ISSN 2302-6308
PENDEKATAN
CARRYING CAPACITY
BERDASARKAN
ASPEK SOSIAL PRODUKSI NELAYAN BUBU
(
Determination of Carrying Capacity Based On Social Aspect of Bubu’s
Fishermen Production
)
Dwi Rosalina
1*, Sudirman Adibrata
11
Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan Fakultas Pertanian Perikanan dan Biologi
Universitas Bangka Belitung
Gedung Babel IV Kampus Terpadu Balunijuk Desa Balunijuk, Kecamatan
Merawang, Kabupaten Bangka Induk
*Korespondensi: uwie_18laut@yahoo.co.id
Diterima: 02 September 2013/ Disetujui: 10 Oktober 2013
ABSTRACT
Social carrying capacity is the maximum level of development activities in an area that is not socially harmful or do not conflict with other activities. The purpose of this research was to know the social carrying capacity which is based on the social aspects of fishermen fishing activities using grouper traps in Pongok Island, Province of Bangka Belitung Islands. Social data are obtained from secondary datain the form of village monographs or figure data of the district. The primary data are obtained from interview swith local fishermen using structured questions in the form of formal or informal dialogue, and questionnaires. Grouper aquaculture management strategies that need to be implemented in the form of groups of users (community groups) fishing traps model.
Keywords: carrying capacity, fishermen, social aspect, traps
ABSTRAK
Daya dukung sosial yakni tingkat kegiatan pembangunan maksimal pada suatu kawasan yang tidak merugikan secara sosial atau terjadinya konflik dengan kegiatan lainnya.Tujuan dari penelitian ini yaitu mengetahui carrying capacity nelayan bubu berdasarkan aspek sosial. Untuk memperoleh data sosial biasanya digunakan data sekunder berupa monografi desa atau kecamatan dalam angka. Selanjutnya wawancara berupa dialog formal dan informal dilakukan untuk memperoleh data primer yang dirangkum dalam pertanyaan terstruktur atau data dari kuisioner. Strategi pengelolaan budidaya kerapu perlu ditempuh dengan cara implementasi model berbentuk kelompok masyarakat pemanfaat (pokmas) nelayan bubu.
Kata kunci: aspek sosial, daya dukung, nelayan bubu PENDAHULUAN
Pulau Pongok sebagai salah satu sumberdaya pulau kecil berperan penting dalam mendukung pembangu-nan ekonomi daerah dalam
mening-katkan penerimaan devisa, lapangan kerja, dan pendapatan penduduk. Pulau Pongok mempunyai keunggulan kompa-ratif karena memiliki ekosistem terumbu karang yang dominan, selain itu
ter-dapat pula ekosistem mangrove dan padang lamun (Dahuri R 2001).
Ekosistem terumbu karang di Pulau Pongok menjadi tempat berlindung, tempat mencari makan, tempat asuhan dan tempat berkembang biak bagi ikan karang. Salah satu ikan karang yang bernilai ekonomis adalah ikan kerapu famili serranidae. Ikan kerapu ini ditangkap dalam kondisi hidup dengan alat tangkap bubu sehingga nelayannya disebut nelayan bubu. Kehidupan nelayan bubu sampai saat ini sudah berlangsung cukup lama sehingga perlu mengetahui dinamika produksi ikan kerapu yang dapat dikaji nilai eko-nominya (Djamali et al. 2001). Hal ini menjadi penting dalam memahami daya dukung (carrying capacity) produksi ikan kerapu oleh nelayan bubu di pulau kecil.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan pada tahun 2013 di Pulau Pongok Kabupaten Bangka Selatan Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Data sekunder diambil dari monografi desa dan kecamatan dalam angka. Selanjutnya dilakukan wawancara berupa dialog formal dan informal untuk memperoleh data primer yang dirang-kum dalam pertanyaan terstruktur dan data dari kuisioner. Dialog dapat
menggunakan alat yang mudah dan praktis seperti kertas plano beserta alat tulis lainnya. Kegiatan wawancara juga dilakukan pada waktu malam hari karena kebiasaan nelayan bubu yang menangkap ikan pada siang hari dan istirahat pada malam hari. Pertanyaan yang diajukan mencakup informasi mengenai:
1) Jumlah nelayan bubu di Pulau Pongok serta tingkatannya.
