• Tidak ada hasil yang ditemukan

Fatwa Pada Masa Rasulullah SAW

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Fatwa Pada Masa Rasulullah SAW"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Jika dilihat dari sejarahnya, fatwa adalah salah satu pranata dalam pengambilan keputusan hukum Islam memiliki kekuatan yang cukup dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari eksisnya sejumlah mazhab hukum yang memiliki corak pemikiran masing-masing sesuai dengan kondisi sosio kulturnya. Terfragmentasinya kesimpulan hukum Islam yang tergambar dari beberapa mazhab yang ada dapat dirunut jauh ketika pada masa sahabat nabi. Pada masa itu, terjadi keberagaman fatwa dalam mengahadapi suatu peristiwa.

Keberagaman fatwa ini diwarisi oleh generasi berikutnya yakni para Tabi’in, dimana pada masa ini, lahir dua aliran besar dalam sistem pengambilan sistem hukum Islam, yaitu fiqih hijaz yang terkenal dengan aliran Ahlu Al- Hadist. Adapun fiqih Irak dikenal dengan Ahlu Al-Ra’yu. Setelah itu berkembang lagi dan tambah mengkristal dalam mazhab-mazhab yang lahir sesuai dengan konteks waktu, tempat dan kondisi sosial kulturnya. Apa yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Qayyim yang menyatakan bahwa “kesimpulan fatwa bisa berbeda disebabkan oleh perubahan zaman, tempat, keadaan dan konteksnya”.

Fatwa adalah “pendapat dalam bidang hukum” atau “official legal opinion”.1 Hukum di sini tidak hanya berarti sebagai hukum negara, tetapi juga hukum dengan kata jamak ahkam menyangkut hukum taklifi tentang wajib, sunnat, haram, makruh dan mubah. Di zaman Nabi Muhammad, pendapat dalam bidang hukum selalu ditanyakan kepada beliau.

Setelah Nabi wafat, pertanyaan tentang hukum dan agama secara umum ditanyakan kepada para khalifah dan sahabat Nabi.2 Kemudian, persoalan hukum masyarakat setelah masa tersebut ditanyakan kepada hakim pengadilan dan adapun di daerah-daerah yang jauh dari pengadilan, pertanyaan hukum dijawab oleh orang alim yang berfungsi sebagai mufti. Di berbagai negara, jabatan mufti menjadi jabatan resmi. Misalnya, Mufti `Utsmani, Mufti Mesir, Mufti Suria, Mufti Palestina, Mufti Malaysia, Mufti Brunei, Mufti Singapura dan lain-lain.

Menurut asy-Syathibi, mufti di tengah-tengah ummat berperan seperti Nabi Muhammad s.a.w. Pertama, mufti adalah penerus Nabi sesuai sabda beliau bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Kedua, mufti adalah wakil Nabi dalam menyampaikan ketentuan hukum agama. Mufti dari satu sisi sebenarnya pembuat hukum (syari’) yang mengutip langsung hukum dari

(2)

syariah dan di sisi lain pembuat hukum dari hasil ijtihadnya sendiri yang berlandaskan kepada prinsip-prinsip syariah.3

Al-Qirafi melihat mufti sebagai penerjemah Allah Ta`ala dan Ibnu al-Qayyim mengumpamakan mufti sebagai penandatangan (muwaqqi’) mewakili Allah terhadap apa yang ia fatwakan. Karena itu, Ibnu Qayyim menamakan kitabnya sebagai A’lam al-Muwaqqi’in ‘An Rabbi al-‘Alamin (Notifikasi atau Nasehat Mewakili Tuhan Seluruh Alam).4 Karena itu, fatwa adalah “pemberitaan tentang hukum syar’i (sah secara syariah) tanpa mengikat” (al-ikhbar ‘an al-hukm asy-syar’i min ghair al-ilzam).5 Hukum Islam dalam hal ini berciri qadha’i dan diyani.

