• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH TENTANG KERAJAAN INDRAGIRI DARI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "SEJARAH TENTANG KERAJAAN INDRAGIRI DARI"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH TENTANG KERAJAAN

INDRAGIRI DARI MASA KE MASA

dunia melayu

Cikal bakal kesultanan Indragiri

(2)

Keritang diperkirakan berasal dari istilah “akar itang” yang diucapkan dengan lafal ‘keritang’. Sementara Itang adalah sejenis tumbuhan yang banyak terdapat di sepanjang anak Sungai Gangsal bagian hulu yang menjalar di sepanjang tebing-tebing sungai. Sungai Gangsal mengaliri wilayah Kota Baru, (sekarang) ibu kota Kecamatan Keritang, Kabupaten Indragiri Hilir, Provinsi Riau. Selain pemaknaan di atas, ada pula yang menyebut bahwa nama ‘Keritang’ identik dengan istilah ‘Kitang’, yaitu sejenis siput yang berhabitat di hulu Sungai Gangsal (Ahmad Yusuf & Umar Amin, et al., 1994:19).

Asal Muasal Kerajaan Keritang berawal dari keruntuhan Kerajaan Sriwijaya yang berpusat di Palembang. Pada akhir adab ke-13, Kerajaan Sriwijaya mulai rapuh karena adanya serangan dari luar, antara lain Kerajaan Cola (India) yang menyerbu dari utara dan kemudian ekspedisi Majapahit dari sebelah timur. Namun, dalam catatan perjalanan Marcopolo yang ditulis pada 1292, nama Kerajaan Sriwijaya tidak disebut-sebut lagi. Hal ini sepertinya menunjukkan bahwa pada masa itu Sriwijaya sudah terpecah-pecah. Salah satunya menjadi pecahan Sriwijaya adalah Kerajaan Keritang yang kemudian menjadi Kesultanan Indragiri.

Dari Kerintang ke Indragiri

(3)

nama Keritang. Oleh karena Keritang terletak di wilayah yang kemudian dikenal dengan nama Indragiri, maka diperkirakan bahwa Kerajaan Keritang inilah yang kelak berkembang menjadi Kesultanan Indragiri. Mengeni nama Indragiri sendiri, ada ahli-ahli sejarah dari Eropa yang menyebutnya. Kamus ‘A Malay-English Dictionary yang disusun Richard James Wilkinson (1867-1941), mencantumkan nama Indragiri. Dalam kamus yang diterbitkan pada 1932 ini, Indragiri diartikan sebagai “Indra’s Mountain” an East Coast Sumatra Sultanate on a river of the same name” atau “Gunung Tempat Dewa Indra: Suatu Kesultanan di Pesisir Timur Sumatra dekat sungai yang bernama sama (nama kerajaan dan sungai adalah sama, yaitu Indragiri)”.

Dalam ‘Niew Malaeisch-Nederlandsch Woordenboek – Met Arabisch Karakter’, kamus susunan Hillebrads Cornelius Klinkert (1829-1913) terbitan tahun 1892, nama Indragiri diartikan sebagai nama sebuah kerajaan di Pantai Timur Pulau Sumatra dan nama sungai yang mengaliri kerajaan itu (Hasan Junus & Zuarman, et al., 2003:13). Ada pula yang mengatakan bahwa Indragiri berasal dari Bahasa Sanskerta yaitu ‘Indra’ yang berarti mahligai dan ‘Giri’ yang berarti kedudukan yang tinggi atu negeri, sehingga makna Indragiri adalah Kerajaan Negeri Mahligai.

(4)

dilanjutkan oleh Raja Nara Singa I (1337-1400) sebagai Raja Keritang ke-2, kemudian Raja Merlang II (1400-1473). Pada era berikutnya, pengaruh Islam sudah mulai masuk ke wilayah kerajaan ini. Raja yang selanjutnya, yakni Raja Nara Singa II (1473-1508) diketahui telah memeluk agama Islam. Raja Nara Singa II, Raja Keritang yang ke-4 sebagai Sultan pertama Indragiri dengan nama Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan (1508-1532).

