• Tidak ada hasil yang ditemukan

Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi Politik Pangan Di Sumatera Utara Tahun 1969-1997 (Suatu Tinjauan Historis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Lembaran Persetujuan Ujian Skripsi Politik Pangan Di Sumatera Utara Tahun 1969-1997 (Suatu Tinjauan Historis)"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

17

BAB II

POLA PERTANIAN DAN PANGAN DI SUMATERA

UTARA SEBELUM 1969

2.3 Petani Dan Pertanian Di Sumatera Utara

2.3.1 Pola Pertanian (Awal)

Pada awal abad ke 15, padi (beras) telah menjadi sumber makanan pokok di

Kepulaun Asia Tenggara, mendahului makanan pokok lainya seperti talas, ubi, sagu

dan sejenis gandum lainnya. Hal ini dikarena tanaman padi dapat tumbuh subur

hampir di semua geografis14

Awal tananam padi dibudidayakan masih kurang begitu jelas, namun Burger

berpendapat bahwa pertanian padi kering adalah yang tertua. Pelaksanaan yang

berlaku saat itu yaitu pertanian ladang hutan (Roulerend).

. Padi menjadi komoditas pangan paling penting, bukan

hanya di Sumatera, melainkan di seluruh kawasan Asia Timur sehingga sangat mudah

kita menemukan pertanian padi di wilayah ini.

15

14

Dibeberapa daerah-daerah marjinal yang pertaniannya berpindah-pindah bergantung pada hujan yang tidak menentu, makan nasi menjadi suatu kemewahan musim panen saja. Lihat, Anthony Reid. Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 1. (Jakarta: YOI, 2014), hlm.23. Bahkan abad ke 15 terjadi perang penaklukan oleh Melaka yeng bergerak di daerah-daerah tepi semenanjung Malaya bagian selatan dan pantai timur Sumatera yang mengalami peningkatan kemakmuran sebagai penghasil bahan pangan (beras), emas, timah dan lada. Lihat M. C. Ricklef. Sejarah Indonesia

Modern. (Yogyakarta: UGMPress, 2007), hlm.28-29

15

Pertanian ladang hutan adalah suatu daerah berpenduduk sedikit dan mempunyai banyak hutan, maka pertanian ladang dengan tanah yang bergilir (roulered), karena hutan dan ladang ganti-berganti secara berturut-turut di gunakan di atas tanah yang sama. Lihat, D.H. Burger. Sejarah

Ekonomis Sosiologis Indonesia Jilid II, (terj.) (Jakarta, 1970)

Selanjutnya William

membagi dua jenis padi yaitu, padi ladang yang tumbuh subur di dataran tinggi dan

(2)

18

lebih baik secara kualitas namun padi sawah memberikan keuntungan kuantitas.16

Pada dasarnya keseluruhan wilayah pedalaman bersifat liar—terlihat bahwa

kesuburan tanah yang menyebabkan banyak hutan di Sumatera, bukan di anggap

sebagai sebuah hambatan, melainkan anugrah.17

Semakin meningkatnya jumlah penduduk selaras dengan meningkatnya

kebutuhan hidupnya, termasuk mencukupi kebutuhan utama, yakni pangan. Oleh

karena itu perluasan pertanian menjadi solusi untuk sekedar memenuhi kebutuhan

dasar. Namun, masalah perluasan lahan pertanian bukanlah perkara mudah. Hal ini

dikarenakan mitos yang diturunkan sejak kecil oleh nenek moyang mereka bahwa

betapa pohon adalah objek sakral dewa-dewa yang tidak seharusnya dihancurkan oleh

tangan perusak makhluk rendahan yang liar dan primitif.

Burger mengamini hal tersebut,

mengatakan bahwa antara kepadatan penduduk dengan kesuburan tanah terdapat

korelasi. Daerah-daerah subur bergunung api muda memiliki kesuburan tanah yang

baik, konsentrasi penduduk dipengaruhi oleh kesuburan tanah.

18

Namun ketika diterapkannya sistem feodal di daerah pesisir pantai timur

Sumatera dan berlaku selama berabad-abad telah terjadi perubahan secara mendasar,

alat-alat produksi seperti tanah milik raja dan para bangsawan—termasuk juga rakyat

16

Perbedaan keduanya tentang budidaya agrikultur ini bahwa kualitas padi ladang di anggap lebih superior karena menghasilkan nasi yang enak, putih, awet, dan mengenyangkan, sedangkan padi sawah lebih basah, kurang sehat lebih sulit direbus dan cepat membusuk namun bibit padi sawah tumbuh jauh lebih cepat sehingga menghasilkan kuantitas panen lebih banyak. Lihat, William Marsedan. Sejarah Sumatera.(Jakarta: Komunitas Bambu, 2013), hlm. 72-73

(3)

