• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HASIL DAN PEMBAHASAN"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Persentase Penduduk Defisit Energi di Indonesia 1987-2010 Salah satu indikator yang menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk adalah tingkat kecukupan gizi biasanya disajikan dalam bentuk kalori dan protein yang dikonsumsi. Besarnya konsumsi kalori dan protein dihitung dengan mengalikan kuantitas setiap makanan yang dikonsumsi dengan besarnya kandungan kalori dan protein dalam setiap jenis makanan tersebut (kandungan kalori dan protein untuk setiap jenis makanan diperoleh dari daftar komposisi bahan makanan Direktorat Gizi, Departemen Kesehatan) kemudian hasilnya dijumlahkan (BPS 1994). Kesejahteraan dapat dikatakan makin baik apabila kalori dan protein yang dikonsumsi penduduk semakin meningkat sampai akhirnya melewati batas minimal konsumsi kalori dan protein (SUSENAS 1984). Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII (2004) menganjurkan konsumsi energi penduduk Indonesia adalah 2000 kkal/kap/hari. Pada rekomendasi WNPG sebelumnya, angka kecukupan energi adalah 2100 kkal/kap/hari. Angka Kecukupan Gizi Tingkat konsumsi energi (TKE) diperoleh dengan cara membandingkan konsumsi energi aktual dengan angka kecukupan energi. Berdasarkan Depkes (1996), jika tingkat konsumsi energi < 70% dikatakan defisit tingkat berat, 70-79% dikatakan defisit tingkat sedang. 80-89% dikatakan defisit tingkat ringan, 90-119% dikatakan normal dan ≥ 120% dikatakan kelebihan.

Tahun 1987 hingga 2010 telah terjadi banyak kejadian berupa perubahan di Indonesia seperti perubahan kepemimpinan, perubahan sistem tata kenegaraan dari sentralistik ke arah desentralisasi/otonomi daerah, perubahan ekonomi, dan perubahan-perubahan lainnya. Perubahan-perubahan yang terjadi pada tahun tersebut sangat berpengaruh bagi Indonesia karena mempengaruhi situasi ekonomi, sosial, dan politik. Perubahan tersebut dapat berdampak pada tingkat konsumsi energi di Indonesia yang mengakibatkan tingkat konsumsi energi defisit atau kekurangan energi. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami keseimbangan energi negatif. Akibatnya, berat badan kurang dari berat badan seharusnya (ideal). Bila terjadi pada bayi dan anak-anak akan menghambat pertumbuhan dan pada orang dewasa menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan jaringan tubuh. Gejala yang ditimbulkan pada anak adalah kurang perhatian, gelisah, lemah, cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan terhadap penyakit infeksi (Almatsier 2006).

(2)

Berdasakan hasil pengolahan data SUSENAS tahun 1987 hingga 2010 dapat diketahui persentase rumahtangga defisit energi di Indonesia dengan indikator tingkat konsumsi energi <70% yang tergolong sebagai tingkat konsumsi energi defisit berat. Hasil pengolahan tersebut menunjukan bahwa di Indonesia memiliki penduduk di Indonesia yang defisit energi tingkat berat. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 dapat dilihat secara rinci pada Tabel 2.

Tabel 2 Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia pada tahun 1987 sampai 2010 Tahun AKG (kkal) Σ Penduduk Defisit Energi (< 70%) Persentase Penduduk Defisit Energi (< 70%) Laju Penduduk Defisit Energi (<70%) per tahun 1987 2100 18.498.785 10,84 1990 25.992.017 14,49 33,67 1993 6.184.747 3,27 -77,43 1996 22.211.840 11,2 242,51 1999 48.685.463 23,47 109,55 2002 12.442.982 5,9 -74,86 2003 22.645.762 10,59 79,49 2004 2000 8.781.453 4,05 61,76 2005 4.419.025 2,01 -50,37 2006 42.010.084 18,86 838,31 2007 30.281.156 13,42 -28,84 2008 22.418.106 9,81 -26,90 2009 13.072.405 5,65 -42,41 2010 30.502237 12,84 127,26

Sumber: SUSENAS 1987-2010 (diolah)

Berdasarkan data pada tabel 2 dapat diketahui perkembangan persentase defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) di Indonesia. Pemantauan perkembangan tingkat defisit energi dilakukan berdasarkan data yang tersedia dan diperoleh, walaupun tidak tercatat dengan lengkap setiap tahunnya. Pada tahun 1987 hingga tahun 2002, data yang digunakan adalah data yang tersedia dengan periode tiga tahun sekali. Hal ini disebabkan karena pada tahun 1987 hingga tahun 2002 pengambilan data yang dilakukan oleh SUSENAS secara panel. Berbeda halnya dengan data pada tahun 2002 hingga tahun 2010, pengambilan data dilakukan setiap setahun sekali. Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang tertinggi di Indonesia terdapat pada tahun 1999 dengan persentase penduduk sebesar 23,47% yaitu sebanyak 48.685.463 jiwa sedangkan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat yang terendah di

(3)

Indonesia terdapat pada tahun 2005 dengan persentase penduduk sebesar 2,01% yaitu sebanyak 4.419.025 jiwa.

Persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE <70%) setiap tahunnya selalu berubah. Pada tahun 1987 hingga tahun 1990 persentase defisit energi tingkat berat mengalami peningkatan yaitu dari 10,84% hingga menjadi 14,49% atau sebanyak 18.498.785 jiwa menjadi 25.992.017 jiwa dan pada tahun 1993 mengalami penurunan menjadi 3,27% atau sebanyak 6.184.747 jiwa. Sedangkan ada tahun 1996 hingga tahun 1999 mengalami peningkatan persentase penduduk yang defisit energi tingkat berat (TKE < 70%). Pada tahun 1996 persentase penduduk defisit energi sebesar 11,2% atau sebanyak 22.211.840 jiwa dan pada tahun 1999 sebesar 23,47% atau sebanyak 48.685.463 jiwa. Penurunan persentase yang cukup besar terjadi pada tahun 2002 dari tahun 1999 yaitu sebesar 23,47% menjadi 5,9% atau sebanyak 48.685.463 jiwa menjadi 12.442.982 jiwa, walaupun pada tahun berikutnya yaitu tahun 2003 mengalami peningkatan yaitu menjadi 10,59% atau sebanyak 22.645.762 jiwa dan mengalami penurunan kembali pada tahun 2004 dan 2005 yaitu sebesar 8,05% dan 2,01% atau sebanyak 17.454.493 jiwa dan 4.419.025 jiwa. Pada tahun 2006 kembali mengalami peningkatan kembali persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) yang cukup besar hingga menjadi 18,86% yaitu sebanyak 42.010.084 jiwa dan mengalami penurunan pesentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE < 70%) setiap tahunnya hingga tahun 2009 yaitu sebesar 5,65% atau sebanyak 13.072.405 jiwa, namun pada tahun 2010 kembali meningkat menjadi 12,84% atau sebanyak 30.502.237 jiwa. Pada periode tahun tersebut, rata-rata laju penduduk defisit energi tingkat berat (TKE <70%) sebesar 9,36%. Laju penduduk defisit energi yang mengalami penurunan terbesar terdapat pada tahun 1993 yaitu sebesar 77,43%, sedangkan laju penduduk defisit energi yang mengalami peningkatan terbesar pada tahun 2006 yaitu sebesar 838,31%. Laju rata-rata penduduk defisit energi setiap tahunnya adalah sebesar 91,67%.

