PROPOSAL PRAKTIKUM
TEKNOLOGI FARMASI SEDIAAN STERIL
AMPUL RIBOFLAVIN HCL
Disusun oleh: Kelompok D1-3
Imelda Dian Alvita 2014210113
Jatmiko Andrawino 2014210124
Kevin Christopher 2014210128
Lintang Pambuko WP 2014210135
Maratus Solikha 2014210140
Muthi’ah Husna 2014210152
FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS PANCASILA
2017
I. TUGAS
II. PENDAHULUAN
Vitamin adalah sekelompok senyawa organic berbobot molekul kecil yang memiliki fungsi vital dalam metabolisme setiap organisme, yang tidak dapat dihasilkan oleh tubuh. Vitamin adalah kofaktor dalam reaksi kimia yang dikatalisis oleh enzim. Pada dasarnya vitamin digunakan tubuh untuk dapat tumbuh dan berkembang secara normal. Vitamin memiliki peranan spesifik di dalam tubuh dan dapat pula memberikan manfaat kesehatan. Tubuh hanya memerlukan vitamin dalam jumlah sedikit, tetapi jika kebutuhan ini diabaikan maka metabolisme di dalam tubuh akan terganggu karena fungsinya tidak dapat digantikan oleh senyawa lain. Di samping itu, asupan vitamin juga tidak boleh berlebihan karena dapat menyebabkan gangguan metabolisme tubuh.
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa fungsi tubuh. Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada jaringan. Riboflavin diubah menjadi bentuk koenzim, yaitu riboflavin 5-phosphate (flavin mononucucleotide
[FMN]). FMN juga diubah ke bentuk koenzim yang lain, yaitu flavin adenine
dinucleotide (FAD). Koenzim ini berperan sebagai molekul pembawa hidrogen
untuk beberapa enzim yang terlibat dalam reaksi redoks pada substrat organik dan metabolisme intermediary. Defisiensi riboflavin (ariboflavinosis) menyebabkan gejala klinis berupa cheilosis, angular stomatitis, glossitis, keratitis, perubahan skrotal kulit, perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis. Normositis, normochromic anemia, dan neuropathy terjadi pada defisiensi yang parah. Pemberian riboflavin mengobati gejala-gejala defisiensi tersebut. (Drug Information 88 hal. 2101)
III. DATA PRE FORMULASI
1. Zat Aktif dan Bahan Pembantu a. Zat Aktif
Riboflavin
Nama Zat aktif Riboflavin (Vitamin B2)
Rumus Molekul C17H20N4O6
Rumus Struktur
Pemerian Serbuk hablur; kuning hingga kuning jingga; bau lemah. Melebur pada suhu lebuh kurang 280º. Larutan jernihnya netral terhadap lakmus. Jika kering tidak begitu dipengaruhi oleh cahaya terdifusi, tetapi dalam larutan sangat cepat terjadi peruraian, terutama jika ada alkali. (Farmakope Indonesia V hal. 1091)
Kelarutan Sangat sukar larut dalam air (1: 1000 sampai 10.000), dalam etanol, dan dalam larutan natrium klorida 0,9%; sangat mudah larut dalam larutan alkali encer; tidak larut dalam eter dan dalam kloroform. (Farmakope Indonesia V hal. 1091) Khasiat Untuk mencegah dan mengobati gejala defisiensi
riboflavin seperti cheilosis, angular stomatitis, glossitis, keratitis, perubahan skrotal kulit, perubahan okuler, dan seborrheic dermatitis. (Drug Information 88 AHFS, hal 2101)
Dosis 5 mg/mL (IONI 2000 hal. 346)
OTT Larutan alkali dan garam logam berat. (Martindale 28 hal. 1642)
Stabilitas Dengan adanya cahaya akan terurai. (Martindale 28 hal. 1642)
Sterilisasi Autoklaf (Martindale 28 hal. 1642) pH sediaan 4,5 sampai 7 (Martindale 28 hal. 1642) Literatur Drug Information 88 AHFS hal. 2101-2102
Farmakope Indonesia V tahun 2014 hal. 1091 Martindale 28 hal. 1642
IONI 2000 hal. 346
Nikotinamid
Nama Zat Nikotinamid Rumus Molekul C6H6N2O
Bobot Molekul 122,12
