• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL PELATIH DAN ATLET TENIS MEJA TUNANETRA KOTA BEKASI - FISIP Untirta Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "KOMUNIKASI INSTRUKSIONAL PELATIH DAN ATLET TENIS MEJA TUNANETRA KOTA BEKASI - FISIP Untirta Repository"

Copied!
123
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan untuk memenuhi skripsi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

Disusun Oleh :

Henry Pramudya Soegiana 6662092665

KONSENTRASI JURNALISTIK

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(2)
(3)
(4)
(5)

AgengTirtayasa. 2014.

Penelitian ini membahas bagaimana komunikasi instrukisonal antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra pada proses latihan. Perbedaan fisik antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra memicu permaslahan komunikasi, dimana instruksi yang semestinya disampaikan oleh pelatih dengan cara audio dan visual. Pelatih hanya mengandalkan audio untuk menggambarkan sebuah isntruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses komunikasi, untuk mengethaui metode komunikasi, dan untuk mengetahui komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan mengumpulkan data melalui wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah satu pelatih tenis meja tunanetra dan empat atlet tenis meja penyandang tunanetra. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori identifikasi Kenneth Burke, dimana kesamaan adalah satu cara identifikasi yang tercipta di antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra, identifikasi meningkat, penyatuan makna meningkat, sehingga akan meningkatkan pemahaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama proses komunikasi melalui tahap awal komunikasi, yang akhirnya tercipta cara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra berkomunikasi. Kedua, metode komunikasi instruksional yang digunakan pelatih dalam proses latihan adalah menggunakan metode praktikum, dan metode diskusi. Ketiga, komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pelatih dan atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi adalah komunikasi verbal secara lisan.

(6)

Tirtayasa University. 2014.

This research examines how the instructional communications work on between the table tennis trainer and the athlete with vision disabilities during the training process. The physical differences between the trainer and the athlete trigger a communication problem, where the instruction that should be delivered by the trainer with both of audio and visual, in this case they only rely on an audio for giving a perspective of instruction. The purposes of this research is to describe the communication process between the table tennis trainer and the athlete with vision disabilities of Bekasi City during the training, and to identify what instructional communication method using by the table tennis trainer and the athlete, then to know what a verbal communication technic that the trainer use to deliver a message to the athlete. This research using the qualitative descriptive method, which is the writer interviewing and observing to collect the data. The informant of this research is one table tennis trainer and four athletes with vision disabilities. Kenneth Burke identification theory is the main theory of this research, where the similarity whit this case is once the one way identification has made between the trainer and the athlete, the identification increase, the fusion of meaning increase, then will increase the comprehension. The result shown that first, communication process passing the first step of communication, well then the communication between both created. Second, the instructional communication method used by the trainer during the training process is the practicum method and the discussion method. Third, the instructional communication used by the trainer and the athlete is verbal communication verbally.

(7)

ix

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Atas berkah, rahmat, dan hidayah dari-Nya, skripsi yang berjudul “Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi” ini Alhamdulillah dapat diselesaikan.

Dalam pembuatan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari sejumlah pihak sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis mempersembahkan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah :

1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.

2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa

3. Kandung Sapto N, S.Sos,. M.Si, Selaku Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Mia Dwiana, S.Sos., M.Si, selaku Pemabntu Dekan II Bidang Keuangan, dan Gandung Ismanto, S.Sos., MM, selaku Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

4. Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Ketua Jurusan Program Ilmu Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa serta Puspita Asri Praceka, S.Sos., M.Ikom, selaku sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sultan Ageng Tirtayasa

(8)

x sangat besar untuk penelitian ini.

7. Kedua orang tua, Bapak Nanang dan Ibu Heni. Keluarga besar di Serang, A Maman, Bi Elis, Bi Nani, Bi Rini, Om Ade, Om Esa, Gogo, Mega, Aca, Okta, Ica, dan Meizy. Terimakasih atas segala dukungan dan do’a yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sampai gelar sarjana.

8. Teman diskusi, Annisa Rizky, M.I.Kom. Terimakasih atas segala waktu dan ide-idenya, sehingga sangat membantu penulis dalam mengerjakan penelitian ini.

9. Teman baik, Aulia, Tulus, Andri, Ica, Cony, Augia, Galuh, Alan, dan semua teman-teman Ilmu Komunikasi 2009. Keluarga besar KOVIKITA, Untirta TV, Teater Kafe Ide, dan Djogja Production tempat penulis mengembangkan minat dan bakat. Terimakasih atas waktu dan pengalaman yang pernah diberikan.

10.Sahabat-sahabat PEMBURU Aji, Putra, dan Billi tempat penulis berbagi keluh kesah.

11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.

Penulis sadar, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis bersedia menerima kritik sebagai bahan intropeksi diri dan pembelajaran.

Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Serang, Oktober 2014

Penulis

(9)

xi

2.1.2 Unsur-unsur Komunikasi ... 12

2.1.3 Fungsi Komunikasi ... 12

2.1.4 Komunikasi Verbal ... 13

2.1.4 Proses Komunikasi... 17

2.2 Komunikasi Instruksional ... 19

2.2.1 Pengertian Komunikasi Instruksional ... 20

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Komunikasi Instruksional ... 20

2.2.3 Metode Komunikasi Instruksional ... 22

2.3 Tunanetra ... 23

2.3.1 Pengertian Tunanetra ... 23

2.3.2 Klasifikasi Tunanetra ... 24

2.3.3 Sebab Tunanetra... 26

2.3.4 Tenis Meja Tunanetra ... 27

(10)

xii

3.2 Paradigma Penelitian ... 38

3.3 Teknik Pengambilan Data ... 39

3.4 Teknik Sampling ... 42

3.5 Analisis Data ... 43

3.6 Uji KValiditas Data ... 44

3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 45

BAB IV HASIL PENELITIAN ... 47

4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 47

4.2 Deskripsi Informan ... 49

4.2.1 Yulianto ... 59

4.2.2 Yanto Sugiharto ... 50

4.2.3 Toni Budi Santoso ... 50

4.2.4 Sarah WIjaya ... 50

4.2.5 Iis Wulandari ... 51

4.3 Analisis Data dan Pembahasan ... 51

4.3.1 Proses Identifikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 52

4.3.2 Proses Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 57

4.3.2.1 Masalah Komunikasi ... 59

4.3.2.2 Cara Pelatih dan Atlet Berkomunikasi ... 60

4.3.2.3 Feed Back ... 61

4.3.3 Metode Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 67

4.3.3.1 Lisan ... 70

4.3.3.2 Diskusi ... 74

4.3.4 Komunikasi Verbal Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 77

4.3.4.1 Lisan ... 80

4.3.4.2 Ceramah ... 81

(11)

xiii

(12)

viii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya ... 36

Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 46

Tabel 4.1 Kategorisasi Proses Identifikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 52

Tabel 4.2 Kategorisasi Proses Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 57

Tabel 4.3 Kategorisasi Metode Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 67

Tabel 4.4 Kategorisasi Komunikasi Verbal Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 77

DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 34

Gambar 4.1 Proses Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 63

DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Biodata Informan Yulianto ... 91

Lampiran 3 Transkip Wawancara Yulianto ... 91

Lampiran 4 Biodata Yanto Sugiharto ... 94

Lampiran 5 Transkip Yanto Sugiharto ... 94

Lampiran 7 Biodata Toni Budi Santoso ... 97

Lampiran 7 Transkip Wawancara Toni Budi Santoso ... 98

Lampiran 6 Biodata Sarah Wijaya ... 100

(13)

ix

Lampiran 8 Biodata Iis Wulandari ... 103

Lampiran 7 Transkip Wawancara Iis Wulandari ... 104

Lampiran 8 Dokumentasi ... 106

(14)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Tidak mudah tentunya bagi Yulianto pelatih tenis meja tunanetra Kota

Bekasi untuk menyamakan kesepahaman dengan atlet tenis meja tunanetra yang

didiknya dalam proses latihan. Karena perbedaan fisik antara pelatih dan atlet

tenis meja tunanetra memicu masalah komunikasi. Masalah komunikasi yang

dialami adalah dalam menyatukan pemahaman instruksi yang diterima atlet tenis

meja tunanetra saat proses latihan.

