• Tidak ada hasil yang ditemukan

CATATAN HASIL SIDANG TAHUNAN MPR 2000

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "CATATAN HASIL SIDANG TAHUNAN MPR 2000"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

CATATAN HASIL SIDANG TAHUNAN MPR 2000 PENGANTAR

Selama masa pemerintahan transisi, sepanjang tahun 1999-2000 lalu MPR telah 2 kali menyelenggarakan Sidang MPR. Yaitu Sidang Umum MPR 1999 dan Sidang Tahunan MPR 2000. Ada 3 materi pokok yang menjadi agenda pembahasan sidang paripurna MPR. Pertama, materi mengenai laporan lembaga-lembaga tinggi negara. Kedua, mengenai amandemen UUD 1945 dan Ketiga materi non- amandemen 1945.

Sidang Tahunan MPR yang berlangsung 1-18 Agustus 2000 lalu merupakan Sidang Tahunan pertama yang dilakukan MPR. Sebelumnya hanya Sidang Umum (yang dilaksanakan setiap lima tahun sekali) sajalah yang dilaksanakan MPR untuk mendengar progress report kinerja Presiden selama masa lima tahun sebelumnya.

Sidang Tahunan MPR merupakan jenis persidangan baru yang disepakati dalam Sidang Umum MPR 1999 (Tap MPR No.II/MPR/1999-Pasal 52) yang Selanjutnya disempurnakan lagi dalam Sidang Tahunan MPR 2000 melalui Tap MPR No.III/MPR/2000, yang selengkapnya berbunyi,

Bahwa yang dimaksud dengan Sidang Tahunan adalah :

1. Sidang yang diselenggarakan setiap setahun sekali diantara 2 masa Sidang Umum majelis pada masa jabatan keanggotaan majelis yang bersangkutan.

2. Sidang yang diselenggarakan untuk mendengar dan membahas laporan Presiden dan lembaga tinggi negara lainnya atas putusan majelis.

3. Sidang yang dapat menetapkan putusan majelis lainnya.

HASIL SIDANG TAHUNAN MPR 2000

Dari pelaksanaan Sidang Tahunan MPR 2000 lalu telah diputuskan materi mengenai amandemen kedua UUD 1945 ditambah 9 Ketetapan MPR (materi non- amandemen).

1. Materi Amandemen Kedua UUD 1945

Semenjak diberlakukan kembali tahun 1959 melalui Dekrit Presiden tahun 1959, belum pernah sekalipun UUD 1945 diamandemen. Keberadaan UUD 1945 begitu disakralkan dan tidak ada satu ketentuanpun dalam UUD 1945 yang diamandemen. Baru pada Sidang Umum MPR 1999, dilakukan amandemen pertama terhadap UUD 1945 dan amandemen kedua pada Sidang Tahunan MPR 2000. Dan untuk selanjutnya, berdasarkan ketentuan Tap MPR No.IX/MPR/2000, MPR merekomendasikan penugasan Badan Pekerja MPR untuk mempersiapkan rancangan perubahan UUD 1945 yang sudah harus siap untuk dibahas dan disahkan oleh MPR sampai paling lambat Sidang Tahunan MPR 2002. Adanya perubahan UUD 1945 ini menunujukan adanya tuntutan

(2)

perubahan sistem dan kehidupan ketatanegaraan kita menuju ke arah yg lebih demokratis.

Dari amandemen pertama yang dilakukan pada Sidang Umum MPR 1999, MPR telah mengubah 9 pasal UUD 1945 yang berkenaan dengan soal kewenangan eksekutif-legislatif serta pembatasan masa kekuasaan Presiden.

