17
BAB II
POLA PERTANIAN DAN PANGAN DI SUMATERA
UTARA SEBELUM 1969
2.3 Petani Dan Pertanian Di Sumatera Utara
2.3.1 Pola Pertanian (Awal)
Pada awal abad ke 15, padi (beras) telah menjadi sumber makanan pokok di
Kepulaun Asia Tenggara, mendahului makanan pokok lainya seperti talas, ubi, sagu
dan sejenis gandum lainnya. Hal ini dikarena tanaman padi dapat tumbuh subur
hampir di semua geografis14
Awal tananam padi dibudidayakan masih kurang begitu jelas, namun Burger
berpendapat bahwa pertanian padi kering adalah yang tertua. Pelaksanaan yang
berlaku saat itu yaitu pertanian ladang hutan (Roulerend).
. Padi menjadi komoditas pangan paling penting, bukan
hanya di Sumatera, melainkan di seluruh kawasan Asia Timur sehingga sangat mudah
kita menemukan pertanian padi di wilayah ini.
15
14
Dibeberapa daerah-daerah marjinal yang pertaniannya berpindah-pindah bergantung pada hujan yang tidak menentu, makan nasi menjadi suatu kemewahan musim panen saja. Lihat, Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1. (Jakarta: YOI, 2014), hlm.23. Bahkan abad ke 15 terjadi perang penaklukan oleh Melaka yeng bergerak di daerah-daerah tepi semenanjung Malaya bagian selatan dan pantai timur Sumatera yang mengalami peningkatan kemakmuran sebagai penghasil bahan pangan (beras), emas, timah dan lada. Lihat M. C. Ricklef. Sejarah Indonesia
Modern. (Yogyakarta: UGMPress, 2007), hlm.28-29
15
Pertanian ladang hutan adalah suatu daerah berpenduduk sedikit dan mempunyai banyak hutan, maka pertanian ladang dengan tanah yang bergilir (roulered), karena hutan dan ladang ganti-berganti secara berturut-turut di gunakan di atas tanah yang sama. Lihat, D.H. Burger. Sejarah
Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid II, (terj.) (Jakarta, 1970)
Selanjutnya William
membagi dua jenis padi yaitu, padi ladang yang tumbuh subur di dataran tinggi dan
18
lebih baik secara kualitas namun padi sawah memberikan keuntungan kuantitas.16
Pada dasarnya keseluruhan wilayah pedalaman bersifat liar—terlihat bahwa
kesuburan tanah yang menyebabkan banyak hutan di Sumatera, bukan di anggap
sebagai sebuah hambatan, melainkan anugrah.17
Semakin meningkatnya jumlah penduduk selaras dengan meningkatnya
kebutuhan hidupnya, termasuk mencukupi kebutuhan utama, yakni pangan. Oleh
karena itu perluasan pertanian menjadi solusi untuk sekedar memenuhi kebutuhan
dasar. Namun, masalah perluasan lahan pertanian bukanlah perkara mudah. Hal ini
dikarenakan mitos yang diturunkan sejak kecil oleh nenek moyang mereka bahwa
betapa pohon adalah objek sakral dewa-dewa yang tidak seharusnya dihancurkan oleh
tangan perusak makhluk rendahan yang liar dan primitif.
Burger mengamini hal tersebut,
mengatakan bahwa antara kepadatan penduduk dengan kesuburan tanah terdapat
korelasi. Daerah-daerah subur bergunung api muda memiliki kesuburan tanah yang
baik, konsentrasi penduduk dipengaruhi oleh kesuburan tanah.