Arahan-arahan yang seharusnya digambarkan melalui audio dan visual

untuk memudahkan atlet tenis meja menerima arahan pelatih, dalam hal ini tidak

bisa digunakan. Pelatih tenis meja tunanetra mengandalkan pesan-pesan yang

berbentuk audio, karena indera penglihatan pada tunanetra tidak bisa maksimal,

sehingga indera pendengaran menjadi andalan dalam menerima instruksi dari

pelatih, oleh karena itu pelatih harus menggunakan arahan yang tepat untuk

menyampaikan pesan atau instruksi.

Dalam hal ini pelatih memaksimalkan komunikasi verbal untuk

mendeskripsikan sebuah instruksi dengan menggunakan bahasa yang dimengerti

agar bisa menyampaikan instruksi yang diberikan kepada atlet tenis meja

(15)

Selain itu, sebelum memulai proses latihan, pelatih harus mengidentifikasi

dengan cara mengenal karakter, kemampuan teknis, dan kemampuan nalar dalam

menerima instruksi yang dimiliki atlet tenis meja tunanetra itu sendiri. Hal

tersebut dilakukan untuk membangun sebuah proses komunikasi yang efektif

dalam pelatihan tenis meja tunanetra.

Peraturan dan peralatan tenis meja tunanetra sudah dirancang sedemikian

rupa dan berbeda dengan tenis meja pada umumnya, tetapi dalam tenis meja

tunanetra tetap sulit, karena membutuhkan ketepatan dan kecepatan dalam

mengantisipasi bola pingpong yang bergulir di atas meja dalam keadaan mata

tertutup, sebab itu indera pendengaran menjadi sangat penting. Yulianto, pelatih

tenis meja tunanetra yang menangani atlet-atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi

memberikan pernyataan betapa pentingnya pendengaran dalam proses latihan.

“Seorang atlet tenis meja harus betul-betul cerdas, terutama di dalam

pendengaran, kalau hilang atau buyar konsentrasi dia akan kalah dengan lawan.

Maka dari itu saya selalu berpesan harus latihan konsentrasi pendengaran. Jadi

setiap saya melatih, saya akan selalu mengimbau kepada atlet-atlet binaan saya

untuk hal ini, karena percuma kalau punya kemampuan smash keras tapi

pendengarannya kurang”.

Komunikasi yang diterapkan oleh pelatih dalam proses pelatihan ini hanya

memaksimalkan komunikasi verbal. Komunikasi verbal dalam hal ini berupa

arahan soal teknis tenis meja dan motivasi. Adapun suntikan motivasi diberikan

agar atlet bertambah keyakinan dalam dirinya untuk dapat memenangkan

(16)

Sementara itu, seorang atlet pada umumnya memiliki tubuh yang sempurna

demi menunjang karier dan prestasinya, tetapi bermodalkan indera pendengaran,

para atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi dituntut untuk bisa menerima pesan

atau instruksi dengan baik yang diberikan oleh pelatih dalam proses komunikasi

instruksional.

Gangguan penglihatan tidak menghalangi empat atlet tenis meja untuk

mendalami minatnya di bidang olahraga tenis meja tunanetra. Empat atlet tersebut

adalah Yanto Sugiharto, Toni Budi Santoso, Sarah Wijaya, dan Iis Wulandari.

Keempat atlet tenis meja tersebut tergabung dalam National Paralympic

Committee (NPC) Kota Bekasi cabang olahraga tenis meja tunanetra. NPC

merupakan organisasi yang mewadahi olahraga penyandang disabilitas di

Indonesia dan berwenang mengkoordinasikan kegiatan olahraga prestasi bagi

penyandang disabilitas. Organisasi ini bernaung di bawah Komite Olahraga

Nasional Indonesia (KONI) dan kepengurusannya tersebar di seluruh daerah,

salah satunya NPC cabang Kota Bekasi. Cabang olahraga yang biasanya

diperlombakan yaitu atletik, catur, bulu tangkis, tenis lapangan, bola basket, dan

tenis meja.

Meskipun keterbatasannya dalam penglihatan menimbulkan kesulitan ketika

mereka menjalani aktivitas, khususnya sebagai atlet tenis meja, tetapi keempat

atlet tersebut pernah meraih medali di berbagai ajang kompetisi olahraga tenis

meja tunanetra. Seperti Yanto Sugiharto yang pernah meraih medali emas di

kategori single putra pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PEPARNAS) ke XIV,

(17)

Santoso pun mendapatkan medali perak di ajang yang sama, dan Iis Wulandari

pernah mendapatkan Medali Perunggu pada Pekan Olahraga Cacat Nasional

(PORCANAS) di Kalimantan Timur tahun 2008.

Ada jejak rekam pelatih di belakangnya dalam keberhasilan para atlet tenis

meja tunanetra Kota Bekasi. Peran pelatih dalam prestasi atlet sangat strategis

karena pelatihlah yang melakukan pembinaan secara langsung terhadap atletnya.

Pelatih berperan memberikan instruksi dan memantau perkembangan atlet yang

ditanganinya. Seperti yang diungkapkan oleh Pawit M. Yusuf, para pelaksana

instruksional di lapangan seperti pelatih atau siapa saja yang pekerjaannya

menyampaikan informasi dengan tujuan mengubah perilaku sasaran, perlu

mengetahui proses perubahan perilaku yang terjadi pada seseorang atau sasaran

secara baik. 1

Meskipun begitu proses komunikasi instruksional dalam pelaksanaan

kegiatan pelatihan ini tetap berjalan. Pelatih sebagai orang yang menyampaikan

instruksi atau pesan (komunikator), dan atlet itu sendiri orang yang menerima

pesan atau instruksi dari pelatih (komunikan). Pesan yang ditujukan kepada

komunikan dikemas secara khusus untuk menyamakan kesepahaman dalam

instruksi-instruksi yang diberikan, demi meningkatkan kemampuan yang dimiliki

komunikan, sebab komunikasi instruksional adalah sebuah proses dan kegiatan

1

(18)

komunikasi yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan nilai tambah bagi

pihak sasaran.2

Menurut Yulianto, keberhasilan seorang atlet bisa diukur dari medali yang

diraih. Agar atlet tenis meja bisa berprestasi, atlet harus mempunyai mental,

kedisiplinan, dan skill tenis meja yang mumpuni. Dan medali bukan hal yang

mustahil untuk diraihnya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Pawit M. Yusuf

