• Tidak ada hasil yang ditemukan

Etika dalam Politik Luar Negeri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Etika dalam Politik Luar Negeri"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 Oleh: Adhitia Pahlawan Putra/Hubungan Internasional Universitas Brawijaya,

Konsentrasi International Development and International Political Economy

Abstrak

Etika dalam hubungan Internasinal menjadi sangat penting karena sering digunakan dan disalahgunakan oleh negara-negara, terutama negara-negara barat dan hegemon Seperti Amerika Serikat. Lebih lanjut, kajian etik pun melahirkan perdebatan antrara pandangan kaum komunitarian versus Kosmopolitan yang menjelaskan tentang bagaimana seharusnya negara bertindak dalam hubungan internasional. Substaninya adalah apakah Ethics yang didahulukan atau kepentingan nasionalnya ?. akan tetapi kaum akademisi hubungan internasional memberikan solusi mengenai hal tersebut. Pertama, karena negara memiliki kesempatan untuk berbuat jahat, kebijakan yang politis harus menemoatkan moralitas diatas kesempatan. Kedua, kepemimpinan moral yang bergantung pada intergritas moral individu juga penting termasuk aspek legitimasi pemimpin itu. Ketiga, kebijakan yang prudence harus mempertimbangkan keadaan, menyeimbangkan untung rugi serta prinsip dan kepentingan.

(2)

2 BAB I Pendahuluan

1.1Latar Belakang

Dewasa ini, pembicaraan PLN tidak bisa dipisahkan dengan masalah

etik/ethics. Memang benar, dalam banyak buku PLN yang dijarkan diberbagai

universitas, persoalan etik diangap tidak penting karena sering diasumsikan

bertentangan dengan kepentingan nasional suatu negara. Negara dikatakan

harus memaksimalkan kepentingan nasionalnya, sedangkan etik menunjukan

kelemahan suatu negara karena mau berkompromi dengan berhubungan

dengan negara lain.

Pandangan demikian tentu saja tidak terlepas dari dominasi realsime

dalam PLN selama ini. Dalam asumsi realisme, negara adalah berdaulat dan

selalu mengejar kepentingan nasionalnya, termasuk, kalau perlu merugikan

negara lain. Kepetingan moralitas atau etik adalah nomor dua karema yang

paling penting adalah kepentingan yang didefinisikan dengan kepenti8ngan

untuk survive dari ancaman negara lain.

Subordinasi moralitas terhadap kekuasaan ini sering dipandang sebagai

fakta dalam kehidupan politik internasional. Kebanyakan orang akan setuju

dengan pernyataan Morgentahu bahwa “tindakan negara-negara ditentukan

bukan oleh prinsip-prinsip moral dan komtmen hukum tetapi pada

pertimbangan kepentingan dan kekuasaan” 1 . ini juga didukung oleh pernyataan Waltz yaitu negara-negara yang berada dalam anarki tidak mampu

untuk menggunakan moral. Kemungkinan bagi perilaku berdasarkan moral

1

(3)

3 bergantung pada adanya sebuahb pemerintahan efektif yang dapat mencegah

dan menghukum tindakan-tindakan illegal.

Namun, asumsi realisme sebetulnya tidak sepenuhnya benar. Dari dulu,

tidak ada negara yang tidak memperhatikan etik sama sekali dalam PLN-nya.

Tujuan ideal suatu negara umumnya untuk kesejahteraan masyarakat dan

masyarakat dunia dan untuk perdamaian abadi sebagaimana terlihat dalam

pembukaan UUD Indonesia, misalnya. Negara-negara bekas penjajah, seperti

Inggris dan Belanda, merasa mempunyai tanggung jawab terhadap negara

bekas jajahannya. Inggris, Misalnya, membuat perhimpunan negara-negara

persemakmuran (commonwealth), sedangkan Belanda dulu menggalang dana

pembangunan untuk Indonesia lewat IGGI (Inter-Governmental Group on

Indonesia). Dewasa ini, berbagai negara membantu negara-negara yang

mengalami bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, dan tanah longsor

karena alas an kemanusiaan, etik dan moral. Dalam era global dimana muncul

berbagai actor politik internasional yang tidak terbatas hanya pada negara,

peran etik menjadi lebih penting.