Disebut qadha’i, yudisial, karena ia bersifat duniawi, bagaimana tampaknya di dunia (di depan pengadilan) berdasarkan perbuatan atau tindakan lahir, yang tidak ada hubungannya dengan hal-hal tidak tampak yang bersifat batin. Seorang hakim memutus berdasarkan fakta yang ia lihat, dan ia tidak tahu secara batin apakah peristiwa itu sebenarnya seperti yang ia lihat. Karena itu, ada ungkapan di kalangan hakim muslim: Nahnu nahkum bidz-zdawahir wallahu yatawalla bis-sara’ir (Kami memutus dengan apa yang tampak, sedangkan Allah mengendalikan yang tidak tampak). Hakim memutus sebatas kemampuannya dan putusannya tidak menjadikan yang batil menjadi hak atau hak menjadi batil. Ia tidak menghalalkan yang haram dan tidak pula mengharamkan yang halal dalam kenyataan yang ia lihat, tetapi bila hakikatnya tidak seperti yang ia putuskan, maka itu termasuk ilmu Allah. Karena itu, seperti disabdakan dalam sebuah Hadits riwayat Muslim, “Bila hakim telah berusaha dengan sungguh-sungguh (berijtihad), tetapi ternyata salah di sisi Allah, maka ia masih mendapatkan sebuah pahala sebagai balasan atas kesungguhannya. Bila putusannya benar di sisi Allah, maka ia mendapat pahala dua kali, yaitu balasan atas kesungguhannya dan balasan atas kebenarannya.” Berbeda dengan fatwa mufti, maka yurisprudensi bersifat mengikat.

Disebut diyani, keagamaan, karena ia bersifat ukhrawi, bagaimana nantinya di akhirat, berdasarkan hakikat sesuatu dan kenyataan yang sebenarnya, sekalipun orang tidak melihatnya.

Segi ini menyangkut hubungan seseorang dengan Tuhannya. Hukum jenis kedua inilah yang menjadi dasar fatwa mufti.

Dengan demikian, yurisprudensi dan fatwa mufti sebenarnya mempunyai kesimpulan yang sama, sebagai produk hukum Islam, tetapi berbeda dalam pelaksanaannya. Yurisprudensi dijalankan sesuai dengan amar putusan, sedangkan fatwa mufti terserah

3 Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ (Damaskus: Dar al-Qalam, 1435/2994), hal. 37. 4 Muhammad Ahmad Makki, Fatawa Musthafa az-Zarqa’ ,,, hal. 38.

(3)

kepada penerima fatwa (mustafta) sesuai dengan hati nuraninya apakah ia akan menjalankannya atau tidak. Dahulu, di Peradilan Agama, ada yang disebut fatwa waris (sekarang disebut penetapan ahli waris) dan putusan tentang masalah waris. Fatwa atau penetapan waris diputuskan berdasarkan data yang diberikan oleh pemohon dan pengadilan tidak memeriksa apakah data tersebut akurat atau tidak, tetapi hanya berdasarkan taking for granted bahwa seandainya data itu benar, maka fatwa atau penetapannya adalah seperti yang difatwakan. Ini berbeda dengan yurisprudensi (putusan peradilan) tentang masalah waris di mana datanya diperiksa oleh hakim pengadilan apakah sesuai dengan fakta sebenarnya atau tidak. Bila sesuai dengan bukti-bukti, maka diputuskanlah berapa jumlah harta warisan dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya sesuai dengan posita penggugat. Secara hukum, putusan tersebut harus dilaksanakan, apakah para pihak setuju atau tidak.

Perbedaan antara mufti dan mujtahid bahwa mufti menjawab masalah hukum berdasarkan ketentuan-ketentuan yang sudah ada dalam hukum Islam. Sedangkan mujtahid menjawab berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum baru yang dirumuskan dari sumber-sumber hukum primer dan sekunder Islam. Mohammad Hashim Kamali menyimpulkan: “Ijtihad dan fatwa sering digunakan silih berganti. Perbedaan utama antara keduanya adalah bahwa ijtihad mempunyai substansi yuridis yang lebih besar yang menjelaskan dasar pembuktiannya sendiri, sementara itu fatwa sering berisikan putusan atau opini yang diberikan dalam bentuk sebuah jawaban terhadap pertanyaan tertentu. Tidak menjadi syarat bahwa fatwa menjelaskan dasar pembuktiannya, bisa dalam bentuk pendek atau lebih mendalam dan rinci.”6