“Yang akan diukur keberhasilannya adalah pihak sasaran. Sasaran telah memiliki

kemampuan yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotor”. 3

Belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik merujuk pada taksonomi yang

dibuat untuk tujuan pembelajaran. Dalam taksonomi Bloom, tujuan pembelajaran

dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ranah, yaitu: Kognitif; berkenaan dengan

kemampuan dan kecakapan-kecakapan intelektual berpikir. Afektif; berkenaan

dengan sikap, kemampuan dan penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan,

sikap, dan nilai. Psikomotorik; berkenaan dengan suatu

keterampilan-keterampilan atau gerakan fisik.4

Dalam proses pelatihan ini, tidak mudah tentunya untuk membangun sebuah

komunikasi instruksional yang padu, dengan segala keterbatasan yang dimiliki

oleh atlet tenis meja yang memiliki cacat pada mata. Persaingan yang ketat yang

dihadapi pelatih dan atlet tenis meja bukan hanya sekadar kompetisi di tingkat

daerah namun bersaing di tingkat nasional. Hal itulah yang membuat peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian ini.

2

Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal 2.

3

Ibid, hal 271.

4Rusman „Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer‟

(19)

Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui

lebih lanjut bagaimana komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pelatih dan

atlet tenis meja tunanetra dari ranah kognitif dengan mengadakan penelitian yang

berjudul “Komunikasi Instruksional antara Pelatih dan Atlet Tenis Meja

Tunanetra”.

1.2 RumusanMasalah

Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat

dirumuskan masalah sebagai berikut :

Bagiamana komunikasi pelatih terhadap atlet tenis meja tunanetra di Kota

Bekasi ?

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat di identifikasikan

sebagai berikut :

1.) Bagaimana proses komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis

meja tunanetra?

2.) Bagaimana metode komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pealtih

tenis meja tunanetra Kota Bekasi dalam proses latihan?

3.) Bagaimana Komunikasi verbal pelatih dalam menyampaikan pesan kepada

(20)

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan

yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.) Untuk menegetahui proses komunikasi instruksional anatara pelatih dan atlet

tenis meja tunanetra Kota Bekasi

2.) Untuk mengetahui metode komunikasi instruksional pelatiht enismeja Kota

Bekasi

3.) Untuk mengetahui komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan kepada

atlet tenis meja Kota Bekasi

1.5 Manfaat Penelitian

Peneliti berharap penelitian ini bisa berguna bagi banyak pihak di

kemudian hari. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1.) Manfaat Teoritis, dapat menambah pengetahuan dan wawasan, terutama

terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga

dapat dijadikan bahan bacaan atau literatur tambahan bagi peneliti-peneliti

selanjutnya yang tertarik terhadap bidang kajian ini.

2.) Manfaat Praktis, dapat dijadikan bahan masukan mengenai penerapan

komunikasi instruksional yang padu antara komunikator dan komunikan,

sehingga diharapkan dapat membuat komunikasi instruksional dengan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai teori-teori yang

berhubungan dengan penelitian yang diangkat oleh peneliti, yaitu komunikasi

instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra.

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Definisi Komunikasi

Istilah komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu cum,

kata depan yang artinya dengan atau bersama dengan, dan kata units, kata

bilangan yang berarti satu. Kedua kata tersebut kemudian membentuk kata benda

communio, yang dalam bahasa inggris disebut dengan communion, yang berarti

kebersamaan, persatuan, persekutuan, gabungan, pergaulan, atau hubungan.

Karena untuk melakukan communion diperlukan usaha dan kerja, kata communion

dibuat kata kerja communicate yang berarti membagi sesuatu dengan seseorang,

tukar menukar, membicarakan sesuatu dengan orang, memberitahukan sesuatu

kepada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, percakapan,

pertukaran atau hubungan.5

5

Kadar Nurjaman & Khairul Umam „Komunikasi & Public Relation‟ Bandung : Pustaka Setia, 2012) Hal 3

(22)

Untuk memperjelas pengertian komunikasi di dalam penelitian ini, berikut

adalah pengertian komunikasi menurut beberapa ahli:

Pengertian komunikasi secara luas, “komunikasi adalah setiap bentuk tingkah

laku seorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain.

Komunikasi mecakup pengertian yang lebih luas dari sekedar wawancara. Setiap

bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan

sebentuk komunikasi.6

Pakar yang lain juga memberikan definisi tentang komunikasi. Carl I. Hovland

berpendapat bahwa komunikasi ialah suatu proses dimana seseorang

memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk

mengubah tingkah laku orang lain.7

Pendapat lain mengenai pengertian komunikasi berasal dari Tubbs dan Moss,

yakni komunikasi diartikan sebagai proses pembentukan makna diantara dua

orang atau lebih.8

Sedangkan menurut Everett M. Rogers dalam Mulyana, mendefinisikan

“komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu

penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.9

Definisi lain yang dikemukakan oleh Raymond S. Ross:

6

Supratiknya „Komunikasi Antarpribadi‟ (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 30.

7

A.W. Widjadja „Ilmu Komunikasi Pengantar Studi‟ (Jakarta : Rineka Cipt, 2000). Hal 26.

8Ahmad Sihabudin & Rahmi Winangsih „

Komunikasi Antar ManusiaEdisi 1 Bahan Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi‟ (Serang: FISIP Untirta, 2008) Hal 10

9

(23)

“Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol

-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna

atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang

dimaksudkan komunikator”.10

2.1.2 Unsur-unsur Komunikasi

Berdasarkan yang dibuat pakar komunikasi Harold Laswell, komunikasi

memiliki lima unsur yang saling berketergantungan satu sama lain, diantaranya

adalah (source), sering juga disebut pengirim (sender), penyandi (encoder),

komunikator dan pembicara. Selanjutnya Laswell menyebutkan lima unsur utama

komunikasi, yaitu :

1) Sumber (komunikator), yaitu pihak yang beinisiatif atau mempunyai

kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber bisa menjadi seorang individu,

kelompok, atau bahkan sebuah organisasi. Proses ini dikenal sebagai

penyandian (encoding).

2) Pesan, yaitu seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili

perasaan, nilai, dan gagasan dari komunikator.

3) Saluran, yaitu alat atau wahana yang digunakan komunikator untuk

menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran merujuk kepada

penyampaian pesan, bisa melalui tatap muka.

10

(24)

4) Penerima, yaitu orang yang menerima pesan dari sumber yang biasa disebut

dengan sasaran atau tujuan, komunikator, penyandi-balik, khalayak,

pendengar, atau penafsir.

5) Efek, yaitu kejadian pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut,

meliputi penambahan pengetahuan, terhibur, perubahan sikap, perubahan

keyakinan, atau perubahan perilaku.11

2.1.3 Fungsi Komunikasi

Sejumlah pakar komunikasi memiliki pendapat yang berbeda-beda soal fungsi

komunikasi. Akan tetapi, semua merujuk pada titik yang sama, yakni

menyebarkan informasi untuk memberikan efek tertentu terhadap pesan yang

disampaikan oleh komunikator .

Menurut Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, komunikasi mempunyai dua

fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sehari-hari, meliputi

keselamtan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita pada

orang lain, dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup

masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan

keberadaan suatu masyarakat.12

11

Mulyana „Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar‟ (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 69 – 71.

