• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Usia Menopause

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Penggunaan Kontrasepsi Hormonal dengan Usia Menopause"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2

Tinjauan Pustaka

2.1

Menopause

2.1.1

Defenisi Menopause

Kata menopause pertama kali digunakan oleh dokter pada tahun 1821

(Ballard, 2003 dalam Bushman dan Young, 2012). Kata ini berasal dari bahasa

Yunani menos, yang berarti bulan, dan pausos, yang berarti berakhir. Jadi

menopause dapat diartikan berhentinya siklus menstruasi bulanan (Bushman &

Young, 2012).

Semua wanita yang berumur panjang akan mengalami menopause.

Abernethy (2009, dalam Andrews, 2009) mengatakan menopause merupakan

suatu fase dalam kehidupan wanita dimana masa kesuburan sudah berakhir yang

ditandai dengan berhentinya siklus haid. Menurut Morgan dan Hamilton (2009)

menopause merupakan berhentinya menstruasi secara permanen akibat kegagalan

ovarium. Widyastuti, Rahmawati, dan Purnamaningrum (2009) berpendapat

bahwa menopause adalah haid terakhir, atau saat terjadinya haid terakhir yang

dapat didiagnosis setelah terdapat amenorea sekurang-kurangnya selama 1 tahun.

Jadi menopause dapat didefenisikan sebagai suatu fase dalam kehidupan wanita

dimana siklus haid berhenti secara permanen sekurang-kurangnya selama 1 tahun,

yang dapat terjadi akibat berhentinya fungsi ovarium.

Sebelum mencapai menopause seorang wanita terlebih dahulu melalui

masa perimenopause. Perimenopause merupakan masa yang menjelaskan tentang

(2)

menstruasi (Morgan dan Hamilton, 2009). Masa peralihan ini terjadi selama 4-5

tahun sekitar menopause (2-3 tahun sebelum dan sesudah menopause), dan

ditandai dengan perdarahan yang terjadi sebentar dan sedikit atau perdarahan yang

banyak disertai bekuan dan rasa kram.

Menopause merupakan masa yang sangat individual dan berbeda pada tiap

wanita. Perbedaannya dapat dilihat dari usia awal menopause, keluhan-keluhan

yang dirasakan, serta respon dalam menghadapi perubahan selama masa

menopause maupun masa setelahnya (pascamenopause). Usia awal menopause

berbeda-beda tergantung faktor yang mempengaruhinya. Enam persen wanita

mengalami menopause pada usia 35 tahun, 25% pada usia 44 tahun, 75% pada

usia 50 tahun, dan 94% pada usia 55 tahun (Morgan dan Hamilton, 2009). Dari

persentase tersebut dapat dilihat bahwa usia menopause terbanyak yaitu pada usia

50-55 tahun. Wilson (2003 dalam Bushman & Young, 2012) menyebutkan bahwa

rentang usia menopause wanita di Amerika Serikat adalah 40-55, dengan rata-rata

usia 51,3 tahun. sedangkan menurut Ganong (2014) usia rata-rata awitan

menopause adalah sekitar 52 tahun. DepKes RI menyebutkan rentang usia

menopause wanita Indonesia adalah 45-55 tahun dengan rata-rata usia menopause

49 tahun. Beberapa wanita mengalami perhentian menopause secara lambat dan

bertahap selama bertahun-tahun, sebagian mengalaminya dengan cepat. Keluhan

yang dialami juga dapat berbeda. Sebagian wanita dapat melalui masa menopause

tanpa keluhan yang berarti, dan sebagian lagi dapat mengalami keluhan yang

(3)

2.1.2 Tipe Menopause

Menopause dapat terjadi sebagai kejadian yang terjadi secara alami atau

perubahan hidup yang timbul akibat intervensi medis. Penyebab menopause dapat

dikategorikan sebagai berikut:

2.1.2.1Menopause normal

Menopause normal merupakan menopause yang terjadi secara

alami sesuai dengan waktu normal terjadinya menopause, yaitu 45-55 tahun,

dengan rata-rata usia kurang lebih 51 tahun (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007)

2.1.2.2Menopause prematur

Menopause prematur adalah menopause yang terjadi sebelum

usia 40 tahun apapun penyebabnya. Wanita yang menjalani menopause prematur

memiliki resiko yang lebih kecil untuk terkena kanker payudara dan ovarium,

tetapi memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena osteoporosis (Tagliaferri,

Cohen, Tripathy, 2007). Ada beberapa faktor yang menyebabkan seorang wanita

mengalami menopause prematur, termasuk genetik, proses autoimun, atau

intervensi medis, seperti kemoterapi, dan pengangkatan indung telur

(ooforektomi).

