• Tidak ada hasil yang ditemukan

IS EVERYTHING UNDER CONTROL PERAN TRAIT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "IS EVERYTHING UNDER CONTROL PERAN TRAIT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

IS EVERYTHING UNDER CONTROL?

PERAN TRAIT SELF -CONTROL DALAM STRUKTUR PENGALAMAN AFEKTIF

Fitra Hermawandhika Wityanto herfitra@gmail.com

Cleoputri Al Yusainy Ika Herani

Program Studi Psikologi Universitas Brawijaya

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah perbedaan individual dalam hal trait self-control memiliki peran dalam struktur pengalaman afektif individu, yaitu dimensi valence dan arousal. Penelitian ini menggunakan desain within-subject experiment dengan melibatkan 81 orang mahasiswa baru prodi Psikologi Universitas Brawijaya sebagai partisipan. Afek partisipan diinduksi menggunakan stimulus gambar dari IAPS yang diukur melalui rating SAM dan trait self-control diukur menggunakan Brief Self-control Scale (SCS). Hasil analisis statistik menggunakan teknik one-way repeated measures ANOVA menunjukkan bahwa trait self-control tidak memiliki peran signifikan dalam struktur pengalaman afektif partisipan, baik pada dimensi valence (F (1.88) = .324, p = > .05) maupun pada dimensi arousal (F (.70) = 1.499, p = > .05). Namun, analisis tambahan menunjukkan bahwa partisipan perempuan cenderung memaknai stimulus negatif lebih ekstrim (M = 2.67, SD = .496) dibandingkan dengan partisipan laki-laki (M = 3.23, SD = .676).

Kata Kunci: struktur pengalaman afektif, valence, arousal, trait self-control, IAPS, SCS

ABSTRACT

This study aims to investigate whether individual differences on the level of trait self-control has a role in individual’s structure of current affect, specifically on valence and arousal dimension. Within-subject experiment was used as a research design which involve 81 undergraduate Psychology students of Brawijaya University as participants. IAPS pictures was used to evoke participant’s affect and measured by SAM’s rating while trait self-control was measured using Brief Self-control Scale (SCS). Statistical analysis using repeated measures technique shown that trait self-control has no significant role in participant’s structure of current affect, both on valence (F (1.88) = .324, p = > .05) neither on arousal dimension (F (.70) = 1.499, p = > .05). However, additional analysis indicate that female participant tend to rate negative valenced stimuli as more extreme (M = 2.67, SD = .496) compared with male participant (M = 3.23, SD = .676).

(2)

PENDAHULUAN

Emosi-afek merupakan unsur paling

fundamental dari setiap aspek di

kehidupan manusia, mulai dari proses

pengambilan keputusan, peristiwa yang

kita ingat, hingga interaksi sosial yang kita

bina dengan orang lain (Yusainy, 2015).

Afek, atau yang biasa disebut dalam istilah sehari-hari sebagai “perasaan”, merupakan pemaknaan secara subjektif dari emosi

(Panksepp, 2010).

Menurut Barrett & Russell (1999),

afek terdiri dari dua dimensi bipolar yang

independen satu sama lain, yaitu valence

dan arousal. Valence merupakan dimensi

hedonis yang bergerak dari perasaan

menyenangkan (afek positif) hingga tidak

menyenangkan (afek negatif), sementara

arousal merujuk pada dimensi aktivasi

yang bergerak dari perasaan tergugah dan

menggebu-gebu (arousal tinggi) hingga

perasaan tenang, malas dan mengantuk

(arousal rendah). Bersama-sama,

kombinasi antara valence dan arousal akan

membentuk berbagai macam pengalaman

afektif manusia seperti bahagia, tenteram,

marah, rasa bersalah, sedih, jijik, takut,

cemas, dan sebagainya. Berbagai macam

pengalaman afektif tersebut merupakan

respon manusia terhadap stimulus yang

muncul dari lingkungan (Agustiningsih,

2015).

Kuppens (2008) mengemukakan

bahwa perasaan menyenangkan dan tidak

menyenangkan akan bervariasi dari satu

individu ke individu lain, diikuti oleh

kombinasi tingkat valence dan arousal

yang berbeda-beda. Pada beberapa

individu, afek yang menyenangkan

(positif) mungkin diikuti dengan tingginya

level arousal yang kemudian

dipersepsikan sebagai perasaan tergugah

dan antusias. Sementara itu pada individu

yang lain, afek menyenangkan mungkin

akan diikuti dengan level arousal yang

rendah, sehingga dipersepsikan sebagai

perasaan rileks dan tenteram. Sebaliknya,

afek yang tidak menyenangkan (negatif)

kadangkala diikuti oleh tingginya level

arousal sehingga memunculkan suatu

perasaan cemas dan tertekan, sementara

pada individu lain afek tidak

menyenangkan biasanya disertai dengan

level arousal yang rendah sehingga

dimaknai sebagai suatu perasaan sedih dan

depresi.

