatinan beliau terhadap carut-marutnya penegakan hukum di Indonesia. Kekhawatiran dan kegusaran beliau terhadap penggunaan positivisme hukum oleh para penegak hukum secara berlebihan sehingga formalitas hukum mengalahkan keadilan substantif yang mengakibatkan keadilan menjadi samar dan sulit ditegakkan. Inti teori ini adalah: Pertama, hukum adalah perilaku manusia, hukum itu untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Apabila manusia untuk hukum maka manusia itu akan selalu diusahakan, mungkin juga dipaksakan untuk bisa masuk ke dalam skema-skema yang telah dibuat oleh hukum. Kedua, menolak mempertahankan keadaan status quo dalam berhukum (menolak cara berhukum positivistik, normatif dan legalistik), sebab hukum

(26)

itu cacat sejak diundangkan atau dilahirkan, terutama terkait dengan proses perumusannya menjadi Undang-undang eksekutif dan legislatif. Undang-undang sangat terkait dengan permainan bahasa (language game), oleh sebab itu teks tertulis Undang-undang membutuhkan penafsiran, jadi keliru jika mengatakan Undang-undang atau hukum itu sudah jelas. Misalnya ketika jaksa mengajukan Peninjauan Kembali (PK) dan hakim menerimanya padahal jelas Undang-undang mengatakan PK adalah hak terdakwa atau ahli warisnya (diatur limitatif). Ketiga, tidak sepenuhnya setuju pada cara berhukum dengan menyerah secara bulat-bulat pada teks Undang-undang semata. Cara berhukum yang lebih baik dan sehat adalah memberikan lorong-lorong untuk melakukan pembebasan dari hukum formal. Keempat, memberikan perhatian besar terhadap peranan perilaku manusia dalam hukum.17 Artinya tegaknya hukum bukan karena bagusnya teks Undang-undang semata, tetapi justru lebih ditentukan oleh perilaku manusianya, baik penegak hukum maupun masyarakat. Perilaku tersebut tidak bersifat normatif melainkan empiris (hidup dan berkembang dalam hubungan kemasyarakatan) yang bersentuhan dengan berbagai aspek, salah satunya ekonomi.

Menggunakan teori sibernetika Parson dan pemikiran Marx Weber dan Emile Durkheim. Pak Tjip menjelaskan hubungan hukum dan ekonomi terlihat dari keberlakuan hukum secara empirik, di mana peri kelakuan manusia didasari oleh pertimbangan-pertimbangan ekonomi. Ketaatan seseorang pada hukum belum tentu karena dilandasi oleh adanya kesadaran hukum, tetapi mungkin saja karena motif ekonomi yang diinginkannya sesuai dengan prosedur hukum. Selain itu, sistem pembagian kerja (sesuai fungsi dan profesi) yang terdapat pada ekonomi mempengaruhi solidaritas masyarakat dan corak hukum yang dominan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.18

17 Dirangkum dari Satjipto Rahardjo, Biarkan Hukum Mengalir Cacatan Kritis Tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, Kompas, Jakarta, 2007, Hlm. 139- 144.

(27)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

7. Teori Hukum Pembangunan

Pengembang teori ini di Indonesia adalah Mochtar Kusumaatmadja yang terinspirasi dari Roscoe Pound. Teori ini muncul setelah melihat penggunaan hukum sebagai sarana pembaruan masyarakat di Amerika Serikat. Fungsi konservatif hukum harus dilengkapi dengan fungsi sebagai sarana pembaruan masyarakat apabila hukum ingin berperan dalam pembangunan di Indonesia. Mochtar Kusumaatmadja mengatakan:

“Hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan dan ketertiban dalam usaha pembangunan atau pembaruan merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang (mutlak) perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam konsepsi hukum sebagai sarana pembangunan adalah bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan”.19

Aspek perekonomian menjadi urat nadi dari pembangunan. Jika perekonomian dibiarkan tanpa pengaturan niscaya akan terjadi kekacauan dan ketidakadilan, sebab tujuan utama dari kegiatan ekonomi adalah keuntungan, sehingga secara naluriah pelaku ekonomi akan menggunakan segala cara agar mendapatkan untung sebesar-besarnya. Hukum harus mencegah hal demikian melalui penciptaan aturan-aturan tertentu. Hukum harus pula mampu mengarahkan pelaku-pelaku ekonomi agar berusaha secara jujur, beretika, efisien dalam pemanfaatan sumber daya yang tersedia, tidak curang, bersaing secara sehat, tidak merusak lingkungan dan berkeadilan.

