• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVOLUSI KONSEP KEAMANAN ENERGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVOLUSI KONSEP KEAMANAN ENERGI"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

EVOLUSI KONSEP KEAMANAN ENERGI

Arshie Ramadhanie

Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Indonesia Email: arshie.ramadhani@gmail.com

Abstrak

Konsep keamanan energi bersifat kontekstual dan dapat memiliki makna yang berbeda dalam konteks yang berbeda. Terkait dengan hal tersebut, tulisan ini berusaha mengkaji perkembangan literatur mengenai konsep keamanan energi dari waktu ke waktu. Tulisan ini kemudian akan mengelompokkan literatur-literatur tersebut dengan menggunakan metode kronologi ke dalam tiga periode berbeda, yaitu periode 1970-1990, periode 2000-2010 dan periode pasca 2010. Dari pengelompokkan tersebut, terlihat bahwa terjadi perluasan tema dalam definisi konsep keamanan energi yang awalnya terkait dengan tema ketersediaan dan harga menjadi mencakup tema infrastruktur, lingkungan, dampak sosial, efisiensi, tata kelola dan kebijakan publik, dan sebagainya. Hal ini kemudian menimbulkan perdebatan mengenai apakah konsep keamanan energi perlu diperluas untuk mengakomodasi munculnya tantangan-tantangan baru atau tetap dibatasi agar keamanan tidak kehilangan maknanya. Penulis berargumen bahwa pendefinisan keamanan energi harus tetap dilekatkan dengan definisi keamanan, “survival in the face of existential threat”, agar konsep keamanan itu sendiri tidak kehilangan fokusnya. Dengan menggunakan perspektif kontekstual dan variasi konseptual dari waktu ke waktu, tulisan ini diharapkan dapat menghadirkan perdebatan teoretis mengenai bagaimana isu energi dapat menjadi isu keamanan serta memberikan kontribusi berupa pemetaan konsep keamanan energi sebagai referensi untuk pengambilan kebijakan energi. Kata kunci

Keamanan energi, energi, definisi, perluasan, keamanan Abstract

Energy security concept is contextual and understood in different ways in different context. This paper examines the development of the literatures of energy security. Using chronological method of organization, this paper classifies the literatures into three different periods: 1970-1990, 2000-2010, and post-2010. From this classification, it is found that there is a proliferation of themes in the definition of energy security concept. The concept has expanded from what was initially limited to availability and affordable price, to include themes such as infrastructures, environment, social impacts, efficiency, governance and public policy. This raises a debate as to whether the energy security concept need to be broadened to accomodate the emergence of new challenges or to remain limited in definition so that it would not lose its meaning. This paper then further argues that the definition of energy security should be attached to the definition of security as, “survival in the face of existential threat,” so that security concept itself would be able to retain its focus. Taking a contextual perspective and conceptual variation over time, this paper aims to present a theoretical debate on how energy is understood as a security issue and to serve as a reference for energy policy making.

Keywords

(2)

PENDAHULUAN

Keamanan energi adalah topik yang sering muncul dalam agenda kebijakan

pemerintah di banyak negara. Ia juga merupakan alat untuk membingkai isu (framing)

yang kuat: ia mengkonstruksi, menormalisasikan, dan menjadi justifikasi

kebijakan-kebijakan tertentu (Bridge, 2015). Memasukkan isu energi sebagai isu keamanan

sebenarnya bukanlah suatu hal yang baru. Sebagai isu kebijakan, masalah keamanan

energi sudah muncul di awal abad ke-20 terkait pasokan minyak bagi pasukan perang

(Brown et al., 2014). Sedangkan sebagai isu akademis, perdebatan mengenai isu

keamanan energi baru muncul pada tahun 1970-an, dengan adanya pemotongan pasokan

minyak oleh OPEC di mana harga minyak meningkat tajam dan memicu krisis

ekonomi, serta mengekspos kerentanan dari sistem energi yang ada (Dyer dan

Trombetta, 2013).

Upaya menjadikan isu energi menjadi keamanan dapat dilihat dalam sejumlah

laporan kebijakan di Inggris, seperti Wicks Report (2009), National Security Strategy

(2010), Energy Security Strategy of the Department of Energy dan Climate Change (2012), yang mengangkat isu gangguan pasokan minyak dan gas sebagai ‘risiko prioritas’ bagi pemerintah, meletakan gangguan pasokan hidrokarbon ini setara dengan

terorisme, serangan siber, dan kejahatan terorganisasi. Di Amerika Serikat, hal ini

ditunjukan dengan adanya Energy Independence and Security Act tahun 2007 yang

ditandatangani oleh Presiden Bush. Standar bahan bakar dan efisiensi energi suatu

bangunan digambarkan sebagai isu keamanan nasional di tengah ketergantungan

minyak dan gas Amerika Serikat yang terus meningkat (Bridge, 2015).

Kekhawatiran serupa juga terlihat di luar OECD, di Tiongkok misalnya,

kekhawatiran mengenai pasokan energi juga muncul seiring meningkatnya permintaan

energi dan ketergantungan impor minyak dan gas yang menjadikan keamanan energi

menjadi salah satu tujuan utama kebijakan nasionalnya. Hal ini terefleksikan dengan

pendirian National Energy Administration tahun 2008 (Bridge, 2015). Contoh lainnya

juga dapat ditemukan di India, di mana keamanan energi diidentifikasikan sebagai

masalah keamanan nasional yang disetarakan dengan terorisme dan perang siber (Singh,

2010).

Pada perkembangannya, perdebatan mengenai keamanan energi seringkali

melibatkan banyak aktor dari berbagai latar belakang, dari mulai geografer, insinyur,

politisi, ahli keamanan, ahli lingkungan dan sebagainya (Ciută, 2010). Keamanan energi

(3)

Akibatnya, akan terdapat berbagai perspektif dan logika berbeda mengenai keamanan

energi. Tidak mengherankan, keamanan energi dipahami sebagai sesuatu yang berbeda

di konteks yang berbeda (Dyer dan Trombetta, 2013).

Akan tetapi, berbeda dengan isu-isu lain yang dikaitkan dengan keamanan,

seperti isu lingkungan atau HIV/AIDS, konsep keamanan energi jarang dibahas secara

konseptual sebagai isu keamanan (Ciută, 2010). Isu energi sebagai isu keamanan

cenderung dianggap sebagai sesuatu yang wajar karena posisinya sebagai sumber daya

strategis dan bagian dari wacana tentang keamanan nasional (Mulligan, 2010).

Pembahasan secara teoretis mengenai apa yang dimaksud dengan keamanan energi itu

sendiri relatif jarang diperbincangkan. Padahal hal ini penting untuk dibahas karena

memasukan isu energi ke dalam keamanan akan mempengaruhi bagaimana kebijakan

energi akan dilaksanakan dan berpotensi untuk mempengaruhi secara substansial cara

berpikir dari aktor dan akademisi mengenai keamanan secara umum.

