• Tidak ada hasil yang ditemukan

USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

USULAN KEBIJAKAN POLA PEMBERIAN DAN

PENDISTRIBUSIAN BENIH BERSUBSIDI

Ketut Kariyasa

Balai Besar Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian Jln. Tentara Pelajar No.10 Bogor 16114

ABSTRACT

The policy of seed subsidy through seed producers is not effective. Lots of farmers are not using the encouraged labeled seeds because the price of subsidized seeds are relatively high and the quality of seeds produced by a number of producers is not well prepared as expected. To encourage farmers to widely use the labeled seeds, the government is suggested to re-introduce the policy of seed subsidy that distributed directly to the farmers instead of through seed producers. Two suggested distribution patterns are: (1) Selling price level is set by the government and (2) Selling price through market mechanism. For these two alternatives, seeds are openly distributed, meaning that all subsidized seeds, no matter where it produced, are set to avoid market dualism due to price gap. However, these open distribution systems are also critical to negative manipulations that encourage commitment to stay away from such improper conduct.

Key words : seed, subsidy, distribution, farmers

ABSTRAK

Kebijakan subsidi benih lewat produsen benih selama ini kurang efektif. Banyak petani belum menggunakan benih berlabel karena harga benih bersubsidi relatif masih tinggi, disamping kualitas benih yang dihasilkan beberapa produsen belum seperti yang diharapkan. Dalam upaya mendorong penggunaan benih berlabel lebih luas lagi, pemerintah kembali menetapkan kebijakan subsidi benih, namun modus pemberiannya sebaiknya diserahkan langsung ke petani dan tidak melalui produsen benih. Ada dua alternatif usulan pola yang disarankan dalam penyaluran benih bersubsidi agar efektif sampai ke petani, yaitu (1) Harga jual ditetapkan pemerintah, dan (2) Harga jual berdasarkan mekanisme pasar. Pada kedua alternatif ini, penyaluran benih tetap bersifat terbuka, dimana semua benih disubsidi dari manapun asal produksi (produsen), sehingga tidak terjadi dualisme pasar akibat adanya perbedaan harga. Namun demikian, perlu disadari bahwa kedua alternatif pola penyaluran benih bersubsidi yang disarankan masih berpeluang untuk diselewengkan, sehingga perlu adanya komitmen bersama dalam mengamankannya.

Kata kunci: benih, subsidi, distribusi, petani

PENDAHULUAN

Dalam sistem produksi pertanian baik untuk memenuhi konsumsi sendiri maupun berorientasi komersial diperlukan adanya ketersediaan benih berdaya

(2)

hasil tinggi dan mutu baik. Dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi kepada clients (Adnyana, 2006). Dengan demikian, kontribusi benih dalam mendorong meningkatkan jumlah dan kualitas produksi pertanian yang mampu dihasilkan menjadi sangat penting.

Kinerja penggunaan benih bermutu maupun berlabel di Indonesia relatif masih rendah. Penggunaan benih bermutu di tingkat petani untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai berturut-turut baru mencapai 30 persen; 20 persen; dan 15 persen (Ditjentan, 2006). Bahkan penggunaan untuk katagori benih berlabel jauh di bawah benih bermutu, yaitu masing-masing 22,02 persen; 7,05 persen; dan 3,90 persen (Ditjentan, 2005). Salah satu penyebab masih rendahnya tingkat penggunaan benih bermutu dan berlabel karena terbatasnya daya beli petani.

Untuk mendorong penggunaan benih bermutu dan berlabel lebih luas lagi di tingkat petani, pemerintah memberikan subsidi benih kepada petani yang merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian. Kebijakan ini telah lama dilaksanakan pemerintah dengan cakupan dan besaran yang berubah dari waktu ke waktu. Sejak tahun 1986, pemerintah telah memberlakukan kebijakan subsidi untuk benih padi, jagung, dan kedelai. Kebijakan tersebut pada tahun ini (2007) terus dilanjutkan, dan bahkan besaran jumlah anggaran subsidi benih yang disediakan pemerintah cukup besar, yaitu sebesar Rp 1,0 Trilliun (Fokus, 2007), sedangkan pada tahun 2006 hanya sebesar Rp 80,3 milyar. Pada tahun 2006, besaran subsidi benih yang diberikan lewat produsen benih sebesar Rp 500/kg untuk benih padi dan Rp 1000/kg untuk benih kedelai. Sementara untuk benih jagung hibrida dan komposit masing-masing Rp 4750/kg dan Rp 1000/kg.

Namun demikian, fakta di lapangan menunjukkan bahwa kebijakan subsidi benih yang ditetapkan pemerintah selama ini kurang efektif, terbukti harga benih bersubsidi yang diterima petani masih cukup tinggi. Dengan memperhatikan fenomena ini, makalah ini ditujukan untuk memberikan alternatif usulan kebijakan pola pemberian dan pendistribusian benih bersubsidi yang akan dilakukan pemerintah agar efektif sampai ke petani.

