• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Studi Karakteristik Abu Sekam Padi Dengan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Sebagai Bahan Dentinogenesis Pada Kavitas Profunda (In Vitro)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA - Studi Karakteristik Abu Sekam Padi Dengan Kitosan Molekul Tinggi Nanopartikel Sebagai Bahan Dentinogenesis Pada Kavitas Profunda (In Vitro)"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bidang kedokteran gigi, perawatan gigi karena kerusakan gigi menyebabkan terbukanya tubulus dentin terhadap mikroorganisme yang akan menyebabkan terjadinya infeksi pulpa dan jaringan periradikular. Untuk menjaga vitalitas jaringan pulpa dan mencegah perubahan patologis jaringan periradikular maka daerah tubulus dentin harus ditutup dengan bahan dentinogenesis untuk memperbaiki jaringan gigi ketika karies mendegradasi dentin sampai mendekati pulpa (Ferracane dkk., 2010).

Kemampuan bahan untuk masuk ke dalam tubulus dentin yang terbuka berkaitan dengan jumlah tubulus dentin, ukuran tubulus dentin, ukuran partikel bahan, dan pengaturan reaksi bahan. Diameter tubulus dentin 2,0-3,2 µm pada dinding pulpa. Diameter tubulus dentin terbesar banyak terdapat di daerah servikal dengan penurunan yang signifikan pada daerah akar. Ukuran partikel bahan untuk menembus tubulus dentin harus lebih kecil dari diameter tubulus dentin (Hargreaves dan Cohen, 2011)

(2)

komposit), engineering materials (materials science dan engineering), dan bahan baru dalam sudut pandang kesehatan yang berasal dari bahan yang bersifat alami. Kecendrungan masyarakat kembali memakai bahan alami dikenal sebagai new green wave, dimana gerakan ini berupaya menggunakan bahan alam sebagai obat-obatan. Sumber bahan baku obat hingga saat ini sebagian besar masih berasal dari alam, baik nabati maupun hewani (JAKSTRA 2000–2004).

Pemahaman mengenai interaksi antara bahan material gigi dengan jaringan gigi penting untuk diketahui, tidak hanya mengenai biokompatibilitas tetapi juga mengenai potensi dari bahan material gigi tersebut untuk merangsang respon jaringan gigi. Interaksi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu komposisi bahan, unsur kimiawi, konsentrasi, gambaran morfologi permukaan dentin dengan bahan, produk-produk degradasinya dan bagaimana respon jaringan terhadap bahan-bahan tersebut (Goldberg dan Smith, 2004).

Penelitian mengenai interaksi antara bahan material dengan jaringan gigi

terutama bertujuan untuk mengidentifikasi efek toksik dari bahan-bahan terhadap

sel-sel kemudian dilakukan penelitian lebih spesifik mengenai respon sel-selular spesifik.

Dan banyak peneliti memberikan perhatian untuk memahami bagaimana bahan

(3)

Proteksi pulpodentinal kompleks juga berguna untuk memulihkan vitalitas pulpa (Ferracane dkk., 2010). Banyak faktor yang diperhatikan pada saat meneliti bahan kedokteran gigi.

2.1 Faktor-faktor Interaksi Bahan Kedokteran Gigi dengan Pulpodentinal Kompleks

2.1.1 Struktur dan komposisi dentin

Dentin terdiri dari mineralhidroksiapatit, air, dan bahan organik. Sekitar 90% dari bahan organik adalah kolagen, dan hampir semua kolagen tipe I. Dan 10% sisanya adalah matriks ekstraseluler organik yang terdiri dari protein noncollagenous

dan proteoglycans. Dentin dibentuk selama perkembangan gigi sebagai respon terhadap banyak rangsangan, dijumpai pada gigi dalam beberapa bentuk yang ditandai oleh perbedaan dalam kandungan mineral dan struktur. Protein

noncollagenous dan faktor pertumbuhan diasingkan dalam struktur dentin selama proses pembentukan gigi. Zat-zat ini termasuk berbagai matriks protein terfosforilasi dan nonphosphorylated, proteoglikan, metaloproteinase, berbagai faktor pertumbuhan (Transforming Growth Factor–Beta 1 (TGF- β1), Fibroblast Growth Factor (FGF-2),

Insuline –like Growth Factor (IGF-I), IGF-II, Platelet-Derived Growth Factor

(PDGF), dan Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF, dan protein). Beberapa molekul tersebut ditemukan di dalam tulang, sedangkan yang lain lebih terdapat di dalam dentin, seperti sialoprotein dentin (DSP), sialophosphoprotein dentin (DSPP).

