• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tugas paper Bhs Indonesia. doc

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tugas paper Bhs Indonesia. doc"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

TUGAS PAPER UNTUK MATA KULIAH BAHASA INDONESIA

RITUAL “LAMPAH BISU MENGELILINGI BENTENG”

MEMPERINGATI 1 SURA DI KOTA YOGYAKARTA

Sabitta Tara Archyanti

C0708046

JURUSAN DESAIN KOMUNIKASI VISUAL

FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA

(2)

Ritual “Lampah Bisu Mengelilingi Benteng” Memperingati 1 Sura di Kota Yogyakarta

Indonesia yang kaya akan budaya dan adat istiadat memang tak akan bisa lepas dari peninggalan adat yang diwariskan oleh para leluhur. Hal ini juga dimiliki oleh kota Yogyakarta, sebagai salah satu kota di Indonesia yang terkenal dengan budayanya. Yogyakarta, kota istimewa dengan sejuta pesona yang sangat membudaya dan sanggup melestarikan peninggalan-peninggalan sejarah para leluhur sampai saat ini. Di kota ini, budaya lokal dan budaya global berbaur menjadi satu dan menciptakan harmoni tersendiri. Di Yogyakarta, semua mendapat tempat dan porsi yang sama untuk terus hidup dan berkembang. Salah satu dari sekian banyak tradisi yang masih berkembang di Yogyakarta adalah Ritual Lampah Bisu Mubeng Beteng. Ritual ini rutin dilaksanakan setiap malam 1 sura (kalender Jawa) yang bertepatan dengan malam tahun baru Hijriah, sebagai ajang untuk refleksi diri di hadapan Sang Pencipta.

Bagi masyarakat Jawa, Satu Suro merupakan penanda dimulainya kehidupan baru. Manusia diingatkan kembali atas kebesaran Tuhan sebagai empunya kehidupan. Kita diingatkan dari mana asal mulanya (sangkan paraning dumadi). Oleh karena itu, masyarakat Jawa selama bulan Suro akan banyak melakukan kewajiban tirakat. Tirakat atau menjalani keprihatinan adalah upaya masyarakat Jawa untuk melakukan pembersihan diri, perenungan atau introspeksi, mengucap syukur, serta berharap akan mendapatkan berkah (ngalap berkah).

Tirakat juga dipercaya mampu mempengaruhi jiwa. Seseorang menjadi lebih sabar dalam mengendalikan emosi, serta nafsu. Juga menjadi lebih arif dan mampu memaksimalkan energi saat persoalan datang dalam hidup. Bentuk tirakat bisa bermacam-macam misalnya mutih, berpuasa menahan haus dan lapar dan disaat malam tiba atau jelang matahari terbit hanya diperbolehkan mengkonsumsi air putih dan nasi putih. Ada juga ngeruh atau tidak makan segala sesuatu yang memiliki nyawa seperti daging. Sebab, daging diyakini dapat meningkatkan nafsu pemakannya.

(3)

A. Sejarah

Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bukan tradisi yang diciptakan oleh keraton, melainkan sudah tradisi asli masyarakat Jawa yang berkembang sejak abad ke-6 Sebelum muncul kerajaan Mataram – Hindu. Tradisi ini dikenal dengan nama “muser” atau “munjer” yang berarti mengelilingi pusat. Pusat yang dimaksud adalah pusat wilayah desa. Ketika pedesaan berkembang menjadi kerajaan muser pun berubah menjadi tradisi mengelilingi wilayah pusat kerajaan.

Tradisi mubeng benteng kemudian dilanjutkan pada masa Kerajaan Mataram (Kotagede). Kala itu prajurit ditugaskan untuk berjaga dan mengelilingi benteng guna menjaga keraton dari serangan musuh. Kemudian setelah kerajaan membangun parit di sekeliling benteng, tugas keliling dialihkan kepada abdi dalem keraton. Dalam menjalankan tugasnya, para abdi dalem ini diam membisu sambil membaca doa-doa di dalam hati agar diberi keselamatan. Hal inilah yang kemudian dilakukan hingga saat ini. Setiap malam 1 Sura, abdi dalem keraton dan ribuan warga turut serta berjalan mengelilingi benteng keraton Yogyakarta tanpa mengucapkan sepatah katapun sebagai bentuk laku tirakat.

