48
UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 2004
A. Kedudukan dan Tanggung Jawab Hakim
Pada pasal 12 ayat 1 undang-undang No 9 tahun 2004 disebutkan bahwa hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.
Hakim adalah pejabat publik yudisial dari kekuasaan kehakiman dan karena itu
jabatan hakim bukan jabatan eksekutif. Di dalam pasal 24 UUD 1945 ditegaskan
bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Pada bagian penjelasan dari
pasal 24 dan 25 UUD 1945 ditegaskan pula bahwa kekuasaan kehakiman ialah
kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah1
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum Republik Indonesia2. Pengertian
kekuasaan negara yang merdeka, dimaksudkan bahwa kekuasaan kehakiman di
samping kekuasaan pemerintahan dan kekuasaan perundang-undangan
mempunyai kedudukan yang bebas, bebas dari pengaruh kedua kekuasaan yang
1 Philipus M Hadjon dkk, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, hal 236 2 Undang-Undang No 4 tahun 2004,Pasal 1 Ketentuan Umum
lainnya itu. Dengan kata lain kedua kekuasaan yang di sampingnya itu tidak
boleh mencampuri segala urusan peradilan yang merupakan realisasi kekuasaan
kehakiman, kecuali hal-hal yang tersebut dalam UUD, umpamanya pemberian grasi oleh presiden.
Pemberian kebebasan kepada kekuasaan kehakiman dalam melaksanakan
peradilan adalah suatu hal yang mutlak, karena keadilan itu dapat dicapai apabila
terhadap hakim yang menjalankan tugasnya tidak ada intervensi apapun dari
pihak manapun, sehingga keputusan yang diambil murni kebijakan hakim yang
mengadili. Begitu juga dengan hakim yang mengadili harus bebas dari
kepentingan, keputusannya harus semata-mata didasarkan pada kebenaran,
kejujuran dan keadilan.
Pelaksanaan kekuasaan kehakiman yang bebas itu diwujudkan dalam
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana yang dimaksud dalam pasal
1, dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan
militer, peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi3.
Kesemua badan peradilan tersebut dalam melaksanakan tugasnya harus
menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.
Realisasi dasar tersebut, terutama dapat dilihat dalam setiap putusan pengadilan
yang memakai kepalanya yang berbunyi, "Demi keadilan yang berdasarkan
keTuhanan yang maha Esa"4.
Seperti kita ketahui dari uraian di atas, bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara untuk menyelenggarakan peradilan. Lalu bagaimanakah
tugas peradilan itu sendiri yang diwujudkan dalam badan-badan peradilan di atas
di dalam Undang-undang No 4 Tahun 2004 pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa
pengadilan mengadili menurut hukum yang tidak membeda-bedakan orang, dan
ayat 2 yang berbunyi, pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya yang ringan. Selain itu pada pasal 16 ayat 1 juga
disebutkan pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
Berdasarkan uraian di atas bisa kita ambil kesimpulan bahwa hakim
pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, yang
mana tugas kekuasaan kehakiman itu ialah dalam rangka menyelenggarakan
peradilan, dan peradilan itu sendiri mempunyai kewajiban memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara. Singkatnya hakim adalah pejabat yang berwenang
memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara di dalam sebuah peradilan. Sedangkan kehadiran Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di
bawahnya serta sebuah Mahkamah Konstitusi, menggambarkan bahwa
kewenangan hakim untuk memutus suatu perkara hanya sebatas bidang yang
menjadi fokus dari lembaga-lembaga peradilan tersebut.
Praktek hukum di muka pengadilan terutama yang dilaksanakan oleh
hakim dengan menerapkan Undang-undang sesuai dengan sistem peradilan yang
berlaku ada dua kemungkinan yang bisa terjadi5. Kemungkinan pertama, hakim
hanya menerapkan undang-undang pada kasus nyata tanpa kebebasan keluar
lingkup kaidah undang-undang, konsekuensinya hakim hanya menjadi corong
penguasa melalui Undang-undang. Kemungkinan kedua, hakim bebas
menerapkan undang-undang pada kasus yang diperiksanya. Bahkan
menyampingkan Undang-undang apabila menurut pertimbangannya akan timbul ketidakadilan. Kemungkinan akan timbul subyektifitas keputusan hakim, tetapi
hal itu dapat dihindari melalui kode etik hakim.