2) Cara penangkapan ikan apakah merusak atau tidak terhadap lingkungan.
3) Persepsi dari nelayan lain selain nelayan bubu.
4) Potensi konflik antara nelayan bubu dan pemanfaat sumberdaya lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kabupaten Bangka Selatan memi-liki 8 (delapan) kecamatan dengan luas wilayah yang beragam. Luas kecamatan di Kabupaten Bangka Selatan disajikan pada Tabel 1. Kecamatan Kepulauan Pongok Kabupaten Bangka Selatan yang berpenghuni yaitu di Pulau Pongok atau Desa Pongok dan Pulau Celagen atau Desa Celagen dengan jumlah penduduk seperti disajikan pada Tabel 2.
Tabel 1 Kecamatan, luas wilayah, dan jumlah penduduk di Kabupaten Bangka Selatan
No Kecamatan Luas (Km²) Prosentase Luas (%) Jumlah Penduduk (Orang)
1 Toboali 1.460,34 40,49 69.272 2 Air Gegas 853,64 23,67 40.142 3 Payung 372,95 10,34 19.792 4 Simpang Rimba 362,30 10,04 22.544 5 Lepar Pongok 172,31 4,78 7.266 6 Tukak Sadai 126,00 3,49 10.577 7 Pulau Besar 169,87 4,71 8.706 8 Kepulauan Pongok 89,67 2,49 5.187 Luas Total 3.607,08 100,00 183.486
Tabel 2 Jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Pongok
No Desa Daerah Luas
(km2)
Laki-laki
(Orang) Perempuan (Orang Jumlah (Orang
Jumlah Rumah Tangga (KK) 1 Pongok 86,74* 1.877 2.107 4.084 922 2 Celagen 2,93* 583 520 1.103 345 Jumlah 89,67 2.460 2.627 5.187 1.267
Sumber : Papan Informasi Desa Pongok dan Celagen 2013
Ikan kerapu hidup yang sudah menjadi komoditas ekspor mendorong beberapa nelayan untuk berkecimpung dalam bidang usaha ini. Penjualan ikan karang seperti ikan kerapu hidup cukup diminati pasar sehingga dapat digam-barkan tata niaga ikan kerapu pada Gambar 1 mulai dari nelayan bubu, pengusaha Keramba Jaring Apung (KJA), eksportir kerapu, dan pembeli dari Hongkong. Biasanya kapal dari Hongkong datang setiap bulan hanya satu kali ke tempat eksportir di Belitung sehingga pengusaha eksportir ini harus menjemput ikan dari penang-kar atau penangkar yang membawa ikan kerapu hidup ke tempat Eksportir sesuai dengan perjanjian yang mereka lakukan.
Nelayan Bubu di Pulau Pongok
Sebelum muncul pengusaha ke-ramba jaring apung (KJA) di Pulau Pongok, penjualan ikan karang seperti ikan kerapu dilakukan dengan menjual kerapu dalam kondisi mati atau dikenal sebagai ikan kerapu segar. Setelah adanya pengusaha KJA di Pulau Pongok, maka harga kerapu berangsur naik dan nelayan berusaha menjualnya dalam kondisi hidup. Nelayan sangat terbantu dengan adanya peningkatan harga yang sangat signifikan ini sampai akhirnya ditemukan cara penangkapan ikan karang dengan menggunakan alat tangkap bubu di perairan Pulau Pongok. Berdasarkan wawancara dengan peja-bat DKP Bangka Selatan, bubu diper-bolehkan karena masih tergolong alat tangkap yang ramah lingkungan. Daerah penangkapan ikan dengan bubu
oleh nelayan bubu Pulau Pongok hanya di sekitar perairan Kecamatan Kepul-auan Pongok Kabupaten Bangka Selatan.
Nelayan bubu di Pulau Pongok berjumlah 11 orang yang biasa dikenal dengan sebutan juragan, masing-ma-sing juragan memiliki anak buah kapal. Pada tahun 2011, nelayan bubu di Pu-lau Pongok berjumlah 11 orang terma-suk Bapak Mulkan, namun pada tahun 2013 Bapak Mulkan digantikan oleh anaknya yaitu Bapak Bali. Secara garis besar, nama-nama juragan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4.