18
Namun ketika diterapkannya sistem feodal di daerah pesisir pantai timur
Sumatera dan berlaku selama berabad-abad telah terjadi perubahan secara mendasar,
alat-alat produksi seperti tanah milik raja dan para bangsawan—termasuk juga rakyat
16
Perbedaan keduanya tentang budidaya agrikultur ini bahwa kualitas padi ladang di anggap lebih superior karena menghasilkan nasi yang enak, putih, awet, dan mengenyangkan, sedangkan padi sawah lebih basah, kurang sehat lebih sulit direbus dan cepat membusuk namun bibit padi sawah tumbuh jauh lebih cepat sehingga menghasilkan kuantitas panen lebih banyak. Lihat, William Marsedan. Sejarah Sumatera.(Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 72-73
19
dimobilisasi untuk kepentingan penguasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian
besar pendapatan Raja (Sultan) berasal dari konsesi tanah yang diberikan kepada
rakyat ataupun investor. Sebelum tahun 1827 semua persentase tanah masuk ke
kantong pribadi Raja atau Sultan yang berkuasa19, sedikit berbeda kondisinya yang
terjadi di daerah dataran tinggi Sumatera Utara.20
Di wilayah dataran tinggi pegunungan ini di diami oleh orang Batak
21
, telah
menggunakan sistem bercocok tanam padi sawah dengan irigasi lebih awal, tetapi di
daerah lain seperti wilayah Karo, Simalungun dan Pakpak mengenal bercocok tanam
padi di ladang dengan cara menebang dan membakar hutan. Pola pertanian padi
ladang maupun sawah umumnya ditanam dan dipanen hanya sekali setahun, selang
waktu menunggu sirkulasi penaman biasa digunakan untuk tanaman palawija.22
Namun yang tidak dapat di abaikan adalah bagaimana peran daripada petani
yang masih sering di jadikan obyek dalam pembangunan. Hal ini terlihat bagaimana
19
Feodalisme adalah suatu cara berekonomi atau sistem ekonomi di mana raja, keluarga dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani sebagai abdi. Lebih lanjut lihar, Noer Fauzi. Petani dan Penguasa: dinamika perjalanan Politik Agraria Indonesia. (Yogyakarta: INSIST, 1999), hlm. 15. Lihat juga, Budi Agustono. Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946. Tesis tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1993), hlm. 81
20
Bagi bangsa Batak (Simalungun, Karo, dan Toba), tanah itu belumlah di pandang membawa keuntungan secara makro melainkan sebagai identitas dan tempat untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya masyarakat Batak membagi-bagi tanah berdasarkan fungsinya. Untuk keterangan selanjutnya mengenai tanah Lihat, Bungaran antonius Simanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah: bagi
Masyarakat Batak Toba, Karo dan Simalungun. (Jakarta:YOI, 2015), hlm. 21-31
21 Wilayah yang di maksud adalah dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang
Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli tengah. Daerah ini di diami oleh suku bangsa seperti: Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, dan Angkola. Lihat, Payung Bangun dalam buku, Koentjacaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 94-95
22
20
pandangan masyarakat luas (umumnya perkotaan) memandang rendah kehidupan
petani yang di nilai promitif dan tradisional. Selain itu masih terdapatnya stigma yang
negatif memandang petani pedesaan sebagai sumber tenaga kerja dan barang yang
menambah dana kekuasaan (fund of power), akan tetapi petani itu adalah juga pelaku
ekonomi dan kepada rumah tangga. Jangan mengabaikan, bahwa unit petani pedesaan
bukan sekedar organisasi produksi yang terdiri dari sekian banyak “tangan” yang siap
untuk bekerja di ladang; ia juga merupakan sebuah unit konsumsi yang terdiri dari
sekian banyak mulut sesuai dengan banyaknya pekerja.23
Umumnya dalam mengerjakan setiap aktivitas pertanian, masyarakat biasanya
bergotong royong dalam bercocok tanam, bahkan dalam keluarga terjadi pembagian
kerja.
24
2.3.2 Perluasan Lahan Pembuatan Sawah
Pembagian kerja antara lak-laki dengan perempuan dilakukan untuk
mempermudah pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.
23 Unit yang dimaksud adalah tidak sekedar memberi makan kepada anggota-anggotanya; ia
juga memberikan pelayanan lainnya yang harus di sediakan bagi mereka. Lihat, Eric R. Wolf. Petani:
Suau Tinjauan Antropologis. (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 19
24 Pembagian kerja dalam keluarga untuk mempermudah proses pengerjaan di mana laki-laki
mengerjakan pekerjaan berat sepeti; penebangan pohon, membakar huta, menyiapkan saluran-saluran, pematangan irigasi, membajak, membersihkan belukar hutan dll. Sedangkan perempuan biasanya menanam, menyiangi, menuai dll.
21
Perluasan tanah sawah25 di Sumatera Utara sangatlah memungkinkan dengan
letaknya di wilayah tropis dengan curah hujan yang tinggi berkisar 1000-5000
mm/tahun. Budi daya tanaman padi dari segi botani, terutama sistem perakarannya
sebenarnya bukan benar-benar merupakan tumbuhan tanaman air, tetapi tumbuh
dengan baik dalam keadaan tergenang sehingga padi mempunyai sifat semiakuatis.