Laju tersebut berubah disebabkan oleh berbagai faktor yang mempengaruhinya di antaranya perubahan kondisi ekonomi, politik, dan sosial yang telah terjadi di Indonesia. Laju peningkatan terbesar pada tahun 2006 terjadi akibat krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 sehingga mempengaruhi konsumsi pangan di Indonesia yang mengakibatkan penduduk defisit energi di Indonesia meningkat. Krisis BBM yang terjadi pada tahun 2005 tersebut

(4)

mengakibatkan semua harga barang meningkat. Dengan adanya peningkatan pada harga barang dan jasa termasuk harga pangan maka akan menyebabkan kemampuan daya beli penduduk terhadap suatu barang atau jasa akan menurun, sehingga penduduk mengurangi atau membatasi membeli barang atau jasa tersebut khususnya penurunan dalam pembelian pangan dikarenakan harga pangan yang terus meningkat. Penurunan daya beli terhadap pangan yang terjadi pada masa krisis BBM akan berdampak pada konsumsi penduduk yang menurun pula sehingga mengakibatkan kurangnya asupan energi atau defisit energi.

Persentase penduduk defisit energi tingkat berat yang tertinggi pada tahun 1999 tersebut merupakan salah satu dampak dari dari kejadian yang terjadi Indonesia yaitu krisis ekonomi yang menyebabkan konsumsi pangan masyarakat di Indonesia menurun. Krisis ekonomi merupakan suatu kondisi perekonomian di suatu wilayah mengalami ketidakstabilan. Indonesia mengalami krisis ekonomi sejak pada tahun 1997. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi di Indonesia yang akan memperaruhi peningkatan inflasi. Secara tidak langsung, peningkatan inflasi dapat berdampak terhadap harga-harga barang dan jasa terutama harga pangan seperti beras. Harga beras sangat rentan sekali terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Beras merupakan bahan pangan pokok yang sebagian besar dikonsumsi di Indonesia karena beras menyumbang energi terbesar dari kebutuhan energi yang diperlukan oleh seseorang. Tahun 1987 hingga tahun 1993 merupakan tahun sebelum terjadinya krisis ekonomi. Tahun 1996 hingga 1999 merupakan masa terjadinya krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Tahun 2002 hingga 2010 merupakan masa pasca terjadinya krisis ekonomi. Menurut Martianto (2009) pada krisis ekonomi terjadi perubahan strategis dalam pencapaian pemenuhan kebutuhan pangan. Daya beli yang menurun, masyarakat telah mengurangi pangan yang harganya mahal dan mensubstitusi dengan pangan murah. Oleh karena itu, hal tersebut dapat berdampak terhadap konsumsi energi rumah tangga di Indonesia sehingga terjadi defisit energi pada penduduk di Indonesia. Pada masa pasca terjadinya krisis ekonomi, persentase penduduk defisit energi mulai menurun. Hal tersebut diduga karena kondisi perekonomian di Indonesia mulai membaik yang dapat dilihat dengan pertumbuhan ekonomi pada masa pasca krisis ekonomi kian mengalami peningkatan. Selain itu juga pemerintah membuat program-program kebijakan umum ketahanan pangan pada masa pasca krisis ekonomi yang

(5)

membuat persentase penduduk defisit energi mulai mengalami penurunan walaupun pada tahun tertentu yang mengalami peningkatan.

Pemerintah membuat kebijakan pangan pada tahun 2006-2009 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 2006-2009 untuk mencegah dan menangani keadaaan rumah rawan pangan dan gizi. Kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan isyarat dini dan penanggulangan keadaan rawan pangan, peningkatan keluarga sadar gizi melalui penyuluhan dan bimbingan sosial dengan menyempurnakan sistem komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) dan pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga. Sedangkan kebijakan yang dilakukan pemerintah pada tahun 2014 yang tercantum dalam KUKP (Kebjakan Umum Ketahanan Pangan) 2010-2014 dalam mencegah dan menangani keadaan rumah rawan pangan hampir sama dengan kebijakan yang telah ditentukan pada tahun 2006-2009 hanya saja terdapat penambahan beberapa kebijakan. Sehingga kebijakan tersebut terdiri dari pengembangan sistem isyarat dini dan keadaan rawan pangan dan gizi, pemantauan berkala tentang perkembangan pola pangan rumah tangga karena gagal panen dan paceklik, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, pemanfaatan lahan pekarangan untuk peningkatan gizi keluarga, dan pemanfaatan cadangan pangan pemerintah di seluruh lapisan untuk dapat menanggulangi keadaan rawan pangan dan gizi.