(4)

dalam mineralisasi dentin serta remineralisasi dentin. Kemampuan untuk mengekstrak molekul-molekul berpotensi bioaktif ini dari struktur dentin untuk memudahkan interaksi bahan dengan sel pulpa yang memiliki potensi secara alami dalam meningkatkan proses perbaikan pulpodentinal kompleks (Ferracane dkk., 2010).

2.1.2 Struktur dan komposisi pulpa

Selama pulpa dalam keadaan sehat ataupun terjadi inflamasi, pulpa mempunyai campuran sel yang kompleks, yaitu odontoblas, sel lir odontoblas, stem sel pulpa, fibroblas, sel sistem imun yaitu makrofag, limfosit, dll. Sel-sel imun ini meningkat pada saat proses inflamasi. Sistem saraf dan jaringan kapiler juga terdapat pada pulpa. Pulpa juga mengandung matriks kolagen ekstraselular tipe I, bronektin

III, V, dan VI, fibronektin, dan banyak glukosaminoglikan yang ditemukan sebagai

proteoglikan. Susunan molekul pada pulpa dan dentin berbeda signifikan, oleh karena

itu pulpa tidak mengalami mineralisasi (Goldberg dan Smith, 2004).

2.1.3 Potensi bahan kedokteran gigi terhadap pulpodentinal kompleks

Bahan yang diletakkan pada daerah pulpodentinal kompleks berpotensi

menghasilkan spektrum luas dari fisikokimia dan efek biologis (Gambar 2.1). Keberhasilan bahan kaping pulpa direk berkisar 44-97%, sedangkan keberhasilan

bahan kaping pulpa indirek umumnya jauh lebih tinggi (Murray dkk., 2002).

Beberapa efek mempunyai pengaruh yang berbeda, tergantung pada jaringan sehat

(5)

Telah lama diketahui bahwa dentin mempunyai aktivitas enzim proteolitik dan saat

ini diakui bahwa dentin mempunyai beberapa matriks metaloproteinase (MMP2,8,

-9,-13,-20). Aktivitas MMP pada permukaan bahan dengan dentin dapat menyebabkan

degradasi dari permukaan lapisan hibrida. Efek dari bahan toksik dapat mengganggu

fungsi sel dalam pulpodentinal kompleks dan akhirnya menyababkan kematian sel

(Silva dkk., 2009).

Gambar 2.1 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Murray, 2002)

2.1.4 Sisa ketebalan dentin pada daerah pulpodentinal kompleks

Kelangsungan hidup odontoblas sangat bergantung pada sisa ketebalan dentin. Menurut Dahl dan Ǿrstavik (2010) melaporkan bahwa sisa ketebalan dentin adalah 1 mm atau lebih akan melindungi jaringan pulpa dari efek sitotoksik zinc phosphate

(6)

dimana pada sisa ketebalan dentin 0,5 mm masih terdapat kelangsungan hidup odontoblas. Sisa ketebalan dentin dan sekresi dentin reaksioner saling berkaitan. Bagian terpenting dalam sekresi dentin reaksioner pada sisa ketebalan dentin antara 0,25 - 0,50 mm karena pada sisa ketebalan dentin 0,25 - 0,50 mm mempunyai molekul bioaktif untuk mendifusi sel odontoblas yang lebih banyak dibandingkan ketebalan di atas 0,5 mm. Dentin reaksioner tidak terjadi pada sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm, karena sisa ketebalan dentin di bawah 0,25 mm menyebabkan kehilangan sel odontoblas dalam jumlah banyak. Aktivitas sisa ketebalan dentin memainkan peran utama dalam menentukan tingkat cedera pulpa dan respon perbaikan dari bahan kaping pulpa (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray dkk., 2002).

