BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Teori Keagenan
Manajemen laba didasari oleh adanya teori keagenan yang menyatakan bahwa setiap individu cenderung untuk memaksimalkan utilitasnya. Manajemen memiliki keleluasaan untuk memilih kebijakan
akuntansi dari prinsip yang berlaku umum, maka wajar muncul pemikiran bahwa manajemen akan memilih metode akuntansi yang
dapat membantunya untuk meraih tujuan manajemen. Kebijakan akuntansi dalam manajemen laba dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama adalah pemilihan kebijakan akuntansi dan
kelompok kedua adalah penggunaan akrual diskresioner. Akrual diskresioner digunakan sebagai ukuran manajemen laba.
Konsep teori keagenan adalah hubungan atau kontrak antara prinsipal dan agen. Teori agensi memiliki asumsi bahwa masing-masing individu termotivasi oleh kepentingan diri sendiri, sehingga
menimbulkan konflik kepentingan antara prinsipal dan agen. Pemegang saham sebagai pihak prinsipal mengadakan kontrak untuk
selalu meningkat. Manajer sebagai agen termotivasi untuk memaksimalkan pemenuhan kebutuhan ekonomi dan psikologisnya
antara lain dalam hal memperoleh investasi, pinjaman, maupun kontrak kompensasi. Masalah keagenan muncul karena adanya
perilaku manajemen untuk memaksimumkan kesejahteraannya sendiri yang berlawanan dengan kepentingan prinsipal. Manajer memiliki dorongan untuk memilih dan menerapkan metode akuntansi yang
dapat memperlihatkan kinerjanya yang baik untuk mendapatkan bonus dari prinsipal.
Prinsipal tidak memiliki informasi yang cukup tentang kinerja agen. Agen mempunyai lebih banyak informasi mengenai kapasitas diri, lingkungan kerja, dan perusahaan secara keseluruhan. Hal ini
yang mengakibatkan adanya ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen. Ketidakseimbangan informasi inilah
yang disebut dengan asimetris informasi. Asimetris informasi dan konflik kepentingan yang terjadi antara prisipal dan agen mendorong agen untuk menyajikan informasi yang tidak sebenarnya kepada
2. Positive Accounting Theory (PAT)
Tiga hipotesis Positive Accounting Theory (PAT) yang
dijadikan dasar pemahaman tindakan manajemen laba yang dirumuskan oleh Watts & Zimmerman dalam Sulistyanto (2013) sebagai berikut:
a. Bonus Plan Hypothesis
Pada perusahaan yang memiliki rencana pemberian
bonus, manajer perusahaan akan lebih memilih metode akuntansi yang dapat menggeser laba dari masa depan ke masa
kini, sehingga dapat menaikkan laba saat ini. Ada bukti empiris yang menyatakan bahwa perjanjian (kontrak) bisnis manajer dengan pihak lain merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi tingkat manajemen laba yang dilakukan perusahaan. Ada variabel yang selama diuji berkaitan dengan
perjanjian bisnis itu, yaitu bonus atau kompensasi manajerial. Dalam bonus atau kompensasi manajerial, pemilik perusahaan berjanji bahwa manajer akan menerima sejumlah
bonus jika kinerja perusahaan mencapai jumlah tertentu. Janji bonus inilah yang merupakan alasan bagi manajer untuk
Seandainya pada tahun tertentu kinerja sesungguhnya berada di bawah syarat untuk memperoleh bonus, maka
manajer akan melakukan manajemen laba agar labanya dapat mencapai tingkat minimal untuk memperoleh bonus.
Sebaliknya, jika pada tahun itu kinerja yang diperoleh manajer jauh di atas jumlah yang disyaratkan untuk memperoleh bonus, manajer akan mengelola dan mengatur laba yang dilaporkan
menjadi tidak terlalu tinggi. Kelebihan laba sesungguhnya dengan laba yang dilaporkan akan disajikan pada tahun
berikutnya. Upaya ini membuat manajer cenderung akan selalu memperoleh bonus dari periode ke periode. Akibatnya, pemilik perusahaan terpaksa harus kehilangan sebagian dari
kesejahteraannya yang dibagikan kepada manajer sebagai bonus.
b. The Debt to Equity Hypothesis (Debt Convenant Hypothesis) Pada perusahaan yang mempunyai rasio debt to equity tinggi, manajer perusahaan cenderung menggunakan metode
akuntansi yang dapat meningkatkan pendapatan atau laba. Dalam konteks perjanjian hutang, manajer akan mengelola dan
dan mengatur jumlah laba yang merupakan indikator kemampuan perusahaan dalam menyelesaikan kewajiban
hutangnya. Manajer akan melakukan pengelolaan dan pengaturan jumlah laba untuk menunda bebannnya pada
periode bersangkutan dan akan diselesaikannya pada periode-periode mendatang.