Perkembangan Penggunaan Benih Berlabel

Salah satu penyebab lambannya peningkatan produksi padi, jagung, dan kedelai di Indonesia karena masih rendahnya penggunaan benih berlabel (bermutu) di tingkat petani. Perlu disadari bahwa benih berlabel tidak serta merta mampu meningkatkan produktivitas secara baik jika tidak diikuti dengan penggunaan input lainnya secara seimbang.

Berikut disampaikan perkembangan penggunaan benih berlabel, khususnya untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), rata-rata penggunaan benih padi berlabel di Indonesia masih relatif rendah, yaitu baru mencapai 22,02 persen (Tabel 1). Walaupun demikian,

(3)

penggunaan benih berlabel cenderung meningkat, terbukti pada dua tahun terakhir sudah mencapai 26-27 persen. Kondisi ini menunjukkan bahwa masih terbuka peluang untuk meningkatkan produksi padi nasional melalui pemasalan penggunaan benih berlabel.

Tabel 1. Perkembangan Luas Panen Padi Berdasarkan Penggunaan Benih di Indonesia, 1996-2005

Berlabel Tidak Berlabel

Tahun Luas Panen

(ha) ha (%) ha (%) 1996 11550045 2232252 19,33 9317793 80,67 1997 11126396 2562959 23,03 8563437 76,97 1998 11716499 2445960 20,88 9270540 79,12 1999 11963204 2356055 19,69 9607149 80,31 2000 11793475 2250442 19,08 9543033 80,92 2001 11499997 3069239 26,69 8430758 73,31 2002 11521166 1945375 16,89 9575791 83,11 2003 11488034 2490796 21,68 8997238 78,32 2004 11922974 3058007 25,65 8864967 74,35 2005 11818913 3214913 27,20 8604000 72,80 Rataan 11640070 2562600 22,02 9077471 77,98

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005

Kinerja penggunaan benih jagung berlabel secara nasional juga masih rendah (Tabel 2). Pangsa penggunaan benih jagung berlabel cukup fluktuatif dan masih sangat rendah. Dalam sepuluh tahun terakhir (1996-2005), penggunaan benih jagung berlabel baru sekitar 7 persen. Pada tahun 2003 dan 2004 penggunaan benih jagung berlabel sempat lebih dari 9 persen, namun demikian pada tahun 2005 turun kembali dan hanya tinggal 7 persen. Rendahnya penggunaan benih jagung berlabel diduga sebagai salah satu penyebab utama masih rendahnya produktivitas jagung nasional, baru mencapai sekitar 3 ton/ha.

Kondisi yang sama juga ditunjukkan oleh kinerja penggunaan benih kedelai berlabel (Tabel 3). Secara nasional penggunaan benih kedelai berlabel dalam sepuluh tahun terakhir baru mencapai 2,8 persen, merupakan suatu angka yang cukup rendah. Rendahnya penggunaan benih kedelai berlabel menunjukkan bahwa pasar benih kedelai tidak berjalan dengan baik, seperti halnya dengan benih jagung. Penyaluran benih kedelai lebih banyak menggunakan pendekatan Jalur Benih Antar Lapang dan Musim (JABALSIM), sehingga sistem sertifikasi tidak berjalan. Kualitas benih yang digunakan petani pun sulit untuk dideteksi. Ke depan perlu adanya upaya perbaikan yang lebih serius dalam sistem perbenihan komoditas ini. Pendekatan sistem JABALSIM sebenarnya cukup efektif, tapi agar sistem sertifikasi bisa berjalan, maka sebaiknya petugas BPSB yang lebih proaktif ke produsen/penangkar benih.

(4)

1996-2005

Berlabel Tidak Berlabel

Tahun Luas Panen

(ha) ha (%) ha (%) 1996 3685459 349929 9,49 3335530 90,51 1997 3301795 235649 7,14 3066146 92,86 1998 3815919 264092 6,92 3551827 93,08 1999 3456357 139366 4,03 3316991 95,97 2000 3500318 163710 4,68 3336608 95,32 2001 3285866 236292 7,19 3049574 92,81 2002 3126833 74421 2,38 3052412 97,62 2003 3355511 376707 11,23 2978805 88,77 2004 3356914 334519 9,97 3022395 90,03 2005 3597875 253811 7,05 3344064 92,95 Rataan 3448285 242849 7,04 3205435 92,96

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005

Tabel 3. Perkembangan Luas Panen Kedelai Berdasarkan Penggunaan Benih di Indonesia, 1996-2005

Berlabel Tidak Berlabel

Tahun Luas Panen

(ha) ha (%) ha (%) 1996 1277736 15526 1,22 1262210 98,78 1997 1118140 16373 1,46 1101767 98,54 1998 1094262 17671 1,61 1076591 98,39 1999 1151079 17810 1,55 1133269 98,45 2000 824484 17676 2,14 806808 97,86 2001 678848 24521 3,61 654327 96,39 2002 544522 22233 4,08 522290 95,92 2003 526796 37736 7,16 489060 92,84 2004 565155 41615 7,36 523540 92,64 2005 621335 24250 3,90 597085 96,10 Rataan 840236 23541 2,80 816695 96,59

Sumber: Ditjen Tanaman Pangan, 2005 Sistem Produksi dan Penyaluran Benih

Dalam upaya memperlancar dan terpantaunya penyaluran benih menurut tahapan produksinya, pemerintah telah melakukan pengaturan dan penyaluran benih secara formal. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa sistem produksi dan penyaluran benih secara formal sangat jarang ditemukan. Alasan mendasarnya adalah produsen/penangkar benih ingin langsung akses terhadap sumber benih, sehingga keuntungan yang diperoleh bisa lebih besar dan jalurnyapun tidak terlalu panjang dan rumit. Berikut adalah gambaran sistem

(5)

produksi dan penyaluran benih secara formal dan faktual.