Oleh karena itu, pemetaan definisi konsep keamanan energi akan menjadi

penting mengingat maraknya upaya sekuritisasi isu energi, banyaknya perspektif dan

definisi berbeda mengenai energi dan jarangnya isu energi ini diperdebatkan sebagai isu

keamanan. (Buzan, Wæver, dan De Wilde, 1998; Klare, 2002). Berdasarkan latar belakang

tersebut, tulisan ini akan melakukan tinjauan pustaka terhadap 30 literatur dari tahun

1979 sampai 2017 dan memetakan definisi keamanan energi dalam literatur-literatur

tersebut. Melalui tinjauan pustaka tersebut, tulisan ini diharapkan dapat menunjukkan

evolusi atau perkembangan definisi keamanan energi dari waktu ke waktu, serta

implikasinya terhadap makna keamanan itu sendiri.

Metode Tinjauan Pustaka

Literatur dalam tinjauan pustaka ini akan dikelompokkan dengan menggunakan

metode kronologi ke dalam tiga periode berbeda, yaitu periode 1970-1990, periode

2000-an dan periode 2010-an. Pemilihan metode pengorganisasian literatur berdasarkan

kronologi ini dilakukan karena isu keamanan energi adalah isu yang kontekstual (Dyer

dan Trombetta, 2013). Selain itu, metode kronologi juga dipilih untuk menunjukkan

perkembangan tema-tema yang muncul mengenai keamanan energi dari masa ke masa

di berbagai konteks historis yang berbeda pula.

Pemilihan periode ini didasarkan pada lini masa peristiwa penting dalam wacana

keamanan energi. Pada periode 1970-1990 terjadi peristiwa penting yang menandai

(4)

minyak 1979. Perdebatan ini utamanya berkaitan dengan ketersediaan dan harga dari

energi.

Literatur mengenai keamanan energi sempat memudar di tahun 1990-an. Akan

tetapi, pada periode 2000-an, terjadi sejumlah peristiwa yang menandai kembali

meningkatnya literatur mengenai keamanan energi. Pertama, runtuhnya Uni Soviet

tahun 1990, membuat negara-negara di kawasan Kaspia yang sebelumnya berada di

bawah pengaruh Soviet dapat secara independen membuat kebijakan energinya. Kedua,

terdapat dinamika geopolitik baru di mana kekuatan-kekuatan ekonomi baru di Asia,

seperti Tiongkok, mulai bertransisi menjadi konsumen dan importer energi yang

mendorong mereka untuk menjadi kompetitor baru untuk memperoleh akses pada

sumber daya energi. Ketiga, terjadi peristiwa 9/11 dan sejumlah instabilitas di Timur

Tengah di mana terjadi peningkatan serangan teroris terhadap infrastruktur energi. Hal

ini kemudian memunculkan tema baru di samping ketersediaan dan harga, yaitu

infrastruktur dan dampak sosial.

Periode ketiga yang akan dibahas pada tulisan ini adalah periode pasca 2010.

Pemilihan periode ini didasarkan kepada beberapa peristiwa penting. Pertama, pada

periode ini terjadi fluktuasi harga energi yang cukup signifikan. Setelah sebelumnya

terjadi krisis finansial global dan kenaikan harga energi yang mencapai titik tertingginya

di tahun 2008, peristiwa ini kemudian diikuti dengan menurunnya harga minyak akibat

peningkatan pasokan karena adanya fenomena shale revolution. Kedua, pada periode ini

juga terdapat kekhawatiran mengenai perubahan iklim di mana sektor energi dilihat

sebagai salah satu penyumbang emisi terbesar. Beberapa peristiwa penting terkait isu

ini, yaitu Copenhagen Summit tahun 2009, bencana Oil Spill di Teluk Meksiko tahun

2010, dan sebagainya. Selain itu, harga minyak yang mencapai titik tertingginya di

tahun 2008 ditambah adanya kekhawatiran mengenai peak oil semakin mendorong

pengembangan sumber energi alternatif yang lebih ramah lingkungan. Akibatnya

periode pasca 2010 menandai semakin meluasnya tema yang muncul dalam definisi

keamanan energi, seperti lingkungan, efisiensi, kuantifikasi, tata kelola, kebijakan

publik, dan sebagainya. Berikut adalah pengelompokan literatur berdasarkan metode

(5)

Tabel 1. Pemetaan Literatur Berdasarkan Kronologi

Sumber: hasil olahan penulis.

Hasil Tinjauan Pustaka

Dari hasil tinjauan pustaka, terdapat berbagai tema yang muncul dalam literatur

keamanan energi. Tema-tema yang muncul antara lain, ketersediaan, harga,

infrastruktur, lingkungan, kuantifikasi keamanan energi, kebijakan publik, efisiensi, dan

tata kelola. Kemunculan tema-tema ini sangat dipengaruhi oleh konteks historisnya

karena terdapat tema-tema tertentu yang lebih dominan pada suatu periode waktu

dibandingkan dengan periode lainnya.

Pada tahun 1970-1990, tema yang dominan adalah mengenai ketersediaan dan

harga. Aspek ini mencakup pengadaan pasokan yang cukup dan tidak terinterupsi dalam

cara yang tidak mengancam nilai dan tujuan nasional (Deese, 1979). Fokus keamanan

energi masih kepada interupsi, disrupsi, dan manipulasi suplai yang dapat menyebabkan

adanya peningkatan tajam dalam harga dan mengakibatkan pada biaya ekonomi dan

politik yang tinggi. Harga yang terjangkau artinya harga energi tersebut tidak

menyebabkan ganggguan terhadap aktivitas sosial dan ekonomi (Yergin, 1988). Hal ini

mengingat pada periode ini telah terjadi dua kali krisis minyak, yaitu pada tahun 1973

(yang disebabkan oleh Embargo Minyak Arab) dan pada tahun 1979 (yang disebabkan

oleh pergantian rezim di Iran. Krisis ini mengganggu pasokan energi dunia dan

mengakibatkan lonjakan harga minyak yang tinggi.

Pada tahun 1980-1990-an terjadi penurunan ketertarikan mengenai keamanan

energi. Bahkan muncul sejumlah literatur yang kemudian mempertanyakan dan bahkan

(6)

(Wionczek, 1983). Hal ini dilatarbelakangi oleh karena pada periode ini pasokan energi

tersedia secara melimpah. Meskipun demikian, pun ketika terjadi oil glut (terdapat

pasokan minyak yang berlimpah), masih terdapat sejumlah kekhawatiran akan masalah

ketersediaan pasokan minyak dan energi dilihat sebagai back-door threat bagi AS dan

sekutu-sekutunya, khususnya Eropa (Nye, 1982). Perbedaannya adalah fokus utama

pada periode ini adalah bagaimana cara menciptakan security margin untuk mencegah

terulangnya kembali pengalaman di tahun 1970-an.

Pada tahun 2000-an, tema ketersediaan dan harga masih ada, tetapi hal ini lebih

dilatarbelakangi oleh meningkatnya kompetisi geopolitik dengan munculnya berbagai

sumber energi baru di kawasan bekas Uni Soviet dan munculnya negara-negara Asia

sebagai kompetitor baru (Bielecki, 2002; Klare, 2002; Downs, 2004; Pant, 2007; Choi,

2009). Selain itu, mulai muncul tema baru yang berfokus pada infrastruktur. Keamanan

energi tidak lagi hanya soal ketersediaan pasokan dan harga, tetapi juga mencakup

seluruh supply-chain industri energi, mulai dari pipa minyak/gas, pengilangan,

transportasi, dan sebagainya (Yergin, 2006). Hal ini dipengaruhi oleh konteks sejarah

saat itu, di mana mulai banyak terjadi serangan teror ke berbagai infrastruktur energi

(Luft dan Korin, 2004; Kokner, 2009). Selain itu, juga terdapat banyak bencana alam

yang merusak infrastruktur energi (Yergin, 2006).