19

dimobilisasi untuk kepentingan penguasa. Tidak dapat dipungkiri bahwa sebagian

besar pendapatan Raja (Sultan) berasal dari konsesi tanah yang diberikan kepada

rakyat ataupun investor. Sebelum tahun 1827 semua persentase tanah masuk ke

kantong pribadi Raja atau Sultan yang berkuasa19, sedikit berbeda kondisinya yang

terjadi di daerah dataran tinggi Sumatera Utara.20

Di wilayah dataran tinggi pegunungan ini di diami oleh orang Batak

21

, telah

menggunakan sistem bercocok tanam padi sawah dengan irigasi lebih awal, tetapi di

daerah lain seperti wilayah Karo, Simalungun dan Pakpak mengenal bercocok tanam

padi di ladang dengan cara menebang dan membakar hutan. Pola pertanian padi

ladang maupun sawah umumnya ditanam dan dipanen hanya sekali setahun, selang

waktu menunggu sirkulasi penaman biasa digunakan untuk tanaman palawija.22

Namun yang tidak dapat di abaikan adalah bagaimana peran daripada petani

yang masih sering di jadikan obyek dalam pembangunan. Hal ini terlihat bagaimana

19

Feodalisme adalah suatu cara berekonomi atau sistem ekonomi di mana raja, keluarga dan para bangsawan serta penguasa daerah adalah tuan dan rakyat petani sebagai abdi. Lebih lanjut lihar, Noer Fauzi. Petani dan Penguasa: dinamika perjalanan Politik Agraria Indonesia. (Yogyakarta: INSIST, 1999), hlm. 15. Lihat juga, Budi Agustono. Kehidupan Bangsawan Serdang 1887-1946. Tesis tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1993), hlm. 81

20

Bagi bangsa Batak (Simalungun, Karo, dan Toba), tanah itu belumlah di pandang membawa keuntungan secara makro melainkan sebagai identitas dan tempat untuk bertahan hidup. Itulah sebabnya masyarakat Batak membagi-bagi tanah berdasarkan fungsinya. Untuk keterangan selanjutnya mengenai tanah Lihat, Bungaran antonius Simanjuntak, dkk. Arti dan Fungsi Tanah: bagi

Masyarakat Batak Toba, Karo dan Simalungun. (Jakarta:YOI, 2015), hlm. 21-31

21 Wilayah yang di maksud adalah dataran tinggi Karo, Langkat Hulu, Deli Hulu, Serdang

Hulu, Simalungun, Dairi, Toba, Humbang, Silindung, Angkola, Mandailing dan Kabupaten Tapanuli tengah. Daerah ini di diami oleh suku bangsa seperti: Karo, Simalungun, Pakpak, Toba, dan Angkola. Lihat, Payung Bangun dalam buku, Koentjacaraningrat: Manusia dan Kebudayaan di Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1990), hlm. 94-95

22

(4)

20

pandangan masyarakat luas (umumnya perkotaan) memandang rendah kehidupan

petani yang di nilai promitif dan tradisional. Selain itu masih terdapatnya stigma yang

negatif memandang petani pedesaan sebagai sumber tenaga kerja dan barang yang

menambah dana kekuasaan (fund of power), akan tetapi petani itu adalah juga pelaku

ekonomi dan kepada rumah tangga. Jangan mengabaikan, bahwa unit petani pedesaan

bukan sekedar organisasi produksi yang terdiri dari sekian banyak “tangan” yang siap

untuk bekerja di ladang; ia juga merupakan sebuah unit konsumsi yang terdiri dari

sekian banyak mulut sesuai dengan banyaknya pekerja.23

Umumnya dalam mengerjakan setiap aktivitas pertanian, masyarakat biasanya

bergotong royong dalam bercocok tanam, bahkan dalam keluarga terjadi pembagian

kerja.

24

2.3.2 Perluasan Lahan Pembuatan Sawah

Pembagian kerja antara lak-laki dengan perempuan dilakukan untuk

mempermudah pekerjaan sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.

23 Unit yang dimaksud adalah tidak sekedar memberi makan kepada anggota-anggotanya; ia

juga memberikan pelayanan lainnya yang harus di sediakan bagi mereka. Lihat, Eric R. Wolf. Petani:

Suau Tinjauan Antropologis. (Jakarta: Rajawali Press, 1983), hlm. 19

24 Pembagian kerja dalam keluarga untuk mempermudah proses pengerjaan di mana laki-laki

mengerjakan pekerjaan berat sepeti; penebangan pohon, membakar huta, menyiapkan saluran-saluran, pematangan irigasi, membajak, membersihkan belukar hutan dll. Sedangkan perempuan biasanya menanam, menyiangi, menuai dll.

(5)

21

Perluasan tanah sawah25 di Sumatera Utara sangatlah memungkinkan dengan

letaknya di wilayah tropis dengan curah hujan yang tinggi berkisar 1000-5000

mm/tahun. Budi daya tanaman padi dari segi botani, terutama sistem perakarannya

sebenarnya bukan benar-benar merupakan tumbuhan tanaman air, tetapi tumbuh

dengan baik dalam keadaan tergenang sehingga padi mempunyai sifat semiakuatis.

