• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pancasila dan Kewarganegaraan Tugas Indi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pancasila dan Kewarganegaraan Tugas Indi"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Pancasila dan Kewarganegaraan

Tugas Individu 2

Makalah dengan Topik:

Fundamentalisme dan Radikalisme

Jumat, 3 Maret 2017

Viviana Arwanto/ 170116024

Fakultas Teknobiologi

Universitas Surabaya

(2)

Fundalisme dan Radikalisme

A. Latar Belakang

1. Fundamentalisme

Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fundamental). Kelompok-kelompok yang menganut paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain, bahkan yang ada dilingkungan agamanya sendiri. Kebanyakan dari penganut paham ini menganggap dirinya sendiri lebih murni dan lebih benar dibanding dengan lawan-lawan mereka

yang iman atau ajaran agamanya telah “tercemar”. Kelompok fundalis mengajak

seluruh masyarakat luas agar taat terhadap teks kitab suci yang otentik dan tanpa kesalahan, selain itu mereka juga mencoba meraih kekuasaan politik demi mendesakkan kejayaan kembali ke tradisi mereka. Fundamentalisme biasanya didasarkan pada tafsiran atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam kitab suci atau buku yang digunakan sebagai pedoman.

Fundalisme sendiri merupakan suatu gerakan yang ingin kembali kepada dasar-dasar agama secara penuh dan literal bebas dari kompromi, penjinakan reinterpretasi. Menurut Fredrick M. Denny (seorang agamawan nasrani yang muncul pada awal abad ini), fundamentalisme merupakan kerangka kerja kaum protestan konservatif Amerika untuk menunjukkan ciri suatu dokrin yang berdasarkan kitab Injil yang meliputi 5 point utama, yaitu: kelahiran Yesus dari sang perawan, kebangkitan fisiknya, kitab Injil tanpa salah, penebusan dosa subtansial dan kedatangan Kristus yang kedua. Point yang sejalan dengan Islam hanyalah yang menyangkut ketidakbersalahan kitab suci Injil, yang dalam Islam adalah Alquran.

Ciri-ciri yang menggambarkan fundamentalisme, baik dilingkungan Nasrani maupun agama Islam, bila dilihat dari konsepsi dokrin yang dimiliki, terdapat persamaan dalam hal:

1. Faham fundamentalisme memberikan penekanan kepada interpretasi literal (teks) secara harafiah yang terdapat dalam kitab suci dan tidak mengenal adanya interpretasi kontekstual, sesuai dengan perkembangan zaman.

(3)

3. Faham fundamentalisme menekankan geraknya sebagai gerakan pemurnian terhadap ajaran agama yang telah dinodai oleh faham-faham modern, seperti: modernism, humanism, liberalisme, dan semacamnya.

4. Kaum fundalisme menganggap dirinya sebagai penafsir agama yang benar, sedangkan penafsir agama lainnya dianggap sesat dan menyeleweng yang harus disingkirkan demi kemurnian ajaran agama.

”Karakteristik fundamentalisme adalah skripturalisme, yakni keyakinan harfiah terhadap kitab suci yang merupakan firman Tuhan yang dianggap tanpa kesalahan. Dengan keyakinan itu dikembangkan gagasan dasar bahwa suatu agama tertentu dipegang kokoh dalam bentuk literal dan bulat, tanpa kompromi,

pelunakan, reinterpretasi dan pengurangan.” Demikianlah apa yang telah

dipaparkan oleh Hamim Ilyas yang mengatakan bahwa fundamentalisme selalu identik dengan penafsiran kitab suci yang secara rigid. Dalam hal ini, Azumardi azra mengklarifikasikan prinsip dasar dari fundamentalisme menjadi 4 ragam prinsip dasar.

(1) Opposionalisme (paham perlawanan). Fundamentalisme dalam agama mana pun mengambil bentuk perlawanan yang bukannya tak sering bersifat radikal terhadap ancaman yang dipandang akan membahayakan eksistensi agama, baik yang berbentuk modernitas, sekularisasi maupun tata nilai Barat. Acuan atau tolok ukur untuk menilai tingkat ancaman itu tentu saja adalah kitab suci, yang dalam fundamentalisme Islam adalah Al-Quran dan pada batas-batas tertentu juga hadits Nabi.

(2) Penolakan terhadap hermeneutika. Kaum fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks. Teks al-Qur’an harus dipahami secara literal sebagaimana bunyinya, karena nalar dipandang tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Meski bagian-bagian tertentu dari teks kitab suci boleh jadi kelihatan bertentangan satu sama lain, nalar tidak

dibenarkan melakukan semacam ”kompromi” dan menginterpretasikan

ayat-ayat tersebut.

(3) Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme, Bagi kaum fundamentalis, pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap teks kitab suci. (4) Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiologis, Kaum

fundamentalis berpandangan bahwa perkembangan historis dan sosiologis telah membawa manusia semakin jauh dari doktrin literal kitab suci. Karena itulah, kaum fundamentalis bersifat a-historis dan a-sosiologis ;

dan tanpa peduli bertujuan kembali kepada bentuk masyarakat ”ideal”

(seperti pada zaman kaum salaf) yang dipandang mengejawantahkan kitab suci secara sempurna.