(28)

8. Teori atau Aliran Ekonomi Kelembagaan

Keberadaan aliran Ekonomi Kelembagaan (Institutional Economics) merupakan reaksi dari ketidakpuasan terhadap aliran Neoklasik, yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari aliran ekonomi Klasik. Inti pokok aliran ekonomi Kelembagaan adalah melihat ilmu ekonomi dengan satu kesatuan ilmu sosial, seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, sejarah dan hukum. Pada garis besarnya aliran ini menentang pasar bebas atau persaingan bebas dengan semboyan laissez-faire dan motif laba maksimal.20 Saat ini terjadi perkembangan terhadap pemikiran ekonomi kelembagaan yang sekarang populer dengan istilah New Institutional Economics (NIE) yang mencoba menjelaskan pentingnya kelembagaan (emergency of institutions), seperti perusahaan atau negara, sebagai model referensi terhadap perilaku individu yang rasional untuk mencegah kemungkinan yang tidak diinginkan dalam interaksi manusia.21

Akibat dari adanya perbedaan kepentingan ekonomi dan kekuatan yang dimiliki oleh masing-masing pelaku ekonomi, sering terjadi ketidakadilan dalam kegiatan ekonomi. Pihak yang kuat cenderung mendominasi dan berpotensi melakukan eksploitasi untuk maksimalisasi penguasaan sumber daya ekonomi untuk mencapai keuntungan besar. Potensi konflik atau kekacauan cukup terbuka, dan pihak yang lemah berpeluang dirugikan, yang selanjutnya mengakibatkan ketimpangan ekonomi dan sosial. Teori ekonomi kelembagaan memberikan konsep mengatasi hal demikian secara lebih komprehensif dan terarah yang menempatkan lembaga sosial non ekonomi (seperti lembaga hukum, lembaga sosial) sebagai elemen penting yang dapat mengatasi konflik kepentingan ekonomi. Berbeda dengan teori ekonomi liberal kapitalistik, teori ini lebih mengandalkan upaya

(29)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

manusia saling bekerja sama (cooperation) dan bukan semata-mata persaingan (competition). Teori ini percaya bahwa tindakan bersama (collective action) itu penting dalam mengatasi konflik sosial ekonomi. Terkait dengan konflik ekonomi, dapat ditempuh upaya kooperatif berbentuk konsultasi, negosiasi, dan mediasi tanpa harus berkonflik secara tajam dan kontraproduktif. Pelaku ekonomi dapat duduk bersama dan menyertakan keterlibatan lembaga hukum atau lembaga sosial untuk mengatasi konflik dan kenyamanan berusaha. Pemecahan masalah hukum dalam konteks sosial tidak dapat dilakukan dengan semata-mata menggunakan pendekatan refresi hukum, namun harus dipadukan dengan pendekatan sosial hukum (socio-legal) dengan cara menyelami latar sosial (aspek ekonomi, sosial, budaya, politik) dari pelaku ekonomi. Lebih jauh, untuk melindungi kelompok masyarakat yang lebih lemah perlu dilakukan pemberdayaan hukum melalui advokasi hukum dari paralegal dalam bentuk pendampingan, pengorganisasian dan penguatan posisi tawar (bargaining position).22 Pada konteks kegiatan ekonomi tidak boleh dibiarkan berlaku mekanisme pasar bebas sempurna, yang dapat dipastikan pihak yang kuat secara ekonomi, politik, SDM, ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan menguasai perekonomian, sementara pihak yang lemah akan bertekuk lutut tak berdaya. Secara kelembagaan baik lembaga ekonomi maupun lembaga/pranata hukum dapat difungsikan untuk menciptakan suatu sistem perekonomian yang efisien dan berkeadilan.

