• Tidak ada hasil yang ditemukan

pemerintah pusat yang diharapkan segera diwujudkan di kawasan kepulauan Natuna Barat. ILyas sabli

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "pemerintah pusat yang diharapkan segera diwujudkan di kawasan kepulauan Natuna Barat. ILyas sabli"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

GDN Online, -Natuna, Menilik potensi SDA dan letak geografis, kawasan kepulauan Natuna selayaknya kawasan ini dijadikan pusat perikanan bagian utara Indonesia. Pusat perikanan ini meliputi pusat pelabuhan usaha perikanan tangkap, pusat pengembangan perikanan budidaya dan pusat industri pengolahan hasil perikanan. Hal ini diungkapkan Bupati Natuna Drs H Ilyas Sabli, M.si menjawab Garda Nusantara.

“Ada beberapa alasan Kepulauan Natuna layak menjadi pusat perikanan, Letak geografis kawasan ini berdekatan dengan

Trengganu-Malaysia,

Vietnam, Thailand, Singapura dan jalur sutra China,

terbukti kapal ikan yang beroperasi di laut Natuna berasal dari Negara-negara tersebut.

Alasan kedua sebelum terbentuk kabupaten Natuna hubungan masyarakat kepulauan Natuna barat dengan Negara tetangga sangat erat, ada

perdagangan lintas batas khususnya perdagangan hasil tangkapan ikan, hasil ikan budidaya, Hasil bumi maupun ternak.

Alasan ketiga hasil perikanan saat ini hanya dinikmati pengusaha perikanan tangkap asal Negara

tetangga, sementara nelayan Natuna hanya nelayan tradisonal yang menangkap dengan cara manual ” Terang Ilyas Sabli.

Kondisi ini membuat masyarakat kepulauan Natuna belum merdeka meski Indonesia sudah merdeka 69 tahun yang lalu, merdeka ini dalam

pengertian merdeka dari ketidak mampuan

memanfaatkan sumber daya alam dan merdeka dari ketertinggalan pembangunan dalam semua sector,

Khususnya sector perikanan. “Agar masyarakat Natuna bisa menikmati kemerdekaan dan menikmati multiplayer efek dari sumberdaya alam kelautan dan perikanan, maka pusat perikanan menjadi salah satu kebijakan

pemerintah pusat yang diharapkan segera diwujudkan di kawasan kepulauan Natuna Barat.” ILyas sabli

Kawasan Pulau Tiga misalnya sangat layak untuk dijadikan kawasan pengembangan budidaya perikanan, usaha ini sudah ditekuni nelayan dikawasan ini sejak puluhan tahun, hasil budidaya perikanan kawasan ini merupakan primadona dunia untuk kategori ikan kosumsi yang termahal yakni Ikan jenis Napoleon, harga perkilo saat ini mencapai 1 juta di tingkat pembudidaya selain itu, jenis kerapu yang harganya mencapai 150 hingga 200 ribu perkilo juga di budidayakan.

“Saat ini ratusan nelayan budidaya di Pulau Tiga dan Sedanau Bunguran Barat telah menikmati hasil budidaya mereka, rata -rata kehidupan ekonomi mereka jauh lebih baik, sayangnya ribuan nelayan tradisonal lainnya masih belum menikmati kesejahteraan

Potensi Laut Natuna bagian 3

Natuna Layak Jadi Minapolitan, Pusat Harus Serius !

Bupati Natuna Drs Ilyas Sabli

(2)

serupa karena akses modal dan akses ketrampilan belum sepenuhnya menjangkau nelayan tradisonal ini, untuk itulah peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat dibutuhkan agar jumlah nelayan tradisonal bisa naik kelas. Nelayan ini butuh regulasi agar kemapuan mereka bisa ditingkatkan baik kemampuan ekonomi maupun kemampuan

ketrampilan budidaya. Meski masih dengan cara tradisonal hasil budidaya ini saat ini langsung ditampung oleh kapal dari Hongkong yang dalam satu bulan 2 kali mengunjungi Pulau Tiga dan Sedanau ”. terang Nato Pengusaha Perikanan di Natuna

Meski kapal dari Hongkong rutin mengunjungi kawasan Natuna Barat tetapi di kawasan ini belum memiliki pelabuhan perikanan, wal hasil kapal hongkong hanya bisa berlabuh di tengah laut dan masyarakat

pembudidaya yang menjual hasil budidaya mengantar ke kapal masing-masing dengan pompong.