(7)

2.2 Regenerasi Pulpodentinal Kompleks

2.2.1 Dentin reaksioner

Respon odontoblas terhadap cedera atau stimulus menghasilkan matriks

ekstraseluler. Dentin tersier berfungsi untuk memperbaiki kerusakan jaringan. Proses

dentin tersier berlangsung akibat reaksi odontoblas dan populasi sel yang ada,

sehingga cedera yang terjadi biasanya lebih ringan ketika dentin reaksioner terbentuk.

Beberapa literatur menunjukkan bahwa pulpa yang terpapar dapat menyebabkan

kematian odontoblas dan menghilangkan potensi dentinogenesis reaksioner. Efek

mekanis dari preparasi kavitas dan efek kimia dari bahan yang diaplikasikan pada

permukaan dentin yang terpapar mampu memulai pembentukan dentin reaksioner,

dengan demikian efek yang dihasilkan dari bahan penting untuk dipertimbangkan

(Gambar 2.2) (Ferracane dkk., 2010).

2.2.2 Dentin reparatif

Dentin reparatif dibentuk sebagai respon cedera yang berkelanjutan atau

rangsangan yang besar atau pun cedera yang mengakibatkan terjadinya pengendapan

dentin reaksioner. Mineral dentin akan terbentuk dalam proses ini, yang merupakan

tubular fibrodentin atau tubular dentin yang teratur, yang diproduksi oleh sel lir

odontoblas yang berasal dari daerah yang terkena cedera. Proses ini terjadi akibat sel

odontoblas yang asli telah mati akibat cedera. Faktor pertumbuhan seperti TGF – β

berhubungan dengan diferensiasi sel lir odontoblas (Gambar 2.3) (Dahl dan Orstavik.,

(8)

Gambar 2.2. Bahan Kedokteran Gigi Melepaskan Protein pada Gigi yang Mengalami Cedera. (A) Kedalaman Kavitas Superfisial, (B) Kavitas Sedang Sampai Dalam, (C) Pulpa yang Terpapar (Ferracane dkk., 2010)

Gambar 2.3. (A) Odontoblas Dirangsang untuk Menghasilkan Matriks Ekstraselular, yang Digunakan untuk Mineralisasi Dentin Reaksioner. (B) Sel-sel lain dirangsang untuk Berdiferensiasi menjadi Sel Lir Odontoblas yang kemudian Dirangsang untuk Menghasilkan Matriks Ekstraselular yang menyebabkan Mineralisasi Dentin Reparatif (Ferracane dkk., 2010)

2.3Mineral Trioxide Aggregate (MTA)

(9)

yang merupakan bahan yang digunakan dalam bidang bangunan yang harganya murah dan mudah diperoleh. Sejak diperkenalkan, MTA merupakan bahan kedokteran gigi yang terbukti telah menjadi salah satu bahan yang serbaguna dan biokompatibel pada saat ini.

Banyak peneliti yang mempelajari interaksi antara jaringan gigi dengan kalsium hidroksida dan interaksi jaringan gigi dengan bahan MTA. Hasil reaksi hidrasi dari MTA adalah kalsium hidroksida dimana terjadi pelepasan kalsium dan

ion hidroksil dan meningkatnya pH lingkungan diatas 7,0 (Dreger cit. Chang, 2012). Berdasarkan pernyataan Queireoz dkk (2006) menyatakan bahwa kalsium hidroksida lebih ekonomis dan banyak beredar dibanding MTA, tetapi hasil akhir yang diharapkan tidak sebaik dibandingkan menggunakan MTA. Kalsium hidroksida kurang mampu beradaptasi dengan dentin, tidak dapat merangsang difrensiasi odontoblas secara konsisten, sitotoksik pada sel, dan menyebabkan defect tunnel

(10)

MTA dapat mengeras dalam keadaan lembab, dan menyebabkan penyembuhan jaringan, kemampuannya dalam menginduksi sementogenesis, maka bahan ini dapat digunakan untuk memperbaiki perforasi baik di akar maupun daerah furkasi. Bahan ini juga dapat dipergunakan sebagai kaping pulpa, pulpotomi, bahan penutup ujung akar, apeksifikasi, memperbaiki perforasi daerah akar dan bifurkasi, serta sebagai bahan pengisi saluran akar (Gutmann dkk., 2006).