2.1.2.3 Menopause beralasan atau medis

Menopause beralasan atau medis terjadi pada saat adanya

kerusakan parah pada ovarum (seperti yang disebabkan oleh kemoterapi) atau

adanya pengangkatan operatif ovarium (Tagliaferri, Cohen, Tripathy, 2007). Pada

saat terjadi kerusakan pada ovarium atau dilakukan pengangkatan ovarium, terjadi

(4)

menopause tipe ini cenderung mengalami gejala menopause yang lebih parah

dibandingkan dengan wanita yang mengalami menopause alami (Tagliaferri,

Cohen, Tripathy, 2007).

2.1.2.4 Menopause terlambat

Seorang wanita dikatakan mengalami menopause terlambat

jika usia menopausenya diatas 55 tahun. Menopause yang terlambat sering

dikaitkan dengan fibromioma uteri dan tumor ovarium yang menghasilkan

estrogen, sehingga seorang wanita yang mengalami menopause terlambat

memerlukan pemeriksaan lebih lanjut (Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi,

2008). Menurut Novak dalam Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008),

wanita dengan karsinoma endometrium sering mengeluhkan menopausenya yang

terlambat. Selain itu, wanita yang mengalami menopause terlambat akan terpapar

estrogen lebih lama dibandingkan wanita dengan jadwal menopause normal,

dimana menurut Manuaba (2010) paparan estrogen berhubungan dengan angka

kejadian carsinoma mammae.

2.1.3 Faktor yang mempengaruhi usia menopause

Usia seseorang mengalami menopause dapat berbeda menurut faktor

yang mempengaruhinya. Menurut hasil penelitian Herawati (2012) ada beberapa

faktor yang mempengaruhi usia menopause, yaitu: kebiasaan merokok,

pendapatan, penggunaan kontrasepsi, olahraga, jumlah anak, status pernikahan,

usia menarche, dan tingkat pendidikan. Sedangkan menurut Winkjosastro,

Saifuddin, Rachimhadhi (2008), faktor yang dapat mempengaruhi usia menopause

(5)

2.1.3.1 Usia menarche

Menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia

menarche berhubungan dengan usia menopause. Semakin cepat seorang wanita

mengalami menarche maka semakin lama menopause terjadi sehingga masa

reproduksi akan semakin panjang. Hal tersebut berhubungan dengan jumlah

folikel primordial yang tersisa untuk dimatangkan selama masa reproduksi yang

dimulai sejak masa pubertas (menarche). Menurut Sibagariang, Pusmaika,

Rismalinda (2010) usia menarche di Indonesia berkisar 12-13 tahun, sebagian

perempuan mengalami menstruasi lebih awal (8 tahun) atau lebih lambat (18

tahun). Jumlah folikel primordial pada usia 6-9 tahun adalah sebanyak 486.600

dan terus berkurang hingga tersisa 382.000 pada usia 12-16 tahun (Kasdu, 2002).

Sedangkan menurut Manuaba (2010) jumlah folikel primordial pada usia 6-15

tahun berkisar 440.000 dan terus berkurang hingga mencapai 160.000 pada usia

16-25 tahun. Semakin lama seorang wanita mengalami menarche, maka semakin

sedikit jumlah folikel primordial yang akan dimatangkan dan melalui proses

ovulasi dan begitu pula sebaliknya. Hal tersebut yang dapat menyebabkan

perempuan yang mengalami menarche lebih cepat mengalami menopause yang

lebih lambat karena menurut Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia

menopause berhubungan dengan jumlah cadangan folikel yang masih tersisa

dalam ovarium.