9. Teori Persaingan

Ada dua kata kunci yang harus diingat dalam ilmu ekonomi, yaitu kebutuhan yang tidak terbatas (unlimited needs) pada satu sisi dan sumber daya yang terbatas (limited resources) pada sisi yang lain. Ketidakseimbangan kedua sisi tersebut memunculkan masalah ekonomi (economic problem). Pada hakikatnya, kunci untuk mengatasi masalah ekonomi adalah melakukan alokasi

(30)

sumber daya yang tepat, karena kebutuhan sifatnya tidak terbatas, maka tidak semua kebutuhan dapat dipenuhi. Oleh karena itu, pilihan menjadi konsekuensi logis dari upaya pemenuhan kebutuhan tersebut.23 Limited resources tentu saja menjadi rebutan dari pelaku ekonomi untuk menguasai dan memanfaatkannya. Jika tidak diatur oleh hukum niscaya terjadi persaingan yang sengit dan cenderung destruktif, yang akibatnya menjadi tidak produktif. Hukum perlu mengatur persaingan tersebut agar dilakukan secara sehat dan produktif melalui instrumen hukum persaingan usaha.

10. Konsep Corporate Social Responsibility (CSR)

Kegiatan ekonomi atau bisnis telah lama dijangkiti berbagai mitos, antara lain bisnis immoral, bisnis amoral, bisnis maksimalisasi keuntungan dan bisnis sebagai permainan yang mau memisahkan bisnis dari etika. Padahal adanya bisnis tidak bisa tidak sudah mengasumsikan adanya etika. Setelah terjadi banyak skandal pelanggaran moral oleh pelaku bisnis, barulah semua tersadar betapa pentingnya etika dalam dunia bisnis, sehingga muncul bidang studi khusus etika bisnis. Etika bisnis dalam praktiknya banyak menemui kesulitan karena pelaku bisnis menolak.24 Bisnis di satu sisi dituntut untuk mendapatkan keuntungan dan mempertahankan keberadaannya, disisi lain dituntut ikut mengatasi persoalan masyarakat atau memberi konstribusi pada masyarakat. Oleh karena itu, penting adanya kesadaran moralitas dan tanggung jawab.25

CSR (tanggung jawab sosial perusahaan) sesungguhnya lebih berdimensi etis (moral/etika). Sesuatu yang seharusnya dilakukan

23 Andi Fahmi Lubis, dkk, Hukum Persaingan Usaha Antara Teks dan Konteks, KPPU RI dan Deutsche Gesellschaft für Technische Zusammenarbeit (GTZ) GmbH, Jakarta, 2009, Hlm. 21.

24 Gunardi Endro, Redefinisi Bisnis Suatu Penggalian Etika Keutamaan Aristoteles, PPM, Jakarta, 1999, Hlm. cover belakang.

(31)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

oleh pelaku usaha atau badan usaha meskipun tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkannya. CSR sesungguhnya merupakan konsekuensi dari manusia sebagai makhluk sosial, makhluk yang bermasyarakat yang tidak bisa hidup tanpa bergaul dengan manusia lain dan oleh karenanya tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap orang lain. Ajaran etika, mewajibkan setiap orang, setiap pihak manapun berbuat baik, tidak merugikan pihak lain baik sesama manusia, makhluk hidup lain dan alam semesta. Berdasarkan etika/moral, pelaku usaha atau badan usaha yang tidak ingin berbuat baik kepada orang lain dan lingkungannya dapat dinyatakan pelaku usaha atau badan usaha tersebut adalah buruk (tidak bermoral), karena prinsip etika adalah penilaian tentang baik dan buruk.

CSR secara umum merupakan kontribusi menyeluruh dari pelaku usaha terhadap pembangunan berkelanjutan dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan dari kegiatan usahanya. Substansi CSR merefleksikan kemampuan pelaku usaha beradaptasi dengan lingkungannya, masyarakat dan stakeholder terkait baik lokal, nasional maupun global. CSR mengandung makna bahwa pelaku usaha memiliki tugas moral untuk berlaku jujur, mematuhi hukum, menjunjung integritas, dan tidak korup, serta berbisnis secara etis. CSR juga dianggap sebagai jawaban terhadap praktik bisnis yang melulu untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya,26 dengan tanpa peduli kepada masyarakat dan lingkungan.