Kerajaan Keritang sempat menjadi wilayah taklukan Kerajaan Majapahit dan akhirnya diberikan kepada kesultanan Melaka sebagai hadiah pernikahan Sultan Mansyur Syah dengan salah seorang putri Kerajaan Majapahit. Seiring Islam masuk ke Nusantara, pemerintahan Kerajaan Keritang dikendalikan oleh Kesultanan Melaka. Ketika masih di bawah kuasa Majapahit, Raja Merlang diperkenankan untuk tetap berada di tengah-tengah rakyatnya. Akan tetapi setelah Kerajaan Keritang dikuasai oleh Kesultanan Melaka, Raja Merlang tidak diperbolehkan lagi menetap di Keritang melainkan dibawa ke Melaka. Kebijakan ini sangat menguntungkan bagi Melaka karena dengan demikian Kerajaan Keritang lebih mudah diawasi.

(5)

mengokohkan kedudukan Sultan Melaka di daerah jajahan, dilakukan juga dengan harapan agar Raja Merlang betah tinggal di Melaka. Dari perkawinan dengan Putri Melaka itu, Raja Merlang memperoleh putra yang diberi nama Nara Singa (1337-1400) dan dibesarkan di lingkungan Kesultanan Melaka. Ketika Kesultanan Melaka dipimpin oleh Sultan Mahmud Syah I (1448-1511), Raja Nara Singa diambil menantu oleh Sultan. Ketika Raja Nara Singa dinobatkan sebagai Raja Keritang, dia tetap tidak diperbolehkan tinggal di Keritang. Demikian pula yang terjadi kepada raja-raja penerus tahta Kerajaan Keritang yang selanjutnya, yakni Raja Merlang II hingga kemudian Raja Nara Singa II (1473-1508).

(6)

Konflik internal di dalam Kerajaan Keritang, ditambah dengan perlakuan yang tidak adil dari orang-orang Melaka terhadap rakyat Keritang, membuat Raja Nara Singa II resah dan berkeinginan untuk kembali ke kerajaannya. Dengan alasan mencari hiburan bersama istri tercintanya, Raja Nara Singa II akhirnya diperbolehkan kembali ke Keritang. Raja Nara Singa II tidak menyia-nyiakan kesempatan ini dan segera menyusun rencana dengan para pengikutnya. Ketika sudah berhasil meninggalkan Melaka, terdengarlah kabar bahwa Raja Nara Singa II dapat melepaskan diri dari Melaka(Yusuf & Amin et, al., 1994:19).

(7)

menandakan bahwa unsur Islam sudah masuk dan menebar pengaruh di Indragiri dan sekitarnya.

Pada era pemerintahan Sultan Indragiri pertama ini, ibu kota kerajaan dipindahkan lagi, yakni ke Mudoyan, yang dikenal juga dengan nama Kota Lama, yang terletak di sebelah hulu Pekantua. Jarak antara Pekantuan dengan Kota Lama kurang lebih 50 kilometer lewat jalan darat. Perpindahan pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri tersebut disebabkan karena kurang amannya Pekantua dari kemungkinan serangan Portugis dan ancaman gerombolan perompak. Belum diketahui kapan pastinya waktu pemindahan itu namun yang jelas, waktu pemindahan itu paling lambat dilakukan pada 1532 karena di tahun itu Maulana Paduka Sri Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan atau Raja Nara Singa II meninggal dunia dan dimakamkan di Kota Lama (Yusuf & Amin, et, al., 1994:75). Pada 1765, pusat pemerintahan Kesultanan Indragiri berpindah lagi, kali ini ke Raja Pura atau Japura.

(8)

Sultan pertama Kesultanan Indragiri, Alauddin Iskandar Syah Johan, bertahta sampai akhir hayatnya yakni tahun 1532. Setelah itu pucuk pimpinan Kesultanan Indragiri berturut dilanjutkan oleh penerus Alauddin Iskandar Syah Johan, yaitu Sultan Indragiri ke-2 Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), kemudian Sultan Ahmad dengan gelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599) sebagai pemimpin Kesultanan Indragiri yang ke-3, hingga Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658). Pada era pemerintahan pemimpin ke-4 Kesultanan Indragiri inilah kau imperialis Eropa datang dan lantas menanamkan pengaruhnya di Indragiri.

