• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH TERAPI FILM (CINEMA THERAPY) TERHADAP PENINGKATAN SWAKELOLA BELAJAR PADA SISWA KELAS 8 SMP N 2 BERBAH, SLEMAN, YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PENGARUH TERAPI FILM (CINEMA THERAPY) TERHADAP PENINGKATAN SWAKELOLA BELAJAR PADA SISWA KELAS 8 SMP N 2 BERBAH, SLEMAN, YOGYAKARTA TAHUN AJARAN 2015/2016."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH TERAPI FILM (CINEMA THERAPY) TERHADAP PENINGKATAN SWAKELOLA BELAJAR PADA SISWA

KELAS 8 SMP N 2 BERBAH, SLEMAN, YOGYAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Yogyakarta untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

Annisa Sekar Jasmine NIM 12104241073

PROGRAM STUDI BIMBINGAN DAN KONSELING JURUSAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN DAN BIMBINGAN

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)

v

MOTTO

”Pahami apa yang menjadi tujuanmu, kerja keras untuk mendapatkanya, dan hargai ketika kau sudah mendapatkannya”

(Nora Roberts)

“Mimpi, Percaya, dan Dapatkan”

(6)

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Karya ini aku pesembahkan untuk:

1. Almamaterku Universitas Negeri Yogyakarta

(7)

vii

PENGARUH TERAPI FILM (CINEMA THERAPY) TERHADAP

PENINGKATAN SWAKELOLA BELAJAR PADA SISWA KELAS 8 SMP N 2 BERBAH, SLEMAN, YOGYAKARTA

TAHUN AJARAN 2015/2016 Oleh

Annisa Sekar Jasmine NIM 12104241073

ABSTRAK

Penelitian ini bermula dari adanya fenomena rendahnya tingkat swakelola belajar, sehingga menimbulkan keprihatinan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengatahui pengaruh terapi film dengan menggunakan media film (cinema therapy) untuk meningkatkan swakelola belajar siswa SMP kelas 8 di SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta.

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang menggunakan metode penelitian true experimental design. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 8 SMP N 2 Berbah sebanyak 128 siswa, dengan sampel penelitian kelas 8A sebagai kelompok kontrol sebanyak 14 siswa lakil-laki dan 18 siswa perempuan dan kelas 8C sebagai kelompok eksperimen sebanyak 14 siswa laki-laki dan 18 siswa perempuan. Metode pengumpulan data dalam penelitian adalah skala psikologis. Hasil uji reliabilitas menggunakan Alpha Cronbach yakni sebesar 0,946. Pengujian penelitian ini menggunakan paired sample T test untuk membuktikan pengaruh terapi film (cinema therapy) terhadap peningkatan swakelola belajar siswa.

Berdasarkan uji paired sample T test didapatkan hasil rata-rata kelompok eksperimen meningkat dari 120,92 menjadi 131,94. Untuk uji hipotesis diperoleh sig. 0,000 (p≤0,05), maka Ha diterima dan Ho ditolak sehingga membuktikan bahwa terapi film (cinema therapy) berpengaruh untuk meningkatkan swakelola belajar siswa.

(8)
(9)
(10)

x

DAFTAR ISI

Hal

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PESETUJUAN ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO ... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi

ABSTRAK ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 5

C. Batasan Masalah ... 6

D. Rumusan Masalah ... 6

E. Tujuan Penelitian ... 6

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN TEORI A. Terapi Film (Cinema Therapy) ... 8