Di Indonesia CSR secara normatif sudah diwajibkan berdasarkan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman Modal Pasal 15 Huruf (b), Pasal 34 Ayat (1) dan Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas Pasal 74. Jadi CSR memiliki dua tanggung jawab sekaligus, yaitu tanggung jawab mentaati hukum (legal responsibility) dan tanggung jawab sosial dan lingkungan hidup (environmental and social responsibility).

(32)

B.

Tujuan Hukum Ekonomi

Pendapat ahli tentang tujuan hukum ekonomi adalah sebagai berikut:

1. Erman Rajagukguk

Faktor yang utama bagi hukum untuk dapat berperan dalam pembangunan ekonomi adalah apakah hukum mampu menciptakan stability, predictability dan fairness. Dua hal yang pertama adalah prasyarat bagi sistem ekonomi apa saja untuk berfungsi. Termasuk dalam fungsi stabilitas (stability) adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasikan kepentingan-kepentingan yang saling bersaing. Kebutuhan fungsi hukum untuk dapat meramalkan (predictability) akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya penting bagi negeri yang sebagian besar rakyatnya untuk pertama kali memasuki hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang tradisional. Aspek keadilan (fairness), seperti perlakuan yang sama dan standar pola tingkah laku pemerintah untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.27 Terlihat tujuan hukum tersebut lebih bersandar pada aspek ekonomi yang sedari dulu menginginkan hukum mengabdi pada kepentingan ekonomi, terutama pada sistem ekonomi kapitalis (sistem ekonomi pasar bebas), melalui jargon efisiensi dan persamaan perlakuan tanpa mempertimbangkan pihak yang lemah. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan jika tujuan efisiensi tersebut digandengkan dengan keadilan, jadi efisiensi berkeadilan. Pengertian keadilan jangan diartikan harus sama, harus memiliki standar yang sama, perlakuan yang sama, sebab justru menimbulkan ketidakadilan karena selalu ada posisi yang tidak seimbang dalam ekonomi, sebab selalu ada pihak yang kuat dan pihak yang lemah. Hukum pada realitas ini tidak boleh netral, melainkan memihak pada yang

(33)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

lemah tanpa merugikan pihak yang kuat. Pada level global juga demikian, tidak bisa negara yang kuat (negara maju) dan negara lemah (negara berkembang/negara terbelakang) diperlakukan secara sama, karena pasti memunculkan ketidakadilan, negara kuat akan mendominasi.

2. Sunaryati Hartono

Secara khusus dalam buku dan berbagai tulisannya, Sunaryati Hartono tidak memberikan penjelasan mengenai tujuan hukum ekonomi. Istilah yang lebih sering digunakan adalah tujuan hukum pembangunan (development law). Alasannya, hukum yang ingin dibangun tidak hanya mampu mendukung pembangunan perekonomian semata, tetapi memelihara keadilan sekalipun terjadi perubahan dalam hubungan antar manusia sebagai akibat dari pembangunan.28 Fungsi hukum dalam pembangunan terdiri dari:29

a. Hukum sebagai pemelihara ketertiban dan keamanan

Fungsi awal dari hukum adalah menyelesaikan sengketa antar warga masyarakat. Sistem hukum tidak hanya merupakan sistem kaidah yang mengatur perilaku dan hubungan antar manusia, tetapi terdapat tujuan utama yaitu mengenyampingkan semua keinginan dan perasaan perseorangan untuk mencapai suatu keinginan masyarakat, ketertiban dan keamanan umum (general security).

b. Hukum sebagai sarana pembangunan

Hukum sebagai sarana pembangunan berfungsi mengarahkan dan menampung kebutuhan hukum sesuai dengan tingkat perkembangan pembangunan masyarakat. Hukum harus mendahului bidang-bidang lain karena difungsikan untuk

(34)

menjaga agar proses pembangunan masyarakat tidak mengakibatkan ketidakadilan.