Salah satu hal yang menjelaskan

mengapa tiap individu dapat memaknai

pengalaman afektifnya dengan

berbeda-beda tentu tidak lepas dari peran variasi

individual terutama trait kepribadian, yaitu

suatu pola-pola perilaku dan respon yang

menetap pada diri individu (Revelle &

Scherer, tanpa tahun). Trait kepribadian

diketahui memiliki peran dalam proses

pemaknaan pengalaman afektif seseorang

melalui proses trait-congruent processing,

(3)

stimulus atau peristiwa akan berbeda-beda

bergantung pada trait kepribadian yang

dominan dalam dirinya (Vuoskoski, 2012).

Contohnya dalam trait kepribadian Big

Five, individu dengan trait extraversion

yang tinggi akan cenderung untuk lebih

memaknai pengalaman yang positif dan

menyenangkan, karena trait extraversion

sendiri berkorelasi kuat dengan optimisme

dan kecenderungan untuk menghindari

emosi yang negatif. Sementara itu,

individu dengan trait neuroticism yang

tinggi akan cenderung untuk lebih

memaknai pengalaman yang negatif dan

tidak menyenangkan, karena trait

neuroticism sendiri berhubungan kuat

dengan ketidakstabilan emosi dan

perasaan-perasaan negatif seperti cemas

dan takut (Vuoskoski, 2012).

Salah satu aspek perbedaan individual

yang dapat mempengaruhi perbedaan

pemaknaan seseorang terhadap

pengalaman afektifnya adalah pada

kapasitas individu dalam hal kontrol diri

atau self-control sebagai bagian dari trait

kepribadian. Kontrol diri atau yang biasa

disebut sebagai self-control merupakan

kapasitas individu untuk secara sadar

mengendalikan proses mental dan perilaku

agar sesuai dengan standar yang telah ia

tetapkan sebelumnya (Inzlicht & Legault,

2014). Menurut Baumeister (2012), kontrol diri bertujuan untuk “merubah” respon individu agar sesuai dengan standar

atau kriteria yang ideal menurut dirinya

atau menurut orang lain.

Kemampuan manusia dalam

mengendalikan diri menjadi penting

sebagai salah satu antisipasi kita untuk

bertahan hidup. Menurut pendekatan

evolusioner, suatu perilaku dikatakan

adaptif apabila perilaku tersebut

mendukung kelangsungan manusia untuk

bertahan hidup dari waktu ke waktu (Del

Giudice, 2013). Sama halnya dengan

intelegensi, self-control merupakan salah

satu sifat atau trait paling adaptif yang

dimiliki manusia. Hal tersebut dibuktikan

melalui temuan dari De Ridder dan kolega

(2012) yang menemukan bahwa

self-control memiliki asosiasi dengan berbagai

macam aspek positif dalam kehidupan

seperti hubungan interpersonal yang sehat,

popularitas, keterampilan coping stres

yang efektif, performa akademik,

kesehatan mental, serta lebih kebal

terhadap berbagai perilaku maladaptif

seperti penyalahgunaan alkohol dan zat,

agresivitas, perilaku kriminal, dan

gangguan makan.

Menurut Gillebaart & De Ridder

(2015), self-control muncul ketika individu

berada dalam suatu dilema dimana

terdapat konflik dalam diri yang perlu

diselesaikan. Pada level trait, self-control

(4)

cenderung stabil keberadaannya sepanjang

umur manusia. Walaupun individu dengan

trait self-control yang tinggi akan

cenderung mengenali potensi-potensi

konflik dan dilema dalam diri mereka,

namun mereka tidak menjadikan konflik

dan dilema internal itu sebagai masalah

yang berarti bagi mereka dibandingkan

dengan individu yang memiliki level trait

self-control yang rendah. Dengan

demikian, tinggi rendahnya trait

self-control yang dimiliki individu akan

mepengaruhi persepsi individu terhadap

pengalaman afektif yang dirasakannya.

Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui sejauh mana trait self-control

berperan dalam pembentukan pengalaman

afektif seseorang, dalam hal ini dimensi

valence dan arousal. Sejauh ini, belum

banyak penelitian yang berfokus pada

peran trait self-control terhadap dimensi

valence dan arousal. Adapun penelitian

serupa berfokus pada peran trait

kepribadian Big Five terhadap valence dan

arousal (lihat Komulainen dan kolega,

2014; Tok, Koyuncu, Dural, & Catiikas,

2010), salah satunya adalah trait

conscientiousness yang secara teoritik

berkaitan erat dengan trait self-control

(Tangney, Baumeister, & Boone, 2004;

Navarro, 2011). Roberts, Chernyshenko,

Stark, & Goldberg (2005) mengungkapkan

bahwa self-control merupakan salah satu

sub-faset atau komponen yang menyusun

trait kepribadian conscientiousness.