Adapun penyebarannya ke dataran tinggi merupakan hasil pengembangan rekayasa

lahan dengan sistem irigasi air dengan mengandalkan air hujan atau aliran sungai. Hal

inilah yang mendorong semakin meningkatnya penggunaan lahan sawah di dataran

tinggi seperti di daerah Tapanuli dan sekitarnya. Adapun secara umum di Sumatera

Utara memiliki karakteristik cukup baik pada tanah sawah baik yang terdapat di

daerah dataran tinggi dan berbukit-bukit maupun dataran rendah lainnya yang

memiliki air yang melimpah.26

Akhir abad ke 19 sampai awal abad ke 20, atas inisiatif pemerintah kolonial,

di buka persawahan irigasi di Sumatera Timur. Tahun 1915 di Asahan telah terdapat

42.000 ha sawah irigasi, 22.000 ha sawah di Padang Bedagai, 3.000 ha di Serdang,

1.100 ha di Simalungun, 2,500 ha sawah di Langkat dan 350 ha di Tanah Karo. Tanah sawah yang berasal dari tanah kering kemudian

diairi umumnya berupa sawah irigasi. Sementara sumber air yang berasal langsung

dari air hujan disebut sawah tadah hujan. Sawah yang dikembangkan di daerah

rawa-rawa pasang-surut disebut sawah pasang surut

25

Tanah sawah adalah tanah kering yang di airi, kemudian disawahkan atau dari tanah rawa-rawa yang dikeringkan dengan membuat saluran-saluran drainase. Lihat, Sarwono Hardjowigeno & M.Lufti Rayes. Tanah Sawah: Karakteristik, Kondisi, Dan Permasalah Tanah Sawah di Indonesia. (Malang: Bayumedia, 2005), hlm. 2-3

(6)

22

Pembukaan irigasi ini terkait dengan pemenuhan pangan di Sumatera Timur,

khususnya masyarakat perkebunan.27

27

Edi Sumarno. Pertanian Karet Rakyat Sumatera Timur tahun 1863-1943. Tesis tidak diterbitkan. (Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1998), hlm. 39

Perlu di catat pernyataan Burger sebelum masuknya kolonial ke Sumatera

(Timur), situasi masih begitu sepi dan rawan. Wilayah dataran rendah memiliki tingat

kemajuan yang cukup tinggi karena dekat dengan kegiatan lalu lintas perdagangan di

banding dengan wilayah dataran tinggi yang masih terisolasi dan tertutup.

Setelah masuknya kekuasaan kolonial pada tahun 1906, terjadi perubahan

derastis terutama hubungan antara dataran tinggi dengan dataran rendah. Hal ini

dikarenakan terjadinya sistem keamanan yang lebih baik. Penulis membatasi kajian

sampai sejauh mana perubahan keamanan dan dampaknya terhadap perubahan

sebelumnya, karena bukan itu yang menjadi fokus penelitian ini. Namun, pengamatan

yang sedikit ini memberi kita gambaran. Mengingat masih sedikit kajian penelitian

interaksi antara dataran tinggi dan rendah.

Ketika dibukanya jalan-jalan baru dari pegunungan ke pantai pada tahun

1919, lalu lintas semakin bertambah ramai yang memungkinkan gerobak-gerobak

keluar-masuk membawa barang dagangan mereka. Koneksi antara masyarakat antara

pesisir dan pegunungan memiliki arti penting dalam hal perdagangan, utamanya

(7)

23

Seperti dijelaskannya sejak Karesidenan Tapanuli dibentuk masyarakat telah

mulai beralih dari hanya menaman pangan (padi dan sayur) mengubahnya menjadi

menanam kopi. Namun pada tahun 1930-an harga kopi merosot tajam di pasar

perdagangan ekport membuat petani semakin kesulitan memperoleh keuntungan.

Krisis ini ternyata berdampak pada kondisi ketersediaan pangan yang sedikit karena

banyaknya lahan pertanian untuk padi di alih-fungsikan untuk tanaman eksport.28

Kesukaran tersebut mengakibatkan Sumatera Timur mengimport beras dari Jawa

karena selama hampir ¼ penduduknya bergantung pada beras import. Kelangkaan

(tepatnyak krisis) beras ini memberikan pelajaran penting bagi pemerintah kolonial

untuk tidak semata membiarkan masyarakat melakukan alihfungsi tanaman pangan.

Untuk melakukan pemulihan kebutuhan pangan yang tidak dapat di tunda, maka

dilakukan perluasan kembali budi-daya tanaman padi.29

2.4 Pangan Di Sumatera Utara

Namun Burger tidak

menjelaskan berapa jumlah areal perluasan dan pemeliharaan tanah sawah yang

dilakukan oleh pemerintah kolonial dan masyarakat sendiri.

