• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA."

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

ii SKRIPSI

HUBUNGAN RASA SYUKUR DAN PERILAKU PROSOSIAL TERHADAP PSYCHOLOGICAL WELL-BEING PADA REMAJA AKHIR ANGGOTA ISLAMIC MEDICAL ACTIVISTS FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

OLEH :

M.Lutfi Hadi Wicaksono

NIM. 1202205020

Telah disetujui untuk diuji oleh:

Tanggal, 22 April 2016 Pembimbing,

(2)

iii

Dipertahankan di Depan Panitia Ujian Skripsi Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana dan Diterima untuk memenuhi Sebagian dari

Syarat-Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Pada Tanggal:

2 Mei 2016

Mengesahkan Program Studi Psikologi

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes

1. Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S. Psi., M.Psi., Psi. Pembimbing

2. Drs. Supriyadi, M.S., Psi. Ketua Penguji

3. Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi., Psi. Sekretaris Penguji

4. Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psi. Anggota Penguji

Tim Penilai : TandaTangan

(3)

iv

“Ilmu pengetahuan itu menambahkan mulia orang yang mulia dan meninggikan seorang budak sampai ke tingkat raja-raja”

- Nabi Muhammad SAW

“Kepuasan itu terletak pada usaha, bukan pada pencapaian hasil. Berusaha keras adalah

kemenangan besar”

-Mahatma Gandhi

“Yakinlah ada sesuatu yang menantimu selepas banyak kesabaran yang kau jalani yang

akan membuatmu terpana hingga kau lupa betapa pedihnya rasa sakit”

-Ali Bin Abi Thalib

“Jalani hidup dengan penuh cinta, apabila orang lain melemparimu dengan batu maka balaslah lemparan mereka dengan buah yang lezat lagi nikmat”

(4)

v

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini kepada:

Bapak dan Mamaku yang aku cintai dan aku muliakan

Jamil dan Wayan Lidiasmini

Adikku yang aku cintai dan banggakan,

Nurfitri Handayani

serta

(5)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya yang bertanda tangan dibawah ini, M.Lutfi hadi Wicaksono dan disaksikan oleh tim penguji skripsi, dengan ini menyatakan bahwa skripsi ini adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh derajat kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun. Sepanjang pengetahuan saya, tidak terdapat karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Jika terdapat hal-hal yang tidak sesuai dengan isi pernyataan ini, maka saya bersedia derajat kesarjanaan ini dicabut.

Denpasar,22 April 2016 Yang menyatakan,

(6)

vii

Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activist FK Udayana

M. Lutfi Hadi Wicaksono

Program Studi Psikologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana

Abstrak

Psychological well-being adalah sebuah konstruk yang berhubungan dengan berfungsinya seseorang secara optimal dan positif. Semua orang menginginkan dirinya hidup sejahtera baik secara fisik dan psikologis termasuk remaja. Salah satu faktor yang berkorelasi secara signifikan dengan kesejahteraan psikologis adalah rasa syukur. Psychological well-being remaja bisa ditingkatkan lewat pengembangan perilaku-perilaku positif. Salah satu perilaku-perilaku positif yang mendukung pertumbuhan diri remaja adalah perilaku prososial. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic medical activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah cluster sampling. Subjek penelitian adalah 60 orang remaja akhir yang berusia 18-21 tahun. Peneliti menyebarkan skala psychological well-being yang dimodifikasi dari skala psychological well-being oleh Murniasih (2013), skala rasa syukur dan skala perilaku prososial yang dimodifikasi dari skala perilaku prososial oleh Spica (2008). Data yang diperoleh dianalisis melalui analisis regresi berganda untuk melihat hubungan antara variabel rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being.

Analisis regresi berganda menghasilkan nilai F test sebesar 29,976 dengan signifikansi 0,000 (P < 0,05) yang artinya variabel rasa syukur dan perilaku prososial mampu memprediksi psychological well-being. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,513 menunjukkan 51,3% psychological well-being bisa dijelaskan oleh rasa syukur dan perilaku prososial.

(7)

viii

Correlation between Gratitude and Prosocial Behavior toward Psychological Well-Being in Late Adolescents Who Join the Islamic Medical Activist FK Udayana

M. Lutfi Hadi Wicaksono

Department of Psychology, Medical Faculty, Udayana University

Abstract

Psychological well-being is a construct associated with the optimum or positive functioning of a person. All of the people exactly want to live well both physically and psychologically including adolescents. One of the factors who has a significant correlation with psychological well-being is gratitude. Psychological well-being of adolescents can also enhanced through the development of positive behaviors. One of positive behavior that support the personal growth of adolescents is prosocial behavior. This study aimed to determine the correlation between gratitude and prosocial behavior toward psychological well-being in late adolescents who join the Islamic medical activists at Faculty of Medicine Udayana University.

The sampling technique used in this study was cluster sampling. Subjects of the research were 60 late adolescents from age 18-21 years old. Researcher deploy the scale of psychological well-being modified from scale of psychological well-being who has made by Murniasih (2013), the scale of gratitude and prosocial behavior scale modified from scale of prosocial behavior who has made by Spica (2008). Data obtained in this study were analyzed by multiple regression analysis to see the correlation between gratitude and prosocial behavior toward psychological well-being.

Multiple regression analysis results F test values 29,976 with significance value 0,000 (P < 0,05) it means gratitude variable and prosocial behavior were able to predict psychological well-being. Coefficient of determination equal to 0,513 showed that 51,3% psychological well-being can be explained by gratitude and prosocial behavior.

(8)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya ucapkan kehadirat Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izin, karunia dan rahmatNya, skripsi yang berjudul “Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activists ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak. Melalui tulisan ini, dengan kerendahan hati dan segenap cinta peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD-KEMD selaku Rektor Universitas Udayana.

2. Bapak Prof. Dr. dr. I Putu Astawa, SpOT (K). M. Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Ibu Dra. Adijanti Marheni, M.Si., Psi. selaku Ketua Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana

4. Ibu Luh Kadek Pande Ary Susilawati, S.Psi., M.Psi., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

5. Bapak Drs. Supriyadi, M.S., Psi., Ibu Putu Nugrahaeni Widiasavitri, S.Psi., M.Psi., Psi., dan Ibu Made Diah Lestari, S.Psi., M.Psi., Psi selaku dosen penguji pada saat sidang skripsi yang senantiasa memberikan saran dan kritik yang membangun. 6. Ibu Luh Made Karisma Sukmayanti Suarya, S.Psi., MA. Selaku Dosen Pembimbing

(9)

x

7. Seluruh Dosen Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah berjasa dalam mengajar dan membagikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis untuk mengarungi samudera kehidupan.

8. Seluruh staf TU (Tata Usaha) Program Studi Psikologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah banyak membantu penulis dalam segala urusan administrasi dan birokrasi.

9. Ketua beserta seluruh jajaran pengurus organisasi Islamic Medical Activists (IMA), dan saudara-saudaraku anggota Islamic Medical Activists (IMA) yang telah bersedia meluangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk menjadi bagian selama proses pengambilan data penelitian.

10.Kepada keluargaku tercinta, Bapak, Mama, dan Adikku Nanda yang selalu mencintaiku apa adanya dan selalu memberikan dukungan serta doa di setiap langkah hidupku.

11.Kepada sahabat-sahabat semasa SMA (Contrast), Shinta, Basudewa, Yogi, Dwik, Tika, Ayunda, Anggie yang selalu mendukung, menghibur, dan menghiasi bibirku dengan canda tawa setiap kali aku patah semangat.

12.Kepada teman-teman sekelas psikologi angkatan 2012 (Zettrasedon) yang telah menjadi bagian hidup dan menuliskan cerita di lembaran perkuliahanku. Khususnya sahabat-sahabatku di kelas, Hendra, Samuel, Yoga, Ivan. Terima kasih juga untuk Nanda, Agra, Anna, Ayas, Cempaka, Irma, Via, Tryas atas keikhlasan kalian membantu dalam lika-liku kehidupan perkuliahan.