Dari hasil amandemen Kedua, MPR hanya berhasil memutuskan 7 dari 20 pasal yang diusulkan oleh PAH-I BP.MPR. Dan berbeda dengan amandemen pertama, dari amandemen kedua MPR tidak hanya mengubah tetapi juga menambah beberapa pasal baru dalam UUD. Perubahan dan penambahan itu menyangkut soal wilayah negara, warga negara dan penduduk, Hak Asasi Manusia (HAM), kewenangan DPR, Pemerintahan Daerah (otonomi daerah), Pertahanan dan Keamanan Negara, Bendera, Bahasa, Lambang Negara dan Lagu kebangsaan. Selain itu disepakati pula untuk tidak dirubah klausul Pembukaan UUD 1945, Sistem negara kesatuan dan Sistem pemerintahan Presidensiil.

Walaupun ada kemajuan dari amandemen kedua, misalnya dengan dimasukkannya materi HAM yang sebelumnya tidak diatur dalam konstitusi, dimana memang sudah seharusnyalah dalam konstitusi itu ada pengaturan dan jaminan secara jelas mengenai HAM. Tetapi ternyata secara keseluruhan hasil amandemen keduapun masih mengandung beberapa kelemahan. baik dari segi materi maupun dari segi proses penyusunannya.

Dari segi prosesnya, MPR terlihat kurang tanggap dan aspiratif dalam menampung keinginan dan aspirasi masyarakat. Ini terlihat dari tidak diakomodirnya masukan-masukan yang disampaikan oleh kalangan masyarakat dalam hasil amandemen. Selain itu tidak adanya kesempatan sosilasi bagi masyarakat untuk dapat mengetahui draft usulan PAH I BP.MPR Beberapa materi amandemen UUD yang berasal dari usulan PAH-I BP.MPRpun ternyata kemudian bisa dimentahkan kembali begitu saja dalam sidang paripurna MPR. Dan dari hasil akhir amandemen kedua tersebut, MPR cenderung memutuskan amandemen terhadap materi-materi yang kurang substansial dan bukan pada hal-hal yang prioritas serta lebih mengutamakan kepentingan politik partai/golongannya dibandingkan kepentingan nasional jangka panjang. Materi yang diputuskan dari amandemen kedua UUD itupun terlihat kurang sistematis, parsial dan tidak mempunyai paradigma yang jelas.

Ada beberapa kelemahan dari yang materi yang dihasilkan dalam amandemen kedua, yaitu :

1. Materi tentang HAM

Rumusan HAM ini diputuskan pada Sidang Tahunan MPR 2000 ada dalam Bab XA, Pasal 28 yang terdiri dari 10 ayat (A – J). Masuknya materi tentang HAM menjadi rumusan tersendiri dalam amandemen kedua UUD adalah merupakan suatu kemajuan karena memang sudah seharusnyalah materi tentang HAM diatur dalam konstitusi.

(3)

Namun demikian, materi tentang HAM yang ada dalam konsitusi itu ternyata menimbulkan persoalan baru. Beberapa persoalan-kelemahan yang terdapat dalam materi HAM ini diantaranya:

Materi tentang HAM yang diatur dalam konstitusi itu tidak mengatur mengenai kewajiban negara untuk melindungi, menjamin, dan menegakan HAM tetapi lebih mengatur tentang kewajiban asasi individu.

Dari materi HAM itu hanya ada 1 ayat saja yang menyebutkan tentang Hak warga negara (Pasal 28D ayat 3 : Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan). Padahal masih ada hak-hak warga negara lainnya yang seharusnya juga diatur dalam konstitusi.

Dalam Pasal 28 I disebutkan tentang pemberlakuan asas non-retroaktif bagi para pelaku pelanggar HAM (……dan hak untuk tidak dituntut adalah suatu hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun). Walaupun dimuatnya materi tentang HAM dalam konstitusi itu merupakan suatu langkah maju, tetapi pemberlakuan asas non-retroaktif bagi para pelaku pelanggar HAM adalah suatu kesalahan besar. Karena dengan berlakunya ketentuan ini, berarti para pelaku pelanggar HAM yang terjadi sebelum berlakunya ketentuan pasal 28I ini tidak dapat dituntut dimuka pengadilan.