2.1.3.2 Penggunaan kontrasepsi hormonal

Sebagian besar kontrasepsi hormonal menekan produksi dan

(6)

gonadotropin yaitu FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinizing

Hormone), dimana hormon ini berperan dalam proses pematangan dan pelepasan

folikel ovarium (Andrews dan Steele, 2009 dalam Andrews, 2009).

Menurut pendapat Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi (2008)

pemberian hormon estrogen dan/ atau progesteron dalam konsentrasi dan jangka

waku tertentu dapat menekan produksi dan sekresi gonadotropin melalui suatu

mekanisme umpan balik positif-negatif. Pemberian hormon estrogen dan/ atau

progesteron melalui kontrasepsi hormonal akan menyebabkan konsentrasi kedua

hormon steroid tersebut meningkat hingga mencapai konsentrasi tertentu yang

dapat menstimulus hipofisi anterior untuk menghentikan produksi dan sekresi

FSH dan LH. Ketika produksi dan sekresi gonadotropin dihambat maka proses

pematangan folikel akan terhambat dan ovulasi tidak terjadi sehingga

menyebabkan menstruasi yang tidak menghasilkan sel telur dan juga berarti

mempengaruhi kesuburan wanita.

2.1.3.3 Paritas

Usia menopause berhubungan dengan paritas, semakin banyak

jumlah anak maka usia menopause akan semakin tua (Kasdu, 2002; Sibagariang,

Pusmaika, Rismalinda, 2010). Hal tersebut terjadi karena selama kehamilan dan

persalinan sistem kerja organ reproduksi dihambat (Kasdu, 2002). Menurut

Sibagariang, Pusmaika, Rismalinda (2010) selama kehamilan, menstruasi dan

ovulasi tidak terjadi. Satu kali masa kehamilan akan menghambat ovulasi selama

9 bulan. Selain itu, menurut Ganong (2014), wanita yang menyusui bayinya

(7)

siklus menstruasi selama 6 bulan pertama setelah kembalinya haid bersifat

anovulatorik (tidak mengandung sel telur). Penundaan ovulasi selama masa

kehamilan dan laktasi menyebabkan waktu yang dibutuhkan ovarium untuk

kehilangan seluruh folikel akan semakin lama. Menurut Winkjosastro, Saifuddin,

Rachimhadhi (2008), usia menopause berhubungan dengan jumlah cadangan

folikel yang masih tersisa dalam ovarium.

2.1.3.4 Konsumsi isoflavon

Menurut penelitian Mulyati, Triwinarto, Budiman (2006),

konsumsi isoflavon berpengaruh terhadap usia menopause. Isoflavon adalah salah

satu dari tiga gugus utama fitoestrogen. Fitoestrogen merupakan hormon alamiah

yang terdapat dalam tanaman (kacang dari keluarga polong-polongan, paling

banyak terdapat pada kedelai) yang memiliki efek manfaat mirip dengan estrogen

(Northrup, 2006). Sama seperti hormon estrogen, isoflavon akan terikat dengan

reseptor estrogen dalam tubuh dan memerikan efek yang menyeimbangkan atau

adaptogenik, artinya, saat kadar estrogen dalam tubuh rendah maka isoflavon akan

menaikkan kadarnya hingga mencapai keseimbangan, begitu pula sebaliknya

(Northrup, 2006). Menopause berhubungan dengan defisiensi estrogen sebagai

akibat dari menurunnya fungsi ovarium. Dengan mengkonsumsi isoflavon maka

penurunan kadar estrogen dalam tubuh dapat diseimbangkan. Konsumsi isoflavon

sebanyak 80 mg per hari dalam jangka panjang akan memperlama usia

menopause dan mengurangi masalah kesehatan yang terjadi pada masa

(8)

2.1.4Dampak fisik yang terjadi saat menopause

2.1.4.1 Hot flush

Rata-rata 75% wanita menopause akan mengalami hot flush

(North American Menopause Society/NAMS, 2004 dalam Bushman dan

Young, 2012). Menurut Goldman dan Hatch (2000, dalam Bushman dan

Yong, 2012), hot flush didefenisikan sebagai peningkatan atau perasaan

kepanasan di dalam atau pada tubuh. Perasaan kepanasan terdapat pada bagian

atas tubuh (wajah, leher) atau di seluruh tubuh. Hot flush dapat disertai dengan

keringat dan kadang ruam merah pada kulit.