Sistem pengadaan dan penyaluran benih secara formal (Gambar 1), diawali dengan varietas unggul yang baru dilepas (BS) yang dihasilkan oleh Puslitbang/Balai Komoditas, diteruskan oleh Direktorat Benih untuk disebarkan ke Balai Benih Induk (BBI) yang selanjutnya diperbanyak untuk menghasilkan FS (Puslitbangtan, 2005; Sinar Tani 2006). Benih FS tersebut kemudian diperbanyak oleh BUMN (PT. SHS dan PT. Pertani), Penangkar Swasta, dan Balai Benih Utama (BBU) yang masing-masing memproduksi SS atau ES. Kecuali di BBU, benih jenis SS tersebut selanjutnya diperbanyak menjadi benih jenis ES.

Gambar 1. Pengadaan dan penyaluran benih secara formal Keterangan :

§ BS = Breeder seed, FS = Foundation seed, SS = Stock seed, dan ES = Extension seed.

§ Badan Litbang/Puslitbang sebagai institusi hulu penghasil varietas dan produsen Benih Penjenis (BS).

§ Direktorat Jenderal TPH/Dit. Bina Perbenihan, sebagai institusi pengambil kebijakan dan pembinaan teknis agar benih tersedia dengan 6 tepat.

§ Provinsi/Dinas Pertanian Provinsi sebagai institusi pembinaan tingkat provinsi untuk meningkatkan ketersediaan benih sesuai dengan konsep 6 tepat

Sumber : Puslitbangtan, 2005 GUBERNUR DIPERTA I DITJEN TPH DITBIN BENIH BADAN LITBANG/BATAN/PT PUSLITBANGTAN BBI BS-FS BBU FS-SS BBP SS-ES PENANGKAR SS-ES BPSB BUMN/D BS-FS-SS PEDAGANG-PENYALUR-PENGECER BENIH

PETANI - PETANI - PETANI

ES SS ES ES ES ES ES SS FS BS BS/FS BS BS BS

(6)

Dari penangkar swasta benih jenis ES ini langsung disebarkan ke petani, sedangkan dari PT. SHS dan PT. Pertani disebarkan ke daerah melalui penyalur yang telah ditunjuk. Sementara dari BBU benih SS diteruskan ke BPP yang sekarang di beberapa wilayah sudah satu atap dengan Dinas Pertanian Kabupaten. Di tingkat BPP, benih jenis SS ini diperbanyak menjadi benih jenis ES yang selanjutnya diteruskan kepada petani.

Sementara pada sistem pengadaan dan penyaluran benih yang eksisting berlaku di lapangan (Gambar 2), menunjukkan bahwa varietas unggul baru yang dilepas oleh Puslitbang Komoditas disamping diteruskan oleh Direktorat Benih ke BBI seperti yang terjadi pada sistem pengadaan dan distribusi secara formal, Puslitbang Komoditas pun melalui Balai-Balai komoditasnya dapat memperbanyak benih BS ini di masing-masing kebun percobaannya (Rachman et al., 2004; Siregar, 1999). Pada sistem ini, BUMN dan penangkar swasta selain mendapatkan benih jenis FS dari BBI bisa juga memperolehnya langsung ke Puslibang/Balai Komoditas yang selanjutnya di perbanyak menjadi benih SS dan ES. Bahkan ada beberapa penangkar swasta/lokal mendapatkan benih BS langsung dari Puslit/Balit Komoditas. Di tingkat lapanganpun terjadi variasi sistem produksi dan pendistribusian benih. Sebagai contoh, ada perilaku yang berbeda antara pasar benih khususnya padi di Jawa Timur dan di Sulawesi Selatan. Pada sistem existing jenis benih yang dijual ke petani terutama oleh penangkar swasta kebanyakan masih merupakan jenis benih SS, seperti yang terjadi di Provinsi Jawa Timur. Sedangkan di Provinsi Sulawesi Selatan jenis benih yang diproduksi penangkar swasta pada umumnya ES.