2.4.1 Masa Kolonial

Ketika berkembanganya perkebunan swasta di Sumatera Timur, terutama

perluasan pengembangan budidaya tembakau yang di rintis oleh Nienhuys 1863,

kebanyakan petani beralih dari tanaman pangan menjadi tanaman komoditi ekport.

28

(8)

24

Terjadi perubahan pemikiran petani justru lebih memperhatikan keuntungan ekonomis

dari tanaman tembakau daripada tanaman pangan seperti padi.30

Sebelum para pemodal tiba di Sumatera Timur, sebagian besar daripada

wilayah ini merupakan hutan rimba yang subur di penuhi dengan hutan tropis yang

cukup lebat. Hutan tersebut merupakan tempat bagi penduduk setempat untuk

mengusahakan tanaman padi maupun tamanan pangan lainnya melalui sistem

perladangan berpindah. Masuknya korporasi konsorsium-konsorsium dari berbagai

belahan dunia mulai melakukan penetrasi dan aktivitas ekonomi perkebunan dalam

jumlah yang cukup luas di mulai sejak tahun 1913 meskipun aktivitasnya jauh lebih

awal. Secara teritorial Belanda masih menguasai separuh dari keseluruhan areal tanah

perkebunan dengan budidaya tembakau, Inggris mengikut dengan memonopoli

perkebunan teh, di lanjutkan dengan Amerika Serikat dengan perkebunan karet serta

korporasi negara Perancis-Belgia yang mengembangkan budidaya kelapa sawit.31

30 Inilah yang menjadi awal proses penyempitan lahan tanaman pangan di Sumatera Timur.

Bahkan petani justru menggunakan lahan tanaman padi sebagai budidaya tembakau yang kemudian megusahakan supaya tanaman padi tidak mengganggu pertumbuhan tanaman tembakau. Lihat, T. Keizerina Devi. Poenale Sanctie: Studi Tentang Globalisasi Ekonomi dan Perubahan Hukum Di

Sumatera Timur 1870-1950. (Medan: Pascasarjana USU 2004), hlm.54 Bandingkan dengan, Edi

Sumarno. op.cit., hlm. 37. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah lahan subur seperti tanah Karo, sejak di bukanya jalur darat yang menghubungkan Medan-Kabanjahe mulai beralih dari sekedar menanam tanaman pangan untuk kebutuhan sendiri kemudian melakukan diversifikasi tanaman komersial. Lihat Wara Sinuhaji. Aktivitas Ekonomi dan Enterprenuership: Masyarakat Karo Pasca

Revolusi. (Medan: USUPress, 2004), hlm. 116 31

Ann Laura Stoler. Kapitalisme dan Konfrontasi: di Sabuk Perkebunan Sumatera,

1870-1979. (Yogyakarta: KARSA, 2005), hlm. 32

Keberadaan konsorsium tersebut awalnya tidaklah memiliki masalah dan dampak

terhadap ketersediaan pangan bagi para petani maupun penghuni wilayah tersebut.

(9)

25

tanaman pangan semakin sempit. Hal ini lebih dikarenakan kerakusan para kesultanan

melayu yang mengklaim sebagai pemilik yang sah. Kondisi ini semakin keruh melalui

penyerobotan tanah yang dilakukan oleh pekerja perkebunan dan orang Batak Toba

yang bermigrasi dari daerah pegunungan. Sehingga sisa tanah yang dapat di tanami

tanaman pangan sedikit dan tidak memadai untuk mencukupi keperluan daripada

subsistensi penduduk.32

Terdapat sebuah korelasi konsumsi padi sebagai kebutuhan pokok dengan

tanaman lain. Seperti di Sumater Timur, ketika terjadi peningkatan harga tanaman

karet, petani masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera mulai meninggalkan tanaman

pangan dan beralih kepada tanaman karet. Kemudian di tahun 1929 petani karet

mengalihkan aktivitasnya kembali ke penanaman pangan.

33

Pada awal tahun 1933 merupakan awal kebijakan pengendalian harga

langsung harga beras untuk membatasi import dengan cara lisensi dan harga-harga

diawasi langsung oleh pemerintah termasuk menggalakkan perdagangan beras antar Kemungkinan korelasi ini

berhubungan dengan peluang memperoleh keuntungan ekonomis dari tanaman

komersial serta gaya hidup masyarakat pesisir. Kondisi ini tidak terjadi di masyarakat

dataran tinggi. Siklus pertanian tidak menunjukkan terjadi perubahan tanaman seperti

yang terjadi di Sumatera Timur. Sehingga dapat dikatakan terjadi perbedaan antara

kondisi produksi pangan yang terjadi di Sumatera Timur dengan dataran tinggi Toba

dan sekitarnya.