Pemerian Serbuk hablur; putih; tidak berbau atau praktis tidak berbau; rasa pahit. (Farmakope Indonesia V hal. 946)
pH Zat 6 – 7,5 (Farmakope Indonesia V hal. 946) OTT Agen pengoksidasi, alkali, dan asam kuat. (Drug
Information 88 AHFS hal. 2095)
Sterilisasi Autoklaf atau Filtrasi (Martindale 28 hal. 1650) Literatur Farmakope Indonesia edisi V hal. 946
Drug Information 88 AHFS hal. 2095 Martindale 28 hal. 1650
Natrium Metabisulfit
Nama Zat Natrium Metabisulfit Rumus Molekul Na2S2O5
Bobot Molekul 190,1
Pemerian Kristal; tidak berwarna atau putih; berbau seperti sulfur dioksida; rasa asam. (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654) Kelarutan Mudah larut dalam air; larut dalam gliserin dan
etanol. (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Penggunaan Antioksidan (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Konsentrasi 0,01 – 1,0% ((Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Ph 3,5 – 5 untuk larutan air 5% b/v pada suhu 20º C (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
yang berupa turunan orto- atau para-hidroksilbenzil alkohol untuk membentuk turunan asam sulfonat yang tidak mempunyai efek farmakologi. Natrium Metabisulfit juga inkompatibel dengan kloramfenikol dan fenilmerkuri asetat yang diautoklaf. (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654)
Stabilitas Jika terkena udara dan lembab, perlahan teroksidasi menjadi natrium sulfat dengan hancurnya bentuk kristal. (Handbook of Pharmaceutical Excipients 6th edition hal. 654) Sterilisasi Autoklaf organik yang dapat teroksidasi, dengan logam tertentu dengan senyawanya atau dengan alkali. (Farmakope Indonesia V hal. 64)
Literatur Farmakope Indonesia V hal. 64 c. Teknologi Sediaan Farmasi
1. Sediaan Injeksi Ampul
Injeksi adalah sediaan berupa larutan, emulsi, suspensi, atau sebruk yang harus dilarutkan atau disuspensikan lebih dahulu sebelum digunakan secara parenteral, suntikan dengan cara menembus, atau merobek jaringan dalam atau melalui kulit atau selaput lendir. Suspensi tidak dapat diberikan karena bahaya hambatan pembuluh kapiler.
dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat kedalam wadah dosis tunggal atau wadah dosis ganda. (Farmakope Indonesia III hal. 13)
Keuntungan sediaan parenteral: (Sediaaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 12)
1. Terapi parenteral diperlukan untuk obat yang tidak efektif idak secara oral atau akan rusak oleh sekresi saluran cerna seperti insulin, hormon lain dan antibiotika.
2. Pengobatan untuk pasien yang tidak koperatif atau tidak sadar harus diberikan melalui injeksi.
3. Permberian obat secara parental dapat pula memberikan efek lokal jika diperlukan.
Kerugian sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 13) 1. Sediaan diberikan oleh tenaga ahli
2. Membutuhkan waktu lebih lama jika dibandingkan dengan pemberian obat menurut rute lain
3. Begitu obat diberikan secara parental sulit untuk membalikan atau mengurangi efeak fisiologisnya
Karakteristik sediaan parental: (Sediaan Farmasi Steril Goeswin Agoes hal. 15) 1. Aman secara toksikologi.
2. Steril, bebas dari kontaminasi mikroorganisme, baik bentuk vegetative, patogen, spora dan non patogen
3. Bebas dari kontaminasi pirogen. 4. Bebas dari partikel partikulat asing.
5. Stabil, tidak hanya secara fisika dan kimia, tapi juga secara mikrobiologi.
Persyaratan untuk sediaan injeksi dalam ampul:
Termasuk dalam sediaan parentral dengan volume kecil : 1 ml, 2 ml, 3 ml, 5 ml, dan 20 ml.