Perbedaan jenis benih yang diproduksi tersebut sangat terkait dengan respon pasar benih. Para penanggkar lokal/petani penangkar benih untuk kasus Provinsi Jawa Timur menghasilkan dua jenis benih, yaitu benih SS yang bahan bakunya (benih jenis FS) bersumber dari BBI dan benih jenis ES yang bahan bakunya (benih jenis SS) bersumber dari BBU atau dari BPP (Dinas Pertanian kabupaten setempat). Sementara itu, pada kasus Provinsi Sulawesi Selatan, penangkar lokal pada umumnya hanya memproduksi benih jenis ES. Benih yang ditanam petani di semua lokasi pada MH umumnya benih berlabel, akan tetapi pada MK I atau MK II hampir sebagian besar petani menggunakan benih tidak berlabel. Benih jenis ini umumnya berasal dari hasil panen sebelumnya, pertukaran antar petani, ataupun membeli dari pasar lokal.

Respon Petani Terhadap Benih Berlabel

Hasil kajian di Provinsi Jawa Timur dan Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa pada dasarnya alasan petani menggunakan benih berlabel, karena benih jenis ini mampu memberikan produksi yang lebih tinggi dari benih tidak berlabel. Dengan penggunaan input produksi yang relatif tidak banyak berbeda, benih berlabel mampu memberikan produksi sekitar 10-30 persen lebih tinggi dari benih tidak berlabel. Peningkatan produksi tertinggi terutama terjadi pada penggunaan

(7)
(8)

benih jagung berlabel (hibrida) mencapai 30 persen, disusul benih padi berlabel (15%-25%), dan benih kedelai berlabel 10 persen. Dengan demikian, walaupun dibutuhkan biaya benih lebih banyak, usahatani padi, jagung, dan kedelai yang menggunakan benih berlabel mampu memberikan keuntungan yang lebih menarik dibanding dengan usahatani yang menggunakan benih tidak berlabel. Selain produktivitas, alasan petani menggunakan benih berlabel karena penampakan tanaman lebih serempat (sedikit campuran varietas lainnya, CVL), sehingga lebih memudahkan dalam pemeliharaan.

Sementara alasan bagi petani yang belum menggunakan benih berlabel, karena tidak ada jaminan benih berlabel yang beredar di kios/petani memberikan tingkat produksi yang lebih baik dari benih yang tidak berlabel. Banyak petani yang mengeluh dan mempertanyakan kenapa benih padi berlabel khususnya yang diproduksi oleh BUMN tidak ada jaminan daya tumbuh dan produktivitasnya lebih baik dari benih tidak berlabel. Kurang percayanya petani terhadap benih berlabel ES diindikasikan oleh banyaknya petani yang menggunakan benih hasil produksi sendiri khususnya pada musim kemarau. Pemanfaatan benih sendiri pada MK merupakan hasil seleksi dari hasil panen pada MH yang menggunakan benih SS. Sehingga kebanyakan petani dalam setahun membeli benih berlabel hanya sekali saja yaitu pada MH, sedangkan pada musim berikutnya (MK I) menggunakan benih produksi sendiri. Menurut petani, ternyata produksi benih ini memberikan tingkat produksi yang hampir sama dengan benih padi berlabel.

Alasan berikutnya petani tidak menggunakan benih berlabel adalah masalah harga. Petani menjadikan harga benih berlabel cukup mahal sebenarnya lebih dikaitkan dengan kualitas benih itu sendiri. Artinya, antara harga yang dibayarkan petani tidak sebanding dengan kualitas benih itu sendiri.

Selain masalah kualitas, harga, dan permodalan/daya beli, tidak aksesnya petani terhadap benih berlabel juga merupakan salah satu penyebab kenapa petani tidak menggunakan benih berlabel. Alasan ini terutama terjadi pada petani yang lokasinya terisolasi/terpencil, sehingga belum ada kios saprodi di tempat sebagai penyedia benih berlabel.

Tinjauan Kebijakan Pemberian dan Pendistribusian Benih Bersubsidi Saat ini

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah dalam mendorong produksi pertanian, khususnya pada subsektor tanaman pangan, seperti pembangunan infrastruktur jalan dan pengairan, pembukaan lahan dan percetakan sawah, pemberian subsidi pupuk dan benih. Pemberian subsidi benih kepada petani merupakan salah satu kebijakan utama pembangunan pertanian yang telah lama dilakukan pemerintah, namun cakupan dan besarannya berubah dari waktu ke waktu.

(9)

Pemerintah sejak tahun 1986, telah menetapkan kebijakan subsidi benih untuk komoditas padi dan kedelai. Sementara untuk benih jagung baru dimulai tahun 2004, dan itu pun hanya untuk jagung komposit. Mulai tahun 2005, pemerintah baru memberikan subsidi benih untuk jagung hibrida, selain juga tetap memberikan subsidi untuk benih padi, kedelai, dan jagung komposit (Ditjentan Pangan, 2006).

Jumlah subsidi benih yang dianggarkan pemerintah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1986, jumlah subsidi benih yang ditetapkan pemerintah Rp 7 milyar, meningkat menjadi Rp 10,4 milyar pada tahun 1990. Pada tahun 2000 dan 2005, besarnya subsidi benih yang ditetapkan pemerintah meningkat menjadi Rp 43,8 milyar dan Rp 74,3 milyar. Dengan demikian, sejak tahun 1986 sampai 2005 telah terjadi peningkatkan subsidi benih lebih dari sepuluh kali lipat.