Kondisi ini menggelitik Pengamat perikanan propinsi Kepri Dwi Purnomo. kepada Garda Nusantara pria yang sering di sapa Cak Pur ini mengungkapkan

keprihatinannya. “ Kawasan kabupaten Natuna memang memiliki potensi perikanan yang besar sayangnya potensi ini belum menjadi prioritas

pembangunan kabupaten Natuna, potensi ini juga belum diperhatikan serius propinsi Kepri apalagi pemerintah pusat, padahal jika pemerintah daerah baik kabupaten maupun propinsi serius saya Yakin pemerintah pusat juga akan serius. Untuk memanfaatkan potensi ini banyak investor yang siap menanamkan modalnya, tetapi mereka ini butuh 3 hal yaitu infrastruktur,

perlindungan dan

keuntungan.” Tegas cak Pur. Yang dimaksud investor butuh infrastruktur itu adalah tersedianya

pelabuhan perikanan yang dilengkap, pelabuhan yang mampu mensuplai

kebutuhan kapal ikan yang beroperasi di Natuna, kebutuhan itu antara lain Air Tawar, Bahan Bakar Minyak, dan kebutuhan ABK kapal atau Ransum, bagaimana kapal mau berlabuh di Natuna jika kebutuhan mereka tidak tersedia? Harusnya pemerintah sigap menangkap peluang itu. Kemudian yang dimaksud dengan perlindungan maksudnya setiap kapal ikan yang beroperasi di Natuna harus dilindungi keamananya baik melalui perizinan

maupun secara fisik ketika beroperasi dilaut, Nelayan kita tidak mampu bersaing di Laut dengan Kapal ikan asing. Kapal ikan asing itu

dilindungi oleh angkatan laut negaranya, Malaysia

misalnya mereka mengawal kapal ikan yang beroperasi di laut zona ZEEnya, begitu juga Thailand Vietnam bahkan China. Sementara nelayan kita justru mendapat perlakuan terbalik, meraka merasa tidak aman dilautnya sendiri karena ulah segelintir oknum yang bukan

melindungi justru memalak mereka di tengah laut. Ini kan ironis” tegas Cak Pur bersemangat.

(3)

Kemudian yang ketiga investor itu butuh untung, tak ada bisnis yang tak mengejar untung, jadi pemerintah harus memberikan kepastian misalnya penetapan pajak yang jelas atas usaha perikanan, kalau perlu diminimalkan, agar keuntungan investor

terjamin, juga perizinan yang tidak rumit tanpa pungutan liar.serta regulasi yang konsisten

Jika ketiga hal ini terpenuhi saya yakin pengusaha yang bergerak di bidang

penangkapan ini akan berbondong-bondong ke Natuna, siapa sih yang tidak mau untung? Coba

bayangkan selama ini kapal ikan asing asal Thailand Vietnam, Malaysia, China yang beroperasidi laut Natuna mereka mengandalkaan suplai kebutuhanya dari Negara masing-masing yang jarak cek pointnya diatas 300 mil, itu kan chosnya tinggi, begitu juga ketika mereka sudah mendapatkan hasil ikannya juga harus balik dengan jarak tempuh yang jauh. Nah kalau peluang ini ditangkap

pemerintah dengan menyediakan pelabuhan perikanan yang memadai di Natuna maka investor akan

lebih memilih berlabuh di Natuna sebagai cek point untuk memenuhi

perbekalannya.