Adapun penyebarannya ke dataran tinggi merupakan hasil pengembangan rekayasa
lahan dengan sistem irigasi air dengan mengandalkan air hujan atau aliran sungai. Hal
inilah yang mendorong semakin meningkatnya penggunaan lahan sawah di dataran
tinggi seperti di daerah Tapanuli dan sekitarnya. Adapun secara umum di Sumatera
Utara memiliki karakteristik cukup baik pada tanah sawah baik yang terdapat di
daerah dataran tinggi dan berbukit-bukit maupun dataran rendah lainnya yang
memiliki air yang melimpah.26
Akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20, atas inisiatif pemerintah kolonial,
di buka persawahan irigasi di Sumatera Timur. Tahun 1915 di Asahan telah terdapat
42.000 ha sawah irigasi, 22.000 ha sawah di Padang Bedagai, 3.000 ha di Serdang,
1.100 ha di Simalungun, 2,500 ha sawah di Langkat dan 350 ha di Tanah Karo. Tanah sawah yang berasal dari tanah kering kemudian
diairi umumnya berupa sawah irigasi. Sementara sumber air yang berasal langsung
dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di daerah
rawa-rawa pasang-surut disebut sawah pasang surut
25
Tanah sawah adalah tanah kering yang di airi, kemudian disawahkan atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase. Lihat, Sarwono Hardjowigeno & M.Lufti Rayes. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, Dan Permasalah Tanah Sawah di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 2-3
22
Pembukaan irigasi ini terkait dengan pemenuhan pangan di Sumatera Timur,
khususnya masyarakat perkebunan.27
27
Edi Sumarno. Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur tahun 1863-1943. Tesis tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1998), hlm. 39
Perlu di catat pernyataan Burger sebelum masuknya kolonial ke Sumatera
(Timur), situasi masih begitu sepi dan rawan. Wilayah dataran rendah memiliki tingat
kemajuan yang cukup tinggi karena dekat dengan kegiatan lalu lintas perdagangan di
banding dengan wilayah dataran tinggi yang masih terisolasi dan tertutup.
Setelah masuknya kekuasaan kolonial pada tahun 1906, terjadi perubahan
derastis terutama hubungan antara dataran tinggi dengan dataran rendah. Hal ini
dikarenakan terjadinya sistem keamanan yang lebih baik. Penulis membatasi kajian
sampai sejauh mana perubahan keamanan dan dampaknya terhadap perubahan
sebelumnya, karena bukan itu yang menjadi fokus penelitian ini. Namun, pengamatan
yang sedikit ini memberi kita gambaran. Mengingat masih sedikit kajian penelitian
interaksi antara dataran tinggi dan rendah.
Ketika dibukanya jalan-jalan baru dari pegunungan ke pantai pada tahun
1919, lalu lintas semakin bertambah ramai yang memungkinkan gerobak-gerobak
keluar-masuk membawa barang dagangan mereka. Koneksi antara masyarakat antara
pesisir dan pegunungan memiliki arti penting dalam hal perdagangan, utamanya
23
Seperti dijelaskannya sejak Karesidenan Tapanuli dibentuk masyarakat telah
mulai beralih dari hanya menaman pangan (padi dan sayur) mengubahnya menjadi
menanam kopi. Namun pada tahun 1930-an harga kopi merosot tajam di pasar
perdagangan ekport membuat petani semakin kesulitan memperoleh keuntungan.
Krisis ini ternyata berdampak pada kondisi ketersediaan pangan yang sedikit karena
banyaknya lahan pertanian untuk padi di alih-fungsikan untuk tanaman eksport.28
Kesukaran tersebut mengakibatkan Sumatera Timur mengimport beras dari Jawa
karena selama hampir ¼ penduduknya bergantung pada beras import. Kelangkaan
(tepatnyak krisis) beras ini memberikan pelajaran penting bagi pemerintah kolonial
untuk tidak semata membiarkan masyarakat melakukan alihfungsi tanaman pangan.
Untuk melakukan pemulihan kebutuhan pangan yang tidak dapat di tunda, maka
dilakukan perluasan kembali budi-daya tanaman padi.29
2.4 Pangan Di Sumatera Utara
Namun Burger tidak
menjelaskan berapa jumlah areal perluasan dan pemeliharaan tanah sawah yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial dan masyarakat sendiri.