Pada produk yang dikemas dalam bentuk kemasan dosis tunggal (unit dose) atau kemasan multidosis bertekanan tinggi tidak diberikan pengawet
Rute pemberian secara intramuscular, intravena, intradermal, subkutan, intraspinal, intrasisternal dan intratekal
(Buku pelajaran teknologi farmasi R. Voigt hal. 462)
Wadah yang digunakan untuk produk injeksi, salah satunya adalah ampul. Ampul adalah wadah berbentuk silindris yang terbuat dari gelas yang memiliki ujung runcing (leher) dan bidang dasar datar. Ukuran nominalnya adalah 1, 2, 5, 10, 20 kadang-kadang juga 25 atau 30 ml. Ampul adalah wadah takaran tunggal, oleh karena total jumlah cairannya ditentukan pemakaian dalam satu kali pemakaiannya untuk satu kali injeksi. Pelarut yang digunakan aqua pro injeksi. Perlu pemberian antioksidan karena wadah yang digunakan dapat tertembus oleh cahaya yang dapata menyebabkan zat aktif terurai. Ampul disterilisasikan di dalam autoklaf pada suhu 121ºC selama 15 menit, sedangkan untuk tutup vial karet dalam autoklaf, pada suhu 115ºC - 116ºC selama 30 menit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan antara dalam keadaan: 1. Tidak perlu pengawet karena merupakan takaran tunggal 2. Tidak perlu isotonis
3. Diisi melalui buret yang ujungnya disterilkan terlebih dahulu dengan alkohol 70 %
4. Buret dibilas dengan larutan obat sebelum diisi
3. Farmakologi ( Farmakologi dan Terapi edisi V hal 772) a. Farmakologi
b. Farmakokinetika
Pemberian secara oral atau parenteral akan diabsorbsi dengan baik dan didistribusi merata ke suluruh jaringan. Asupan yang berlebihan akan dikeluarkan melalui urin dalam bentuk utuh. Dalam tinja ditemukan riboflavin yang disintesis oleh kuman di saluran cerna, tetapi tidak ada bukti nyata yang menjelaskan bahwa zat tersebut dapat diabsorbsi melalui mukosa usus.
c. Farmakodinamik
Pemberian riboflavin secara oral maupun parenteral tidak memberikan efek farmakodinamik yang jelas.
d. Indikasi
Untuk pencegahan dan terapi defisiensi vitamin B2.
e. Kontraindikasi
Nefrolitiasis, hipersensitivitas, mengurangi efektifitas tetrasiklin, lincomycin, eritromisin, oxytetracycline, dan dexycycline.
f. Efek Samping
Konsumsi riboflavin dapat menyebabkan urin memiliki warna yang lebih kuning dari biasanya. Selain itu, riboflavin dapat menyebabkan diare dan meningkatkan jumlah urin.
g. Interaksi Obat
Laju dan tingkat absorpsi riboflavin dipengaruhi oleh propantheline bromide. Administrasi oleh propantheline bromide menunda laju absorpsi riboflavin namun meningkatkan jumlah yang terserap, dengan cara meningkatkan waktu menetap riboflavin dalam tempat absorpsi gastrointestinal. (Drug Information 88 AHFS hal. 2102)
IV. FORMULA
1. Formula Rujukan
(U. S. Pharmacopeia 37 hal. 4567) Tiap mL mengandung:
Nikotinamid Aqua Pro Injeksi
(Martindale 28 hal. 1642) Tiap mL mengandung: Riboflavin
Nikotinamid Aqua Pro Injeksi
1. Formula Jadi
Riboflavin 5 mg/mL
Nikotinamid 100 mg/mL
Na. Metabisulfit 0,1% Aqua pro injeksi ad 20 mL
2. Alasan Pemilihan Bahan 1. Riboflavin
Riboflavin atau vitamin B2 sangat penting untuk beberapa fungsi tubuh. Riboflavin diperlukan untuk respirasi pada jaringan. Pemberian riboflavin mencegah dan mengobati gejala-gejala defisiensi riboflavin.
2. Nikotinamid
Nikotinamid ditambahkan untuk membantu kelarutan riboflavin dalam air (salting out).
3. Na. Metabisulfit
Penggunaan Na. Metabisulfit dalam sediaan ini berfungsi sebagai antioksidan pada sediaan ini. Hal ini dikarenakan senyawa riboflavin tidak stabil terhadap cahaya.