Pada periode ini juga mulai muncul fokus pada dampak sosial. Di satu sisi,

keamanan energi dianggap harus menjamin tersedianya akses energi bagi seluruh

lapisan masyarakat (Lesbirel, 2004; Prasetyono, 2008). Di sisi lain, usaha memenuhi

keamanan energi melalui proyek-proyek energi besar justru berdampak negatif pada

masyarakat di sekitar proyek tersebut (Simpson, 2007). Tema mengenai dampak sosial

dipengaruhi oleh adanya proyek-proyek energi besar yang kemudian berdampak pada

masyarakat lokal di sekitar proyek tersebut, misalnya proyek pipa gas dan mega-dam di

Thailand, Myanmar dan Laos, yang banyak berdampak pada masyarakat lokal, terutama

etnis minoritas di sekitar proyek tersebut

Pada tahun 2010-an, semakin banyak tema-tema baru yang muncul dalam

literatur keamanan energi. Salah satu tema yang sering muncul adalah keterkaitan antara

isu energi dan lingkungan. Di satu sisi, keamanan energi dianggap harus memasukan

unsur keberlanjutan dan harus ramah lingkungan (Bradshaw, 2010; Vivoda,2010;

Sovacool dan Brown, 2010; Narula et al., 2017; Chung et al., 2017; serta Radovanovic

et al. 2017;). Di sisi lain, banyak pula yang menyoroti aspek lingkungan sebagai

(7)

literatur yang menganjurkan ditinjaunya kembali hubungan manusia dengan alam

terkait isu energi (Mulligan, 2010; Mayer dan Schouten, 2012). Tema lingkungan ini

muncul seiring dengan munculnya kekhawatiran atas perubahan iklim. Sektor energi di

sini merupakan salah satu sektor penyumbang emisi gas rumah kaca yang besar. Pada

periode ini juga terdapat sejumlah peristiwa penting terkait lingkungan, seperti

Copenhagen Summit tahun 2009, bencana Oil Spill di teluk Meksiko tahun 2010, dan

sebagainya. Selain itu, harga minyak juga sedang mencapai titik tertingginya di tahun

2008 sehingga mendorong pengembangan sumber energi alternatif yang lebih ramah

lingkungan.

Selain itu, terdapat pula tema mengenai dampak sosial. Keamanan energi

dianggap bukan hanya untuk negara, tetapi bagi setiap individu. Keamanan energi

dengan demikian harus mempertimbangkan bagaimana menyediakan akses energi yang

cukup di setiap lapisan masyarakat untuk menjamin kesejahteraan mereka (Vivoda

2010; Mulligan, 2010; Kuik et al., 2011; dan Chung et al., 2017). Perbedaan dengan

periode sebelumnya adalah, pada periode ini, banyak literatur yang menginkorporasikan

konsep human security dalam definisi konsep keamanan energi. Vivoda (2010),

misalnya, menekankan pentingnya memasukkan konsep human security mengingat

banyaknya gerakan-gerakan lokal atau not in my backyard (NIMBY), di mana

masyarakat lokal melakukan protes pada proyek-proyek pembangunan infrastruktur

energi yang dianggap merusak lingkungan mereka dan sumber mata pencaharian

mereka. Oleh karena itu, terdapat risiko sosial dan budaya yang juga harus

diperhitungkan dalam komponen keamanan energi

Selain itu, terdapat juga literatur yang turut memasukan aspek efisiensi dalam

pendefinisian konsep keamanan energi mereka, antara lain Sovacool dan Brown (2010),

Vivoda (2010), Ozturk (2013), dan Chung et al. (2017). Aspek ini terkait erat dengan

meminimalkan penggunaan sumber daya untuk mencapai hasil yang diinginkan. Hal ini

juga terkait dengan pengembangan teknologi dan upaya konservasi energi, serta pola

konsumsi energi untuk meminimalkan biaya dan menghasilkan output yang maksimal.

Aspek ini menjadi penting dalam keamanan energi karena dapat mengurangi

ketergantungan atas impor energi dan eksternalitas negatif dari upaya memenuhi

keamanan energi. Selain itu, meningkatkan efisiensi juga dapat berdampak positif bagi

lingkungan, meningkatkan daya saing, dan mendorong pembangunan ekonomi (Ozturk,

(8)

Pada periode ini juga mulai muncul perhatian terhadap keamanan energi dari sisi

permintaan (security of demand). Literatur-literatur yang mulai menyoroti masalah ini,

antara lain adalah Vivoda (2010) dan Fermann (2014). Mereka melihat bahwa ancaman

terhadap keamanan energi dapat muncul dari permintaan yang tiba-tiba meningkat

tajam, kelebihan suplai (excess supply), atau permintaan yang rendah akibat resesi

(Vivoda, 2010). Perspektif keamanan energi sebagai keamanan permintaan umumnya

muncul di negara pengekspor energi, seperti Arab Saudi, Norwegia, Nigeria, dan

Venezuela, yang bergantung pada permintaan akan energi yang tidak terinterupsi

dengan harga yang cukup tinggi (Ferman, 2014).

Selanjutnya, terdapat juga tema mengenai tata kelola dan kebijakan publik.

Energi dilihat sebagai komoditas dan isu keamanan energi muncul sebagai akibat dari

kegagalan pasar dalam menyediakan komoditas tersebut. Oleh karena itu, diperlukan

intervensi kebijakan publik dalam pengelolaan energi. Akan tetapi, terdapat perbedaan

perbedaan pendapat mengenai apa yang berpotensi menjadi penyebab kegagalan pasar

tersebut. Goldthau (2010) misalnya melihat bahwa kegagalan pasar dapat terjadi karena

kompetisi pasar yang tidak sempurna akibat konsentrasi kekuatan pasar di aktor tertentu

dalam bentuk monopoli/kartel; spillover eksternalitas; adanya ciri barang publik yang

menimbulkan masalah free-riding; dan karena informasi yang tidak sempurna. Di sisi

lain, Karlsson-Vinkhuyzen (2010), Florini dan Sovacool (2011), dan Kuik et al. (2011)

melihat bahwa yang menjadi masalah utama adalah kurangnya tata kelola global yang

efektif. Mereka menyoroti minimnya tata kelola normatif dan institusional dalam sektor

energ dan kalaupun ada, aturan-aturan yang ada soal isu energi cenderung tidak

koheren.

Terakhir, tema lainnya yang juga menjadi tren adalah adanya upaya kuantifikasi

keamanan energi. Dalam kajian literatur ini, setidaknya enam literatur yang membangun

indeks pengukurannya sendiri, yaitu Sovacool dan Brown (2010); dan Vivoda (2010);

Bridge (2015); Narula et al. (2017); Radovanovic, Filipović, dan Pavlović (2017); dan

Chung et al. (2017). Keenam literatur tersebut memiliki indikator yang berbeda-beda,

tetapi pada umumnya mencakup ketersediaan, aksesibilitas, keberlanjutan, dan efisiensi.