12

(25)

2.1.4 Komunikasi Verbal

Komunikasi verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang lazim

digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan melalui tulisan maupun lisan.

Bentuk komunikasi ini memiliki struktur yang teratur dan terorganisasi dengan

baik.

Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang menggunakan

satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang disadari masuk dalam

kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar

untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap

sebagai suatu sistem kode verbal.

Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan

untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami

suatu komunitas.

Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan,

dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan

berbagai aspek realitas individual.13

Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau dapat dibayangkan sebagai kode,

yang digunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal. Dapat mendifinisikan

bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri atas

13

(26)

simbol yang cepat lenyap, bermakna bebas, serta dipancarkan secara cultural.

Berikut adalah sifat bahasa :

a) Produktifitas

Bahasa bersifat produktif , terbuka, dan kreati. Artinya pesan-pesan verbal

merupakan gagasan-gagasan baru.

b) Pengalihan

Bahasa mengenal pengalihan (displacement), dapat berbicara mengenai

hal-hal yang jauh, baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara

tentang masa lalu dan masa depan semudah berbicara tentang masa kini, dan

kita bisa bebricara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat – tentang

manusia duyung, kuda bertanduk, dan makhluk dari planet lain.

c) Pelenyapan cepat

Suara bicara melenyap dengan cepat. Suara harus diterima segera setelah itu

dikirimkan atau tidak akan pernah menerimanya. Semua isyarat

berangsur-angsur akan melenyap; simbol-simbol tertulis dan bahkan simbol-simbol

yang dipahatkan pada batu tidaklah permanen. Tapi, secara relative, isyarat

suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua

media komunikasi; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat.

d) Kebebasan Makna

Isyarat bahasa mempunyai kebebasan makna (arbitrary); mereka tidak

(27)

gambrakan. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan

karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya.

Implikasi untuk Komunikasi antar Manusia. Sifat bahasa mempunyai

beberapa implikasi penting bagi komunikasi antarmanusia. Berikut ini

diberikan beberapa fungsi diantaranya:

e) Kaidah Bahasa dan Produktivitas

Produktivitas memungkinkan kita menciptakan kalimat-kalimat yang belum

pernah kita ucapkan sebleumnya secara tak terbatas., tetapi kalimat-kalimat

ini harus mengikuti aturan atau kaidah bahasa agar dapat dimengerti orang

lain. Makin banyak pesan kita melanggar kaidah bahasa, makin kecil

kemungkinan pesan dimengerti orang lain.

f) Kemampuan Berdusta

Dapat berdusta karena mampu menciptakan pemikiran-pemikiran baru

(Produktivitas) dan karena pemikiran-pemikiran baru ini tidak terbatas hanya

pada apa yang ada dalam lingkungan sekitar (pengalihan). Yang terpenting

adalah kenyataan bahwa kalimat yang benar dan kalimat yang dusta

mempunyai bentuk yang sama.

g) Kemudahan dimengerti dengan cepat

Karena cepat lenyap, pesan-pesan lisan harus cepat dimengerti; jika tidak

mereka akan hilang. Oleh karenanya, kejelasan merupakan elemen terpenting

(28)

h) Makna dan kebebasan makna

Karena semua simbol bebas diberi makna, perlu menarik makna tidak saja

pada kata melainkan juga pada orang yang mengkomunikasikannya.

i) Karena semua simbol linguistik bebas diberi makna, perlu mencari makna

tidak saja pada kata-kata melainkan juga pada orang yang

mengkomunikasikannya.14

Selain memiliki sifat, bahasa memiliki fungsi. Menurut Larry L. Barker

dalam Deddy Mulyana, bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu :

a.) Penamaan (naming atau labeling)

Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek,

tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk

dalam komunikasi.

b.) Interaksi

Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat

mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingunan

c.) Transmisi Informasi

Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Fungsi

bahasa ini yang disebut fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai

sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa

14

(29)

lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan. Tanpa

bahasa tidak mungkin bertukar informasi, tanpa bahasa tidak mungkin

menghadirkan semua objek dan tempat untuk rujukan dalam komunikasi.15

2.1.5 Proses Komunikasi

Komunikasi tidak pernah terlepas dari sebuah proses, oleh karena itu

apakah pesan dapat tersampaikan atau tidak tergantung dari proses

komunikasi yang terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Ruslan bahwa :

“Proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan

-pesan (message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada

penerima pesan sebagai komunikan tersebut bertujuan (feed back) untuk

mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah

pihak”.16

Proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu

kelompok lain. Lukiati Komala megungkapakan ada lima langkah dalam

proses komunikasi, yaitu :

1) Yang dilakukan sumber adalah ideation yaitu penciptaan satu gagasan

atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation

ini merupakan landasan bagi suatu pesan akan disampaikan.

15

Deddy Mulyana, „Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar‟ (Bandung : PT Rosda Karya, 2005) hlm, 243.

16

(30)

2) Dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber

menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata,

tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan

informasi yang diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan

atau message adalah alat-alat di mana sumber mengekspresikan

gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tertulis ataupun perilaku

nonverbal.

3) Dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi

(encode). Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara

berbicara, menulis, menggambar, ataupun melalui suatu tindakan

tertentu. Pada langkah ketiga ini, mengenal istilah channel atau saluran,

yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. Saluran untuk

komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka. Sumber berusaha untuk

membebaskan saluran komunikasi dari gangguan atau hambatan,

sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki.

4) Perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan,

maka penerima perlu menjadi pendengar yang baik, karena jika

penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang. Dalam proses ini,

penerima melakukan encoding, yaitu memberikan penafsiran atau

interpretasi terhadap pesan yang disampaikan. Pemahaman merupakan

kunci untuk melakukan encoding dan hanya terjadi dalam pikiran

penerima. Akhirnya penerima yang akan memnentukan bagaimana suatu

(31)

5) Dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang

memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah

disampaikan kepada penerima. Respon atau umpan balik dari penerima

terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata

ataupun tindakan-tindakan tertentu. Penerima bisa mengabaikan pesan

tersebut ataupun menyimpannya. Umpan balik inilah yang dapat

dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi.17

2.2 Komunikasi Instruksional

2.2.1 Pengertian Komunikasi Instruksional

Komunikasi sebagai interaksi psikologis antara dua orang atau lebih

berdampak pada berubahnya pengetahuan, sikap dan keterampilan dipihak

komunikan, pada saat komunikator membantu upaya perubahan tersebut

dengan teknik dan alat tertentu, terangkum dalam komunikasi instruksional.

Istilah instruksional berasal dari kata instruction. Ini bisa berarti

pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Hal ini bisa lihat

pada kamus-kamus bahasa, baik yang umum dalam satu bahasa maupun yang

dua bahasa. Memang terdapat beberapa kemungkinan makna dari kata

instruksional tersebut karena bergantung pada bidang dan konteks

pembahasannya.