1. Pengertian Terapi Film (Cinema Therapy) ... 8

2. Arti Penting Terapi Film (Cinema Therapy) ... 9

3. Indikator Terapi Film (Cinema Therapy) ... 10

4. Sejarah Perkembangan Terapi Film (Cinema Therapy)... 12

5. Manfaat Terapi Film (Cinema Therapy) ... 12

(11)

xi

7. Jenis-jenis Film ... 13

B. Konsep Modeling ... 17

1. Pengertian Modeling ... 17

2. Jenis-jenis Modeling ... 17

3. Proses Modeling ... 19

4. Pengaruh Modeling ... 19

5. Hal-hal yang Perlu diperhatikan dalam Penerapan Penokohan ... 20

C. Swakelola Belajar ... 21

1. Pengertian Swakelola Belajar ... 21

2. Arti Penting Swakelola Belajar ... 22

3. Aspek Swakelola Belajar ... 23

4. Strategi Swakelola Belajar ... 26

5. Karakteristik Pelajar yang Memiliki Swakelola Belajar ... 28

D. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) ... 28

E. Penelitian Terdahulu ... 30

F. Kerangka Berfikir... 32

G. Hipotesis Penelitian ... 36

BAB III METODE PENELITIAN A. Pendekatan Penelitian ... 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

C. Subyek Penelitian ... 38

D. Variabel Penelitian ... 38

E. Definisi Oprasional ... 39

F. Desain Penelitian ... 40

G. Teknik Pengumpulan Data ... 44

H. Instrumen Penelitian ... 45

I. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 47

(12)

xii

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 53

1. Deskripsi Lokasi dan Sampel Penelitian ... 53

2. Deskripsi Proses Penelitian ... 53

3. Data Deskriptif ... 56

4. Data Hasil Pengujian Hipotesis ... 59

B. Pembahasan ... 62

C. Keterbatasan Penelitian ... 65

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66

B. Saran ... 67

DAFTAR PUSTAKA ... 68

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Hal

Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Swakelola Belajar Sebelum Uji Reliabilitas dan Uji

Validitas ... 46

Tabel 2. Kisi-Kisi Instrumen Kelayakan Film Sebelum Uji Validitas ... 47

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Swakelola Belajar Sesudah Uji Reliabilitas dan Uji Validitas ... 49

Tabel 4. Kisi-Kisi Instrumen Kelayakan Film Sesudah Uji Validitas ... 50

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Eksperimen ... 57

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Kontrol ... 57

Tabel 7. Hasil Rata-rata Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ... 58

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas ... 59

Tabel 9. Hasil Uji Homogenitas ... 60

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Hal

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Hal

Lampiran 1. Kisi-kisi instrumen swakelola belajar sesudah diuji reliabilitas .. 71

Lampiran 2. Kisi-kisi instrumen film sesudah uji validitas ... 72

Lampiran 3. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Eksperimen ... 73