2.4.1 Masa Kolonial
Ketika berkembanganya perkebunan swasta di Sumatera Timur, terutama
perluasan pengembangan budidaya tembakau yang di rintis oleh Nienhuys 1863,
kebanyakan petani beralih dari tanaman pangan menjadi tanaman komoditi ekport.
28
24
Terjadi perubahan pemikiran petani justru lebih memperhatikan keuntungan ekonomis
dari tanaman tembakau daripada tanaman pangan seperti padi.30
Sebelum para pemodal tiba di Sumatera Timur, sebagian besar daripada
wilayah ini merupakan hutan rimba yang subur di penuhi dengan hutan tropis yang
cukup lebat. Hutan tersebut merupakan tempat bagi penduduk setempat untuk
mengusahakan tanaman padi maupun tamanan pangan lainnya melalui sistem
perladangan berpindah. Masuknya korporasi konsorsium-konsorsium dari berbagai
belahan dunia mulai melakukan penetrasi dan aktivitas ekonomi perkebunan dalam
jumlah yang cukup luas di mulai sejak tahun 1913 meskipun aktivitasnya jauh lebih
awal. Secara teritorial Belanda masih menguasai separuh dari keseluruhan areal tanah
perkebunan dengan budidaya tembakau, Inggris mengikut dengan memonopoli
perkebunan teh, di lanjutkan dengan Amerika Serikat dengan perkebunan karet serta
korporasi negara Perancis-Belgia yang mengembangkan budidaya kelapa sawit.31
30 Inilah yang menjadi awal proses penyempitan lahan tanaman pangan di Sumatera Timur.
Bahkan petani justru menggunakan lahan tanaman padi sebagai budidaya tembakau yang kemudian megusahakan supaya tanaman padi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman tembakau. Lihat, T. Keizerina Devi. Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum Di
Sumatera Timur 1870-1950. (Medan: Pascasarjana USU 2004), hlm.54 Bandingkan dengan, Edi
Sumarno. op.cit., hlm. 37. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah lahan subur seperti tanah Karo, sejak di bukanya jalur darat yang menghubungkan Medan-Kabanjahe mulai beralih dari sekedar menanam tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri kemudian melakukan diversifikasi tanaman komersial. Lihat Wara Sinuhaji. Aktivitas Ekonomi dan Enterprenuership: Masyarakat Karo Pasca
Revolusi. (Medan: USUPress, 2004), hlm. 116 31
Ann Laura Stoler. Kapitalisme dan Konfrontasi: di Sabuk Perkebunan Sumatera,
1870-1979. (Yogyakarta: KARSA, 2005), hlm. 32
Keberadaan konsorsium tersebut awalnya tidaklah memiliki masalah dan dampak
terhadap ketersediaan pangan bagi para petani maupun penghuni wilayah tersebut.
25
tanaman pangan semakin sempit. Hal ini lebih dikarenakan kerakusan para kesultanan
melayu yang mengklaim sebagai pemilik yang sah. Kondisi ini semakin keruh melalui
penyerobotan tanah yang dilakukan oleh pekerja perkebunan dan orang Batak Toba
yang bermigrasi dari daerah pegunungan. Sehingga sisa tanah yang dapat di tanami
tanaman pangan sedikit dan tidak memadai untuk mencukupi keperluan daripada
subsistensi penduduk.32
Terdapat sebuah korelasi konsumsi padi sebagai kebutuhan pokok dengan
tanaman lain. Seperti di Sumater Timur, ketika terjadi peningkatan harga tanaman
karet, petani masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera mulai meninggalkan tanaman
pangan dan beralih kepada tanaman karet. Kemudian di tahun 1929 petani karet
mengalihkan aktivitasnya kembali ke penanaman pangan.
33
Pada awal tahun 1933 merupakan awal kebijakan pengendalian harga
langsung harga beras untuk membatasi import dengan cara lisensi dan harga-harga
diawasi langsung oleh pemerintah termasuk menggalakkan perdagangan beras antar Kemungkinan korelasi ini
berhubungan dengan peluang memperoleh keuntungan ekonomis dari tanaman
komersial serta gaya hidup masyarakat pesisir. Kondisi ini tidak terjadi di masyarakat
dataran tinggi. Siklus pertanian tidak menunjukkan terjadi perubahan tanaman seperti
yang terjadi di Sumatera Timur. Sehingga dapat dikatakan terjadi perbedaan antara
kondisi produksi pangan yang terjadi di Sumatera Timur dengan dataran tinggi Toba
dan sekitarnya.