1.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat

dirumuskan adalah sebagai berikut :

(4)

4 BAB II Pembahasan

2.1 Makna Perpspektif Etik dalam Hubungan Internasional

Ilmuwan HI telah member perhatian pada teori normative dan etik

dimasa lampau. Para pembuat keputusan yang melangkah dalam realisme

cenderung meremehkan teori normative dengan alasan bahwa: 1). Kepentingan

nasional seharusnya menjadi landasan. 2). Sebagai akibatnya perdebatan

tentang teori normative sering dipisahkan dari perdebatan pejabat pemerintah

tentang kebijakan. Sekarang, ketika pemerintah dan organisasi internasional

secara eksplisit menyatakan pentingya landasan etik bagi PLN setiap warga,

para pembuat keputusan dapat dan seharusnya menggunakan pencerahan yang

diberikan oleh teori normative.

Menurut Haas, etik dapat didefinisikan sebagai “suatu system keyakinan, nilai-nilai, dan ide-ide yang koheren dan lengkap yang memberikan

kerangka untuk mengelompokan tindakan-tindakan apa sebagai jahat danm

karenanya harus dihindari dan tindakan-tindakan apa yang digolongkan baik

sehingga bisa ditolerir dan bahkan di promosikan dalam politik internasioal”2.

Sistem etik memenuhi beberapa criteria formal dan berakar pada waktu

dan tempat tertentu. Sistem itu terdiri atas stadar perilaku dimana

negara-negara yang mengikutinya akan dapat menyatakan bahwa tindakan negara-negara

tertentu baik atau buruk, dan dapat memutuskan jenis tindakan tertentu benar

2

(5)

5 atau salah. Misalnya, ASEAN sangat menhargai prisnsip non-intervensi dan

kedaulatan negara-negara anggotanya.

Tetapi untuk menjadikan etik sebagai landasan PLN bukanlah hal yang

mudah, bahkan kalau sudah ada perjanjian sekalipun, karena ini menyangkut

posisi dan dilemma etik yang dihadapi suatu negara. Dengan kata lain,

dilemma pertama adalah apa yang dimaksud politik itu, apakah harus

mensejahterakan rakyat dahulu (dengan cara apapun) baru negara lain, karena

seringkali dalam praktik, salah satu harus dikorbankan terlebih dahulu. Inilah

kemudian yang menjadi perdebatan dalam Perspektif Komunitarian

(Konseqtualis) VS Kosmpolitanism (deantology)

A. Perspektif Komunitarian (Konseqtualis)

Kaum komunitarian berpendapat bahwa baik individu maupun

komunitas dibatasi oleh batas-batas begara dan karenanya tugas moral atau etik

mereka, termasuk pemerinntah, terbatas pada keperluan warganya (insider).

Sementara bagi para outsider, kepentingan da hak-hak mereka tidak mendapat

tempat penting. Etik yang paling layak hanyalah menjaga kepentingan diri dan

survival karena dunia yang anarkhis. (Para konseqtualis menilai tindakan

melalui pertimbangan)

B. Perspektif Kosmopolitan (deantology)

Akar pandangan cosmopolitan adalah pandangan deantologis yang

berpandapat bahwa moralitas adalah universal dan moral dapat diberlakukan

pada tiap orang, sama denga kantianisme, yang menekankan pada

universalisme aturan.

Bagi, Kosmopolitan, batas-batas nasional tidak relevan. Kaum

(6)

6 domana pembuatan kebijakan etik seharusnya meletakan kepentingan

kemanusiaan secara umum ditempat yang lebih utama diatas batas-batas social

politik. Mereka juga menganggap moralitas itu satu dan universal dan

karenanya dapat diterpapkan dimana-mana.

2.2Politik Luar Negeri Etik Sebagai Tujuan dan Sarana

Setelah melihat apa yang dimaksud dengan etik dalam kaitannya dengan

HI ada perbincangan posisi dan perkembangan etik didunia internasional.

Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana etik mempengaruhi PLN. Ada tiga

pandangan utama disini: yang pertama adalah bahwa etik mempengaruhi PLN

secara otomatis dimana negara-negara, karena kesadarannya, mengambil PLN

yang etik, seperti mempromosikam demokrasi dan hak-hak asasi manusia.

Motivasi kedua adalah karena paksaan, yaitu nrgara-negara melakukan

PLN yang bermoral karena ada paksaan dari negara besar atau organisasi

internasional. Tekanan juga bisa dating kekuatan-kekuatan politik di dalam

negeri. Adapun panfangan yang ketiga yaitu gabungan dari sifat egois

mementingkan diri sendiri dan motif sukarela. Andrew Linkater mengatakan

bahwa negara-negara yang menerapkan PLN etik menempatkan kesejahteraan

masyarakat internasional diatas kepentingan nasional mereka sendiri.