(4)

Radikalisme berasal dari bahasa Latin “radix, radicis”, artinya akar ; (radicula, radiculae: akar kecil). Berbagai makna radikalisme, kemudian mengacu

pada kata “akar” atau mengakar. Perubahan radikal berarti perubahan yang

mengakar, karena hal itu menyangkut penggantian dasar-dasar yang berubah tadi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, radikal diartikan sebagai secara menyeluruh, habis-habisan, amat keras menuntut perubahan, dan maju dalam berpikir atau bertindak. Islam radikal mengandung makna kelompok Islam yang memiliki keyakinan ideologis tinggi dan fanatik yang mereka perjuangkan untuk menggantikan tatanan nilai dan sistem yang sedang berlangsung.

Radikalisme ialah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan , pergantian, penjebolan terhadap suatu sistem di masyarakat sampai ke akarnya bila perlu menggunakan cara-cara kekerasan. menginginkan adanya perubahan total terhadap suatu kondisi atau semua aspek kehidupan masyarakat. kaum radikal menganggap bahwa rencana-rencananya adalah rencana yang paling ideal. di Inggris radikalisme merupakan hasil usaha untuk melakukan perubahan terhadap parlemen.

Istilah radikalisme berasal dari radix yang berarti akar, dan pengertian ini dekat dengan fundamental yang berarti dasar. Dengan demikian, radikalisme berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan melihat persoalan sampai ke akar-akarnya. Demikian juga halnya dengan fundamentalisme, berhubungan dengan cita-cita yang diperjuangkan, dan kembali ke azas atau dasar dari suatu ajaran.

Ada beberapa sebab yang memunculkan radikalisme dalam bidang agama, antara lain, (1) pemahaman yang keliru atau sempit tentang ajaran agama yang dianutnya, (2) ketidak adilan sosial, (3) kemiskinan, (4) dendam politik dengan menjadikan ajaran agama sebagai satu motivasi untuk membenarkan tindakannya, dan (5) kesenjangan sosial atau irihati atas keberhasilan orang lain.

Aksi terorisme juga dapat digolongkan dalam radikalisme. Di Indonesia, aksi ini sering diatasnamakan oleh suatu agama. Seringkali berupa aksi teror bom di tempat-tempat yang dianggap oleh kelompok teroris tersebut, sebagai tempat yang berisi orang-orang yang tidak sejalan dengan ideologinya serta dianggap menghalangi mereka dalam mencapai tujuannya. Misalnya, Pub, diskotik, hotel-hotel asing, dan lain sebagainya.

(5)

mencederai 150 orang. Akibat peristiwa itu, Hotel JW Marriott ditutup selama lima minggu dan beroperasi kembali tanggal 8 September 2003.

Fundamentalisme dan radikalisme, ternyata tidak punya kaitan apa-apa diantara keduanya. Fundamentalisme adalah sebuah usaha yang dibangun untuk mentransformasikan berbagai kepercayaan dan keyakinan yang keliru dan menyimpang dikembalikan lagi pada ajaran semula. Sementara itu, radikalisme adalah sebuah usaha sekelompok orang yang ingin mencapai tujuannya dengan menghalalkan segala cara baik dengan jalan revolusioner atau dengan jalan ekstrimisme.

3. Penyelesaian

Radikalisme itu tidak berawal dan berasal dari medan konflik seperti Afghanistan atau Bosnia, Palestina atau Iran, Belfast atau Basque. Radikalisme itu bertumbuh mulai dari dalam pikiran manusia! Radikalisme itu menyangkut pemikiran dan pola berpikir yang berasal dari proses pembentukan cara berpikir. Oleh karena itu, sekolah adalah institusi yang paling bertanggungjawab terhadap munculnya radikalisme dan fundamentalis beserta segala ekses yang ditimbulkannya.

Arah pendidikan nasional dan kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah kita sudah lama dibajak, keluar dari rel filosofi pendidikan dan cita-cita kemerdekaan untuk memanusiakan manusia Indonesia, dan hanya menjadi abdi/budak kolonialisme modal, kapitalisme dan industri modern yang berjarak dengan rakyat miskin. Anak-anak di sekolah belajar atau diajari ilmu-ilmu tinggi untuk bisa memasuki abad industri dan abad informasi, tetapi pada saat yang sama anak-anak yang sama justru gagap dan gagal mengenal dan beradaptasi dengan alam lingkungan di sekitar mereka.

(6)

hanya sedikit-sedikit dari yang banyak itu, dan dari yang sedikit-sedikit itu hampir tidak ada yang bisa diterapkan dalam hidup mereka.