13.Kepada teman-teman satu bimbingan, Mang Try dan Wulandari yang selalu memotivasi saya dalam mengerjakan skripsi.

(10)

xi

Serta untuk semua pihak yang telah mendukung dan membantu menyelesaikan skripsi tetapi tidak dapat disebutkan satu per satu. Penulis berharap melalui skripsi ini dapat memberikan manfaat dan menginspirasi kepada pembaca, almamater, dan masyarakat.

Menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, untuk itu peneliti mengharapkan saran dan kritik yang membangun untuk membantu penyempurnaan skripsi.

Denpasar, 22 April 2016

(11)

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 12

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penelitian ... 12

1. Manfaat Teoritis………. 12

2. Manfaat Praktis……….. 13

(12)

xiii

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 19

A. Psychological Well-Being ... 19

1. Definisi Psychological Well-Being ... 19

2. Aspek-aspek Psychological Well-being ... 20

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Psychological Well-Being ... 25

B. Rasa Syukur ... 31

1. Definisi Rasa Syukur ... 31

2. Aspek-aspek Rasa Syukur ... 33

3. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Rasa Syukur ... 35

C. Perilaku Prososial... 35

1. Definisi Perilaku Prososial ... 35

2. Aspek-aspek Perilaku Prososial ... 37

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi Perilaku Prososial... 38

D. Remaja Akhir ... 43

1. Definisi Remaja Akhir ………43

2. Pembagian Usia Remaja………... 44

3. Kebutuhan Remaja Dalam Perkembangannya………. 47

4. Tugas-Tugas Perkembangan Remaja………... 47

E. IMA Fakultas Kedokteran Universitas Udayana ... 48

1. Latar Belakang Berdirinya IMA………. 48

2. Azas, Tujuan, Sifat, dan Usaha-Usaha dari IMA……… 49

3. Sumber Keuangan Organisasi IMA……… 51

4. Keanggotaan Organisasi IMA………. 51

(13)

xiv

G. Hipotesis Penelitian………. 57

BAB III. METODE PENELITIAN ... 58

A. Identifikasi Variabel Penelitian ... 58

1. Variabel Tergantung………. 58

2. Variabel Bebas………. 58

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian... 59

1. Definisi Operasional Psychological Well-Being... .. 59

2. Definisi Operasional Rasa Syukur………... 60

3. Definisi Operasional Perilaku Prososial……….. 60

C. Subjek Penelitian ... 61

D. Metode Pengambilan Sampel ... 62

E. Metode Pengumpulan Data ... 63

F. Validitas dan Reliabilitas... 69

1. Validitas………... 69

2. Reliabilitas……… 70

G. Metode Analisis Data ... 71

H. Uji Asumsi Penelitian………. 72

1. Uji Normalitas………. 72

2. Uji Linearitas……… 72

3. Uji Multikolinieritas………. 73

I. Uji Hipotesis……….. 73

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 75

A. Persiapan Penelitian ... 75

1. Persiapan Uji Coba Alat Ukur Penelitian……… 75

(14)

xv

B. Pelaksanaan Penelitian ... 83

C. Analisis Data dan Hasil Penelitian ... 85

1. Karakteristik Subjek ... 85

2. Deskripsi dan Kategorisasi Data Penelitian ... 87

3. Uji Asumsi Penelitian ... 90

4. Uji Hipotesis ... 94

5. Analisis Tambahan………... 97

D. Pembahasan ... 100

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 109

A. Kesimpulan ... 109

B. Saran ... 110

1. Saran Praktis………. 110

2. Saran Bagi Peneliti Selanjutnya……… 112

DAFTAR PUSTAKA ... 114

(15)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Bagan Hubungan Antara Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap

Psychological Well-Being pada Remaja

(16)

xvii

DAFTAR TABEL

Tabel.1. Blueprint Skala Psychological Well-Being... 65

Tabel.2. Blueprint Skala Rasa Syukur ... 67

Tabel.3. Blueprint Skala Perilaku Prososial ... 68

Tabel.4. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Psychological Well-Being ... 78

Tabel.5. Sebaran Aitem Skala Psychological Well-Being ... 79

Tabel.6. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Rasa Syukur ... 80

Tabel.7. Sebaran Aitem Skala Rasa Syukur ... 81

Tabel.8. Nomor Aitem Gugur Pada Skala Perilaku Prososial……… 82

Tabel.9. Sebaran Aitem Skala Pada Skala Perilaku Prososial……… 82

Tabel.10. Deskripsi Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin………. 85

Tabel.11. Deskripsi Subjek Berdasarkan Usia………. 86

Tabel.12. Deskripsi Subjek Berdasarkan Suku………. 86

Tabel.13. Rumus Kategorisasi Jenjang Ordinal Lima Daerah……….. 87

Tabel.14. Deskripsi Statistik Data Penelitian……… 87

Tabel.15. Kategorisasi Psychological Well-Being……… 88

Tabel.16. Kategorisasi Rasa Syukur………... 89

Tabel.17. Kategorisasi Perilaku Prososial………. 90

Tabel.18. Hasil Uji Normalitas………. 91

Tabel.19. Hasil Uji Liniearitas………. 92

Tabel.20. Hasil Uji Multikolinieritas……… 93

Tabel.21. Hasil Analisis Regresi Berganda……….. 94

Tabel.22. Hasil Analisis Regresi Berganda Signifikansi Nilai F……….. 95

Tabel.23. Hasil Analisis Regresi Berganda Nilai Koefisien Beta dan Nilai t………... 96

(17)

xviii

Tabel.25. Hasil Uji Independent Sample t Test……….. 98

(18)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran I. Skala Penelitian……….... 119

Lampiran II. Data Uji Coba Skala Psychological Well-Being……….. 131

Lampiran III. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Psychological Well-Being………. 139

Lampiran IV. Data Uji Coba Skala Rasa Syukur………... 141

Lampiran V. Uji Validitas dan Reliabilitas Rasa Syukur………... 144

Lampiran VI. Data Uji Coba Skala Perilaku Prososial……….. 145

Lampiran VII. Uji Validitas dan Reliabilitas Skala Perilaku Prososial………. 151

Lampiran VIII. Data Penelitian……….. 153

Lampiran IX. Uji Normalitas Data Penelitian……… 155

Lampiran X. Uji Linearitas Data Penelitian………... 156

Lampiran XI. Uji Multikolinieritas Data Penelitian……….. 157

Lampiran XII. Deskripsi Data Penelitian Psychological Well-Being……… 158

Lampiran XIII. Deskripsi Data Penelitian Rasa Syukur……… 159

Lampiran XIV. Deskripsi Data Penelitian Perilaku Prososial……… 160

Lampiran XV. Hasil Uji Regresi Berganda……… 161

Lampiran XVI. Hasil Uji Independent Sample t test………. 162

Lampiran XVII. Surat Pernyataan Penelitian……….. 163

(19)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Semua orang pasti menginginkan kehidupan yang sejahtera baik secara fisik, materi maupun psikologis dan menghindari kehidupan yang menekan serta tidak menyenangkan, remaja adalah salah satu fase yang membutuhkan bimbingan dalam kehidupan karena konflik psikologis dari dalam diri sangat dominan terjadi pada remaja yang disebabkan oleh perkembangan fisik, kognitif, kejiwaan, dan sosial (Said, 2015). Masa remaja adalah sebuah konstruksi sosial, sebelum abad ke-20 tidak ada konsep mengenai remaja karena dahulu anak-anak akan memasuki masa dewasa saat matang secara fisik atau saat sudah bekerja sedangkan pada masa kini persiapan menuju kedewasaan membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tidak memiliki batasan yang jelas, proses masuk ke dunia kerja cenderung terjadi lebih lambat dalam masyarakat yang kompleks, serta membutuhkan periode pendidikan lebih panjang untuk mempersiapkan tanggung jawab sebagai orang dewasa (Papalia, Olds & Feldman, 2009).

(20)

2

kematangannya secara seksual, pertumbuhan secara cepat pada tinggi dan berat badan, serta perubahan bentuk tubuh yang sudah seperti tubuh orang dewasa, masa ini juga disebut sebagai pubertas (Sarwono, 2012).

