• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI CALON INDUK UDANGWINDU, Penaeus mododon ASAL TAMBAK MENGGUNAKAN BAK RESIRKULASI BERDASAR PASIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI CALON INDUK UDANGWINDU, Penaeus mododon ASAL TAMBAK MENGGUNAKAN BAK RESIRKULASI BERDASAR PASIR"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI CALON INDUK UDANGWINDU,

Penaeus mododon

ASAL TAMBAK

MENGGUNAKAN BAK RESIRKULASI BERDASAR PASIR

Syarifuddin Tonnek, Samuel Lante, dan Andi Parenrengi Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129, Maros 90512, Sulawesi Selatan

E-mail: litkanta@indosat.net.id ABSTRAK

Pengamatan produksi calon induk udang yang dipelihara pada bak sistem resirkulasi berdasar pasir telah dilakukan dari bulan Agustus sampai November selama 4 bulan di Instalasi Hatcheri Balai Penelitian dan Pengembangan Budidaya Air Payau Maros di Barru. Perlakuan yang diujicoba adalah desain bak yang ditutup para-net (A) dan bak tanpa penutup; (B) Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertambahan bobot induk jantan dan betina masing-masing pada perlakuan A hanya 11,84 g dan 18,87 g; sedangkan pada perlakuan B individu betina mencapai 12,95 g dan jantan hanya 14,8 g selama 4 bulan pemeliharaan. Sintasan induk betina sangat rendah pada kedua perlakuan yaitu 28% pada perlakuan A dan 20% pada perlakuan B, sedangkan induk jantan menunjukkan sintasan cukup tinggi masing-masing 64% dan 84%. Individu betina yang diablasi pada masing-masing perlakuan adalah 5 ekor dan dipelihara pada bak pematangan gonad dengan rasio betina dan jantan adalah 1:1. Selama 2 minggu proses pematangan gonad, individu betina yang mengalami perkembangan gonad sampai TKG-3 hanya 1 ekor pada perlakuan B, sedangkan perkembangan gonad sampai TKG-2 terjadi masing-masing 1 ekor pada kedua perlakuan. Induk yang dapat melepaskan telur hanya 1 ekor yaitu yang mencapai TKG-3 dengan jumlah telur mencapai 300.000 butir, tetapi larvanya lemah. Kualitas air (oksigen terlarut, pH, suhu, dan salinitas) tetap optimum sampai bulan keempat, kecuali nitrit dan amonia yang pada bulan terakhir sudah mulai meningkat sampai kisaran 1-3 mg/L.

KATA KUNCI: calon induk, udang windu Penaeus monodon, resirkulasi, bak berdasar pasir PENDAHULUAN

Riset pemeliharaan induk udang windu secara terkontrol, sudah sejak lama menjadi perhatian para ahli dan praktisi perbenihan (Halder, 1978; Primavera 1978; Tonnek, 1989; Ismail, 1991), tetapi sampai saat ini belum menampakkan hasil yang memuaskan, padahal induk udang windu asal tambak dan alam dilihat dari aspek jumlah telur, diameter telur, dan kualitas larvanya tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, kecuali daya tetas telur dan frekuensi penelurannya (Nurdjana, 1985; Tonnek, 1989; Ismail, 1991). Selain itu, pasokan induk udang alam saat ini sudah tidak bisa lagi dijamin untuk menghasilkan benur bermutu dan aman untuk dibudidayakan, karena di samping suplai induk alam sudah sangat terbatas, juga uji laboratorium menunjukkan bahwa induk alampun sudah terinfeksi virus (Yano, 2000; Arce, 2005; Coman et al., 2005; Supriyadi et al., 2005).

Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, penyediaan calon induk udang terseleksi di tambak menjadi suatu pilihan yang tepat. Menurut Anonimous (2010), kegiatan produksi calon induk merupakan rangkaian proses domestikasi dan pemuliaan untuk menghasilkan induk unggul. Sementara domestikasi itu sendiri adalah langkah atraktif yang harus ditempuh untuk menghasilkan benih unggul yang berasal dari induk unggul hasil domestikasi. Pemeliharaan calon induk udang dengan benur alam selama 3 tahun terakhir di areal tambak yang lokasinya terpisah dengan tambak masyarakat, menunjukkan respons perkembangan gonad, serta pemijahan yang positif setelah diablasi namun belum konsisten, karena telur yang dihasilkan terkadang tidak menetas (Tonnek et al., 2011a; Tonnek et al., 2011b).