Kesultanan Indragiri pada Era Kolonialisme

Tahun 1602, kapal milik bangsa Belanda yang dipimpin oleh nahkoda Heemskerck berlabuh di Johor dengan tujuan awal untuk berdagang. Pada saat itu, Kesultanan Johor-Riau yang dipimpin Sultan Alauddin Riayat Syah II sedang menghadapi sejumlah peperangan, antara lain dengan portugis adan Aceh serta Patani. Kesultanan Johor-Riau kemudian mengajak Belanda bekerjasama untuk melawan musuh-musuhnya itu.

(9)

Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658) sebagai penguasa Kesultanan Indragiri saat itu mengizinkan aktivitas dagang Belanda di wilayahnya dengan Harapan akan dapat meningkatkan perdagangan di Indragiri. Namun harapan Sultan Jamaluddin Kramatsyah dan Belanda tidak berjalan mulus karena adanya persaingan dari pedagang-pedagang Cina, Portugis dan Inggris. Sementara Belanda sendiri kurang mampu berkonsentrasi menangani perdagangannya di Indragiri karena sedang memusatkan perhatiannya untuk Batavia. Akibatnya, pada tahun 1622 kantor dagang atau loji Belanda di Indragiri terpaksa ditutup.

(10)

Tujuan utama penyerbuan Kesultanan Aceh Darussalam ke Indragiri adalah untuk memutuskan hubungan perdagangan lada antara Kesultanan Indragiri dengan Minangkabau. Ketika akhirnya Kesultanan Aceh dapat mewujudkan tujuannya itu, yaitu kira-kira awal tahun 1624, kiriman lada dari Minangkabau ke Indragiri tiap bulan menurun drastis. Bagi daerah-daerah yang tunduk di bawah Sultan Iskandar Muda (1607-1636), penguasa Kesultanan Aceh Darussalam, menuntut 15% dari produksi emas dan lada sebagai upeti, sedangkan sisanya harus dijual sesuai harga yang ditetapkan Aceh (Djuharsono, 1985:152).

Karena perdagangan yang semakin terdesak akibat pendudukan Kesultanan Aceh Darussalam, Kesultanan Indragiri kemudian mencoba menjalin hubungan kembali dengan Belanda. Sultan Jamaluddin Kramatsyah mengirim surat kepada Antonio van Diemen, Gubenur Jendral Belanda di Batavia, pada tahun 1641. Dalam suratnya, Sultan Jamaluddin Kramatsyah meminta kepada Belanda supaya membuka kembali kantor dagang di Indragiri. Setelah beberapa kali berusaha, keinginan Sultan Jmaluddin Kramatsyah terpenuhi dengan kedatangan Joan van Wesenhage, utusan Belanda dari Batavia ke Indragiri.

(11)

tentang hubungan perdagangan antara kedua belah pihak. Perjanjian yang ditandatangani oleh Sultan Jamaluddin Sulemansyah dan Joan van Wesenhage tersebut dikenal dengan nama ‘Renovatie van het Contract van 27 October 1664’ (Muchtar Lufti [ed.], 1997:217), sesuai dengan tanggal penandatanganan hasil perundingan. Isi dari perjanjian itu antara lain: 1. Belanda diberi hak memonopoli dalam perdagangan lada;

2. Bea murah bagi masuk dan keluarnya barang-barang milik Belanda dalam kekuasaan Kesultanan Indragiri.

Berdasarkan perjanjian tersebut, Belanda diperbolehkan membangun kembali kantor dagangnya di Indragiri di Kuala Cenaku. Namun, pada tahun 1679, kantor dagang Belanda di Kuala Cenaku diserang oleh 100 orang Banten di bawah pimpinan Pangeran Arja Suria dan Ratu Bagus Abdul Kadir. Sejak itu, kantor dagang Belanda di Indragiri tersebut kembali ditutup.