Menurut Badan Ketahanan Pangan (2007) kondisi penduduk yang defisit energi mencerminkan bahwa pola konsumsi pangan penduduk masih harus diperbaiki, upaya perbaikan konsumsi perlu dilaksanakan secara komprehensif baik dari segi dimensi fisik (penyediaan pangan sumber karbohidrat non beras, protein, vitamin dan mineral), dimensi ekonomi maupun dimensi perbaikan gizi serta faktor-faktor lain yang mempengaruhinya, sehingga konsumsi pangan menuju beragam, bergizi seimbang dan aman (konsumsi energi kalori dengan skor PPH 100) dapat dicapai pada tahun 2015. Untuk memperbaiki kualitas konsumsi pangan penduduk menuju beragam, bergizi seimbang dan aman pada masa yang akan datang dilakukan melalui penggalian potensi pangan lokal secara maksimal, pemanfaatan pekarangan sebagai sumber gizi keluarga, tersajinya data konsumsi pangan secara periode dan berkelanjutan, peningkatan kemampuan aparat dan masyarakat dalam pengembangan konsumsi pangan beragam, bergizi seimbang serta didukung dengan promosi dan sosialisasi secara berkelanjutan. Selain itu, penanaman kesadaran pola konsumsi yang

(6)

sehat perlu dilakukan sejak dini melalui pendidikan formal dan non-formal. Dengan kesadaran gizi yang baik, masyarakat dapat menentukan pilihan pangan sesuai kemampuannya dengan tetap memperhatikan kuantitas, kualitas, keragaman dan keseimbangan gizi. Masyarakat juga dapat meninggalkan kebiasaan serta budaya konsumsi yang kurang sesuai dengan kaidaah gizi dan kesehatan. Kesadaran yang baik ini lebih menjamin terpenuhinya kebutuhan gizi masing-masing anggota keluarga sesuai dengan tingkatan usia dan aktivitasnya (DKP 2006).

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Tingkat Kemiskinan di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Kemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang mencakup banyak segi, dan ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan. Dengan demikian kemiskinan merupakan masalah bersama antara pemerintah, masyarakat dan segenap pelaku ekonomi. Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya, sedangkan faktor eksternal menunjukan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi. Oleh karenanya, program akan berjalan efektif apabila memperhatikan unsur kedua-duanya. (Makmun 2003).

Selama lebih dari tiga dekade terakhir, jumlah penduduk miskin telah banyak berkurang. Dalam periode 1970-1996, jumlah penduduk miskin di Indonesia menurun dengan cepat dari 70 juta orang (60 persen) menjadi 22 juta orang (11,3 persen). Akan tetapi, pada saat krisis ekonomi terjadi pada pertengahan tahun 1997, jumlah penduduk miskin meningkat kembali. Pada tahun 1998, jumlah penduduk miskin tercatat sebanyak 49,5 juta orang (24,2 persen). Berbagai program penanggulangan kemiskinan yang dilakuakan telah menurunkan jumlah penduduk miskin selama periode 1998-2004. Pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin di Indonesia masih 36,2 juta orang (16,7 persen). Ditinjau dari segi distribusi pendapatan, masih terlihat adanya ketidakmerataan walaupun masih tergolong rendah (BPS 2004). Data yang lebih rinci mengenai jumlah penduduk dan persentase penduduk miskin pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia disajikan pada Tabel 3.

(7)

Tabel 3 Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1987 sampai 2010

Tahun Σ Penduduk Miskin % Penduduk Miskin

1987 29.693.622 17,40 1990 27.086.221 15,10 1993 25.911.632 13,70 1996 34.646.504 17,47 1998 49.524.424 24,23 1999 48.602.489 23,43 2000 39.479.043 19,14 2001 38.291.880 18,41 2002 38.383.436 18,20 2003 37.251.102 17,42 2004 36.123.212 16,66 2005 35.110.364 15,97 2006 39.537.593 17,75 2007 37.411.444 16,58 2008 35.238.247 15,42 2009 32.738.855 14,15 2010 31.666.263 13,33 Sumber: BPS 2004-2010

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa persentase penduduk miskin di Indonesia yang tertinggi dari tahun 1987 hingga tahun 2010 terdapat pada tahun 1998 dan tahun 1999 dengan jumlah penduduk masing-masing 49.524.424 jiwa atau 24,23% dan 48.602.489 jiwa atau 23,43%. Hal tersebut disebabkan oleh dampak dari kejadian yang terjadi di Indonesia yaitu krisis ekonomi atau krisis moneter. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan mengalami puncaknya pada tahun 1998 telah mengakibatkan bertambahnya penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan. Pada periode tahun 2000-2010 jumlah penduduk miskin di Indonesia berfluktuasi dari tahun ke tahun meskipun terlihat adanya kecenderungan menurun. Pada tahun 2006 terjadi peningkatan jumlah penduduk yang miskin sebesar 17,75% atau sebanyak 39.537.593 jiwa. Namun pada tahun 2007 kembali menurun hingga tahun 2010. Peningkatan jumlah penduduk yang miskin tidak sepenuhnya terjadi kibat krisis ekonomi, melainkan sebagian terjadi karena perubahan standar yang digunakan. Jumlah penduduk miskin yang rendah selama beberapa tahun tersebut terdapat pada tahun 2010 dengan jumlah penduduk 31.666.263 jiwa atau dengan persentase penduduk miskin sebesar 13,33%. Pada masa pasca krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 (tahun 2001

(8)

hingga tahun 2010), tingkat kemiskinan di Indonesia mulai mengalami penurunan di setiap tahunnya walaupun pada tahun 2006 mengalami peningkatan. Namun pada tahun berikutnya mengalami penurunan kembali. Peningkatan tingkat kemiskinan yang terjadi pada tahun 2006 merupakan dampak dari krisis BBM yang telah terjadi pada tahun 2005. Pada saat krisis BBM terjadi, semua harga barang dan jasa mengalami peningkata sehingga kemampuan daya beli terhadap barang dan jasa pada tahun tersebut mengalami penurunan.

Penurunan tingkat kemiskinan yang terjadi pada masa pasca krisis ekonomi tersebut diduga adanya program-program pengentasan kemiskinan yang telah dilakukan pemerintah. Salah satu program yang dilakukan adalah program pengembangan masyarakat. Program-program pengembangan masyarakat, dalam pengentasan kemiskinan, yang mencakup peningkatan kapasitas masyarakat untuk bekerja sama, peningkatan keterampilan usaha dan peningkatan akses kepada sumber daya produktif, telah dilaksanakan oleh berbagai kementrian lingkup pemerintah maupun berbagai organisasi non pemerintah. Program ini diharapkan mampu meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga masyarakat miskin. Keberhasilan program tersebut memberikan peluang cukup tinggi bagi keluarga miskin untuk meningkatkan kualitas konsumsinya, ke arah pangan yang lebih beragam dan bergizi seimbang. Peluang ini akan memberikan hasil apabila disertai dengan proses penyadaran kepada mereka atas pentingnya mengkonsumsi pangan dan gizi yang seimbang, baik untuk kesehatan, produktivitas dan kecerdasan anak-anak generasi penerus mereka (DKP 2006). Hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan tingkat kemiskinan (%) di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 tersaji pada Gambar 2.