c. Hukum sebagai sarana penegak keadilan

Tujuan pembangunan adalah untuk mengubah dan meningkatkan taraf hidup, serta mencapai kesejahteraan masyarakat. Hal tersebut mengakibatkan adanya perubahan dalam hubungan antar manusia yang mungkin saja tidak dikehendaki atau ditolak oleh individu atau kelompok masyarakat. Hal ini dapat menimbulkan ketegangan, perselisihan dan dapat menghambat pembangunan. Maka tugas hukum menetapkan norma-norma baru untuk menyelesaikan persoalan tersebut dengan cara seadil-adilnya, terutama melindungi pihak yang lemah.

d. Hukum sebagai sarana pendidikan masyarakat

Pembentuk Undang-undang berkewajiban menetapkan norma-norma baru dengan bijaksana agar tidak menimbulkan perbenturan atau penolakan dari masyarakat yang ingin diatur. Masyarakat tradisional akan sulit menerima hukum modern. Maka aspek pendidikan hukum yang bertujuan meningkatkan pemahaman hukum dan kesadaran hukum masyarakat menjadi penting. Cara yang digunakan melalui persuasi, sosialisasi secara bertahap dan terakhir baru menggunakan kekuasaan.

Menurut penulis, tujuan hukum ekonomi tidak boleh bersandar pada prinsip ekonomi tetapi harus bersandar pada prinsip-prinsip hukum. Meskipun istilah yang digunakan hukum ekonomi, tujuan yang ingin dicapai bukan hanya tujuan ekonomi melainkan tujuan hukum yang meliputi aspek keadilan ekonomi, keadilan sosial, keadilan budaya dan keadilan dalam setiap aspek kehidupan ini. Tidak boleh tujuan keadilan ekonomi tercapai tetapi terjadi ketidakadilan sosial, ketidakadilan budaya dan ketidakadilan lainnya.

(35)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

(kemanfaatan) dan kepastian hukum. Hukum merupakan perwujudan keadilan, dan perwujudan keadilan tersebut adalah menciptakan kebaikan (kemanfaatan) dalam kehidupan manusia, maka isi hukum adalah sesuatu yang menumbuhkan nilai-nilai kebaikan (nilai etis). Guna mewujudkan adanya kepastian hukum (legalitas) nilai-nilai kebaikan tersebut dirumuskan dan diformalkan ke dalam peraturan tertulis (hukum positif) yang harus ditaati oleh setiap anggota masyarakat.30 Pengecualiannya, hukum positif boleh dilepaskan (tidak ditaati) apabila pertentangan antara isi hukum dan keadilan menjadi begitu besar sehingga memperlihatkan hukum tersebut tidak adil. Hukum yang demikian sudah kehilangan inti hukum, yaitu perwujudan keadilan.31 Jadi tujuan hukum ekonomi adalah tujuan hukum yang dikemukakan Gustav Radbruch tersebut, yaitu mewujudkan keadilan umum, memberikan kebaikan (kemanfaatan) bagi masyarakat dan menjamin adanya kepastian hukum dalam kegiatan ekonomi.

C.

Karakteristik Hukum Ekonomi

Karakteristik atau sifat atau kekhasan dari hukum ekonomi dipengaruhi oleh meleburnya aspek-aspek hukum privat dan hukum publik, perkembangan IPTEKS yang memacu perkembangan ekonomi, dan semakin banyaknya perjanjian internasional (multilateral) yang dibuat dan diratifikasi oleh negara-negara anggotanya. Paling tidak ada empat karakteristik yang menonjol, yaitu:

1. Berdimensi privat dan publik

Lahirnya disiplin hukum ekonomi membuka sekat-sekat pembidangan hukum yang kaku (hukum perdata dan hukum publik). Aspek kepentingan pribadi dan kepentingan publik hanya bisa dipisahkan dalam tataran teoritis semata, tetapi ketika hukum dihadapkan pada realitas empiris pemisahan tersebut tidak berlaku karena antara kepentingan pribadi dan kepentingan publik saling

30 Theo Huijbers, Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, Cetakan Ke-18, 2011, Hlm. 163.

(36)

terkait, yang kedua-duanya wajib dilindungi oleh hukum. Misalnya pada jual beli barang atau jasa yang pada masa lalu tunduk pada hukum privat (hukum perdata) saja, di masa sekarang tidak lagi. Kehadiran Undang-undang Perlindungan Konsumen mewajibkan pelaku usaha melindungi kepentingan publik dan melengkapi persyaratan administrasi tertentu agar produk yang diperjualbelikan sah secara hukum. Demikian juga pada kegiatan perbankan, penanaman modal dan kekayaan intelektual.