Remaja juga menunjukkan perkembangan yang pesat pada kemampuan kognitifnya, Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) mengatakan bahwa pada masa remaja sudah berada pada tahap operasional formal dan sudah mampu berpikir abstrak, logis, rasional, serta mampu memecahkan persoalan-persoalan yang bersifat hipotetis. Sejalan dengan perkembangan kognitif pada waktu yang sama remaja juga mengalami perkembangan moral. Kohlberg (dalam Papalia, dkk 2009) menyatakan remaja berada pada tingkat penalaran moral konvensional yaitu suatu tingkatan dimana remaja mulai mematuhi aturan sosial, menginternalisasi standar dari figur otoritas, berusaha menyenangkan orang lain, dan mempertahankan aturan sosial.

Pertumbuhan dan perkembangan yang terjadi pada masa remaja menyebabkan kebutuhan remaja juga meningkat. Kebutuhan psikologis adalah kebutuhan yang paling penting bagi remaja karena dengan terpenuhinya kebutuhan psikologis maka remaja akan mampu menunjukkan perilaku yang positif dalam hidup. Remaja sangat membutuhkan ketenangan, kedamaian, kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama (Said, 2015).

(21)

Sebaliknya, remaja akan mengalami kekecewaan, ketidakpuasan, atau bahkan frustrasi, dan pada akhirnya akan mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya jika kebutuhan psikologisnya tidak terpenuhi (Ali & Asrori, 2012). Kondisi kebutuhan remaja yang meningkat, memunculkan tugas-tugas baru yang harus dilakukan dan dicapai oleh remaja yang disebut tugas perkembangan.

Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan tugas perkembangan remaja yang penting yaitu, mencapai hubungan baru yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita, mencapai peran sosial pria dan wanita, menerima keadaan diri apa adanya, mencari kemandirian emosional dari orang tua dan orang dewasa lainnya, mencapai jaminan kebebasan ekonomis, memilih dan menyiapkan lapangan pekerjaan, persiapan untuk memasuki kehidupan berkeluarga, mengembangkan keterampilan intelektual, memperoleh suatu himpunan nilai-nilai dan sistem etika sebagai pedoman tingkah laku. Havighurst (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan bahwa jika berhasil menjalankan sebagian besar tugas perkembangan akan menimbulkan kebahagiaan dan membawa kearah keberhasilan, akan tetapi jika gagal akan menimbulkan rasa tidak bahagia dan kesulitan dalam menghadapi tugas-tugas berikutnya.

(22)

4

Salah satu contoh perubahan yang dialami remaja akhir adalah masa peralihan jenjang pendidikan dari Sekolah Menengah Atas (SMA) menuju Perguruan Tinggi (Hurlock, 1980). Tidak jarang remaja akhir harus pergi merantau untuk melanjutkan pendidikan menuju Perguruan Tinggi yang menyebabkan remaja akhir tinggal jauh dari orang tua, keluarga, dan teman-teman sewaktu SMA. Akibatnya remaja akhir bisa mengalami top-dog phenomenon yaitu fenomena berupa keadaan bergerak dari posisi teratas saat remaja menjadi senior di SMA menuju ke posisi paling bawah saat remaja menjadi junior di Perguruan Tinggi (Santrock, 2002). Tinggal jauh dari orang tua, teman-teman dekat sewaktu SMA, harus menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, memulai hubungan sosial dengan teman baru dan senior di Perguruan Tinggi menjadi situasi yang dihadapi oleh remaja akhir.

Hasil studi pendahuluan yang didapatkan peneliti setelah mewawancarai kelompok remaja akhir yaitu tiga mahasiswa perantauan yang beragama Islam, adalah terjadi fenomena seperti merasa kesepian, kesendirian dan tidak ada orang yang bisa dimintai pertolongan saat pertama kali memasuki lingkungan perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, berikut kutipan wawancara:

“Karena disini saya sendiri dan otomatis tidak mempunyai siapa-siapa yang bisa saya mintai bantuan” (Preliminary Study, VerLC11).

(23)

kurang merasa aman karena jauh dari orang tua. Berikut kutipan wawancara tekanan emosional yang dihadapi responden pertama kali datang ke Bali untuk melanjutkan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana:

“Pertama ke Bali itu pastinya kaget, karena budayanya berbeda di lingkungan pertama, terus juga ee yang kedua itu kita harus belajar karena disini saya perantau untuk hidup mandiri untuk bisa ee mengatur keuangan sendiri ee biasanya dulu kalau masih SMA itu masih diatur sama orang tua diurus segala keperluannya, sedangkan disini kita harus ngurus segala sesuatunya itu sendiri jadinya disini kita harus belajar lebih dewasa dan mandiri. Terutama di masa ospek juga disana kita harus bisa gimana caranya sistemnya ini membuat kaget karena perubahan sistem belajar itu berubah banget, kalau misalnya ospek itu dari waktu SMA kita nggak pernah belajar cari jurnal disini kita harus tugas-tugas waktu ospeknya cari jurnal dan lain sebagainya, ngatur waktu malah waktu ospek kita nggak ada waktu tidur sama sekali dan itu bener-bener kaget banget. Beda banget ya sistem belajar waktu SMA sama waktu kuliah itu beda banget kadang ada rasa kesepian juga karena disini kita engga tahu siapa-siapa, engga punya temen siapa-siapa dan memang harus bisa survive hidup disini dan harus ee belajar lagi cari temen lagi dan ngatur semuanya sendiri.” (Preliminary Study, VerLC1).

Salah satu sarana untuk membantu mahasiswa perantauan khususnya yang beragama Islam dalam menjalani perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana adalah Islamic Medical Activists (IMA). IMA adalah organisasi kemahasiswaan yang beranggotakan mahasiswa Muslim di lingkup Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. Mayoritas anggota IMA adalah remaja akhir yaitu remaja yang berusia 18-21 tahun, ini dikarenakan pada saat awal memasuki jenjang perkuliahan remaja pada umumnya berada pada rentang usia 18-21 tahun.

(24)

6

keilmuan anggota, membina kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, berperan aktif dalam dunia pendidikan, serta berpartisipasi secara konstruktif dalam pembangunan masyarakat (AD/ART IMA, 2015).

Berdasarkan hasil wawancara terhadap tiga mahasiswa perantauan yang pada awal memasuki perkuliahan di Fakultas Kedokteran belum bergabung dengan IMA namun sekarang sudah menjadi anggota IMA lebih dari satu tahun, diperoleh informasi bahwa IMA mempunyai kegiatan-kegiatan yang positif seperti mengadakan seminar tentang melakukan prosesi sunat (sirkumsisi), mengadakan pelayanan kesehatan gratis untuk masyarakat, mengadakan prosesi sunat gratis bagi masyarakat, dan khusus untuk hari raya Idhul Adha IMA mengadakan penyembelihan hewan untuk dikorbankan (qurban) dan dagingnya dibagikan kepada panti asuhan (Preliminary Study, VerLC6 & VerLC7).

IMA memiliki perbedaan dengan organisasi lain yang ada di lingkungan Fakultas Kedokteran diantaranya karena IMA adalah organisasi yang bersifat independen jadi dalam melakukan kegiatan dana yang dikeluarkan bersifat swadaya dari anggota atau mencari dana lewat sponsor. Selain itu yang membedakan IMA dengan organisasi lain di Fakultas Kedokteran adalah sifatnya yang tidak mengikat, contohnya jika organisasi lain mewajibkan calon anggotanya menjadi anggota muda terlebih dahulu setelah itu wajib menjadi panitia suatu kegiatan agar bisa diangkat menjadi anggota sebuah organisasi maka hal ini tidak diwajibkan dalam IMA karena seluruh mahasiswa Muslim yang sedang menempuh studi di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana merupakan anggota IMA sehingga tidak ada istilah calon anggota IMA (AD/ART IMA, 2015).

