Diajukan untuk memenuhi skripsi pada Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
Disusun Oleh :
Henry Pramudya Soegiana 6662092665
KONSENTRASI JURNALISTIK
PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
AgengTirtayasa. 2014.
Penelitian ini membahas bagaimana komunikasi instrukisonal antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra pada proses latihan. Perbedaan fisik antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra memicu permaslahan komunikasi, dimana instruksi yang semestinya disampaikan oleh pelatih dengan cara audio dan visual. Pelatih hanya mengandalkan audio untuk menggambarkan sebuah isntruksi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses komunikasi, untuk mengethaui metode komunikasi, dan untuk mengetahui komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif, dengan mengumpulkan data melalui wawancara dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah satu pelatih tenis meja tunanetra dan empat atlet tenis meja penyandang tunanetra. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori identifikasi Kenneth Burke, dimana kesamaan adalah satu cara identifikasi yang tercipta di antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra, identifikasi meningkat, penyatuan makna meningkat, sehingga akan meningkatkan pemahaman. Hasil penelitian menunjukan bahwa, pertama proses komunikasi melalui tahap awal komunikasi, yang akhirnya tercipta cara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra berkomunikasi. Kedua, metode komunikasi instruksional yang digunakan pelatih dalam proses latihan adalah menggunakan metode praktikum, dan metode diskusi. Ketiga, komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pelatih dan atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi adalah komunikasi verbal secara lisan.
Tirtayasa University. 2014.
This research examines how the instructional communications work on between the table tennis trainer and the athlete with vision disabilities during the training process. The physical differences between the trainer and the athlete trigger a communication problem, where the instruction that should be delivered by the trainer with both of audio and visual, in this case they only rely on an audio for giving a perspective of instruction. The purposes of this research is to describe the communication process between the table tennis trainer and the athlete with vision disabilities of Bekasi City during the training, and to identify what instructional communication method using by the table tennis trainer and the athlete, then to know what a verbal communication technic that the trainer use to deliver a message to the athlete. This research using the qualitative descriptive method, which is the writer interviewing and observing to collect the data. The informant of this research is one table tennis trainer and four athletes with vision disabilities. Kenneth Burke identification theory is the main theory of this research, where the similarity whit this case is once the one way identification has made between the trainer and the athlete, the identification increase, the fusion of meaning increase, then will increase the comprehension. The result shown that first, communication process passing the first step of communication, well then the communication between both created. Second, the instructional communication method used by the trainer during the training process is the practicum method and the discussion method. Third, the instructional communication used by the trainer and the athlete is verbal communication verbally.
ix
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT. Atas berkah, rahmat, dan hidayah dari-Nya, skripsi yang berjudul “Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi” ini Alhamdulillah dapat diselesaikan.
Dalam pembuatan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dari sejumlah pihak sehingga skripsi ini bisa diselesaikan. Pada kesempatan ini, penulis mempersembahkan ucapan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, diantaranya adalah :
1. Prof. Dr. H. Sholeh Hidayat, M.Pd, selaku Rektor Universitas Sultan Ageng Tirtayasa.
2. Dr. Agus Sjafari, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
3. Kandung Sapto N, S.Sos,. M.Si, Selaku Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Mia Dwiana, S.Sos., M.Si, selaku Pemabntu Dekan II Bidang Keuangan, dan Gandung Ismanto, S.Sos., MM, selaku Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.
4. Neka Fitriyah, S.Sos., M.Si, selaku Ketua Jurusan Program Ilmu Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa serta Puspita Asri Praceka, S.Sos., M.Ikom, selaku sekretaris Jurusan Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Sultan Ageng Tirtayasa
x sangat besar untuk penelitian ini.
7. Kedua orang tua, Bapak Nanang dan Ibu Heni. Keluarga besar di Serang, A Maman, Bi Elis, Bi Nani, Bi Rini, Om Ade, Om Esa, Gogo, Mega, Aca, Okta, Ica, dan Meizy. Terimakasih atas segala dukungan dan do’a yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan kuliah sampai gelar sarjana.
8. Teman diskusi, Annisa Rizky, M.I.Kom. Terimakasih atas segala waktu dan ide-idenya, sehingga sangat membantu penulis dalam mengerjakan penelitian ini.
9. Teman baik, Aulia, Tulus, Andri, Ica, Cony, Augia, Galuh, Alan, dan semua teman-teman Ilmu Komunikasi 2009. Keluarga besar KOVIKITA, Untirta TV, Teater Kafe Ide, dan Djogja Production tempat penulis mengembangkan minat dan bakat. Terimakasih atas waktu dan pengalaman yang pernah diberikan.
10.Sahabat-sahabat PEMBURU Aji, Putra, dan Billi tempat penulis berbagi keluh kesah.
11.Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini.
Penulis sadar, skripsi ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk itu, penulis bersedia menerima kritik sebagai bahan intropeksi diri dan pembelajaran.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Serang, Oktober 2014
Penulis
xi
2.1.2 Unsur-unsur Komunikasi ... 12
2.1.3 Fungsi Komunikasi ... 12
2.1.4 Komunikasi Verbal ... 13
2.1.4 Proses Komunikasi... 17
2.2 Komunikasi Instruksional ... 19
2.2.1 Pengertian Komunikasi Instruksional ... 20
2.2.2 Fungsi dan Manfaat Komunikasi Instruksional ... 20
2.2.3 Metode Komunikasi Instruksional ... 22
2.3 Tunanetra ... 23
2.3.1 Pengertian Tunanetra ... 23
2.3.2 Klasifikasi Tunanetra ... 24
2.3.3 Sebab Tunanetra... 26
2.3.4 Tenis Meja Tunanetra ... 27
xii
3.2 Paradigma Penelitian ... 38
3.3 Teknik Pengambilan Data ... 39
3.4 Teknik Sampling ... 42
3.5 Analisis Data ... 43
3.6 Uji KValiditas Data ... 44
3.7 Lokasi dan Jadwal Penelitian ... 45
BAB IV HASIL PENELITIAN ... 47
4.1 Deskripsi Objek Penelitian ... 47
4.2 Deskripsi Informan ... 49
4.2.1 Yulianto ... 59
4.2.2 Yanto Sugiharto ... 50
4.2.3 Toni Budi Santoso ... 50
4.2.4 Sarah WIjaya ... 50
4.2.5 Iis Wulandari ... 51
4.3 Analisis Data dan Pembahasan ... 51
4.3.1 Proses Identifikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 52
4.3.2 Proses Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 57
4.3.2.1 Masalah Komunikasi ... 59
4.3.2.2 Cara Pelatih dan Atlet Berkomunikasi ... 60
4.3.2.3 Feed Back ... 61
4.3.3 Metode Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 67
4.3.3.1 Lisan ... 70
4.3.3.2 Diskusi ... 74
4.3.4 Komunikasi Verbal Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 77
4.3.4.1 Lisan ... 80
4.3.4.2 Ceramah ... 81
xiii
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya ... 36
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian ... 46
Tabel 4.1 Kategorisasi Proses Identifikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 52
Tabel 4.2 Kategorisasi Proses Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 57
Tabel 4.3 Kategorisasi Metode Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 67
Tabel 4.4 Kategorisasi Komunikasi Verbal Pelatih dan Atlet Tenis Meja Kota Bekasi ... 77
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran ... 34
Gambar 4.1 Proses Komunikasi Pelatih dan Atlet Tenis Meja Tunanetra Kota Bekasi ... 63
DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1 Biodata Informan Yulianto ... 91
Lampiran 3 Transkip Wawancara Yulianto ... 91
Lampiran 4 Biodata Yanto Sugiharto ... 94
Lampiran 5 Transkip Yanto Sugiharto ... 94
Lampiran 7 Biodata Toni Budi Santoso ... 97
Lampiran 7 Transkip Wawancara Toni Budi Santoso ... 98
Lampiran 6 Biodata Sarah Wijaya ... 100
ix
Lampiran 8 Biodata Iis Wulandari ... 103
Lampiran 7 Transkip Wawancara Iis Wulandari ... 104
Lampiran 8 Dokumentasi ... 106
1
1.1 Latar Belakang Masalah
Tidak mudah tentunya bagi Yulianto pelatih tenis meja tunanetra Kota
Bekasi untuk menyamakan kesepahaman dengan atlet tenis meja tunanetra yang
didiknya dalam proses latihan. Karena perbedaan fisik antara pelatih dan atlet
tenis meja tunanetra memicu masalah komunikasi. Masalah komunikasi yang
dialami adalah dalam menyatukan pemahaman instruksi yang diterima atlet tenis
meja tunanetra saat proses latihan.