Besarnya subsidi yang ditetapkan pemerintah per kg benih juga mengalami perubahan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1997, besarnya subsidi benih padi dan kedelai masing-masing Rp 185/kg, tahun 1998-2002 berubah menjadi Rp 400/kg, dan sejak tahun 2003-2006 untuk benih padi menjadi sebesar Rp 500/kg dan untuk benih kedelai menjadi Rp 1000/kg. Besarnya subsidi benih jagung komposit sejak 2004 sebesar Rp 1000/kg, sedangkan untuk jagung hibrida Rp 4.750/kg (Ditjentan Pangan, 2006).

Mekanisme pemberian dan pendistribusian benih bersubsidi kepada petani selama ini dilakukan hanya lewat BUMN produsen benih saja (PT. SHS dan PT. Pertani). Melalui mekanisme ini diharapkan produsen mampu menjual benih dengan harga yang lebih murah dibanding dengan harga pasar sesungguhnya. Mekanisme pemberian dan pendistribusian benih bersubsidi yang ditempuh selama ini tampaknya tidak efektif. Hal ini terlihat dari pangsa luas tanam benih berlabel untuk komoditas padi, jagung, dan kedelai masih jauh di bawah pangsa jumlah benih yang disubsidi. Kalau kebijakan itu efektif, indikatornya yang secara cepat dapat dilihat adalah pangsa luas tanam benih berlabel semestinya mendekati jumlah pangsa benih bersubsidi (itupun dengan asumsi tidak ada pasokan benih berlabel dari penangkar lokal dan perusahaan multi nasional). Rata-rata luas tanam padi yang menggunakan benih berlabel dalam kuran waktu 1996-2005 hanya 19-30 persen (termasuk luas tanam yang menggunakan benih berlabel dari penangkar lokal), sedangkan jumlah pangsa benih padi bersubsidi sudah mencapai 30-40 persen dari potensi kebutuhan. Demikian juga luas tanam kedelai yang menggunakan benih berlabel pada kurun waktu yang sama hanya 3 persen, dan ini pun benihnya lebih banyak berasal dari penangkar lokal, sementara jumlah benih kedelai yang disubsidi sudah mencapai 7-20 persen dari potensi kebutuhan. Kondisi yang sama juga terjadi pada penggunaan benih jagung. Penggunaan benih jagung berlabel baru mencapai 7-10 persen (termasuk dari produksi perusahaan multinasional), sedangkan jumlah benih jagung yang disubsidi telah mencapai 12 persen.

(10)

Paling tidak ada dua hal yang menyebabkan pangsa luas penggunaan benih berlabel lebih rendah dari pangsa jumlah benih yang bersubsidi, yaitu: (i) harga benih bersubsidi yang diterima petani tidak jauh berbeda dengan harga pasar sesungguhnya, sehingga petani dihadapkan pada kurangya daya beli untuk membeli benih berlabel, dan (ii) harga benih bersubsidi lebih murah dari harga pasar sesungguhnya, tapi kualitasnya tidak seperti yang diharapkan, sehingga petani dihadapkan pada pilihan menggunakan benih tidak berlabel sama baiknya dengan menggunakan benih berlabel. Fenomena di atas menunjukkan bahwa mekanisme pemberian dan pendistribusian benih bersubsidi yang ditempuh pemerintah selama ini tidak efektif, karena subsidi tersebut tidak dinikmati oleh petani.

Usulan Mekanisme Penyaluran Benih Bersubsidi

Kebijakan subsidi benih sebenarnya sudah lama dilakukan pemerintah, namun fakta menunjukkan bahwa kebijakan ini tidak efektif sampai ke petani. Terbukti jumlah penggunaan benih berlabel di tingkat petani masih rendah, salah satunya karena harganya relatif mahal. Kebijakan subsidi tersebut kembali dilanjutkan pada tahun ini (2007) dengan jumlah subsidi lebih besar. Bahkan ada wacana pemerintah akan memberikan benih gratis ke petani, terutama benih padi dalam mendukung program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) 2 juta ton.

Dalam upaya mengamankan kebijakan subsidi benih tersebut untuk mendorong penggunaan benih berlabel di tingkat petani secara nasional lebih luas lagi terutama di luar Jawa, maka kebijakan ini perlu dilakukan penuh dengan kehati-hatian. Agar subsidi sampai kepada yang berhak (petani), maka kegiatan penyaluran benih merupakan aspek yang sangat menentukan efektif tidaknya kebijakan tersebut. Oleh karena itu untuk menjamin efektivitas penyaluran benih bersubsidi kepada petani, ada beberapa prinsip yang perlu dipertimbangkan, yaitu:

Pertama, pemerintah perlu terus mendorong penggunaan benih berlabel di tingkat petani dengan kelas ES. Mengingat saat ini petani menggunakan benih kelas SS dan ES, maka untuk mendorong penggunaan benih padi kelas ES lebih banyak lagi, subsidi benih hanya diberikan untuk kelas ES saja.