Upaya seperti ini dilakukan agar perusahaan dapat
menggunakan dana itu untuk keperluan lainnya. Walau sebenarnya hanya masalah waktu pengakuan kewajiban, hal ini
telah mengakibatkan pihak yang ingin mengetahui kondisi perusahaan yang sesungguhnya akan memperoleh dan menggunakan informasi yang keliru. Akibatnya, pihak-pihak
ini membuat keputusan bisnis yang keliru. c. The Political Cost Hypothesis (Size Hypothesis)
Pada perusahaan besar yang memiliki biaya politik yang tinggi, manajer akan lebih memilih metode akuntansi yang menangguhkan laba yang dilaporkan dari periode
sekarang ke periode masa mendatang, sehingga dapat memperkecil laba yang dilaporkan. Sejauh ini ada beberapa
pajak yang akan ditarik dari perusahaan berdasarkan laba yang diperoleh perusahaan selama periode tertentu.
Besar kecilnya pajak yang ditarik oleh pemerintah sangat tergantung pada besar kecilnya laba yang dicapai
perusahaan. Perusahaan yang memperoleh laba lebih besar akan ditarik pajak yang lebih besar dan perusahaan yang memperoleh laba lebih kecil akan ditarik pajak yang lebih
kecil.
Pada kondisi ini membuat manajer mengelola dan
mengatur labanya dalam jumlah tertentu agar pajak yang harus dibayarkan menjadi tidak terlalu tinggi, karena manajer sebagai pengelola tentu tidak ingin kewajiban yang harus
diselesaikannya terlalu membebani. Hal ini sangat mudah dilakukan perusahaan, yaitu dengan menarik biaya periode
yang akan datang menjadi biaya periode berjalan dan sebaliknya mengakui periode berjalan menjadi pendapatan periode yang akan datang.
Upaya lain yang dilakukan perusahaan untuk menghemat pajak adalah dengan mempermainkan laba pada
pengakuan laba periode berjalan dan baru diakui pada saat peraturan yang baru itu diperlakukan secara efektif.
3. Definisi Manajemen Laba
Manajemen laba adalah tindakan manajer menaikkan atau
menurunkan laba yang dilaporkan dari unit yang menjadi tanggung jawabnya yang tidak mempunyai hubungan dengan kenaikan atau penurunan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang (Fischer
dan Rozenzwig, 1995). Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan pertimbangan dalam laporan keuangan dan penyusunan
transaksi untuk mengubah laporan keuangan, sehingga dapat menyesatkan stakeholders tentang kinerja ekonomi perusahaan atau untuk mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap stakeholders
(Healy dan Wallen, 1999).
Manajemen laba adalah suatu proses yang dilakukan dengan
sengaja dalam batasan General Addopted Accounting Principles (GAAP) untuk mengarah pada tingkatan laba yang dilaporkan perusahaan (Assih dan Gudono, 2000). Manajemen laba adalah
campur tangan dalam proses pelaporan keuangan eksternal yang bertujuan untuk menguntungkan pihak tertentu. Manajemen laba
mempercayai jumlah laba hasil rekayasa tersebut sebagai angka laba
tanpa rekayasa (Setiawati dan Na’im, 2000).
Manajemen laba merupakan upaya manajerial untuk mempermainkan semua komponen laporan keuangan dengan
memanfaatkan celah yang ada dalam standar akuntansi sesuai dengan keinginan manajer perusahaan. Tujuan dari manajemen laba adalah untuk menciptakan kesejahteraan pemilik atau pemegang saham
perusahaan yang dikelolanya (Sulistyanto, 2008). 4. Siklus Hidup Perusahaan
Siklus hidup perusahaan digambarkan sebagai S-shaped curve (normal), yang dimulai dengan usaha kecil, lalu terdaftar sebagai perusahaan besar pada puncak kurva, dan akhirnya mengalami
kebangkrutan atau diambilalih. Kurva ini dibagi dalam beberapa tingkat hidup, dimana tiap tingkat diperkirakan memiliki masalah
keuangan yang khas (Sawir, 2014).
Teori siklus hidup perusahaan merupakan perluasan dari siklus hidup produk dalam pemasaran (Rink dan Swan dalam Yan, 2006).