Arahan-arahan yang seharusnya digambarkan melalui audio dan visual
untuk memudahkan atlet tenis meja menerima arahan pelatih, dalam hal ini tidak
bisa digunakan. Pelatih tenis meja tunanetra mengandalkan pesan-pesan yang
berbentuk audio, karena indera penglihatan pada tunanetra tidak bisa maksimal,
sehingga indera pendengaran menjadi andalan dalam menerima instruksi dari
pelatih, oleh karena itu pelatih harus menggunakan arahan yang tepat untuk
menyampaikan pesan atau instruksi.
Dalam hal ini pelatih memaksimalkan komunikasi verbal untuk
mendeskripsikan sebuah instruksi dengan menggunakan bahasa yang dimengerti
agar bisa menyampaikan instruksi yang diberikan kepada atlet tenis meja
Selain itu, sebelum memulai proses latihan, pelatih harus mengidentifikasi
dengan cara mengenal karakter, kemampuan teknis, dan kemampuan nalar dalam
menerima instruksi yang dimiliki atlet tenis meja tunanetra itu sendiri. Hal
tersebut dilakukan untuk membangun sebuah proses komunikasi yang efektif
dalam pelatihan tenis meja tunanetra.
Peraturan dan peralatan tenis meja tunanetra sudah dirancang sedemikian
rupa dan berbeda dengan tenis meja pada umumnya, tetapi dalam tenis meja
tunanetra tetap sulit, karena membutuhkan ketepatan dan kecepatan dalam
mengantisipasi bola pingpong yang bergulir di atas meja dalam keadaan mata
tertutup, sebab itu indera pendengaran menjadi sangat penting. Yulianto, pelatih
tenis meja tunanetra yang menangani atlet-atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi
memberikan pernyataan betapa pentingnya pendengaran dalam proses latihan.
“Seorang atlet tenis meja harus betul-betul cerdas, terutama di dalam
pendengaran, kalau hilang atau buyar konsentrasi dia akan kalah dengan lawan.
Maka dari itu saya selalu berpesan harus latihan konsentrasi pendengaran. Jadi
setiap saya melatih, saya akan selalu mengimbau kepada atlet-atlet binaan saya
untuk hal ini, karena percuma kalau punya kemampuan smash keras tapi
pendengarannya kurang”.
Komunikasi yang diterapkan oleh pelatih dalam proses pelatihan ini hanya
memaksimalkan komunikasi verbal. Komunikasi verbal dalam hal ini berupa
arahan soal teknis tenis meja dan motivasi. Adapun suntikan motivasi diberikan
agar atlet bertambah keyakinan dalam dirinya untuk dapat memenangkan
Sementara itu, seorang atlet pada umumnya memiliki tubuh yang sempurna
demi menunjang karier dan prestasinya, tetapi bermodalkan indera pendengaran,
para atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi dituntut untuk bisa menerima pesan
atau instruksi dengan baik yang diberikan oleh pelatih dalam proses komunikasi
instruksional.
Gangguan penglihatan tidak menghalangi empat atlet tenis meja untuk
mendalami minatnya di bidang olahraga tenis meja tunanetra. Empat atlet tersebut
adalah Yanto Sugiharto, Toni Budi Santoso, Sarah Wijaya, dan Iis Wulandari.
Keempat atlet tenis meja tersebut tergabung dalam National Paralympic
Committee (NPC) Kota Bekasi cabang olahraga tenis meja tunanetra. NPC
merupakan organisasi yang mewadahi olahraga penyandang disabilitas di
Indonesia dan berwenang mengkoordinasikan kegiatan olahraga prestasi bagi
penyandang disabilitas. Organisasi ini bernaung di bawah Komite Olahraga
Nasional Indonesia (KONI) dan kepengurusannya tersebar di seluruh daerah,
salah satunya NPC cabang Kota Bekasi. Cabang olahraga yang biasanya
diperlombakan yaitu atletik, catur, bulu tangkis, tenis lapangan, bola basket, dan
tenis meja.
Meskipun keterbatasannya dalam penglihatan menimbulkan kesulitan ketika
mereka menjalani aktivitas, khususnya sebagai atlet tenis meja, tetapi keempat
atlet tersebut pernah meraih medali di berbagai ajang kompetisi olahraga tenis
meja tunanetra. Seperti Yanto Sugiharto yang pernah meraih medali emas di
kategori single putra pada ajang Pekan Olahraga Nasional (PEPARNAS) ke XIV,
Santoso pun mendapatkan medali perak di ajang yang sama, dan Iis Wulandari
pernah mendapatkan Medali Perunggu pada Pekan Olahraga Cacat Nasional
(PORCANAS) di Kalimantan Timur tahun 2008.
Ada jejak rekam pelatih di belakangnya dalam keberhasilan para atlet tenis
meja tunanetra Kota Bekasi. Peran pelatih dalam prestasi atlet sangat strategis
karena pelatihlah yang melakukan pembinaan secara langsung terhadap atletnya.
Pelatih berperan memberikan instruksi dan memantau perkembangan atlet yang
ditanganinya. Seperti yang diungkapkan oleh Pawit M. Yusuf, para pelaksana
instruksional di lapangan seperti pelatih atau siapa saja yang pekerjaannya
menyampaikan informasi dengan tujuan mengubah perilaku sasaran, perlu
mengetahui proses perubahan perilaku yang terjadi pada seseorang atau sasaran
secara baik. 1
Meskipun begitu proses komunikasi instruksional dalam pelaksanaan
kegiatan pelatihan ini tetap berjalan. Pelatih sebagai orang yang menyampaikan
instruksi atau pesan (komunikator), dan atlet itu sendiri orang yang menerima
pesan atau instruksi dari pelatih (komunikan). Pesan yang ditujukan kepada
komunikan dikemas secara khusus untuk menyamakan kesepahaman dalam
instruksi-instruksi yang diberikan, demi meningkatkan kemampuan yang dimiliki
komunikan, sebab komunikasi instruksional adalah sebuah proses dan kegiatan
1
komunikasi yang dirancang secara khusus untuk meningkatkan nilai tambah bagi
pihak sasaran.2
Menurut Yulianto, keberhasilan seorang atlet bisa diukur dari medali yang
diraih. Agar atlet tenis meja bisa berprestasi, atlet harus mempunyai mental,
kedisiplinan, dan skill tenis meja yang mumpuni. Dan medali bukan hal yang
mustahil untuk diraihnya. Sejalan dengan apa yang dikatakan Pawit M. Yusuf
“Yang akan diukur keberhasilannya adalah pihak sasaran. Sasaran telah memiliki
kemampuan yang bersifat kognitif, afektif, maupun psikomotor”. 3
Belajar kognitif, afektif, dan psikomotorik merujuk pada taksonomi yang
dibuat untuk tujuan pembelajaran. Dalam taksonomi Bloom, tujuan pembelajaran
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga ranah, yaitu: Kognitif; berkenaan dengan
kemampuan dan kecakapan-kecakapan intelektual berpikir. Afektif; berkenaan
dengan sikap, kemampuan dan penguasaan segi-segi emosional, yaitu perasaan,
sikap, dan nilai. Psikomotorik; berkenaan dengan suatu
keterampilan-keterampilan atau gerakan fisik.4
Dalam proses pelatihan ini, tidak mudah tentunya untuk membangun sebuah
komunikasi instruksional yang padu, dengan segala keterbatasan yang dimiliki
oleh atlet tenis meja yang memiliki cacat pada mata. Persaingan yang ketat yang
dihadapi pelatih dan atlet tenis meja bukan hanya sekadar kompetisi di tingkat
daerah namun bersaing di tingkat nasional. Hal itulah yang membuat peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian ini.
2
Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hal 2.
3
Ibid, hal 271.
