27 BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan Absorbtivitas Molar I3
-Penentuan Panjang Gelombang Maksimum
Penentuan dilakukan dengan mereaksikan KI dan I2sehingga didapat I3-.Hasil
percobaan didapat spektra panjang gelombang seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Spektra absorbansi vs panjang gelombang
Gambar 1 didapat dua puncak pada 290,5 nm dengan absorbansi 0,6096 dan 352,0 pada absorbansi 0,4126. Panjang gelombang maksimum dipilih pada 290,5 nm dengan absorbansi yang paling tinggi.
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 250 300 350 400 A b so r b a n si Panjang Gelombang (nm)
Pengukuran Absorbansi Larutan Seri I3
-Pengukuran absorbansi pada beberapa variasi I3-didapatkan hasil seperti pada
tabel 6.
Tabel 6. Absorbansi rata-rata larutan seri I3
-No I3-/x10-5M Absorbansi 1 0,6838 0,0510 2 0,8201 0,0674 3 1,0257 0,0950 4 1,2308 0,1217 5 1,3676 0,1495
Dengan memplotkan absorbansi vs konsentrasi I3- didapatkan absorbtivitas
molar I3-pada panjang gelombang 290,5 nm sebesar 1,41 x 104M-1cm-1.
2. Pembuktian Mekanisme Reaksi yang Diyakini Copper-Koubek Ditinjau dari Order Reaksi I
-Pembuktian order reaksi dengan metode isolasi dimana I-divariasi pada H+dan H2O2 dibuat besar dan nilainya tetap. Hasil percobaan didapat nilai absorbansi
pada lampiran III. Perhitungan dengan rumusan modifikasi persamaan seperti pada lampiran II. Tabel 7 menunjukkan hasil dari perhitungan integral.
Tabel 7. Hasil perhitungan percobaan dengan variasi konsentrasi I-pada kondisi H+0,008 M dan H2O20,002 M
No I-(M) Order reaksi I- Correl
Awal reaksi Akhir reaksi
1 0,00030 0 -0,9938 -0,9894 1 -0,9889 -0,9546 2 0,9729 0,8298 2 0,00027 0 -0,9964 -0,9908 1 -0,9945 -0,9804 2 0,9836 0,9474 3 0,00024 0 -0,9967 -0,9874 1 -0,9940 -0,9925 2 0,9850 0,9830 4 0,00021 0 -0,9952 -0,9849 1 -0,9925 -0,9896 2 0,9804 0,9761
5 0,00018 0 -0,9865 -0,9768 1 -0,9933 -0,9848 2 0,9896 0,9674 6 0,00015 0 -0,9892 -0,9794 1 -0,9921 -0,9845 2 0,9884 0,9682
Pada kondisi percobaan tersebut I- dapat berorder nol dan satu serta dapat mengalami perubahan order reaksi dari nol menjadi satu.
3. Penentuan hukum laju reaksi hidrogen peroksida dengan iodida
Penentuan hukum laju reaksi hidrogen peroksida dengan iodida dilakukan dengan dilatometer dengan beberapa variasi seperti pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil percobaan pengukuran O2pertama
Hasil percobaan dengan dilatometri tidak didapatkan volume O2yang teramati
Pengukuran penentuan hukum laju dilakukan kembali dengan memperbesar konsentrasi pada tabel 8 pada perbandingan mol pereaksi yang sama seperti pada tabel 9.
Tabel 9. Hasil percobaan pengukuran O2kedua
No. H+(M) H2O2(M) I-(M) Volume O2 1. 4,76 1,19 0,16 Tidak teramati 2. 4,76 1,19 0,12 Tidak teramati 3. 4,76 1,19 0,09 Tidak teramati
Hasil percobaan dengan dilatometri tidak didapatkan volume O2yang teramati.