2. ALAT dan BAHAN
1. ALAT: 2.
BAHAN:
1. Beaker glass 1. Riboflavin
2. Erlenmeyer 2. Nikotinamid
5. Gelas ukur 6. Kertas saring 7. Batang pengaduk 8. Spatula
9. Pinset 10. Kaca arloji 11. Pipet tetes 12. Penjepit besi
3. PEMBUATAN - Perhitungan
Rumus = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml n = jumlah vial yang akan dibuat v = volume injeksi tiap ampul (ml) 2x3 = untuk pembilasan
Volume total 12 ampul = {(n + kelebihan) x (v) + (2x3)} ml = {(10 + 2) x (1+0,1) + (2x3)} ml = 19,2 ml ~ 20 ml
Total Riboflavin HCl = 5 mg/mL x 20 ml = 100 mg
Konversi dengan Riboflavin:
= BM base x 100 mg BM Riboflavin HCl
= 376,36 x 100 mg 412,82
= 91,17 mg ~ 92 mg Total Nikotinamid = 100 mg/mL x 20 mL
= 2 g
Total Na. Metabisulfit = 0,1% x 20 mL = 0,02 g
Lar. aqua p.i = ad 20 ml
- Data Penimbangan Teoritis :
Riboflavin 92
Nikotinamid 2000
Na. Metabisulfit 20
Aqua Pro Injeksi ad 20 ml
- Cara Kerja
Prinsip: Sterilisasi terminal.
1. Alat-alat yang akan digunakan dicuci bersih. 2. Beaker glass dikalibrasi ad 20 mL.
3. Semua alat yang digunakan disterilkan dengan cara yang sesuai dengan literatur.
4. Dibuat aqua pro injeksi dengan cara air suling dipanaskan sampai mendidih selama 30 menit, didinginkan.
5. Bahan–bahan yang digunakan ditimbang (Riboflavin, Nikotinamid, Na. Metabisulfit).
6. Nikotinamid dilarutkan dengan sebagian aqua pro injeksi didalam beaker glass yang telah dikalibrasi.
7. Ditambahkan riboflavin ke dalam beaker glass, diaduk ad larut. 8. Ditambahkan Na. Metabisulfit ke dalam beaker glass yang berisi
larutan zat aktif, diaduk ad larut.
9. pH sediaan dicek, jika pH berada pada range 4,5-7 lalu ditambahkan aqua pro injeksi ad tanda kalibrasi.
10. Larutan disaring dengan kertas saring.
11. Dimasukkan larutan tersebut ke dalam ampul, masing-masing 1,1 mL menggunakan buret yang telah disterilkan terlebih dahulu. (Dispensasi: menggunakan syringe)
12. Kemudian ampul ditutup dengan cara :
Cara tarikan yang merupakan cara terbaik yaitu dengan semburan nyala api, diarahkan pada bagian tengah leher ampul. Setelah gelas melunak, bagian atas leher dijepit dengan menggunakan sebuah pinset (pada kerja manual) atau dilakukan dengan alat khusus (masinel) kemudian ditarik keatas sehingga ampul dapat ditutup. (Voight hal 469-470)
14. Dilakukan sterilisasi akhir di dalam autoklaf pada suhu 121oC
selama 15 menit
15. Dilakukan evalusasi QC (Uji Sterilitas, Keseragaman Volume, Kebocoran, Penetapan Kadar). (Dispensasi: Uji Sterilitas dan Penetapan Kadar tidak dilakukan)
16. Diberi etiket dan dimasukkan ampul ke dalam kemasan.
- Sterilisasi
No. Alat yang Digunakan Cara Sterilisasi Pustaka Waktu
Mulai 4 Karet tutup botol vial, karet
tutup pipet tetes 5 Aqua Pro Injection Didihkan selama
30 menit
FI V hal 64 6 Sterilisasi akhir Autoklaf 121oC
selama 15 menit
Martindale 28 hal 1642
4. EVALUASI
a. In Proses Control (IPC)
1) Uji pH ( Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1563)
2) Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521) Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral. Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar, setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5 menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi padanan I.
3) Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1526) Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan membuka wadah memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara.
b. Quality Control
1)Uji Keseragaman Volume (Farmakope Indonesia Edisi V. hal 1526) Isi alat suntik dapat dipindahkan kedalam gelas piala kering yang telah ditara, volume dalam ml diperoleh dari hasil perhitungan berat berat dalam gram dibagi bobot jenis cairan, isi dari 2 atau 3 wadah 1 ml atau 2 ml dapat digabungkan untuk pengukuran dengan menggunakan jarum suntik kering terpisah untuk mengambil isi tiap wadah. Isi dari 10 wadah atau lebih dapat ditentukan dengan membuka wadah, memindahkan isi secara langsung kedalam gelas ukur atau gelas piala yang telah ditara.