4Rusman „Belajar dan Pembelajaran Berbasis Komputer‟
Berdasarkan penjelasan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengetahui
lebih lanjut bagaimana komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pelatih dan
atlet tenis meja tunanetra dari ranah kognitif dengan mengadakan penelitian yang
berjudul “Komunikasi Instruksional antara Pelatih dan Atlet Tenis Meja
Tunanetra”.
1.2 RumusanMasalah
Berdasarkan latar belakang yang sudah dikemukakan di atas, maka dapat
dirumuskan masalah sebagai berikut :
Bagiamana komunikasi pelatih terhadap atlet tenis meja tunanetra di Kota
Bekasi ?
1.3 Identifikasi Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka dapat di identifikasikan
sebagai berikut :
1.) Bagaimana proses komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis
meja tunanetra?
2.) Bagaimana metode komunikasi instruksional yang dilakukan oleh pealtih
tenis meja tunanetra Kota Bekasi dalam proses latihan?
3.) Bagaimana Komunikasi verbal pelatih dalam menyampaikan pesan kepada
1.4 Tujuan Penelitian
Berdasarkan uraian latar belakang dan rumusan masalah, maka tujuan
yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.) Untuk menegetahui proses komunikasi instruksional anatara pelatih dan atlet
tenis meja tunanetra Kota Bekasi
2.) Untuk mengetahui metode komunikasi instruksional pelatiht enismeja Kota
Bekasi
3.) Untuk mengetahui komunikasi verbal dalam menyampaikan pesan kepada
atlet tenis meja Kota Bekasi
1.5 Manfaat Penelitian
Peneliti berharap penelitian ini bisa berguna bagi banyak pihak di
kemudian hari. Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1.) Manfaat Teoritis, dapat menambah pengetahuan dan wawasan, terutama
terkait dengan masalah dalam penelitian ini. Selain itu, penelitian ini juga
dapat dijadikan bahan bacaan atau literatur tambahan bagi peneliti-peneliti
selanjutnya yang tertarik terhadap bidang kajian ini.
2.) Manfaat Praktis, dapat dijadikan bahan masukan mengenai penerapan
komunikasi instruksional yang padu antara komunikator dan komunikan,
sehingga diharapkan dapat membuat komunikasi instruksional dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pada tinjauan pustaka ini akan dibahas mengenai teori-teori yang
berhubungan dengan penelitian yang diangkat oleh peneliti, yaitu komunikasi
instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra.
2.1 Tinjauan Teoritis
2.1.1 Definisi Komunikasi
Istilah komunikasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin, yaitu cum,
kata depan yang artinya dengan atau bersama dengan, dan kata units, kata
bilangan yang berarti satu. Kedua kata tersebut kemudian membentuk kata benda
communio, yang dalam bahasa inggris disebut dengan communion, yang berarti
kebersamaan, persatuan, persekutuan, gabungan, pergaulan, atau hubungan.
Karena untuk melakukan communion diperlukan usaha dan kerja, kata communion
dibuat kata kerja communicate yang berarti membagi sesuatu dengan seseorang,
tukar menukar, membicarakan sesuatu dengan orang, memberitahukan sesuatu
kepada seseorang, bercakap-cakap, bertukar pikiran, berhubungan, percakapan,
pertukaran atau hubungan.5
5
Kadar Nurjaman & Khairul Umam „Komunikasi & Public Relation‟ Bandung : Pustaka Setia, 2012) Hal 3
Untuk memperjelas pengertian komunikasi di dalam penelitian ini, berikut
adalah pengertian komunikasi menurut beberapa ahli:
Pengertian komunikasi secara luas, “komunikasi adalah setiap bentuk tingkah
laku seorang baik verbal maupun nonverbal yang ditanggapi oleh orang lain.
Komunikasi mecakup pengertian yang lebih luas dari sekedar wawancara. Setiap
bentuk tingkah laku mengungkapkan pesan tertentu, sehingga juga merupakan
sebentuk komunikasi.6
Pakar yang lain juga memberikan definisi tentang komunikasi. Carl I. Hovland
berpendapat bahwa komunikasi ialah suatu proses dimana seseorang
memindahkan perangsang yang biasanya berupa lambang kata-kata untuk
mengubah tingkah laku orang lain.7
Pendapat lain mengenai pengertian komunikasi berasal dari Tubbs dan Moss,
yakni komunikasi diartikan sebagai proses pembentukan makna diantara dua
orang atau lebih.8
Sedangkan menurut Everett M. Rogers dalam Mulyana, mendefinisikan
“komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu
penerima atau lebih, dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka”.9
Definisi lain yang dikemukakan oleh Raymond S. Ross:
6
Supratiknya „Komunikasi Antarpribadi‟ (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hal. 30.
7
A.W. Widjadja „Ilmu Komunikasi Pengantar Studi‟ (Jakarta : Rineka Cipt, 2000). Hal 26.
8Ahmad Sihabudin & Rahmi Winangsih „
Komunikasi Antar ManusiaEdisi 1 Bahan Ajar Pengantar Ilmu Komunikasi‟ (Serang: FISIP Untirta, 2008) Hal 10
9
“Komunikasi adalah suatu proses menyortir, memilih, dan mengirimkan simbol
-simbol sedemikian rupa sehingga membantu pendengar membangkitkan makna
atau respons dari pikirannya yang serupa dengan yang
dimaksudkan komunikator”.10
2.1.2 Unsur-unsur Komunikasi
Berdasarkan yang dibuat pakar komunikasi Harold Laswell, komunikasi
memiliki lima unsur yang saling berketergantungan satu sama lain, diantaranya
adalah (source), sering juga disebut pengirim (sender), penyandi (encoder),
komunikator dan pembicara. Selanjutnya Laswell menyebutkan lima unsur utama
komunikasi, yaitu :
1) Sumber (komunikator), yaitu pihak yang beinisiatif atau mempunyai
kebutuhan untuk berkomunikasi. Sumber bisa menjadi seorang individu,
kelompok, atau bahkan sebuah organisasi. Proses ini dikenal sebagai
penyandian (encoding).
2) Pesan, yaitu seperangkat simbol verbal atau nonverbal yang mewakili
perasaan, nilai, dan gagasan dari komunikator.
3) Saluran, yaitu alat atau wahana yang digunakan komunikator untuk
menyampaikan pesannya kepada penerima. Saluran merujuk kepada
penyampaian pesan, bisa melalui tatap muka.
10
4) Penerima, yaitu orang yang menerima pesan dari sumber yang biasa disebut
dengan sasaran atau tujuan, komunikator, penyandi-balik, khalayak,
pendengar, atau penafsir.
5) Efek, yaitu kejadian pada penerima setelah ia menerima pesan tersebut,
meliputi penambahan pengetahuan, terhibur, perubahan sikap, perubahan
keyakinan, atau perubahan perilaku.11
2.1.3 Fungsi Komunikasi
Sejumlah pakar komunikasi memiliki pendapat yang berbeda-beda soal fungsi
komunikasi. Akan tetapi, semua merujuk pada titik yang sama, yakni
menyebarkan informasi untuk memberikan efek tertentu terhadap pesan yang
disampaikan oleh komunikator .
Menurut Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson, komunikasi mempunyai dua
fungsi umum. Pertama, untuk kelangsungan hidup sehari-hari, meliputi
keselamtan fisik, meningkatkan kesadaran pribadi, menampilkan diri kita pada
orang lain, dan mencapai ambisi pribadi. Kedua, untuk kelangsungan hidup
masyarakat, tepatnya untuk memperbaiki hubungan sosial dan mengembangkan
keberadaan suatu masyarakat.12
11
Mulyana „Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar‟ (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), hal. 69 – 71.
12
2.1.4 Komunikasi Verbal
Komunikasi verbal merupakan salah satu bentuk komunikasi yang lazim
digunakan untuk menyampaikan pesan-pesan melalui tulisan maupun lisan.
Bentuk komunikasi ini memiliki struktur yang teratur dan terorganisasi dengan
baik.
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis symbol yang menggunakan
satu kata atau lebih. Hampir semua rangsangan wicara yang disadari masuk dalam
kategori pesan verbal disengaja, yaitu usaha-usaha yang dilakukan secara sadar
untuk berhubungan dengan orang lain secara lisan. Bahasa dapat juga dianggap
sebagai suatu sistem kode verbal.