No. I-(M) H2SO4(M) H2O2(M) Volume O2 1. 4,05×10-5 6×10-4 3×10-4 Tidak teramati 2. 3,15×10-5 6×10-4 3×10-4 Tidak teramati 3. 2,25×10-5 6×10-4 3×10-4 Tidak teramati
Selain pengamatan terhadap O2, hukum laju dilihat dari nilai kobs. Nilai kobs
rata-rata pada setiap variasi ditampilkan pada tabel 10.
Tabel 10. Nilai kobsawal dan akhir reaksi percobaan dengan variasi konsentrasi I-pada kondisi H+0,008 M dan H2O20,002 M
No I -(M) Order I -awal reaksi Order I
-akhir reaksi kobs awal kobs akhir
1 0,00030 0 0 9,69 ×10-7M.s-1 5.56×10-7M.s-1 2 0,00027 0 0 8,27×10-7M.s-1 4,61×10-7M.s-1 3 0,00024 0 1 7,09×10-7M.s-1 0,0431 s-1 4 0,00021 0 1 7,33×10-7M.s-1 0,0454 s-1 5 0,00018 1 1 0,0308 s-1 0,0528 s-1 6 0,00015 1 1 0,0270 s-1 0,0496 s-1
Nilai kobsyang sebenarnya lebih dipilih pada awal reaksi. Pada order yang sama didapat nilai kobsawal dan akhir yang berbeda.
4. Konsumsi H+pada rentang waktu yang cukup lama
Peran H+dalam reaksi dilihat dari konsumsi H+pada rentang waktu yang cukup lama dengan cara mengamati pH tiap satuan waktu. Nilai pH dilihat pada tabel 11.
Tabel 11. Nilai pH pada konsentrasi H2SO46×10-4M,
H2O23×10-4M, dan I-6,3×10-4M
No. Awal reaksi 30 menit 60 menit
1. 3,04 3,15 3,16
2. 3,08 3,10 3,13
3. 3,08 3,10 3,14
Terjadi kenaikan pH selama reaksi yang menandakan berkurangnya H+ dalam larutan.
B. Pembahasan
1. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dan absorbtivitas molar I3
-Penentuan Panjang Gelombang Maksimum dengan Spektrofotometri
Percobaan penentuan panjang gelombang maksimum dilakukan secara spektrofotometri. Adanya I2 yang dihasilkan membuat larutan hasil reaksi
menjadi berwarna kuning. I2 yang terbentuk diduga bereaksi sangat cepat
dengan I- sehingga menghasilkan I3- yang berwarna kuning tua kecoklatan.
Warna inilah yang mendasari pengamatan terhadap produk ini dapat ditelaah secara spektrofotometri. Reaksi pembentukan I3-tersebut menurut Liebhabsky
dan Mohammad berlangsung sesuai reaksi (1). Penjabaran mekanisme untuk menghasilkan I3-dapat berlangsung seperti reaksi (2.6) sampai (2.10).
Gambar 1 menunjukkan adanya serapan I3- pada panjang gelombang
290.5 nm dengan absorbansi 0,6096 dan panjang gelombang 352.0 nm pada absorbansi 0,4126. Tabel panjang gelombang dengan absorbansi dapat dilihat pada lampiran I. Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang gelombang maksimum dengan absorbansi maksimum yakni pada 290,5 nm. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena perubahan absorbansi pada panjang gelombang maksimal tersebut untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Disekitar panjang gelombang maksimal bentuk kurva absorbansi datar dan pada kondisi tersebut hukum lambert-beer akan terpenuhi. Konsentrasi besar pada titik ini artinya larutan encer masih terdeteksi.