Ada beberapa faktor yang menyebabkan daya tetas telur rendah atau tidak menetas sama sekali di hatcheri antara lain: 1) telur tidak terbuahi, 2) ada parasit, dan 3) rendahnya kualitas telur itu sendiri (Primavera & Borlongan, 1978; Alava & Primavera, 1979; Primavera et al., 1979; Beard &

(2)

Wicklins, 1980; Poernomo & Yunus, 1980; Primavera & Posadas, 1981). Sedangkan Primavera (1984) mengemukakan bahwa faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pematangan gonad di bak terkontrol adalah manipulasi endokrin, pemberian pakan yang baik, dan kontrol lingkungan. Menurut Nurdjana (1985), perkembangan telur pada udang windu terjadi secara terus-menerus sejak individu betina mencapai umur dewasa. Oleh karena itu, pendekatan yang masih memerlukan pertimbangan adalah perbaikan kualitas lingkungan dan pemenuhan nutrisi yang dapat mendukung terjadinya kopulasi (perkawinan) induk secara optimal seperti di alam. Di alam, induk yang memiliki kualitas baik adalah induk-induk yang tertangkap pada kedalahan > 10 m dan wilayah pergerakan arus. Pada daerah kedalaman dan pergerakan arus yang cukup, ketersediaan unsur hara dan nutrisi relatif cukup melimpah. Dijelaskan oleh Primavera (1984) bahwa faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah nutrisi, intensitas cahaya, suhu, pH, dan kadar garam.

Berdasarkan permasalahan dan uraian tersebut di atas, rangkaian kegiatan penelitian difokuskan pada penyediaan induk asal tambak dengan kajian utama pada aspek manipulasi lingkungan, terutama aspek intensitas cahaya, dan optimalisasi pemberian pakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performansi calon induk udang pada bak resirkulasi tertutup dan terbuka.

BAHAN DAN METODE Pemeliharaan Calon Induk

Bak yang digunakan berbentuk bulat dengan volume air 90 ton sebanyak 2 buah, dilengkapi sistem resirkulasi menggunakan rangkaian pipa pralon 2 inci, masing-masing 5 buah yang berfungsi untuk mensuplai air bersih dan 5 buah lagi untuk mengalirkan air kotor yang ditempatkan berhadap-hadapan. Pipa-pipa di dasar bak disusun paralel dengan posisi yang saling menguatkan antara satu dengan lainnya. Di antara pipa-pipa dan di bagian atasnya dilapisi dengan ijuk setebal 5 cm, kemudian dilapisi dengan jaring hijau untuk menahan lapisan atas yang terdiri atas pasir setebal 5 cm. Model dan operasional sistem sirkulasi seperti terlihat pada Gambar 1.

Untuk menggerakkan air dari pipa penyaringan digunakan aerasi. Sebagai perlakuan adalah bak resirkulasi berdasar pasir dengan penutup para-net (perlakuan A) dan bak tanpa penutup (perlakuan B). Hewan uji yang digunakan adalah calon induk udang windu hasil seleksi dari tambak tradisional ukuran 116,59±21,31 g/ekor untuk betina dan 64,7±6,07 g/ekor untuk jantan pada perlakuan A dan ukuran 114,85±19,3 g/ekor untuk betina dan 68,9±9,74 g/ekor untuk jantan pada perlakuan B. Padat penebaran yang diaplikasikan adalah 50 ekor/bak dengan rasio 25 betina dan 25 ekor jantan. Untuk menentukan kelayakan dan kualitas hewan uji dan sintasan diamati setelah penelitian berlangsung selama 4 bulan. Untuk perawatan bak, dilakukan penggantian air sebanyak 50% setiap bulan. Pakan yang diberikan selama pemeliharaan adalah campuran 50% pakan udang dan 50% pakan kerapu, serta setiap 2 minggu diberi pakan segar berupa cumi dan kekerangan sebanyak 10%-15% bobot total udang.