32

Ibid., hlm. 39

(10)

26

pulau dengan tujuan agar daerah-daerah defisit beras di luar Jawa memperoleh

tambahan beras dari daerah surplus beras seperti Jawa, Bali dan Sulawesi Selatan.34

Kedatangan sejumlah perusahaan-perusahaan membawa serta modal dalam

jumlah yang besar ke pesisir Sumatera Timur membawa berkah bagi penduduk yang

tinggal di dalamnya. Kehidupan mereka biasa hidup sebagai petani dan nelayan kini

lebih sejahtera berkat sistem sewa tanah kepada para imigran atau buruh yang ada di

Sumatera Timur. Dampak daripada masyarakat yang tinggal di daerah

Cultuurregebied adalah derasnya arus gelombang invasi yang membawa serta masuk

budayanya. Seperti yang di jelaskan oleh Stoler sebelum masuknya para migran,

wilayah tanah Karo dan Simalungun hidup tradisional sebagai petani tanaman ladang

dengan pola berpindah-pindah. Di kalangan migran dari dataran tinggi telah mengenal

teknik budidaya padi sawah, sehingga lambat laun terjadi transfer pengetahuan.35

Yang menarik adalah bagaimana memberi dan menyediakan makanan yang

cukup terhadap kalangan penduduk yang telah menyewakan tanah miliknya kepada

pihak pemodal serta kebutuhan para buruh dan pegawai yang terus-menerus

bertambah? Ann Stoler mengungkapkan bahwa ekonomi perkebunan yang diterapkan

di Sumatera Timur memberikan kedudukan para pekerja sebagai setengah proletar dan

setengah petani atau menjadi kuli dan sekaligus petani miskin (peasentization). Terlepas apakah hubungan berdampak negatif atau positif, hal ini bukanlah cakupan

pembahasan kajian ini.

34

(11)

27

Artinya para buruh berusaha sendiri untuk mencukupi kebutuhan secara mandiri

dengan memberikan sepetak tanah untuk ditanami secara musiman setelah musim

panen perkebunan selesai. Inilah cara cerdik untuk mengurangi biaya bagi pihak

modal sekaligus bentuk kontrol atas perburuhan.36

Adakah dampak ekspansi para korporasi terhadap ketersediaan pangan?

Sumatera Timur adalah salah satu daerah defisit pangan yang paling parah di Hindia

Belanda. Stoler mengatakan, “produksi pangan setempat nyaris tidak mencukupi

kebutuhan makan penduduk pribumi, lebih-lebih industri perkebunan yang sama Karena bukanlah perkara mudah

memberi makan kepada setiap individu dalam jumlah yang besar jika tanpa

menggunakan kontrol yang baik utamanya juga tidak ingin mengganggu produktivitas

para tenaga kerja. Kemudian bagaimana kelangsungan kebutuhan daripada pekerja

orang Eropa diperkebunan yang jumlah sekitar 11.000 orang tahun 1930 dan secara

keseluruhan tidak kurang dari 336.000 pekerja, serta masih bertambah di tahun

berikutnya? Kemudian bagaimana dengan penduduk asli sebagai pemilik lahan

mencukupi kebutuhannya? Menarik untuk di catat Ann Stoler menjelaskan bagaimana

penguasa tanah dengan cerdik memanfaatkan kesempatan pendaptan pribadi dengan

memberikan sebagian tanah konsesinya kepada para penggarap (utamanya migran)

Jawa untuk mengusahai tanah mereka melalui penetapan sewa sampai dua-per-tiga

dari hasil panen padi.

36

(12)

28

sekali tergantung pada beras import”.37

“Kerugian masih besar karena harga beras yang mahal dalam enam bulan terkahir tahun 1911. Namun demikian lebih baik kita menanggung kerugian ini, karena ... bila tidak pemerintah akan menganggap perlu untuk menaikkan upah kuli, yang sudah barang tentu lebih mahal lagi bagi kita. Mahalnya harga beras hanya bersifat sementara, tetapi sekali upah dinaikkan tidak mudah bagi kita untuk menurunkan.”

Untuk menanggulangi bahaya krisis pangan

yang ada, pemerintah mendorong para perusahaan untuk menyisihkan 3,5 hektar

setiap 100 orang pekerja untuk menaman jagung, singkong, dan padi gogo.

Sayangnya usaha ini dilakukan pihak perusahaan bukan untuk mencapai semi

swasembada pangan, melainkan menjaga produktivitas pekerja tidak menurun

sekaligus mengurangi pengeluaran biaya tambahan. Hal ini telihat pemecahan

masalah yang di lakukan perusahaan dengan mengalokasikan tanah kepada pekerja

dalam petak-petak kecil yang di tanami diluar jam kerja. Seperti di kutip stoler:

38

Di masa pemerintah Jepang, petani tidak lebih dari obyek eksploitasi yang lebih

dahsyat. Selain petani memiliki kewajiban untuk memenuhi kebutuhan pangan tentara

fasis Jepang sebanyak 20% hasil produksi, mereka juga mengerahkan sejumlah petani

untuk dijadikan tenaga romusha. Ketika Jepang mendarat di Sumatera Timur, mereka

kemudian menduduki tempat-tempat strategis sebagai bagian dari padi ekspansi hasil

bumi untuk mendukung aksi militer mereka. Tujuan semula kedatangannya untuk

menjadikan Sumatera sebagai sumber bahan mentah—di mana lapangan pasar

ekonomi dibiarkan hancur berantakan oleh karena tidak ada kapal pangangkut barang.