Walaupun banyak penelitian menunjukkan hasil yang sangat baik dari MTA, namun penggunaan bahan ini relatif masih jarang karena harganya yang relatif mahal, manipulasi yang sulit, dan waktu pengerasan yang panjang serta terdapatnya sedikit kandungan arsen pada MTA (Bramante dkk., 2008). Berdasarkan penelitian Bird dkk (2012) menyatakan bahwa tidak terjadi penetrasi MTA ke dalam tubulus dentin, diuji dengan menggunakan SEM (Gambar 2.4).

(11)

2.3.1 Kandungan MTA

MTA terdiri dari senyawa kompleks. Kandungan utama MTA adalah trikalsium silikat dan dikalsium silikat. Selain itu, MTA mengandung sedikit trikalsium aluminat dan tetrakalsium aluminoferrit. Untuk meningkatkan radiopak, bismut oksida ditambahkan dalam MTA. Trikalsium silikat dan dikalsium silikat dibuat dari kapur (CaO) dan silika (SiO2). Beberapa bahan baku lainnya seperti aluminium oksida (Al2O3) dan ferric oksida (Fe2O3) dipanaskan dalam klinker untuk membentuk empat fase yaitu trikalsium silikat, dikalsium silikat, trikalsium alumina dan tetrakalsium aluminoferrit. MTA Berdasarkan International Organization for Standardization (ISO 6876) (International Organization for Standardization, 1986) dan the American Dental Association (ADA) nomor 30 (ANSI/ADA.1991) (Rao dkk., 2009 dan Camilleri, 2010).

2.3.2. Kandungan logam berat pada MTA

(12)

CDHA dibentuk pada permukaan dentin dengan MTA dan tergantung pada pH, rasio Ca atau P, dan jenis cairan permukaan MTA dengan dentin yang terpapar (Chang, 2012). MTA yang terhidrasi larut dalam Fosfat Buffered Saline (PBS) menghasilkan lebih banyak mineral dibandingkan MTA larut dalam air suling (Han dan Okiji,

2010).

Kemampuan sealing ability MTA sangat baik, hal ini behubungan dengan morfologi permukaaan MTA dan dentin (Bird, 2012). Reyes-Carmona dkk., 2010 melaporkan bahwa lapisan permukaan MTA dengan dentin membentuk tag like structure sebagai hasil dari biomineralisasi. Bird dkk., 2012 juga melaporkan bahwa lapisan hidroksiapaptit terbentuk antara MTA dan dentin, ini disebabkan karena kemampuan sealing ability MTA yang sangat baik dengan adanya tag like structure

(13)

bahan kimia dan struktural modifikasi, yang mengakibatkan resistensi asam tinggi dan menyebabkan kekuatan fisik.

2.4 Semen Ionomer Kaca Modifikasi Resin (SIKMR)

SIKMR dikembangkan untuk memperbaiki sifat fisik dan mengurangi sensitivitas air dari semen ionomer kaca konvensional. SIKMR merupakan bahan hibrid yang lebih kuat dan tidak rapuh diperkenalkan dengan penambahan monomer seperti HEMA. Pada dasarnya SIKMR memiliki komposisi yang sama dengan semen ionomer kaca konvensional hanya saja komponen air diganti menjadi campuran air dengan HEMA. SIKMR dapat mengeras dengan dua cara, yaitu kombinasi asam dan basa serta reaksi polimerisasi (Modena dkk., 2009).

Bahan ini mengandung bubuk kaca yang mampu memindahkan ion dan asam polimer yang larut dalam air seperti asam akrilik. Bahan ini mengandung monomer organik (biasanya HEMA) dan sistem inisiator. Inisiator umumnya sensitif terhadap cahaya sehingga kebanyakan SIKMR mengeras dengan cara di sinar dengan menggunakan lampu penyinaran biasa yang memancarkan sinar dengan panjang gelombang 470 nm (Goldberg, 2008; Modena dkk., 2009).