Pandangan lain mengatakan bahwa perlu menjaga keseimbangan antara

kepetingan sendiri dan kepetingan orang lain. Seperti dikatakan oleh Chris

Brown, negara-negara mempunyai tugas utama untuk memenuhi kepentingan

rakyatnya tetapi dalam konteks tugas yang lebih luas terhadap negara-negara

lain dan kemanusiaan secara umum. Kedua tugas ini mempunyai kewajiban

(7)

7 didasarkan kepentingan, sementara yang kedua merupakan dimensi etis PLN.

Kedua tugas itu meliputi, baik kepentingan sendiri maupun etik3.

Umumnya para akademisi HI. Sepakat bahwa tidak begitu logis untuk

membuat dikotomi antara PLN yang etis dan PLN yang tidak etis. Isunya

mnurut mereka labih pada bagaimana pemerintah bertindak secara ertik,

mengikuti criteria apa dan bagaimana mereka melaksanakannya. Mereka juga

sepakat bahwa pemerintah mestinya pragmatis dalam penerapan PLN dan

bahwa pemerintah harus terbuka terhadap berbagai pandangan dan terlibat

dalam dialog yang terbuka dan serius dengan para actor, baik pemerintahan

maupun non-pemerintah. PLN harus terbuka untuk pembicaraan dan harus

bersedia direview secara konstan untuk menjamin bahwa pemerintahan

mengikuti standar masyarakat.

Salah satu etik yang paling controversial adalah intervensi kemnusiaan.

Apakah negara mempunyai hak atau bahkan tugas untuk campur tangan

menghentikan pelanggaran HAM yang parah di negara-negara lain? Mervyn

Frost memberikan justifikasi moral untuk intervensi demikian. Dia menelusuri

perkembangan dua norma non-intervensi dalam HI. Yang pertama, menuntut

agar negara tidak intervensi dalam urusan internal negara-negara lain. Yang

kedua, mencerminkan perkembangan historis dari pembatasan kekuatan

negara dalam negara: negara harus mengizinkan kebebaan dan ruang untuk

masyarakat sipil. Frost berpendapat bahwa penerapan prinsip atau norma non

intervensi kepada negara-negara dikancah internasional bergantung pada

apakah negara-negara itu menunjukan respek pada norma non-intervensi

dalam hubungan dengan masyarakat sipilnya. Bilamana negara tidak

menghormatinya, norma internasional non-intervesi tidak berlaku. Intervensi

3

Chris Brown, “Ethics, Interest and Foreign Policy”, Cambrigde: Cambrigde University Press. 2001. Hal.

(8)

8 kemanusiaan harus diarahkan untuk melindungi masyarakat sipil, dan

memastikan tidak ada intervensi negara terhadap masyarakat sipil4.

Promosi HAM juga merupakan salah satu tujuan PLN etik. Apakah

alasan untuk memproosikan HAM sebagai politik luar negeri dan bagaimana

caranya adalah isu penting dalam analisis politik luar negeri, karena ini

menyangkut isu sensitive campur tangan terhadap urusan domestic negara lain

atau sering juga dikritik sebagai pemaksaan nilai-nilai barat kenagar-negara

non-barat. Dimana, seringkali HAM hanya menjadi slogan PLN barat.

Seharusnya pemerintah negara-negara non-barat mesti dimonitor oleh warga

dan lembaga-lembaga independen dan bahwa NGO harus memainkan peranan

untuk memantau pemerintahan yang mengklaim melaksanakan HAM dan

yang melanggarnya. Meskipun kemudian ada dilemma yang dihadapi oleh

NGO seperti halnya dana NGO. Yang terjadi kemudian, adalah independensi

dari NGO tersebut perlu dipertanyakan.

Lalu apa yang mesti dilakukan? sebagai solusinya bahwa PLN HAM barat

seharusnya memastikan bahwa kebijakan dan praktik domestic mereka

bersesuaian dengan komitmen internasional PLN dan memperkuat otoritas dan

kekuatan lembaga-lembaga internasional untuk menerapkan komitmen itu.