Hamparan konsesi perkebunan terutama tembakau diperintahkan untuk dibebaskan

37

Ibid., hlm. 67

(13)

29

sebesar 160.000 Ha gun penanaman padi, jagung, dan umbi-umbian—di samping

dilaksanakannya pembukaan lahan baru seluas 52.000 Ha dijadikan lahan produksi

pangan. Untuk mengelola tanaman pangan tersebut, pemerintah Jepang mengenakan

wajib tanam bagi buruh dengan membagi secara petak tanah masing-masing seluas

0,6 Ha yang dipinjamankan kepada petani dan buruh yang tidak memiliki tanah.

Jepang kemudian terpaksa merubah Politik Ekonomi secara menyeluruh tahun

1943 ke arah swasembada yaitu mencukupi kebutuhan sendiri bukan saja bagi

Sumatera sebagai satu-kesatuan melainkan masing-masing provinsi dan bunshu

(kabupaten). Selama masa pendudukan Jepang, perkebunan yang luas di Sumatera

Timur sama sekali tidak ada gunanya, oleh karena itu banyak areal

perkebunan-perkebunan budidaya tanaman eksport terbengkalai dan tidak terawat. Perbedaan

kebutuhan menjadi alasan yang jelas akan sebuah tujuan memperlihatkan kebijakan

ekonomi-politik selama pendudukan Jepang. Inilah awal redupnya era kejayaan

perkebunan di Sumatera Timur. Hal ini menyebabkan luas lahan penanaman tembakau

turun sampai seperempat. Perkebunan-perkebunan sekarang terpaksa mengerahkan

usahanya kepada tanaman yang menghasilkan bahan makanan.

Di samping banyaknya perubahan arah kebijakan terutama menyangkut

pemenuhan kebutuhan pangan, nyatanya selama pendudukan Jepang di Sumatera

Timur tetap terjadi kelangkaan pangan. Anthony Reid menduga bahwa sebab utama

(14)

30

petani terhadap setoran wajib dengan harga nominal.39

2.4.2 Masa Awal Kemerdekaan Hingga Tahun 1968

Setoran ini merupakan

kebijakan yang diterapkan untuk mencukupi kebutuhan militer Jepang selama

pendudukan berlangsung. Sayangnya Reid tidak menjelaskan apakah sikap pasif

rakyat ini sebagai bagian dari strategi atau hanya ketakutan rakyat terhadap militer

Jepang. Bahkan kita juga mempertanyakan perlawanan yang dimaksudkan oleh Reid

dalam bentuk bagaimana, karena sepanjang penjelasan tidak menyangkut akan bentuk

perlawanan petani terhadap aksi militer tersebut. Setidaknya telah memberikan kita

sedikit gambaran kondisi masyarakat akan kebutuhan pangan yang terjadi semasa

pendudukan Jepang.

Keadaan Sosial ekonomi pada masa awal kemerdekaan umumnya belum

mengalami banyak perubahan seperti kesulitan-kesulitan sejak jaman Jepang,

terutama di bidang pertanian terus berlanjut. Kemunduran produksi pertanian karena

pada zaman Jepang para petani tidak giat—dikarenakan pihak pemerintah Jepang

membeli hasil-hasil dari petani seperti beras (padi) dengan harga yang sangat murah.40

39

Anthony Reid. Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera. (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 1987), hlm 204-7. Bandingkan, Gunawan Sumodiningrat. Menuju

Swasembada Pangan Revolusi Hijau: Introduksi Manajeman dalam Pertanian. (Yogyakarta: RBI,

2001), hlm. 17 40

Sejarah Daerah Sumatera Utara. (Proyek Pemerintah dan Pencatatan Kebudayaan Daerah, 1976/1977)

Di samping itu, petani juga menghadapi kerentanan perubahan siklus iklim seperti

banjir, musim kemarau, maupun banyaknya tenaga yang dikerahkan untuk kerja

(15)