Penentuan absorbtivitas molar I3
-Percobaan pengukuran absorbansi dari larutan seri I3- dilakukan secara
triplo pada panjang gelombang maksimum 290,5 nm. Percobaan ini dilakukan dengan spektrofotometri dengan mengamati absorbansi pada beberapa variasi konsentrasi I3-. Konsentrasi I3- diketahui dari perhitungan konversi massa
pereaksi dengan tetapan kesetimbangan I3
-yang telah diketahui seperti pada perhitungan lampiran I. Perhitungan absorbtivitas molar dalam persamaannya
digunakan untuk konversi absorbansi menjadi konsentrasi maupun penentuan nilai kobs pada order reaksi tertentu. Absorbansi yang digunakan dalam perhitungan merupakan rata-rata absorbansi dari percobaan yang dilakukan secara triplo.
Hasil perhitungan dengan memplotkan nilai absorbansi vs konsentrasi I3
-didapatkan slope bernilai 1,41×104. Hubungan absorbansi (Abs) dengan konsentrasi adalah Abs = ε.b.C. Nilai slope pada kurva absorbansi vs konsentrasi yang didapatkan merupakan perkalian panjang sel kuvet (b) dengan absorbtivitas molar (ε) I3-. Dengan panjang sel kuvet (b) 1 cm, absorbtivitas
molar I3-pada panjang gelombang 290,5 nm adalah sebesar 1,41×104M-1cm-1.
Perhitungan, data dan gambar grafik ditunjukkan pada lampiran I.
2. Pembuktian Mekanisme Reaksi ditinjau dari Order Reaksi I
-Pembuktian mekanisme reaksi yang digunakan Copper-Koubek merujuk dari hukum lajunya. Pendekatan keadaan mantab dari mekanisme reaksi ini menghasilkan hukum laju seperti pada persamaan [2.3] yaitu pada kondisi tertentu I-dapat berorder nol dan satu. Percobaan untuk membuktikan order reaksi terhadap I- dilakukan dengan memvariasi konsentrasi I- dengan konsentrasi H+ dan H2O2 dibuat tetap. Percobaan dengan metode isolasi ini
dinilai lebih efektif untuk penentuan order reaksi karena dilakukan pengamatan terhadap satu per satu pereaksi. Untuk kevalidan data maka dilakukan percobaan secara triplo. Perhitungan dilakukan dengan cara integral dengan cara membandingkan nilai regresi pada setiap order reaksi. Pengamatan dilakukan pada awal dan akhir reaksi karena dimungkinkan order reaksi dapat berubah sesuai hukum laju pendekatan keadaan mantap.
Hasil perhitungan ditunjukkan pada tabel 7. Order reaksi sebenarnya dipilih dari nilai koefisien korelasi (correl) yang paling mendekati 1 atau -1. Perhitungan rumusan nilai regresi pada setiap order reaksi ditampilkan pada lampiran II. Order reaksi diamati pada order nol dan satu sesuai dengan kemungkinan order reaksi I- pada hukum laju pendekatan keadaan mantap seperti pada persamaan [2.3]. Hukum laju tersebut mengisyaratkan adanya
perbedaan order reaksi I- yaitu nol dan satu tergantung konsentrasi I- yang digunakan. Perhitungan juga dilakukan pada order dua untuk memastikan apakah I- dalam reaksi tersebut hanya dapat berorder nol dan satu atau dapat berorder lain.
Hasil perhitungan membuktikan pada beberapa konsentrasi I- yang dilakukan terdapat perbedaan order reaksi. Variasi I- dengan konsentrasi 0,00030 M dan 0,00027 M didapat berorder nol baik pada awal reaksi maupun pada akhir reaksi. Hal ini berbeda jika digunakan konsentrasi I-0,00024 M dan 0,00021 M maka akan didapat I-berorder nol pada awal reaksi serta beorder satu pada akhir reaksi. Perubahan order reaksi dikarenakan pada awal reaksi, I -dengan konsentrasi relatif besar memberikan order nol, dan memberikan order satu diakhir reaksi dengan konsentrasinya yang berkurang. Sementara jika digunakan I- 0,00018 M dan 0,00015 M didapat berorder satu pada awal maupun akhir reaksi. Hasil perhitungan tersebut membuktikan bahwa I -mempunyai dua order reaksi. Pada percobaan tersebut juga tidak teramati berorder dua menunjukkan bahwa order reaksi sesuai hukum laju yaitu hanya memberi dua kemungkinan yakni I-berorder nol dan satu.