Pasal 28D (2) yang berbunyi "Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja". Ini menunjukan adanya semacam pemikiran untuk menghilangkan kewajiban/tanggung jawab negara dalam menjamin hak warga negaranya untuk bisa memperoleh pekerjaan serta imbalan dan perlakuan yang layak dalam hubungan kerj

Penyusunan materi HAM dalam amandemen kedua ini kurang sistematis dan tidak didasari pembidangan HAM dalam Hak politik, Hak Ekonomi, dan Hak sosial-budaya. Perumusannyapun disatukan antara satu hal dengan yang lainnya, misalnya antara Hak/kebebasan memeluk agama disatukan dengan kebebasan berserikat dan berkumpul ; Hak untuk memperoleh perlakuan yang sama dihadapan hukum disatukan dengan Hak untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil&layak dalam hubungan kerja.

Selain itu ada pula ketentuan pasal yang yang disebutkan 2 kali.

2. Kewenangan DPR

Dari amandemen pertama dan kedua menunjukan adanya upaya untuk memperbesar porsi kewenangan DPR dan (secara tidak langsung) membatasi dominasi kekuasaan Presiden.

Dalam amandemen pertama sebelumnya, penambahan kewenangan DPR ditunjukan dengan adanya pertimbangan DPR dalam hal Presiden mengangkat Duta/Konsul dan penerimaan/penempatan duta negara lain

(4)

(pasal 13), pemberian amnesti dan abolisi (pasal 14 ayat 2), pembentuk departemen (pasal 17 ayat 4),

Dan kemudian dalam amandemen kedua, kekuasaan DPR ini ditambah dengan pemberian hak interpelasi, hak angket dan hak menyatakan pendapat, Hak mengajukan pertanyaan, menyatakan usul dan pendapat, serta Hak imunitas (pasal 20A ayat 2 dan 3),

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi legislasi oleh DPR, terdapat ketentuan dalam Pasal 20 ayat 5 yang mengharuskan Presiden untuk mensahkan dan mengundangkan RUU yang telah disetujui bersama Presiden dalam jangka waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui (Pasal 20 ayat 5… "Dalam hal rancangan UU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan”).

Adanya ketentuan ini menimbulkan kontroversi karena menempatkan secara bersama kewenangan Presiden dan DPR untuk dapat mengesahkan undang-undang, dan ketentuan inipun telah menimbulkan abuse of power terhadap kewenangan DPR untuk mengusulkan rancangan undang- undang sekaligus untuk memaksa Presiden agar mensahkan RUU yang diajukan DPR tersebut.

3. Pemerintahan Daerah

Secara umum perumusan yang terkandung dalam pasal 18 ini tidak mensistematisir apa yang sesungguhnya harus diatur dalam UUD perihal otonomi daerah. Hampir semua obyek yang merupakan proporsi undang- undang diatur dalam pasal ini. Seperti soal, pembagian wilayah (ps 18 ayat 1), pemilihan kepala daerah dan DPRD (ps 18 ayat 3&4), sampai soal pengakuan terhadap masyarakat hukum adat (ps. 18B ayat 2). Kalaupun itu mau diatur dalam UUD, persoalan kemudian adalah bias apa yang hendak ditekankan karena harus diatur (atribusi) lagi dalam undang-undang, dan apa yang hendak dikonsepsikan dalam konstitusi ini perihal pemerintahan daerah (otonomi daerah).

Penggunaan kata “dibagi” dalam perumusan “Negara kesatuan RI dibagi atas daerah provinsi-provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota….” dapat menimbulkan kontradiksi. Karena pengertian “dibagi”

ini tergantung dari interprestasi pemerintah pusat yang tidak didasari realitas dan aspirasi masing-masing daerah. Dan seharusnya digunakan kata terdiri yang lebih menunjukan prinsip independensi dan egalitarian dalam mewujudkan otonomi daerah.

Konsepsi otonomi daerah dalam rumusan pasal 18 (5) yang berbunyi “ Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya,…” berbeda maknanya dengan apa yang sebelumnya dirumuskan dalam UU No. 22

(5)

tahun 1999 yakni Otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab.