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Pembahasan

(4)

PEMBAHASAN

A. Fatwa Pada Masa Rasulullah SAW

Periode Rasulullah berlangsung hanya beberapa tahun saja, yaitu tidak lebih dari 22 tahun beberapa bulan. Akan tetapi hal itu membawa pengaruh besar dan hasil yang gemilang, karena telah meninggalkan nash-nash hukum di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Periode ini meninggalkan sejumlah dasar tasyri’ yang menyeluruh, yaitu sejumlah sumber hukum dan dalil untuk mengetahui sesuatu yang tidak ada nash hukumnya.7

Dalam periode Rasulullah terdiri atas dua fase, yaitu:

1. Fase Rasul berada di Mekah

Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan, kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan.8

Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah. Sehingga bila telah selesai tujuan yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.

Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran, Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa yang ditimpakan pada umat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan mendurhakai perintah tuhannya.

(5)

Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju penghambaan kepada Allah semata. Suatu revolusi yang menghadirkan perubahan fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.

2. Fase Rasul Berada di Madinah

Yakni selama kira-kira 10 tahun berjalan dari waktu hijrah beliau sampai wafatnya. Pada fase ini Islam terbina menjadi umat, membentuk pemerintahan, dan media-media dakwah telah berjalan lancar. Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan yang gilang gemilang.9 Keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan pembentukan undang-undang untuk mengatur hubungan antara individu dari suatu bangsa dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula hubungan mereka dengan bangsa yang bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.

Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat sebagai masyarakat percontohan.10 Oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) turun, baik yang berbicara tentang ritual maupun sosial. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada sejak periode Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan dengan ajaran moral dan etik.

Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris,

9 Khallaf, Wahab terjemahan khulasah tarikh tasyri’ islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani, h. 10

(6)

wasiat, perkawinan, thalak, sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.

Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa, menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika hal tersebut benar menurut Nabi SAW.

(7)

fatwa hukum. Sehingga ijtihad Rasulullah menjadi peraturan yang wajib diikuti, di samping undang-undang Allah.

B. Fatwa Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Untuk menggantikan kedudukan nabi Muhammad sebagai seorang pemimpin ummat dan kepala Negara, dipilihlah seorang pengganti yang disebut khalifah dari kalangan sahabat nabi sendiri. Oleh karena itu, maka sebagai seorang pengganti nabi, ummat Islam secara otomatis menganggap bahwa khalifah juga bertugas untuk memutuskan perkara yang terjadi di masyarakat. Selain itu, para shahabat yang terkenal dengan kedalaman ilmunya juga menjadi pemutus perkara-perkara yang terjadi saat itu, semisal Abdullah ibnu Abbas, Zaid bin Tsabit, Abdullah ibnu umar di Madinah, Abdullah ibnu Mas’ud di Kufah, Abdullah ibn amr ibn ash di Mesir. Aisyah dan zadhi yang mashur. Abu musa al asyari dan muadz bin jabal11. Mereka terpencar di beberapa kota dan membimbing peletakan dasar fiqh islami dan pengembangannya.

Pada masa ini sahabat mengeluarkan fatwa sebatas kasus-kasus yang terjadi saja. Mereka tidak memprediksikan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak mengira-ngira bahwa hal itu akan terjadi lalu meneliti hukumnya.12 Sahabat membatasi pada kasus-kasus yang perlu difatwakan saja. Mereka berpendapat bahwa :

1. Sesungguhnya menyibukkan diri selain dengan kasus-kasus yang terjadi adalah sia-sia, membuang-buang waktu untuk perbuatan baik dan bajik serta menyia-nyiakan waktu yang berharga.