Lampiran 4. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Kontrol ... 73

Lampiran 5. Perhitungan Uji Normalitas Data ... 74

Lampiran 6. Perhitungan Uji Homogenitas ... 74

Lampiran 7. Perhitungan Uji Hipotesis ... 74

Lampiran 8. Perhitungan Uji Reliabilitas Instrumen Swakelola Belajar ... 75

Lampiran 9. Hasil Uji Validitas Kelayakan Film ... 77

Lampiran 10. Hasil Data Pretest ... 80

Lampiran 11. Hasil Data Posttest ... 81

Lampiran 12. Skala Swakelola Belajar ... 82

Lampiran 13. Hasil Uji Validitas Instrumen Film ... 85

Lampiran 14. Hasil Uji Validitas Instrumen Swakelola Belajar ... 87

Lampiran 15. Angket Film ... 89

Lampiran 16. Hasil Data Siswa Pengisisan Angket Film ... 91

Lampiran 17. Dokumentasi ... 92

(16)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Muhibbin Syah (2003: 63) belajar adalah kegiatan yang berproses dan merupakan unsur yang sangat fundamental dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan. Hal tersebut mengandung arti bahwa berhasil atau gagalnya pencapaian tujuan pendidikan itu tergantung pada proses belajar yang dialami siswa. Proses belajar itu sendiri digunakan sebagai tolak ukur siswa dalam menentukan arah masa depan siswa. Apabila siswa gagal dalam mencapai tujuan yang telah ia tentukan hal itu dapat disebabkan oleh sikap dan kebiasaan belajar yang kurang sesuai. Keaktivan siswa khususnya dalam proses pembelajaran di dalam kelas sangatlah dibutuhkan, mengingat proses pembelajaran saat ini tidak lagi berkutat pada pembelajaran satu arah dimana hanya guru saja yang memberikan materi tetapi siswa juga harus berperan aktif dalam proses pembelajaran. Belajar mestinya dipandang sebagai suatu kegiatan yang dilakukan siswa untuk dirinya sendiri secara proaktif, dan bukan merupakan kegiatan yang bersifat reaktif dari kegiatan guru mengajar semata (Muhammad Nur Wangid, dkk, 2011: 3). Hal ini menambah penjelasan mengapa siswa tidak hanya aktif dalam kehadiran di kelas, namun juga dalam pembelajaran itu sendiri.

(17)

2

observasi yang dilakukan peneliti di SMP N 2 Berbah ditemukan 40% siswa tidak masuk tanpa keterangan dan sekitar 53% siswa tidak konsentrasi saat pelajaran berlangsung. Untuk meningkatkan keaktivan siswa, dibutuhkan kemampuan untuk memfokuskan perhatian pada materi pelajaran dan kemampuan untuk mengatur pola belajarnya sendiri. Begitu pula dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Paris dan Paris & Pintrich (dalam Santrock, 2010: 296) yang menemukan bahwa siswa yang berprestasi tinggi seringkali merupakan pelajar yang juga belajar mengatur diri sendiri. Konsep kemandirian siswa dalam belajar yang menyangkut kemampuan untuk bertahan saat mengalami kesulitan dalam belajar, manajemen sumber daya diri dan waktu serta informasi merupakan konsep belajar berdasar regulasi diri. Secara umum, pembelajaran regulasi diri atau self regulated learning yang selanjutnya disebut dengan swakelola belajar menurut Santrock (2010: 296) adalah memunculkan dan memonitor sendiri pikiran, perasaan dan perilaku untuk mencapai suatu tujuan.

(18)

3

Astuti, 2014 : 2) pada siswa kelas X Jurusan Teknik Komputer dan Jaringan SMK Muhammadiyah 2 Pekanbaru dengan hasil penelitian sebagai berikut: sebanyak 49 siswa (52,13%) tidak bisa mengatur waktu belajar dengan baik, sebanyak 38 siswa (40,43%) tidak memiliki target belajar yang pasti, sebanyak 39 siswa (41,49%) tidak siap apabila harus dihadapkan dengan tugas baru yang sulit sebanyak 38 siswa (40,43%) sulit mencari cara untuk memahami penjelasan guru, dan 59 siswa (62,77%) pernah mengambil ide atau gagasan temannya. Sedangkan fenomena rendahnya swakelola belajar dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Nono Hery Yoenanto pada siswa akselerasi sekolah menengah pertama di Jawa Timur. Hasil dari penelitian tersebut adalah siswa akselerasi di SMP N 2 Jember memiliki rata-rata skor swakelola belajar sebesar 51,66, kemudian siswa akselerasi SMP N 1 Bondowoso dengan rata-rata skor swakelola belajar 51,56, SMP N 1 Surabaya dengan rata-rata skor 50,48 dan yang paling rendah jika dibandingkan dengan rata-rata skor total 50,85 yakni SMP N 1 Tuban dengan rata-rata skor sebesar 48,36 (Nono Hery Yoenanto, 2010: 92). Berdasarkan fenomena tersebut, dapat dikatakan masih ada siswa yang memiliki swakelola belajar rendah.

(19)

4

salah satu penyebab lemahnya mutu studi pelajar atau masyarakat pada umumnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan guru Bimbingan dan Konseling di SMP N 2 Berbah, proses pembelajaran lebih banyak didominasi dengan penggunaan metode ceramah dan diskusi oleh guru sebagai metode mengajar sehingga diperlukan proses pembelajaran yang lebih variatif.