Beberapa literatur, seperti Vivoda (2010), Radovanovic, dan Chung et al. (2017) juga

memberikan penekanan pada dimensi sosial dan stabilitas politik. Kuantifikasi ini

dimaksudkan untuk memudahkan pengukuran keamanan energi dan tercipta konsep

keamanan energi yang berlaku umum sehingga memudahkan proses pengambilan

(9)

Dari pemetaan literatur tersebut, terdapat setidaknya beberapa sintesis yang

dapat diambil. Pertama, terdapat tema yang selalu muncul di setiap periode, yaitu

ketersediaan dan harga. Sebagian besar literatur keamanan energi yang ada

mendefinisikan keamanan energi sebagai ketersediaan energi yang cukup dengan harga

yang terjangkau. Meskipun demikian, kekhawatiran mengenai ketersediaan dan harga

ini terjadi dalam konteks yang berbeda. Pada periode 1970-1990-an kekhawatiran

mengenai ini muncul akibat krisis minyak pada tahun 1973 dan 1979. Pada periode

2000-2010, kekhawatiran ini muncul seiring dengan kembali meningkatnya harga

minyak dan kompetisi geopolitik yang terjadi untuk memperoleh pasokan energi dari

negara-negara tersebut. Sedangkan, pada periode pasca-2010, kenaikan harga minyak di

periode ini lebih disebabkan oleh mekanisme pasar di mana terdapat peningkatan

permintaan dari negara-negara berkembang, seperti Tiongkok dan India.

Kedua, terjadi proliferasi tema dalam definisi konsep keamanan energi. Konsep

keamanan energi yang awalnya didefinisikan secara sederhana sebagai ketersediaan

energi yang cukup dengan harga yang terjangkau pada perkembangannya meluas hingga

mencakup berbagai tema lainnya. Tema-tema tersebut antara lain, perlindungan

terhadap infrastruktur, isu sosial, lingkungan, efisiensi, permintaan, tata

kelola/kebijakan publik, dan kuantifikasi. Pemetaan proliferasi tersebut dapat dilihat

dengan lebih jelas dalam tabel di bawah ini.

Ketiga, terkait proliferasi tema keamanan energi tersebut, muncul perdebatan

mengenai apakah seharusnya konsep keamanan pada umumnya, dan keamanan energi

pada khususnya, harus mengalami perluasan. Di satu sisi, perluasan makna keamanan

energi ini dianggap tidak perlu. Jika hal ini terjadi dan keamanan energi menjadi

mencakup semua hal, terdapat risiko bahwa konsep keamanan itu sendiri akan

kehilangan maknanya. Di sisi lain, perluasan ini dianggap perlu karena konsep

keamanan energi yang ada masih sangat terbatas dan harus diperluas untuk

(10)
(11)

PEMBAHASAN

Berdasarkan pemetaan literatur di bagian sebelumnya, terlihat bahwa terdapat

proliferasi tema dalam definisi konsep keamanan energi. Namun, tidak hanya sekedar

perluasan tema, terjadi pula semacam pergeseran dalam konteks yang melatarbelakangi

munculnya tema-tema tersebut.

Bila diperhatikan, sejak awal kemunculannya, sebagai suatu konsep dalam

literatur akademik, keamanan energi sudah kental dengan nuansa ekonomi politik. Akan

tetapi, pada periode awal kemunculannya (periode 1970-1990, serta awal periode

2000-2010), masih terdapat dimensi strategis/keamanan di dalamnya. Pada periode

1970-1990, tema ketersediaan dan harga yang muncul dilatarbelakangi oleh krisis minyak I

dan II. Sebelumnya, energi dilihat sebagai salah satu komoditas militer yang vital dalam

peperangan. Namun, krisis minyak pertama pada tahun 1973 diakibatkan oleh embargo

yang dilaksanakan oleh anggota-anggota OPEC. Peristiwa ini membawa keamanan

energi ke tingkat yang benar-benar baru. Embargo minyak yang dilakukan oleh negara

anggota OPEC menunjukkan bahwa energi bukan lagi hanya tentang komoditas militer

esensial, tetapi juga vital bagi keamanan ekonomi global. Kemudian, revolusi Iran pada

tahun 1979 menyebabkan dunia mengalami oil shock/krisis minyak untuk yang kedua

kalinya. Hal ini kemudian mendorong beberapa negara untuk mengambil langkah yang

tidak hanya bersifat defensif, tetapi juga melibatkan penggunaan kekuatan militer untuk

melindungi pasokan minyak. Sebagai contoh, pasca krisis minyak II, Presiden Carter

mendeklarasikan bahwa segala upaya yang dapat menghambat aliran pasokan minyak di

Kawasan Teluk akan digagalkan melalui cara apapun, termasuk kekuatan militer.

Dengan kata lain, pada periode ini, terdapat dimensi strategis dalam konsep keamanan

energi berupa komoditas vital yang dapat digunakan untuk melukai negara lain (Klare,

2002).

Pada periode 2000-2010, tema ketersediaan dan harga, serta infrastruktur juga

masih memiliki dimensi strategis di dalamnya. Akan tetapi, pada periode ini juga sudah

mulai terlihat bahwa terjadi transisi dari fokus keamanan energi di mana banyak

literatur yang mulai menyinggung isu-isu non-tradisional. Masih terdapat tema-tema

keamanan tradisional, seperti adanya kompetisi untuk memperoleh akses terhadap

sumber daya di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Tengah yang dilakukan oleh

kekuatan-kekuatan ekonomi baru di Asia, seperti Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan (Klare,

(12)

Di sisi lain, pada periode ini juga sudah mulai ada transisi di mana banyak

literatur yang berfokus pada aspek non-tradisional dari keamanan energi. Pertama,

periode ini dilatari oleh meningkatnya serangan teroris terhadap berbagai infrastruktur

energi (Luft dan Korin, 2002; Koknar, 2009). Hal ini terjadi seiring dengan terjadinya

peristiwa 9/11 dan kampanye global melawan terorisme yang digalang oleh Amerika

Serikat. Aspek non-tradisional lainnya yang juga mulai muncul dalam periode ini

adalah dimensi sosial. Keamanan energi kini juga mencakup bagaimana menjamin

ketersediaan energi bagi seluruh elemen masyarakat (Lesbirel, 2004). Selain itu, juga

muncul wacana-wacana untuk turut mempertimbangkan eksternalitas yang ditimbulkan

dari upaya memenuhi keamanan energi pada masyarakat. Hal ini dilatarbelakangi oleh

adanya pembangunan-pembangunan infrastruktur energi skala besar yang kemudian

justru memiliki dampak negatif pada masyarakat sekitar (Simpson, 2007).

Pada perkembangannya, terutama pada periode pasca 2010, tema-tema yang

muncul dalam literatur keamanan energi semakin jauh dari nuansa keamanan tradisional

dan lebih condong kepada aspek lingkungan, ekonomi dan politik, dan sosial. Di

periode ini terjadi pergeseran dari pemaknaan keamanan energi sebagai bagian dari

keamanan tradisional menjadi bagian dari ‘keamanan insani’ yang lebih fleksibel.

Pemahaman yang lebih luas ini kemudian memungkinkan adanya sekuritisasi atas

berbagai isu lingkungan, seperti perubahan iklim dan biodiversitas (Bridge, 2015).