(12)

Pada masa kepemimpinan Sultan Indragiri yang terakhir Mahmudsyah (1912-1963), posisi Kesultanan Indragiri sebagai kerajaan yang berdaulat semakin terjepit. Sultan tidak mampu berbuat banyak menghadapi tekanan Belanda. Di samping itu, Belanda juga melarang rakyat Indragiri mengadakan rapat atau berkumpul lebih dari tiga orang, kecuali acara dakwah agama, itu pun dengan pengawasan ketat. Apabila isi ceramah dalam dakwah tersebut dianggap terlalu berani, maka orang-orang yang terkait dengan acara dakwah itu akan ditangkap dan diproses menurut hokum yang diberlakukan oleh pemerintahan colonial (Yusuf & Amiin, et, al., 1994:126).

Bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia

(13)

Selanjutnya kaum pemuda menghadap Sultan Mahmudsyah untuk menanyakan sikap Sultan terhadap kemerdekaan bangsa Indonesia. Sultan menjawab tegas bahwa Kesultanan Indragiri sangat mendukung proklamasi kemerdekaan dan merestui gerakan kaum pemuda. Sultan Mahmudsyah juga menyatakan bahwa Kesultanan Indragiri siap bergabung dengan Indonesia. Sultan Mahmudsyah berucap, “Kerajaan Indragiri sudah berakhir dan kini sudah pemerintahan Indonesia, jadi apa-apa yang tuan perbuat saya sangat mendukung.” (Yusuf & Amin, et, al., 1994:173). Bahkan demikian jelas sudah bahwa Kesultanan Indragiri di bawah pimpinan Sultan Mahmudsyah sangat berkomitmen terhadap perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Daftar raja / sultan

Berikut daftar raja/sulta yang pernah berkuasa di Kerajaan Keritang/Kesultanan Indragiri, berdasarkan buku ‘Sejarah Kesultanan Indragiri’ (1994), karya Ahmad Yusuf, Umar Amin, Noer Muhammad, dan Isjoni Ishaq:

1. Raja Kecik Mambang atau Raja Merlang (1298-1337), Raja Keritang ke-1

2. Raja Nara Singa I (1337-1400), Raja Keritang ke-2 3. Raja Merlang II (1400-1473), Raja Keritang ke-3

(14)

dengan gelar Sultan Iskandar Alauddin Syah (1508-1532)

5. Sultan Usuluddin Hasansyah (1532-1557), Sultan Indragiri ke-2

6. Raja Ahmad bergelar Sultan Mohammadsyah (1557-1599), Sultan Indragiri ke-3

7. Raja Jamaluddin bergelar Sultan Jamaluddin Kramatsyah (1599-1658), Sultan Indragiri ke-4

8. Sultan Jamaluddin Sulemansyah (1658-1669), Sultan Indragiri ke-5

9. Sultan Jamaluddin Mudoyatsyah (1669-1676), Sultan Indragiri ke-6

10. Sultan Usuludin Ahmadsyah (1676-1687), Sultan Indragiri ke-7

11. Sultan Abdul Jalil Syah (1687-1700), Sultan Indragiri ke-8

12. Sultan Mansursyah (1700-1704), Sultan Indragiri ke-9

13. Sultan Mohammadsyah (1704-1707), Sultan Indragiri ke-10

14. Sultan Musyaffarsyah (1707-1715), Sultan Indragiri ke-11

15. Raja Ali Mangkubumi Indragiri bergelar Sultan Zainal Abidin Indragiri (1715-1735), Sultan Indragiri ke-12

16. Raja Hasan bergelar Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), Sultan Indragiri ke-13

17. Raja Kecil Besar bergelar Sultan Sunan (1765-1784), Sultan Indragiri ke-14

(15)