Begitu juga dengan nelayan asal karimun, Muara baru Jakarta, Tegal jateng, dan Kalbar mereka juga harus mengandalkan suplai perbekalan dari cekpoint masing-masing yang juga jaraknya diatas 300 mil. Kalau potensi ini disikapi dengan benar dan disiapkan regulasi yang baik tentu akan menimbulkan multi efek player secara ekonomi kepada masyarakat Natuna. Jadi alangkah ironinya jika pemerintah Indonesia tidak mau membantu pemerintah dan masyarakat Natuna yang wilayahnya telah membantu Indonesia dari sector Migas. Selain akses permodalan dan sarana serta infrastruktur penunjang lainnya di Nelayan Natuna juga di laut Natuna harus kalah bersaing dengan pencuri ikan yang dilakukan berbagai kapal ikan asing. Kondisi ini sangat merugikan Indonesia sehingga perkiraan kerugian negara "illegal, unreported, and unregulated fishing" (IUU Fishing) dapat mencapai Rp 101 triliun per tahun.

"Sebelumnya, estimasi kerugian akibat IUU Fishing per tahun oleh FAO

(Organisasi Pertanian dan Pangan Dunia) kurang lebih Rp30 triliun per tahun," kata Sekretaris Ditjen

Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan KKP Ida Kusuma Wardhaningsih di Jakarta kepada wartawan. Data yang diumumkan FAO tahun 2001 menyatakan bahwa negara-negara berkembang berpotensi kehilangan 25 persen dari stok sumber daya ikannya akibat dari IUU Fishing. Indonesia pada saat itu memiliki sumber daya ikan hingga sebesar 6,5 juta ton per tahun sehingga

perhitungan angka kerugian yang hilang adalah

seperempat dari jumlah itu atau sebesar 1,6 juta ton.

KIA yng ditangkap DKP

(4)

Jika diasumsikan harga jual ikan di pasar internasional rata-rata 2 dolar AS per kilogram, maka kerugian Indonesia pada saat itu diperkirakan mencapai 3,2 miliar dolar AS atau setara Rp30 triliun ketika itu. Namun pada saat ini, Ditjen PSDKP KKP melakukan kajian yang menyatakan bahwa total kerugian negara per tahun dapat dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara ilegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait

ketenagakerjaan. Ditjen PSDKP

mengemukakan bahwa hasil dari perhitungan tersebut mencapai sekitar Rp101 triliun. Pemerintah dinilai kehilangan nilai ekonomis dari ikan yang dicuri, Pungutan Hasil Perikanan (PHP) yang hilang, subsidi BBM yang dinikmati kapal perikanan yang tidak berhak, Unit Pengolahan Ikan (UPI) kekurangan pasokan bahan baku, sehingga melemahkan upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan daya saing produk perikanan, serta mata pencaharian nelayan skala kecil yang kalah bersaing dengan kapal asing.

Selain itu, terdapat pula aspek kerugian lainnya yaitu dari aspek ekologis antara lain kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya, yang disebabkan oleh penggunaan alat penangkap ikan dan atau alat bantu penangkapan ikan (API/ABPI) yang tidak ramah lingkungan.

"IUU fishing merupakan salah satu penyebab kapasitas UPI yang sudah dibangun hanya

termanfaatkan sekitar 30-50," katanya.

Di samping itu, ujar Ida, praktek IUU fishing

menyebabkan kesulitan bagi otoritas pengelolaan

perikanan untuk

mendapatkan data potensi sumber daya perikanan yang akurat, untuk mengatur kuota pemanfaatan sumber daya perikanan.

Ia juga berpendapat bahwa kerugian lain yang tidak kalah penting adalah menimbulkan citra negatif bangsa Indonesia, karena Indonesia dianggap tidak mampu mengelola sumber

daya kelautan dan

perikanannya dengan baik. Menurut dia, bila pihaknya telah dapat memiliki data kajian yang riil dan komprehensif, maka tidak tertutup kemungkinan misalnya dilakukan jeda atau moratorium penangkapan ikan sebagaimana telah dilakukan di kehutanan. KKP mengakui kemampuan untuk mengawasi pencurian ikan atau "Illegal,

Unreported, and

Unregulated Fishing"/IUU Fishing" di kawasan perairan Republik Indonesia masih terbatas. "Kemampuan pengawasan di laut sangat terbatas dibanding

kebutuhan untuk mengawasi daerah rawan IUU Fishing," katanya.