(14)

penggaraman (asam-basa) yang terjadi secara kimia dan polimerisasi yang terjadi akibat penyinaran (Petri dkk., 2007).

Pada umumnya SIKMR dapat membentuk ikatan yang kuat ke dentin dan enamel serta dapat melepaskan fluoride (F). Selain itu, bahan ini juga melepaskan beberapa ion seperti Na, Ca, Sr, Al, P dan Si . Ion – ion tersebut juga dilepaskan oleh SIK konvensional namun kadar ion phosphat yang dilepaskan SIKMR lebih rendah dibandingkan dengan konvensional (Goldberg, 2008).

SIKMR ini terbukti bersifat sitotoksis terutama karena pelepasan HEMA dalam kadar tinggi dan bersifat mutagenik, akan tetapi data mengenai mutagenitas sangat sedikit dan sulit diinterpretasi. SIKMR menimbulkan respon inflamasi persisten tingkat menengah hingga berat pada pulpa dan pembentukan zona nekrotik yang besar (Nicholson dan Czarnecka,2008). Menurut Preenan, 2004 mengatakan bahwa terjadi penetrasi SIKMR ke dalam tubulus dentin (Gambar 2.5).

(15)

2.5 Abu Sekam Padi

Padi merupakan produk utama pertanian di negara-negara agraris, termasuk Indonesia. Sekam padi merupakan bagian terluar (kulit) dari butir padi dan produk samping yang dihasilkan dari industri penggilingan padi. Dari hasil penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa sekitar 20% dari berat pada adalah sekam padi, dan bervariasi dari 13% sampai 29 % dari komposisi sekam adalah abu sekam padi atau rice husk ash (RHA) yang selalu dihasilkan setiap kali sekam dibakar (Putro dan Prasetyoko, 2007). Sekam padi dikategorikan sebagai biomassa yang dapat digunakan untuk berbagai kebutuhan tetapi mempunyai nilai ekonomis yang masih rendah sehingga perlunya dicari alternatif lain yang lebih bermanfaat dan penanganan sekam padi yang kurang tepat akan menimbulkan pencemaran lingkungan (BPPP, 2001). Padahal Abu sekam padi merupakan sumber silika potensial yang dapat digunakan sebagai bahan kedokteran (Indayani dkk., 2011). Nilai paling umum kandungan silika (SiO2) dalam abu sekam padi adalah 94 – 96 % dan apabila nilainya mendekati atau dibawah 90 % dijumpai dalam bentuk amorf terhidrat. Abu sekam padi apabila dibakar secara terkontrol pada suhu tinggi (500–6000

Menurut Balai Penelitian Pasca Panen (BPPP) sekam padi terdiri atas dua belahan yang disebut lemma dan palea yang saling bertautan. Pada proses penggilingan gabah, sekam akan terpisah dari butir beras dan menjadi bahan sisa atau limbah penggilingan.

(16)

Berdasarkan derajat pembakaran abu sekam padi, warna abu sekam dapat diklasifikasi menjadi 3 lapisan warna, yaitu abu-abu, putih dan merah jambu. Berdasarkan hasil laboratorium, perbedaan warna ini mempunyai sifat permukaan dan kadar penghidrat yang berbeda. Abu sekam padi berwarna merah jambu jauh lebih reaktif dan mampu memberikan sifat pengerasan yang lebih baik (Zakaria, 2002).

(17)

2.5.1 Silika abu sekam padi

Silikon dioksida (SiO2) atau biasa juga disebut silika pada umumnya ditemukan di alam dalam batu pasir, pasir silika atau quartzite. Zat ini merupakan material dasar pembuatan kaca dan keramik. Silika merupakan salah satu material oksida yang keberadaannya berlimpah di alam, khususnya di kulit bumi. silika bisa dalam bentuk amorf dan kristalin. Terdapat tiga bentuk kristal silika, yaitu quartz

(kuarsa), tridymite, dan cristobalite. Pada tanaman, silika terakumulasi dalam bentuk

phytolith yang merupakan bentuk primer dari silika amorf. Silika disebut kristalin jika mempunyai susunan atom yang teratur dan disebut amorf jika mempunyai susunan atom yang kurang teratur (Kalapathy dkk., 2002).