Contoh lainnya, bila sebelumnya kenaikan harga diakibatkan oleh sebuah langkah

politik, kenaikan harga pada periode ini terjadi akibat mekanisme pasar dengan jumlah

pasokan minyak yang relatif stabil, tetapi jumlah permintaan yang meningkat. Literatur

yang muncul pun banyak mengenai efisiensi, tata kelola dan kebijakan publik. Dalam

perspektif ini, energi dilihat sebagai suatu komoditas dan ancaman terhadap keamanan

energi dalam hal ini adalah faktor-faktor yang dapat menyebabkan kegagalan pasar

dalam menyediakan komoditas tersebut (Goldthau, 2012).

Uraian di atas pada dasarnya secara singkat menunjukkan bahwa telah terjadi

pergeseran dalam pemaknaan konsep keamanan energi selama periode 1970-1990,

2000-2010, sampai pasca 2010, terlihat. Ia dipahami sebagai konsep yang lebih luas

yang bahkan tidak hanya mencakup komponen-komponen ekonomi politik, tetapi juga

keamanan insani. Hal ini penting karena multiplikasi objek keamanan dapat

menyebabkan pergeseran makna keamanan itu sendiri.

Jika ditinjau dari perspektif kajian ilmu hubungan internasional, uraian

(13)

penekanan yang lebih kuat pada aspek ekonomi politik dalam isu keamanan energi.

Gambar 3.1 menunjukkan pemetaan penulis-penulis literatur keamanan energi yang

digunakan dalam tulisan ini. Hal ini menjadi penting karena ia mempengaruhi cara

pandang para penulis tersebut dalam melihat energi dan kemudian pada pendefinisian

konsep keamanan energi itu sendiri.

Dari pemetaan tersebut, terlihat bahwa mayoritas literatur menggunakan

paradigma liberalisme yang cenderung dekat dengan perspektif ekonomi. Perspektif ini

mengidentifikasikan isu utama dalam keamanan energi sebagai upaya menghindari

kerugian ekonomi, seperti kerugian dari hilangnya peluang produksi atau konsumsi.

Berdasarkan perspektif ini, ketidakamanan energi adalah hilangnya kesejahteraan

sebagai akibat dari fluktuasi harga atau ketersediaan energi. Pertanyaan dalam

perspektif ini adalah seberapa jauh tingkat keamanan energi yang diperlukan dan

jawaban atas pertanyaan tersebut bergantung pada keseimbangan biaya dan keuntungan

dari meningkatkan keamanan energi. Hal ini kemudian berpengaruh kepada bagaimana

penulis memandang keamanan energi. Mayoritas literatur tersebut cenderung

memandang energi sebagai komoditas pasar dan bukan sumber daya strategis.

Literatur-literatur yang berasal dari studi lain pun juga sebagaian besar berasal dari bidang studi

ekonomi sehingga tidak mengherankan bahwa perspektif ekonomi cenderung lebih

dominan dalam literatur keamanan energi.

Gambar 1. Pemetaan Paradigma Penulis Literatur Keamanan Energi Sumber: hasil olahan penulis.

Realisme

Liberalisme

Marxisme

Studi Keamanan Kritis

(14)

Melihat pergeseran tersebut, penulis berargumen bahwa isu energi dapat

dimasukan dalam isu keamanan selama ia mengandung aspek yang mengancam

eksistensi suatu aktor. Menurut Buzan, Waever, dan De Wilde (1998), keamanan adalah

tentang keberlangsungan (survival) ketika suatu isu dianggap mengancam eksistensi

suatu referent object (“survival in the face of existential threat”). Secara historis, energi,

khususnya minyak, menjadi penting untuk survival suatu negara karena ia adalah

komoditas militer esensial. Hal ini secara khusus terjadi sejak digunakannya kepal

perang dengan bahan bakar minyak pada 1912 oleh Inggris dibawah kepemimpinan

Winston Churchill.

Transisi dari penggunaan batu bara ke minyak bumi, memberikan Inggris

keunggulan dalam hal kecepatan dan ketahanan. Sejak saat itu, minyak dilihat sebagai

suatu hal yang esensial untuk kemenangan suatu negara dalam perang. Persepsi ini terus

mempengaruhi pemikiran-pemikiran strategis sampai pada Perang Dunia ke II. Bahkan

upaya untuk memperoleh kendali dan akses terhadap energi ini kemudian juga

mendorong Jepang untuk terlibat dalam perang Pasifik (Klare, 2002). Dalam konteks ini

terlihat bahwa referent object dari keamanan energi adalah negara dan sampai satu titik

tertentu, kedaulatan suatu negara. Energi dalam konteks ini dapat dibingkai sebagai isu

keamanan karena ia berpengaruh bagi keberlangsungan suatu negara.

Akan tetapi, seperti yang telah disinggung sebelumnya, krisis minyak tahun

1973 dan 1979 yang menyebabkan resesi ekonomi berkepanjangan di tingkat global,

membawa konsep keamanan energi ke level yang baru di mana ia bukan lagi hanya

sekedar soal keberlangsungan semata, tetapi juga keamanan perekonomian global

(Klare, 2002). Pasca peristiwa tersebut, apa yang digambarkan sebagai referent object

dalam keamanan energi pun berkembang menjadi lebih beragam dari mulai negara,

kondisi perekonomian, lingkungan, individu, masyarakat asli, dan sebagainya. Akan

tetapi yang paling dominan adalah kondisi perekonomian suatu negara. Energi sering

digambarkan sebagai sumber daya penting untuk menjaga berfungsinya masyarakat

industri modern. Akan tetapi, sebenarnya memburuknya kondisi perekonomian suatu

negara adalah sesuatu yang wajar dan bukan sesuatu yang tidak dapat diprediksi.

Lagipula, jarang sekali keberlangsungan suatu negara terancam atas isu di luar isu

keamanan tradisional, seperti perang. Kecuali keberlangsungan dari seluruh populasi

suatu negara terancam, memburuk atau membaiknya perekonomian negara tidak dapat

dilihat sebagai sesuatu yang existentially threatening (Buzan, Waever, dan De Wilde,

(15)

tetapi lebih melibatkan pertanyaan-pertanyaan moral dan etis mengenai keamanan

energi yang seperti apa yang dapat diterima, misalnya melalui diinkorporasikan isu

lingkungan dan dampak sosial. Salah satu contoh kasusnya adalah kebijakan energi

Inggris yang tidak hanya berusaha untuk mengamankan pasokan energi, tetapi

menjamin ketersediaan energi yang bersih dan murah untuk melawan perubahan iklim

(Bridge, 2015).

Membingkai isu energi sebagai isu keamanan menurut penulis berpotensi

menyebabkan isu energi mengalami politisasi. Politisasi sebagai sebuah proses

dikonseptualisasikan sebagai meletakan suatu subjek ke dalam ranah kontigensi dan

deliberasi, serta dapat membuat suatu posisi politik dapat berubah melalui kontestasi

(Kuzemko, 2014). Membingkai isu energi ini sebagai isu keamanan tidak selalu dapat

dilihat sebagai suatu hal positif. Hal ini karena upaya tersebut dapat dilihat sebagai

kegagalan untuk menghadapi isu energi sebagai isu yang ‘normal’.(Buzan, Waever, dan

De Wilde, 1998). Dampak berikutnya yang juga mungkin dapat timbul adalah, isu

energidijadikan sebagai legitimasi atas suatu kebijakan tertentu dari pemerintah. Hal ini

kemudian juga terkait dengan isu sejauh apa pemerintah dapat mengintervensi. Terdapat

banyak contoh yang dapat mengilustrasikan hal ini, mulai dari hubungan erat

pemerintahan Amerika Serikat dan kerajaan Arab Saudi sampai doktrin Carter yang

menjustifikasi keterlibatan militer Amerika Serikat di Teluk Persia dalam rangka

menjamin kestabilan pasokan minyak dari kawasan tersebut (Lombardi dan Gruenig,

2016).