Model siklus hidup perusahaan dibagi menjadi tiga tahap, empat tahap, dan lima tahap. Model-model siklus hidup perusahaan tersebut
Perusahaan memiliki siklus hidup sama seperti dengan produk (Schori dan Garee, 1998). Pada saat perkenalan, perusahaan
digambarkan seperti anak kecil yang baru belajar berjalan. Perusahaan baru diperkenalkan sebagai bisnis yang kecil. Sebagian besar gagal
karena eksekutif tidak memahami kebutuhan pasar dan tidak mengetahui bagaimana cara memenuhi kebutuhan pasar. Sebaliknya, jika perusahaan tersebut sukses, maka penjualan mulai tumbuh.
Pada tahap tumbuh, perusahaan digambarkan seperti anak remaja yang belum dewasa. Pada tahap ini, perusahaan mulai
memenuhi kebutuhan pasar dan pertumbuhannya pesat. Pertumbuhan ini merupakan hasil dari pemenuhan kebutuhan pasar dan kepuasan pasar yang lebih baik daripada kompetisi dan semangat usaha dari
pendiri perusahaan tersebut agar dapat tumbuh dan lanjut pada tahap berikutnya.
Pada tahap dewasa, perusahaan digambarkan seperti orang dewasa. Perusahaan memasuki tahap dimana para manajernya mulai profesional, akan tetapi umur perusahaan tidak panjang lagi dan
mengarah pada tahap akhir dalam siklus hidup perusahaan. Ada beberapa perusahaan yang tetap berada pada tahap ini untuk jangka
Tahap terakhir dari siklus hidup perusahaan adalah penurunan. Pada tahap ini, perusahaan digambarkan sebagai orang yang lanjut
usia. Perusahaan akan mengalami penurunan terus menerus. Perusahaan akan menghentikan kegiatannya dan meninggalkan
bisnisnya. Pada tahap setelah dewasa, ada perusahaan yang tidak memasuki tahap kemunduran tetapi tetap berada pada posisi yang stabil (stagnan). Perusahaan tidak begitu mengalami peningkatan
penjualan dan penurunan laba yang cukup drastis. Tingkat pertumbuhan penjualan rendah, perusahaan tidak melakukan
pengeluaran modal besar-besaran, dan laba yang diperoleh perusahaan tidak lagi banyak ditahan untuk pengembangan perusahaan (Anthony dan Ramesh, 1992).
B. Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian yang menghubungkan manajemen laba dengan siklus hidup perusahaan seperti Hastuti (2006) meneliti siklus hidup perusahaan terhadap perilaku manajemen laba dengan hasil perusahan pada
tahap tumbuh, dewasa, dan stagnan melakukan manajemen laba. Namun, pada penelitian tersebut tidak dapat mengidentifikasi perbedaan yang signifikan
Hastuti dan Hutama (2010) meneliti perbedaan perilaku manajemen laba berdasarkan pada perbedaan siklus hidup perusahaan dan ukuran
perusahaan dengan hasil terdapat manajemen laba dalam perusahaan yang berada pada tahap tumbuh, dewasa, dan stagnan. Namun, pada penelitian
tersebut tidak ada perbedaan perilaku manajemen laba berdasarkan pada perbedaan siklus hidup perusahaan dan ukuran perusahaan.
Angraini (2013) meneliti pengaruh siklus hidup perusahaan dan
ukuran perusahaan terhadap manajemen laba dengan hasil siklus hidup perusahaan tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba dan ukuran
perusahaan memiliki pengaruh negatif terhadap manajemen laba.
Kusumawati dan Cahyati (2014) meneliti pengaruh siklus hidup dan ukuran perusahaan terhadap manajemen laba dengan hasil secara parsial
terdapat pengaruh positif dan signifikan siklus hidup perusahaan dengan dilakukannya praktik manajemen laba dan variabel ukuran perusahaan tidak
ada pengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
Restuti dan Widyaningrung (2015) meneliti perbedaan manajamen laba berdasarkan pada tahapan siklus hidup perusahaan dengan hasil tidak
dapat membuktikan bahwa perilaku manajemen laba yang semakin rendah seiring dengan perubahan siklus hidup perusahaan dan terdapat perbedaan
C. Kerangka Pemikiran
Penelitian ini mengklasifikasikan siklus hidup perusahaan menjadi tiga
tahap, yaitu tumbuh, dewasa, dan stagnan. Tahap perkenalan tidak diteliti karena tidak dapat memenuhi kriteria perusahaan yang berada pada tahap
perkenalan, yaitu perusahaan yang mulai melakukan penjualan tidak lebih dari satu tahun sebelum go public.
Hal ini disebabkan karena Bursa Efek Indonesia (BEI) mensyaratkan
perusahaan sudah harus mendapatkan laba bersih dan laba operasi selama dua tahun fiskal terakhir agar saham perusahaan dapat dicatatkan di bursa.