Tanggung jawab hakim diwujudkan melalui keputusan yang baik,
bermutu, dan berdampak positif bagi masyarakat dan negara. Jika tidak
demikian, maka hakim yang tidak bertanggung jawab akan menanggung segala
akibat yang ditimbulkan oleh keputusannya yang tidak adil itu, baik berupa
kebencian masyarakat, sanksi undang-undang, atau pembalasan dari Tuhan.
Hakim itu ibarat cakra yang harus mampu;
1. Bertindak adil, tidak berprasangka, tidak memihak, dan bersungguh-sungguh
dalam mencari kebenaran dan keadilan.
2. Memutus berdasarkan hati nurani
3. Menyelesaikan perkara secara tuntas dan final
4. Bersikap saling menghargai, saling pengertian, tertib dan lugas, serta
berpandangan luas.
5. Sanggup mempertanggungjawabkan pada tuhan6.
Di dalam lingkungan hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara juga
dikenal yang dinamakan hakim ad hoc, yang mana di dalam lingkungan peradilan
umum dan perdata tidak ada. Dalam hukum acara PTUN, hakim ad hoc diatur
dalam pasal 135 ayat 1 Undang-undang No 5 tahun 1986 yang berbunyi sebagai berikut;
“Dalam hal pengadilan memeriksa dan memutuskan perkara tata usaha negara tertentu yang memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seorang hakim ad hoc sebagai anggota majelis.”
Kalau di pengadilan umum ada saksi ahli, di PTUN di samping ada saksi
ahli juga ada hakim ad hoc. Perbedaan keduanya adalah keterangan saksi ahli
tidak mengikat hakim, sedangkan pendapat dari hakim ad hoc sifatnya adalah
mengikat karena dia adalah sebagai hakim anggota majelis.
B. Kewenangan Hakim Tata Usaha Negara
Dalam Pasal 12 ayat 1 Undang-Undang No 9 tahun 2004 tentang PTUN
disebutkan bahwa, hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman.7 Dalam Pasal 1 Undang-undang No 4 Tahun 2004 tentang
kekuasaan kehakiman disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan
Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
hukum Republik Indonesia.8 Kemudian dalam Pasal 47 Undang-undang No 5
Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara juga disebutkan, pengadilan
bertugas memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara.9
Berdasarkan uraian pasal demi pasal di atas dapat diambil kesimpulan bahwa hakim Tata Usaha Negara adalah pejabat yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara di dalam lingkungan PTUN. Secara umum memang kewenangan hakim adalah memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa. Namun dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kewenangan Hakim TUN adalah sebatas pada permasalahan-permasalahan yang ada di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara atau tentang Tata Usaha Negara. Jadi yang membedakan hakim TUN dengan hakim yang lainnya adalah hanya mengenai bidang yang menjadi wilayah garapannya.
7 Undang-undang No 9 Tahun 2004, Pasal 12 ayat 1 8 Undang-undang No 4 Tahun 2004, Pasal 1 9 Undang-undang No 5 Tahun 1986, Pasal 47
C. Peradilan Tata Usaha Negara dan kewenangannya menurut UU No 9 tahun 2004 1. Pengertian
Istilah Tata Usaha Negara di sebagian lingkungan perguruan tinggi dikenal dengan nama “administrasi negara”, alasannya karena istilah Tata Usaha Negara lebih sempit daripada Istilah administrasi negara itu sendiri10. Hukum administrasi adalah keseluruhan ketentuan yang mengikat alat-alat perlengkapan negara, baik tinggi maupun rendah, setelah alat-alat itu menggunakan kewenangan-kewenangan ketatanegaraan. Di dalam undang-undang No 5 tahun 1986 pasal 144 disebutkan bahwa undang-undang-undang-undang ini dapat disebut “undang-undang Peradilan administrasi negara”.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 disertakan pengertian-pengertian yang dicantumkan dalam bab I. Dalam pasal 1 undang-undang ini, yang dimaksud dengan;
a. Tata Usaha Negara adalah administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.