Kedua, agar sistem penyaluran benih bersubsidi tetap bersifat terbuka (seperti sistem penyaluran benih yang sudah berjalan saat ini), sehingga tidak mengurangi peranan masing-masing pelaku pasar benih (produsen, distributor dan pengecer). Pilihan ini sangat relevan karena pemerintah akan memberikan subsidi untuk semua benih padi yang terjual ke petani, sehingga tidak akan terjadi kebocoran benih akibat terjadinya dualisme harga seperti pada kasus pupuk.

Ketiga, setiap produsen benih (swasta dan BUMN) bisa menjual benih secara bebas kepada distributor yang telah menjadi langganannya selama ini, baik yang berada di wilayahnya sendiri maupun di luar wilayah. Selain kepada

(11)

distributor, produsen juga tetap bisa menjual benih langsung kepada pengecer maupun ke petani seperti yang sudah berjalan saat ini. Hal yang sama juga berlaku bagi distributor maupun pengecer, yaitu mereka bisa secara bebas menjual benih kepada langganannya. Dalam rangka mengembangkan kelembagaan petani yang lebih kuat, maka Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) perlu didorong untuk berperan sebagai distributor atau pengecer benih.

Keempat, petani sebagai pengguna benih juga masih tetap bisa secara bebas membeli benih baik kepada pengecer, distributor atau langsung ke produsen benih. Pola ini perlu dipertahankan agar tetap ada kebebasan bagi petani untuk dapat memilih varietas maupun asal produksi (produsen). Preferensi petani terhadap asal produksi (produsen) secara tidak langsung mencerminkan preferensi terhadap kualitas benih tertentu. Dengan demikian, pola ini sekaligus akan tetap mendorong terjadinya persaingan kualitas antar produsen benih. Produsen yang mampu menghasilkan benih dengan kualitas baik tentunya akan menguasai pangsa pasar lebih besar.

Dalam mekanisme penyaluran dan penentuan harga jual di pengecer, ada dua pendekatan yang diusulkan yaitu: (1) Skenario I: harga jual ditetapkan pemerintah, dan (2) Skenario II, harga jual berdasarkan mekanisme pasar.

Skenario I: Harga Jual Ditetapkan Pemerintah

Dasar pertimbangan usulan skenario ini adalah agar petani yang menggunakan benih ES tidak terbebani lagi untuk mengeluarkan tambahan biaya benih dan mencegah peluang adanya kenaikan harga dari produsen benih. Dalam skenario ini, pemerintah menetapkan standar harga benih ES dari semua asal produksi (produsen) di tingkat pengecer secara seragam. Dengan adanya penetapan harga jual yang sama untuk semua asal produksi benih (produsen), maka pada skenario ini petani yang menggunakan benih ES mendapat subsidi secara penuh (100%).

Mekanisme pembayaran subsidi dan harga jual yang diusulkan pada skenario I adalah sebagai berikut (Gambar 3):

(a) Setiap petani akan mendapat Kartu Pembelian Benih Bersubsidi (KPBB) dari Dinas Pertanian Kabupaten setempat. Untuk memudahkan dalam mendapatkan KPBB, maka diusulkan pengajuan KPBB melalui Kelompok Tani dan Gapoktan. Jumlah KPBB yang akan diterima Kelompok Tani dan Gapoktan dari Dinas Pertanian Kabupaten setempat sesuai dengan RDKK yang telah disusun. Dalam KPBB tersebut ada cap resmi dan tanda tangan dari pejabat Dinas Pertanian Kabupaten dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) serta Tim Pengawasan Distribusi Benih (TPDB), yang terdiri dari unsur-unsur pengawas benih, penyuluh, dan Dinas Pertanian.

(b) Pengeluaran, pendistribusian serta peredaran KPBB akan diawasi secara ketat oleh TPDB

(12)
(13)

(c) Petani yang telah mendapat KPBB bisa membeli benih secara bebas baik di pengecer, distributor atau langsung ke produsen benih.

(d) KPBB yang diterima oleh pengecer, distributor, maupun produsen benih merupakan satu-satunya bukti resmi yang bisa ditukarkan ke Bank yang telah ditunjuk oleh Dinas Pertanian untuk mendapat pergantian (klaim) atas sejumlah benih yang telah terjual.

Kelemahan dari pola ini adalah: (1) beberapa produsen benih akan dirugikan/diuntungkan karena saat ini harga jual benihnya lebih tinggi/rendah dari harga yang ditentukan oleh pemerintah, sehingga berdampak tidak sehat terhadap kinerja industri perbenihan secara keseluruhan, (2) tidak adanya insentif bagi produsen terutama dari aspek harga untuk meningkatkan kualitas benih yang dihasilkan, dan (3) tidak mudah untuk menentukan harga eceran tertinggi yang rasional baik di tingkat distributor maupun produsen agar harga jual benih di tingkat pengecer sama.