Penelitian yang telah membuktikan hal tersebut adalah penelitian Atmini (2002) yang menyatakan bahwa sudah tidak dapat mengidentifikasi perusahaan pada tahap perkenalan.
Selain itu, pengklasifikasian ke dalam tahap penurunan tidak dilakukan karena perusahaan yang berada pada tahap penurunan biasanya
tidak tercatat lagi di bursa. Menurut Quinn dan Cameron (1983) dari beberapa literatur yang menulis mengenai siklus hidup perusahaan, tidak ada yang memperhatikan tahap penurunan. Hal ini dikarena pada saat perusahaan
berada pada tahap penurunan, perubahan terjadi secara metamorfosis dan tidak dapat diprediksi (Quinn dan Cameron, 1983).
dapat memilih kebijakan untuk menetapkan waktu dan jumlah dari pendapatan dan biaya yang terjadi pada perusahaan (Assih, Hastuti dan
Parawiyati, 2005). Setiap tahap siklus hidup perusahaan melakukan praktik manajemen laba (Hastuti, 2006).
Berdasarkan variabel penelitian, kajian teoritis, dan hasil penelitian terdahulu dapat digambarkan dalam kerangka pemikiran sebagai berikut:
Gambar 1
Model Perbedaan Perilaku Manajemen Laba Berdasarkan pada Siklus Hidup Perusahaan
Manajemen Laba
H1
H3
H2 Tahap
Tumbuh
Tahap Dewasa
Tahap Dewasa
Tahap Stagnan
Tahap Tumbuh
Tahap Stagnan
≠ ≠
D. Hipotesis
Manajemen laba dapat dilakukan oleh manajemen pada saat perusahaan masih berada pada tahap tumbuh, bahkan dapat juga dilakukan
pada saat laba perusahaan jatuh mendekati poin nol (Hayn, 1995). Perusahaan pada tahap tumbuh melaporkan laba yang diperoleh meningkat untuk
mencapai ramalan laba para analis (Degeorge, et al., 1999). Perusahaan pada tahap perkenalan dan pertumbuhan menerapkan sistem pengendalian yang tidak ketat, tetapi jika perusahaan sudah mencapai pada tahap dewasa dan
penurunan, maka akan menerapkan sistem pengendalian yang lebih ketat dan diharapkan manajemen laba yang dilakukan pada perusahaan semakin rendah
(Shank dan Govindarajan, 1993).
Berdasarkan uraian tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut:
H1 : Manajemen laba pada siklus hidup perusahaan tahap tumbuh lebih
tinggi secara signifikan daripada manajemen laba pada siklus hidup perusahaan tahap dewasa.
Manajer lebih memilih menaikkan laba untuk menghindari pelaporan rugi dan laba yang menurun. Dengan demikian, dapat diduga perusahaan pada
tahap tumbuh, dewasa, dan stagnan melakukan manajemen laba (Peasnell et al., 2005). Perusahaan yang berada pada tahap stagnan melakukan manajemen laba lebih kecil dibanding pada tahap dewasa, perusahaan yang berada pada
manajemen tidak bebas melakukan manajemen laba (Shank dan Govindarajan, 1993). Perusahaan pada tahap stagnan adalah perusahaan yang
berada pada tahap setelah intial public offering sedangkan tahap offering merupakan tahap dewasa dari suatu perusahaan (Duggan, 2000). Pada saat
intial public offering, manajemen laba yang digambarkan pada discretionary
accrual menurun, dan lebih kecil dibandingkan pada saat offering (Teoh et al.,
1998). Manajemen laba perusahaan yang berada pada tahap stagnan lebih
rendah secara signifikan daripada perusahaan yang berada pada tahap dewasa (Hastuti, 2006).
Berdasarkan uraian tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H2 : Manajemen laba pada siklus hidup perusahaan tahap dewasa lebih
tinggi secara signifikan daripada manajemen laba pada siklus hidup
perusahaan tahap stagnan.
Perusahaan pada tahap tumbuh, dewasa, dan stagnan terlibat dalam
manajemen laba (Hastuti, 2006). Perusahaan yang berada pada tahap stagnan memiliki kondisi yang stabil, tingkat pertumbuhan penjualan rendah, dan perusahaan tidak melakukan pengeluaran modal sangat besar. Perusahaan
pada tahap perkenalan dan pertumbuhan menerapkan sistem pengendalian yang tidak ketat, tetapi jika perusahaan sudah mencapai pada tahap dewasa
Berdasarkan uraian tersebut, dirumuskan hipotesis sebagai berikut: H3 : Manajemen laba pada siklus hidup perusahaan tahap tumbuh lebih