Terakhir, tentunya terdapat potensi banalisasi makna keamanan itu sendiri. Salah

satu perkembangan dalam literatur keamanan energi adalah definisi konsep tersebut

menjadi dikaitkan dengan berbagai macam hal. Isu energi adalah isu di tingkat nasional,

internasional, dan bahkan di tingkat keluarga (Jones, 2007). Salah satu contohnya

adalah dalam definisi yang ditawarkan oleh Daniel Yergin. Ia mengungkapkan bahwa

keamanan energi harus diperluas hingga mencakup risiko-risiko yang mungkin muncul

pada seluruh rantai pasokan energi, mulai dari infrastruktur, terorisme, perang, bencana

alam, dan sebagainya. Secara konseptual definisi ini dapat mencakup kerentanan atas

semua hal (Yergin, 2006). Mengutip Ciută (2010), keamanan energi dapat berarti the

security of everything: sumber daya, pabrik produksi, jaringan transportasi, dan bahkan

pola konsumsi; everywhere: ladang minyak, pipa, pembangkit listrik, dan rumah

penduduk; against everything: berkurangnya sumber daya, pemanasan global,

(16)

sampai ke aspek-aspek paling kecil, banal, dan intim dalam kehidupan kita. Sebagai

contoh, suatu keluarga mungkin tidak merasakan dampak dari keamanan energi, tetapi

di sisi lain mereka juga dapat menghasilkan kerentanan energi melalui, misalnya, pola

konsumsi (Campbell, 2005).

Oleh karena itu, terkait hal ini, menurut penulis, penting untuk melakukan

desekuritisasi pada aspek-aspek di luar definisi keamanan sebagai “survival in the face

of existential threat.” Menurut Aggestam (2015), desekuritisasi dalam hal ini dapat

diartikan sebagai mengembalikan suatu isu yang tadinya dibingkai sebagai isu

keamanan yang eksepsional menjadi ke ranah politik normal. Terdapat banyak jalan

untuk mencapai desekuritisasi tersebut, salah satu caranya adalah dengan

mengembalikan isu tersebut kepada publik/teknokrat yang memang ahli di bidangnya

(Aggestam, 2015). Misalnya, untuk aspek efisiensi, hal ini tidak perlu dimasukkan ke

dalam studi keamanan, namun tetap menjadi ranah akademisi dan praktisi yang

memiliki keahlian di bidang efesiensi energi. Dengan demikian, berbagai pihak yang

berkepentingan dengan energi—tidak harus “keamanan energi”—dapat merumuskan,

memutuskan, melaksanakan, dan meninjau-ulang kebijakan yang terkait dengan energi

tersebut agar dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

SIMPULAN

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa konsep keamanan energi

mengalami evolusi seiring berjalannya waktu. penulis melihat bahwa terjadi pergeseran

dalam pemaknaan konsep keamanan energi selama periode 1970-1990, 2000-2010,

sampai pasca 2010 dari energi sebagai barang strategis sampai menjadi komoditas

pasar. Ia dipahami sebagai konsep yang lebih luas yang bahkan tidak hanya mencakup

komponen-komponen keamanan atau ekonomi politik, tetapi juga keamanan insani. Hal

ini penting karena multiplikasi objek keamanan dapat menyebabkan pergeseran makna

keamanan itu sendiri.

Terkait perluasan dan pergeseran tersebut, muncul perdebatan mengenai apakah

definisi keamanan energi perlu diperluas atau tidak. Menanggapi temuan-temuan

tersebut, penulis melihat bahwa terjadi pergeseran dalam pemaknaan konsep keamanan

energi selama periode 1970-1990, 2000-2010, sampai pasca 2010 dari energi sebagai

barang strategis sampai menjadi komoditas pasar. Ia dipahami sebagai konsep yang

(17)

ekonomi politik, tetapi juga keamanan insani. Hal ini penting karena multiplikasi objek

keamanan dapat menyebabkan pergeseran makna keamanan itu sendiri.

Terkait hal ini, penulis berargumen bahwa definisi keamanan energi harus tetap

dilekatkan dengan definisi keamanan sebagai, “survival in the face of existential

threat.” Hal ini karena perluasan definisi keamanan energi tersebut juga berpotensi menimbulkan politisasi keamanan energi. Hal ini juga berisiko dijadikan pemerintah

untuk melegitimasi kebijakan-kebijakan tertentu. Tidak hanya itu, perluasan definisi

keamanan energi juga memiliki risiko menjadikan konsep keamanan sebagai sesuatu

yang banal karena apabila keamanan energi harus diperluas hingga mencakup seluruh

aspek yang mengancam rantai pasokan energi, pada dasarnya hal ini dapat mencakup

kerentanan terhadap semua hal. Hal ini berpotensi membawa isu keamanan sampai ke

aspek-aspek paling kecil, banal, dan intim dalam kehidupan kita.

Perdebatan ini membawa kita kembali ke dalam perdebatan mengenai

broadening dan deepening security dalam studi keamanan internasional. Di satu sisi

terdapat banyak akademisi yang menyerukan diperlukannya perluasan keamanan dan

memasukkan isu-isu seperti isu lingkungan, kesehatan, serta berbagai isu keamanan

insani. Di sisi lain, terdapat akademisi seperti Stephen Walt cenderung memiliki

preferensi untuk membatasi studi keamanan sebagai studi mengenai peperangan.

Pendapat Walt ini banyak dikritik karena dianggap tidak mampu merefleksikan

kenyataan yang ada saat ini, terutama dengan adanya fenomena terorisme dan serangan

siber. Namun, dalam pandangan penulis, Walt mempunyai poin yang valid ketika

mengatakan bahwa menambahkan berbagai area lain dalam studi keamanan memiliki

risiko memperluas studi keamanan secara berlebihan, dengan logika ini, isu-isu seperti

resesi ekonomi atau kekerasan terhadap anak dapat menjadi ancaman terhadap

keamanan (Walt, 1991). Terinspirasi dari argumen Walt tersebut, Kurniawan (2014)

bahkan dengan tegas membatasi masalah keamanan adalah masalah kekerasan dan

ancaman, penggunaan, dan pengendalian kekuatan koersif oleh negara. Dengan alasan

yang relatif sama, Keliat (2011) menyatakan bahwa berbagai benturan kepentingan

dapat muncul dari berbagai sektor. Namun, selama benturan kepentingan tersebut tidak

menjelma menjadi konflik kekerasan, maka isu tersebut tidak perlu dikategorikan

sebagai obyek atau masalah keamanan.

Walt sendiri mengakui bahwa kekuatan militer bukan satu-satunya ancaman

(18)

akademisi dan pembuat kebijakan.” Akan tetapi, Walt percaya bahwa isu-isu tersebut harus mendapatkan perhatian terbesar dari bidang studi mereka masing-masing dan

bukan melalui pendefinisian ulang sub-bidang ilmu yang sudah ada. Menurutnya,

mendefinisikan studi keamanan seperti ini dapat mengganggu koherensi intelektual dan

membuat perumusan solusi untuk isu-isu tersebut menjadi lebih sulit (Walt, 1991).