(25)

dapat setelah menjadi anggota IMA dan mengikuti kegiatan-kegiatan IMA diceritakan melalui kutipan wawancara berikut:

“emm rasanya seneng sih ketemu temen baru terus ketemu temen seperjuangan sama-sama perantau sama sama se-Muslim terus sama-sama senasib sepenanggungan, sama-sama enggak tau apa-apa. Seneng aja ternyata ada lo tempat dimana kita bisa ketemu orang yang sama backgroundnya gitu. Ehmm bermanfaat banget ya kalo saya ikut kegiatan IMA itu karena yang pertama menambah silaturahmi ternyata kita nggak sendiri di Bali karena kan ee mayoritas di Bali penduduknya beragama Hindu ternyata disini kita bisa ketemu lagi sama temen-temen yang sama kayak kita terus tambah lagi eee temen-temen gak hanya satu prodi tapi dari prodi lainnya juga banyak, dan karena eee di IMA juga ee sangat kekeluargaan ya jadi saya ngerasa nyaman di IMA. Banyak banget manfaat ikut IMA missal ikut tenda tensi dan pelayanan kesehatan itu disitu kita diajarkan untuk belajar ilmu baru seperti mengukur tensi, asam urat eee cek gula darah akhirnya saya belajar dan bisa. Ada juga kegiatan refreshing, ada juga animasi itu kan ee menjalin hubungan dan mengenal sama alumni, kakak kelas, adik kelas juga yang baru jadinya menambah banyak link dan juga dari IMA sendiri eee apa ya ada ya bertemu dengan sahabat-sahabat misalnya temen itu enggak dari satu prodi aja malah temen deket saya itu ada yang dari temen IMA itu sendiri. Jadi karena kenal itu jadi temen satu kos terus juga saling sharing kehidupan di Bali itu gimana, terus juga abis itu di IMA kan ada yang namanya Liqo (sharing ilmu agama dan sekaligus perkumpulan tetapi hanya khusus sesama perempuan) nah kebetulan saya juga ikut nah itu banyak manfaatnya terutama untuk kita yang perantau gimana kita di daerah rantau harus bisa bergaul dengan baik dan memilih temen dengan baik nah menurut saya itu IMA bisa jadi tempat bagi para perantau untuk eee tidak terbawa arus yang tidak baik atau gimana.” (Preliminary Study, VerLC3-4)

(26)

8

Salah satu wadah yang menyediakan tempat untuk mahasiswa perantauan yang beragama Islam memulai hubungan sosial pertama kali di lingkungan kampus adalah IMA, karena pada mulai awal mahasiswa Muslim mengikuti ospek, IMA sudah mulai mendata mahasiswa Muslim lalu mengajak berinteraksi dan memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan contohnya memberikan pinjaman buku untuk kuliah, memberikan informasi tentang perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana dan memperkenalkan mahasiswa baru dengan mahasiswa senior dikampus, jadi bisa dikatakan IMA sebagai keluarga awal bagi mahasiswa Muslim dan perantauan saat berada di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana. IMA juga bisa disebut sebagai batu pijakan untuk memulai hubungan dan interaksi sosial yang lebih besar lagi dengan seluruh mahasiswa di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (Preliminary Study, VerLC2).

Islamic Medical Activists (IMA) bisa menjadi lingkungan positif yang mendukung bagi mahasiswa perantauan tentang perkuliahan di Bali, karena IMA bisa menjadi sarana yang membantu remaja untuk memenuhi kebutuhan psikologis remaja seperti kebutuhan akan kesempatan mengembangkan potensi, cinta dan kasih sayang, pujian, motivasi, penghargaan, dikenal oleh orang lain, diterima dan dihargai oleh orang sekitar, kebebasan, sosialisasi dalam kehidupan dan kesetiakawanan, prestasi, arahan dan bimbingan, serta pendidikan agama karena jika kebutuhan psikologis remaja terpenuhi maka akan timbul suatu kepuasan hidup, selanjutnya remaja akan merasa gembira, harmonis, dan produktif (Ali & Asrori, 2012)

(27)

kebutuhan dan tugas perkembangannya membuat remaja memperoleh kepuasan hidup dan juga kebahagiaan yang diyakini dapat membentuk kesejahteraan dalam dirinya. Hal-hal positif seperti kebahagiaan dan kepuasan juga turut berpengaruh dalam pembentukan kondisi psikologis yang positif (positive psychological functioning) yang membawa kepada terbentuknya kesejahteraan psikologis (psychological well-being) dalam diri seseorang (Ryff & Keyes, 1995). Psychological well-being merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kesejahteraan psikologis individu berdasarkan pemenuhan kriteria fungsi psikologi secara positif. Menurut Papalia, dkk (2009) deskripsi orang yang memiliki kesejahteraan psikologis yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi yang dimilikinya secara berkelanjutan, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, mandiri dalam menghadapi tekanan sosial, menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal.

(28)

10

meminjamkan buku yang menjadi acuan dalam mata kuliah (Preliminary Study, VerLC8 & VerLC11).

Wood, Joseph, dan Maltby (2009) menyatakan salah satu faktor yang mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang adalah rasa syukur. Rasa syukur berkorelasi signifikan dengan kesejahteraan psikologis, rasa syukur berkaitan dengan positive coping, fungsi sosial dan memiliki efek sebab-akibat pada positive well-being dan hubungan sosial. Mahasiswa perantauan yang mampu dan senantiasa bersyukur karena mendapat keluarga baru salah satunya melalui IMA diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan psikologisnya. Penelitian juga membuktikan rasa syukur berkorelasi negatif dengan perilaku anti-sosial, phobia, gangguan kecemasan, gangguan panik, dan mental hyperorexia (Kendler, 2003). Rasa syukur juga memberikan pandangan positif bagi individu terhadap kehidupannya (Wood, 2008) yang berkorelasi dengan kesejahteraan psikologis (Wood, 2009).

Psychological well-being pada mahasiswa yang mengikuti IMA juga dapat ditingkatkan melalui pengembangan perilaku-perilaku yang positif, diharapkan dari perilaku positif tersebut dapat membantu mahasiswa mengembangkan pertumbuhan dirinya karena pertumbuhan pribadi (personal growth) merupakan salah satu aspek dari psychological well-being (Ryff, 1989).

(29)

material dan psikologis, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk meningkatkan well-being orang lain. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA seperti melakukan tebar daging pada saat hari raya Idhul Adha dan juga pelayanan kesehatan gratis seperti cek tensi, wawancara kesehatan, sampai pemberian pengobatan melalui oral dan injeksi merupakan intensi untuk mengubah keadaan fisik dan psikologis orang lain agar menjadi lebih baik.

Seseorang memunculkan perilaku yang rela mengorbankan diri sendiri demi orang lain ketika sebenarnya mampu untuk tidak peduli dikarenakan oleh perilaku prososial, yaitu setiap perilaku yang mempunyai tujuan menguntungkan orang lain. Organisasi IMA walaupun secara kelembagaan bersifat independen dan tidak berada dibawah dekanat sehingga setiap kegiatan yang dilakukan harus menggunakan dana swadaya dari masing-masing anggota, tidak menghalangi untuk menjalankan kegiatan yang membantu orang lain dan dilakukan tanpa pamrih. Perilaku prososial yang dilakukan oleh IMA juga tidak memandang sekat-sekat keagamaan walaupun organisasi ini dalam namanya bernafaskan Islam akan tetapi setiap perilaku prososial yang dilakukan selalu terbuka untuk masyarakat umum dibawah bingkai kebhinekaan (AD/ART IMA, 2015).