2. Mereka memelihara berfatwa dan sebagian mereka melarangkan yang lain untuk berfatwa karena takut meleset dan salah. Oleh karena itu mereka menjauhi perluasan fatwa terhadap kasus-kasus yang belum terjadi. Diriwayatkan dari Zaid bin Tsabit bahwasanya apabila ia apabila dimintai fatwa dalam masalah yang ditanyakan. Bila kasusnya telah terjadi, maka Zaid memberikan fatwanya, namun bila kasusnya belum terjadi ia berkata, “biarkanlah sampai kasusnya terjadi.“[23]

11 Teungku Muhammad Hasbi As-shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, cet II (Semarang : Pustaka Rizki Putra,

1999), hal 43.

(8)

3. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa para sahabat yang mengeluarkan fatwa dan ra’yu (pendapat) pada masa ini adalah khalifah dan para pembantunya. Disamping kesibukan mengatur negara Islam dan politik kaum muslimin; baik keagamaan maupun keduniaan. Inilah yang membuat mereka sibuk sehingga menjauhi menentukan dan mengira-ngira.[24]

Sahabat melakukan penelaahan terhadap Alquran dan Sunah dalam menyelesaikan suatu kasus. Apabila tidak didapatkan dalam Alquran dan Sunnah, mereka melakukan ijtihad. Ijtihad dalam menyelesaikan kasus disebut fatwa, yaitu suatu pendapat yang muncul karena adanya peristiwa yang terjadi. Dengan dimuainya ijtihad oleh para sahabat, permasalahan-permasalahan kontemporer umat islam dapat terselesaikan dengan bijak dan benar. Hal ini kemudian mendorong para ulama sesudah masa sahabat besar untuk mengembangkan lagi ijtihad mereka guna menemukan penyelesaian permasalahan-permasalahan hukum islam, bahkan masalah yang belum dihadapi.

Beberapa usaha yang dipakai pada masa khulafaurrasyidin dalam mengeluarkan fatwa antara lain :

1. Ijtihad Sahabat

Setelah Rasulullah meninggal dan mewariskan Al-Qur’an dan Sunnah untuk menjadi sumber hukum ternyata ada masalah yang tidak ditemukan penyelesaiannya dalam Alquran dan Sunnah. Hal ini disebabkan karena pada masa nabi, wilayah kekuasaan Islam hanya sebatas semenanjung arabia. Tapi pada masa khulafaur rasyidin, kekuasaan islam mulai meluas dan membentang keluar dari jazirah arab, meliputi: Mesir, Syiria, Persia dan Irak.13 Luasnya wilayah tersebut menyebabkan kaum Muslimin menghadapi banyak kejadian dan persoalan yang belum pernah dialami pada masa nabi. Hal ini mendorong umat muslim untuk berijitihad, yakni mengerahkan kesungguhan dalam mengeluarkan hukum syara’ dari apa yang dianggap syari’ sebagai dalil yaitu kitabullah dan sunnah nabinya. Ijtihad para sahabat dalam arti luas adalah bahwa mereka melihat dilalah (indikasi), menganalogi, menganggap hal-hal lain dan lain sebagainya.

2. Ijma’

Ijtihad pada masa itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan hokum suatu masalah. Hasil musyawaroh sahabat ini disebut ijma’14. Kemudian rasulullah telah menyediakan metode-metode buat ijtihad bagi mereka, melatih dan meridhoi mereka serta menetapkan

13 Muhammad Ali As-says, Sejarah Fiqih Islam, cet I (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2003) hal 59.

(9)

pahala ijtihadnya baik salah maupun benar. Tentang ijtihad itu boleh dipakai berdasarkan dalil bahwa seorang hakim ketika ia berijtihad dalam menetapkan sebuah hukum kemudian benar hasilnya, maka ia mendapatkan dua pahala. Adapun ketika salah ia mendapatkan satu pahala.