Pematangan Gonad dan Pemijahan

Induk yang sudah diseleksi selanjutnya diadaptasikan di bak karantina selama 3-5 hari untuk selanjutnya diablasi dan ditebar di bak pematangan gonad dengan tetap mengaplikasikan rasio

Gambar 1. Bak dengan tutup para-net (A); bak tanpa penutup (B)

(3)

jantan dan betina 1:1 sesuai rasio yang banyak dipraktekkan di hatcheri (Setiawan, 2004). Di bak pematangan gonad, pakan segar seperti cumi-cumi, kekerangan, dan cacing diberikan 4 kali seharí yaitu pagi (07.00), (12.00), (17.00) dan malam hari (22.00) sebanyak 15% dari biomassa induk setiap bak. Parameter yang diamati adalah tingkat kematangan gonad sesuai prosedur Alava & Primavera (1978) dengan menyurutkan air dalam bak sampai tinggi air tinggal 30 cm. Induk yang mencapai tingkat kematangan gonad III dan IV, selanjutnya dipisahkan dengan induk lainnya untuk dipijahkan lebih lanjut di bak pemijahan.

Pemijahan dan Penetasan Telur

Telur yang sudah dipijahkan, kemudian dipanen dan dihitung dengan cara sampling. Selanjutnya dipindahkan ke bak penetasan dan kualitas telur diamati di bawah mikroskop seperti yang dikerjakan oleh Primavera (1979). Demikian juga daya tetas telur dihitung dengan cara sampling menggunakan beker bervolume 1 liter dengan membandingkan jumlah nauplius dan jumlah telur.

HASIL DAN BAHASAN

Pemeliharaan Calon Induk

Kondisi udang selama 4 bulan di bak pemeliharaan menunjukkan penampilan udang yang berbeda antara kedua perlakuan. Tampak bahwa ukuran betina dan jantan pada setiap bak menunjukkan perkembangan, meskipun tidak terlalu besar. Sedangkan sintasan udang, terutama populasi betina terlihat sangat rendah (Tabel 1).

Pada Tabel 1 terlihat bahwa pertambahan bobot individu betina sangat kecil yaitu untuk perlakuan A hanya 11,84 g dan pada perlakuan B mencapai 12,95 g selama 4 bulan pemeliharaan. Jika mencermati pertumbuhan individu betina pada kedua perlakuan, nampak bahwa individu betina pada perlakuan A hanya tumbuh 2,96 g/bulan dan pada bak perlakuan B mencapai 3,23 g/bulan. Hasil ini memperlihatkan pertumbuhan yang sangat lambat, karena pertumbuhan normal udang windu menurut Liao (1977), adalah 8 g/bulan, sedangkan Motoh (1981) mencapai 6,8 g/bulan. Untuk individu jantan, pertambahan bobot nampak berbeda pada kedua perlakuan yaitu masing-masing 18,87 g (6,71 g/bulan) pada perlakuan A dan 14,8 g (3,7 g/bulan) pada perlakuan B. Rendahnya pertumbuhan pada penelitian ini, diduga sebagai akibat kualitas air, terutama amonia yang cenderung terus meningkat mulai bulan kedua. Menurut FAO (2007), kisaran optimal amonia untuk kelayakan hidup udang windu adalah < 0,1 mg/L. Sedangkan Wickins (1976) mengatakan kadar amonia 0,02-0,05 mg/L sudah dapat menghambat pertumbuhan hewan akuatik pada umumnya, sedangkan pada kadar 0,45 mg/L dapat menghambat pertumbuhan udang 50%. Selanjutnya pada kadar 1,29 mg/L sudah mengakibatkan kematian pada udang.

Untuk sintasan, nampak bahwa populasi udang betina memiliki sintasan sangat rendah hanya (20%-28%) pada kedua perlakuan, sementara populasi jantan cukup tinggi (64%-84%) pada kedua perlakuan. Susanto (2011), menemukan hal yang sama di mana tingkat sintasan sampai mencapai ukuran siap dipijahkan berkisar antara 20%-30%. Kondisi semacam ini perlu mendapat perhatian, karena untuk mendapatkan induk unggul membutuhkan waktu lama dan biaya yang sangat besar.