Skenario II: Harga Jual Berdasarkan Mekanisme Pasar

Pilihan skenario ini adalah atas dasar pertimbangan bahwa harga benih ES sangat bervariasi menurut asal produksi (produsen), sehingga walaupun ditetapkan harga patokan subsidi, produsen tetap memperoleh harga sesuai kualitasnya. Besarnya harga patokan subsidi sama seperti pada skenario I. Karena harga jual menganut mekanisme pasar, maka jika harga jual yang terjadi diatas harga subsidi, petani harus membayar langsung selisih harga tersebut kepada pengecer. Petani yang tidak bersedia mengeluarkan biaya tambahan, harus mencari produsen yang menjual benih dengan harga sesuai patokan tersebut.

Mekanisme pembayaran subsidi yang diusulkan dan harga yang dibayar petani adalah sebagai berikut (Gambar 4):

(a) Setiap petani akan mendapat Kartu Pembelian Benih Bersubsidi (KPBB) dari Dinas Pertanian Kabupaten setempat. Untuk memudahkan dalam mendapatkan KPBB, maka diusulkan pengajuan KPBB melalui Kelompok Tani dan Gapoktan. Jumlah KPBB yang akan diterima Kelompok Tani dan Gapoktan dari Dinas Pertanian Kabupaten setempat sesuai dengan RDKK yang telah disusun. Dalam KPBB tersebut ada cap resmi dan tanda tangan dari pejabat Dinas Pertanian Kabupaten dan Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih (BPSB) serta Tim Pengawasan Distribusi Benih (TPDB), yang terdiri dari unsur-unsur pengawas benih, penyuluh, dan Dinas Pertanian.

(b) Pengeluaran, pendistribusian serta peredaran KPBB akan diawasi secara ketat oleh TPDB

(c) Petani yang telah mendapat KPBB bisa membeli benih secara bebas baik di pengecer, distributor atau langsung ke produsen benih.

(14)
(15)

(d) Harga benih yang ditawarkan oleh pengecer, distributor, maupun produsen benih sesuai harga pasar. Artinya, pengecer, distibutor, maupun produsen benih dibolehkan menetapkan harga benih sesuai hukum pasar, dan benih yang kualitasnya lebih bagus tentunya mempunyai harga jual yang lebih tinggi pula. Petani pun dibebaskan untuk membeli benih sesuai dengan seleranya masing-masing, baik dilihat dari jenis varietas, asal produsen, maupun kualitas benih. Namun demikian, konsekuensinya adalah jika harga benih yang dibeli petani melebihi harga patokan subsidi yang ditetapkan pemerintah, maka petani harus membayar kelebihan harga tersebut langsung ke penjual. Sebagai contoh, jika pemerintah menetapkan harga benih bersubsidi sebesar Rp 3000/kg, sementara harga benih di pasar sebesar Rp 3.500/kg, kelebihan harga sebesar Rp 500/kg tersebut akan ditanggung oleh petani dan langsung dibayar ke penjual. Dalam contoh ini, besarnya subsidi benih yang diberikan pemerintah adalah sebesar Rp 3000/kg. Adanya patokan harga subsidi akan menghindari praktek tidak jujur, karena harga pasar sesungguhnya masih ditentukan melalui mekanisme pasar.

(e) KPBB yang diterima oleh pengecer, distributor, maupun produsen benih merupakan satu-satunya bukti resmi yang bisa ditukarkan ke bank yang telah ditunjuk oleh Dinas Pertanian untuk mendapat pergantian (klaim) atas sejumlah benih yang telah terjual.

Kelebihan dari skenario ini adalah bahwa mekanisme pasar dalam penentuan harga masih dapat berjalan seperti yang terjadi selama ini. Petani dan pedagang masih dapat melakukan tawar menawar tentang harga benih tersebut.

Baik pada skenario I dan II dari mekanisme penyaluran benih bersubsidi tetap berpotensi terjadinya penyelewengan. Agar subsidi tersebut aman sampai ke petani, maka aspek yang perlu mendapat pengawasan yang ketat adalah dalam penerbitan dan penyaluran KPBB agar tidak dimanipulasi oleh pihak-pihak yang tidak berhak. Penegakan sanksi dan hukum perlu diterapkan secara tegas bagi pelaku yang bersalah.

PENUTUP

Kebijakan subsidi benih yang dilakukan pemerintah selama ini belum efektif. Banyak petani belum menggunakan benih berlabel karena masalah tingginya harga benih, disamping terkait masalah kualitas benih yang dihasilkan oleh beberapa produsen benih. Patut diakui bahwa benih sangat menentukan produktivitas dan kualitas output yang dihasilkan petani, sehingga input benih ini sangat layak tetap menjadi perhatian pemerintah dalam memacu produksi pertanian nasional.