Bahasa dapat didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan
untuk mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan dipahami
suatu komunitas.
Bahasa verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan,
dan maksud kita. Bahasa verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan
berbagai aspek realitas individual.13
Bahasa sebagai suatu sistem simbol atau dapat dibayangkan sebagai kode,
yang digunakan untuk membentuk pesan-pesan verbal. Dapat mendifinisikan
bahasa sebagai sistem produktif yang dapat dialih-alihkan dan terdiri atas
13
simbol yang cepat lenyap, bermakna bebas, serta dipancarkan secara cultural.
Berikut adalah sifat bahasa :
a) Produktifitas
Bahasa bersifat produktif , terbuka, dan kreati. Artinya pesan-pesan verbal
merupakan gagasan-gagasan baru.
b) Pengalihan
Bahasa mengenal pengalihan (displacement), dapat berbicara mengenai
hal-hal yang jauh, baik dari segi tempat maupun waktu. Kita dapat berbicara
tentang masa lalu dan masa depan semudah berbicara tentang masa kini, dan
kita bisa bebricara tentang hal-hal yang tidak pernah kita lihat – tentang
manusia duyung, kuda bertanduk, dan makhluk dari planet lain.
c) Pelenyapan cepat
Suara bicara melenyap dengan cepat. Suara harus diterima segera setelah itu
dikirimkan atau tidak akan pernah menerimanya. Semua isyarat
berangsur-angsur akan melenyap; simbol-simbol tertulis dan bahkan simbol-simbol
yang dipahatkan pada batu tidaklah permanen. Tapi, secara relative, isyarat
suara barangkali merupakan yang paling tidak permanen diantara semua
media komunikasi; inilah yang dimaksud dengan pelenyapan cepat.
d) Kebebasan Makna
Isyarat bahasa mempunyai kebebasan makna (arbitrary); mereka tidak
gambrakan. Suatu kata memiliki arti atau makna yang mereka gambarkan
karena kitalah yang secara bebas menentukan arti atau maknanya.
Implikasi untuk Komunikasi antar Manusia. Sifat bahasa mempunyai
beberapa implikasi penting bagi komunikasi antarmanusia. Berikut ini
diberikan beberapa fungsi diantaranya:
e) Kaidah Bahasa dan Produktivitas
Produktivitas memungkinkan kita menciptakan kalimat-kalimat yang belum
pernah kita ucapkan sebleumnya secara tak terbatas., tetapi kalimat-kalimat
ini harus mengikuti aturan atau kaidah bahasa agar dapat dimengerti orang
lain. Makin banyak pesan kita melanggar kaidah bahasa, makin kecil
kemungkinan pesan dimengerti orang lain.
f) Kemampuan Berdusta
Dapat berdusta karena mampu menciptakan pemikiran-pemikiran baru
(Produktivitas) dan karena pemikiran-pemikiran baru ini tidak terbatas hanya
pada apa yang ada dalam lingkungan sekitar (pengalihan). Yang terpenting
adalah kenyataan bahwa kalimat yang benar dan kalimat yang dusta
mempunyai bentuk yang sama.
g) Kemudahan dimengerti dengan cepat
Karena cepat lenyap, pesan-pesan lisan harus cepat dimengerti; jika tidak
mereka akan hilang. Oleh karenanya, kejelasan merupakan elemen terpenting
h) Makna dan kebebasan makna
Karena semua simbol bebas diberi makna, perlu menarik makna tidak saja
pada kata melainkan juga pada orang yang mengkomunikasikannya.
i) Karena semua simbol linguistik bebas diberi makna, perlu mencari makna
tidak saja pada kata-kata melainkan juga pada orang yang
mengkomunikasikannya.14
Selain memiliki sifat, bahasa memiliki fungsi. Menurut Larry L. Barker
dalam Deddy Mulyana, bahasa memiliki tiga fungsi, yaitu :
a.) Penamaan (naming atau labeling)
Penamaan atau penjulukan merujuk pada usaha mengidentifikasi objek,
tindakan, atau orang dengan menyebut namanya sehingga dapat dirujuk
dalam komunikasi.
b.) Interaksi
Fungsi interaksi menekankan berbagai gagasan dan emosi, yang dapat
mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan kebingunan
c.) Transmisi Informasi
Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada orang lain. Fungsi
bahasa ini yang disebut fungsi transmisi. Keistimewaan bahasa sebagai
sarana transmisi informasi yang lintas waktu, dengan menghubungkan masa
14
lalu, masa kini, dan masa depan, memungkinkan kesinambungan. Tanpa
bahasa tidak mungkin bertukar informasi, tanpa bahasa tidak mungkin
menghadirkan semua objek dan tempat untuk rujukan dalam komunikasi.15
2.1.5 Proses Komunikasi
Komunikasi tidak pernah terlepas dari sebuah proses, oleh karena itu
apakah pesan dapat tersampaikan atau tidak tergantung dari proses
komunikasi yang terjadi. Seperti yang diungkapkan oleh Ruslan bahwa :
“Proses komunikasi dapat diartikan sebagai “transfer informasi” atau pesan
-pesan (message) dari pengirim pesan sebagai komunikator dan kepada
penerima pesan sebagai komunikan tersebut bertujuan (feed back) untuk
mencapai saling pengertian (mutual understanding) antara kedua belah
pihak”.16
Proses komunikasi diawali oleh sumber (source) baik individu
kelompok lain. Lukiati Komala megungkapakan ada lima langkah dalam
proses komunikasi, yaitu :
1) Yang dilakukan sumber adalah ideation yaitu penciptaan satu gagasan
atau pemilihan seperangkat informasi untuk dikomunikasikan. Ideation
ini merupakan landasan bagi suatu pesan akan disampaikan.
15
Deddy Mulyana, „Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar‟ (Bandung : PT Rosda Karya, 2005) hlm, 243.
16
2) Dalam penciptaan suatu pesan adalah encoding, yaitu sumber
menerjemahkan informasi atau gagasan dalam wujud kata-kata,
tanda-tanda atau lambang-lambang yang disengaja untuk menyampaikan
informasi yang diharapkan mempunyai efek terhadap orang lain. Pesan
atau message adalah alat-alat di mana sumber mengekspresikan
gagasannya dalam bentuk bahasa lisan, bahasa tertulis ataupun perilaku
nonverbal.
3) Dalam proses komunikasi adalah penyampaian pesan yang telah disandi
(encode). Sumber menyampaikan pesan kepada penerima dengan cara
berbicara, menulis, menggambar, ataupun melalui suatu tindakan
tertentu. Pada langkah ketiga ini, mengenal istilah channel atau saluran,
yaitu alat-alat untuk menyampaikan suatu pesan. Saluran untuk
komunikasi lisan adalah komunikasi tatap muka. Sumber berusaha untuk
membebaskan saluran komunikasi dari gangguan atau hambatan,
sehingga pesan dapat sampai kepada penerima seperti yang dikehendaki.
4) Perhatian dialihkan kepada penerima pesan. Jika pesan itu bersifat lisan,
maka penerima perlu menjadi pendengar yang baik, karena jika
penerima tidak mendengar, pesan tersebut akan hilang. Dalam proses ini,
penerima melakukan encoding, yaitu memberikan penafsiran atau
interpretasi terhadap pesan yang disampaikan. Pemahaman merupakan
kunci untuk melakukan encoding dan hanya terjadi dalam pikiran
penerima. Akhirnya penerima yang akan memnentukan bagaimana suatu
5) Dalam proses komunikasi adalah feedback atau umpan balik yang
memungkinkan sumber mempertimbangkan kembali pesan yang telah
disampaikan kepada penerima. Respon atau umpan balik dari penerima
terhadap pesan yang disampaikan sumber dapat berwujud kata-kata
ataupun tindakan-tindakan tertentu. Penerima bisa mengabaikan pesan
tersebut ataupun menyimpannya. Umpan balik inilah yang dapat
dijadikan landasan untuk mengevaluasi efektivitas komunikasi.17
2.2 Komunikasi Instruksional
2.2.1 Pengertian Komunikasi Instruksional
Komunikasi sebagai interaksi psikologis antara dua orang atau lebih
berdampak pada berubahnya pengetahuan, sikap dan keterampilan dipihak
komunikan, pada saat komunikator membantu upaya perubahan tersebut
dengan teknik dan alat tertentu, terangkum dalam komunikasi instruksional.