Salah satu dampak „robotisasi‟ produk pendidikan untuk menghasilkan

sumberdaya manusia (sebuah istilah yang menyamakan manusia sebagai barang modal sejajar dengan sumberdaya alam, dll.) demi melayani kebutuhan dunia industri kapitalis itu adalah lemahnya penanaman sistem nilai pada anak didik. Sekolah cenderung mengabaikan proses dan mementingkan output: yang penting angka lulusan tinggi, terserah apakah target itu mau dicapai dengan cara halal atau tidak halal, semua itu tidak penting. Sekolah lalu kehilangan peluang dan peran utama dalam pembentukan karakter manusia muda

Indonesia akibat pragmatisme pendidikan. Oleh karena itu, sekolah harus kembali kepada fungsinya sebagai tempat berlangsungnya proses persemaian dan pembentukan manusia berbudaya dan berakhlak, manusia yang mempunyai karakter untuk merawat ko-eksistensi damai antara manusia dengan alam lingkungannya, menjadi manusia yang menolak kekerasan dan mengutamakan cara-cara damai dalam menyelesaikan konflik.

Kita secara individu maupun kelompok tidak pernah mampu mempelajari detail sebuah keyakinan/agama sebelum akhirnya merasa yakin dan menyimpulkan bahwa agama si A atau si B itu baik dan karena itu kita boleh bergaul, bersahabat, atau bertetangga dengan seseorang dari komunitas dengan keyakinan berbeda dengan kita. Yang sebaliknya malah lebih mungkin: dari pergaulan sehari-hari – sebagai sahabat, tetangga atau rekan kerja – kita memperoleh kesan bahwa mereka yang berbeda keyakinan/agama dengan kita itu ternyata adalah orang-orang baik, suka bersahabat, jujur, rendah hati, toleran, suka membantu, dan sebagainya dan

seterusnya, maka kita bisa simpulkan, walau secara a‟priori, bahwa di balik orang -orang baik ini pasti ada nilai-nilai kehidupan baik yang di anut, dan nilai-nilai kebaikan itu juga mencerminkan keyakinan/agama yang mereka anut. Artinya: saya menghargai Islam atau Kristen bukan karena saya memiliki pengetahuan yang mumpuni tentang agama Islam atau Kristen, melainkan karena kesaksian hidup yang kita alami bersama!

Oleh karena itu, terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan oleh sekolah : 1. Sekolah harus menjadi ruang latihan dan praksis hidup bersama bagi

anak-anak didik untuk mengenal kekayaan, kekuatan, dan keindahan hidup bersama sebagai satu keluarga besar dalam hidup berbangsa dan bernegara. 2. Sekolah harus menjadi ruang belajar yang menghargai perbedaan dan

mengedepankan metode penyelesaian perbedaan menurut cara-cara beradab, penuh semangat toleransi, dan saling respek.

(7)

4. Para guru harus menjadi teladan toleransi dan penghayatan kemajemukan di dalam kelas.

5. Kepala Sekolah hendaknya memiliki leadership and managerial skills yang mampu mengawal kehidupan bersama yang harmonis di lingkungan sekolah dan dalam hubungan dengan masyarakat.

B. Daftar Pustaka

Bruce, Steve. 2000. Fundamentalisme: Panutan Sikap Keberagaman dan Modernitas. Jakarta: Erlangga.

Effendy, B., Prasetyo, Hendro. 1998. Radiklisme Agama. Jakarta: PPIM Haryono, Yudhie. 2005. Melawan dengan Teks. Yogyakarta: Resist Book

Huntington, Samuel P. 1996. Authoritarian Politics in Modern Society. Jakarta: Gramedia

Naharong, Abdul Muis. 2008. Fundamental Islam, Pengantar Studi Islam. Surabaya: IAIN, Jurnal Umiversitas Paramadina.

Roy, Oliver. 1999. The Failure of Political Islam, Brown Journal of World Affair. Thoha, Anis Malik. 2006. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Gema Insani

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini operator harus input data yang diperoleh saat melakukan. inspeksi FO sesuai dengan jumlah sampling yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan lama ruminasi antara sapi yang dijemur dengan yang tidak dijemur belum menyebabkan perbedaan kecernaan pakan.. Konsumsi nutrien

Ko : Pertemuan kali ini adalah pertemuan kita yang terakhir, karena permasalahan kalian sudah dipecahkan semuanya, kali ini saya akan menjelaskan kegiatan kalian yang disenangi

Perencanaan peserta didik secara langsung akan berhubungan dengan kegiatan penerimaan dan proses pencatatan atau perekapan data pribadi peserta didik yang nantinya tidak

Tujuan penelitian ini adalah : 1) Mendeskripsikan pelaksanaan pembelajara HOTS dalam penerapan kurikulum 2013 di SD Muhammadiyah 1 Surakarta. 2) Mendeskripsikan peran guru dalam

Keresahan aksi teror yang tidak berkeprimanusiaan terhadap korbanya muncul gagasan-gagasan yang ingin diungkapkan melalui media seni berbentuk seni cetak grafis

Hewan/Ternak dan Tumbuhan Jumlah Asal usul Kondisi Barang. Tahun Cetak /