Tabel 2.2 Komposisi Sekam Padi beserta Zat Organiknya (Chandra dkk., 2012)

Komponen Kandungan (%)

Air 9,02

Protein kasar 3,03

Lemak 1,18

Serat kasar 35,68

Abu 17,71

Karbohidrat kasar 33,71

Karbon (zat arang) 1,33

Hidrogen 1,54

Oksigen 33,64

Silika 16,98

(18)

Tabel 2.3 Data Fisik Unsur Silika (Chandra dkk., 2012) Konduktivitas kalor 148 W/m K Sumber: (Chandra dkk., 2012)

Silika merupakan bahan kimia yang pemanfaatan dan aplikasinya sangat luas mulai dari bidang elektronik, mekanis, medis, seni, dan bidang lainnya. Salah satu pemanfaatan serbuk silika yang cukup luas adalah sebagai penyerap kadar air di udara, (Harsono, 2002, cit Sitorus, 2009). Selain itu, silika juga digunakan sebagai penyaring molekuler, resin, pembantu peran katalis, dan pengisi dalam pembuatan polimer (Bansal dkk., 2006). Gugus -OH yang mampu membentuk ikatan hidrogen dengan gugus yang sama dari molekul lain yang mengakibatkan silika dapat digunakan sebagai pengering dan fasa diam pada kolom kromatografi (Narsito, 2005).

(19)

Berdasarkan penelitian Indahyani dkk (2011) menyatakan bahwa silika yang berasal dari sekam padi mempunyai kemampuan untuk menstimulasi proliferasi osteoblast dan mempunyai nilai absorbansi yang paling tinggi.

2.5.2 Abu sekam padi nanopartikel (ASPn)

Nanoteknologi pertama kali diperkenalkan oleh seorang ahli Fisika, Richard P. Feynman pada tahun 1959. Erick Drexler kemudian memperkenalkan konsep nanoteknologi kepada masyarakat luas melalui buku yang berjudul “Engine of Creation” pada pertengahan tahun 1980. Kata depan nano-berasal dari bahasa yunani yang berarti kerdil dan satu nanometer sama dengan 10-9

Nanopartikel dikelompokan menjadi nanopartikel organik dan nanopartikel anorganik. Nanopartikel organik meliputi nanopartikel karbon, sedangkan nanopartikel anorganik meliputi nanopartikel logam mulia (seperti emas dan perak) dan nanopartikel semikonduktor (seperti titanium dioksida dan zinc oksida). Nanopartikel yang lebih berkembang adalah nanopartikel anorganik dengan fungsinya yang beraneka ragam. Silika pada sekam merupakan nanopartikel anorganik yang telah diuji sebagai alat yang berpotensi dalam dunia medis, yaitu

(20)

mampu menghantarkan obat sampai ke target dan mengontrol pelepasan obat. Aplikasi lainnya, yaitu sebagai antimikroba, optik, elektronik, biosensor, biolabel, biofiltrasi, magnetik, mekanik, katalis, bioremediasi, pereduksi limbah industri, sumber energi (Moghaddam, 2010).

2.6 Kitosan

(21)

CHITIN CHITOSAN Gambar 2.6 Struktur Bangun Kitin dan Kitosan (Petri dkk., 2007)

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Kitosan (Agusnar, 1997). Dalam persen

Karbon (C) Hidrogen ( H) Nitrogen (N)

Kitosan 40,30 5,83 6,35

Sumber: (Agusnar, 1997)

Kitosan tidak beracun dan memiliki sifat biokompatibel dan biodegradble

serta mucoadhesion yang dapat menjadi keuntungan bagi aplikasi biomedis (Modena dkk., 2009).