(30)

12

diri sendiri. Dengan demikian, diharapkan perilaku prososial yang dilakukan oleh remaja akhir anggota IMA dapat memberikan kontribusi yang positif bagi psychological well-being dirinya.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengangkat penelitian dengan judul “Hubungan Rasa Syukur dan Perilaku Prososial terhadap

Psychological Well-Being pada Remaja Akhir Anggota Islamic Medical Activist Fakultas Kedokteran Universitas Udayana”.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada hubungan fungsional antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan rasa syukur dan perilaku prososial terhadap psychological well-being pada remaja akhir anggota Islamic Medical Activists Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat teoritis

(31)

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi peneliti sendiri maupun bagi pihak-pihak lainnya, uraian manfaat praktis dari penelitian ini sebagai berikut:

a. Manfaat bagi remaja akhir

1) Memberikan informasi bagi anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi mengenai hubungan antara rasa syukur dan perilaku prososial terhadap kesejahteraan psikologis. 2) Penelitian ini diharapkan bisa memengaruhi wawasan dan pola

pikir anggota IMA maupun remaja akhir yang tergabung dalam organisasi sehingga senantiasa bersyukur dan menolong orang lain dalam kehidupannya karena akan menciptakan evaluasi pengalaman positif dengan harapan agar remaja akhir bisa memperoleh kesejahteraan psikologis.

b. Manfaat bagi orang tua

(32)

14

c. Manfaat bagi Perguruan Tinggi

1) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada pihak perguruan tinggi terkait keadaan psikologis remaja akhir saat berada di bangku perkuliahan khususnya remaja perantauan, serta menjadi acuan agar perguruan tinggi senantiasa mendukung dan memfasilitasi kegiatan-kegiatan organisasi IMA maupun organisasi lainnya yang bersifat prososial dengan harapan agar remaja akhir dapat mencapai psychological well-being yang baik.

d. Manfaat bagi peneliti

(33)

E. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prosial dan psychological well-being telah dilakukan sebelumnya. Berikut beberapa penelitian mengenai rasa syukur, perilaku prososial dan psychological well-being, antara lain :

1. Hubungan antara Gratitude dan Psychological Well-Being pada Mahasiswa oleh Fitri Oktaviani Putri pada tahun 2012 dari Universitas Indonesia. Penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah terdapat hubungan antara gratitude dan psychological well-being pada mahasiswa.Variabel gratitude diukur dengan SS8 (skala syukur 8). Variabel psychological well-being diukur dengan alat ukur self-report yang diadaptasi dari penelitian sebelumnya oleh Hapsari (2011), yang menggunakan Ryff’s Scale of Psychological Well-Being (1989). Penelitian ini melibatkan 340 responden berusia 17 sampai 25 tahun. Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan positif yang signifikan antara gratitude dan psychological well-being. Penelitian ini menemukan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara responden yang tergabung dan tidak tergabung dalam perkumpulan keagamaan baik pada gratitude maupun psychological well-being.

(34)

16

aspek otonomi, korelasi sedang dengan aspek penguasaan lingkungan dan tujuan hidup, serta korelasi yang kuat dengan aspek pertumbuhan pribadi, aspek hubungan positif dengan orang lain, dan aspek penerimaan diri. Korelasi ini menunjukkan bahwa rasa syukur adalah prediktor penting dari psychological well-being.

3. Hubungan antara Perilaku Prososial dengan Psychological Well-Being pada Remaja oleh Megawati pada tahun 2015 dari Universitas Udayana. Metodologi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara perilaku prososial dengan psychological well-being pada remaja di kota Denpasar. Teknik pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah cluster random sampling. Subjek dalam penelitian ini adalah 214 remaja berusia 15-17 tahun, remaja laki-laki berjumlah 91 orang dan remaja perempuan berjumlah 123 orang. Pengukuran variabel psychological well-being dan perilaku prososial menggunakan skala. Data yang diperoleh dari penelitian ini dianalisis menggunakan analisis regresi sederhana untuk melihat hubungan antara variabel perilaku prososial dan psychological well-being. Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan signifikan dan positif antara perilaku prososial dengan psychological well-being yang berarti semakin tinggi nilai perilaku prososial semakin tinggi pula psychological well-being remaja. Nilai koefisien determinasi sebesar 0,372 menunjukkan sumbangan perilaku prososial terhadap psychological well-being sebesar 37,2% sedangkan sisanya 62,8% disumbang oleh faktor-faktor lain seperti usia, kelas sosial ekonomi, relasi sosial, dan faktor kepribadian.

(35)

kedekatan dengan korban dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA di Jakarta dan sekitarnya. Subjek pada penelitian ini adalah siswa/i, SMA dalam tahap remaja yakni 15-19 tahun berjumlah 80 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan accidental sampling panel (pengambilan sampel dipilih berdasarkan tersedianya individu dan kemauan untuk mengikuti penelitian). Pengukuran sikap menggunakan alat ukur sikap terhadap bullying. Hasil penelitian ini menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara kedekatan dengan korban terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang ingroup dengan korban tidak memiliki perbedaan skor prososial yang signifikan daripada orang yang outgroup dengan korban. Namun terdapat pengaruh yang signifikan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial pada siswa SMA. Artinya, seseorang yang memiliki sikap negatif terhadap bullying akan memiliki lebih tinggi skor prososial secara signifikan daripada orang yang memiliki sikap positif terhadap bullying. Selain itu, tidak ada interaksi pengaruh kedekatan dan sikap terhadap bullying terhadap perilaku prososial.

(36)

18

(t= 9.813; p = 0.000, p < 0.01). Remaja yang orang tuanya bercerai memiliki nilai psychological well-being yang lebih rendah dibandingkan remaja yang orang tuanya tidak bercerai (utuh).

(37)

19

TINJAUAN PUSTAKA

A. Psychological Well-Being

1. Definisi Psychological Well-Being

Menurut Ryff (1989), psychological well-being adalah kondisi dimana seseorang memiliki kemampuan menerima diri sendiri maupun kehidupannya di masa lalu, pengembangan diri, keyakinan bahwa hidupnya bermakna, memiliki tujuan, memiliki kualitas hubungan positif dengan orang lain, kapasitas untuk mengatur kehidupan di lingkungan secara efektif dan kemampuan menentukan tindakan sendiri. Ryff (1989) merumuskan teori psychological well-being pada konsep kriteria kesehatan mental yang positif.

(38)

20

diri manusia yang terdiri dari kemandirian, pertumbuhan pribadi, penerimaan diri, tujuan hidup, penguasaan lingkungan, dan hubungan yang positif.

Deskripsi orang yang memiliki psychological well-being yang baik adalah orang yang mampu merealisasikan potensi dirinya secara kontinyu, mampu membentuk hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian terhadap tekanan sosial, maupun menerima diri apa adanya, memiliki arti dalam hidup, serta mampu mengontrol lingkungan eksternal (Papalia, dkk 2009).

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa psychological well-being adalah sebuah konsep tentang kriteria kesehatan mental untuk menggambarkan seseorang yang mampu berfungsi secara optimal dan positif, yang ditunjukkan melalui evaluasi-evaluasi pengalaman hidup dimana hal tersebut dipengaruhi oleh berfungsinya fungsi psikologis secara positif seperti, penerimaan diri, mampu membuat hubungan yang hangat dengan orang lain, memiliki kemandirian dalam mengatur kehidupan, mampu mengontrol dan menguasai lingkungan eksternal, memiliki tujuan hidup, dan pertumbuhan pribadi.

2. Aspek-aspek Psychological well-being

Menurut Ryff (1989) terdapat enam aspek dari psychological well-being, yaitu:

a. Self Acceptance (penerimaan diri)

(39)

ini maupun kehidupannya di masa lalu. Seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang tinggi memiliki sebuah sikap yang positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek tentang dirinya yang mencakup kualitas hal yang baik dan buruk, merasakan hal yang positif tentang kehidupan di masa lalunya. Sedangkan seseorang yang memiliki skor self acceptance (penerimaan diri) yang rendah merasa tidak puas terhadap dirinya, merasa kecewa dengan apa yang telah terjadi di kehidupan masa lalu, bermasalah dengan hal-hal yang ada di dalam dirinya, berharap untuk menjadi orang berbeda dari dirinya saat ini (Ryff, 1989).