Dampak dari perbedaan ini disamping menimbulkan kotradiksi hukum, juga akan menimbulkan interpretasi yang beragam dalam pelaksanaannya.

4. Pertahanan dan Keamanan Negara

Dalam pasal 30 (1) amandemen II UUD 1945 disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.” Dalam hal usaha pertahanan-keamanan negara ini seharusnya bukan menjadi kewajiban tetapi menjadi hak dan kehormatan bagi warga negara. Bila hal ini menjadi suatu kewajiban bagi warga negara, maka terlihat adanya paksaan dari negara kepada warga negaranya untuk ikut serta dalam usaha pertahanan-keamanan negara.

Ketentuan pasal 30 ayat 3 dan 4 amandemen II UUD 1945 (tentang Pertahanan dan Keamanan Negara) ini memperbaharui ketentuan dari pasal 30 UUD 1945 (tentang Pertahanan Negara). Dalam ketentuan pasal 35 Amandemen UUD 1945 ini dipisahkan antara kekuatan pertahanan dan keamanan negara yang semula berada dalam satu sistem (Sistem HANKAMARATA), dimana sistem Pertahanan dipegang oleh kekuatan TNI dan sistem keamanan yang dipegang oleh POLRI. Dari pemisahan kedua sistem ini, yang perlu dicermati kemudian adalah siapa yang berwenang untuk menengahi apabila suatu saat terjadi persinggungan antara kekuatan pertahanan dan keamanan.

2. Materi non-amandemen UUD (Tap MPR 2000)

Selain materi amandemen UUD, dari hasil Sidang Tahunan MPR 2000 lalupun telah diputuskan Tap MPR 2000 untuk materi non-amandemen UUD. Dari 9 Tap MPR non-amandemen itu, ada beberapa materi Tap MPR yang masih mengandung kelemahan:

Tap MPR No.III/MPR/2001

Tentang Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (Pasal 5)

“MPR berwenang menguji UU terhadap UUD 1945 dan Tap MPR”

Berdasarkan Tap MPR ini disebutkan bahwa MPR diberi Kewenangan untuk melakukan uji materiil UU terhadap UUD dan Tap MPR. Tetapi kemudian pemberian kewenagan tersebut telah menimbulkan persoalan baru. Dimana Seharusnya kewenangan ini tidak diserahkan kepada lembaga politik semacam MPR. Pemberian kewenangan untuk melakukan pengujian secara materiil terhadap UU itu bisa diserahkan kepada MA ataupun kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengacu pada rancangan amandemen kedua UUD 1945, dimana sebelumnya pernah diusulkan pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang diberi kewenangan untuk melakukan uji materiil atas UU. Dan memang lebih tepat kiranya bila kewenangan tersebut diserahkan kepada salah satu lembaga tersebut (MA/MK) sebagai lembaga yudisial yang berkompeten

(6)

dan menguasai bidang hukum, khususnya dalam hal tekhnis peraturan perundang-undangan.

TAP MPR NO.VII/MPR/2000

Tentang Peran TNI dan POLRI (Pasal 7 ayat 3)

Kepolisian Negara RI dipimpin oleh KAPOLRI yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR.

Polemik mengenai penerapan ketentuan Pasal 7 (3) Tap MPR No.III/MPR/2000 ini diawali dengan pemberhentian Jenderal (Pol) Rusdiharjo sebagai Kapolri oleh (mantan) Presiden Abdurrahman Wahid pada tanggal 18 September dan 5 hari kemudian mengangkat Jenderal (Pol) S.Bimantoro sebagai penggantinya tanpa persetujuan DPR.