2. Dinamis

Bidang hukum yang paling dinamis sepertinya adalah hukum ekonomi. Hal ini dipengaruhi oleh semakin terkoneksinya perekonomian antar negara, sehingga secara internasional dirasakan penting hubungan perekonomian tersebut diatur oleh aturan yang bersifat internasional. Maka kemudian lahirlah berbagai perjanjian internasional dan kerja sama internasional dalam bidang ekonomi, seperti WTO, OECD, dan WIPO. Perjanjian dan kerja sama internasional tersebut mengikat setiap negara anggotanya untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangan bidang ekonomi sesuai dengan isi kesepakatan internasional.

(37)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

Intelektual, Undang-undang Pencucian Uang, Undang-undang Pornografi, Undang-undang Perfilman, dan masih banyak lagi.

3. Multidisipliner

Sebenarnya sejak dulu ilmu hukum bersifat multidisipliner, hanya saja terlalu kuatnya pengaruh pemikiran positivisme hukum membuat para konseptor hukum dan aparatur penegak hukum mengisolasikan hukum dari ilmu lain dan berkutat pada apa yang tertulis di dalam hukum positif, jargon tujuan menjamin kepastian hukum mengalahkan tujuan keadilan dan kemanfaatan hukum. Konseptualisasi dan pembangunan hukum ekonomi dan penegakan hukum tidak bisa hanya menggunakan disiplin ilmu hukum dan ekonomi, tetapi membutuhkan keterlibatan disiplin ilmu lain seperti ilmu politik, ilmu sosial dan budaya, ilmu lingkungan, ilmu teknologi informasi, ilmu eksakta dan disiplin ilmu terkait lainnya.

4. Transnasional

(38)

D.

Pengelompokan Hukum Ekonomi

Dilihat dari aspek pembangunan hukum ekonomi, produktivitas pemerintah dan DPR RI dalam membuat Undang-undang bidang ekonomi cukup tinggi. Demikian banyaknya Undang-undang terkait perekonomian sehingga tidak mungkin dapat dikelompokan secara tegas dan kaku. Secara sederhana berbagai Undang-undang tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kelompok hukum ekonomi bidang perusahaan.

Meliputi antara lain peraturan perundang-undangan tentang pendirian perusahaan (Perusahaan perorangan, perkumpulan perdata, Firma, CV, PT, Yayasan, BUMN, perusahaan joint venture), kegiatan-kegiatan perusahaan (makelar, agen, perjanjian/kontrak kerja sama, sistem pembayaran), surat-surat berharga, Wajib Daftar Perusahaan (WDP), perizinan usaha (HO, SIUP, izin lokasi, AMDAL, dan perizinan usaha lainnya), Corporate Social Responsibility (CSR), ketenagakerjaan, persaingan usaha, dan kegiatan terkait perusahaan lainnya.

2. Kelompok hukum ekonomi bidang keuangan, pembiayaan, dan moneter.

Meliputi antara lain peraturan perundang-undangan tentang perbankan, lembaga pembiayaan, sistem moneter, asuransi, pasar modal, surat-surat berharga, nilai tukar uang dan perpajakan. 3. Kelompok hukum ekonomi bidang sumber daya alam.

Meliputi antara lain peraturan perundang-undangan tentang energi, perairan dan kelautan, pertambangan dan migas, pertanian dan perkebunan, kehutanan.

4. Kelompok hukum ekonomi bidang Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan komunikasi.

(39)

Bab II. Dialektika Hukum dan Ekonomi

5. Kelompok hukum ekonomi bidang sosial.

Meliputi antara lain peraturan perundang-undangan tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), penanggulangan bencana alam, perlindungan konsumen, CSR, dan kemitraan.

6. Kelompok hukum ekonomi bidang transportasi.

Meliputi antara lain peraturan perundang-undangan tentang transportasi darat, laut dan udara.

7. Kelompok hukum ekonomi bidang agraria.

Meliputi antara lain pertanahan, perkebunan, pertanian, pemukiman, dan kehutanan.