32
Ibid., hlm. 39
26
pulau dengan tujuan agar daerah-daerah defisit beras di luar Jawa memperoleh
tambahan beras dari daerah surplus beras seperti Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan.34
Kedatangan sejumlah perusahaan-perusahaan membawa serta modal dalam
jumlah yang besar ke pesisir Sumatera Timur membawa berkah bagi penduduk yang
tinggal di dalamnya. Kehidupan mereka biasa hidup sebagai petani dan nelayan kini
lebih sejahtera berkat sistem sewa tanah kepada para imigran atau buruh yang ada di
Sumatera Timur. Dampak daripada masyarakat yang tinggal di daerah
Cultuurregebied adalah derasnya arus gelombang invasi yang membawa serta masuk
budayanya. Seperti yang di jelaskan oleh Stoler sebelum masuknya para migran,
wilayah tanah Karo dan Simalungun hidup tradisional sebagai petani tanaman ladang
dengan pola berpindah-pindah. Di kalangan migran dari dataran tinggi telah mengenal
teknik budidaya padi sawah, sehingga lambat laun terjadi transfer pengetahuan.35
Yang menarik adalah bagaimana memberi dan menyediakan makanan yang
cukup terhadap kalangan penduduk yang telah menyewakan tanah miliknya kepada
pihak pemodal serta kebutuhan para buruh dan pegawai yang terus-menerus
bertambah? Ann Stoler mengungkapkan bahwa ekonomi perkebunan yang diterapkan
di Sumatera Timur memberikan kedudukan para pekerja sebagai setengah proletar dan
setengah petani atau menjadi kuli dan sekaligus petani miskin (peasentization). Terlepas apakah hubungan berdampak negatif atau positif, hal ini bukanlah cakupan
pembahasan kajian ini.
34
27
Artinya para buruh berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan secara mandiri
dengan memberikan sepetak tanah untuk ditanami secara musiman setelah musim
panen perkebunan selesai. Inilah cara cerdik untuk mengurangi biaya bagi pihak
modal sekaligus bentuk kontrol atas perburuhan.36
Adakah dampak ekspansi para korporasi terhadap ketersediaan pangan?
Sumatera Timur adalah salah satu daerah defisit pangan yang paling parah di Hindia
Belanda. Stoler mengatakan, “produksi pangan setempat nyaris tidak mencukupi
kebutuhan makan penduduk pribumi, lebih-lebih industri perkebunan yang sama Karena bukanlah perkara mudah
memberi makan kepada setiap individu dalam jumlah yang besar jika tanpa
menggunakan kontrol yang baik utamanya juga tidak ingin mengganggu produktivitas
para tenaga kerja. Kemudian bagaimana kelangsungan kebutuhan daripada pekerja
orang Eropa diperkebunan yang jumlah sekitar 11.000 orang tahun 1930 dan secara
keseluruhan tidak kurang dari 336.000 pekerja, serta masih bertambah di tahun
berikutnya? Kemudian bagaimana dengan penduduk asli sebagai pemilik lahan
mencukupi kebutuhannya? Menarik untuk di catat Ann Stoler menjelaskan bagaimana
penguasa tanah dengan cerdik memanfaatkan kesempatan pendaptan pribadi dengan
memberikan sebagian tanah konsesinya kepada para penggarap (utamanya migran)
Jawa untuk mengusahai tanah mereka melalui penetapan sewa sampai dua-per-tiga
dari hasil panen padi.
36
28
sekali tergantung pada beras import”.37
“Kerugian masih besar karena harga beras yang mahal dalam enam bulan terkahir tahun 1911. Namun demikian lebih baik kita menanggung kerugian ini, karena ... bila tidak pemerintah akan menganggap perlu untuk menaikkan upah kuli, yang sudah barang tentu lebih mahal lagi bagi kita. Mahalnya harga beras hanya bersifat sementara, tetapi sekali upah dinaikkan tidak mudah bagi kita untuk menurunkan.”
Untuk menanggulangi bahaya krisis pangan
yang ada, pemerintah mendorong para perusahaan untuk menyisihkan 3,5 hektar
setiap 100 orang pekerja untuk menaman jagung, singkong, dan padi gogo.