Istilah instruksional berasal dari kata instruction. Ini bisa berarti
pengajaran, pelajaran, atau bahkan perintah atau instruksi. Hal ini bisa lihat
pada kamus-kamus bahasa, baik yang umum dalam satu bahasa maupun yang
dua bahasa. Memang terdapat beberapa kemungkinan makna dari kata
instruksional tersebut karena bergantung pada bidang dan konteks
pembahasannya.
17
Webster‟s Third International Dictionary of the English Language
mencantumkan kata instructional (dari kata to instruct) dengan arti
memberikan pengetahuan atau informasi khusus dengan maksud melatih
berbagai bidang khusus, memberikan keahlian atau pengetahuan dalam
berbagai bidang seni atau spesialisasi tertentu. Di sini juga dicantumkan
makna lain yang berkaitan dengan komando atau perintah.18
Dalam pelaksanaannya, komunikasi instruksional bisa menggunakan
pendekatan komunikasi antar pribadi, dimana peran masing-masing
komunikator atau komunikan secara bersama membagi dan menciptakan
pemahaman secara bersama.19
2.2.2 Fungsi dan Manfaat Komunikasi Instruksional
Komunikasi instruksional mempunyai fungsi edukatif, atau tepatnya
mengacu pada fungsi edukatif dari fungsi komunikasi secara keseluruhan.
Sebgai fungsi edukasi, komunikasi instruksional bertugas mengelola
proses-proses komunikasi yang secara khusus dirancang untuk tujuan memberikan
nilai tambah bagi pihak sasaran, atau setidaknya untuk memberikan
perubahan-perubahan dalam kognisi, afeksi, dan konasi atau psikomotor di
18
Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010) hal. 57.
19
kalangan masyarakat, khususnya yang dikelompokan ke dalam ranah sasaran
pada komunikasi instruksional.20
Adapun manfaat adanya komunikasi instruksional antara lain efek
perubahan perilaku, yang terjadi sebagai hasil tindakan komunikasi
instruksional, bisa dikontrol atau dikendalikan dengan baik.21
Pencapaian tujuan pembelajaran menurut bloom yang diungkapkan Nana
Sujana dibedakan menjadi tiga, yaitu :
Bidang Kognitif
Bidang kognitif berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan yang
berhubungan dengan berfikir, mengetahui, dan memecahkan. Bidang ini
memiliki beberapa tingkatan, tingkatan yang paling rendah dan tingkatan yang
paling tinggi. Tingkat kemampuan ini melalui aspek pengetahuan,
pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Bidang Afektif Bidang ini berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan
yang berhubungan dengan penguasaan, sikap, dan nilai-nilai, minat (interest)
dan penyesuaian peran sosial. Bidang afektif memiliki tingkatan, yaitu aspek
kemampuan menerima, menanggapi, berkeyakinan, penerapan karya,
ketelitian, dan ketekunan.
20
Pawit M. Yusuf „Komunikasi Instruksional: Teori dan Praktek‟ (Jakarta: Bumi Aksara, 2010), hlm.10
21
Bidang Psikomotor.
Bidang ini berkenaan dengan perilaku pencapaian tujuan yang berhubungan
dengan keterampilan (skill), kemampuan bertindak individu. Ada beberapa
tingkatan dalam bidang psikomotor yaitu gerakan reflek, keterampilan pada
gerakan dasar, kemampuan di bidang fisik, gerakan-gerakan skill dan
sebgaianya.22
2.2.3 Metode Komunikasi Instruksional
Metode merupakan bagian dari strategi, artinya suatu teknik atau cara
yang runtut untuk melaksanakan suatu pekerjaan atau kegiatan yang sudah
direncanakan.23
Macam-macam jumlah metode mengajar mulai yang paling tradisional
sampai yang paling modern, sesungguhnya banyak dan hampir tidak dapat
dihitung dengan jari tangan.
Seperti yang diungkapkan oleh Fathurrohman dan Sutikno beberapa
metode yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran, diantaranya :
1) Metode diskusi
Salah satu cara mendidik yang berupaya memecahkan masalah yang
dihadapi, baik dua orang atau lebih yang masing-masing mengajukan
argumentasinya untuk memperkuat pendapatnya.
22
Nana Sudjana. ‟Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar‟ (Bandung : PT.Remaja Rosdakarya, 1989), hlm. 50.
23
Tujuan penggunaan metode diskusi ini ialah untuk memotivasi dan
memberi stimulasi kepada siswa agar berfikir dengan renungan yang dalam.24
2.) Metode Praktikum
Metode praktikum dapat dilakukan kepada atlet setelah pelatih
memberikan arahan, aba-aba, petunjuk untuk melaksanakannya. Kegiatan ini
berbentuk praktik dengan mempergunakan alat-alat tertentu, dalam hal ini
pelatih melatih keterampilan atlet dalam penggunaan alat-alat yang telah
diberikan kepadanya serta hasil dicapai mereka.25
2.3 Tunanetra
2.3.1 Pengertian Tunanetra
Menurut Pradopo anak tunanetra adalah anak yang rusak penglihatannya,
sedangkan para tunanetra adalah mereka yang menyandang kerusakan mata
atau kerusakan penglihatan, dapat disimpulkan bahwasannya tunanetra adalah
seseorang yang mengalami hambatan dalam penglihatan sehingga membatasi
kemampuannya dalam beraktifitas dan menerima informasi dari luar.
Dalam buku ensiklopedi kesehatan, yang dimaksud dengan cacat adalah
hilangnya sebagian atau seluruh kemampuan kerja tubuh tertentu, baik untuk
sementara ataupun selamanya, kemampuan itu dapat beranekaragam baik
kemampuan yang sangat jelas seperti melihat, mendengar dan lain sebagainya.
24
Fathurohman dan Sutikno. „Strategi Belajar Mengajar‟ (Bandung: PT. Refika Aditama , 2007), hlm. 61-62
25
Pengertian tunanetra atau buta disini memiliki pengertian secara luas,
pengertian tunanetra secara sempit adalah kehilangan sebagian atau seluruh
kemampuan untuk melihat, sedangkan pengertian dalam arti luas adalah
kehilangan penglihatan demikian banyak sehingga tidak dapat dibantu dengan
kacamata biasa.26
2.3.2 Klasifikasi Tunanetra
Apabila dilihat dari jenis penglihatannya, maka tunanetra dapat
diklasifikasikan dalam penglihatan normal, penglihatan lemah (low vision)
dan buta.27
- Penglihatan normal: dapat melihat secara normal tanpa gangguan apapun.
- Penglihatan lemah (low vision): masih dapat melihat tapi dengan bantuan
alat seperti kacamata dan sebagainya
- Buta: tidak bisa melihat sama sekali walaupun dengan alat Bantu seperti
kacamata.
Apabila dilihat dari tajam penglihatannya, dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: 28
263 Hermaya, T, „ensiklopedi kesehatan‟
(Jakarta: PT Cipta adi pustaka, 1992), hlm. 93
27
Sidarta Ilyas, „penuntun ilmu penyakit mata‟ (fakultas kedokteran universitas Indonesia, 1993), hlm. 155.
28
- Penglihatan normal Penglihatan dinyatakan normal apabila tajam
penglihatan lebih baik 6/10, pada keadaan ini penglihatan mata adalah
normal dan sehat.
- Penglihatan hampir normal Pada keadaan ini tidak menimbulkan masalah
yang gawat, akan tetapi perlu diketahui penyebabnya mungkin suatu
penyakit yang masih bisa diperbaiki.
- Penglihatan lemah atau low vision Penglihatan lemah (low vision)
dibedakan menjadi 3 bagian, yaitu:
1) Penglihatan lemah (low vision) sedang Dengan kacamata kuat atau
kaca pembesar masih dapat membaca dengan cepat
2) Penglihatan lemah (low vision) berat Masih mungkin orientasi dan
mobilitas umum akan tetapi mendapat kesukaran pada lalu lintas dan
melihat mobil, untuk membaca diperlukan kaca pembesar kuat,
membaca jadi lambat.