Percobaan sesuai dengan hukum laju persamaan [2.3], pada konsentrasi I -relatif lebih besar sehingga nilai k-1/k2 diabaikan maka didapat I- berorder nol dan ketika I-relatif lebih kecil dibanding k-1/k2, nilai I-diabaikan maka akan didapat I- berorder satu. Mekanisme reaksi yang diyakini Copper-Koubek terbukti dengan dilihat dari order reaksi I-. Hasil percobaan ini juga menunjukkan bahwa penentuan hukum laju dengan pendekatan keadaan mantap tepat untuk diterapkan pada reaksi kompleks.
3. Penentuan hukum laju reaksi hidrogen peroksida dengan iodida
Penentuan hukum laju hidrogen peroksida untuk membuktikan apakah hukum lajunya berupa penjumlahan atau bukan. Reaksi penjumlahan yang dimaksudkan adalah reaksi hidrogen peroksida dengan iodida dengan adanya H+ dan tanpa adanya H+. Reaksi dengan adanya H+ terbukti dengan adanya serapan I3- pada spektrofotometri. Sesuai reaksi (2.16) dan (2.17) reaksi
hidrogen peroksida dengan iodida tanpa adanya H+ akan dihasilkan gas O2.
Pembuktian ada tidaknya O2 dilakukan dengan menggunakan percobaan
dengan sistem buret terbalik yang berisi minyak tanah (sistem alat dapat dilihat pada lampiranV). Percobaan dengan sistem buret terbalik berisi minyak tanah dimaksudkan untuk mengetahui volume O2 yang dihasilkan dari reaksi
dekomposisi H2O2 yang dikatalisis I- jika hukum laju tersebut merupakan
penjumlahan. Perhitungan jumlah O2 yang dihasilkan didasarkan pada
penurunan volume minyak tanah dalam buret. Percobaan dilakukan pada tiga konsentrasi yang berbeda. Hasil percobaan ditunjukkan pada tabel 8. Pada ketiga konsentrasi tersebut tidak didapatkan penurunan minyak yang berarti tidak ada gas yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan dalam kondisi percobaan ini tidak terjadi reaksi dekomposisi H2O2.
Percobaan ini digunakan pada konsentrasi H2O2yang kecil. Hal tersebut
menimbulkan pertanyaan tidak didapatkannya O2dalam reaksi tersebut apakah
memang dikarenakan dikarenakan tidak dihasilkannya O2dalam reaksi tersebut
atau karena konsentrasi pereaksi yang terlalu kecil sehingga O2 tidak terbaca
dalam buret. Konsentrasi H2O2 yang lebih tinggi diduga akan dihasilkan
oksigen yang lebih banyak.
Percobaan dilanjutkan dengan konsentrasi pereaksi yang lebih besar dengan perbandingan mol yang sama dengan pereaksi awal. Kondisi percobaan dibuat sama dengan sebelumnya. Percobaan ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah didapat O2 pada konsentrasi H2O2 yang lebih besar atau
tidak. Jika KI dan asam yang ditambahkan dibuat sama sementara H2O2dibuat
besar maka H2O yang juga merupakan produk dominan diduga mampu
mengurangi serapan terhadap I3- yang dihasilkan. Oleh karena itu percobaan
dilakukan dengan perbandingan pereaksi yang sama sehingga didapat kondisi yang sama. Hasil percobaan didapat pada tabel 9 yaitu tidak didapatkan volume O2teramati. Tidak adanya gas O2 yang dihasilkan menunjukkan bahwa dalam
keadaan konsentrasi tersebut tidak terjadi reaksi langsung antara H2O2dengan
I- tanpa adanya H+ sehingga hanya ada satu mekanisme yang terjadi yaitu mekanisme yang menghasilkan I3-.