Tabel 1. Parameter pertambahan ukuran individu udang dan tingkat sintasan selama 4 bulan Betina (g/ekor) N = 25 Jantan (g/ekor) N = 25 Betina (g/ekor) N = 25 Jantan (g/ekor) N = 25 Bobot awal (g) 116,59±21,31 64,7±6,07 114,85±19,3 68,9±9,74 Bobot akhir (g) 128,43±19,35 83,57±11,16 127,8±1,93 83,7±6,99 Sintasan (%) 28 64 20 84

Bak tertutup Bak tanpa tutup Parameter

(4)

Untuk menghasilkan sintasan yang tinggi pada program domestikasi, faktor kualitas air, dan pakan berkualitas perlu menjadi pertimbangan utama. Hoa (2009) mengemukakan bahwa di Vietnam, keberhasilan domestikasi udang windu sangat ditunjang oleh aplikasi sistem resirkulasi dan pakan induk berbentuk moist pellet.

Performansi udang hasil pemeliharaan menunjukkan bahwa pada bak tertutup para-net ditemukan 4 ekor kulitnya berlumut dan pada bak tanpa tutup ditemukan 2 ekor. sedangkan induk-induk lainnya memperlihatkan kondisi yang sangat bagus dan tanpa cacat (Gambar 2).

Berdasarkan kenyataan ini, dapat dikemukakan bahwa kedua perlakuan memperlihatkan kualitas induk yang memadai untuk pembesaran induk udang. Namun demikian, upaya perbaikan tetap perlu dilakukan yaitu miningkatkan sintasan populasi betina, sehingga dapat menunjang kecukupan suplai induk betina di masa datang.

Pematangan Gonad, Pemijahan, dan Penetasan Telur

Pematangan gonad induk betina dilakukan dengan ablasi mata pada masing-masing 5 ekor pada setiap perlakuan. Terlihat bahwa respons ablasi terhadap perkembangan gonad berbeda pada kedua perlakuan (Tabel 2).

Tabel 2 memperlihatkan bahwa 3 ekor induk yang berasal dari perlakuan B mengalami perkembangan gonad, tetapi hanya 1 ekor mencapai TKG-3 dan memijah dengan jumlah telur sebanyak 300.000 butir, namun demikian kualitas telurnya kurang bagus karena daya tetasnya hanya 7% dengan larva yang sangat lemah. Sedangkan pada perlakuan A, tingkat kematangan gonad hanya 1 ekor, tetapi hanya sampai pada TKG-2. Terlihat bahwa selama 20 hari pengamatan, hanya 1 ekor yang mencapai TKG-3 dan 3 ekor mencapai TKG-2 masing-masing 2 ekor pada perlakuan B dan 1 ekor pada perlakuan A. Jika mencermati jumlah induk udang yang mengalami perkembangan gonad, dapat dijelaskan bahwa kondisi bak yang selamanya tertutup tidak berdampak positif pada perkembangan gonad. Sebaliknya pada bak terbuka justru memperlihatkan hasil yang lebih baik. Menurut Primavera (1984), waktu yang dibutuhkan dari proses ablasi, pematangan gonad dan pemijahan pada udang windu berkisar antara 3 hari sampai 2 bulan, tergantung pada umur dan

Gambar 2. Penampakan udang pada bak tertutup (A) dan pada bak terbuka (B)

A

B

Tabel 2. Pematangan gonad, Jumlah telur, dan daya tetas telur induk udang windu

TKG-1 TKG-2 TKG-3

Bak tertutup (A) 1 1 - -

-Bak terbuka (B) 1 2 1 300.000 7

Daya tetas telur (%) Tingkat kematangan gonad

Perlakuan Jumlah telur

(5)

sumber induk, siklus ganti kulit, dan faktor lain saat ablasi. Induk alam yang diperoleh di daerah mangrove membutuhkan waktu 10 hari untuk matang gonad dan 69 hari untuk memijah setelah ablasi (Hillier, 1984), dibandingkan dengan induk dari laut dalam yang hanya butuh 3 hari setelah ablasi (Primavera & Berlongan, 1978). Pengamatan lain menunjukkan bahwa induk alam dari perairan dalam butuh 4-5 hari sampai memijah, sedangkan induk dari perairan dangkal atau payau butuh 20-30 hari (Ruangpanit et al., 1984). Berdasarkan pengalaman, induk udang windu asal tambak setelah ablasi, mengalami proses pematangan gonad lebih lama dibandingkan dengan induk alam. Umumnya berlangsung antara 7-21 hari (Tonnek, 1989; Ismail, 1991).