3) Penglihatan lemah (low vision) nyata Bertambahnya masalah orientasi
dan mobilisasi. Dengan keadaan ini diperlukan tongkat putih untuk
mengenal lingkungan, hanya minat yang kuat masih mungkin
membaca dengan kaca pembesar, umumnya memerlukan braile, radio,
- Buta
Buta dibedakan menajdi dua macam, yaitu:
1) Hampir buta Pada keadaan ini penglihatan kurang dari empat kaki
untuk menghitung jari, penglihatan tidak bermanfaat kecuali pada
keadaan tertentu harus mempergunakan alat nonvisual.
2) Buta total Pada keadaan ini tidak mengenal rangsangan sinar sama
sekali, seluruhnya tergantung pada alat indra lainnya.29
2.3.3 Sebab Tunanetra
Low vision dan buta adalah buta yang tidak reversible keduanya tidak
dapat diperbaiki secara medis, keadaan ini terjadi bila terdapat kerusakan pada
selaput jala mata ataupun saraf penglihatan. Berikut adalah penyebab
seseorang bisa mengalami tunanetra :
- Buta sejak lahir diakibatkan glaucoma dan diabetes mellitus
- Galukoma dapat diturunkan atau merupakan penyulit
- Diabetes mellitus merupakan penyakit usia lanjut Diakibatkan cidera mata
Sebab-sebab lemah penglihatan (low vision)
- Cacat bawaan
29
- Penyakit yang diturunkan
- Kecelakaan atau ruda paksa
- Diabetes
- Glaucoma
- Dan berhubungan dengan usia lanjut.30
2.3.4 Tenis Meja Tunanetra
Olahraga tenis meja bukan hanya milik mereka yang bisa melihat.
Tunanetra pun bermain tenis meja. Jenis olahraga ini juga dipertandingkan
di turnamen-turnamen olahraga untuk para penyandang disabilitas. Olahraga
tenis meja biasanya diajarkan di sekolah-sekolah luar biasa serta pusat-pusat
rehabilitasi untuk tunanetra. Seperti halnya permainan tenis meja pada
umumnya, tenis meja tunanetra juga dimainkan oleh laki-laki ataupun
perempuan, baik single maupun double. Namun, peralatan yang digunakan
tunanetra sedikit berbeda dari tenis meja yang dimainkan orang yang tidak
tunanetra.
Ukuran bola tenis meja untuk tunanetra sama dengan bola tenis meja
pada umumnya. Perbedaannya, bola tenis meja tunanetra dilengkapi dengan
30
gotri, yaitu biji-bijian sebesar kacang hijau dari logam, yang dimasukkan ke
dalam bola. Fungsi biji-biji logam ini adalah sebagai sumber bunyi.
Saat bola dipukul atau menggelinding, biji-biji logam akan saling
beradu dan menimbulkan bunyi. Bunyi ini membuat tunanetra yang bermain
tenis meja mengetahui arah bola bergerak. Biji-biji logam itu membuat bola
tenis meja tunanetra menjadi lebih berat dibandingkan bola tenis meja biasa.
Meja tenis untuk tunanetra juga berbeda. Sepanjang sisi meja
dilengkapi jalur seperti parit kecil berpermukaan landai selebar kurang lebih
5 cm dengan kedalaman setengah besar bola. Parit kecil ini berfungsi
sebagai tempat jatuh bola. Dengan demikian, ukuran meja untuk tunanetra
lebih lebar dibanding tenis meja biasa. Namun, ukuran areal meja sebagai
bidang bermain pada dasarnya sama.
Di dalam parit tadi, baik sisi kanan maupun kiri, terdapat garis batas
bola masuk yang berarti menambah poin angka atau bola keluar atau bola
mati yang berarti tidak menambah poin. Pada parit yang berada di hadapan
pemain terdapat “garis ganda”, yaitu garis yang memisahkan posisi pemain
ganda. Kedua garis tersebut dibuat dalam bentuk timbul, sehingga dapat
diraba tunanetra yang sedang bermain.
Peletakan net pada tenis meja tunanetra juga sedikit berbeda. Net
dipasang dengan posisi lebih tinggi, kurang lebih berjarak 4 cm di atas meja.
sisi meja ke sisi lainnya. Dalam pertandingan, ketinggian net selalu dicek
agar tidak mengganggu permainan atau merugikan pemain.
Perbedaan-perbedaan tersebut membuat strategi atau taktik-taktik
untuk mengecoh lawan atau memenangi permainan dalam tenis meja
tunanetra juga berbeda. Antara lain, saat giliran memukul bola, memelintir
bola sedemikian rupa, dengan cara memukul datar sambil menggeserkan
tangan ke kanan atau ke kiri. Dengan pelintiran seperti ini, bola yang berisi
butir-butir logam menjadi tidak bersuara terlalu nyaring atau bahkan tidak
bersuara sama sekali, sehingga lawan tidak dapat mendengar dengan baik
dan terkecoh.
Tentu saja strategi ini hanya dapat dilakukan oleh pemain yang sudah
piawai dan berpengalaman. Jika tidak, salah-salah malah bola keluar arena
atau terpelanting, dan mati. Pilihan jenis olahraga bagi tunanetra memang
tidak banyak. Di antara pilihan yang sedikit itu, tenis meja adalah salah satu
olahraga yang cukup digemari tunanetra.
Perbedaan lain permainan tenis meja tunanetra adalah cara memukul
bola. Dalam permainan tenis meja tunanetra bola tidak dipukul memantul,
tetapi dipukul mendatar ke arah lawan. Bola akan menggelinding, bergerak
di atas meja ke arah lawan, melewati bawah net.
Tunanetra harus mengandalkan pendengaran, mendengar suara bola,
mengikuti ke mana arah bola bergerak, lalu memukul balik bola ke arah
meja sebelum garis batas bola, berarti out atau bola keluar. Jika bola masuk
ke parit setelah garis batas atau masuk ke parit yang terletak di hadapan
lawan, berarti in atau bola masuk.
Sering terjadi, jika pemain memukul bola terlalu keras, saat melakukan
smash misalnya, bola keluar melewati parit hingga jatuh ke lantai.
Gangguan suara menjadi tantangan tersendiri dalam pertandingan tenis meja
tunanetra. Tak jarang, sorak-sorai penonton menenggelamkan suara bola,
sehingga tunanetra tidak dapat mengikuti dengan baik arah bola
menggelinding. Karena itu, sebelum pertandingan tenis meja tunanetra
dimulai, wasit mengingatkan agar penonton menjaga ketenangan atau tidak
bersorak terlalu gaduh, agar tidak mengganggu pendengaran atlet yang
sedang bertanding.
Sorak-sorai ini sering digunakan pendukung atau suporter sebagai
strategi untuk mengganggu atau mengintimidasi lawan pemain yang mereka
dukung. Dalam kondisi seperti ini, wasit berhak memperingatkan atau
menegur para suporter.31
2.4 National Paralympic Indonesia
Atas saran Prof. Dr. Soeharso, pendiri Rehabilitasi Cacat yang kini
berganti nama menjadi Balai Besar Rehabilitasi Sosial Bina Daksa, Pada
tanggal 31 Oktober 1962, Pairan Manurung mendirikan sebuah organisasi
bernama Yayasan Pembina Olahraga Cacat (YPAC) di Surakarta, Jawa
31„Tunanetra Juga Main Tenis Meja‟
Tengah, Indonesia. Dalam perkembangannya yayasan ini berhasil membina
beberapa atlit penyandang disabilitas di masanya.
Pada Muyawarah Olahraga Nasional yang diselenggarakan di
Yogyakarta pada tanggal 31 Oktober - 1 November 1993, beberapa orang
menyarankan mengganti nama YPAC menjadi Badan Pembina Olahraga
Cacat (BPOC). Maka sejak tanggal 31 Oktober 1993 itulah nama BPOC
digunakan dengan tujuan supaya organisasi ini nantinya bisa mendapatkan
bantuan dana dari pemerintah.