Lebih lanjut lagi, Daniel Deudney (1990) dalam tulisannya juga menyatakan bahwa jika semua hal yang menyebabkan penurunan kesejahteraan diberi label sebagai ‘ancaman

keamanan,’ istilah tersebut akan kehilangan kegunaan analitisnya dengan menyamakan

ancaman keamanan sebagai semua hal yang membawa dampak buruk.

Pernyataan Walt dan Deudney tersebut pada dasarnya mengingatkan kembali

bahwa studi keamanan harus tetap memiliki fokus utama. Bila ditarik kembali ke isu

keamanan energi, memasukkan segala macam aspek ke dalam definisi konsep ini dapat

membuat konsep ini kehilangan fokusnya. Hal ini bukan berarti pendefinisian konsep

keamanan atau keamanan energi itu sendiri tidak dapat diperluas. Ancaman terhadap

eksistensi suatu aktor memang tidak harus bersifat militeristik. Oleh karena itu untuk

tetap dapat mengakomodasi perkembangan ancaman dan tetap menjaga fokus dalam

studi keamanan, pendefinisian konsep keamanan energi harus tetap dilekatkan pada,

survival in the face of existential threat.”

Refleksi Untuk Indonesia

Meskipun Indonesia termasuk ke dalam kategori negara net eksporter energi,

impor minyak dan produk olahan minyak bumi lainnya sedang mengalami peningkatan

dalam beberapa tahun terakhir (IEA, 2015a). Saat ini, Indonesia tengah

mereorientasikan produksi energinya dari yang awalnya berfokus untuk memenuhi

pasar ekspor menjadi memunuhi konsumsi domestik yang semakin meningkat tiap

tahunnya. (IEA, 2015b). Pendefinisian keamanan energi menjadi penting dalam

perumusan kebijakan energi seperti apa yang harus diambil oleh Indonesia. Dalam

merumuskan kebijakan tersebut, terdapat dua paradigma yang dapat diambil (Keliat,

2012). Pertama, pemerintah Indonesia dapat memberlakukan energi sebagai komoditas

pasar. Kedua, pemerintah Indonesia dapat memandang energi sebagai komoditas

strategis.

Berkaca dari kajian literatur ini, penulis tidak merekomendasikan paradigma

kedua karena dengan memandang energi sebagai komoditas strategis, karena hal ini

(19)

legitimasi bagi pemerintah untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tertentu. Intervensi

pemerintah, baik dalam produksi maupun penentuan harga energi, tidak selalu

merupakan hal yang baik. Hal ini diyakini dapat menghasilkan inefisiensi, korupsi, dan

pemborosan anggaran negara (Keliat, 2012). Sebaliknya, penulis lebih

merekomendasikan paradigma pertama. Dalam pendekatan pertama, energi dilihat

sebagai komoditas pasar. Dengan demikian, alih-alih dibingkai sebagai isu keamanan

dan mendapatkan banyak intervensi dari negara, isu energi dalam konteks ekonomi

tersebut dapat diselesaikan melalui mekanisme pasar dan dapat ditangani oleh

orang-orang yang memang ahli di bidangnya.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa pemerintah harus seutuhnya mengabaikan

paradigma energi sebagai komoditas strategis. Biar bagaimana pun kita tidak dapat

menafikan adanya pengaruh politik dan dinamika keamanan internasional pada isu

energi. Krisis minyak I (1973), misalnya, terjadi karena sebuah keputusan politik, yaitu

embargo yang dilakukan oleh negara-negara anggota OPEC. Oleh karena itu, kembali

lagi pada argumen penulis, pendefinisian keamanan energi harus dilekatkan kembali

pada definisi keamanan sebagai, “survival in the face of existential threat.” Aspek-aspek di luar definisi tersebut dapat dikembalikan kepada publik/teknokrat yang

memang ahli di bidangnya sehingga pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam isu

energi—tidak harus “keamanan energi”—dapat merumuskan, memutuskan,

melaksanakan, dan meninjau-ulang kebijakan yang terkait dengan isu energi tersebut

agar dapat mencapai sasaran yang diharapkan.

Rekomendasi

Kemudian, berdasarkan kajian literatur yang telah dilakukan, penulis

menemukan bahwa terdapat aspek-aspek yang perlu diperdalam lebih lanjut di

penelitian-penelitian berikutnya mengenai keamanan energi. Pertama, meskipun isu

energi adalah isu yang kerap dikaitkan dengan isu keamanan, dari literatur-literatur yang

dikumpulkan hanya sedikit literatur yang membahas keamanan energi secara konseptual

atau teoretis. Oleh karena itu, penelitian selanjutnya dapat mengkaji perluasan definisi

keamanan energi secara konseptual atau meninjau kembali hubungan antara isu energi

dan keamanan secara teoretis, serta implikasi dari dimasukkannya isu energi sebagai isu

keamanan.

Di tataran yang lebih empirik, penelitian selanjutnya dapat mengkaji tentang

(20)

komoditas strategis. Hal ini menjadi penting karena jika suatu negara memandang isu

energi sebagai isu strategis, negara tersebut akan cenderung memperjuangkan

ketersediaan energi karena ia menjadi penting untuk keberlangsungan negara tersebut.

Akan tetapi, jika memperlakukan energi sebagai komoditas pasar, negara tersebut akan

cenderung mengejar profit. Hal ini juga dapat ditarik ke perdebatan klasik mengenai

negara maju dan negara berkembang. Kepentingan dari negara-negara maju yang pada

umumnya adalah importir energi adalah bagaimana mendapatkan akses energi secara

mudah dan murah. Sementara bagai negara berkembang, khususnya negara produsen

atau eksportir energi, tindakan negara maju tersebut sering dilihat sebagai perampasan

sumber daya mereka. Bila ditarik kembali ke literatur, 24 dari 30 literatur yang

digunakan dalam tulisan ini ditulis oleh penulis dari negara-negara maju dan hanya 6

yang ditulis oleh penulis dari negara-negara berkembang. Oleh karena itu, penelitian

selanjutnya juga dapat membandingkan kebijakan energi dari negara maju dan

berkembang atau negara konsumen dan produsen serta bagaimana hal tersebut

mempengaruhi definisi mereka mengenai keamanan energi.

DAFTAR PUSTAKA

Aggestam, K. (2015). Desecuritisation of Water and the Technocratic Turn in Peacebuilding. International Environmental Agreement, 1-14.

Bielecki, J. (2002). Energy Security: Is The Wolf at The Door? The Quarterly Review of Economics and Finance, 42(2), 235-250.

Bradshaw, M. J. (2010). Global Energy Dilemmas: A Geographical Perspective. The Geographical Journal, 176(4), 275-290.

Bridge, G. (2015). Energy (in)security: world-making in an age of scarcity. The Geographical Journal, 176(4).

Buzan, B. (1991). People, States & Fear: An Agenda for International Security Studies In The Post-Cold War Era. London: Harvester Wheatshaf.

Buzan, B., Wæver, O., & De Wilde, J. (1998). Security: A New Framework For Analysis. Colorado: Lynne Rienner Publishers.