Menurut dia, keterbatasan kemampuan untuk

mengawasi perairan juga terlihat antara lain dengan masih belum adanya kapal KKP yang bisa beroperasi misalnya di selatan laut Jawa. Ia memaparkan, jumlah kapal yang diperiksa karena dicurigai terlibat IUU Fishing dilaporkan menurun seiring dengan berkurangnya jumlah hari operasi kapal pengawas, padahal kinerja operasi kapal pengawas perikanan terkait

(5)

erat dengan jumlah hari operasi.

Berdasarkan data KKP, ujar dia, sampai dengan tahun 2014 jumlah kapal pengawas perikanan yang dimiliki institusi tersebut adalah sebanyak 27 unit. Ia memaparkan, pada tahun 2012 hari operasional pengawasan adalah

sebanyak 180 hari pelayaran, sedangkan pada 2013 hari operasional menurun menjadi 115 hari pelayaran. Sementara jumlah kapal yang diperiksa juga menurun dari 4.326 unit kapal pada 2012 menjadi 3.871 kapal. Khusus di Natuna saja, menurut data kejakasaan negri Ranai selama periode 2010 hingga 2014 ratusan kapal ikan asing ditangkap. “ KIA yang ditangkap di laut Natuna dan diproses hingga pengadilan adhock

perikanan, pada tahun 2010 ada 34 KIA, pada tahun 2011 ada 27, tahun 2012 ada 12, Tahun 2013 5 dan hingga juli 2014 sudah 17 KIA yang di tangkap dan diproses hukum, semua Kapal ikan asing ini hasil tangkapan jajaran DKP dan TNI AL” terang Bambang Widianto SH Kasipidsus Kejaksaan Negri Ranai di Natuna menjawab

Gardanusantara online.com

Sedangkan bila dilihat secara terperinci pada 2013, menurut data DKP pusat jumlah kapal ikan asing yang ditahan (tidak hanya sekadar diperiksa) adalah sebanyak 44 unit kapal, sedangkan jumlah kapal ikan indonesia sebanyak 24 unit.

Perairan Kalimantan Barat khususnya laut Natuna masih menjadi daya tarik kapal-kapal asing untuk melakukan penangkapan ikan secara illegal. Sampai Mei 2013 ini, setidaknya 50 kapal pencuri ikan berhasil ditangkap oleh kapal pengawas Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan. Para pencuri ikan berasal dari sejumlah negara ASEAN, antaralain Malaysia, Filipina, Vietnam, dan Indonesia.

Direktur Jenderal

pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, Syahrin Abdurrahman, mengatakan, meski terus ditekan, pencurian ikan di

wilayah perairan Indonesia masih terhitung banyak. Perairan Kalbar merupakan salah satu wilayah

pengelolaan perikanan negara yang memiliki potensi sumberdaya ikan cukup tinggi. Wilayah perairan ini termasuk dalam WPP-NRI no 711 yang terdiri dari Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut China Selatan memiliki total potensi perikanan tangkap sebesar 1.059 juta ton/ tahun. “Potensi inilah yang jadi daya tarik kapal-kapal asing,” kata Syahrin kepada wartawan

.

Menurut Syahrin, untuk memerangi pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus

meningkatkan operasi pengawasan. Selama 2013 ini, kapal pengawas telah menangkap 10 kapal

Malaysia, 4 kapal Filipina, 17 kapal Vietnam, dan 19 kapal Indonesia. “Pencurian ikan selain membawa kerugian secara ekonomi, juga menyebabkan kerusakan

KIA yang ditangkap tak bisa dimanfaatkan

(6)

pada lingkungan. Banyak kapal yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan yang merusak terumbu karang,” katanya. PSDKP sejak 2005 lalu telah banyak menangkap kapal-kapal pencuri ikan. Tercatat sebanyak 1777 kapal telah ditangkap selama kurun waktu sembilan tahun. Perairan Laut Natuna, Laut China Selatan, dan Selat Karimata adalah gerbang masuk dan keluarnya kapal-kapal nelayan asing ke wilayah laut Indonesia untuk melakukan pencurian ikan. Indonesia berbatasan laut teritorial dengan Malaysia dan Singapura, serta berbatasan landas kontinen dengan atau dasar laut dengan Malaysia, Thailand, India, Australia, Papua Nugini dan Vietnam, dan Zona Ekonomi Eksklusif dengan Australia.