17

(32)

Webster‟s Third International Dictionary of the English Language

mencantumkan kata instructional (dari kata to instruct) dengan arti

memberikan pengetahuan atau informasi khusus dengan maksud melatih

berbagai bidang khusus, memberikan keahlian atau pengetahuan dalam

berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu. Di sini juga dicantumkan

makna lain yang berkaitan dengan komando atau perintah.18

Dalam pelaksanaannya, komunikasi instruksional bisa menggunakan

pendekatan komunikasi antar pribadi, dimana peran masing-masing

komunikator atau komunikan secara bersama membagi dan menciptakan

pemahaman secara bersama.19

2.2.2 Fungsi dan Manfaat Komunikasi Instruksional

Komunikasi instruksional mempunyai fungsi edukatif, atau tepatnya

mengacu pada fungsi edukatif dari fungsi komunikasi secara keseluruhan.

Sebgai fungsi edukasi, komunikasi instruksional bertugas mengelola

proses-proses komunikasi yang secara khusus dirancang untuk tujuan memberikan

nilai tambah bagi pihak sasaran, atau setidaknya untuk memberikan

perubahan-perubahan dalam kognisi, afeksi, dan konasi atau psikomotor di

18

Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hal. 57.

19

(33)

kalangan masyarakat, khususnya yang dikelompokan ke dalam ranah sasaran

pada komunikasi instruksional.20

Adapun manfaat adanya komunikasi instruksional antara lain efek

perubahan perilaku, yang terjadi sebagai hasil tindakan komunikasi

instruksional, bisa dikontrol atau dikendalikan dengan baik.21

Pencapaian tujuan pembelajaran menurut bloom yang diungkapkan Nana

Sujana dibedakan menjadi tiga, yaitu :

Bidang Kognitif

Bidang kognitif berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan yang

berhubungan dengan berfikir, mengetahui, dan memecahkan. Bidang ini

memiliki beberapa tingkatan, tingkatan yang paling rendah dan tingkatan yang

paling tinggi. Tingkat kemampuan ini melalui aspek pengetahuan,

pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

Bidang Afektif Bidang ini berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan

yang berhubungan dengan penguasaan, sikap, dan nilai-nilai, minat (interest)

dan penyesuaian peran sosial. Bidang afektif memiliki tingkatan, yaitu aspek

kemampuan menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan karya,

ketelitian, dan ketekunan.

20

Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm.10

21

(34)

Bidang Psikomotor.

Bidang ini berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan yang berhubungan

dengan keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu. Ada beberapa

tingkatan dalam bidang psikomotor yaitu gerakan reflek, keterampilan pada

gerakan dasar, kemampuan di bidang fisik, gerakan-gerakan skill dan

sebgaianya.22

2.2.3 Metode Komunikasi Instruksional

Metode merupakan bagian dari strategi, artinya suatu teknik atau cara

yang runtut untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan yang sudah

direncanakan.23

Macam-macam jumlah metode mengajar mulai yang paling tradisional

sampai yang paling modern, sesungguhnya banyak dan hampir tidak dapat

dihitung dengan jari tangan.

Seperti yang diungkapkan oleh Fathurrohman dan Sutikno beberapa

metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, diantaranya :

1) Metode diskusi

Salah satu cara mendidik yang berupaya memecahkan masalah yang

dihadapi, baik dua orang atau lebih yang masing-masing mengajukan

argumentasinya untuk memperkuat pendapatnya.

22

Nana Sudjana. ‟Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar‟ (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 50.

23

(35)

Tujuan penggunaan metode diskusi ini ialah untuk memotivasi dan

memberi stimulasi kepada siswa agar berfikir dengan renungan yang dalam.24

2.) Metode Praktikum

Metode praktikum dapat dilakukan kepada atlet setelah pelatih

memberikan arahan, aba-aba, petunjuk untuk melaksanakannya. Kegiatan ini

berbentuk praktik dengan mempergunakan alat-alat tertentu, dalam hal ini

pelatih melatih keterampilan atlet dalam penggunaan alat-alat yang telah

diberikan kepadanya serta hasil dicapai mereka.25

2.3 Tunanetra

2.3.1 Pengertian Tunanetra

Menurut Pradopo anak tunanetra adalah anak yang rusak penglihatannya,

sedangkan para tunanetra adalah mereka yang menyandang kerusakan mata

atau kerusakan penglihatan, dapat disimpulkan bahwasannya tunanetra adalah

seseorang yang mengalami hambatan dalam penglihatan sehingga membatasi

kemampuannya dalam beraktifitas dan menerima informasi dari luar.

Dalam buku ensiklopedi kesehatan, yang dimaksud dengan cacat adalah

hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan kerja tubuh tertentu, baik untuk

sementara ataupun selamanya, kemampuan itu dapat beranekaragam baik

kemampuan yang sangat jelas seperti melihat, mendengar dan lain sebagainya.

24

Fathurohman dan Sutikno. „Strategi Belajar Mengajar‟ (Bandung: PT. Refika Aditama , 2007), hlm. 61-62

25

(36)

Pengertian tunanetra atau buta disini memiliki pengertian secara luas,

pengertian tunanetra secara sempit adalah kehilangan sebagian atau seluruh

kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas adalah

kehilangan penglihatan demikian banyak sehingga tidak dapat dibantu dengan

kacamata biasa.26

2.3.2 Klasifikasi Tunanetra

Apabila dilihat dari jenis penglihatannya, maka tunanetra dapat

diklasifikasikan dalam penglihatan normal, penglihatan lemah (low vision)

dan buta.27

- Penglihatan normal: dapat melihat secara normal tanpa gangguan apapun.

- Penglihatan lemah (low vision): masih dapat melihat tapi dengan bantuan

alat seperti kacamata dan sebagainya

- Buta: tidak bisa melihat sama sekali walaupun dengan alat Bantu seperti

kacamata.

Apabila dilihat dari tajam penglihatannya, dapat diklasifikasikan sebagai

berikut: 28

263 Hermaya, T, „ensiklopedi kesehatan‟

(Jakarta: PT Cipta adi pustaka, 1992), hlm. 93

27

Sidarta Ilyas, „penuntun ilmu penyakit mata‟ (fakultas kedokteran universitas Indonesia, 1993), hlm. 155.

28

(37)

- Penglihatan normal Penglihatan dinyatakan normal apabila tajam

penglihatan lebih baik 6/10, pada keadaan ini penglihatan mata adalah

normal dan sehat.

- Penglihatan hampir normal Pada keadaan ini tidak menimbulkan masalah

yang gawat, akan tetapi perlu diketahui penyebabnya mungkin suatu

penyakit yang masih bisa diperbaiki.

- Penglihatan lemah atau low vision Penglihatan lemah (low vision)

dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:

1) Penglihatan lemah (low vision) sedang Dengan kacamata kuat atau

kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat

2) Penglihatan lemah (low vision) berat Masih mungkin orientasi dan

mobilitas umum akan tetapi mendapat kesukaran pada lalu lintas dan

melihat mobil, untuk membaca diperlukan kaca pembesar kuat,

membaca jadi lambat.

3) Penglihatan lemah (low vision) nyata Bertambahnya masalah orientasi

dan mobilisasi. Dengan keadaan ini diperlukan tongkat putih untuk

mengenal lingkungan, hanya minat yang kuat masih mungkin

membaca dengan kaca pembesar, umumnya memerlukan braile, radio,

(38)

- Buta

Buta dibedakan menajdi dua macam, yaitu:

1) Hampir buta Pada keadaan ini penglihatan kurang dari empat kaki

untuk menghitung jari, penglihatan tidak bermanfaat kecuali pada

keadaan tertentu harus mempergunakan alat nonvisual.