8. Kelompok hukum ekonomi bidang lingkungan hidup.

Meliputi antara lain pengelolaan lingkungan hidup, konservasi, keanekaragaman hayati, hutan lindung, Rencana Tata Ruang/Wilayah.

9. Kelompok hukum ekonomi bidang penyelesaian sengketa (nasional dan internasional).

Meliputi antara lain penyelesaian sengketa secara litigasi (Pengadilan) dan non litigasi (negosiasi, mediasi, konsiliasi, pendapat hukum, dan arbitrase).

10. Kelompok hukum ekonomi bidang pariwisata dan kebudayaan. Meliputi antara lain peraturan perudang-undangan tentang kepariwisataan, pengembangan/pelestarian kebudayaan nasional, usaha pendukung kepariwisataan, dan perlindungan HKI terhadap kebudayaan nasional.

11. Hukum Ekonomi Kelautan dan perikanan.

(40)

12. Hukum ekonomi bidang infrastruktur.

(41)

BAB III

SISTEM EKONOMI

Sistem perekonomian adalah sistem yang digunakan oleh suatu negara untuk mengalokasikan sumber daya yang dimilikinya baik kepada individu maupun organisasi di negara tersebut. Perbedaan mendasar antara sebuah sistem ekonomi dengan sistem ekonomi lainnya adalah bagaimana cara sistem itu mengatur faktor produksinya. Dalam beberapa sistem, seorang individu boleh memiliki semua faktor produksi. Sementara dalam sistem lainnya, semua faktor tersebut di pegang oleh pemerintah. Kebanyakan sistem ekonomi di dunia berada di antara dua sistem ekstrem tersebut. Selain faktor produksi, sistem ekonomi juga dapat dibedakan dari cara sistem tersebut mengatur produksi dan alokasi.1

Di dunia dikenal ada empat sistem ekonomi, yaitu: sistem ekonomi terencana (planned economic system), sistem ekonomi kapitalis (market economic system), sistem ekonomi campuran (mixed economic system), dan sistem ekonomi Islam (Islamic economic system).

A.

Sistem Ekonomi Kapitalis

(Market Economic System)

Kamus Webster, mendefinisikan sistem ekonomi kapitalis adalah:2

“an economic system characterized by private or corporate ownership of capital goods, by investments that are determined by private decision, and by prices, production, and the distribution of goods that are determined mainly by competition in a free market”.

1 Griffin R dan Ronald Elbert. Business. New Jersey: Pearson Education, 2006, http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_perekonomian, Diakses (27/03/2012).

(42)

Gagasan dasar dari kapitalisme adalah pemikiran Adam Smith (1776) melalui bukunya yang sangat terkenal “An Inquiry into the Nature and Causes of the Wealth of Nations”. Kutipan yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah:

“It is not from the benevolence of the butcher, the brewer, or the baker that we expect our dinner, but from their regard to their own interest. We address ourselves, not to their humanity but to their self-love, and never talk to them of our own necessities but of their advantages.” 3

“As every individual, therefore, endeavours as much as he can both to employ his capital in the support of domestic industry, and so to direct that industry that its produce may be of the greatest value; every individual necessarily labours to render the annual value of society as great as he can. He generally, indeed, neither intends to promote the public interest, nor knows how much he is promoting it. By preferring the support of domestic to that of foreign industry, he intends only his own security; and by directing that industry in such a manner as its produce may be of the greatest value, he intends only his own gain, and he is in this, as in many other cases, led by an invisible hand to promote an end which was no part of his intention. Nor is it always the worse for the society that it was no part of it. By pursuing his own interest he frequently promotes that of society more effectually than when he really intends to promote it.”4

Kutipan tersebut merefleksikan pandangan individualisme Adam Smith, yang kemudian menjadi dasar sistem ekonomi kapitalis yang banyak diterapkan di negara-negara Eropa dan USA. Adam Smith percaya ketika semua individu bersaing secara bebas tidak akan menimbulkan kekacauan atau ketidakteraturan dalam jangka panjang. Para individu yang bersaing tersebut akan menemukan jalan mengatasi

3 Adam Smith, An Inquiry into the Nature and Causes of The Wealth of Nations, the Pennsylvania State University, 2005, Hlm. 19.