Sayangnya usaha ini dilakukan pihak perusahaan bukan untuk mencapai semi
swasembada pangan, melainkan menjaga produktivitas pekerja tidak menurun
sekaligus mengurangi pengeluaran biaya tambahan. Hal ini telihat pemecahan
masalah yang di lakukan perusahaan dengan mengalokasikan tanah kepada pekerja
dalam petak-petak kecil yang di tanami diluar jam kerja. Seperti di kutip stoler:
38
Di masa pemerintah Jepang, petani tidak lebih dari obyek eksploitasi yang lebih
dahsyat. Selain petani memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara
fasis Jepang sebanyak 20% hasil produksi, mereka juga mengerahkan sejumlah petani
untuk dijadikan tenaga romusha. Ketika Jepang mendarat di Sumatera Timur, mereka
kemudian menduduki tempat-tempat strategis sebagai bagian dari padi ekspansi hasil
bumi untuk mendukung aksi militer mereka. Tujuan semula kedatangannya untuk
menjadikan Sumatera sebagai sumber bahan mentah—di mana lapangan pasar
ekonomi dibiarkan hancur berantakan oleh karena tidak ada kapal pangangkut barang.
Hamparan konsesi perkebunan terutama tembakau diperintahkan untuk dibebaskan
37
Ibid., hlm. 67
29
sebesar 160.000 Ha gun penanaman padi, jagung, dan umbi-umbian—di samping
dilaksanakannya pembukaan lahan baru seluas 52.000 Ha dijadikan lahan produksi
pangan. Untuk mengelola tanaman pangan tersebut, pemerintah Jepang mengenakan
wajib tanam bagi buruh dengan membagi secara petak tanah masing-masing seluas
0,6 Ha yang dipinjamankan kepada petani dan buruh yang tidak memiliki tanah.
Jepang kemudian terpaksa merubah Politik Ekonomi secara menyeluruh tahun
1943 ke arah swasembada yaitu mencukupi kebutuhan sendiri bukan saja bagi
Sumatera sebagai satu-kesatuan melainkan masing-masing provinsi dan bunshu
(kabupaten). Selama masa pendudukan Jepang, perkebunan yang luas di Sumatera
Timur sama sekali tidak ada gunanya, oleh karena itu banyak areal
perkebunan-perkebunan budidaya tanaman eksport terbengkalai dan tidak terawat. Perbedaan
kebutuhan menjadi alasan yang jelas akan sebuah tujuan memperlihatkan kebijakan
ekonomi-politik selama pendudukan Jepang. Inilah awal redupnya era kejayaan
perkebunan di Sumatera Timur. Hal ini menyebabkan luas lahan penanaman tembakau
turun sampai seperempat. Perkebunan-perkebunan sekarang terpaksa mengerahkan
usahanya kepada tanaman yang menghasilkan bahan makanan.
Di samping banyaknya perubahan arah kebijakan terutama menyangkut
pemenuhan kebutuhan pangan, nyatanya selama pendudukan Jepang di Sumatera
Timur tetap terjadi kelangkaan pangan. Anthony Reid menduga bahwa sebab utama
30
petani terhadap setoran wajib dengan harga nominal.39
2.4.2 Masa Awal Kemerdekaan Hingga Tahun 1968
Setoran ini merupakan
kebijakan yang diterapkan untuk mencukupi kebutuhan militer Jepang selama
pendudukan berlangsung. Sayangnya Reid tidak menjelaskan apakah sikap pasif
rakyat ini sebagai bagian dari strategi atau hanya ketakutan rakyat terhadap militer
Jepang. Bahkan kita juga mempertanyakan perlawanan yang dimaksudkan oleh Reid
dalam bentuk bagaimana, karena sepanjang penjelasan tidak menyangkut akan bentuk
perlawanan petani terhadap aksi militer tersebut. Setidaknya telah memberikan kita
sedikit gambaran kondisi masyarakat akan kebutuhan pangan yang terjadi semasa
pendudukan Jepang.