Berkaitan dengan hal tersebut, kemudian terjadi sengketa yuridis (perbedaan penafsiran) antara Presiden dan DPR. Atas pemberhentian Rusdiharjo sebagai Kapolri tersebut, Presiden berpendapat tidak perlu mendapat persetujuan dari DPR terlebih dahulu karena sebelumnya pengangkatan Jend (Pol) Rusdiharjo sebagai Kapolri-pun tidak berdasarkan Tap MPR No VII/MPR/2000 yang baru mulai berlaku tanggal 18 Agustus 2000. Sedangkan DPR sendiri berpendapat bahwa walaupun Rusdiharjo diangkat sebelum adanya Tap MPR No.VII/MPR/2000 tetapi tetap saja pemberhentiannya harus dengan persetujuan DPR sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 7 (3).

Tap MPR No VII/MPR/2001 Tentang Peran TNI dan POLRI (Pasal 5 ayat 4 dan Pasal 10 ayat 2)

“Anggota TNI/POLRI tidak menggunakan hak memilih dan dipilih.

Keikutsertaan TNI/POLRI dalam menentukan arah kebijakan nasional disalurkan melalui MPR paling lama sampai tahun 2009”.

Kebijakan untuk menempatkan anggota TNI/POLRI di MPR sampai paling lama tahun 2009 ini selain tidak sesuai dengan ketentuan dalam ayat sebelumnya yang menyebutkan bahwa TNI/POLRI bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis, juga tidak sesuai dengan tuntutan sebagian masyarakat yang menghendaki dihapuskannya dwifungsi ABRI termasuk keikutsertaan TNI/POLRI di parlemen.

Sebenarnya tidak tertutup kemungkinan bagi kalangan TNI/POLRI untuk bisa terjun dalam kehidupan politik. Namun sebagaimana kalangan sipil, anggota TNI/POLRI akan terjun dalam kehidupan politikpun sebelumnya harus melepaskan diri dari keanggotaannya di TNI/POLRI.

Tap MPR No.III/MPR/2000 (Pasal 2)

Tentang Sumber Tertib Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang- undangan

(7)

Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia adalah:

1. UUD 1945 2. Tap MPR 3. UU 4. PERPU 5. PP 6. KEPPRES 7. PP

Ketentuan Pasal 2 Tap MPR No.III/MPR/2000 yang menyebutkan bahwa Kedudukan PERPU (Peraturan Pemerintahan Pengganti UU yang berada di bawah UU bertentangan dengan ketentuan Pasal 22 UUD 1945 yang menyebutkan bahwa kedudukan PERPU sejajar dengan UU.

3. Laporan Lembaga Tinggi Negara

Selain materi amandemen UUD 1945 dan materi non-amandemen, dari hasil Sidang Tahunan MPR 2000 lalu juga dibahas mengenai Laporan tahunan lembaga tinggi negara (Presiden, DPR, BPK, DPA dan MA) dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan fungsi dan wewenangnya masing- masing, yang selanjutnya disahkan dalam Tap MPR VIII/MPR/2000.

Dari laporan tahunan lembaga-lembaga tinggi negara dalam Sidang Tahunan 2000 lalu tersebut ada beberapa catatan, yaitu :

• Laporan Presiden

Bidang Politik dan Keamanan

Presiden belum sepenuhnya dapat mengatasi gerakan separatisme yang dapat mengancam keutuhan wilayah negara serta kurangnya penanganan terhadap konflik horisontal yang terjadi di beberapa daerah. Untuk itu perlu kiranya Presiden memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap berbagai bentuk gerakan separatisme yang dapat mengancam keutuhan negara serta harus segera diambil tindakan yang tegas terhadap pihak manapun yang berusaha menimbulkan konflik horisontal yang dapat mengancam integrasi bangsa.

Namun disamping itu dalam kehidupan berdemokrasi, Presiden telah memberikan ruang yang cukup besar bagi tumbuh-berkembangnya kebebasan dalam kehidupan berdemokrasi.

Bidang Hukum dan HAM

Masih kurangnya upaya pemberantasan dan penanganan kasus-kasus KKN yang dirasakan masih lamban, tidak transaparan, dan tidak tuntas. Untuk itu perlu kiranya Presiden secara sungguh-sungguh melaksanakan Tap MPR No.XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.