(9)

Gambar 2 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) Dengan Tingkat Kemiskinan (%) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Analisis korelasi dengan menggunakan metode Pearson menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan (r=0,589, p<0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan. Arah hubungan yang positif menunjukkan semakin tinggi nilai tingkat kemiskinan (%) di Indonesia maka semakin tinggi penduduk di Indonesia yang defisit energi (< 70%). Berdasarkan Gambar 2 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = -13,26 + 1,428x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang positif antara tingkat kemiskinan dengan persentase penduduk defisit energi (<70%) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 1,428, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan makan akan meningkatkan 1,428 kali penduduk defisit energi. Dari persamaan tersebut juga diperoleh nilai determinasi (R2) yaitu sebesar 0,347 yang memliki arti bahwa terdapat 34,7% faktor tersebut berpengaruh dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Berdasarkan hasil analisis tersebut penduduk defisit energi memiliki hubungan dengan tingkat kemiskinan di Indonesia. Dengan kata lain, masyarakat yang miskin cenderung mengalami defisit energi karena penduduk miskin tidak memiliki daya beli terhadap bahan pangan. Hal tersebut disebabkan karena penduduk miskin memiliki pendapatan yang rendah sehingga untuk membeli pangan mereka mengalami kesulitan untuk membeli bahan pangan. Konsumsi pangan merupakan faktor yang menentukan kebutuhan energi seseorang. Penduduk miskin yang mengkonsumsi pangan kurang dari

(10)

kebutuhannya maka akan memyebabkan kurangnya energi yang diperoleh dari angka kecukupan energi yang dianjurkan oleh Angka Kecukupan Gizi (AKG). Kekurangan energi tersebut yang terjadi pada penduduk miskin tersebut disebut sebagai penduduk yang defisit energi. Penduduk miskin yang mengalami kekurangan energi atau defisit energi memiliki dampak yang akan mempengaruhi pembangunan di Indonesia. Menurut Tjahjadi (2004), dampak yang ditimbulkan karena kemiskinan akan sangat berpengaruh terhadap ketahanan pangan masyarakat, karena keluarga miskin tidak mampu menyediakan pangan dalam jumlah yang cukup, aman, dan bergizi sehingga rentan terhadap rawan pangan dan rawan gizi. Sudiman (2008) menyatakan bahwa rumahtangga atau masyarakat yang tingkat konsumsi atau asupan energinya rata-rata per orang per hari <2100 kkal disebut defisit energi atau kelaparan. Keterkaitan antara kelaparan dengan kemiskinan semakin jelas, karena pijakannya sama, yakni jika pada kelaparan digunakan batas asupan energi 2100 kkal per orang per hari sebagai kebutuhan rara-rata, sementara pada kemiskinan digunakan nilai rupiah untuk memenuhi 2100 kilo kalori.

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Harga Beras di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Tahun 1984 Indonesia telah mencapai tingkat swasembada beras yang antara lain ditandai dengan meningkatnya jumlah pembelian beras dalam negeri yang mencapai 2,5 juta ton dan menyusutnya keperluaan operasi pasar tahun 1984/1985 sebesar 70 juta ton sehingga terjadi surplus cadangan beras pemerintah pada tahun 1985 (Amrullah 2003). Beras merupakan pangan pokok utama bagi masyarakat Indonesia. Data Susenas menunjukkan bahwa hampir 100% rumah tangga di Indonesia mengkonsumsi beras secara teratur pada saat survey. Secara rata-rata, beras memberikan konstribusi energi lebih dari 50% dari total konsumsi energi masyarakat Indonesia (Martianto 2009). Sampai sekarang beras masih merupakan makanan pokok bagi penduduk Indonesia pada umumnya sehingga beras mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam pola konsumsi penduduk Indonesia. Beras mengandung nilai gizi yang besar di dalamnya, maka masyarakat Indonesia sangat menggantungkan dirinya kepada beras sebagai bahan pangan pokok. Oleh karena itu berbagai daya dan upaya dilakukan oleh sebagian besar masyarakat Indonesia untuk memperoleh bahan pangan beras (Saliman 2004). Dengan dikarenakan beras sebagai bahan pangan pokok, maka harga beras memiliki

(11)

keterkaitan dengan konsumsi beras penduduk di Indonesia. Harga merupakan penentu sebagian penduduk di Indonesia dalam membeli suaru barang atau jasa. Apabila harga beras mengalami peningkatan maka penduduk akan membeli beras tersebut dengan jumlah yang sedikit. Hal tersebut akan berpengaruh terhadap konsumsi energi penduduk di Indonesia. Dengan adanya konsumsi energi yang sedikit tersebut maka dapat menyebabkan penduduk mengalami kekurangan energi atau defisit energi.

Harga beras sangat terkait dengan konsumsi energi penduduk Indonesia. Harga beras yang meningkat akan mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap beras tersebut. Penigkatan harga beras yang terjadi dapat mempengaruhi konsumsi energi yang berasal dari beras itu sendiri karena beras memberikan energi tebesar dibandingkan dengan energi yang berasal dari pangan lain. Untuk mengetahui secara rinci harga beras dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 3.

Sumber: Bulog 1990 dan 2000, BPS 2010 (diolah)

Gambar 3 Perkembangan Harga Beras di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 Berdasarkan Gambar 3 dapat diketahui perkembangan harga beras setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Harga beras yang digunakan dalam hal ini berupa harga berlaku yang diperoleh instansi terkait yaitu bulog. Harga beras yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan harga berlaku. Harga beras pada tahun 1987 hingga tahun 2010 selalu mengalami peningkatan harga setiap tahunnya walaupun ada beberapa tahun yang terkadang mengalami penurunan tetapi penurunan tersebut tidak