Sarana Prasarana dan Operasional Penangkapan
Sarana dan prasarana peralatan yang mendukung untuk melaut sangat penting bagi nelayan bubu agar bubu dapat terpasang di lokasi yang diingin-kan sehingga persiapan dari mulai berangkat melaut sampai membawa ikan hasil tangkapan harus direnca-nakan dengan matang. Peralatan melaut dapat diuraikan seperti kapal 3 GT dan GPS, genset, kompressor, solar, ransum, bubu, sepatu selam, sarung tangan, masker, selang kom-presor, selang kecil atau ujung peman-car radio, dan panbel. Peralatan ini setelah dipakai tentunya mengalami penyusutan atau kerusakan dan penyu-sutan peralatan ini menjadi tanggungan juragan. Masa hidup (life time) peralatan di atas berbeda-beda yaitu kapal, GPS, compressor, dan wadah fiber glass disusutkan 10% setiap tahun sehingga terpakai untuk 10 tahun, bubu diganti setiap 3 bulan karena aus atau perlu
pembaharuan dimana bahan dasar bubu terdiri dari ram kawat dan rotan yang pembuatan bubunya dirakit sendiri oleh juragan nelayan bubu dengan perhitungan tertentu berdasarkan jum-lah lobang ram kawat, sepatu selam diganti setiap 2 bulan, sarung tangan diganti setiap 0,5 bulan, masker diganti setiap 12 bulan, selang kompresor diganti setiap 5 bulan, panbel diganti setiap 3 bulan.
Kebiasaan para nelayan bubu di Pulau Pongok dalam mengoperasikan alat tangkap bubu dapat dikatakan hampir sama yaitu setiap hari diper-gunakan untuk melaut kecuali ada halangan, sakit atau ada acara tertentu di kampung yang memerlukan gotong royong masyarakat. Hasil tangkapan masing-masing nelayan bubu relatif sama pada bulan yang sama dalam siklus tahunan
Sumber : Survey Lapangan 2013
Gambar 1 Tata niaga komoditas ikan kerapu di Pulau Pongok
Tabel 3 Data nelayan bubu di Pulau Pongok
Nama Umur (thn) Sekolah
Terakhir Status Pengalaman (thn) Jumlah Keluarga (org) Anton 26 STM Menikah 7 3 Pairus 26 SMP Menikah 9 4 Juanda 20 SMP Blm Menikah 3 1 Sumar 32 SD Menikah 15 5 Mano 26 SD Menikah 11 4 Didin 32 SD Menikah 15 4 Bujang 32 SD Menikah 15 5 Sopa 20 SD Blm Menikah 6 1 Idrus 39 SD Menikah 20 5 Roni 22 SMP Menikah 5 2 Bali 22 SD Blm Menikah 2 1
Tabel 4 Data nelayan KJA di Pulau Pongok dan Belitung
Nama Umur (thn) Sekolah Keterangan
P.Pongok
Hendri(5 perahu) 47 SD (tidak tamat) Menjual ke pak Abeng
Anton (2 perahu) 26 STM Menikah
Idrus 39 SD Sering menjual ke pak Hendri
P.Belitung
Abeng 47 SD (tidak tamat) Penampung besar, eksportir
Ahay 37 SD
Aheng 32 SD
Sumber: Survey lapangan, 2013
Operasional penangkapan ikan ka-rang untuk pemasangan bubu diletak-kan di sekitar karang mati dan terumbu karang dengan ditindih batu atau karang mati (bukan di atas terumbu karang) agar tidak merusak kondisi terumbu. Setiap satu kapal atau perahu dipimpin oleh 1 orang juragan, masing-masing juragan memiliki 3 anak buah sehingga total dalam satu kapal adalah 4 orang anak buah kapal (ABK). Waktu kerja atau melaut mulai pukul 9.00 sampai dengan pukul 17.00 WIB, di mana waktu libur menyesuaikan dengan kebutuhan seperti ada acara keluarga atau jika ada salah satu ABK yang terkena sakit. Tingkat kekeluargaan di Pulau Pongok masih tinggi, terbukti jika ada acara hajatan seperti pernikahan, mereka libur kerja dan bergotong royong untuk mempersiapkan kebu-tuhan pesta seperti membantu mem-buat panggung dan lain-lain.