2.1.4.1Perubahan vagina

Saat produksi estrogen berkurang, lapisan dinding vagina

menjadi lebih tipis dan kurang elastis. Selain itu sekresi vagina menurun dan

pH vagina berubah dari asam menjadi basa, sehingga meningkatkan resiko

terkena infeksi vagina (Bushman dan Yong, 2012).

2.1.4.2Perubahan kulit

Perubahan pada kulit yang terjadi berupa penipisan dan

penurunan lapisan lemak subkutan, kekeringan, kerontokan rambut, dan

hirsutisme ringan di wajah (Manuaba, 2010).

2.1.4.3Masalah perkemihan

Gejala perkemihan bertambah buruk seiring dengan

meningkatnya usia dan sering dikaitkan dengan pengaruh hormon masa

menopause (Abernethy, 2009 dalam Andrews, 2009). Frekuensi dan urgensi

(9)

uretra (Manuaba, 2010). Hal ini menyebabkan banyak wanita menopause yang

mengeluhkan inkontinensia urin.

2.1.5 Dampak psikologis yang terjadi akibat menopause

Banyak wanita yang mengeluh masalah psikologis saat menopause,

tetapi sulit untuk menentukan apakah masalah ini timbul akibat defisiensi estrogen

atau merupakan faktor sekunder akibat gejala lain, seperti flush dan keringat

malam (Abernethy, 2009 dalam Andrews, 2009). Keringat malam yang

berkepanjangan akan menyebabkan gangguan pola tidur yang akhirnya

menyebabkan gangguan konsentrasi, ingatan yang kurang baik, bahkan gejala

fisik seperti sakit kepala dan keletihan. Gejala psikologi lain yang dapat timbul

yaitu depresi, kurangnya rasa percaya diri, perasaan tidak berharga, dan kesulitan

membuat keputusan (Abernethy, 2009 dalam Andrews, 2009).

2.2 Kontrasepsi hormonal

2.2.1 Defenisi kontrasepsi hormonal

Sejak dahulu wanita dan pria telah berupaya mengontrol kesuburan

dengan berbagai metode. Zaman dahulu wanita menggunakan kain berminyak dan

lemon belah sebagai diafragma, sedangkan pria menggunakan kondom yang

terbuat dari sutra, linen, dan usus binatang (Everett, 2009 dalam Andrews, 2009).

Di Cina, wanita mengkonsumsi merkuri untuk mencegah kehamilan, sedangkan

wanita di Arab menggunakan kotoran gajah sebagai pesarium vagina (Everett,

(10)

Kontrasepsi merupakan usaha-usaha untuk mencegah kehamilan, baik

secara permanen maupun sementara (Winkjosastro, Saifuddin, Rachimhadhi,

2008). Kontrasepsi hormonal adalah suatu metode untuk mencegah kehamilan

dengan cara pemberian hormon steroid. Metode ini merupakan salah satu metode

yang paling efektif dan reversibel untuk mencegah terjadinya konsepsi (Baziad,

2002). Penggunaan kontrasepsi saat ini sudah dikenal luas secara internasional

dan disarankan melalui program keluarga berencana. Saat ini hampir 60%

pasangan usia subur di seluruh dunia telah menggunakan kontrasepsi (Glasier dan

Gebbie, 2006).

Pada tahun 1921, Haberlandt adalah ilmuan pertama yang berspekulasi

bahwa ekstrak dari ovarium dan plasenta hewan hamil dapat digunakan untuk

mengendalikan kesuburan. Pada tahun 1937, Kuzrok menyatakan bahwa selama

terapi untuk dismenore, ovulasi dihambat dengan menggunakan estron ovarium

dan menganjurkan mungkin hormon ini bermanfaat dalam kontrasepsi. Kemudian

pada tahun 1950-an pil kontrasepsi oral mulai diproduksi (Guillebaud, 2006

dalam Glasier dan Gabbie 2006).