b. Badan atau pejabat tata usaha adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
c. Keputusan tata usaha negara adalah penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
d. Sengketa tata usaha negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat tata usaha negara baik di pusat maupun daerah, sebaga
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan per-undang-undangan yang berlaku.
e. Gugatan adalah permohonan yang berisi tuntutan terhadap badan atau
pejabat tata usaha negara dan diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan keputusan.
f. Tergugat adalah badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan
keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya, yang digugat oleh orang atau badan hukum
perdata.
g. Pengadilan adalah peradilan tata usaha negara dan/ atau pengadilan tinggi
di lingkungan Pengadilan tata usaha negara.
h. Hakim adalah hakim pada pengadilan tata usaha negara dan/ atau hakim pada pengadilan tinggi tata usaha negara.
Sedangkan dalam pembukaan Undang-Undang Nomor 9 tahun 2004
peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman
yang merdeka, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum
dan keadilan.
2. Tujuan Pembentukan PTUN
Tujuan dari Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk
mengembangkan dan memelihara administrasi negara yang tepat menurut
hukum, atau tepat menurut Undang-Undang, ataupun tepat secara efektif
maupun berfungsi secara efisien11. Faktor terpenting untuk mendukung
efektifitas peranan pemerintah adalah faktor makna kontrol Yudisial dengan
spesifikasi karakteristiknya. Hal tersebut, mendasari konsepsi mengenai
Peradilan Tata Usaha Negara yang merupakan pelembagaan kontrol yudisial terhadap tindakan pemerintah.
Peradilan Tata Usaha Negara diciptakan untuk menyelesaikan
sengketa antara pemerintah dan warga negaranya, yakni sengketa yang
timbul sebagai akibat dari adanya tindakan-tindakan pemerintah yang
dianggap melanggar hak-hak warga negaranya. Tujuan pembentukan
Peradilan Tata Usaha Negara adalah:
a. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak rakyat yang bersumber dari
hak-hak individu.
b. Memberikan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat yang didasarkan
kepada kepentingan bersama dari individu yang hidup dalam masyarakat
tersebut.
(Keterangan pemerintah di hadapan sidang paripurna DPR RI mengenai RUU PTUN tanggal 29 April 1986)12.
Tujuan tersebut di atas, kemudian ditampung dalam Penjelasan Umum Angka ke-1 UU No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara. Dengan demikian, fungsi dari Peradilan Tata Usaha Negara
sebenarnya adalah sebagai sarana untuk menyelesaikan konflik yang timbul
antara pemerintah dengan rakyat sebagai akibat dikeluarkannya atau tidak
dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara.
3. Subyek dan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara
Pasal 1 angka 4 UU No.5 Tahun 1986 menyebutkan, Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata
Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengacu pada rumusan di atas, dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur
sengketa Tata Usaha Negara terdiri dari:
a. Subyek yang bersengketa adalah orang atau badan hukum privat di satu
pihak dan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.
b. Obyek sengketa adalah keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara13.
Penggugat dalam Pasal 53 UU No.9 Tahun 2004 disebutkan: “Orang
atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
pengadilan yang berwenang yang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau
tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau direhabilitasi”.
Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga
kelompok14 ;
a. Kelompok pertama adalah orang-orang atau badan hukum perdata
sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN. Di sini orang atau badan
hukum perdata tersebut secara langsung terkena kepentingannya oleh
keluarnya KTUN yang dialamatkan kepadanya. Karena itu ia jelas berhak
mengajukan gugatan.
b. Kelompok kedua adalah orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan yang meliputi :
13Ibid, hal 7
(1) Individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang
berkepentingan. Kelompok ini merasa terkena kepentingannya
secara tidak langsung oleh keluarnya suatu KTUN yang sebenarnya dialamatkan kepada orang lain.