Gambar 2 Penerimaan kerapu di lokasi pengusaha KJA Tahun 2013
Mengenai sistem pembagian hasil dalam satu buah kapal yaitu untuk 1 orang juragan sebagai pemimpin di kapal merangkap penyelam mendapat 2/5 bagian, dan untuk 3 orang ABK lainnya mendapat 3/5 bagian, dimana pembagian hasil tangkapan ini adalah setelah dipotong biaya lain-lain dian-taranya pembelian solar, stroom accu, dan lain-lain yang jumlahnya sekitar Rp 150.000,00/ trip melaut.
Ikan yang diambil dari bubu di dasar perairan, selanjutnya ikan ini segera ditusuk perutnya dengan selang kecil atau ujung pemancar radio yang bertujuan agar ikan tidak terjadi dekom-presi dan ikan dapat hidup dalam keramba, selanjutnya dimasukan dalam fiberglass berisi air laut untuk dipin-dahkan ke dalam keramba (Zhiyong dan Sheng 2009).
Sumber : Analisis dari wawancara dengan nelayan bubu 2013
Gambar 3 Tangkapan kerapu pada bulan Oktober 2012-September 2013
Ikan hasil tangkapan dari bubu ini disetorkan kepada pengusaha KJA setiap pulang melaut, ditimbang dan dicatat yang nantinya dibayarkan setiap akhir bulan atau dibayarkan setiap awal bulan berikutnya. Bagi nelayan bubu yang memiliki ikatan khusus maka biaya modal untuk kapal dan bubu ditanggung oleh pengusaha KJA dengan aturan misalnya ikan tangkapan di jual kepada pengusaha KJA tersebut dan nilai penjualan kerapu yang berbeda.
Lokasi penyelaman di laut dibatasi sekitar 20 titik/hari dimana 10 titik dipergunakan untuk mengambil bubu yang sudah terpasang dan 10 titik lagi dipergunakan untuk memasang bubu yang baru. Setiap titik dicatat koordi-natnya dengan alat bantu GPS garmin, dimana alat ini sangat bermanfaat bagi nelayan bubu dalam mempercepat pencarian lokasi yang akurat. Setiap titik penyelaman dipasang bubu secara berpasangan atau dua buah bubu di sekitar karang dengan mulut bubu menghadap searah datangnya arus air dengan masa perendaman selama 4 hari, jadi setiap juragan nelayan bubu memiliki sekitar 80 buah bubu Sugiarto et al. 2002). Pemasangan mulut bubu searah arus air ini disesuaikan dengan tingkah laku ikan (fish behaviour) dimana kebiasaan ikan target mencari makanan dengan menentang arah arus perairan. Lokasi yang pernah dipasang bubu dapat dipasang bubu kembali setelah sekitar satu bulan atau lebih, hal ini dilakukan untuk memperoleh hasil tangkapan yang diharapkan.
KESIMPULAN
Strategi pengelolaan budidaya kerapu perlu ditempuh dengan cara implementasi model berbentuk kelom-pok masyarakat pemanfaat (kelom-pokmas) nelayan bubu.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri R. 2001. Analisis Daya Dukung Kawasan Pesisir dan Laut. Bahan Kuliah: Analisis Sistem Permo-delan. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Djamali A, Mayunar, KA Azis, M Boer, J Widodo, A Ghofar. 2001. Perikanan Kerapu di Perairan Indonesia. Kerjasama Departemen Kelautan dan Perikanan, Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Perikanan laut, dan PKSPL IPB. Bogor.
Sugiarto T, Herlambang, Brastoro, R. Sudjana, S Kelana. 2002. Ekonomi Mikro: Sebuah Kajian Komprehensif. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Zhiyong F dan Sheng Z. 2009. Research on psychological carrying capacity of tourism destination. Chinese Journal of Population. 7(1): 47-50.