Berdasarkan keputusan yang dibuat pada International Paralympic
Committee (IPC) General Assembly pada 18 November 2005, yang
mewajibkan para anggotanya untuk memakai kata 'paralympic' untuk gerakan
dan kegiatan yang berkaitan dengan olahraga penyandang disabilitas, maka
BPOC yang kala itu sudah menjadi anggotanya pun kemudian berganti nama
menjadi National Paralympic Committee of Indonesia (NPC). Hingga kini
nama itulah yang digunakan sebagai nama resmi organisasi dan telah diakui
legalitasnya oleh IPC dan Pemerintah Republik Indonesia sebagai induk
organisasi pembinaan olahraga untuk penyandang disabilitas di Indonesia.
Hingga saat ini NPC Indonesia telah resmi menjadi anggota dari
beberapa organisasi olahraga penyandang disabilitas baik di tingkat regional
maupun international seperti misalnya, IPC, Asian Paralympic Committee,
Asean Para Sport Federation. National Paralympic Committee of Indonesia
Indonesia hingga kini telah banyak prestasi yang diraih dalam berbagai
kompetisi baik di tingkat regional maupun internasional.32
2.5 Teori Identifikasi Kenneth Burke
Kenneth Burke adalah ahli teori simbol yang terbesar. Ia menulis hampir
selama lebih 50 tahun dan teorinya adalah salah satu dari teori-teori symbol
yang paling komprehensif. Dalam penelitian teori komunikasi dimulai dengan
konsep tindakan. Kemudian, akan beralih ke ide inti dari symbol, bahasa, dan
komunikasi.
Burke menyetujui bahwa bahasa berfungsi sebagai kendaraan untuk
tindakan. Karena kebutuhan sosial membutuhkan orang untuk bekerja sama
dengan tindakannya, sehingga bahasa membentuk perilaku. Bahasa, seperti
halnya pandangan Burke, selalu bermuatan emosional. Tidak ada kata yang
dapat menjadi netral. Sebagai akibatnya, perilaku, penilaian, dan perasaan.
Bahasa bersifat selektif dan abstrak serta focus pada aspek realitas tertentu
dalam kekuasaan aspek lainnya.
Ketika dua orang tunanetra sedang melakukan aktivitas yang santai ,
mereka berkomunikasi satu sama lain dengan bebas dan cara yang mudah
karena mereka berbagi makna bahasa yang sedang digunakan. Dalam istilah
Burke, mereka sedang mengalami kesamaan (consubstantiality). Sebaliknya,
jika seorang tunanetra berhubungan dengan orang lain yang bukan tunanetra,
32
misalnya dengan penjual makanan di restoran kecil, mungkin mereka akan
frustasi karena makna yang kurang menyatu.
Kesamaan adalah satu cara identifikasi yang tercipta di antara manusia.
Dalam metode yang berputar, sebagaimana identifikasi meningkat, penyatuan
makna meningkat, sehingga akan meningkatkan pemahaman. Dengan
demikian, identifikasi dapat berarti ajakan dan penyampaian yang efektif atau
menjadi akhir dari komunikasi itu sendiri. Identifikasi dapat disadari atau
tidak disadari, direncanakan atau tidak direncanakan.
Identifikasi bukan sebuah/maupun kejadian, tetapi menyangkut dengan
derajat. Beberapa kesamaan akan selalu ada hanya dengan kemanusiaan yang
terbagi secara nyata diantara dua orang. Identifikasi bisa besar atau kecil serta
bisa meningkat atau menurun oleh tindakan pelaku komunikasi.33
2.4 Kerangka Berfikir
Dalam penelitian ini, penulis akan menjelaskan bagaimana penyatuan
makna sebagai latar belakang masalah. Perbedaan fisik antara pelatih dan
atlet tenis meja tunanetra menimbulkan dua hambatan; pertama, pelatih
mengandalkan komunikasi verbal dalam memberikan instruksi saat proses
latihan tenis meja tunanetra. Kedua, instruksi atau pesan yang disampaikan
33
saat proses latihan harus benar-benar detail agar atlet tenis meja tunanetra
paham dengan instruksi yang disampaikan.
Sebelum proses latihan pelatih terlebih dulu mengidentifikasi atlet dari
segi karakter, kemampuan teknis, dan kemampuan nalar dalam menerima
instruksi. Hal tersebut dilakukan untuk membangun sebuah proses komunikasi
yang efektif dalam pelatihan tenis meja tunanetra.
Teori identifikasi Kenneth Burke mengkategorikan identifikasi kepada
tiga bagian, yaitu; Identifikasi materi, identifikasi idealistis, dan identifikasi
formal. Dengan demikian, identifikasi dapat berarti ajakan dan penyampaian
yang efektif atau menjadi akhir dari komunikasi itu.34
Dari itu semua diketahui cara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra
menerapkan komunikasi instruksional dalam proses latihan dengan tiga
identifikasi yang diteliti dalam penelitian ini, yaitu proses komunikasi
instruksional, metode komunikasi instruksional, dan komunikasi verbal
komunikasi instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra.
34
Gambar 2.1 Kerangka Berfikir
Perbedaan Fisik
Pelatih Atlet
Teori Identifikasi
Komunikasi Instruksional Pelatih dan Atlet Tenis Meja
Tunanetra
Proses
Komunikasi
Metode Komunikasi
2.3 Penelitian Sebelumnya
Melalui penelitian sebelumnya, penulis bisa mengetahui apa perbedaan
ini dengan perbedaan peneliti terdahulu. Ada tiga penelitian yang dianggap
memiliki kemiripan kasus dengan yang dibahas dalam penelitian ini. Berikut
tiga penelitian yang penulis dapatkan dari e-library.
digunakan, aliran
Kualitatif Kualitatif Kuantitatif
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Metodologi Penelitian
Metode yang digunakan peneliti adalah menggunakan pendekatan
kualitatif. Lexy J. Moleong mendefinisikan penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh
subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain lain,
secara holistic, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata –kata dan bahasa.35
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang cenderung bersifat
analitis dengan memaparkan situasi atau peristiwa, peneliti tidak hanya
menggambarkan atau menjelaskan masalah-masalah yang diteliti sesuai dengan
fakta, tetapi juga didukung oleh pertanyaan-pertanyaan dengan melakukan
wawancara dengan pihak yang memiliki kaitan dengan objek penelitian yang
kemudian datanya dikumpulkan, disusun, dijelaskan kemudian dianalisa, disertai
dengan pemecahan masalah atau solusi sesuai dengan masalah yang diteliti.
Penelitian ini tidak menguji hipotesis atau membuat prediksi. Tujuan penggunaan
metode ini adalah untuk melukiskan secara sistematis mengenai fakta dan karakter
populasi secara faktual dan cermat.36
35
Lexy J Moleong, „Metodologi Penelitian Kualitatif.‟ (Bandung: PT. RemajaRosdakarya, 2007). Hal.6
36
Rachmat Kriyantono, S.Sos., M.Si. Teknik Praktisi Riset Komunikasi (Jakarta: Kencana, 2006), hal.67
3.2 Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu kerangka konseptual (conceptual frame work),
suatu perangkat asumsi, nilai, atau gagasan yang menmpengaruhi persepsi, dan
pada gilirannya mempengaruhi cara bertindak dalam suatu situasi. Paradigma
suatu pandangan dunia dalam memandang segala sesuatu, paradigma
mempengaruhi pandangan mengenai fenomena.37
Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivistis, penulis
mempresentasikan teks berdasarkan kerangka dan pemahaman tertentu. Penulis
menyajikan realitas-realitas sosial yang telah dikonstruksi,
generalisasi-generalisasi lokal, pusat-pusat intrepretif, khasanah pengetahuan,
intersubyektivitas, pemahaman-pemahaman praktis, dan pembicaraan tak
umum.38
Aliran konstruktivistis menerapkan metode hermeneutics yaitu interpretasi
maknadan dialectic yang berartikomunikasi dua arah dalam mencapai kebenaran,
metode pertama dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi
pendapat dari orang-perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk
membandingkan dan menyilangkan pendapat dari orang-orang yang diperoleh
melalui metode pertama untuk mendapatkan konsesus kebenaran dan disepakati
bersama. Dengan demikian, hasil akhir dari suatau kebenaran merupakan
37Deddy Mulyana. „Metodologi Penelitian Kualitatif‟ (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), hal. 16.
perpaduan pendapat yang bersifat relative, subjektif, dan spesifik mengenai
hal-hal tertentu.39
Penulis ingin menyajikan data secara jelas seperti apa yang disampaikan
informan dalam penelitian ini. Pelatih tenis meja tunanetra yang bekerja sama
dengan atletnya, mengenalkan dunianya kepada penulis secara mendalam
kemudian penulis akan menganalisis dan menyajikan data tentang bagaimana
komunikasi instruksional pelatih dan atlet tenis meja tunanetra tersebut bisa
diterapkan.