(40)

22

kepada orang lain, tertutup, tidak peduli terhadap sesama, terisolasi dan merasa frustrasi dalam hubungan dengan sesama orang lain, tidak ada kemauan untuk berkompromi dalam mempertahakan hubungan dengan orang lain (Ryff, 1989).

c. Autonomy (kemandirian)

Mampu menentukan nasib sendiri dan bisa mengatur perilaku sesuai dengan kemauan diri sendiri. Orang yang mampu berfungsi secara positif dan optimal, dideskripsikan dengan mampu menunjukkan kemandirian dan resisten terhadap enkulturasi, memiliki evaluasi lokus secara internal yang berarti tidak meniru tindakan orang lain untuk mendapatkan persetujuan tetapi mengevaluasi diri sesuai dengan standar personal yang dimiliki. Seseorang yang memiliki nilai tinggi pada dimensi ini menunjukkan bahwa dapat menentukan tentang sesuatu seorang diri, mampu melawan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara-cara tertentu, mengatur perilaku dari dalam, mengevaluasi diri dengan standar pribadi. Sedangkan seseorang yang memiliki nilai rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa orang tersebut terlalu peduli terhadap harapan dan penilaian dari orang lain, berpegang pada penilaian orang lain untuk membuat keputusan penting bagi dirinya, menyesuaikan diri sesuai dengan tekanan sosial untuk berpikir dan bertindak dengan cara tertentu (Ryff, 1989).

d. Environtmental mastery (penguasaan lingkungan)

(41)

mengontrol lingkungan yang kompleks. Teori ini menekankan kemampuan seseorang untuk beradaptasi di lingkungannya dan mengubahnya secara kreatif dengan aktivitas fisik maupun mental, mengambil kesempatan-kesempatan yang ada di dalam lingkungan merupakan hal yang penting dalam psychological well-being seseorang. Seseorang yang memiliki skor yang tinggi pada dimensi ini mempunyai penguasaan dan kemampuan dalam mengatur lingkungan, dapat mengendalikan berbagai aktivitas eksternal yang berada di lingkungannya termasuk mengatur dan mengendalikan situasi kehidupan sehari-hari, memanfaatkan kesempatan yang ada di lingkungannya, mampu memilih atau membuat konteks yang sesuai dengan kebutuhan pribadi dan nilai-nilai. Seseorang yang memiliki skor yang rendah pada dimensi ini mengalami kesulitan dalam mengatur kehidupan sehari-hari, merasa tidak mampu untuk mengubah dan memperbaiki lingkungan sekitar, serta kurangnya kontrol terhadap dunia luar (Ryff, 1989).

e. Purpose in life (tujuan hidup)

(42)

24

mengarahkan, yang semuanya berkontribusi terhadap perasaan bahwa hidup adalah bermakna. Seseorang yang memiliki skor tinggi pada dimensi ini mempunyai tujuan-tujuan dalam hidup dan kemampuan untuk mengarahkannya, dapat merasakan keberadaan akan arti hidup saat ini dan masa lalu, berpegang pada keyakinan bahwa memberi tujuan dan target yang ingin dicapai dalam hidup. Seseorang yang memiliki skor rendah pada dimensi ini sedikit memiliki pemaknaan terhadap kehidupan, memiliki sedikit tujuan, memiliki sedikit cita-cita, tidak melihat makna dan tujuan di kehidupan masa lalu, tidak memiliki pandangan atau kepercayaan yang memberi arti pada kehidupan (Ryff, 1989).

f. Personal growth (pertumbuhan pribadi)

(43)

dan perilakunya terus mengalami peningkatan, berubah secara efektif dan mencerminkan kemampuan tentang diri. Skor yang rendah pada dimensi ini menunjukkan bahwa individu mengalami stagnansi atau tidak adanya kemajuan pada individu, tidak adanya peningkatan dan pengembangan pada individu, merasa bosan dan tidak tertarik dengan kehidupan, merasa tidak mampu untuk mengembangkan sikap dan perilaku baru yang lebih baik (Ryff, 1989).

Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kriteria orang yang memiliki psychological well-being yang baik setidaknya harus memenuhi enam aspek yang dikemukakan oleh Ryff (1989) yaitu, self acceptance (penerimaan diri), positive relations with others (hubungan yang positif dengan orang lain), autonomy (kemandirian), environtmental mastery (penguasaan lingkungan), purpose in life (tujuan hidup), dan personal growth (pertumbuhan pribadi).

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Psychological Well-Being

(44)

26

a. Usia (age)

Ryff dan Keyes (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menganggap bahwa orang tua mengalami penurunan dalam pertumbuhan pribadi. Akan tetapi individu di usia tuanya menunjukkan peningkatan pada kemampuan menguasai lingkungan dan kemandirian dikarenakan individu mencapai tahap yang lebih tinggi dari rentang kehidupan. Kemampuan menguasai lingkungan cenderung lebih baik di usia paruh baya dan lanjut usia daripada saat individu berada di usia muda, tetapi tetap stabil dari usia menengah ke usia yang lebih tua. Dimensi penerimaan diri dan hubungan positif dengan orang lain tampaknya tidak terlalu dipengaruhi oleh usia. Oleh karena itu, pengalaman individu selama hidupnya dapat mengubah cita-citanya dan cara dia menilai kesejahteraan dirinya sendiri.

(45)

b. Jenis kelamin (gender)

(46)

28

melewati tahap awal menopause ke tahap selanjutnya. Berdasarkan hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa kesejahteraan psikologis perempuan meningkat saat memasuki tahap akhir transisi menopause.

c. Kelas sosial ekonomi (socioeconomic level)

Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) mengemukakan aspek lain yang berdampak penting pada kesejahteraan psikologis yaitu situasi sosial ekonomi, yang juga mencakup beberapa kondisi objektif seperti akses ke perumahan, sistem kesehatan, pendidikan, pekerjaan dan kegiatan rekreasi. Haan, Kaplan, dan Syme (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa kesuksesan atau kegagalan dari segi finansial berkombinasi dengan sumber daya lingkungan, bisa memiliki efek penting pada perasaan seseorang dari segi prestasi, penguasaan lingkungan dan penerimaan diri, dan hal ini cenderung berkembang ketika seseorang bertambah tua.

(47)

d. Relasi sosial (social relations)

Seseorang harus memiliki hubungan sosial yang stabil dan memiliki teman-teman yang dapat mereka percayai. Menurut Blanco dan Diaz (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) kesejahteraan jelas dipengaruhi oleh kontak sosial dan hubungan interpersonal. Hal itu telah terbukti lewat hubungan berupa kontak di masyarakat, pola aktif persahabatan dan partisipasi sosial. Penelitian oleh Diener dan Diener (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2102) menunjukkan pentingnya konteks sosial dan budaya dalam penilaian seseorang terhadap kesejahtreraan psikologis dirinya sendiri. Faktor lain yang penting di tingkat kesejahteraan psikologis pada orang tua adalah kepuasan orang tua terhadap teman hidupnya. Aspek ini sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan lansia, untuk siapakah keluarga menjadi sebuah faktor protektif untuk kesehatan para orang tua. Keluarga mengakuisisi peran penting dalam kehidupan saat ini dan menjadi sumber penting dari kesejahteraan psikologis.

e. Faktor kepribadian (personality factors)

(48)

30

mengekspresikan perasaan kesejahteraan psikologis akan cenderung ditandai dengan stabilitas emosi dan ekstroversi. Ekstrovert belajar untuk menjadi bahagia lebih cepat dan tidak mudah untuk menjadi sedih. Sebaliknya dapat diamati pada orang dengan kecenderungan neurotik lebih cepat menjadi sedih tapi lebih sulit untuk menjadi bahagia. Jelas, lebih mudah untuk ekstrovert mengalami emosi positif, tapi dia juga lebih mungkin terlibat dalam situasi yang memfasilitasi emosi positif.

Landau dan Litwin (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) telah membuktikan dalam studi terbaru dalam hubungan antara interaksi sosial dan kesejahteraan pada orang yang berumur panjang. Mayer, Roberts dan Barsade (dalam Singh, Mohan & Anasseri, 2012) menyatakan bahwa selain faktor kepribadian yang disebutkan di atas, kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa selama dekade terakhir telah ada bukti yang konsisten untuk hubungan antara kecerdasan emosional yang lebih besar, dipahami sebagai sebuah kemampuan untuk memahami dan mengelola sendiri kondisi emosional seseorang, dan sebuah tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi dan sebuah penyesuaian psikologis yang lebih baik untuk lingkungan.