Keadaan Sosial ekonomi pada masa awal kemerdekaan umumnya belum
mengalami banyak perubahan seperti kesulitan-kesulitan sejak jaman Jepang,
terutama di bidang pertanian terus berlanjut. Kemunduran produksi pertanian karena
pada zaman Jepang para petani tidak giat—dikarenakan pihak pemerintah Jepang
membeli hasil-hasil dari petani seperti beras (padi) dengan harga yang sangat murah.40
39
Anthony Reid. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987), hlm 204-7. Bandingkan, Gunawan Sumodiningrat. Menuju
Swasembada Pangan Revolusi Hijau: Introduksi Manajeman dalam Pertanian. (Yogyakarta: RBI,
2001), hlm. 17 40
Sejarah Daerah Sumatera Utara. (Proyek Pemerintah dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977)
Di samping itu, petani juga menghadapi kerentanan perubahan siklus iklim seperti
banjir, musim kemarau, maupun banyaknya tenaga yang dikerahkan untuk kerja
31
Di masa Orde lama, pegawai sipil maupun militer menerima sebagian gaji
mereka dalam bentuk beras. Program swasmbada beras awalnya dicanangkan pada
tahun 50-an dan 60-an, dilatarbelakangi terbatasnya devisa untuk membeli beras
import guna mengisi kekurangan produksi dalam negeri.41 Pada tahun 1952,
pemerintah pusat telah meluncurkan program Kesejahteraan Kasimo yang bertujuan
mencapai swasembada beras dengan menggunakan pendekatan penyuluhan
percontohan dan teknik cara bertanam padi yang lebih baik kepada petani.42
Kemudian berlanjut tahun 1959 menetapkan program Padi Sentra sebagai
penyempurnaan dari program sebelumnya yaitu mencapai swasembada sebelum tahun
1963.43
Untuk mengatasi kelangkaan beras, langkah awal pemerintah biasanya dengan
membuka keran import dari luar-negeri sebagai antisipasi melambungnya harga beras
berdampak pada inflasi. Namun, untuk jangka panjang tentunya sangatlah beresiko
dengan mengandalkan import beras untuk mencukupi kebutuhan semata. Menaikkan
produksi beras merupakan jawabannya yang dapat dilakukan melalui perbaikan Namun target Program Sentra Padi gagal, justru mengalami kekurangan beras
dalam jumlah yang banyak sehingga terjadi perubahan jatah beras kepada pegawai
sipil dan militer, yakni 25% jagung dan 75% beras. Kondisi ini terus menurun hingga
1965, sebagai dampaknya pegawai negeri dan militer hanya menerima separuh jatah
yang mereka terima semula.
41 Anne Both, op.cit., hlm. 31
42 Ibid.
43
32
sejumlah faktor-faktor produksi seperti pemakaian pupuk, perbaikan irigasi,
pemakaian bibit unggul, perluasan lahan produksi dengan membuka daerah-daerah
baru yang potensial.
Naik-turunnya harga beras di lapangan juga di sebabkan oleh hukum
permintaan dan penawaran—penyumbang lain juga disebabkan oleh faktor
phychologis. Faktor ini timbul karena kurangnya kepercayaan pada nilai rupiah atau
seretnya perlengkapan beras di pasaran, sehingga distributor membeli beras dengan
rendah di pasaran serta menjualnya dengan harga tinggi44
Pada tahun 1970an diperkenalkan Revolusi Hijau yang diawali dengan
mengembangkan budidaya padi dan menata keseragaman dan keserampakan
penerapannya. Termasuk masalah bibit, pengairan, penanggulangan hama, dan
sebagainya. Dari sinilah kemudian lahir wadah yang kuat dari kegiatan revolusi Hijau
di Indonesia dengan bentuk Bimbingan Massal atau BIMAS yang di motori oleh
Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan menggerakkan ribuan mahasiswa pertanian
dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia.
. Pemerintahlah yang
memiliki peran sentral terhadap tindakan-tindakan perdagangan di lapangan serta
menjamin kestabilan harga dan barang di pasaran, sekalipun harga beras diserahkan
ke pasar.
45
44 Saroso Wirodihardjo. Masalah Perdagangan dan Politik Ekonomi Indonesia. (Jakarta: NV,
1956), hlm. 473-4 45
Gunawan Sumodiningrat, op.cit., Hlm. 52. Lihat juga, Leokman Soetrisno. Pertanian Pada
33
Pada tahun 1961, Pemerintah pusat telah membuat Program Pembangunan
Semesta Nasional Berencana atau Depernas yang diketuai oleh Prof. Muhammad
Yamin. Dalam proyek tersebut disusun untuk menetapkan rencana pembangunan
kebijakan pemerintah secara nasional mengkoordinir pembangunan di setiap daerah.