(22)

2.6.1 Kitosan blangkas (Tachypleus gigas)

Berdasarkan viskositasnya, berat molekul kitosan terdiri atas tiga yaitu kitosan bermolekul rendah, kitosan bermolekul sedang dan kitosan bermolekul tinggi. Kitosan bermolekul rendah dengan berat molekul dibawah 400.000 Mv dan kitosan bermolekul sedang dengan berat molekul 400.000-800.000 Mv berasal dari hewan laut dengan cangkang atau kulit yang lunak misalnya udang, cumi-cumi dan rajungan. Kitosan dengan berat molekul 800.000-1.100.000 Mv biasanya berasal dari hewan laut bercangkang keras misalnya kepiting, kerang dan blangkas (Gambar 2.8) (Trimurni dkk., 2006).

Gambar 2.7 Kitosan Blangkas (Trimurni dkk., 2006)

(23)

Pada penelitian tersebut juga dinyatakan bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti dentinoblast untuk memudahkan migrasi dan proliferasi sel-sel pulpa dentinoblast.

2.6.2 Kitosan nanopartikel

Dalam perkembangannnya, kitosan dimodifikasi dalam bentuk magnetik Kitosan nanopartikel dengan ukuran partikelnya 100-400 nm untuk meningkatkan daya absorbsinya. Kitosan nanopartikel dapat dilihat mikrostrukturnya dengan menggunakan SEM (Scanning Electron Microscope).

(24)

Lu E-Shi cit. Ningsih (2010) menyiapkan kitosan nanopartikel dengan menambahkan larutan tripolipospat (TPP) kedalam larutan suspensi kitosan yang dibuat dengan menambahkan asam asetat, kemudian distrier dengan kecepatan 1200 rpm terbentuk emulsi.

Kitosan blangkas yang diuji oleh Trimurni Abidin dkk, 2006 menunjukkan bahwa kitosan blangkas yang mempunyai berat molekul tinggi dapat menstimulasi dentin reparatif dengan kemampuannya membentuk koagulum yang padat sebagai sub base membran yang memudahkan perlekatan sel-sel pulpa seperti odontoblast untuk memudahkan migrasi dan proliferasi.

Ada yang menyebutkan (Tiyaboonchai, 2003) kitosan nanopartikel dapat dipakai sebagai pembawa penyaluran obat karena stabilitasnya yang baik, rendah toksik, metode persiapannya sederhana, dan dapat mengikuti rute pemberian obat. Kitosan nanopartikel sebagai agen penyalur obat sangat bermanfaat karena kitosan nano merupakan biopolimer alam yang biokompatibel, dapat larut dalam air, dapat menyalurkan obat dalam bentuk makromolekul, mempunyai berat molekul yang bervariasi sehingga mudah dimodifikasi secara kimia, membantu absorpsi antara substrat dan membran sel, serta ukuran partikel nanonya memiliki efektivitas yang lebih baik.

(25)

2.7 Alat Uji

2.7.1 Scanning Electron Microscope (SEM)

Scanning electron microscope (SEM) merupakan mikroskop elektron yang mampu menghasilkan gambar beresolusi tinggi dari sebuah permukaan sampel. Gambar yang dihasilkan oleh SEM digunakan untuk menentukan struktur permukaan dari sampel. SEM menerapkan prinsip difraksi elektron dengan pengukuran sama seperti mikroskop optik. Prinsip kerjanya adalah elektron yang ditembakkan akan dibelokkan oleh lensa elektromagnetik dalam SEM. Sistem kerja SEM terdiri atas sumber cahaya elektron, sistem lensa, detektor, dan layar TV. Sumber cahaya elektron dihasilkan di dalam suatu penembak elektron yang berbentuk filamen pemanas berupa tabung tanpa udara. Sumber cahaya elektron dipercepat dan difokuskan oleh sistem lensa magnetik yang berada di atas objek. Elektron dikumpulkan oleh detektor, diubah dalam bentuk voltase (energi listrik), kemudian disebar (Gambar 2.8) (Radiological and Eviromental Management,2010).