(12)

terlalu besar. Pada tahun 1998, harga beras mengalami peningkatan yang cukup besar daripada tahun 1997 yaitu sebesar Rp 980,5 dan meningkat mencapai Rp 1999,1 pada tahun 1998. Hal tersebut disebabkan karena pada tahun tersebut di Indonesia telah terjadi krisis ekonomi yang mempengaruhi harga beras sehingga harga beras meningkat cukup besar. Krisis ekonomi merupakan suatu keadaan perekonomian mengalami ketidakstabilan. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 menyebabkan inflasi meningkat dengan tajam yang kemudian akan mempengaruhi harga beras pada tahun 1998. Harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Amang dan Sawit (1999) bahwa selama 30 tahun terakhir, baru pada tahun 1998 Indonesia mengalami krisis beras yang paling parah yang sebelumnya pernah terjadi pada tahun 1972. Harga beras terus meningkat di satu pihak, sedangkan di pihak lain pendapatan riil masyarakat semakin berkurang dan jumlah orang miskin terus bertambah karena krisi moneter dan ekonomi yang berlangsung sejak pertengahan 1997, sehingga sebagian besar masyarakat sulit menjangkau beras yang tersedia di pasar, dan harganya tidak stabil. Berbagai kebijakan konvensional dan kebijakan baru diterapkan namun demikian belum mampu sepenuhnya meredam kenaikan harga beras dalam negeri dan memperbaiki daya beli masyarakat. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan harga beras di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan Harga Beras (Rupiah) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

(13)

Harga beras yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Analisis korelasi dengan menggunakan metode Pearson

menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=0,057, p>0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan harga beras. Tidak adanya hubungan antara persentase penduduk defisist energi dengan harga beras diduga karena adanya program-program yang dilakukan oleh pemerintah seperti program operasi pasar khusus (OPK) dan program bantuan beras miskin (raskin) yang dilakukan setelah terjadinya krisis ekonomi sehingga harga beras tidak berhubungan langsung dengan penduduk yang defisit energi. Program-program yang dilakukan tersebut dapat membantu penduduk miskin untuk memperoleh bahan pangan pokok berupa beras. Sehingga apabila terjadi peningkatan pada harga beras, masyarakat miskin masih dapat membeli bahan pangan pokok tersebut karena sebagian harga dari bahan pangan pokok tersebut sudah mendapatkan subsidi dari pemerintah. Oleh karena itu, penduduk masih dapat mengkonsumsi bahan pangan pokok yang berupa beras untuk mencukupi energi di dalam tubuhnya.

Program RASKIN merupakan salah satu program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang diluncurkan Oktober 2001. Program ini pengganti program Operasi Pasar Khusus (OPK) Beras, yang diadakan untuk menanggulangi dampak krisis ekonomi 1998 yang sudah diluncurkan sejak 1 Juli 1998. Semula jumlah beras hanya 10 kilogram per keluarga, namun sejak Desember 2002 dinaikkan menjadi 20 kilogram per keluarga. Sejak mulai diluncukan harga beras itu tetap sama, yaitu Rp 1.000 per kilogram. Beras miskin (RASKIN) pada dasarnya adalah beras murah yaitu yang harga jualnya kepada masyarakat telah disubsidi oleh pemerintah, yang diberikan kepada keluarga prasejahtera dan sejahtera satu. Penetapan jumlah keluarga miskin yang berhak menerima RASKIN adalah sesuai dengan ketentuan pemerintah dalam hal ini Menko Kesra yaitu berdasarkan data dari BPS dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Kebijakan ini diambil oleh pemerintah agar dalam memberikan subsidi dan mengupayakan bantuan, dapat disalurkan tepat mencapai sasaran (Saliman 2004).

Harga beras yang selalu mengalami perubahan akibat adanya pergeseran inflasi diperlukan stabilitas harga beras. Sebelumnya telah dijelaskan bahwa harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di

(14)

Indonesia. Menurut Arifin (2007) stabilitas harga menjadi salah satu dimensi yang penting dalam ketahanan pangan karena dapat menimbulkan konsekuensi ekonomi, politik, dan sosial kemasyarakatan yang berat. Indonesia dan negara-negara berkembang lain melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok dengan menjaga atau mengurangi tingkat fluktuasi harga agar tidak terlalu besar. Fluktuasi harga pangan dan komoditas pertanian umumnya terjadi antarwaktu karena pengaruh iklim dan cuaca (seasonal variations) serta perbedaan waktu tanam dan waktu panen yang berkisar tiga bulan atau lebih. Fluktuasi harga yang cenderung mengarah pada instabilitas harga pangan juga terjadi karena pengaruh lokasi dan wilayah produksi dan konsumsi.

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Inflasi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Krisis moneter yang melanda Indonesia diawali dengan terdepresiasinya secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing (terutama dolar Amerika), akibat adanya domino effect dari terdepresiasinya mata uang Thailand (bath), salah satunya telah mengakibatkan terjadinya lonjakan harga barang-barang yang diimpor Indonesia dari luar negeri. Lonjakan harga barang-barang-barang-barang impor ini, menyebabkan harga hampir semua barang yang dijual di dalam negeri meningkat baik secara langsung maupun secara tidak langsung, terutama pada barang yang memiliki kandungan barang impor yang tinggi. Karena gagal mengatasi krisis moneter dalam jangka waktu yang pendek, bahkan cenderung berlarut-larut, menyebabkan kenaikan tingkat harga terjadi secara umum dan semakin berlarut-larut. Akibatnya, angka inflasi nasional melonjak cukup tajam. Lonjakan yang cukup tajam terhadap angka inflasi nasional yang tanpa diimbangi oleh peningkatan pendapatan nominal masyarakat, telah menyebabkan pendapatan riil rakyat semakin merosot. Pendapatan per kapita penduduk juga merosot relatif sangat cepat, yang mengakibatkan Indonesia kembali masuk dalam golongan negara miskin. Hal ini telah menyebabkan semakin beratnya beban hidup masyarakat, khususnya pada masyarakat strata ekonomi bawah. Jika melihat begitu dasyatnya pengaruh lonjakan angka inflasi di Indonesia (akibat dari imported inflation yang dipicu oleh terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing) terhadap perekonomian nasional, maka dirasa perlu untuk memberikan perhatian ekstra terhadap masalah inflasi ini dengan cara mencermati kembali teori-teori yang membahas tentang inflasi; faktor-faktor yang

(15)

menjadi sumber penyebab timbulnya inflasi di Indonesia; serta langkah-langkah apakah yang sebaiknya diambil untuk dapat keluar dari perangkap inflasi ini (Atmadja 1999). Untuk mengetahui secara rinci inflasi dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 5.