Melalui Departemen Pertanian membuat proyek Padi Sentra untuk meningkatkan
produksi beras yang dipelopori oleh gerakan Intensifikasi Masal. Sumatera Utara
sendiri di targetkan akan merehabilitasi pangairan seluas 16.000 Ha dalam jangka
waktu delapan tahun dengan anggaran biaya 4 juta Rupiah dari pemerintah pusat. Di
dalam proses pengembangannya Pelanjutan Penyempurnaan, pemerintah menambah
40 juta lagi dengan sasaran 14.000 ha dalam waktu 5 tahun. Untuk program perluasan
lahan sendiri, Sumatera Utara diberikan anggaran terbesar secara nasional yaitu 210
juta dari totall 477 juta rupiah yang di harapkan akan mencetak sawah seluas 40.000
dalam jangka 8 tahun. Sementara untuk proyek besar lainnya, Sumatera Utara
dibebankan 27.000 ha lahan padi dengan anggaran 80 juta rupiah di targetkan selesai
dalam 7 tahun.46
46
Mr. H. Muhammad Yamin. Pembangunan Semesta. (Bukit Tinggi: Nusantara, 1959), hlm. 68-73
Di sini kita melihat Sumatera Utara mendapatkan 4 proyek besar di
bidang produksi pangan yaitu, program rehabilitasi, pelanjutan penyempurnaan,
perluasan, proyek besar. Secara nasional hanya terdapat 5 wilayah ditetapkan untuk
mendapatkan perhatian pemerintah pusat yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan,
34
Untuk menangani masalah kelangkaan beras yang sering terjadi di Indonesia,
pemerintah mendirikan gudang dan lumbung padi di setiap Daswati I dan desa di
Indonesia dengan anggaran sebesar 250 juta rupiah. Di harapkan melalui kebijakan ini
dapat mencapai kestablian harga beras, pemberantasan idjon, dan tertibnya periode
produksi (tidak terjadi kelangkaan di musim paceklik). Lumbung padi di isi setelah
panen yang diambil dari pembelian padi rakyat tani (yang bersedia menjualnya) atau
dipinjam dari petani kaya dengan bunga yang layak dan dibayar kembali setelah
penjualan padi dilakukan. Untuk mengatasi kekosongan pasokan beras di desa selama
musim paceklik, pemerintah akan menyalurkan persediaan beras dari Daswita I. Di
harapkan gudang-gudang beras juga dapat berperan sebagai sumber beras yang di
distribusikan kepada pegawai negeri dengan harga subsidi, selama gaji mereka tidak
seimbang dengan harga barang-barang sandang pangan.47
Namun masalah lain yang sering terjadi adalah kekurangan keamanan pangan
yang di alami daerah sentra-sentra produksi padi, juga buruknya koneksi
pengangkutan antar-daerah, minimnya fasilitas dan alat-alat produksi membuat
semakin tingginya ongkos pengangkutan. Tingginya faktor-faktor resiko inilah yang
dialami daerah-daerah dan diperparah dengan terjadinya bencana alam yang
mengakibatkan kegagalan panen dalam jumlah besar.
48
Namun sedianya pemerintah juga tetap hati-hati dan selalu waspada terhadap
segala bentuk kebijakan dan intervensi pasar beras. Sikap pemerintah dalam
47
Ibid. hlm. 76-77
35
menyelesai kelangkaan beras dengan mengambil jalan pendek dengan mengimport
beras dari luar-negeri dapat memicu permasalah baru dan hanya menguntungkan
sekelompok orang. Subsidi yang diberikan pemerintah di masa Orde Lama memang
ditujukan untuk dapat menstabilkan harga beras di pasaran termasuk di daerah, namun
nyatanya kondisi ini di manfaatkan oleh pedagang untuk mengambil keuntungan dari
selisih harga yang cukup besar akibat pemerintah melepas harga ke pedagang dengan
harga murah.49
49 Ibid., hlm. 486-7
Sering sekali terjadi kelangkaan beras bukan karena kekosongan
pasokan dari petani atau terlambatnya distribusi dari stok pemerintah kedaerah
melainkan aksi nakal para pedagang dengan melakukan penimbunan beras untuk
menaikkan harga beras di pasaran. Pemerintah kemudian mengadakan penggalangan
melalui suatu mekanisme beras import untuk menjaga kestabilan harga beras guna
mencegah penimbunan spekulatif para pedagang. Dampak kelonjakan harga beras
yang paling dirasakan oleh golongan menengah kebawah masyarakat perkotaan yang
menghuni sebagian besar penduduk perkotaan, sementara masyarakat pedesaan tidak
mengalami akibat yang berarti karena sebagian besar masyarakat pedesaan di