31

Di masa Orde lama, pegawai sipil maupun militer menerima sebagian gaji

mereka dalam bentuk beras. Program swasmbada beras awalnya dicanangkan pada

tahun 50-an dan 60-an, dilatarbelakangi terbatasnya devisa untuk membeli beras

import guna mengisi kekurangan produksi dalam negeri.41 Pada tahun 1952,

pemerintah pusat telah meluncurkan program Kesejahteraan Kasimo yang bertujuan

mencapai swasembada beras dengan menggunakan pendekatan penyuluhan

percontohan dan teknik cara bertanam padi yang lebih baik kepada petani.42

Kemudian berlanjut tahun 1959 menetapkan program Padi Sentra sebagai

penyempurnaan dari program sebelumnya yaitu mencapai swasembada sebelum tahun

1963.43

Untuk mengatasi kelangkaan beras, langkah awal pemerintah biasanya dengan

membuka keran import dari luar-negeri sebagai antisipasi melambungnya harga beras

berdampak pada inflasi. Namun, untuk jangka panjang tentunya sangatlah beresiko

dengan mengandalkan import beras untuk mencukupi kebutuhan semata. Menaikkan

produksi beras merupakan jawabannya yang dapat dilakukan melalui perbaikan Namun target Program Sentra Padi gagal, justru mengalami kekurangan beras

dalam jumlah yang banyak sehingga terjadi perubahan jatah beras kepada pegawai

sipil dan militer, yakni 25% jagung dan 75% beras. Kondisi ini terus menurun hingga

1965, sebagai dampaknya pegawai negeri dan militer hanya menerima separuh jatah

yang mereka terima semula.

41 Anne Both, op.cit., hlm. 31

42 Ibid.

43

(16)

32

sejumlah faktor-faktor produksi seperti pemakaian pupuk, perbaikan irigasi,

pemakaian bibit unggul, perluasan lahan produksi dengan membuka daerah-daerah

baru yang potensial.

Naik-turunnya harga beras di lapangan juga di sebabkan oleh hukum

permintaan dan penawaran—penyumbang lain juga disebabkan oleh faktor

phychologis. Faktor ini timbul karena kurangnya kepercayaan pada nilai rupiah atau

seretnya perlengkapan beras di pasaran, sehingga distributor membeli beras dengan

rendah di pasaran serta menjualnya dengan harga tinggi44

Pada tahun 1970an diperkenalkan Revolusi Hijau yang diawali dengan

mengembangkan budidaya padi dan menata keseragaman dan keserampakan

penerapannya. Termasuk masalah bibit, pengairan, penanggulangan hama, dan

sebagainya. Dari sinilah kemudian lahir wadah yang kuat dari kegiatan revolusi Hijau

di Indonesia dengan bentuk Bimbingan Massal atau BIMAS yang di motori oleh

Institut Pertanian Bogor (IPB), dengan menggerakkan ribuan mahasiswa pertanian

dari berbagai Perguruan Tinggi di Indonesia.

. Pemerintahlah yang

memiliki peran sentral terhadap tindakan-tindakan perdagangan di lapangan serta

menjamin kestabilan harga dan barang di pasaran, sekalipun harga beras diserahkan

ke pasar.

45

44 Saroso Wirodihardjo. Masalah Perdagangan dan Politik Ekonomi Indonesia. (Jakarta: NV,

1956), hlm. 473-4 45

Gunawan Sumodiningrat, op.cit., Hlm. 52. Lihat juga, Leokman Soetrisno. Pertanian Pada

(17)

33

Pada tahun 1961, Pemerintah pusat telah membuat Program Pembangunan

Semesta Nasional Berencana atau Depernas yang diketuai oleh Prof. Muhammad

Yamin. Dalam proyek tersebut disusun untuk menetapkan rencana pembangunan

kebijakan pemerintah secara nasional mengkoordinir pembangunan di setiap daerah.

Melalui Departemen Pertanian membuat proyek Padi Sentra untuk meningkatkan

produksi beras yang dipelopori oleh gerakan Intensifikasi Masal. Sumatera Utara

sendiri di targetkan akan merehabilitasi pangairan seluas 16.000 Ha dalam jangka

waktu delapan tahun dengan anggaran biaya 4 juta Rupiah dari pemerintah pusat. Di

dalam proses pengembangannya Pelanjutan Penyempurnaan, pemerintah menambah

40 juta lagi dengan sasaran 14.000 ha dalam waktu 5 tahun. Untuk program perluasan

lahan sendiri, Sumatera Utara diberikan anggaran terbesar secara nasional yaitu 210

juta dari totall 477 juta rupiah yang di harapkan akan mencetak sawah seluas 40.000

dalam jangka 8 tahun. Sementara untuk proyek besar lainnya, Sumatera Utara

dibebankan 27.000 ha lahan padi dengan anggaran 80 juta rupiah di targetkan selesai

dalam 7 tahun.46

46

Mr. H. Muhammad Yamin. Pembangunan Semesta. (Bukit Tinggi: Nusantara, 1959), hlm. 68-73