Sumber: BPS 2005

Gambar 5 Perkembangan Inflasi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 Berdasarkan Gambar 5 dapat diketahui perkembangan inflasi setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Inflasi pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif konstan walaupun terdapat di beberapa tahun yang mengalami penurunan maupun peningkatan. Pada tahun 1998, inflasi di Indonesia meningkat tajam yang disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter. Peningkatan inflasi tersebut dapat dibilang merupakan peningkatan yang sangat tajam dari nilai inflasi sebesar 11,1% pada tahun 1997 kemudian meningkat menjadi 77,6% pada tahun 1998. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia menyebabkan kondisi perekonomian di Indonesia mengalami ketidakstabilan. Ketidakstabilan ekonomi tersebut menyebabkan inflasi di Indonesia mengalami pergeseran atau perubahan yang sangat tajam. Namun pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1999 atau pada masa pasca krisis ekonomi nilai inflasi di Indonesia mengalami penurunan yang cukup besar. Selama masa pasca krisis ekonomi, inflasi di Indonesia tidak mengalami peningkatan yang sangat besar lagi. Dapat dibilang inflasi pada masa pasca krsisis ekonomi terbilang konstan walaupun terjadi peningkatan dan penurunan, namun peningkatan dan penurunan tersebut tidak terlalu besar.

(16)

Pada tahun 2005, inflasi di Indonesia mengalami peningkatan dari tahun 2004 yaitu dari 6,4% hingga mencapai 17,11%. Peningkatan tersebut diduga disebabkan oleh krisis BBM yang terjadi diIndonesia pada tahun 2005 sehingga nilai inflasi di Indonesia pada tahun tersebut mengalami peningkatan. Peningkatan inflasi yang terjadi di Indonesia sangat berpengaruh terhadap penigkatan harga-harga barang dan jasa yang berlaku.

Menurut Atmadja (1999) menyatakan bahwa laju inflasi bukanlah suatu standar yang secara mutlak dapat mengindikasikan parah tidaknya dampak inflasi bagi perekonomian di suatu wilayah tertentu, sebab hal itu sangat bergantung pada berapa bagian dan golongan masyarakat manakah yang terkena imbas (yang menderita) dari inflasi yang sedang terjadi. Fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari permasalahan ekonomi makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat.

Inflasi yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan inflasi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Analisis korelasi dengan menggunakan metode korelasi Pearson

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang kuat dan signifikan (r=-0,530, p<0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan tingkat kemiskinan.

(17)

Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai tingkat inflasi (%) di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi (<70%). Berdasarkan Gambar 6 dapat diketahui bahwa persamaan garis yang diperoleh adalah y = 16,99 - 0,839x sehingga dapat disimpulkan terdapat hubungan yang negatif antara tingkat inflasi dengan persentase penduduk defisit energi (<70%) (ditandai dengan nilai slope yang positif). Koefisien regresi persamaan tersebut adalah 0,854, artinya setiap kenaikan tingkat kemiskinan sebesar 1 satuan makan akan meningkatkan 0,854 kali penduduk defisit energi. Dari persamaan tersebut juga diperoleh nilai determinasi (R2) yaitu sebesar 0,283 yang memliki arti bahwa terdapat 28,3% faktor tersebut berpengaruh dan sisanya dijelaskan oleh faktor lain. Hasil korelasi tersebut memiliki hasil yang negatif yaitu semakin tinggi tingkat inflasi maka penduduk defisit energi semakin meningkat. Hal tersebut diduga disebabkan oleh program-program yang dilakukan oleh pemerintah seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilaksanakan di Indonesia mencakup 5 bidang, yaitu pangan, tenaga kerja, pendidikan, kesehatan, dan modal usaha. Total anggaran yang dialokasikan untuk program itu selama tahun 1998 adalah Rp 17,5 triliun. Dana itu dihimpun dari ADB, Bank Dunia, UNICEF, masyarakat dan pemerintah.JPS akan dialokasikan secara langsung dan mengenai sasaran, yakni masyarakart miskin kurang mampu, pekerja terkena PHK, atau masyarakat yang kurang gizi (Kataren 2004). Program JPS ini dapat membantu penduduk miskin untuk memperoleh jaminan yang berupa pangan. Dengan adanya program JPS, masyarakat miskin masih bisa memperoleh bahan pangan pokok berupa beras yang akan dikonsumsi oleh mereka. Walaupun inflasi di Indonesia meningkat, dengan adanya program JPS ini maka dapat memperoleh makanan makanan. Inflasi sangat berpengaruh terhadap harga barang dan jasa terutama pada harga beras. Harga beras sangat rentan terhadap pergeseran inflasi yang terjadi di Indonesia. Salah satu program dari jarring Pengaman Sosial adalah Operasi Pasar Khusus (OPK) dan beras miskin (RASKIN). Program tersebut memberikan subsidi kepada harga beras sehingga penduduk miskin masih bisa membeli harga beras tersebut dengan harga yang murah. Jadi walaupun harga beras meningkat akibat peningkatan inflasi, maka penduduk miskin masih bisa membeli beras untuk dikonsumsi melalui program Jaring Pengaman Sosial (JPS) yang dilakukan oleh pemerintah.

(18)

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama atau suatu keharusan bagi kelangsungan pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan. Karena jumlah penduduk bertambah setiap tahun yang dengan sendirinya kebutuhan konsumsi sehari-hari juga bertambah setiap tahun, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Selain dari sisi permintaan (konsumsi), dari sisi penawaran, pertumbuhan penduduk juga membutuhkan pertumbuhan kesempatan kerja (sumber pendapatan). Pertumbuhan ekonomi tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan ketimpangan dalam pembagian dari penambahan pendapatan tersebut (Cateris Paribus), yang selanjutnya akan menciptakan suatu kondisi pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan kemiskinan. Pemenuhan kebutuhan konsumsi dan kesempatan kerja itu sendiri hanya bisa dicapai dengan peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau PDB yang terus menerus (Tambunan 2003). Untuk mengetahui secara rinci pertumbuhan ekonomi dan perkembangannya pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 7.