(26)
(27)

Gambar 2.8. Cara Kerja SEM.(Radiological and Evironmental Management Purdue University, 2010)

(28)

2.7.2 Energy Dispersive X-ray (EDX)

Energy Dispersive X-ray (EDX) adalah teknik mikroanalisis kimia yang digabungkan dengan scanning electron microscope (SEM). EDX merupakan suatu alat yang dapat mendeteksi sinar-X yang keluar dari sampel selama pemaparan pancaran elektron untuk mengkarakteristikkan komposisi kimia dari sampel yang dianalisa. Sistem ini terdiri dari 3 (tiga) komponen utama, yaitu detektor sinar-X yang dipisahkan dari ruang SEM dengan jendela polimer yang sangat tipis, untaian pengolahan getaran yang menentukan energi sinar-X yang dideteksi, dan peralatan analisa yang menginterpretasikan data sinar-X dan menampilkannya pada layar komputer. Alat ini dikendalikan oleh suatu program Windows-based user interface

(UI) yang dinamakan Genesis. Program ini terletak di dalam komputer EDX (Materials Evaluation and Engineering, Inc. 2009).

Informasi analisa yang dapat diperoleh adalah analisa kualitatif, analisa kuantitatif, pemetaan elemen dan analisa profil garis. Untuk analisa kualitatif, nilai energi sinar-X sampel dari spektrum EDS dibandingkan dengan karakteristik energi sinar- X yang sudah diketahui untuk mendapatkan elemen yang terdapat pada sampel. Hasil kuantitatif dapat diperoleh dari hitungan sinar-X relatif pada karakteristik tingkat energi dari komponen sampel (Materials Evaluation and Engineering, Inc. 2009).

(29)
(30)
(31)

2.9 Kerangka Konsep

(32)

Berkembangnya bahan material yang bergerak ke arah nanopartikel, maka dengan menggabungkan ASPn + KMTn sebagai perancah diharapkan dapat tercipta biomaterial baru yang dapat berinteraksi dengan permukaan dentin, maka untuk melihat mikrostruktur permukaan jaringan dentin dengan ASPn+KMTn diperlukan alat uji yaitu SEM dan untuk mengetahui komposisi kimia menggunakan EDX.

2.10 Hipotesis Penelitian

Dari uraian di atas dapat dibuat hipotesa yaitu :

1. Ada perbedaan mikrostruktur permukaan jaringan dentin yang diaplikasikan biomaterial gabungan ASPn + KMTn dengan MTA dan SIKMR.

Gambar

Gambar 2.1 Daerah Pulpodentinal Kompleks (Murray, 2002)
Tabel 2.1 Pengaruh Sisa Ketebalan Dentin terhadap Kelangsungan Hidup Sel Odontoblas, Aktifitas Dentin Reaksioner, dan Inflamasi Pulpa (Murray dkk., 2002)
Gambar 2.2. Bahan Kedokteran Gigi Melepaskan Protein pada Gigi yang Mengalami Cedera.  (A) Kedalaman Kavitas Superfisial, (B) Kavitas Sedang Sampai Dalam, (C) Pulpa yang Terpapar (Ferracane dkk., 2010)
Gambar 2.4. Gambaran SEM dari Permukaan Dentin dengan MTA (Bird dkk., 2012)
+7

Referensi

Dokumen terkait

HTML ( Hypertext Markup Languange ) adalah bahasa untuk web scripting bersifat client side yang memungkinkan untuk menampilkan informasi dalam bentuk teks,

Petani pemilik traktor tangan yang ada di lokasi penelitian pasti menguntungkan apabila traktornya digunakan untuk mengolah lahan persawahan petani lain yang tidak

Sistem informasi ini menangani proses pengolahan data yang berupa data pasien, data hasil pemeriksaan atau rekam medis, data diagnosa, data gigi, data tindakan, data obat,

Pada saat ini Kota Bogor membutuhkan 5 (lima) hektar lahan TPU, strategi Pemerintah Kota Bogor dalam mengelola TPU hasil wawancara terstruktur menyatakan

Jika ternyata kepada seseorang pegawai lombong bahawa terdapat sebab yang munasabah bagi mengesyaki bahawa dalam mana-mana bangunan atau tempat atau di atas mana-mana tanah

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Hendro Gunawan, MA Pembina Utama Muda

Pada saat yang sama peminjam uang tidak ingin kehilangan barang yang dia miliki karena meminjam uang yaitu dengan menggadaikannya, sementara pemberi pinjaman