Riset ini juga merupakan bagian dari

penelitian payung Yusainy dan Herani

(2016), dimana studi dengan judul yang

sama diteliti oleh dua peneliti yang

berbeda secara paralel. Hal ini dilakukan

sebagai bentuk dukungan terhadap

Reproducibility Project yang digagas oleh

Brian Nosek, seorang social psychologist

dari University of Virginia (Essig, 2015).

Studi replikasi sangat penting dilakukan

sebagai bagian dari ujung tombak ilmu

pengetahuan untuk memperkuat atau

memfalsifikasi konstruk teoritis yang telah

ada sebelumnya melalui bukti-bukti yang

empiris.

Oleh karena itu, peneliti mengajukan

hipotesis sebagai berikut:

1. Trait self-control memiliki peran

dalam hubungan antara valence

stimulus dengan rating valence

2. Trait self-control memiliki peran

dalam hubungan antara arousal

(5)

METODE PENELITIAN

a. Desain Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian

kuantitatif eksperimen dengan

menghadirkan stimulus afektif yang

disajikan melalui International Affective

Picture System (IAPS; Lang, Bradley, &

Cuthbert, 2008). Penelitian ini merupakan

studi adaptasi dari Yusainy (2015) dan

merupakan bagian dari penelitian payung

Yusainy dan Herani (2016) dengan

melibatkan dua variabel independen yaitu

stimulus valence yang memiliki tiga

variasi (positif, negatif, netral) dan

stimulus arousal yang memiliki dua

variasi (tinggi, rendah). Selain itu, terdapat

pula dua variabel dependen berupa rating

valence dan rating arousal serta tiga

variabel moderator yakni trait rumination,

trait alexythimia, dan trait self-control.

Peneliti sendiri berfokus untuk mengetahui

peran trait self-control dalam struktur

pengalaman afektif individu.

Teknik yang digunakan dalam

penelitian ini adalah within-subject

experiment dengan melibatkan 86 orang

mahasiswa sebagai partisipan penelitian.

Partisipan dibagi ke dalam 6 sesi

eksperimen dengan masing-masing sesi

diikuti oleh 10-16 orang partisipan. Tidak

terdapat perbedaan perlakuan dan

randomisasi pada tiap sesi ekperimen,

sehingga tiap partisipan mendapatkan

perlakuan yang sama di tiap sesinya.

b. Partisipan Penelitian

Partisipan dalam penelitian ini adalah

mahasiswa baru prodi Psikologi

Universitas Brawijaya yang mengambil

mata kuliah Biopsikologi sebanyak 86

orang. Sebagai imbalan, partisipan akan

mendapatkan kompensasi kredit nilai kuis

sebesar 10% dari mata kuliah Biopsikologi

atas keikutsertaan mereka karena

penelitian ini bekerjasama dengan dosen

pengampu mata kuliah Biopsikologi.

Perhitungan G*Power 3.1.9.2

menunjukkan bahwa untuk memperoleh

effect size medium (f = 0.25) dengan

power = 0.8, jumlah minimum keseluruhan

sampel yang diperlukan adalah 65

partisipan. Jadi, jumlah total partisipan

dalam penelitian ini sudah mencukupi.

c. Data Penelitian

1. International Affective Picture

System (IAPS)

Instrumen gambar IAPS terdiri dari

ribuan foto orang, objek, dan

peristiwa yang merepresentasikan

ragam pengalaman manusia.

Instrumen IAPS dipilih karena

diketahui telah digunakan secara luas

pada studi-studi yang terkait dengan

emosi-afek (Mikels dan kolega,

2005). Selain itu, stimulus berupa

gambar juga dipilih karena diketahui

bersifat statis, mudah disajikan, dan

(6)

Dalam penelitian ini, jumlah

stimulus gambar IAPS yang harus

dinilai oleh partisipan adalah

sebanyak 60 foto (masing-masing

kategori diwakili 10 foto). Di samping

pemberian 60 foto tersebut, partisipan

juga diberikan 6 foto yang harus

mereka nilai di sesi practiceII dimana

masing-masing foto mewakili setiap

kategori yang akan digunakan sebagai

data manipulation check. Setiap

gambar akan ditampilkan selama 6

detik secara acak. Segera setelah

gambar menghilang dari monitor,

partisipan diberi waktu 10 detik untuk

menilai valence dan arousal dari

gambar tersebut melalui penskalaan

SAM.

Pemilihan stimulus gambar

dilakukan berdasarkan kiteria norma

dari Huang dan kolega (2015), dimana

stimulus gambar yang digunakan

dalam penelitian ini mengacu pada

database IAPS yang telah

diujicobakan kepada masyarakat

Tiongkok. Hal tersebut dilakukan

dengan mempertimbangkan hasil riset

dari Huang dan koleganya (2015)

yang menemukan bahwa masyarakat

Amerika dan masyarakat Tiongkok

cenderung memaknai stimulus

gambar IAPS secara berbeda,

sehingga perlu dilakukan modifikasi

(penormaan ulang) apabila stimulus

gambar IAPS akan digunakan kepada

masyarakat Asia.