Selain itu, Kemuculan lembaga seperti International Criminal Court (ICC)

juga penting dalam pembahasan etik dari PLN karena disni individu yang

terlibat kejahatan internasional bisa diajukan ke mahkamah ini. Pembentukan

lembaga ini tentu saja merupakan kemajuan, tetapi ia dihadapkan pada

4 M, Frost, “The Ethics of Humanitarian Intervention: Protecting Civilians to Make Democratic Citizenship Posibble: Cambrigde: Cambrigde University Press. 2001. Dalam J.L Holzgrefe dan Robert O Keohane, “Humanitarian Intervention : Ethical, Legal and Political Dilemmas”,

(9)

9 konsern negara-negara tradisional tentang masalah kedaulatan. Berfungsi nya

ICC bergatunng pada kerelaan negera-negara ini untuk meyerahkan warganya

(10)

10 BAB III Penutup

3.1 Kesimpulan

Etik kemudian menjadi penting dalam PLN karena banyak actor negara

sebagai actor internasional yang kurang peduli dengan etik. Actor-aktor seperti

Amerika Serikat, dan Uni Eropa sering mengatakan bahwa mereka mendukung

penerapan HAM tetapi ini hanya basa-basi untuk melindungi atau alasan untuk

tidak melakukan tindakan keras terhadap pelanggar HAM. Amerika Serikat,

misalnya menggunakan senjata untuk intervensi kemanusiaan dalam kasus

Afghanistan dan irak, yang dilakukan untuk kepentingan diri sendiri daripada

untuk kepentingan umum (ini sesuai dengan pandanagn perspektif

komunitarian).

Sementara, disatu sisi perang juga dipandang sebagai sesuatu yang

immoral dan tidak beradab. Bahwa kekerasan secara umum dipandang sebagai

bentuk anarkis dari hubungan social. Mereka (para kosmopoliatansm)

kemudian mengajukan dimensi etis dari PLN yaitu aturan yang universal.

Dimana mereka percaya bahwa pembuatan kebijakan haruslah etik untuk

kepentingan seleruh umat manusia, seharusnya meletakan kepentingan

kemanusiaan secara umum ditempat yang utama diatas batas-batas

kepentingan social-politik.

Oleh karena itu, Pertama, karena negara memiliki kesempatan untuk

berbuat jahat, kebijakan yang politis harus menemoatkan moralitas diatas

kesempatan. Kedua, kepemimpinan moral yang bergantung pada intergritas

moral individu juga penting termasuk aspek legitimasi pemimpin itu. Ketiga,

kebijakan yang prudence harus mempertimbangkan keadaan, menyeimbangkan

(11)

11 DAFTAR PUSTAKA

Brown, Chris. 2001. “Ethics, Interest and Foreign Policy”, Cambrigde: Cambrigde University Press.

Hass, E.B..1993. “Beware the Slippery Slope: Notes Toward the Definition of Justifiable

Intervention”Insc.Int. Berkeley, CA: University of California.

Hara, Abu Bakar. 2011. Pengantar Analisis Politik Luar Negeri dari Realisme sampai Konstruktivisme, Penerbit Nuansa.

Holzgrefee, J.L and Keohane, R.O. 2003. Humanitarian Intervention : Ethics, Legal, and Political Dillema, Cambrigde: Cambrigde University Press.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian “Implementasi Keamanan File dengan Kompresi Huffman dan Kriptografi menggunakan Algoritma RC4 serta Steganografi menggunakan End of File berbasis Desktop

Perkembangan jaman memaksa kita harus tetap maju dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan yang kita kehendaki. Saat ini `pemerintah telah memberikan kesempatan yang

Proses pembentukan belief awal dimulai dari pendidikan saat dini, jadi jika lingkungan dan pendidikan disekitar anak baik, maka kelak anak akan berkepribadian dan memiliki citra

Permasalahan yang sering terjadi pada Klinik Medisina yaitu pada pasien akan melakukan pemeriksaan dan belum mempunyai kartu berobat harus mendaftarkan diri kepada

27 Tahun 2007, paper pengabdian masyarakat berdasarkan penelitian ini akan menjelaskan hasil kajian dan evaluasi dalam pelaksanaan reklamasi di Teluk Lamong

Dalam penelitian ini dikaji proses penyandian pesan menggunakan algoritma pengamanan data tingkat lanjut yang menerapkan implemenasi dari fungsi polinomial dan Lapangan Galois

Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan yang bertujuan mengetahui efek dan menentukan dosis ekstrak etanol daun sendok terhadap penurunan kadar darah pada tikus