2) Buta total Pada keadaan ini tidak mengenal rangsangan sinar sama

sekali, seluruhnya tergantung pada alat indra lainnya.29

2.3.3 Sebab Tunanetra

Low vision dan buta adalah buta yang tidak reversible keduanya tidak

dapat diperbaiki secara medis, keadaan ini terjadi bila terdapat kerusakan pada

selaput jala mata ataupun saraf penglihatan. Berikut adalah penyebab

seseorang bisa mengalami tunanetra :

- Buta sejak lahir diakibatkan glaucoma dan diabetes mellitus

- Galukoma dapat diturunkan atau merupakan penyulit

- Diabetes mellitus merupakan penyakit usia lanjut Diakibatkan cidera mata

Sebab-sebab lemah penglihatan (low vision)

- Cacat bawaan

29

(39)

- Penyakit yang diturunkan

- Kecelakaan atau ruda paksa

- Diabetes

- Glaucoma

- Dan berhubungan dengan usia lanjut.30

2.3.4 Tenis Meja Tunanetra

Olahraga tenis meja bukan hanya milik mereka yang bisa melihat.

Tunanetra pun bermain tenis meja. Jenis olahraga ini juga dipertandingkan

di turnamen-turnamen olahraga untuk para penyandang disabilitas. Olahraga

tenis meja biasanya diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa serta pusat-pusat

rehabilitasi untuk tunanetra. Seperti halnya permainan tenis meja pada

umumnya, tenis meja tunanetra juga dimainkan oleh laki-laki ataupun

perempuan, baik single maupun double. Namun, peralatan yang digunakan

tunanetra sedikit berbeda dari tenis meja yang dimainkan orang yang tidak

tunanetra.

Ukuran bola tenis meja untuk tunanetra sama dengan bola tenis meja

pada umumnya. Perbedaannya, bola tenis meja tunanetra dilengkapi dengan

30

(40)

gotri, yaitu biji-bijian sebesar kacang hijau dari logam, yang dimasukkan ke

dalam bola. Fungsi biji-biji logam ini adalah sebagai sumber bunyi.

Saat bola dipukul atau menggelinding, biji-biji logam akan saling

beradu dan menimbulkan bunyi. Bunyi ini membuat tunanetra yang bermain

tenis meja mengetahui arah bola bergerak. Biji-biji logam itu membuat bola

tenis meja tunanetra menjadi lebih berat dibandingkan bola tenis meja biasa.

Meja tenis untuk tunanetra juga berbeda. Sepanjang sisi meja

dilengkapi jalur seperti parit kecil berpermukaan landai selebar kurang lebih

5 cm dengan kedalaman setengah besar bola. Parit kecil ini berfungsi

sebagai tempat jatuh bola. Dengan demikian, ukuran meja untuk tunanetra

lebih lebar dibanding tenis meja biasa. Namun, ukuran areal meja sebagai

bidang bermain pada dasarnya sama.

Di dalam parit tadi, baik sisi kanan maupun kiri, terdapat garis batas

bola masuk yang berarti menambah poin angka atau bola keluar atau bola

mati yang berarti tidak menambah poin. Pada parit yang berada di hadapan

pemain terdapat “garis ganda”, yaitu garis yang memisahkan posisi pemain

ganda. Kedua garis tersebut dibuat dalam bentuk timbul, sehingga dapat

diraba tunanetra yang sedang bermain.

Peletakan net pada tenis meja tunanetra juga sedikit berbeda. Net

dipasang dengan posisi lebih tinggi, kurang lebih berjarak 4 cm di atas meja.

(41)

sisi meja ke sisi lainnya. Dalam pertandingan, ketinggian net selalu dicek

agar tidak mengganggu permainan atau merugikan pemain.

Perbedaan-perbedaan tersebut membuat strategi atau taktik-taktik

untuk mengecoh lawan atau memenangi permainan dalam tenis meja

tunanetra juga berbeda. Antara lain, saat giliran memukul bola, memelintir

bola sedemikian rupa, dengan cara memukul datar sambil menggeserkan

tangan ke kanan atau ke kiri. Dengan pelintiran seperti ini, bola yang berisi

butir-butir logam menjadi tidak bersuara terlalu nyaring atau bahkan tidak

bersuara sama sekali, sehingga lawan tidak dapat mendengar dengan baik

dan terkecoh.

Tentu saja strategi ini hanya dapat dilakukan oleh pemain yang sudah

piawai dan berpengalaman. Jika tidak, salah-salah malah bola keluar arena

atau terpelanting, dan mati. Pilihan jenis olahraga bagi tunanetra memang

tidak banyak. Di antara pilihan yang sedikit itu, tenis meja adalah salah satu

olahraga yang cukup digemari tunanetra.

Perbedaan lain permainan tenis meja tunanetra adalah cara memukul

bola. Dalam permainan tenis meja tunanetra bola tidak dipukul memantul,

tetapi dipukul mendatar ke arah lawan. Bola akan menggelinding, bergerak

di atas meja ke arah lawan, melewati bawah net.

Tunanetra harus mengandalkan pendengaran, mendengar suara bola,

mengikuti ke mana arah bola bergerak, lalu memukul balik bola ke arah

(42)

meja sebelum garis batas bola, berarti out atau bola keluar. Jika bola masuk

ke parit setelah garis batas atau masuk ke parit yang terletak di hadapan

lawan, berarti in atau bola masuk.

Sering terjadi, jika pemain memukul bola terlalu keras, saat melakukan

smash misalnya, bola keluar melewati parit hingga jatuh ke lantai.

Gangguan suara menjadi tantangan tersendiri dalam pertandingan tenis meja

tunanetra. Tak jarang, sorak-sorai penonton menenggelamkan suara bola,

sehingga tunanetra tidak dapat mengikuti dengan baik arah bola

menggelinding. Karena itu, sebelum pertandingan tenis meja tunanetra

dimulai, wasit mengingatkan agar penonton menjaga ketenangan atau tidak

bersorak terlalu gaduh, agar tidak mengganggu pendengaran atlet yang

sedang bertanding.

Sorak-sorai ini sering digunakan pendukung atau suporter sebagai

strategi untuk mengganggu atau mengintimidasi lawan pemain yang mereka

dukung. Dalam kondisi seperti ini, wasit berhak memperingatkan atau

menegur para suporter.31

2.4 National Paralympic Indonesia

Atas saran Prof. Dr. Soeharso, pendiri Rehabilitasi Cacat yang kini

berganti nama menjadi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa, Pada

tanggal 31 Oktober 1962, Pairan Manurung mendirikan sebuah organisasi

bernama Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPAC) di Surakarta, Jawa

31„Tunanetra Juga Main Tenis Meja‟

(43)

Tengah, Indonesia. Dalam perkembangannya yayasan ini berhasil membina

beberapa atlit penyandang disabilitas di masanya.

Pada Muyawarah Olahraga Nasional yang diselenggarakan di

Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober - 1 November 1993, beberapa orang

menyarankan mengganti nama YPAC menjadi Badan Pembina Olahraga

Cacat (BPOC). Maka sejak tanggal 31 Oktober 1993 itulah nama BPOC

digunakan dengan tujuan supaya organisasi ini nantinya bisa mendapatkan

bantuan dana dari pemerintah.