(49)

lingkungan. Individu dengan kemampuan mengelola emosi yang baik memiliki tingkat kesejahteraan psikologis yang lebih tinggi.

B. Rasa Syukur

1. Definisi Rasa Syukur

Kamus Bahasa Inggris Oxford (dalam Emmons & McCullough, 2004) mendefinisikan rasa syukur sebagai “kualitas atau kondisi berterima kasih;

apresiasi pada sebuah keinginan untuk berbuat kebaikan”. Rasa syukur tidak

hanya disebut kebaikan yang tertinggi, tetapi adalah orang tua dari semua yang lain, ingatan moral dari umat manusia, kekuatan yang menarik pada arah perubahan pada alam semesta, kunci yang akan membuka semua pintu, kualitas yang menjaga kita tetap awet muda.

(50)

32

menggunakan daya khayal dan dengan akal sehat sesuai persetujuan dengan niat dari pemberi.

Emmons dan McCullough (2003) menemukan bahwa orang-orang yang bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif seperti antusias, tekun, dan penuh perhatian tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain. Fitzgerald (dalam Emmons & McCullough, 2004) mengidentifikasi tiga komponen rasa syukur, yaitu perasaan hangat dan memberi apresiasi terhadap orang lain atau sesuatu, memiliki niat baik kepada seseorang atau sesuatu, serta kecenderungan untuk bertindak melakukan sesuatu seperti beribadah kepada Tuhan, menolong orang lain, dan membalas kebaikan orang lain.

Rasa syukur adalah sesuatu yang menyenangkan. Rasa syukur juga memberikan motivasi. Ketika kita merasa bersyukur, kita tergerak untuk membagikan kebaikan yang telah kita dapatkan kepada orang lain. Rasa syukur adalah sebuah kesadaran bahwa seseorang adalah hanya penerima dari sebuah kebaikan. Merasa bersyukur membuat seseorang menjadi ingat pertolongan yang orang lain telah berikan untuk kepentingan kesejahteraan dirinya (Emmons, 2007).

(51)

digunakan untuk menyebut dimensi diganti oleh istilah yang disebut faset karena elemen-elemen disposisi rasa syukur berdiri sebagai sebuah kesatuan dan muncul secara bersama-sama. Faset dari disposisi rasa syukur antara lain: intensity, frequency, span, dan density.

Menurut Emmons dan McCullough (2003) dengan bersyukur tidak hanya menunjukkan keadaan mental yang lebih positif (seperti antusias, tekun, dan penuh perhatian), tetapi juga lebih murah hati, peduli, dan membantu orang lain.

Berdasarkan uraian yang dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa rasa syukur adalah kualitas dan kondisi berterima kasih yang membawa kebaikan bagi setiap orang yang senantiasa mengamalkannya serta dianggap sebagai anugerah tertinggi dari Tuhan kepada setiap umat manusia yang bernilai fundamental untuk kehidupan seseorang agar senantiasa lebih baik. Rasa syukur juga menimbulkan keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan, perasaan takjub, berterima kasih dan apresiasi untuk kehidupan. Rasa syukur memiliki korelasi yang kuat dengan kesejahteraan psikologis.

2. Aspek-aspek Rasa Syukur

Fiztgerald (1998) mengidentifikasi aspek- aspek dari rasa syukur, yaitu :

a. A Warm Sense of Appreciation for somebody or something

(52)

34

b. A Sense of Goodwill toward that person or thing

Kehendak yang baik (goodwill) yang ditujukan kepada seseorang atau sesuatu, meliputi keinginan untuk membantu orang lain yang kesusahan dan keinginan untuk berbagi.

c. A Disposition to Act that flows from appreciation and goodwill

Kecenderungan untuk bertindak positif dengan memberi penilaian positif, penghargaan, dan berkehendak baik kepada orang lain, lingkungan dan Tuhan, meliputi intensi menolong orang lain, membalas kebaikan orang lain, dan beribadah.

McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) menyatakan terdapat empat elemen yang muncul bersamaan dengan munculnya rasa syukur yaitu:

a. Intensity: Kekuatan seseorang untuk merasakan perasaan rasa syukur. Individu yang memiliki disposisi rasa syukur yang baik akan merasakan rasa syukur yang sifatnya lebih intens daripada individu dengan disposisi syukur yang rendah

b. Frequency: Seseorang dengan disposisi syukur yang baik akan lebih merasa bersyukur setiap harinya dan dapat muncul walau hanya dari kebaikan orang lain yang sifatnya sederhana.

c. Span: Individu dengan disposisi rasa syukur akan merasa banyak bersyukur terhadap berbagai hal dan aspek dalam hidupnya. Contohnya seseorang akan bersyukur atas kesehatan yang dia peroleh, keluarga yang dia miliki, pekerjaan yang sedang dia lakukan dan kehidupannya sendiri.

(53)

di sebuah perguruan tinggi bergengsi maka seseorang tersebut bersyukur atas anugerah dari Tuhan, dukungan dari orang tuanya, saudaranya, guru, dan teman-temannya. Orang dengan disposisi syukur yang rendah mungkin hanya berterima kasih pada orang tuanya saja.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Rasa Syukur

Menurut McCullough, Emmons, dan Tsang (2002) faktor-faktor yang mempengaruhi rasa syukur adalah :

a) Emotionality

Satu kecenderungan atau tingkatan dimana seseorang bereaksi secara emosional dan merasa menilai kepuasan hidupnya.

b) Prosociality

Kecenderungan seseorang untuk diterima oleh lingkungan sosialnya. c) Religiousness

Berkaitan dengan keagamaan, keimanan, yang menyangkut nilai-nilai transendental.

C. Perilaku Prososial

1. Definisi Perilaku Prososial

(54)

36

menghasilkan keuntungan yang substansial bagi orang yang menerima pertolongan dan perilaku yang membutuhkan pengorbanan dari penolong, dan keuntungan hanya ditujukan pada orang yang hendak ditolong bukan kepada penolong. Oleh karena itu perilaku prososial tidak membutuhkan penilaian dari maksud perilaku tersebut, atau seberapa besar keuntungan atau pengorbanan dari penolong atau penerima pertolongan tersebut yang terpenting adalah orang yang menerima pertolongan tersebut telah tertolong.

William (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) membatasi perilaku prososial secara lebih rinci sebagai perilaku yang memiliki intensi untuk mengubah keadaan fisik atau psikologis penerima bantuan dari kurang baik menjadi lebih baik, dalam arti secara material maupun psikologis, dapat dikatakan bahwa perilaku prososial bertujuan untuk membantu meningkatkan well-being orang lain. Batson (dalam Taylor, Peplau & Sears, 2009) menyatakan perilaku prososial yaitu mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif penolong. Perilaku prososial bisa dimulai dari tindakan yang sifatnya altruisme yaitu tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi.

(55)

Staub (dalam Dayaksini & Hudaniah, 2006) mengatakan bahwa ada tiga indikator yang menjadi tindakan prososial, yaitu:

1. Tindakan itu berakhir pada dirinya dan tidak menuntut keuntungan pada pihak pelaku

2. Tindakan itu dilahirkan secara sukarela 3. Tindakan itu menghasilkan kebaikan

Berdasarkan uraian yang telah disebutkan diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perilaku prososial adalah segala bentuk perilaku yang ditujukan untuk menolong orang lain, dengan tanpa mengharapkan imbalan dari pertolongannya sehingga orang yang ditolong bisa tertolong dan mendapatkan keuntungan baik secara materi, fisik maupun psikologis.

2. Aspek-aspek Perilaku Prososial

Aspek-aspek perilaku prososial menurut Eisenberg dan Musen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) adalah:

a. Berbagi

Kesediaan untuk berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana suka maupun duka.

b. Kerjasama

Kesediaan untuk saling bekerja sama dengan orang lain untuk meraih dan mencapai tujuan.

c. Menolong

(56)

38

d. Bertindak jujur

Kesediaan untuk melakukan sesuatu apa adanya tanpa berbuat curang. e. Berderma

Kesediaan untuk memberikan sebagian barang miliknya kepada orang lain yang membutuhkan secara sukarela.