Lebih dari 200 juta jiwa wanita di seluruh dunia telah mengkonsumsi pil KB

sejak pertama kali tersedia, dan saat ini jumlah pemakai adalah sekitar 70 juta

jiwa (Guillebaud, 2006 dalam Glasier & Gebbie, 2006). Di Sumatera Utara,

kontrasepsi hormonal merupakan metode kontrasepsi yang paling banyak

digunakan. Pada tahun 2014 akseptor KB untuk jenis kontrasepsi pil tercatat

sebanyak 467.092 jiwa, jenis suntikan sebanyak 508.240 jiwa, dan jenis impan

(11)

2014, akseptor KB jenis pil sebanyak 74.617 jiwa, jenis suntikan sebanyak 85.191

jiwa, dan jenis implan sebanyak 20.790 jiwa (BKKBN, 2015).

Sebagian besar jenis hormon yang terdapat dalam kontrasepsi hormonal

adalah hormon sintetik karena hormon alami mudah diserap oleh usus dan mudah

dihancurkan di hati. Kontrasepsi hormonal mengadung hormon yang terdiri dari

estrogen saja, progesteron saja, dan kombinasi estrogen-progesteron.

2.2.2 Bentuk pemberian kontrasepsi hormonal

Kontrasepsi hormonal dapat berbentuk tablet atau drages dan berupa

depo injeksi. Kontrasepsi oral biasanya dikemas dalam satu kotak yang berisi 21

atau 22 tablet, dan sebagian kecil ada yang berisi 28 tablet, dengan 6 atau 7 tablet

terakhir merupakan plasebo sehingga tidak perlu lagi masa istirahat 6 atau 7 hari.

Minipil digunakan tanpa masa istirahat yang terdiri dari 35 tablet. Sediaan depo

injeksi dapat berupa injeksi mikrokristalin atau cairan minyak dari asam lemak

steroid ester (Baziad, 2002). Bentuk pemeberian IUD (intrauterine device) atau

yang sering disebut AKDR (alat kontrasepsi dalam rahim) merupakan kontrasepsi

hormonal berupa logam atau plastik yang mengandung hormon progesteron yang

ditanamkan dalam rahim (Ganong, 2014). Selain itu ada juga bentuk pemberian

implan, yaitu alat kontrasepsi yang disusukkan di bawah kulit. Implan terdiri atas

6 kapsul dan masing-masing kapsul panjangnya 34 mm dan berisi 36 mg

(12)

2.2.3 Jenis/sediaan kontrasepsi hormonal

2.2.3.1Sediaan estrogen-gestagen (kombinasi)

Bentuk pemberian sediaan kombinasi adalah tablet yang

diberikan secara oral dan merupakan sediaan yang paling banyak digunakan.

Mekanisme kerja kontrasepsi ini adalah menekan ovulasi, mengubah lendir

serviks menjadi kental, menghambat pembentukan endometrium, dan

memperlambat motilitas tuba sehingga transportasi sperma menjadi terganggu

(Baziad, 2002).

2.2.3.2 Sediaan gestagen saja

Sediaan gestagen saja diperkenalkan untuk menghindari efek

samping estrogen dan untuk menurunkan pajanan total ke steroid. Bentuk

pemberian sediaan gestagen saja adalah minipil, norplant, suntik, dan implant

subdermis. Gestagen bekerja menghambat konsepsi dengan cara menekan sekresi

gonadotropin, mengubah lendir serviks menjadi kental, mengganggu proses

pembentukan endometrium sehingga tidak menguntungkan untuk implantasi, serta

memperlambat motilitas tuba (Baziad, 2002). Salah satu kelebihan sediaan

gestagen adalah tidak adanya efek merugikan pada proses laktasi dan tidak adanya

bukti pengurangan jumlah dan kualitas ASI, serta tidak ada efek pada

pertumbuhan dan perkembangan bayi (Fraser, 2006 dalam Glasier & Gebbie,

2006).