Berdasarkan keputusan yang dibuat pada International Paralympic

Committee (IPC) General Assembly pada 18 November 2005, yang

mewajibkan para anggotanya untuk memakai kata 'paralympic' untuk gerakan

dan kegiatan yang berkaitan dengan olahraga penyandang disabilitas, maka

BPOC yang kala itu sudah menjadi anggotanya pun kemudian berganti nama

menjadi National Paralympic Committee of Indonesia (NPC). Hingga kini

nama itulah yang digunakan sebagai nama resmi organisasi dan telah diakui

legalitasnya oleh IPC dan Pemerintah Republik Indonesia sebagai induk

organisasi pembinaan olahraga untuk penyandang disabilitas di Indonesia.

Hingga saat ini NPC Indonesia telah resmi menjadi anggota dari

beberapa organisasi olahraga penyandang disabilitas baik di tingkat regional

maupun international seperti misalnya, IPC, Asian Paralympic Committee,

Asean Para Sport Federation. National Paralympic Committee of Indonesia

(44)

Indonesia hingga kini telah banyak prestasi yang diraih dalam berbagai

kompetisi baik di tingkat regional maupun internasional.32

2.5 Teori Identifikasi Kenneth Burke

Kenneth Burke adalah ahli teori simbol yang terbesar. Ia menulis hampir

selama lebih 50 tahun dan teorinya adalah salah satu dari teori-teori symbol

yang paling komprehensif. Dalam penelitian teori komunikasi dimulai dengan

konsep tindakan. Kemudian, akan beralih ke ide inti dari symbol, bahasa, dan

komunikasi.

Burke menyetujui bahwa bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk

tindakan. Karena kebutuhan sosial membutuhkan orang untuk bekerja sama

dengan tindakannya, sehingga bahasa membentuk perilaku. Bahasa, seperti

halnya pandangan Burke, selalu bermuatan emosional. Tidak ada kata yang

dapat menjadi netral. Sebagai akibatnya, perilaku, penilaian, dan perasaan.

Bahasa bersifat selektif dan abstrak serta focus pada aspek realitas tertentu

dalam kekuasaan aspek lainnya.

Ketika dua orang tunanetra sedang melakukan aktivitas yang santai ,

mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bebas dan cara yang mudah

karena mereka berbagi makna bahasa yang sedang digunakan. Dalam istilah

Burke, mereka sedang mengalami kesamaan (consubstantiality). Sebaliknya,

jika seorang tunanetra berhubungan dengan orang lain yang bukan tunanetra,

32

(45)

misalnya dengan penjual makanan di restoran kecil, mungkin mereka akan

frustasi karena makna yang kurang menyatu.

Kesamaan adalah satu cara identifikasi yang tercipta di antara manusia.

Dalam metode yang berputar, sebagaimana identifikasi meningkat, penyatuan

makna meningkat, sehingga akan meningkatkan pemahaman. Dengan

demikian, identifikasi dapat berarti ajakan dan penyampaian yang efektif atau

menjadi akhir dari komunikasi itu sendiri. Identifikasi dapat disadari atau

tidak disadari, direncanakan atau tidak direncanakan.

Identifikasi bukan sebuah/maupun kejadian, tetapi menyangkut dengan

derajat. Beberapa kesamaan akan selalu ada hanya dengan kemanusiaan yang

terbagi secara nyata diantara dua orang. Identifikasi bisa besar atau kecil serta

bisa meningkat atau menurun oleh tindakan pelaku komunikasi.33

2.4 Kerangka Berfikir

Dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana penyatuan

makna sebagai latar belakang masalah. Perbedaan fisik antara pelatih dan

atlet tenis meja tunanetra menimbulkan dua hambatan; pertama, pelatih

mengandalkan komunikasi verbal dalam memberikan instruksi saat proses

latihan tenis meja tunanetra. Kedua, instruksi atau pesan yang disampaikan

33

(46)

saat proses latihan harus benar-benar detail agar atlet tenis meja tunanetra

paham dengan instruksi yang disampaikan.

Sebelum proses latihan pelatih terlebih dulu mengidentifikasi atlet dari

segi karakter, kemampuan teknis, dan kemampuan nalar dalam menerima

instruksi. Hal tersebut dilakukan untuk membangun sebuah proses komunikasi

yang efektif dalam pelatihan tenis meja tunanetra.

Teori identifikasi Kenneth Burke mengkategorikan identifikasi kepada

tiga bagian, yaitu; Identifikasi materi, identifikasi idealistis, dan identifikasi

formal. Dengan demikian, identifikasi dapat berarti ajakan dan penyampaian

yang efektif atau menjadi akhir dari komunikasi itu.34

Dari itu semua diketahui cara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra

menerapkan komunikasi instruksional dalam proses latihan dengan tiga

identifikasi yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu proses komunikasi

instruksional, metode komunikasi instruksional, dan komunikasi verbal

komunikasi instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra.

34

(47)

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir

Perbedaan Fisik

Pelatih Atlet

Teori Identifikasi

Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja

Tunanetra

Proses

Komunikasi

Metode Komunikasi

(48)

2.3 Penelitian Sebelumnya

Melalui penelitian sebelumnya, penulis bisa mengetahui apa perbedaan

ini dengan perbedaan peneliti terdahulu. Ada tiga penelitian yang dianggap

memiliki kemiripan kasus dengan yang dibahas dalam penelitian ini. Berikut

tiga penelitian yang penulis dapatkan dari e-library.

(49)

digunakan, aliran

Kualitatif Kualitatif Kuantitatif

(50)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metodologi Penelitian

Metode yang digunakan peneliti adalah menggunakan pendekatan

kualitatif. Lexy J. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif adalah penelitian

yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh

subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain lain,

secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata –kata dan bahasa.35

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang cenderung bersifat

analitis dengan memaparkan situasi atau peristiwa, peneliti tidak hanya

menggambarkan atau menjelaskan masalah-masalah yang diteliti sesuai dengan

fakta, tetapi juga didukung oleh pertanyaan-pertanyaan dengan melakukan

wawancara dengan pihak yang memiliki kaitan dengan objek penelitian yang

kemudian datanya dikumpulkan, disusun, dijelaskan kemudian dianalisa, disertai

dengan pemecahan masalah atau solusi sesuai dengan masalah yang diteliti.

Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Tujuan penggunaan

metode ini adalah untuk melukiskan secara sistematis mengenai fakta dan karakter

populasi secara faktual dan cermat.36

35

Lexy J Moleong, „Metodologi Penelitian Kualitatif.‟ (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2007). Hal.6

36

Rachmat Kriyantono, S.Sos., M.Si. Teknik Praktisi Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2006), hal.67

(51)

3.2 Paradigma Penelitian

Paradigma adalah suatu kerangka konseptual (conceptual frame work),

suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang menmpengaruhi persepsi, dan

pada gilirannya mempengaruhi cara bertindak dalam suatu situasi. Paradigma

suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma

mempengaruhi pandangan mengenai fenomena.37

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivistis, penulis

mempresentasikan teks berdasarkan kerangka dan pemahaman tertentu. Penulis

menyajikan realitas-realitas sosial yang telah dikonstruksi,

generalisasi-generalisasi lokal, pusat-pusat intrepretif, khasanah pengetahuan,

intersubyektivitas, pemahaman-pemahaman praktis, dan pembicaraan tak

umum.38

Aliran konstruktivistis menerapkan metode hermeneutics yaitu interpretasi

maknadan dialectic yang berartikomunikasi dua arah dalam mencapai kebenaran,

metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi

pendapat dari orang-perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk

membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-orang yang diperoleh

melalui metode pertama untuk mendapatkan konsesus kebenaran dan disepakati

bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatau kebenaran merupakan

37Deddy Mulyana. „Metodologi Penelitian Kualitatif‟ (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 16.