Sebagaimana diriwayatkan Al-Baghawi yang diterima dari maimun bin Mahram, yaitu suatu gambaran cara-cara mereka melakukan istinbath hukum, ia berkata : apabila suatu perselihan di ajukan kepada abu bakar, maka ia lihat kitab Allah. Apabila di temukan di sana hukum yang dapat memutuskan masalah yang terjadi di antar mereka, maka ia putuskan dengan hukum tersebut. Bila tidak ditemukan dalm kitab Allah, ia ketahui dari sunnah rasul tantang masalah itu, maka ia putuskan dengan sunnah tersebut. Bila tidak di temukan jaga ia keluar dan bertanya pada kaum muslimin: suatu masalah di ajukan padaku…lalu apakah kalian mengetahui bahwa nabi pernah memutuskan suatu hukum dalam masalah ini? Terkadang semua golongan berkumpul dan menuturkan suatu kepusan dari rasulullah.Bila tidak di temukan jaga dari sunnah rasul, maka ia kumpulkan tokoh-tokoh masyarakat dan orang-orang terpilih untuk bermusyawarah, apabila di peroleh kesepakatan hukumnya, maka ia putuskan masalah tersebut dengan hasil kesepakatan itu.15

3. Ro’yu

Untuk menjawab persoalan hukum yang baru muncul itu para sahabat terlebih dahulu menunjuk kepada Alquran dan Al-hadist. Namun bila para sahabat tidak menemukan ketetapan hukum dari dua sumber hukum yang dimaksud, maka disitulah para sahabat menggunakan akal pikiran (ra’yu) yang dijiwai oleh ajaran islam. Sebagai contoh dapat diungkapkan siapa yang menjadi khalifah sesudah Nabi Muhammad meninggal dunia. Permasalahan ini diselesaikan berdasarkan qiyas atas posisi Abu Bakar sebagi pengganti nabi menjadi Imam shalat ketika nabi tidak dapat menjadi imam karena sakit. Tentang qiyas boleh di pakai selama tidak menyalahi dalil yang shohih. Hanya saja mereka menyebut kata ra’yu (pendapat) terhadap sesuatu yang dipertimbangkan oleh hati setelah berpikir, mengamati, dan mencari untuk mengetahui sisi kebenaran dari tanda-tanda yang terlihat. Sebagaimana didefinisikan oleh Ibnu Qayyim. Dengan demikian, menurut mereka ra’yu tidak sebatas qiyas(analogi) saja, sebagaimana dikenal sekarang, tetapi meliputi analogi, ihtisan, Baraah, Ashliyah, Saddu Dzara’i dan Maslahah al-Mursalah.16

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan yang telah dipaparkan diatas mendasari penulis untuk melakukan suatu penelitian dengan judul “Pengaruh Produk dan Harga Terhadap Minat Beli Mobil Tipe Sedan

DZDOL SHPEHODMDUDQ GHQJDQ PHQDQ\DNDQ JHUDN EHQGD PHQJJHOLQGLQJ MDWXK EHUSXWDU PHPDQWXO GDQ PHQJDOLU VHODPD PHQLW XODQJL *XUX EHUVDPD SHVHUWD GLGLN PHPEXDW URNHW DLU

Menurut H.C Kelman dalam (Anggraeni, 2011), menjelaskan bahwa kepatuhan diartikan sebagai suatu yang didasarkan pada harapan akan suatu imbalan dan usaha untuk menghindari

Berdasarkan Undang Undang Aparatur Sipil Negara (ASN) Nomor 5 Tahun 2014 Tentang Satuan Polisi Pamong Praja menyebutkan dengan jelas, bahwa Anggota Polisi

Fakta lingual ini menunjukkan bahwa anak-anak usia 4 – 6 tahun telah memiliki kompetensi linguistik yang memadai untuk memahami fitur-fitur semantik prototipe substantiva

tulisan yang mengupas dakwah kontekstual sebenarnya telah banyak dilakukan orang dengan berbagai pendekatan seperti Busairi Harits 5 dalam bukunya berjudul Dakwah

Hasil penelitian diperoleh volume sedimen dasar sungai Volume Belanting maksimum yang langsung ditinjau dan diamati adalah 28.623 M 3 / hari dan persamaan Kurva aliran

Harga merupakan suatu nilai yang ditukarkan oleh konsumen dengan manfaat dari memiliki ataupun menggunakan produk atau jasa. Harga merupakan salah satu faktor penentu konsumen