Parameter kualitas air selama pemeliharaan nampak masih dalam batas kelayakan hidup yaitu untuk salinitas antara 30-36 ppt; suhu berkisar antara 26°C-32°C; pH 7,8;), dan oksigen terlarut 5-7 mg/L. Chen (1984) mengemukakan bahwa kualitas air seperti suhu berkisar antara 28-36 ppt; pH 7,2-8,5; suhu 26°C-32°C; sedang O2 terlarut tidak boleh di bawah 3,7 mg/L dan amonia maksimal 0,1 mg/L. Dampak kualitas air terhadap kelayakan hidup udang windu dalam bak pemeliharaan diungkapkan oleh banyak peneliti. Kandungan oksigen terlarut paling rendah yang dianggap membahayakan kehidupan udang adalah 1,2 mg/L (Hadisusanto, 1987), sedangkan pH yang menghambat pertumbuhan udang adalah di bawah 6,4 atau di atas 8,9 (Wickins, 1976). Untuk kadar garam yang menghambat perkembangan ovarium adalah di bawah 20 ppt dan di atas 40 ppt, sedangkan suhu tidak boleh di bawah 20°C. Selain kualitas air seperti yang dikemukakan di atas, aspek penting pada resirkulasi adalah kemampuan sistem resirkulasi yang secara fisik atau biologis memineralisasi amonia dan polutan-polutan lain yang dapat membahayakan udang selama pemeliharaan.

Berdasarkan kualitas air pada kedua bak di pemeliharaan dapat dikemukakan bahwa umumnya kualitas air masih dalam kisaran yang ideal untuk menunjang kelayakan hidup udang windu, kecuali amonia yang pada akhir pemeliharaan mencapai 1-3 mg/L. Menurut FAO (2007), kisaran optimal nitrit dan amonia untuk kelayakan hidup udang windu adalah < 0,1 mg/L. Sedangkan Wickins (1976) mengatakan kadar amonia 0,02-0,05 mg/L sudah dapat menghambat pertumbuhan hewan akuatik pada umumnya, sedangkan pada kadar 0,45 mg/L dapat menghambat pertumbuhan udang 50%. Selanjutnya pada kadar 1,29 mg/L sudah mengakibatkan kematian pada udang.

Pergantian air pada kedua bak menunjukkan bahwa sistem resirkulasi yang diaplikasikan, kurang optimal karena blower yang digunakan tidak berfungsi normal. Hal ini juga yang menjadi salah satu penyebab rendahnya tingkat sintasan udang betina. Ukuran udang betina yang lebih besar dari jantan dan umur udang yang sudah memasuki masa produktif, tentu butuh banyak energi dan pada kondisi kedua bak kurang mendukung. Oleh karena itu, penyempurnaan sistem resirkulasi dan pemberian pakan sesuai kebutuhan nutrisi induk perlu segera mendapat perhatian untuk dikaji.

KESIMPULAN DAN SARAN

Pembesaran calon induk udang windu menggunakan bak resirkulasi terbuka menunjukkan hasil lebih baik dibandingkan dengan bak resirkulasi tertutup, terutama dari aspek respons perkembangan gonad, pemijahan, dan penetasan telur.

Disarankan bahwa untuk penyediaan induk udang windu dalam jumlah dan kualitas yang memadai, penyempurnaan bak resirkulasi berdasar pasir dan penggunaan pakan berkualitas perlu dilakukan karena nitrit dan amonia serta mortalitas individu betina masih cukup tinggi.

DAFTAR ACUAN

Alava, R. &. Primavera, J.H. 1979. Effect of different sex ratios of ablated wild-stock Penaeus monodon Fabricius on maturation, fecundidy. Quarterly Research, Report. SEAFDEC Aquacu Dept., Philip-pines, 3(2): 15-18.