2. Self Assessment Manikin (SAM)

Penilaian kedua dimensi afektif

masing-masing gambar dilakukan

dengan menggunakan paradigma label

non-verbal yang dinamai

Self-Assessment Manikin (SAM) dari Peter

J. Lang (1980). Masing-masing

dimensi afektif, yaitu valence dan

arousal diberi label dari 1 sampai 9

(dimensi valence: skor 9 = ekspresi

senyum dan 1 = ekspresi cemberut;

dimensi arousal: skor 9 = ekspresi

antusias, mata terbuka lebar dan 1 =

ekspresi santai, mata mengantuk).

Skor rerata valence dan arousal yang Gambar 1. Slide Pertama IAPS

(7)

diberikan partisipan terhadap

masing-masing kategori foto menghasilkan

ratingvalence dan arousal. Instrumen

IAPS dan rating SAM dipresentasikan

di layar komputer melalui

pemograman dasar Phyton yang

dikembangkan oleh Dharmawan

(2015).

3. Brief Self-control Scale (SCS)

Trait self-control sebagai variabel

moderator yang mengukur aspek

perbedaan individual diukur dengan

menggunakan kuesioner Brief

Self-control Scale atau SCS (Lampiran

10). Partisipan diminta untuk mengisi

kuesioner yang terdiri atas 13 item

pernyataan yang merefleksikan kebiasaan sehari-hari (contoh, “saya mampu mengendalikan godaan dengan baik”) dalam skala likert lima poin (1 = “sangat tidak akurat” hingga 5 = “sangat akurat”). Dalam SCS terdapat 4 pernyataan favorable (item

nomor 1, 6, 8, dan 11) dan 9

pernyataan unfavorable (2, 3, 4, 5, 7,

9, 10, 12, dan 13; reversed score).

Semakin tinggi skor pada Brief

Self-control Scale merepresentasikan

tingginya trait self-control yang

dimiliki individu. Pada penelitian

Yusainy (2015), brief self-control

scale memiliki reliabilitas yang cukup

baik dengan nilai alpha cronbach

sebesar 0.745.

4. Video Humor

Video humor ditampilkan dengan

tujuan untuk menetralisir dampak dari

induksi afek tidak menyenangkan

yang dilakukan selama sesi

eksperimen. Video humor tersebut berjudul “Hillarious: Don’t judge too quickly by Ameriquest series” dan

diunduh dari situs youtube (url:

https://youtube.com/watch?v=uNdap

XryZ98) berdurasi 1 menit 31 detik

dan ditayangkan kepada partisipan di

sesi akhir eksperimen. Video humor

ini sebelumnya telah diujicobakan

pada pilot study yang dilaksanakan

pada 10 November 2015, dimana lima

orang partisipan pilot study menilai

bahwa video yang ditampilkan cukup

menghibur.

d. Analisis Data

Data dianalisis menggunakan software

SPSS ver. 16.0 for Windows dengan

metode one-way repeated measures

ANOVA untuk menjawab hipotesis

penelitian. Analisis data dilakukan Gambar 3. SelfAssessment

(8)

sebanyak dua kali, yaitu pada stimulus

valence terhadap rating valence dan pada

stimulus arousal terhadap rating arousal.

HASIL

a. Gambaran Umum Partisipan

Partisipan dalam penelitian adalah 86

orang mahasiswa kelas Biopsikologi FISIP

Universitas Brawijaya. Namun, 4 orang

partisipan sudah tidak lagi terdaftar

sebagai mahasiswa aktif sementara 1 orang

partisipan tidak hadir ketika proses

pelaksanaan eksperimen, sehingga jumlah

total partisipan yang mengikuti penelitian

ini adalah 81 orang. Persentase mahasiswa

perempuan dan laki-laki ditampilkan

melalui tabel dibawah. Selain itu,

partisipan memiliki rentang usia antara 17

hingga 20 tahun (mean = 18.17, SD =

.667).

Tabel 1. Deskripsi Partisipan Karakteristik N Persentase Jenis

Kelamin

Laki-laki 25 30.86 % Perempuan 56 69.14 % Usia 17 9 11.11 %

18 52 64.19 %

19 17 20.99 %

20 3 3.71 %

b. Reliability Analysis

Sebelum dilakukan interpretasi dan

analisis terhadap data yang telah

didapatkan, peneliti terlebih dahulu

melakukan reliability analysis untuk

mengetahui konsistensi internal atau

reliabilitas dari instrumen utama yang

digunakan pada penelitian ini, yaitu skala

Brief Self-control Scale (SCS) dan

stimulus gambar dari International

Affective Picture System (IAPS).

Koefisien reliabilitas alpha cronbach (α) disajikan melalui tabel dibawah ini.