Kecuali dinyatakan lain pada bab ini atau masing-masing monografi, gunakan jumlah wadah seperti tertera pada tabel 3. Jika isi tiap wadah mencukupi (lihat tabel 2) isi wadah dapat dibagi sama banyak dan ditambahkan pada media yang sesuai. [Catatan: Lakukan uji sterilitas menggunakan dua atau lebih media yang sesuai]. Jika isi wadah tidak cukup untuk masing-masing media, gunakan jumlah dua kali dari yang tertera pada tabel 3. Pengujian terhadap contoh uji dapat dilakukan menggunakan teknik penyaringan media atau inkubasi langsung ke dalam media uji. Gunakan juga kontrol negatif yang sesuai. Teknik penyaringan membran digunakan apabila sifat contoh sesuai, yaitu untuk sediaan yang mengandung air dan dapat disaring, dan sediaan yang dapat dicampur dengan atau yang larut dalam pelarut air atau minyak, dengan ketentuan bahwa pelarut tidak mempunyai efek antimikroba pada kondisi pengujian.
3) Penetapan Kadar Riboflavin (Farmakope Indonesia V hal. 1091) Larutan uji
Timbang seksama lebih kurang 50 mg zat, dimasukkan ke dalam labu tentukur 1000-ml yang berisi lebih kurang 50 ml air. Tambahkan 5 ml asam asetat 6 N dan air secukupnya hingga lebih kurang 800 ml. Panaskan di atas tangas uap, terlindung dari cahaya sambil sering dikocok sampai larut. Dinginkan hingga suhu lebih kurang 25o, encerkan dengan air sampai tanda. Encerkan larutan secara
kuantitatif dan bertahap dengan air hingga sesuai dengan sensitifitas dari fluorometer yang digunakan.
Larutan baku
C adalah kadar Riboflavin BPFI dalam µg per ml Larutan baku, Iu dan Is
berturut-turut adalah harga fluoresensi yang telah dikoreksi dari Larutan uji dan
Larutan baku.
Syarat : Riboflavin mengandung tidak kurang dari 98,0% dan tidak lebih dari 102,0% C17H20N4O6 , dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
4)Uji Kejernihan (Farmakope Indonesia Edisi V hal. 1521) Metode Visual
Lakukan penetapan menggunakan tabung reaksi alas datar dengan diameter dalam 15-25 mm, tidak berwarna, transparan dan terbuat dari kaca netral. Bandingkan larutan uji dengan larutan suspensi padanan yang dibuat segar, setinggi 40 mm. Bandingkan kedua larutan di bawah cahaya yang terdifusi 5 menit setelah pembuatan suspensi padanan dengan tegak lurus ke arah bawah tabung menggunakan latar belakang berwarna hitam. Difusi cahaya harus sedemikian rupa sehingga suspensi padanan I dapat dibedakan dari air dan suspensi padanan II dapat dibedakan dari suspensi padanan I. Larutan dianggap jernih apabila sama dengan air atau larutan yang digunakan dalam pengujian dengan kondisi yang dipersyaratkan, atau jika opalesen tidak lebih dari suspensi padanan I.
5) Uji Kebocoran (CPOB 2013 hal. 39)
Sebelum dan sesudah kualifikasi, lakukan pemeriksaan kebocoran pada otoklaf dengan memulai program uji kebocoran yang ada di menu komputer autoklaf. Pada saat terakhir uji kebocoran, lakukan pembacaan tekanan absolut terakhir vakum dari tampilan komputer di otoklaf dan catat pada hasil cetakan untuk setiap uji. Tempelkan hasil cetakan komputer dari uji kebocoran otoklaf pada laporan kualifikasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Agoes, Goeswin. 2010. Sediaan Farmasi Steril. Bandung: Penerbit ITB.
2. American Hospital Formulary Service, Drug Information 88, American Society of Hospital Pharmacist.
3. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 1969. Farmakope Indonesia. Edisi III . Jakarta: Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan.
5. IONI.(2000). Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: BPOM RI, KOPERPOM dan CV Sagung Seto.
6. Lachman L, Lieberman HA, Kanig JL. 1994. Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi ketiga. Jakarta: UI-Press..
7. Lawrence, A.T. 2003. Handbook on Injectable Drugs. Edisi ke 12. Bethesda: American Society of Health System Pharmacist.
8. Reynolds JEF.1998. Martindale The Extra Pharmacopoeia. 28th edition.
London: The Pharmaceutical Press
9. Rowe, Raymond C., dkk. 2009. Handbook of Pharmaceutical Excipients sixth ed.VI London: PhP..
10. The United State Pharmacopeial Convention. (2014). The United States Pharmacopeia (USP). 37th Edition. United States.