Luas laut Indonesia mencapai 5.877.879 kilometer persegi. Sebagian besar laut

Indonesia memiliki potensi ikan yang sangat besar. Luasnya wilayah perairan Indonesia ini menjadi tantangan tersendiri dalam pengawasan sumberdaya perikanan di Indonesia. Selain itu, jumlah kapal pengawas tidak sebanding

dengan luasnya wilayah perairan Indonesia. ”Saat ini kami hanya memiliki 26 kapal pengawas. Ini masih belum memadai. Ke depan kami harap bisa menambah kapal pengawas hingga mencapai 80 kapal,” kata Syahrin. Kementerian Kelautan dan Perikanan memprediksi, akibat pencurian ikan, Indonesia mengalami kerugian hingga Rp30 triliun pertahun angka ini lebih kecil disbanding estimasi riil Gardanusantara online yang mencapai 9 Triliun per bulan di laut Natuna saja.

Di lapangan ditemukan sejumlah modus pencurian ikan. Tidak jarang ditemukan kapal-kapal pencuri ikan yang menggunakan bendera Indonesia dan

mempekerjakan anak buah kapal dari Indonesia.

Tujuannya untuk mengelabui petugas.

Beranikah Pemerintah Pusat membuat terobosan baru ? Mengawasi dan menangkap kapal ikan asing yang melakukan illegal fishing bagus, tetapi membentuk

armada penangkap ikan yang

tangguh dengan kapal diatas 90 GT yang dilengkapi dengan alat tangkap yang

sama canggih itu harus.

“ Pemerintah harusnya bukan hanya

mengeksploitasi Migas Natuna, tetapi juga harus segera membangun armada kapal penangkap ikan yang tangguh dan professional di Natuna, Armada ini harus bermarkas di Natuna, Jika pencuri ikan di lawan dengan armada kapal penangkap Ikan yang besar dan canggih tentu akan berkurang, memang harus bertindak keras , regulasinya juga harus berani, kalau kapal ikan asing gunakan pukat harimau , kenapa kapal ikan kita juga tidak boleh?, Bisa di buat aturan khusus kapal Ikan Negara boleh, karena hasilnya untuk Negara, sesuai UU 45, tetapi diawasi ketat,” harap Dwi Purnomo penasehat Lembaga Kelautan dan Perikanan Nasional Indonesia di Kepri. (red )

(7)

Referensi

Dokumen terkait

Kementerian Sumber Manusia Malaysia, Kod Amalan Industri Mengenai Klasifikasi Bahan Kimia dan Komunikasi Berbahaya 2014 Petunjuk Perubahan: Tiada maklumat tambahan yang

Berdasarkan simulasi yang telah dilaksanakan, dapat diketahui bahwa, sel bahan bakar tipe PEMFC memiliki respon dinamik yang sangat lambat pada saat start-up

Prinsip kemitraan yaitu memperlakukan pelaku usaha perikanan sebagai mitra kerja pembangunan yang berperan aktif dalam seluruh proses pengambilan keputusan sebagai

Bulan Medan mayoritas mendapat dukungan keluarga sebanyak 82 orang (91,1 %) ini di sebabkan karena keluarga memberikan motivasi ketika ada anggota keluarga yang

Permasalahan penelitian ini adalah seberapa jauh peluang dan kendala pemberdayaan pendekatan Model Kemitraan Sosial dapat terlaksana untuk penguatan kemandirian kelembagaan

Terjadinya penurunan produksi tanaman jagung manis sebanyak 30,51 % akibat pemupukan tanpa N (hanya PK) bila dibandingkan dengan produksi jagung manis akibat

(1) Ada perbedaan pemahaman konsep fisika yang melibatkan perlakuan pembelajaran dengan metode CTL dan metode ceramah melalui pengalaman empiris, dan (2) ada

SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH SKALA KAWASAN BERBASIS INSTITUSI Pemba ngunan SR IPAL Komunal Kel.. SISTEM PENGOLAHAN AIR LIMBAH KAWASAN KUMUH Pemba ngunan