(2) Organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai pihak ketiga dapat
merasa berkepentingan, karena keluarnya suatu KTUN itu
dianggapnya bertentangan dengan tujuan-tujuan yang mereka
perjuangkan sesuai dengan anggaran dasarnya.
c. Kelompok ketiga adalah badan Atau jabatan TUN yang lain, namun UU
PTUN tidak memberi hak kepada badan atau jabatan TUN untuk
menggugat.
Sedangkan yang dimaksud Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
yang dapat dijadikan pihak tergugat dalam sengketa tata usaha negara adalah
sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 1 angka 2 UU PTUN dan
penjelasan Pasal 1 angka 3 UU PTUN,” Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara adalah Badan atau Pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. “Dan dalam
penjelasannya disebutkan “Yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan dalam undang-undang ini ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat
semua Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat
pusat maupun daerah yang juga bersifat mengikat secara umum.”
Sebagai Jabatan TUN yang memiliki kewenangan pemerintah, sehingga dapat menjadi pihak yang tergugat dalam sengketa TUN dapat
dikelompokkan dalam15 :
a. Instansi resmi pemerintah yang berada di bawah presiden sebagai kepala
eksekutif.
b. Instansi-instansi dalam lingkungan kekuasaan negara di luar lingkungan
eksekutif yang berdasarkan peraturan perundang-undangan, melaksanakan
suatu urusan pemerintahan.
c. Badan-badan hukum privat yang didirikan dengan maksud untuk melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
d. Instansi-instansi yang merupakan kerja sama antara pemerintahan dan
pihak swasta yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan.
e. Lembaga-lembaga hukum swasta yang melaksanakan tugas-tugas
pemerintahan.
Obyek sengketa TUN adalah keputusan yang dikeluarkan oleh badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara. Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu
penetapan tertulis yang dikeluarkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan
final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata16.
Unsur-unsur pengertian istilah KTUN sebagai obyek sengketa TUN
menurut UU No.5 tahun 1986 ialah17 :
a. Penetapan tertulis
Penjelasan pasal tersebut menggariskan bahwa istilah “penetapan
tertulis” terutama menunjuk kepada isi dan bukan kepada bentuk
keputusan yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Keputusan itu memang diharuskan tertulis, namun yang disyaratkan
tertulis bukanlah bentuk formatnya seperti Surat Keputusan Pengangkatan dan sebagainya. Persyaratan tertulis itu diharuskan untuk
kemudahan segi pembuktian. Merupakan suatu Keputusan Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara menurut undang-undang ini apabila sudah
jelas;
(1) Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara mana yang
mengeluarkannya.
(2) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan itu.
(3) Kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan di dalamnya.
16 Undang-Undang No.5 Tahun 1986, Pasal 1 angka 3
b. Dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara adalah Badan atau Pejabat di
pusat dan daerah yang melakukan kegiatan yang bersifat eksekutif.
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Tindakan hukum tata usaha negara adalah perbuatan hukum Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara yang bersumber pada suatu ketentuan hukum
Tata Usaha Negara yang dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada
orang lain. Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan”
ialah semua peraturan yang bersifat mengikat secara umum yang
dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama pemerintah baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah serta semua keputusan Badan
atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat
daerah, yang juga bersifat mengikat secara umum.
d. Bersifat konkrit, individual dan final.
Bersifat konkrit artinya obyek yang diputuskan dalam Keputusan Tata
Usaha Negara itu tidak abstrak, tetapi terwujud, tertentu atau dapat
ditentukan.
Bersifat individual artinya Keputusan Tata Usaha Negara tidak ditujukan untuk umum
Bersifat final artinya sudah definitive, dan karenanya dapat
menimbulkan akibat hukum Keputusan yang masih memerlukan
persetujuan instansi atasan atau instansi lain belum bersifat final karenanya belum dapat menimbulkan hak atau kewajiban pada pihak
yang bersangkutan.
e. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Menimbulkan akibat hukum artinya perbuatan hukum yang diwujudkan
dalam pembuatan Keputusan Tata Usaha Negara oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara itu dapat menimbulkan hak atau kewajiban
pada seseorang atau badan hukum perdata.