20. Raja Umar bergelar Sultan Berjanggut Kramat (1827-1838), Sultan Indragiri ke-17

21. Raja Said bergelar Sultan Sultan Said Mudoyatsyah (1838-1876), Sultan Indragiri ke-18

22. Raja Ismail bergelar Sultan Ismailsyah (1876-1877), Sultan Indragiri ke-19

23. Tengku Husin bergelar Sultan Husinsyah (1877-1883), Sultan Indragiri ke-20

24. Tengku Isa bergelar Sultan Isa Mudoyatsyah (1887-1903), Sultan Indragiri ke-21

25. Tengku Mahmud bergelar Sultan Mahmudsyah (1912-1963), Sultan Indragiri ke-22

Sistem pemerintahan

Sistem Pemerintahan Indragiri memiliki system pemerintahan khas yang dibangun oleh orang-orang Melayu secara turun-temurun. Model pemerintahan yang berlaku di dalam kesultanan Indragiri yang bercirikan Islam telah memperkuat pertumbuhan dan perkembangan budaya Melayu. Upacara-upacara keagamaan di Indragiri tidak bias dilepaskan dari Islam dan diaktualisasikan dalam kehidupan sehari-hari (Raja Thamsir Rahman Isjono & Zulkarnain [eds.], 2007:x).

(16)

Iskandar Syah Johan, didampingi bendahara kerajaan bernama Tun Ali dan diberi gelar ‘Raja di Balai’ (Yusuf & Amin, et.al., 1994:19). Posisi bendahara kerajaan pada masa itu adalah jabatan yang prestisius karena hanya orang terdekat dan yang paling dipercaya oleh Sultan sajalah yang bias menduduki posisi ini.

Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan masih memiliki sejumlah hamba setia, antara lain Datuk Patih dan Datuk Temenggung Kuning serta beberapa orang lainnya. Selama Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan berada di Melaka karena tidak diperkenankan tinggal di Indragiri oleh Sultan Melaka, pemerintahan di Kerajaan Keritang dijalankan oleh hamba-hamba setia tersebut.

Sistem pemerintahan yang mulai terkonsep sejak masa pemerintahan Sultan Alauddin Iskandar Syah Johan ditingkatkan dan disempurnakan menjadi Undang-Undang Kesultanan pada rezim Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765). Undang-Undang Kesultanan Indragiri itu meliputi Undang-Undang Adat Kerajaan Indragiri, Pengadilan Adat Kerajaan, Panji-Panji Raja, serta Kerajaan (Lufti [ed.], 1977:83). Undang-Undang Indragiri (Tengku Arief, 1991) sebagai berikut:

1. Struktur Pemerintahan Berdasarkan Lembaga Undang-Undang Adat, yang terdiri dari Beraja nan Bedua, meliputi:

(17)

– Yang Dipertuan Muda, dan Berdatuk nan Berdua yang meliputi Datuk Temenggung dan Datuk Bendahara

2. Menteri nan Delapan, yaitu menteri-menteri kesultanan Indragiri atau sebagai pembantu Datuk Bendahara, berjumlah delapan orang, antara lain: Sri Paduka, Bentara, Bentara Luar, Bentara Dalam, Majalela, Panglima Dalam, Sida-Sida, dan Panglima Muda

3. Tiga Datuk d Rantau, meliputi Orang-Orang Kaya sebagai berikut: Orang Kaya Setia Kumara di Lala, Orang Kaya Setia Perkasa di Kelayang, serta Orang Kaya Setia Perdana di Kota Baru

4. Penghulu nan Tiga Lorong, terdiri atas:

– Yang Tua Raja Mahkota, di Batu Ginjal, Kampung Hilir – Lela di Raja, di Batu Ginjal, Kampung Hilir

– Dana Lela, di Pematang

5. Kepala Pucuk Rantau, mencakup: – Tun Tahir di Lubuk Ramo

– Datuk Bendahara di sebelah kanan – Datuk Temenggung di sebelah kiri

Selain itu, terdapat juga Peradilan Adat Kesultanan Indragiri yang mengurusi hukum pidana maupun perdata. Peralihan Adat Kesultanan Indragiri meliputi dua mahkamah. Pertama adalah Mahkamah Besar, dengan keanggotaan yang terdiri dari Yang dipertuan Muda, Datuk Bendahara, dan beberapa anggota lain yang dipiliah oleh Sultan Indragiri. Setiap Keputusan Mahkamah Besar disampaikan oleh Datuk Bendahara kepada Sultan Indragiri.