Hasil yang didapat pada percobaan ini menunjukkan pada kondisi percobaan yang digunakan hukum laju lebih lebih cenderung sebagai hukum laju bukan penjumlahan. Namun tidak menutupi kemungkinan pada kondisi H+ yang lebih besar akan didapatkan hukum laju penjumlahan. Kemungkinan yang terjadi dalam kondisi percobaan ini adalah pereaksi H+ yang terlalu besar dimungkinkan masih bereaksi dengan bereaksi dengan H2O2 dan I- sehingga
hanya dihasilkan produk I3-.
Kemungkinan reaksi yang terjadi kemudian sebagai berikut:
H2O2(aq)+ I-(aq)+ H+(aq) H2O(l)+ HOI(aq) lambat (4.19)
Setelah zat antara HOI terbentuk, reaksi berlangsung mengikuti mekanisme reaksi (2.8) sampai (2.10).
Hukum laju bukan penjumlahan akan memberikan satu nilai kobsyaitu k yang didapatkan dari reaksi hidrogen peroksida dengan iodida dengan adanya H+. Tabel 10 menunjukkan kobs pada awal reaksi dan akhir reaksi. Nilai kobs didapat dari konversi nilai slope dengan rumusan seperti pada lampiran II.Pada kedua tabel tersebut terlihat nilai kobsyang berbeda pada awal dan akhir reaksi. Nilai kobspada awal reaksi lebih dipercaya sebagai nilai kobs yang sebenarnya karena pada akhir-akhir reaksi nilai absorbansi hampir mendekati konstan sehingga perubahan absorbansi tidak begitu signifikan. Selain itu grafik menjadi lebih landai sehingga untuk pengamatan selanjutnya dengan perbandingan order reaksi dapat digunakan perbandingan pada awal reaksi. Untuk kepentingan lain, perbandingan nilai kobs pada saat I- berorder satu dipilih pada akhir reaksi karena nilai I-berorder satu pada konsentrasi yang menghasilkan dua order teramati pada akhir reaksi. Perbandingan akan lebih mudah dilakukan jika ada kondisi yang sama. Sehingga untuk perbandingan order 1 akan lebih mudah untuk membandingkan nilai kobspada akhir reaksi.
Hukum laju bukan merupakan penjumlahan dimungkinkan mengikuti persamaan [14]. Karena nilai H+ dan H2O2pada semua variasi dibuat berlebih
dan konsentrasinya sama maka didapat nilai kobsyang sama pada order I- yang sama. Hal ini dikarenakan nilai kobspada hukum laju bukan penjumlahan hanya dipengaruhi oleh nilai [H+] dan [H2O2], sementara hukum laju penjumlahan
juga dipengaruhi nilai kadan kbyang merupakan tetapan dengan kbmerupakan k dekomposisi H2O2.
Perhitungan secara statistik dengan uji anava membuktikan bahwa nilai
kobspada order yang sama memenuhi hipotesis data tidak berbeda signifikan. Hal ini sesuai dengan hukum laju bukan penjumlahan dengan didapat nilai k yang sama pada order yang sama.
4. Konsumsi H+pada rentang waktu yang cukup lama
Hasil pengamatan terhadap pH campuran dengan konsentrasi seperti tabel 11 menunjukan bahwa pH larutan semakin meningkat dengan semakin lamanya pengamatan. Kenaikan pH menunjukkan berkurangnya H+ selama reaksi. Jika H+ merupakan katalis maka nilai pH akan cenderung tetap karena H+ akan dihasilkan kembali dalam reaksi. Hasil percobaan menunjukkan H+ terkonsumsi dalam reaksi tersebut sehingga akan lebih tepat jika dikatakan H+ ikut bereaksi sebagai pereaksi bukan sebagai katalis reaksi.