Arce, S.M. 2005. Production of high-quality postlarvae of the balck tiger prawn, Penaeus monodon, for the Vietnamese shrimp farming industry-Proposal for A collaborative project between Vietnam’s Ministry of Fisheries (MOFI) and the Oceanic Institute (OI) of Hawaii.

Coman, G.J., Grocos P.J., Arnold, S.J., Key S.J., & Preston, N.P. 2005. Growth, survival and reproductive performance of domesticated Australia stock of the giant tiger prawn, P. monodon, reared in tanks

(6)

and receways. J. Word Aquacul. Soc., 36: 464-479.

Eding, E.H., Kamstra, A., Verreth, J.A.J., Huisman, E.A., & Klapwijk, A. 2005. Design and operation of nitrifying trickling filters in recirculating aquaculture: A review. Aquaculture Engineering, 34(3): 234-260.

Chen, H.C. 1984. Water quality criteria for farming the Grass Shrimp, Penaeus monodon. In Taki, Y., Primavera, J.H., & Allobrera, J.A. (Eds.). Proceeding of the First International Converence on the culture

of penaeid prawn/shrimps, 165 pp.

Emmerson, W.D. 1983. Maturation and growth of ablated and unablated Penaeus monodon Fabricius.

Aquaculture, 32: 235-241.

FAO. 2007. Inproving Penaeus monodon Hatchery Praktices. Manual based on experience in India. FAO Fisheries Technical Paper No. 446. www.fao.org/fishery/aquaculture/en

Hadisusanto, S. 1987. Prosentase individu betina udang windu (Penaeus monodon Fab.) setelah pemberian

hormon estrogen. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana, UGM Yogyakarta, 59 hlm.

Halder, D.D. 1978. Induced maturation and breeding of Penaeus monodon Fabricius under brackishwater pond condition by eyestalk ablation. Aquaculture, 15: 171-174.

Hillier, A.G. 1984. Artificial conditions influencing the maturation and spawning of subadult Penaeus

monodon (Fabricius). Aquaculture, 36: 179-184.

Hoa, N.D., 2009. Domestication of black tiger shrimp (Penaeus monodon) in recirculation system in

Viet-nam. Ph.D Thesis, Ghent University, Belgium.

Ismail, A. 1991. Pengaruh rangsangan hormon terhadap perkembangan gonad individu betina dan kualitas

telur udang windu (Penaeus monodon Fab.). Disertasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 200 hlm.

Liao, I.C. 1977. A. culture stady on grass prawn, Penaeus monodon, in Taiwan. The patterns, the prob-lems and the prospect. J. Fish. Soc. Taiwan, 5(1): 11-29.

Motoh, H. 1981. Studies on the fisheries biology of the giant tiger prawn, Penaeus monodon in Philip-pines. Technical report No. 7. SEAPDEC. Philippines, 128 pp.

Nurdjana, M.L. 1985. Pengaruh ablasi mata terhadap perkembangan telur dan embrio, serta kualitas larva

udang windu (Penaeus monodon). Disertasi. Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 438 hlm.

Primavera, J.H. 1978. Induced maturation and spawning in five-month-old Penaeus monodon Fabricius bu eyestalk ablation. Aquaculture, 13: 355-359.

Primavera, J.H., Lim, C., & Borlongan, E. 1979. Effet of different feeding regimes of reproduction and survival of ablated Penaeus monodon Fabricius. Quarterly Res. Rep. 2nd quarter (April-June). SEAFDEC,

Aquaculture Dept. Philippines, 3(2): 12-14.

Primavera, J.H. 1984. A review of maturation and reproduction in closed thelycum penaeid. In Taki, Y., Primavera, J.H., & Allobrera, J.A. (Eds.). Proceeding of the First International Converence on the culture

of penaeid prawn/shrimps, p. 47-61.

Pudadera, R.A., Primavera, J.A., & Young, A.T.G. 1980. Effect of different sex ratio on maturation fecundity and hatching rates of ablated Penaeus monodon Fab. wild stock. Fish Rep. J. Philip., 5(1): 1-6.