Aspek-aspek perilaku prososial yang dipakai dalam penelitian ini adalah berbagi, kerjasama, menolong, berbuat jujur, dan berderma.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Prososial

Taylor, Peplau, dan Sears (2009) menyatakan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku prososial. Faktor-faktor tersebut diantaranya:

1. Karakteristik dari Penolong a. Mood dan Menolong

(57)

lebih kompleks dan riset menunjukkan hasil yang tidak konsisten. Jika mood buruk membuat kita lebih fokus pada diri dan kebutuhan kita, maka ini akan menurunkan kemungkinan kita untuk membantu orang lain. Ciadini (dalam Taylor dkk, 2009) mengatakan di sisi lain, jika kita menganggap tindakan membantu orang lain menyebabkan diri kita merasa lebih baik dan mengurangi mood negatif, maka kita lebih mungkin untuk memberi bantuan. Tindakan membantu orang lain dalam mood negatif dikarenakan negative-state relief model (model peredaan keadaan negatif) untuk menjelaskan mengapa mood negatif justru meningkatkan tindakan membantu. Menurut pendapat ini, orang dalam keadaan mood buruk termotivasi untuk meredakan ketidaknyamanannya. Jika ada kesempatan membantu dan kita menganggap itu dapat memperbaiki mood kita, maka kita akan menawarkan bantuan.

b. Motif Pemberian Pertolongan: Empati dan Kesedihan Personal

(58)

40

tindakan egoistis, bukan altruistik. Sebaliknya empati biasanya memotivasi kita untuk menolong karena tujuan empati adalah memperbaiki keadaan orang lain, empati merupakan motif altruistik. c. Karakteristik Personal

Knight (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan ada ciri tertentu dari personalitas orang dalam membantu pada situasi spesifik. Sebuah studi menemukan bahwa orang dewasa dengan kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial lebih mungkin untuk menyumbangkan uang ketimbang individu dengan kebutuhan persetujuan sosial yang rendah. Menurut Satow (dalam Taylor dkk, 2009) individu dengan kebutuhan tinggi untuk mendapat persetujuan sosial menyumbang hanya jika ada orang lain yang melihatnya. Orang dengan kebutuhan persetujuan sosial yang tinggi mungkin termotivasi oleh keinginan mendapat pujian dari orang lain, karena itulah individu bertindak prososial ketika tindakan baik itu dilihat oleh orang lain.

d. Gender dan Tindakan Menolong

(59)

menghibur teman, atau berbicara dengan orang lanjut usia. Crawford dan Unger (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan wanita lebih mungkin ketimbang pria untuk memberi perawatan pada keluarga, mengambil tanggung jawab merawat anak dan orang tua, dengan kata lain pria dan wanita cenderung terspesialisasi dalam tipe pemberian bantuan yang berbeda-beda.

2. Karakteristik Situasi a. Kehadiran Orang Lain

Latane dan Darley (dalam Taylor dkk, 2009) menyatakan kehadiran orang lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberi bantuan pada orang asing yang kesulitan. Ini disebut sebagai bystander effect (efek orang sekitar). Semakin banyak orang yang hadir, semakin kecil kemungkinan individu akan memberi bantuan, dan semakin lama jeda sebelum bantuan diberikan.

b. Kondisi Lingkungan

(60)

42

c. Tekanan Waktu

Menurut eksperimen yang dilakukan oleh Darley dan Batson (dalam Taylor dkk, 2009) orang yang terburu-buru lebih kecil kemungkinannya untuk menolong orang lain, terutama ketika seseorang dituntut untuk datang tepat waktu.

Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah 2006) mengemukakan beberapa faktor yang mendasari seseorang untuk bertindak prososial, yaitu:

a. Self-gain

Harapan seseorang untuk mendapatkan sesuatu atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan.

b. Personal values and norms

Adanya nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama bersosialisasi dan sebagian nilai-nilai dan norma tersebut berkaitan dengan perilaku prososial, seperti kewajiban untuk menegakkan kebenaran dan keadilan serta adanya timbal balik.

c. Empathy

Kemampuan seseorang untuk merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain. Prasyarat untuk bisa berempati individu harus memiliki kemampuan untuk mengambil peran.

(61)

D. Remaja Akhir

1. Definisi Remaja Akhir

Muss (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja dalam bahasa inggris yaitu adolescence berasal dari kata latin adolescere yang artinya tumbuh kearah kematangan. Kematangan disini tidak hanya berarti kematangan fisik, tetapi terutama kematangan sosial-psikologis. Hurlock (dalam Ali & Asrori, 2012) menyatakan dalam perkembangan lebih lanjut, istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Pandangan ini didukung Piaget (dalam Ali & Asrori, 2012) yang mengatakan bahwa secara psikologis, remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia dimana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar.

(62)

44

Blos (dalam Sarwono, 2012) menyatakan bahwa remaja akhir adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal yaitu minat yang makin mantap pada fungsi-fungsi intelektual, mencari kesempatan untuk bisa bersatu dengan orang lain dan pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah, mampu menyeimbangkan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, dan mampu memisahkan antara diri pribadi dengan masyarakat umum.

Berdasarkan definisi yang sudah dipaparkan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masa remaja akhir adalah masa transisi individu yang semakin dekat untuk mencapai kedewasaan.

2. Pembagian Usia Remaja

Menurut Mappiare (dalam Ali & Asrori, 2012) rentang usia remaja ini dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu usia 12-18 tahun adalah remaja awal dan usia 18-22 tahun adalah remaja akhir.

Blos (dalam Sarwono, 2012) menyebutkan ada tiga tahap perkembangan remaja, yaitu:

a. Remaja awal (early adolescence)

(63)

berlebih-lebihan ini ditambah dengan berkurangnya kendali terhadap “ego”

menyebabkan para remaja awal ini sulit mengerti dan dimengerti orang dewasa.

b. Remaja madya ( middle adolescence)

Pada tahap ini remaja sangat membutuhkan kawan-kawan. Remaja senang jika banyak teman yang menyukainya, ada kecenderungan “narcistic”, yaitu mencintai diri sendiri, dengan menyukai teman-teman

yang punya sifat-sifat yang sama dengan dirinya. Remaja berada dalam kondisi kebingungan karena tidak tahu harus memilih yang mana: peka atau tidak peduli, ramai-ramai atau sendiri, optimis atau pesimistis, idealis atau materialis, dan sebagainya. Remaja pria harus membebaskan diri dari Oedipus Complex (perasaan cinta pada ibu sendiri pada masa kanak-kanak) dengan mempererat hubungan dengan kawan-kawan dari lain jenis.

c. Remaja akhir (late adolescence)

Tahap ini adalah masa konsolidasi menuju periode dewasa dan ditandai dengan pencapaian lima hal, yaitu: Minat yang makin mantap terhadap fungsi-fungsi intelek, egonya mencari kesempatan untuk bersatu dengan orang-orang lain dan dalam pengalaman-pengalaman baru, terbentuk identitas seksual yang tidak akan berubah lagi, egosentrisme (terlalu memusatkan perhatian pada diri sendiri) diganti dengan keseimbangan antara kepentingan diri sendiri dengan orang lain, tumbuh “dinding” yang

(64)

46

Said (2015) membagi usia remaja menjadi tiga fase dimana setiap fase memiliki keistimewaannya sendiri-sendiri. Fase tingkatan umur remaja tersebut, yaitu:

a. Remaja awal

Remaja berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun. Remaja pada tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ciri khas remaja pada fase ini adalah berubahnya bentuk fisik dengan cepat.

b. Remaja pertengahan

Remaja berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun. Remaja pada tahap ini umumnya sedang duduk di masa Sekolah Menengah Atas (SMA). Ciri khas remaja pada fase ini adalah mulai sempurnanya perubahan fisik pada remaja sehingga fisiknya sudah menyerupai fisik orang dewasa.

c. Remaja akhir (late adolescence)

Gambar

Gambar 1. Bagan hubungan antar variabel.

Referensi

Dokumen terkait