Tabel 2. Reliabilitas Instrumen Skala SCS & Stimulus IAPS

Instrumen α Cronbach Brief Self-control Scale .736

Stimulus Positif .845 Stimulus Netral .612 Stimulus Negatif .806 Stimulus High Arousal .867 Stimulus Low Arousal .895

c. Manipulation Check

Untuk memastikan bahwa partisipan

mampu membedakan stimulus afektif

berdasarkan pembagian kategori stimulus

yang telah ditentukan sebelumnya,

manipulation check dilakukan terhadap

data yang didapatkan di sesi practice 2

menggunakan analisis one-way repeated

measures ANOVA yang dilakukan

sebanyak dua kali, yaitu pada rating

valence dan pada rating arousal.

Dari hasil analisis, diketahui bahwa

terdapat perbedaan signifikan pada

stimulus valence terhadap rating valence

(F (1.78, 142.16) = 231.035, p = <0.001)

dan perbedaan signifikan dari stimulus

arousal terhadap rating arousal (F =

64.194, p = <0.001). Hal tersebut berarti,

partisipan mampu membedakan dengan

(9)

yang diberikan dalam kondisi eksperimen.

Lebih lanjut, partisipan mampu

membedakan dengan baik antara stimulus

positif dengan stimulus negatif (F =

334.762, p = <0.001), stimulus netral

dengan stimulus negatif (F = 172.748, p =

<0.001), maupun stimulus arousal tinggi

dengan arousal rendah (F = 64.194, p =

<0.001). Nilai mean dari masing-masing

kategori stimulus ditampilkan pada grafik

dibawah.

d. Uji Hipotesis

Analisis dilakukan sebanyak dua kali,

yang pertama terhadap rating valence dan

yang kedua terhadap rating arousal.

Analisis menggunakan teknik one-way

repeated measures ANOVA pada data

mean dari masing-masing kelompok

stimulus IAPS terhadap ratingvalence dan

ratingarousal.

Hasil analisis menunjukkan bahwa

tidak terdapat peran trait self-control

dalam struktur pengalaman afektif

partisipan baik pada dimensi valence (H1;

F (1.88) = .324, p = > .05) maupun pada

dimensi arousal (H2; F (.70) = 1.499, p =

> .05).

e. Analisis Tambahan

Peneliti melakukan analisis tambahan

dengan menempatkan variabel jenis

kelamin sebagai variabel kovariat.

Hasilnya, diketahui bahwa jenis kelamin

memiliki peran yang signifikan pada

dimensi valence struktur pengalaman

afektif (F (1.88) = 4.21, p = < .05) dimana

partisipan perempuan cenderung

memaknai stimulus negatif lebih ekstrim

(M = 2.67, SD = .496) dibandingkan

dengan partisipan laki-laki (M = 3.23, SD

= .676). Perbedaan pemaknaan tersebut

tidak terkait dengan perbedaan skor trait

self-control antara laki-laki dan

perempuan, karena meskipun secara

statistik menunjukkan perbedaan yang

signifikan (MLaki-laki = 2.91, MPerempuan =

3.14; p = > .05), namun perbedaan itu

tidak dianggap bermakna karena memiliki

effect size yang sangat kecil (r = .053 ;

Walker, 2007).

DISKUSI

a. Pembahasan Utama

Peneliti tidak menemukan adanya

peran dari trait self-control, baik terhadap

hubungan antara stimulus valence dengan

rating valence maupun antara stimulus

arousal dengan rating arousal partisipan.

Artinya, rating terhadap valence dan Gambar 4. Rating Valence dan Arousal

(10)

arousal yang diberikan partisipan hanya

disebabkan oleh kondisi perlakuan yang

diberikan oleh peneliti melalui stimulus

gambar dan tidak dipengaruhi oleh tinggi

rendahnya trait self-control yang

dilaporkan oleh partisipan.

Peneliti menduga, bahwa penyebab

dari tidak adanya peran trait self-control

dalam struktur pengalaman afektif

diakibatkan karena inaktivasi self-control.

Menurut teori affect alarm model of

self-control yang dikemukakan oleh Inzlicht &

Legault (2014), self-control akan

teraktivasi ketika individu mengalami

suatu ketidaknyamanan mental atau

konflik yang disebabkan oleh munculnya

afek tidak menyenangkan (negative and

highly arousing affect) yang mengancam

tujuan awal yang sebelumnya telah

ditetapkan oleh individu. Konflik tersebut,

lebih lanjut, dijelaskan oleh Saunders & Inzlicht (2015) sebagai suatu “perubahan tiba-tiba” pada struktur pengalaman afektif

(valence dan arousal) yang disebabkan

oleh peristiwa tertentu. Peneliti menduga,

stimulus yang digunakan tidak mampu

menginduksi konflik yang bermakna

dalam diri partisipan sehingga mereka

tidak mempersepsikan perasaan tidak

menyenangkan yang dirasakan dalam

kondisi eksperimen sebagai suatu

ancaman.