2.2.3.2Sediaan estrogen saja

Sediaan yang hanya mengandung estrogen saja terbatas pada

(13)

sebagai kontrasepsi darurat sudah lama ditinggalkan karena penggunaan estrogen

dalam kontrasepsi ini harus dalam dosis tinggi sehingga menimbulkan efek

samping yang tinggi. Mekanisme kerja estrogen bukan lagi untuk mencegah

konsepsi, tetapi mencegah terjadinya nidasi (Baziad, 2002).

2.2.4 Mekanisme kerja kontrasepsi hormonal

Bayi wanita sudah memiliki folikel ovarium berjumlah

500.000-700.000 saat lahir, yang akan terus berkurang hingga jumlahnya hanya berkisar

34.000-40.000 pada masa menjelang pubertas (Winkjosastro, Saifuddin,

Rachimhadhi, 2008). Selama masa reproduksi, hanya sekitar 400 folikel yang

akan mencapai kematangan, dan akan dilepas selama masa ovulasi.

Salah satu cara kerja kandungan estrogen dan progesteron dalam kontrasepsi

hormonal adalah untuk menghambat sekresi hormon gonadotrin. Gonadotropin

(FSH dan LH) dikeluarkan oleh hipofisis anterior dan berperan dalam proses

pematangan dan pelepasan folikel (ovulasi). Winkjosastro, Saifuddin,

Rachimhadhi (2008) menyatakan bahwa estrogen dan progesteron dalam

konsentrasi dan jangka waktu tertentu dapat menghambat produksi FSH dan LH

oleh hipofisis anterior. Peristiwa tersebut dinamakan umpan balik negatif dari

estrogen dan progesteron. Menurut Ganong (2014), sekresi LH tertahan akibat

efek umpan balik negatif peningkatan kadar estrogen, jika kadar estrogen dalam

darah ditingkatkan hingga 300% selama 24 jam maka yang terjadi adalah umpan

balik negatif estrogen.

Ketika estrogen dan progesteron dalam konsentrasi tertentu diberikan, maka

(14)

pelepasan folikel menjadi terhambat sehingga menyebabkan menstruasi yang

tidak mengandung sel telur (anovulatorik). Dalam Ganong (2014) disebutkan

bahwa wanita yang menjalani pengobatan jangka panjang estrogen tidak

mengalami ovulasi. Wanita yang diterapi dengan estrogen dosis serupa ditambah

suatu obat progestasional tidak mengalami ovulasi karena kedua gonadotropinnya

terhambat (Ganong, 2014). Tidak terjadinya ovulasi menyebabkan penundaan

kesuburan seorang wanita. Penundaan kesuburan tersebut akan menyebabkan

semakin lama waktu yang dibutuhkan ovarium untuk kehilangan seluruh folikel

sehingga terjadinya menopause juga akan semakin lama. Menurut Winkjosastro,

Saifuddin, Rachimhadhi (2008), usia menopause berhubungan dengan jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan wawancara dengan beberapa mahasiswa Timor Leste, mayoritas mengatakan bahwa mereka mendapatkan pelajaran bahasa Indonesia sewaktu mereka ada di Sekolah

Dengan adanya sistem informasi berbasis web ini, diharapkan tentunya akan lebih mempermudah pengolahan data di Kelurahan Alang-Alang Lebar termasuk di dalamnya pencarian

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh Pengawasan, Kompetensi, Dan Lingkungan Kerja Fisik Terhadap Kinerja Pegawai Pada

Hasil yang diperoleh file uji 2.png yang terdapat pada folder TestDatabase ternyata cocok dengan file 3.png yang terdapat pada folder TrainDatabase, hasil

Menakar Media Massa dan Gaya Hidup Kita merupakan buku terbitan perdana Fakultas llmu Komunikasi (Fikom) Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS) yang mencoba

Permasalahan besar yang di alami untuk era moderen seperti saat ini adalah ketika orang dewasa yang mempunyai perananan sebagai orang tua mulai sibuk dengan

Perumusan strategi dimulai dengan penentuan faktor-faktor yang menjadi kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman strategis bagi agribisnis teh Indonesia. Faktor kekuatan strategis

Pengolahan biji nangka menjadi makanan keripik biji nangka memberikan alternatif lain kepada masyarakat untuk mengkonsumsi buah nangka dalam bentuk produk olahan lain