Jika pemerintah berniat untuk terus menerapkan kebijakan subsidi benih, maka perlu diterapkan secara hati-hati dan perlu dipikirkan kembali modus

(16)

pemberian subsidi tersebut (untuk jenis benih komoditas apa saja dan dalam bentuk apa), agar tujuan penggunaan benih berkualitas (tidak hanya sekedar berlabel) secara masif bisa tercapai. Ada dua alternatif yang disarankan dalam mekanisme penyaluran benih bersubsidi, yaitu (1) Harga jual ditetapkan pemerintah, dan (2) Harga jual berdasarkan mekanisme pasar. Pada kedua alternatif tersebut, penyaluran benih tetap bersifat terbuka, dimana semua benih disubsidi dari manapun asal produksi (produsen), sehingga tidak terjadi dualisme pasar akibat adanya perbedaan harga, seperti yang terjadi pada pasar pupuk. Namun demikian, perlu disadari bahwa kedua alternatif pola penyaluran benih bersubsidi yang disarankan masih berpeluang untuk diselewengkan. Oleh karena itu perlu adanya komitmen bersama dari para pemangku kepentingan dalam pasar benih bersubsidi.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana. M.O. 2006. Identifikasi dan Analisis Komoditas Tanaman Pangan untuk Menciptakan Peluang Pasar. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.

Ditjentan Pangan. 2005. Kebijakan Perbenihan Tanaman Pangan. Seminar Nasional: Peran Perbenihan dalam Revitalisasi Pertanian. Kerjasama Departemen Pertanian dan Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada tanggal 23 November 2006. Bogor.

Ditjentan Pangan. 2006. Konsepsi Subsidi Benih. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Jakarta.

Fokus. 2007. Presiden Usai Ratas di Deptan: Tahun 2007, Produksi Beras 2 jt ton.http://www.presidensby.info/index.pphp/fokus/2007/01/08/1454.html: Puslitbangtan. 2005. Laporan Tahun 2004. Puslitbangtan, Bogor.

Rachman, B, W. Rusastra dan K. Kariyasa. 2004. Sistem Pemasaran Benih dan Pupuk dan Pembiayaan Usahatani. Prosiding Efisiensi dan daya Saing Sistem Usahatani beberapa Komoditas Pertanian di Lahan Sawah. Puslitbang Sosek Pertanian. Bogor

Sinar Tani. 2006. Sistem Perbenihan Tanaman pangan. Sinar Tani edisi 24-30 Mei 2006 No.3151 Tahun xxxvi.

Siregar, M. 1999. Pembinaan Sistem Perbenihan Terpadu: Kasus Komoditas Kedelai. Forum Penelitian Agro Ekonomi 17(1):14-26.

(17)

Puslitbang Komoditas Kebun Percobaan BPP BBU Petani Penangkar BBI Ditjen Benih BS BS FS SS/ES BS FS SS/ES SS/ES SS/ES Petani SS ES Distributor

Penangkar Swasta Penyalur

• Petani Menyimpan benih sendiri

• Pertukaran benih antar petani

• Petani membeli benih dari pasar lokal BUMN PT. SHS PT. Pertani ES SS SS

(18)

Produsen Benih (Swasta/BUMN) Distributor Benih Pengecer Benih Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Dinas Pertanian Kabupaten Tim Pengawas (TPDB) Bank KPBB

Keterangan: Besarnya subisidi benih yang ditanggung pemerintah yang pembayarannya melalui bank yang ditunjuk

Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Distributor Benih Distributor Benih Pengecer Benih Pengecer Benih

(19)

Produsen Benih (Swasta/BUMN) Distributor Benih Pengecer Benih Dinas Pertanian Kabupaten Tim Pengawas (TPDB) Bank KPBB

Keterangan: Besarnya kelebihan harga benih yang langsung dibayar petani ke pengecer

Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Petani/ Kelompok Tani/Gabungan Kelompok Tani Distributor Benih Distributor Benih Pengecer Benih Pengecer Benih

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini akan menguatkan penelitian-penelitian sebelumnya (Saifuddin, 2011) bahwa penyebaran radikalisme sasarannya bukan hanya masyarakat biasa tetapi juga

Richard Burton Simaputang, mengatakan : 2 Akibat hukum lain yang juga amat penting dari pernyataan pailit adalah seperti yang ditegaskan dalam Pasal 41 Undang-Undang

Pengontrolan running text menggunakan voice ini menggunakan jaringan Bluetooth untuk mengkomunikasikan perangkat android ke arduino, user hanya perlu membuka Aplikasi

Untuk mengungkap embat gamelan perlu dilakukan pengukuran frekuensi fundamental dari setiap nada dari seluruh instrumen dari perangkat gamelan yang dijadikan

Bagaimana hasil peramalan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menggunakan dengan model Fuzzy Feed Forward Neural Network untuk Peramalan Indeks Harga Saham Gabungan

A Sebagian besar massa atom berkumpul pada sebuah titik di tengah- tengah atom Radiasi dipancarkan ketika elektron pindah dari lintasan dengan energi tinggi ke energi

‘Pengaruh Persistensi Laba dan Laba Negatif Terhadap Koefisien Respon Laba dan Koefisien Respon Nilai Buku Ekuitas pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Jakarta”, Jurnal Riset

Mahasiswa tersebut di atas diwajibkan untuk melaksanakan penelitian dan penyusunan tesis dengan penuh tanggungjawab, dan memenuhi ketentuan Pedoman Bimbingan