Walaupun sebelumnya dikatakan

bahwa afek tidak menyenangkan

dibutuhkan untuk mengaktivasi

self-control, namun beberapa literatur

(Goldsmith, Cho, & Dhar, 2012;

Zemack-Rugar, Bettman, & Fitzsimons, 2006)

menginterpretasikan afek tidak

menyenangkan yang dimaksud sebagai

perasaan bersalah atau guilt. Perasaan

bersalah atau guilt sendiri diketahui

memiliki peran yang penting dalam proses

pengendalian diri (Amodio, Devine, &

Harmon-Jones, 2007). Zemack-Rugar,

Bettman, & Fitzsimons (2006)

mengungkapkan bahwa individu yang

mengalami perasaan bersalah cenderung

menunjukkan kemampuan self-control

yang lebih tinggi dibandingkan dengan

mereka yang mengalami perasaan sedih.

Dalam penelitian ini, afek dalam

bentuk perasaan bersalah tidak dapat

dibangkitkan dalam kondisi eksperimen,

mengingat afek partisipan diinduksi secara

pasif menggunakan gambar. Kory &

D'Meelo (2014) menjelaskan bahwa untuk

menginduksi kondisi afek yang lebih

kompleks seperti rasa bersalah, empati,

dan marah perlu dilakukan induksi afek

secara aktif lewat skenario yang

melibatkan manipulasi perilaku dan proses

interaksi sosial dimana partisipan terlibat

secara langsung dalam skenario tersebut.

Hal lain yang mungkin membuat

individu tidak mengalami konflik adalah

karena stimulus gambar yang ditampilkan

(11)

relevan bagi partisipan. Lohani, Gupta, &

Srinivasan (2013) dalam studinya tentang

norma lintas budaya pada stimulus gambar

IAPS di India mengemukakan bahwa

relevansi kultural dari konten gambar perlu

dijadikan bahan pertimbangan dalam

penggunaan stimulus IAPS. Dengan kata

lain, dalam pemilihan stimulus IAPS harus

disesuaikan dengan konteks budaya

Indonesia, agar stimulus gambar tersebut

memiliki makna personal bagi para subjek

dengan tidak memilih gambar yang

memiliki konten-konten yang berisi

representasi dari kehidupan masyarakat

Amerika Utara dimana norma gambar

IAPS dibuat.

Walaupun begitu, studi sebelumnya

yang dilakukan oleh Yusainy (2015)

menemukan bahwa trait self-control hanya

memiliki peran terhadap individu ketika

ditampilkan stimulus netral, dimana

semakin tinggi trait self-control yang

dimiliki maka rating valence yang

diberikan terhadap stimulus tersebut

semakin rendah. Temuan tersebut tidak

konsisten dengan gagasan yang

dikemukakan oleh Inzlicht & Leghault

(2014) yang menyatakan bahwa afek

negatif dengan arousal tinggi yang

seharusnya berkaitan erat dengan

self-control, bukan malah afek netral.

b. Pembahasan Tambahan

Walaupun pengalaman afektif

individu tidak dipengaruhi oleh tingkat

kontrol diri atau self-control, analisis

tambahan menunjukkan bahwa variasi

individual dalam struktur pengalaman

afektif, lebih spesifik pada dimensi

valence, terletak pada perbedaan jenis

kelamin dimana perempuan cenderung

memaknai stimulus negatif dengan lebih

ekstrim dibandingkan dengan laki-laki.

Hal ini konsisten dengan penjelasan dari

Fiorentini (2013), dimana perempuan

cenderung lebih mudah mengalami afek

negatif karena mereka memiliki reaksi

emosional yang lebih kuat ketika

dihadapkan pada peristiwa yang tidak

menyenangkan dibandingkan dengan

laki-laki. Itulah sebabnya mengapa perempuan

memiliki resiko lebih besar untuk

mengalami gangguan mental emosional

seperti depresi dan kecemasan.

Stevens & Hamann (2012) dalam

meta-analisisnya memberikan penjelasan

lebih lanjut mengenai adanya perbedaan

jenis kelamin dalam konteks pengalaman

afektif. Stevens & Hamann menemukan

bahwa perempuan menunjukkan tingkat

aktivasi yang lebih tinggi di area anterior

cingulate dan medial prefrontal cortex

dibandingkan dengan laki-laki ketika

merespon afek yang negatif. Aktivitas di

area anterior cingulate dan medial

prefrontal cortex yang terletak di area

frontal cortex juga konsisten dengan

tinjauan literatur sebelumnya yang

(12)

merupakan basis biologis dari dimensi

valence.