Di sini kita melihat Sumatera Utara mendapatkan 4 proyek besar di

bidang produksi pangan yaitu, program rehabilitasi, pelanjutan penyempurnaan,

perluasan, proyek besar. Secara nasional hanya terdapat 5 wilayah ditetapkan untuk

mendapatkan perhatian pemerintah pusat yaitu Sumatera Utara, Sumatera Selatan,

(18)

34

Untuk menangani masalah kelangkaan beras yang sering terjadi di Indonesia,

pemerintah mendirikan gudang dan lumbung padi di setiap Daswati I dan desa di

Indonesia dengan anggaran sebesar 250 juta rupiah. Di harapkan melalui kebijakan ini

dapat mencapai kestablian harga beras, pemberantasan idjon, dan tertibnya periode

produksi (tidak terjadi kelangkaan di musim paceklik). Lumbung padi di isi setelah

panen yang diambil dari pembelian padi rakyat tani (yang bersedia menjualnya) atau

dipinjam dari petani kaya dengan bunga yang layak dan dibayar kembali setelah

penjualan padi dilakukan. Untuk mengatasi kekosongan pasokan beras di desa selama

musim paceklik, pemerintah akan menyalurkan persediaan beras dari Daswita I. Di

harapkan gudang-gudang beras juga dapat berperan sebagai sumber beras yang di

distribusikan kepada pegawai negeri dengan harga subsidi, selama gaji mereka tidak

seimbang dengan harga barang-barang sandang pangan.47

Namun masalah lain yang sering terjadi adalah kekurangan keamanan pangan

yang di alami daerah sentra-sentra produksi padi, juga buruknya koneksi

pengangkutan antar-daerah, minimnya fasilitas dan alat-alat produksi membuat

semakin tingginya ongkos pengangkutan. Tingginya faktor-faktor resiko inilah yang

dialami daerah-daerah dan diperparah dengan terjadinya bencana alam yang

mengakibatkan kegagalan panen dalam jumlah besar.

48

Namun sedianya pemerintah juga tetap hati-hati dan selalu waspada terhadap

segala bentuk kebijakan dan intervensi pasar beras. Sikap pemerintah dalam

47

Ibid. hlm. 76-77

(19)

35

menyelesai kelangkaan beras dengan mengambil jalan pendek dengan mengimport

beras dari luar-negeri dapat memicu permasalah baru dan hanya menguntungkan

sekelompok orang. Subsidi yang diberikan pemerintah di masa Orde Lama memang

ditujukan untuk dapat menstabilkan harga beras di pasaran termasuk di daerah, namun

nyatanya kondisi ini di manfaatkan oleh pedagang untuk mengambil keuntungan dari

selisih harga yang cukup besar akibat pemerintah melepas harga ke pedagang dengan

harga murah.49

49 Ibid., hlm. 486-7

Sering sekali terjadi kelangkaan beras bukan karena kekosongan

pasokan dari petani atau terlambatnya distribusi dari stok pemerintah kedaerah

melainkan aksi nakal para pedagang dengan melakukan penimbunan beras untuk

menaikkan harga beras di pasaran. Pemerintah kemudian mengadakan penggalangan

melalui suatu mekanisme beras import untuk menjaga kestabilan harga beras guna

mencegah penimbunan spekulatif para pedagang. Dampak kelonjakan harga beras

yang paling dirasakan oleh golongan menengah kebawah masyarakat perkotaan yang

menghuni sebagian besar penduduk perkotaan, sementara masyarakat pedesaan tidak

mengalami akibat yang berarti karena sebagian besar masyarakat pedesaan di

Referensi

Dokumen terkait

M ent eri Pendidikan dan Kebudayaan Kepala Biro selaku. Ket ua

Berdasarkan Penetapan Pemenang Pelelangan Nomor : 98/Pan-PBJ/KEMENAG/IX/2012, Tanggal 19 September 2012 Panitia Lelang Rehab Rumah Dinas Kepala Kankemenag Kabupaten Barito selatan

Sebuah karya bisa dinikmati dan dibaca oleh orang lain mempunyai suatu dorongan untuk menciptakan sebuah karya yang mengesankan. Pembuatan karya tersebut tidak

Makin tinggi angka integrasi aliran kegiatan suatu perusahaan menunjuk- kan tingkat otomatisasi peralatan yanag lebih besar, aliran kegiatan yang lebih kaku, dan ketelitian

Hasil ujikoefisien determinasi (R 2 ) menunjukkan Adjusted R Square 0,345 atau 34,5% yakni berarti variasi variable semangat kerja karyawan dapat dijelaskan oleh variable gaya

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yesus Kristus, karena dengan kasih karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul “Pemberitaan

Perancangan Database merupakan suatu proses penting dalam suatu wadah lembaga usaha karena database dapat memberikan kekonsistensian suatu data dan kemudahan dalam pengaksesan

Akhirnya penduduk Jawa di Desa Muara Aman Kecamatan Bukit Kemuning Kabupaten Lampung Utara mulai beralih dari pola pertanian tanaman pangan ke pola pertanian