Masih belum tuntasnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM dan tetap masih berlangsungnya berbagai upaya pelanggaran HAM diberbagai wilayah. Sehingga Presiden harus segera mengungkapkan dan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM yang telah terjadi -

(8)

sebelumnya serta mencegah terjadinya kembali kasus pelanggaran HAM lainnya diwaktu mendatang.

Laporan DPR Laporan BPK

Dalam laporan tahunan BPK, terlihat banyak temuan BPK mengenai adanya penyimpangan keuangan belum sepenuhnya ditindaklanjuti secara hukum. Sehingga perlu adanya koordinasi dan tindaklanjut dari lembaga yudikatif (dalam kaitannya dengan pelaksanaan fungsi yudikatif) untuk dapat menyelesaikan kasus penyimpangan keuangan dari hasil temuan BPK tersebut.

Laporan MA

Secara umum laporan tahunan MA belum menunjukan secara jelas mengenai upaya MA dalam penegakan supremasi hukum serta masih besarnya jumlah tunggakan perkara yang ada di MA. Untuk mengatasi penumpukan perkara di MA itu perlu kiranya ada pembatasan perkara yang masuk ke MA serta adanya peningkatan kualitas SDM bagi seluruh jajaran hakim di semua lingkungan peradilan agar integritas, moral, profesionalisme dan wawasannya dapat mendukung pelaksanaaan tugasnya. Selain itu perlu segera diwujudkannya eksistensi MA sebagai lembaga yang independen dan bebas KKN.

Ada beberapa catatan dari hal-hal tersebut di atas yaitu : Dari materi amandemen UUD 1945 :

Rumusan yang dihasilkan MPR mengenai materi amandemen UUD itu tidak sitematis serta tidak memiliki paradigma dan kaitan yang jelas antara satu pasal yang satu dengan pasal lainnya.

Meskipun ada penambahan materi baru dalam konstitusi, khususnya mengenai HAM tetapi ternyata rumusan-rumusan HAM yang ada di dalamnya masih menimbulkan persoalan/kontraversi baru.

Hasil amandemen UUD 1945 yang telah dilakukan oleh MPR itu belum memperlihatkan hasil maksimal yang dapat merepresentasikan kehendak rakyat Indonesia serta menentukan bagi pembentukan wajah Indonesia kedepan. Indonesia baru yang lebih demokratis, sejahtera dan pluralis yang didasari nilai keadilan dan kemanusiaan.

Referensi

Dokumen terkait

Sejarah Manajemen Sumber Daya Manusia sebelum permulaan abad kedua puluh manusia dipandang sebagai barang, benda mati yang dapat diperlakukan sekehendak kali oleh majikan, hingga

Analisis konseptual akan mengantar kita pada setidaknya 2 hal penting: (1) memungkinkan kita melihat secara lebih jernih bagaimana suatu konsep terkait tidak

sudah bingung waktu itu kak jadi jawabanku salah. Berdasarkan hasil wawancara siklus II peneliti menyimpulkan bahwa MY salah konsep dalam mengubah bentuk soal dan

Apabila kita melihat suatu gambar tampak atas dari suatu rencana atap, maka panjang jurai luar ataupun dalam belum merupakan suatu garis atau panjang yang sebenarnya disini

Therapeutic Community (TC) dalam mengubah perilaku, membentuk perilaku sesuai dengan nilai dan norma masyarakat, kemampuan penyesuaian diri.secara emusional, peningkatan kemampuan

Dari data wawancara dan observasi mengenai kemudahan penggunaan OPAC, diperoleh hasil bahwa di satu sisi para pengguna mengatakan bahwa mereka merasa puas dengan kemudahan OPAC,

bahwa berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 228/Kpts-II/1990 tentang Tata Cara dan Persyaratan Permohonan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri yang

Paper ini membahas suatu prosedur yang mengurangi pengaruh kemiringan dari populasi pada distribusi student-t sehingga uji inferensi mean dapat terhitung lebih