(52)

perpaduan pendapat yang bersifat relative, subjektif, dan spesifik mengenai

hal-hal tertentu.39

Penulis ingin menyajikan data secara jelas seperti apa yang disampaikan

informan dalam penelitian ini. Pelatih tenis meja tunanetra yang bekerja sama

dengan atletnya, mengenalkan dunianya kepada penulis secara mendalam

kemudian penulis akan menganalisis dan menyajikan data tentang bagaimana

komunikasi instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra tersebut bisa

diterapkan.

3.3 Teknik Pengambilan Data

Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam

penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa

mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data

yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk memperoleh data yang

dibutuhkan sebagai bahan pembuatan laporan penelitian, ada beberapa teknik,

cara atau metode yang dilakukan oleh peneliti dan disesuaikan dengan jenis

penelitian kualitatif, salah satunya yaitu:

1) Wawancara

Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui pembuatan daftar

pertanyaan yang nantinya diajukan secara lisan terhadap narasumber. Wawancara

menurut Moleong adalah percakapan dengan maksud tertentu.40

39

(53)

Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung (face to

face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data

yang dibutuhkan. Sesuai dengan jenisnya, peneliti memakai jenis wawancara

mendalam (depth interview) seperti yang dijelaskan dalam buku Teknik Riset

Komunikasi oleh Rachmat Kriyantono.41 Sebelum melakukan wawancara peneliti

menghubungi para informan untuk diminta melakukan proses wawancara sebagai

informan dalam penelitian ini.

Pada wawancara mendalam ini penulis terlebih dahulu menyiapkan

sejumlah pertanyaan yang ditulis dalam pedoman wawancara. Dalam melakukan

wawancara dengan informan, penulis merekam melalui perekam suara dari

handphone, lalu menulis ulang semua yang informan ucapkan secara garis besar

2) Observasi

Dikemukakan Nasution teknik observasi dapat menjelaskan secara luas

dan rinci tentang masalah-masalah yang dihadapi karena data observasi

berupa deskripsi yang faktual, cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan,

kegiatan manusia dan sistem sosial, serta konteks tempat kegiatan itu terjadi.

Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik pengamatan atau observasi

agar bisa mengamati atlet dan pelatih tenis meja tunanetra secara langsung,

melalui pencitraan lapangan.42 Ketika teknik komunikasi lainnya tidak

dimungkiknkan, pengamatan dapat mengamati perilaku objek penelitian ini, yaitu

40Ibid

. Hal 186

41

Rahmat Kriyantono. 2006. Tekhnik Riset Komunikasi, Yogyakarta : Prenada Media Group hal 98

42

(54)

pelatih dan atlet tenis meja tunanetra, dan pengamatan atau observasi juga

mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,

perilaku tak sadar, dan kebiasaan.43

Pada observasi ini penulis terlebih dahulu menyiapkan sejumlah

pertanyaan yang ditulis dalam pedoman observasi. Dalam melakukan observasi

dengan informan, penulis merekam dengan handphone dan melihat secara

langsung kegiatan dan perilaku yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut

hal yang akan di observasi oleh peneliti guna memaksimalkan penelitian :

- Mengobservasi bagaimana proses komunikasi instruksional bisa berjalan,

dan bentuk proses komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis

meja tunanetra

- Mengobservasi metode yang digunakan oleh pelatih tenis meja tunanetra

guna menyampaikan instruksi-instruksi dalam proses pelatihan.

- Mengobservasi mengenai bahasa yang disepakati oleh pelatih dan atlet tenis

meja tunanetra dalam proses latihan tenis meja tunanetra.

Dengan demikian, secara metodologis teknik ini dapat memanfaatkan

kemampuan dan peran peneliti secara optimal dalam mengamati berbagai

peristiwa dan situasi yang dapat memberikan gambaran secara visual mengenai

kegiatan komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra

dilakukan dengan cara mengamati apa yang pelatih dan atlet lakukan, terutama

saat melakukan komunikasi instruksional. Penulis kemudian mencatat hal-hal

penting yang sesuai dengan penelitian.

43

(55)

3.4 Teknik Sampling

Dalam menentukan informan, penulis menggunakan teknik purposive

sampling. Teknik purposive sampling adalah jumlah sampel yang digunakan

tetap.44. Jumlah sampel yang digunakan oleh peneliti adalah tetap dan memenuhi

kriteria-kriteria sebagai sumber data.

Berikut key informan dalam penelitian ini :

1. Yulianto, yaitu pelatih tenis meja tunanetra Kota Bekasi

2. Yanto Sugiharto, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi

Berikut informan tambahan dalam penelitian ini adalah :

1. Toni Budi Santoso, yaitu atlet tenis meja tuanetra Kota Bekasi

2. Sarah Wijaya, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi

3. Iis Wulandari, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi

Key informan dalam penelitian ini adalah satu orang pelatih dan satu orang atlet

tenis meja tunanetra, sedangkan informan tambahan diambil dari tiga atlet tenis

meja tunaetra Kota Bekasi.

Pada penelitian ini yang akan digunakan sebagai informan adalah para

tunanetra yang memiliki kaitan dengan tenis meja tunanetra yang dijadikan

sebagai objek penelitian. Adapun syarat dan ketentuan informan yang akan diikut

sertakan dalam penelitian ini adalah :

44Sugiyono. „Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D‟

, ( Bandung: CV. Alfabeta,

(56)

Key Informan :

1. Tergabung dalam National Paralympic Kota Bekasi

2. Telah berkecimpung minimal 5 tahun dalam Tenis Meja Tunanetra

3. Mempunyai Prestasi dibidang Tenis Meja Tunanetra

Informan tambahan :

1. Memahami tenis meja tunanetra

2. Berpartisipasi dalam kegiatan tenis meja tunanetra

3.5 Analisis Data

Bogdan menyatakan, analisis data adalah proses mencari data dan

menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawncara, catatan

lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya

dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan

mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit, melakukan sintesa,

menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,

dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.45 Adapun

penjabaran tentang analisis data, sebagai berikut :

- Data Reduction (Reduksi Data)

Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu

perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih

45

(57)

hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian dicari

tema dan polanya

- Data Display (Penyajian Data)

Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan

data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan

antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan data, maka akan

memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya

berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.

- Conclusion Drawing/Verification

Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan

dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan

akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada

tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang

dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten

saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang

dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.46

3.6 Uji Validitas Data

Dalam metode kualitatif, hasil temuan atau data yang diperoleh peneliti

dapat dinyatakan valid apabila hasil temuan atau data yang diperoleh sesuai

dengan temuan atau data yang sebenarnya terjadi pada objek yang diteliti.

46

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Tabel 2
Tabel 4.1
Gambar 4.1
+3

Referensi

Dokumen terkait