B. Pelaksanaan Lampah Bisu pada Masa Sekarang a. Keunikan

Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng yang rutin dilaksanakan setiap malam 1 Sura ini terbuka untuk siapa saja, tanpa perlu membayar atau mendaftar atau pun tak perlu menggunakan pakaian pranakan lengkap seperti abdi dalem, dan tak perlu melakukan pantangan ini dan itu. Peserta cukup datang ke Pelataran Keben Keraton pada malam 1 Sura dan mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini bersama rombongan abdi dalem keraton.

Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini dipimpin oleh para abdi dalem yang berjalan di depan sambil membawa bendera dan juga panji-panji keraton, teplok atau lampu dan juga kemenyan. Setelah barisan abdi dalem barulah masyarakat atau siapapun yang ingin mengikuti Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini berjalan dibelakangnya.

(4)

Prosesi yang berlangsung adalah sebagai berikut : Lampah Bisu akan dimulai pada pukul 00.01 WIB, selepas bunyi lonceng Kyai Brajanala yang terletak di Regol Keben berdenting sebanyak 12 kali sebagai tanda pergantian hari. Meski prosesi jalan kaki mengelilingi beteng baru dimulai dini hari, biasanya sejak pukul 20.00 WIB masyarakat sudah berduyun-duyun memadati pelataran Keben. Kemudian pada pukul 22.00 WIB akan ada semacam prosesi dan persiapan yang dilakukan oleh abdi dalem guna mempersiapkan jalannya acara. Dipimpin oleh kerabat keraton Yogyakarta dan Pakualaman datang didampingi empat orang abdi dalem.

Setelah kata sambutan dan memanjatkan doa, upacara pelepasan lalu dimulai. Kerabat keraton diwakilkan GBPH menyerahkan bendera merah putih kepada pemimpin pelaksana sebagai tanda dimulainya ritual mubeng beteng. Barisan mulai berjalan. Di barisan depan ada delapan orang pembawa bendera Merah Putih, Dwaja Budi Wadu Praja, Bangun Tulak, Pandhan Binetot, Pare Anom, Padang Ngisepsari, dan Megakampak. Barisan berikutnya adalah puluhan abdi dalem. Menyusul di belakangnya, ribuan masyarakat Jogja yang antusias mengikuti ritual.

Selama berjalan kaki mengitari benteng keraton sejauh kurang lebih 5 km, peserta tidak boleh berbicara, makan, maupun merokok. Mereka harus berjalan sambil berdiam diri, merefleksikan apa yang telah dilakukan pada satu tahun ke belakang dan berdoa untuk memohon kebaikan di tahun-tahun mendatang.

c. Lokasi

(5)

Ritual yang masih dilaksanakan sampai sekarang ini diikuti oleh masyarakat dari berbagai kalalngan tanpa mengenal status atau kedudukan, usia, maupun asal kota. Meski ritual ini sudah berlangsung secara turun temurun sejak zaman dahulu, masyarakat yang mengikuti ritual ini setiap tahunnya terus bertambah dan bukan hanya dilakukan para priayi sepuh yang berasal dari Yogyakarta. Ada pula masyarakat yang sengaja datang khusus mengikuti tradisi ini yang berasal dari kota lain sekitar Yogyakarta seperti Boyolali, Klaten, Solo, Magelang, Semarang bahkan Cilacap. Para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng harus merefleksikan apa yang telah dilakukan selama satu tahun kebelakang dan berdoa untuk kebaikan ditahun yang akan datang. Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng akan berakhir di Alun-Alun Utara, dan kemudian kembali lagi ke Regol Keben, setelah itu barulah para peserta Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng kembali kerumahnya masing-masing. Meski hanya berupa jalan kaki di malam hari mengitari beteng, acara ini dapat menyedot perhatian banyak warga, baik warga yang tertarik ingin bergabung maupun warga yang penasaran hanya ingin sekadar menyaksikan ritual ini.

C. Penutup

Meskipun Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng hanyalah sebuah ritual berjalan kaki mengitari pusat sebagai perayaan tahun baru Jawa, namun Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng ini masih sangat diminati oleh para warga Yogyakarta dan juga dapat menarik perhatian wisatawan dalam dan luar negri. Tak heran bila malam 1 Sura di kota Yogyakarta ini akan dipadati oleh para pengunjung yang ingin melihat secara langsung Ritual Lampah Bisu Mubeng Benteng.

Referensi

Dokumen terkait