3.3 Teknik Pengambilan Data
Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling strategis dalam
penelitian, karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data. Tanpa
mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak akan mendapatkan data
yang memenuhi standar data yang ditetapkan. Untuk memperoleh data yang
dibutuhkan sebagai bahan pembuatan laporan penelitian, ada beberapa teknik,
cara atau metode yang dilakukan oleh peneliti dan disesuaikan dengan jenis
penelitian kualitatif, salah satunya yaitu:
1) Wawancara
Wawancara adalah teknik pengumpulan data melalui pembuatan daftar
pertanyaan yang nantinya diajukan secara lisan terhadap narasumber. Wawancara
menurut Moleong adalah percakapan dengan maksud tertentu.40
39
Pada metode ini peneliti dan responden berhadapan langsung (face to
face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data
yang dibutuhkan. Sesuai dengan jenisnya, peneliti memakai jenis wawancara
mendalam (depth interview) seperti yang dijelaskan dalam buku Teknik Riset
Komunikasi oleh Rachmat Kriyantono.41 Sebelum melakukan wawancara peneliti
menghubungi para informan untuk diminta melakukan proses wawancara sebagai
informan dalam penelitian ini.
Pada wawancara mendalam ini penulis terlebih dahulu menyiapkan
sejumlah pertanyaan yang ditulis dalam pedoman wawancara. Dalam melakukan
wawancara dengan informan, penulis merekam melalui perekam suara dari
handphone, lalu menulis ulang semua yang informan ucapkan secara garis besar
2) Observasi
Dikemukakan Nasution teknik observasi dapat menjelaskan secara luas
dan rinci tentang masalah-masalah yang dihadapi karena data observasi
berupa deskripsi yang faktual, cermat dan terinci mengenai keadaan lapangan,
kegiatan manusia dan sistem sosial, serta konteks tempat kegiatan itu terjadi.
Dalam hal ini peneliti menggunakan teknik pengamatan atau observasi
agar bisa mengamati atlet dan pelatih tenis meja tunanetra secara langsung,
melalui pencitraan lapangan.42 Ketika teknik komunikasi lainnya tidak
dimungkiknkan, pengamatan dapat mengamati perilaku objek penelitian ini, yaitu
40Ibid
. Hal 186
41
Rahmat Kriyantono. 2006. Tekhnik Riset Komunikasi, Yogyakarta : Prenada Media Group hal 98
42
pelatih dan atlet tenis meja tunanetra, dan pengamatan atau observasi juga
mengoptimalkan kemampuan peneliti dari segi motif, kepercayaan, perhatian,
perilaku tak sadar, dan kebiasaan.43
Pada observasi ini penulis terlebih dahulu menyiapkan sejumlah
pertanyaan yang ditulis dalam pedoman observasi. Dalam melakukan observasi
dengan informan, penulis merekam dengan handphone dan melihat secara
langsung kegiatan dan perilaku yang berhubungan dengan penelitian ini. Berikut
hal yang akan di observasi oleh peneliti guna memaksimalkan penelitian :
- Mengobservasi bagaimana proses komunikasi instruksional bisa berjalan,
dan bentuk proses komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis
meja tunanetra
- Mengobservasi metode yang digunakan oleh pelatih tenis meja tunanetra
guna menyampaikan instruksi-instruksi dalam proses pelatihan.
- Mengobservasi mengenai bahasa yang disepakati oleh pelatih dan atlet tenis
meja tunanetra dalam proses latihan tenis meja tunanetra.
Dengan demikian, secara metodologis teknik ini dapat memanfaatkan
kemampuan dan peran peneliti secara optimal dalam mengamati berbagai
peristiwa dan situasi yang dapat memberikan gambaran secara visual mengenai
kegiatan komunikasi instruksional antara pelatih dan atlet tenis meja tunanetra
dilakukan dengan cara mengamati apa yang pelatih dan atlet lakukan, terutama
saat melakukan komunikasi instruksional. Penulis kemudian mencatat hal-hal
penting yang sesuai dengan penelitian.
43
3.4 Teknik Sampling
Dalam menentukan informan, penulis menggunakan teknik purposive
sampling. Teknik purposive sampling adalah jumlah sampel yang digunakan
tetap.44. Jumlah sampel yang digunakan oleh peneliti adalah tetap dan memenuhi
kriteria-kriteria sebagai sumber data.
Berikut key informan dalam penelitian ini :
1. Yulianto, yaitu pelatih tenis meja tunanetra Kota Bekasi
2. Yanto Sugiharto, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi
Berikut informan tambahan dalam penelitian ini adalah :
1. Toni Budi Santoso, yaitu atlet tenis meja tuanetra Kota Bekasi
2. Sarah Wijaya, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi
3. Iis Wulandari, yaitu atlet tenis meja tunanetra Kota Bekasi
Key informan dalam penelitian ini adalah satu orang pelatih dan satu orang atlet
tenis meja tunanetra, sedangkan informan tambahan diambil dari tiga atlet tenis
meja tunaetra Kota Bekasi.
Pada penelitian ini yang akan digunakan sebagai informan adalah para
tunanetra yang memiliki kaitan dengan tenis meja tunanetra yang dijadikan
sebagai objek penelitian. Adapun syarat dan ketentuan informan yang akan diikut
sertakan dalam penelitian ini adalah :
44Sugiyono. „Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D‟
, ( Bandung: CV. Alfabeta,
Key Informan :
1. Tergabung dalam National Paralympic Kota Bekasi
2. Telah berkecimpung minimal 5 tahun dalam Tenis Meja Tunanetra
3. Mempunyai Prestasi dibidang Tenis Meja Tunanetra
Informan tambahan :
1. Memahami tenis meja tunanetra
2. Berpartisipasi dalam kegiatan tenis meja tunanetra
3.5 Analisis Data
Bogdan menyatakan, analisis data adalah proses mencari data dan
menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawncara, catatan
lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat mudah difahami, dan temuannya
dapat diinformasikan kepada orang lain. Analisis data dilakukan dengan
mengorganisasikan data, menjabarkannya ke dalam unit, melakukan sintesa,
menyusun ke dalam pola, memilih mana yang penting dan yang akan dipelajari,
dan membuat kesimpulan yang dapat diceritakan kepada orang lain.45 Adapun
penjabaran tentang analisis data, sebagai berikut :
- Data Reduction (Reduksi Data)
Data yang diperoleh dari lapangan jumlahnya cukup banyak, untuk itu
perlu dicatat secara teliti dan rinci. Mereduksi data berarti merangkum, memilih
45
hal-hal yang pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, kemudian dicari
tema dan polanya
- Data Display (Penyajian Data)
Setelah data direduksi, maka langkah selanjutnya adalah mendisplaykan
data. Penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk uraian singkat, bagan, hubungan
antar kategori, flowchart, dan sejenisnya. Dengan mendisplaykan data, maka akan
memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja selanjutnya
berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.
- Conclusion Drawing/Verification
Langkah ketiga dalam analisis data kualitatif adalah penarikan kesimpulan
dan verifikasi. Kesimpulan awal yang dikemukakan masih bersifat sementara, dan
akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat yang mendukung pada
tahap pengumpulan data berikutnya. Tetapi apabila kesimpulan yang
dikemukakan pada tahap awal didukung oleh bukti-bukti yang valid dan konsisten
saat peneliti kembali ke lapangan mengumpulkan data, maka kesimpulan yang
dikemukakan merupakan kesimpulan yang kredibel.46
3.6 Uji Validitas Data
Dalam metode kualitatif, hasil temuan atau data yang diperoleh peneliti
dapat dinyatakan valid apabila hasil temuan atau data yang diperoleh sesuai
dengan temuan atau data yang sebenarnya terjadi pada objek yang diteliti.
46