Berdasarkan pada hasil penelitian

yang telah dilakukan, maka peneliti akan

mengemukakan beberapa saran yang

diharapkan berguna bagi penelitian

selanjutnya yaitu: (1) Perlu dilakukan

pengukuran berbasis neurobiologis

menggunakan fMRI ketika partisipan

dihadapkan dengan stimulus gambar IAPS.

hal tersebut juga bertujuan agar

pengukuran dapat lebih objektif dan

membuktikan apakah self-control

partisipan teraktivasi atau tidak ketika

dihadapkan dengan stimulus gambar yang

menginduksi valence dan arousal. (2)

Peneliti selanjutnya harus memastikan

apakah stimulus yang disajikan

benar-benar mampu menginduksi konflik yang

diharapkan atau tidak dengan memastikan

bahwa gambar yang digunakan relevan

dan familiar dengan standar budaya

masyarakat Indonesia. Apabila

memungkinkan, peneliti selanjutnya dapat

menggunakan metode induksi afek secara

aktif melalui manipulasi perilaku. Stimulus

afektif yang lain seperti video klip atau

stimulus audio juga dapat digunakan

sebagai perbandingan.

KESIMPULAN

Penelitian ini dilakukan untuk

mengetahui apakah trait self-control

memiliki peran dalam struktur pengalaman

afektif individu. Berdasarkan hasil

penelitian yang telah dilakukan maka

dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

(1) Trait self-control tidak memiliki peran

dalam struktur pengalaman afektif

individu, baik pada dimensi valence

maupun pada dimensi arousal. Peneliti

menduga bahwa hal tersebut diakibatkan

oleh inaktivasi self-control, dimana

stimulus tidak menyenangkan yang

ditampilkan melalui kondisi perlakuan

tidak mampu memunculkan konflik dalam

diri partisipan yang membuat self-control

mereka teraktivasi. (2) Variasi individual

dalam pembentukan pengalaman afektif

ditemukan pada perbedaan jenis kelamin,

dimana partisipan perempuan cenderung

mempersepsikan stimulus dengan valence

negatif dengan lebih ekstrim dibandingkan

dengan partisipan laki-laki.

Adapun penelitian ini tidak dapat

terhindar dari keterbatasan. Pada penelitian

ini, penilaian terhadap dimensi valence dan

arousal masih menggunakan paradigma

lapor diri atau self-report, dimana

instrumen jenis ini sangat rentan dan

kemungkinan besar dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti social desirability.

Oleh karena itu, diperlukan alat ukur yang

lebih objektif dalam mengukur dimensi

valence dan arousal partisipan, salah

satunya dengan pengukuran berbasis

psikofisiologis seperti menggunakan fMRI

(13)

EEG (electroencephalogram), dan skin

conductance measurements.

Kedua, perlu diperhatikan bahwa

stimulus gambar IAPS yang digunakan

pada penelitian ini diambil dari konteks

masyarakat Amerika Utara yang secara

sosiokultural memiliki banyak perbedaan

dengan masyarakat Indonesia, walaupun

hal tersebut telah diantisipasi dengan

memilih ulang stimulus sesuai dengan

norma Asia yang dibuat oleh Huang dan

koleganya (2015). Perbedaan konteks

sosiokultural dari konten gambar tersebut

dapat mempengaruhi persepsi partisipan

terhadap stimulus gambar yang

ditampilkan, karena partisipan kurang

familiar dengan stimulus gambar yang

disajikan tersebut.

Selain itu, perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut untuk mengetahui apakah

stimulus yang digunakan cukup mampu

untuk memunculkan konflik pada individu

atau tidak dan apakah self-control

benar-benar teraktivasi atau tidak melalui

pengukuran state self-control sesaat

setelah subjek ditampilkan stimulus

dengan berbagai muatan emosional

melalui pengukuran berbasis

psikofisiologis seperti fMRI.

DAFTAR PUSTAKA

Agustiningsih, F. D. (2015). Perbandingan efektivitas strategi regulasi afek

mindfulness dan reappraisal

terhadap valensi afek. Skripsi, Tidak dipublikasikan.

Amodio, D. M., Devine, P. G., & Harmon-Jones, E. (2007). A dynamic model of guilt. Psychological Science, 18(6), 524-530.

Barrett, L. F., & Russell, J. A. (1999). The structure of current affect: Controversies and emerging concencus. Current Directions in Psychological Sciences, 10-14.

Baumeister, R. F. (2012, February). Self-control - the moral muscle. The Psychologist, hal. 112-115.

Dharmawan, I. R. J. International Affective Picture System & Self Assessment Manikin. Program Studi FISIP Universitas Brawijaya, Malang.

De Ridder, T., Lensvelt-Mulders, G., Finkenauer, C., Stok, F. M., & Baumeister, R. F. (2011). Taking stock of self-control: A meta analysis of how trait self-control relates to a wide range of behaviors. Personality and Social Psychology Review, 1-24.

Del Giudice, M. (2013). Self-regulation in an evolutionary perspective. Biobehavioral foundations of self-regulation, 1-22.

Essig, T. (2015, December 30). 3 Psychology stories to watch in 2016. Dipetik 18 Januari 2016, dari Forbes.com:

http://www.forbes.com/sites/toddes sig/2015/12/30/3-psychology-

(14)

Fiorentini, C. (2013). Gender and emotion expression, experience, physiology and well-being: A psychological perspective. Dalam L. Ioana, S. M. Marianne, & K. Susanne, Gender and emotion: An interdiciplinary perspective. Berlin: Internationaler Verlag der Wissenschaften.