(18)

seorang Penghulu. Pada perkembangannya, Mahkamah Kecil ini kemudian dikepalai oleh Amir atau Camat pada masa sekarang. Di samping itu ada pula Hukum Pidana Adat yang dikuasai Raja dan Orang Banyak, serta Hukum Perdata mengenai Hukum Salo (damai), pengaduan tentang kerugian, dan batas putusan Penghulu (Yusuf & Amin, et.al., 1994:87-88).

Wilayah Kekuasaan

Raja Nara Singa II atau Maulana Paduka Sri Sultan Iskandar Syah Johan menunjuk sejumlah pejabat untuk mewakili dirinya di beberapa daerah kekuasaan Kesultanan Indragiri. Salah seorang pejabat terdekat Sultan yang bernama Datuk Patih, dianugerahi gelar sebagai Raja di Padang yang membawahi daerah-daerah pedalaman dan sejumlah tempat di pesisir sungai selain Sungai Indragiri. Sedangkan seorang pejabat lainnya, yakni Datuk Temenggung Kuning, diangkat menjadi Raja di Rantau yang menguasai tempat-tempat di sepanjang tepi sungai Indragiri dan sungai-sungai besar lainnya, seperti desa-desa di sebelah hilir Batu Sawar dan di sepanjang tepi Batang Kuantan.

Pada masa Sultan Sultan Hasan Salahuddinsyah (1735-1765), terdapat pembagian kekuasaan Kesultanan Indragiri (Yusuf & Amin, et.al., 1994:86-87) meliputi:

(19)

2. Daerah Gangsal, terdiri dari Nan Tua Riye Belimbing, Riye Tanjung, dan Pemuncak di Rantau Langsat

3. Daerah Tiga Balai, terdiri dari Dian Cacar, Parit, dan Perigi

4. Daerah Batin nan Enam Suku, meliputi Igal, Mandah, Pelanduk, Bantaian, Pulau Palas, serta Batang Tuaka

5. Daerah Kuantan, mencakup Cerenti Tanah Kerajaan, Ujung Tanah Minangkabau, dan Kerajaan Tua Gadis

Tanggal 27 September 1938, disepakatilah Tractaat van Vrindchaap (perjanjian perdamaian dan persahabatan) antara Kesultanan Indragiri dengan pemerintah colonial Hindia Belanda yang menghasilkan keputusan bahwa Kesultanan Indragiri menjadi Zelfbestuur (semacam daerah otonomi) dan berdasarkan ketentuan tersebut akan ditempatkan seorang controlleur (pengawas dari pemerintah kolonial) wilayah Indragiri Hilir yang membawahi 6 daerah yang berupa wilayah keamiran, yaitu antara lain: Amir Tembilahan di Tembilahan, Amir Batang Tuaka di Sungai Luar, Amir Tempuling di Sungai Salak, Amir Mandah dan Gaung di Khairiah Mandah, Amir Enok di Enok, serta Amir Reteh di Kota Baru

(20)

seorang Cun Cho yang berkedudukan di Tembilahan dengan membawahi 5 Ku Cho, yaitu: Ku Cho Tembilahan dan Tempuling di Tembilahan, Ku Cho Sungai Luar, Ku Cho Enok, Ku Cho Reteh, dan Ku Cho Mandah. Sebelum tentara Jepang mendarat di Indragiri, telah dikumandangkan lagu Indonesia Raya yang dipelopori oleh Ibnu Abbas. Pemerintahan Jepang di Indragiri bertahan sampai bulan Oktober 1945, yakni lebih kurang selama 3.5 tahun.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah Indragiri (Hulu & Hilir) masih menjadi satu kabupaten.

Referensi

Dokumen terkait