Kemungkinan besar bidang-bidang yang akan banyak menimbulkan perkara-perkara tata usaha negara nantinya adalah18, perijinan, masalah
kepegawaian negeri, masalah keuangan negara, masalah perumahan dan
pergedungan, masalah pajak, masalah cukai, masalah agraria, perfilman,
pemeriksaan bahan makanan dan mutu barang, keselamatan kerja
perusahaan, jaminan sosial, kesehatan rakyat, pengamanan rumah
penginapan, keamanan toko, pasar, perawatan infrastruktur, lalu lintas jalan,
penanggulangan sampah, pendidikan, perbankan, kejahatan komputer, HAM,
dan lain-lain.
4. Kompetensi PTUN
Kompetensi menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia adalah kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu).19 Pasal 47 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 menyebutkan bahwa: Pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara. Dari ketentuan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pengadilan Tata Usaha Negara mempunyai fungsi peradilan.
Ada beberapa cara untuk mengetahui kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara: pertama, dapat dilihat dari pokok sengketanya (geschilpunt, fundamentum
petendi); kedua, dengan melakukan pembedaan atas atribusi (absolute
competentie atau attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve
competentie atau distributie van distributie van rechtsmacht); ketiga, dengan melakukan pembedaan atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif20.
Pertama, dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi negara yang berkuasa (hakim PTUN).
Kedua, dengan melakukan pembedaan atas kewenangan mengadili dengan pembagian kompetensi atas atribusi (absolute competentie atau
19 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, hal 518 20 Zairin Harahap, Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, hal 28
attributie van rechtsmacht) dan delegasi (relatieve competentie atau
distributie van rechtsmacht) dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Atribusi, yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan :
a. Secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat
dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang
mempunyai kedudukan sederajat/ setingkat. Contoh: Pengadilan
Administrasi terhadap Pengadilan Negeri (umum), Pengadilan Agama
atau Pengadilan Militer.
b. Secara vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarki
mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh: Pengadilan Negeri
(umum) terhadap Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung.
2. Distribusi, yang berkaitan dengan pembagian wewenang yang bersifat
terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah
hukum. Contoh; antara Pengadilan Negeri Bandung dengan Pengadilan
Negeri antara lain di Garut, Tasikmalaya dan Ciamis.
Ketiga, adalah pembagian atas Kompetensi absolut dan Kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenangan badan peradilan
apa yang memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi
memutuskan sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara akibat
dikeluarkannya suatu keputusan tata usaha negara, termasuk sengketa
kepegawaian21 dan tidak dikeluarkannya suatu keputusan yang dimohonkan seseorang sampai batas waktu yang ditentukan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sedangkan hal itu telah merupakan kewajiban badan
atau pejabat tata usaha negara yang bersangkutan (Pasal 3 UU PTUN).
Kompetensi relatif, adalah kewenangan dari pengadilan sejenis, yang
mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
yang bersangkutan. Dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha Negara,
maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan peradilan tata
usaha negara yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tersebut. Apakah PTUN Ujung Pandang, Surabaya,
Semarang, Bandung, Jakarta, Palembang, atau Medan, dan sebagainya.22
Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut di atas, dalam pasal 77
UU PTUN disebutkan:
a. Eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan dapat diajukan setiap
waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang
kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia
karena jabatannya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.
21UU Nomor 5 Tahun 1986, Pasal 1 angka 4
b. Eksepsi tentang kewenangan relatif pengadilan diajukan sebelum
disampaikan jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi tersebut harus
diputus sebelum pokok sengketa diperiksa.
c. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan hanya dapat
diputus bersama dengan pokok sengketa.
Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN,
harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban atas pokok
sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas
pokok sengketa, maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.23