Sumber: BPS 2009

Gambar 7 Perkembangan Laju Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010

Berdasarkan Gambar 7 dapat diketahui perkembangan pertumbuhan ekonomi setiap tahunnya di Indonesia mulai dari tahun 1987 hingga tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif konstan

(19)

walaupun terdapat di beberapa tahun yang mengalami penurunan maupun peningkatan. Pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi di Indonesia menurun tajam yang disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu kondisi dimana perekonomian di Indonesia mengalami ketidakstabilan. Penurunan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dibilang merupakan penurunan yang sangat tajam dari nilai pertumbuhan ekonomi sebesar 4,7% pada tahun 1997 kemudian menurun sangat tajam menjadi 13,13% pada tahun 1998. Namun pada tahun berikutnya yaitu pada tahun 1999 nilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia mengalami peningkatan yang cukup besar yaitu sebesar 0,79% dan pada tahun-tahun berikutnya juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Pada masa pasca krisis ekonomi yaitu pada tahun 2000 hingga tahun 2010, perumbuhan ekonomi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun walaupun terdapat peningkatan di tahun-tahun tertentu. Pada masa krisis ekonomi, keadaan ekonomi di Indonesia sangat tidak stabil yang akan berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Pada masa pasca krisis ekonomi, kondisi perekonomian mulai membaik dan mengalami kestabilan.

Menurut Aji (2005) pertumbuhan ekonomi di negara Indonesia, tidak dapat dilepaskan dari perubahan-perubahan yang terjadi pada sistem perekonomian dunia. Liberalisasi perdagangan dan globalisasi ekonomi telah mempercepat laju pertumbuhan negara-negara tersebut. Perubahan tersebut yang disertai teknologi dan telekomunikasi telah mendorong berkurangnya hambatan-hambatan lalu lintas barang dan modal antar negara. Pertumbuhan ekonomi selama ini telah memberikan dampak perubahan terhadap kontribusi maupun laju pertumbuhan sektor-sektor ekonomi. Struktur perekonomian Indonesia terus mengalami perubahan mengikuti struktur perekonomian yang lazim di negara-negara maju, dimana kontribusi sektor-sektor tradisional, seperti sektor pertanian dan sektor pertambangan terhadap PDB semakin lama semakin berkurang, digantikan oleh sektor-sektor modern, seperti industri pengolahan dan jasa-jasa, seperti perdagangan, hotel, dan restoran.

Pertumbuhan ekonomi yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit

(20)

energi (< 70%) dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (< 70%) dengan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Berdasarkan hasil analisis korelasi dengan menggunakan metode

Pearson menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=-0,435, p>0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan pertumbuhan ekonomi. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai pertumbuhan ekonomi di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi (< 70%). Pertumbuhan ekonomi akan menciptakan keberlangsungan pembangunan ekonomi serta peningkatan kesejahteraan dapat tercapai

.

Pertumbuhan ekonomi mengindikasikan pendapatan masyarakat sehingga jika pertumbuhan ekonomi baik maka pendapatan masyarakat dapat dikatakan baik. Berdasarkan hasil korelasi tidak terdapat hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan penduduk defisit energi. Hal tersebut di duga karena pada prakteknya tidak semua penduduk yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan tambahan pendapatannya untuk makanan guna memenuhi kebutuhan gizi, tidak jarang dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status sosial ketimbang kebutuhan makanan yang bergizi (Sudiman 2008). Hal tersebut sesuai dengan Hukum Engel yang menyatakan dengan asumsi selera seseorang adalah tetap, proporsi pengeluaran rumah tangga untuk pangan atau semakin kecil seiring dengan semakin meningkatnya pendapatan.

(21)

Menurut Tarigan (2005), pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat yang terjadi di suatu wilayah, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah yang terjadi di daerah tersebut. Pertambahan pendapatan itu diukur dengan nilai riil, artinya dinyatakan dengan harga konstan. Hal itu juga menggambarkan balas jasa bagi faktor-faktor produksi beroperasi di wilayah tersebut yang berarti secara kasar dapat menggambarkan kemakmuran daerah tersebut. Kemakmuran suatu wilayah selain ditentukan oleh besarnya nilai tambah yang tercipta di suatu wilayah tersebut juga ditentukan oleh seberapa besar terjadi transfer-payment yang bagian pendapatan yang mengalir ke luar wilayah atau mendapat aliran dana dari luar wilayah.

Hubungan Persentase Penduduk Defisit Energi dengan PDB per kapita di Indonesia Tahun 1987 sampai 2010

Produk Domestik Bruto (PDB) merupakan salah satu indikator penting untuk mengetahui kondisi ekonomi di suatu negara dalam suatu periode tertentu, baik atas dasar harga berlaku maupun atas dasar konstan. PDB pada dasarnya merupakan jumlah nilai tambah yang dihasilkan oleh seluruh unit usaha dalam suatu negara tertentu, atau merupakan jumlah nilai barang dan jasa akhir yang dihasilkan oleh seluruh unit ekonomi. Perkembangan ekonomi dihitung berdasarkan perkembangan Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dapat dihitung melalui pendekatan produksi, pengeluaran, pendapatan. PDB lazim disajikan menurut lapangan usaha (sektoral) dan menurut komponen penggunaan atas dasar harga berlaku dan atas dasar harga konstan (BPS 2005).

Penelitian ini menggunakan PDB per kapita dengan harga konstan. PDB dengan harga tetap atau PDB riil, yaitu nilai barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam suatu tahun dinilai menurut harga yang berlaku pada suatu tahun tertentu yang seterusnya digunakan untuk menilai barang dan jasa yang dihasilkan pada tahun-tahun lain Angka-angka PDB merupakan hasil perkalian jumlah produksi (Q) dan harga (P), kalau harga-harga naik dari tahun ke tahun karena inflasi, maka besarnya PDB akan naik pula, tetapi belum tentu kenaikan tersebut menunjukkan jumlah produksi (PDB riil). Mungkin kenaikan PDB hanya disebabkan oleh kenaikan harga saja, sedangkan volume produksi tetap atau merosot (BPS 2005). Untuk mengetahui secara rinci grafik perkembangan PDB per kapita pada tahun 1987 hingga 2010 di Indonesia dapat dilihat pada Gambar 9.