Supriyadi, H., Taukhid, Sunarto, A., & Koesharyani, I. 2005. Prevalensi infeksi White Spot Syndrome

Virus (WSSV) pada Induk Udang Windu (Penaeus monodon) hasil tangkapan dari alam. J. Pen. Perik. Indonesia, II(5): 69-74.

Susanto, A. 2011. Kinerja jejaring pemuliaan udang windu, Penaeus monodon. Workshop Jaringan Perbenihan dan Produksi Induk Unggul 27-29 November 2011, Hotel Cendana Surabaya.

Tonnek, S. 1989. Perkembangan ovarium dan peneluran udang windu Penaeus monodon Fabricius setelah

disuntik dengan hormon estrogen atau progesteron dan ablasi matan. Tesis. Fakultas Pasca Sarjana,

UGM Yogyakarta, 74 hlm.

Tonnek, S., Tahe, S., & Lante, S. 2011. Performansi calon induk udang windu, Penaeus monodon asal tambak. Prosiding Seminar Nasional Perikanan Indonesia 2011. Jakarta, 24-25 November 2011. Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, hlm. 313-321. Tonnek, S., Makmur, & Muslimin. 2011. Desain bak untuk produksi induk udang windu, Penaeus

(7)

Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (P3M) Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta, hlm. 322-326. Wickins, J.F. 1976. The tolerance of warm-water prawn to recirculated water. Aquaculture, 9: 19-37. Yano, I. 2000. Cultivation of Broodstock in Closed Recirculation System in specific pathogen free (SPF)

(8)

DISKUSI

1. Nasrul Efendi

Pertanyaan:

Setelah ditangkap diuji PCR, berapa persen yang bebas virus?

Tanggapan:

Meski diambil dari tambak jumlahnya cukup banyak, jadi uju PCR menggunakan sampling. Daya tahan pada induk jantan dan betina

2. Ramones

Pertanyaan:

Fungsi lapisan pasir dan ijuk?

Tanggapan:

Gambar

Gambar  1. Bak dengan tutup para-net (A); bak tanpa penutup (B)
Tabel  2  memperlihatkan  bahwa  3  ekor  induk  yang  berasal  dari  perlakuan  B  mengalami perkembangan gonad, tetapi hanya 1 ekor mencapai TKG-3 dan memijah dengan jumlah telur sebanyak 300.000 butir, namun demikian kualitas telurnya kurang bagus karen

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai p-value 0,6168 yang berarti bahwa tidak ada perbedaan antara telur nyamuk yang terperangkap pada perangkap telur standar dan

Mungkin pihak-pihak berwajib perlu membuka semula atau kembali dokumen yang mungkin akan menjadi kusan atau antik yang kita percaya masih belum berubah di mana di dalam Akta

Kebijakan apa yang dapat digunakan untuk memperbaiki kinerja penanganan kargo ikan tuna di warehouse ekspor JAS Terminal Kargo Bandara Internasional Soekarno Hatta..

Baitul Mal pada dasarnya merupakan lembaga perekonomian umat Islam. Baitul Mal juga merupakan lembaga keuangan yang fungsinya mengelola dana yang bersifat sosial. Sumber

rfÜ md,lfhd idudkH ck;dj iuÕ tlg ìu ys|f.k is,a iudoka jqK rgla wfma rg' tA ksid u rfÜ ñksiqka is,aj;a jqKd¦ Ndjkd jevqjd' l,HdK ñ;% weiqßka m%{dj ÈhqKq lr .;a;d' uq¿ f,dalfha

Penelitian ini bertujuan untuk (i) mengukur tingkat efisiensi dengan menggunakan lima konsep efisiensi; tecnichal efficiency (TE), pure tecnichal efficiency (PTE),

Dalam melakukan transaksi mereka tidak melibatakan kelurahan atau perangkat Desa Klotok untuk melakukan perjanjian sewa. Pemilik tanah dan penyewa melakukan transaksi secara

Anti nutrisi yang terkandung didalam kulit buah kakao adalah tanin (Duke, 1983) dan theobromine (Wong et al., 1987).Menurut Figueira and Miller(1993), jenis tanin