Gillebaart, M., & de Ridder, D. T. (2015). Effortless self-control: A novel perspective on response conflict strategies in trait self-control. Social and Personality Psychology Compass, 88-99.

Goldsmith, K., Cho, E. K., & Dhar, R. (2012). When guilt begets pleasure: the positive effect of a negative emotion. Journal of Marketing

Research, 1-10.

doi:10.1509/jmr.09.0421

Huang, J., Xu, D., Peterson, B. S., Hu, J., Cao, L., Wei, N., . . . Hu, S. (2015). Affective reactions differ between Chinese and American healthy young adults: A cross cultural study using the international affective picture system. BioMedCentral Psychiatry, 1-7.

Inzlicht, M., & Legault, L. (2014). No pain, no gain: How distress underlies effective self-control (and unites diverse social psychological phenomena).

Komulainen, E., Meskanen, K., Lipsanene, J., Lahti, J. M., Jylha, P., Melartin, T., . . . Ekelund, J. (2014). The effect of personality on daily life emotional processess. Plos One, 1-9.

Kory, J. M., & D'Meelo, S. K. (2014). Affect elicitation for affective computing. Firstproofs, hal. 371-383.

Kuppens, P. (2008). Individual differences in the relationship between pleasure and arousal. Journal of Research in Personality, 1053-1059.

Lang, P. J., Bradley, M. M., & Cuthbert, B. N. (2008). International affective picture system (IAPS): Affective ratings of pictures and instruction manual. University of Florida.

Lohani, M., Gupta, R., & Srinivasan, N. (2013). Cross-cultural evaluation of the International Affective Picture System on an Indian sample. Psychological Studies, 58(3), 233-241.

Mikels, J. A., Fredrickson, B. L., Larkin, G. L., Lindberg, C. M., Maglio, S. J., & Reuter-Lorenz, P. A. (2005). Emotional category data on images from the international affective picture system. Behavior Research Methods, 4(37), 626-630.

Navarro, F. H. (2011). Self-control, conscientiousness, and adverse health behavior. Health Psychology, 10-18.

Panksepp, J. (2010). Affective neuroscience of the emotional brainmind: evolutionary perspectives and implications for understanding depression.

Dialogues in Clinical

(15)

Revelle, W., & Scherer, K. R. (t.thn.). Personality and emotion. Oxford University Press, 1-4.

Roberts, B. W., Chernyshenko, O. S., Stark, S., Goldberg, L. R. (2005). The structure of conscientiousness: An empirical investigation based on seven major personality questionnaires. Personnel Psychology, 103-139.

Saunders, B., & Inzlicht, M. (2015). Vigour and vatigue: How variation in affect underlies effective self-control. Motivation and Self-Control.

Stevens, J. F., & Hamann, S. (2012). Sex differences in brain activation to emotional stimuli: A meta-analysis of neuroimaging studies. Neuropsychologia(50), 1578-1593. doi:10.1016/j.neuropsychologia.20 12.03.011

Tangney, J. P., Baumeister, R. F., & Boone, A. L. (2004). High self-control predicts a good adjustment, less pathology, better grades, and interpersonal success. Journal of Personality, 271-322.

Tok, S., Koyuncu, M., Dural, S., & Catikkas, F. (2010). Evaluation of IAPS ratings in an athlete population and its relations to personality. Personality and Individual Differences, 461-466.

Vuoskoski, J. K. (2012). Emotions represented and induced by music: The role of individual differences. Jyvaskyla Studies in Humanities.

Yusainy, C. A. (2015). Feeling full or empty inside?: Peran perbedaan individual dalam struktur pengalaman afektif . Penelitian Hibah Doktor FISIP UB, tidak dipublikasikan.

Gambar

gambar IAPS akan digunakan kepada
Gambar  3. SelfAssessment Manikin (SAM)
Gambar 4. Rating Valence dan Arousal terhadap Stimulus Afektif dan nilai mean (sesi practice)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa peran guru BK dalam meningkatkan Self Control siswa di SMK TPI Gedangan adalah dengan pemberian layanan

”Apakah melalui metode bermain peran (Role Playing) dapat meningkatkan kemampuan bermain drama dalam pembelajaran Bahasa Indonesia pada siswa kelas V SD Negeri Banyurip 1

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada perbedaan antara persepsi remaja laki-laki dan perempuan tentang peran orang tua dalam mengatasi masalah..

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulakan bahwa peran guru BK dalam meningkatkan Self Control siswa di SMA Muhammadiyah 2 Banjarmasin adalah dengan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peran guru BK dalam mengembangkan Self Control siswa di MTs Alwasliyah Bandar Khalifah adalah dengan pemberian

v ABSTRAK Peran Locus Of Control dan Sikap Pro Risiko terhadap Perilaku Mengemudi Berisiko serta Tinjauannya dalam Islam Kecelakaan merupakan penyebab utama kematian dan