(22)

Sumber: IMF (International Monetary Fund)

Gambar 9 Perkembangan PDB per Kapita di Indonesia pada Tahun 1987 sampai 2010 Berdasarkan gambar 9 dapat diketahui perkembangan PDB per kapita di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010. Nilai PDB per kapita di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun walaupum pada tahun 1998 mengalami penurunan dan meningkat kembali pada tahun-tahun berikunya. . PDB per kapita pada tahun 1987 hingga tahun 2010 relatif meningkat walaupun terdapat di tahun 1998 dan 1999 menurun, namun pada tahun berikutnya terus meningkat hingga tahun 2010. PDB per kapita pada tahun 1997 sebesar Rp 7.482.391 yang kemudian mengalami penurunan pada tahun 1998 menjadi Rp 6.403.538 dan pada tahun 1999 mengalami penurunan kembali menjadi Rp 6.359.468. Pada tahun 1998, PDB per kapita di Indonesia menurun disebabkan oleh kejadian krisis ekonomi atau krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia merupakan suatu kejadian yang membuat perekonomian di Indonesia mengalami ketidakstabilan. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Tambunan (2003) yang menyatakan bahwa krisis ekonomi yang melanda Indonesia membuat “keajaiban Indonesia” selama pemerintahan Soeharto menjadi tidak ada artinya lagi. Sektor keuangan perbankan yang pada masa Orde Baru berkembang sangat (bahkan terlalu) pesat hancur sama sekali. Penurunan PDB per kapita tersebut dapat dibilang

(23)

merupakan penurunan yang tidak terlalu tajam. Setelah terjadinya krisis ekonomi, pada tahun 2000 Indonesia kembali menata keadaan ekonominya sehingga PDB pada tahun 2000 mengalami peningkatan dari tahun 1999 yaitu sebesar Rp 6.775.003. Peningkatan tersebut tidak terlalu tajam namun selalu mengalami peningkatan pada setiap tahunnya hingga tahun 2010.

PDB per kapita yang berkembang di Indonesia pada tahun 1987 hingga tahun 2010 dapat berpengaruh terhadap konsumsi pangan masyarakat di Indonesia. Untuk mengetahui hubungan antara persentase penduduk defisit energi (< 70%) dengan pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada tahun 1987 hingga 2010 dapat dilihat pada Gambar 10.

Gambar 10 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE < 70%) dengan PDB per kapita di Indonesia Pada Tahun 1987-2010

Berdasarkan hasil analisis korelasi dengan menggunakan metode korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak adanya hubungan yang nyata (r=-0,102, p>0,05) antara persentase penduduk defisit energi dengan PDB per kapita. Arah hubungan yang negatif menunjukkan semakin tinggi nilai PDB per kapita di Indonesia maka semakin rendah penduduk di Indonesia yang defisit energi tingkat berat (TKE < 70%). Berdasarkan hasil analisis penduduk defisit energi tidak memliki hubungan dengan PDB per kapita. PDB per kapita menggambarkan kondisi perekonomian di Indonesia. Jika PDB per kapita meningkat maka kondisi perekonomian di Indonesia membaik. Namun pada kenyataannya walaupun keadaan perekonomian membaik, penduduk di Indonesia masih mengalami kemiskinan. Dengan kata lain, penduduk yang kaya

(24)

akan semakin kaya sedangkan penduduk yang miskin akan semakin miskin. Penduduk miskin memiliki daya beli yang rendah terhadap barang dan jasa khsusnya terhadap pangan. Oleh karena itu penduduk defisit energi tidak memiliki hubungan dengan PDB per kapita.

Menurut Tambunan (2003) peningkatan jumlah wilayah Produk Domestik Bruto (PDB) pada suatu sering kali menyatakan pertumbuhan ekonomi. Produk Domestik Bruto adalah total nilai akhir dari seluruh barang dan jasa yang dihasilkan oleh suatu negara dalam periode waktu tertentu. Produk Domestik Bruto mencakup jumlah konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan ekspor bersih di negara tersebut. Penduduk yang tingkat pendapatannya meningkat tidak selalu membelanjakan tambahan pendapatannya untuk makanan guna memenuhi kebutuhan gizi, tidak jarang dibelanjakan untuk barang yang dapat meningkatkan status sosial ketimbang kebutuhan makanan yang bergizi (Sudiman 2008).

Gambar

Tabel 2 Persentase penduduk defisit energi tingkat berat (TKE &lt; 70%) di Indonesia pada   tahun 1987 sampai 2010  Tahun  AKG  (kkal)  Σ Penduduk Defisit Energi (&lt; 70%)  Persentase  Penduduk Defisit  Energi (&lt; 70%)  Laju Penduduk Defisit Energi  (&l
Tabel 3 Persentase penduduk miskin di Indonesia tahun 1987 sampai 2010
Gambar 2 Hubungan Antara Persentase Penduduk Defisit Energi (TKE &lt; 70%)  Dengan  Tingkat Kemiskinan (%) di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
Gambar  6  Hubungan  Antara  Persentase  Penduduk  Defisit  Energi  (TKE  &lt;  70%)  dengan  Inflasi di Indonesia Pada Tahun 1987-2010
+5

Referensi

Dokumen terkait

Seperti yang dikatakan oleh Ranupandojo dan Husnan (2006:197) bahwa, “Menjadi salah satu tugas dari seorang pemimpin untuk bisa memberikan motivasi (dorongan)

Edjaan dan spekulasi dari praktik ini artinya, termasuk di perpustakaan sendiri di bawah, contoh notice di perpustakaan beserta artinya memprakirakan basil pucuk teh tahunan..

Halaman ini berisi hasil seleksi Penerimaan Peserta Didik Baru SMA/K SMA Zonasi - SMK Reguler di Dinas

Rina Yanti NIM: 1401160353 Jurusan Perbankan Syariah Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Antasari Banjarmasin (2018) dengan judul “ Penerapan Akuntansi Syariah PSAK 105 Produk

Untuk mengetahui hasil akhir atau evaluasi hasil proses percobaan dari formulasi konsentrasi frozen mousses, Jelly mousses, dan creamy mousses dengan menggunakan standar

Terhadap berbagai upaya yang bisa dilakukan dalam mewujudkan pelokalan kebijakan HAM di daerah sebagaimana telah disebutkan di atas, maka terhadap perlindungan, pemajuan,

Tujuan khusus dari penelitian ini antara lain: (a) melihat gambaran indikasi apa saja yang menunjukkan sebuah identitas penanda dari batu meja di Desa Waeyasel yang

Dengan mengusung tema yang ditujukan untuk memberi informasi bagi pelajar atau mahasiswa maupun masyarakat umum, dengan bangga kami mempersembahkan sebuah acara