(21)

Cherp, A., & Jewell, J. (2012). The Three Perspectives on Energy Security: Intellectual History, Disciplinary Roots and the Potential for Integration. Current Opinion in Environmental Sustainability, 3(4), 202-212.

Choi, H. J. (2009). Fueling crisis or cooperation? The geopolitics of energy security in Northeast Asia. Asian Affairs: An American Review, 36(1), 3-28.

Chung, W.-S., Kim, S.-S., & Moon, K.-H. (2017). A Conceptual Framework for Energy Security Evaluation of Power Sources in South Korea. Energy.

Ciuta, F. (2010). Conceptual Notes on Energy Security: Total or Banal Security? Security Dialogue, 41(2).

Deese, D. A. (1979). Energy: Economics, Politics, and Security. International Security, 4(3), 140-153.

Deudney, D. (1990). The Case Against Linking Environmental Degradation and National Security. Millennium, 19(3), 461-476.

Downs, E. S. (2004). The Chinese Energy Security Debate. The China Quarterly, 21-41.

Dyer, H., & Trombetta, M. J. (2013). The Concept of Energy Security: Broadening, Deepening, Transforming. In International Handbook of Energy Security. Cheltenham: Edward Elgar Publishing.

Fermann, G. (2014). What is Strategic about Energy? De-simplifying Energy Security. In Political Economy of Renewable Energy and Energy Security. London: Palgrave Macmillan UK.

Florini, A., & Sovacool, B. K. (2011). Bridging the Gaps in Global Energy Governance. Global Governance: A Review of Multilateralism and International Organizations, 17(1), 57-74.

Goldthau, A. (2012). A Public Policy Perspective on Global Energy Security. International Studies Perspectives, 13, 65-84.

International Energy Agency. (2015). Indonesia – Association Country. Diakses Mei 20, 2017, dari International Energy Agency: https://www.iea.org/countries/non-membercountries/indonesia/

Jones, J. L. (2007). Energy as Security Imperative. 24th International Workshop on Global Security. Paris.

Karlsson-Vinkhuyzen, S. I. (2010). The United Nations and global energy governance: past challenges, future choices. Global Change, Peace & Security, 22(2), 175-195.

Kasim, Y. K. (2014). Securitization-Desecuritization Dynamics in the Democratizing

State: Indonesia’s Experience Since 1998. Ph.D Dissertation. Freiburg: Albert-Ludwigs-University of Freiburg.

(22)

Keliat, M. (2012, May 10). Keamanan Energi Indonesia. Kompas.

Klare, M. (2002). Resource Wars: the New Landscape of Global Conflict. New York: Henry Holt and Company.

Koknar, A. M. (2009). The Epidemic of Energy Terrorism. In G. Luft, & A. Korin, Energy Security Challenges for the 21st Century. Santa Barbara: Praeger Security International.

Kuik, O. J., Lima, M. B., & Gupta, J. (2011). Energy Security in the Developing World. iley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 627-635.

Kuzemko, C. (2014). Politicising UK Energy: What'speaking Energy Security'can Do. Policy & Politics, 42(2), 259-274.

Lesbirel, S. H. (2004). Diversification and Energy Security Risks: the Japanese Case. Japanese Journal of Political Science, 1-22.

Lombardi, P., & Gruenig, M. (2016). Low-carbon Energy Security from a European Perspective. London: Academic Press.

Luft, G., & Korin, A. (2004). Terrorism Goes to Sea. Foreign Affairs.

Makarenko, T. (2003). Terrorist Threat to Energy Infrastructure Increases. Jane’s Intelligence Review.

Mayer, M., & Schouten, P. (2012). Energy Security and Climate Security under Conditions of the Anthropocene. In L. Anceschi, & J. Symons, Energy Security in the Era of Climate Change: The Asia-Pacific Experience (pp. 13-35). London: Palgrave Macmillan.

Mulligan, S. (2013). Energy Dependency and Energy Security: the Role of Energy Efficiency and Renewable Energy Sources. The Pakistan Development Review, 309-330.

Narula, K. B., Reddy, S., Pachauri, S., & Dev, S. M. (2017). Sustainable Energy Security for India: An Assessment of the Energy Supply Sub-system. Energy Policy, 127-144.

Ozturk, I. (2013). Energy Dependency and Energy Security: the Role of Energy Efficiency and Renewable Energy Sources. The Pakistan Development Review, 309-330.

Pant, G. (2007). Energy Security in Asia: the Necessity of Interdependence. Strategic Analysis, 31(3), 523-542.

Prasetyono, E. (2008). Energy Security: an Indonesian Perspective. In A. Marquina, Energy Security: Visions From Europe and Asia (pp. 214-217). New York: Palgrave Macmillan UK.

(23)

Rosenberg, E. (2014). Energy Rush: Shale Production and US National Security.

Simpson, A. (2007). The Environment – Energy Security Nexus: Critical Analysis of an Energy 'Love Triangle' in Southeast Asia. Third World Quarterly, 28(3), 539-554.

Singh, M. (2010, October 22). PM’s Valedictory Address at the Seminar on the Occasion of Golden Jubilee of National Defence College. Retrieved March 8,

2017, from Prime Minister’s Office, Press Information Bureau, Government of

India: http://www.pib.nic.in/newsite/erelease.aspx?relid=66514

Sovacool, B. K., & Brown, M. A. (2010). Competing Dimensions of Energy Security: An International Perspective. Annual Review of Environment and Resources 35, 77-108.

Vlado, V. (2010). Evaluating Energy Security in the Asia-Pacific Region: A Novel Methodological Approach. Energy Policy, 38(9).

Walt, S. (1991). The Renaissance of Security Studies. International Studies Quarterly, 35(2), 211-239.

Gambar

Tabel 1. Pemetaan Literatur Berdasarkan Kronologi
Tabel 2. Perkembangan Tema Definisi Konsep Keamanan Energi
Gambar 1. Pemetaan Paradigma Penulis Literatur Keamanan Energi

Referensi

Dokumen terkait

Jika massa jenis air 1 gram/cc, massa jenis kubus tersebut adalah ..b. Sepotong kayu di dalam zat cair mendapat

dengan hasil penelitian Noviandi (2007) yang menyatakan bahwa umur perusahaan tidak berpengaruh terhadap ketepatan waktu pelaporan keuangan. Berdasarkan fenomena dan

PENERAPAN ANALISIS JALUR DALAM MENENTUKAN FAKTOR YANG MEMPENGARUHI TINGKAT.. KEMISKINAN DI PROVINSI

Satu diantara masyarakat yang memiliki kearifan lokal dalam hal penggunaan tumbuhan sebagai obat antara lain adalah Suku Osing yang berasal dari Kabupaten Banyuwangi Provinsi

Adapun ciri model pembelajaran Resource-Based Learning yaitu: 1) memanfaatkan segala sumber informasi sebagai sumber pelajaran, 2) memberi pengertian kepada siswa tentang

tentang Kurikulum Inti Pendidikan Tinggi menetapkan bahwa Pendidikan Agama, Pendidikan Pancasila, dan Pendidikan Kewarganegaraan merupakan kelompok Mata Kuliah

Menurut Ibn Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya

rerata jumlah daun tanaman sawi yang lebih besar dari perlakuan lain.. Apabila dilihat pada tabel 14 dapat disimpulkan bahwa perlakuan