(43)

Bab III. Sistem Ekonomi

kekacauan melalui istilah tangan tak terlihat (invisible hand). Sistem ekonomi kapitalis memberikan kebebasan kepemilikan oleh swasta terhadap modal dan sumber daya atau sumber-sumber produksi. Kegiatan ekonomi bersandar pada persaingan bebas diantara pelaku ekonomi. Negara tidak terlalu mencampuri urusan perekonomian. Penentuan harga komoditas ditentukan oleh mekanisme penawaran-permintaan (supply and demand). Meskipun negara turut serta, namun keterlibatan negara diupayakan seminimal mungkin (liberalisme).

Secara umum pandangan para penganut kapitalisme adalah:

Pertama, percaya pada laissez-faire, kebebasan kepada pasar dengan peranan sangat minimum dari negara dalam kegiatan ekonomi. Kedua,

percaya pada ekonomi pasar diletakkan di atas persaingan bebas dan persaingan sempurna. Ketiga, percaya pada kondisi full employment,

mempercayai ekonomi akan berjalan lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri (secara alamiah) jika tanpa intervensi pemerintah.

Keempat, percaya bahwa memenuhi kepentingan individu juga berarti memenuhi kepentingan masyarakat (harmony of interest). Kelima,

menitikberatkan kegiatan ekonomi pada industri. Keenam, percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal. Ketujuh, perhatiannya terutama pada sisi pertumbuhan ekonomi (supply create it own demand).5

Sistem ekonomi kapitalis dalam perkembangannya ternyata tidak mampu mewujudkan kemakmuran seperti yang dikatakan oleh Adam Smith. Kegagalan sistem tersebut terbukti ketika terjadi krisis ekonomi yang melanda negara-negara Eropa, USA dan menjalar ke seluruh dunia (krisis global) sebagai akibat krisis keuangan pada Bank of England,

sebagaimana dijelaskan pada kutipan berikut ini:6

“The Panic of 1796–1797 was a series of downturns in Atlantic credit markets that led to broader commercial downturns in both Britain and the United States. In the U.S., problems first emerged when

5 Mansour Faqih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Insist Press, Yogyakarta, 2009, Hlm. 41.

(44)

the Bubble of land speculation burst in 1796. The crisis deepened into a broader depression when the Bank of England suspended specie payments on February 25, 1797 under the Bank Restriction Act 1797. The Bank's directors feared insolvency when English account holders, who were nervous about a possible French invasion, began withdrawing their deposits. In combination with the unfolding collapse of the U.S. real estate market, the Bank of England's action had developing disflationary repercussions in the financial and commercial markets of the coastal United States and the Caribbean through the turn of the century”.

Krisis tersebutlah yang kemudian mengkoreksi sistem ekonomi kapitalis murni, dengan munculnya teori dari John Maynard Keynes (1883–1946) yang membolehkan negara turut campur mengatur kegiatan ekonomi (teori jalan tengah) untuk mengatasi berbagai krisis ekonomi yang terjadi. Bersamaan dengan makin meluasnya krisis ekonomi, melalui bukunya A Treatice on Money (London: MacMillan, 1930) and The General Theory of Employment, Interest and Money (London: MacMillan, 1936). Menurut Keynes harus ada program nasional dan internasional yang menciptakan kebijakan moneter bersama. Keynes berpandangan bahwa anggaran nasional bukan hanya untuk tujuan perencanaan keuangan pemerintah semata, tetapi seharusnya digunakan sebagai instrumen utama dalam perencanaan ekonomi nasional. Menurut Keynes, kebijakan untuk mengatur dan mencegah krisis adalah tanggung jawab melalui kebijakan ketenagakerjaan dan investasi. Keseimbangan ekonomi dapat diciptakan dan dikelola oleh otoritas yang berwenang (pemerintah). Pada skema ini tidak ada banyak ruang bagi penerapan teori klasik laissez-faire.7

Gambar

Tabel 1: Komitmen Indonesia Dengan IMF Sebagaimana Tertuang dalam LOI

Referensi

Dokumen terkait