Salah satu alternatif yang dapat diberikan untuk meningkatkan kemauan siswa untuk belajar sehingga siswa dapat memiliki pola dan strategi belajarnya sendiri yaitu dengan memberikan film yang tepat kepada siswa. Pemberian film sebagai strategi coping selain memberikan hiburan, juga dapat memberikan efek positif dalam membantu siswa menjadi pembelajar yang mandiri dengan melihat karakter dalam film sebagai role model. Alasan pemberian film ini menurut Fuat Ulus (dalam Demir, 2008: 1) dikarenakan, film memiliki beberapa kelebihan, yaitu menghibur, mendidik, dan memberdayakan. Sebagai contoh salah satu acara televisi yang bertujuan mendidik anak-anak adalah Sesame Street, yang didesain untuk mengajarkan keterampilan kognitif dan sosial. Lesser (Santrock, 2010: 293) menambahkan pesan dasar dari film sesame street adalah bahwa pendidikan dan hiburan bisa saling mendukung.

(20)

5

Therapy) adalah teknik terapi yang cukup kreatif dimana film digunakan sebagai alat untuk melakukan terapi. Menurut Gary Solomon (Demir, 2008: 1) terapi film (cinema therapy) adalah penggunaan film yang memiliki efek positif pada individu, kecuali individu dengan gangguan psikotik.

Ranah bimbinngan dan konseling yang diambil dalam penelitian ini adalah bimbingan belajar. Harapannya, film yang diberikan kepada siswa dapat membantu siswa meningkatkan swakelola belajar dan merubah kebiasaan belajarnya menjadi lebih baik sehingga prestasi belajar siswa dapat meningkat dikarenakan pola dan kebiasaan belajarnya yang teratur.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diurakan di atas, maka dapat diidentifikasikan beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Fenomena adanya siswa yang memiliki swakelola belajar yang rendah di SMP, SMA/SMK

2. Terdapat 40% siswa tidak masuk tanpa keterangan dan sekitar 53%

siswa tidak konsentrasi saat pelajaran berlangsung.

3. Media belajar yang terbatas dapat memicu lemahnya studi pelajar. 4. Proses pembelajaran di SMP N 2 Berbah, masih didominasi metode

ceramah sehingga diperlukan proses pembelajaran yang variatif.

(21)

6

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah yang telah diuraikan, maka penelitian ini perlu diberikan batasan agar pengajiannya lebih terarah. Peneliti membatasi penelitian ini pada belum adanya kajian yang mengukur efek terapi film (cinema therapy) untuk meningkatkan kemampuan swakelola belajar.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah maka dapat dirumuskan masalah dalam penelitian ini adalah apakah ada pengaruh terapi film (cinema therapy) terhadap peningkatan swa kelola belajar?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pengaruh terapi film (cinema therapy) untuk meningkatkan swa kelola belajar pada siswa.

F. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat, yaitu:

1. Secara Teoritis

(22)

7 2. Secara Praktis

a. Bagi Siswa

Swakelola belajar siswa meningkat, siswa juga mulai memfokuskan dirinya pada tujuan yang ingin dicapai melalui terapi film.

b. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

(23)

8

BAB II KAJIAN TEORI

A. Terapi Film (Cinema Therapy)

1. Pengertian Terapi Film (Cinema Therapy)

Alfred Hitchock (Birgit Wolz, 2004) mendefinisikan movie atau film adalah ilusi kehidupan yang dilakukan dengan menghilangkan bagian tertentu dalam kehidupan tersebut. Senada dengan Hitchock, Graeme Turner (Suwasono 2014: 1) menjelaskan film sebagai media untuk menghadirkan kembali realita berdasarkan kode-kode, konvensi serta idelogi dari kebudayaan. Film dijadikan media untuk melihat kembali realita yang pernah terjadi di suatu tempat dengan menyesuaikan ideologi atau kebudayaan yang ada di lingkungan tersebut. Menurut Suwasono (2014:1) Film adalah media komunikasi seseorang kepada audiens yang sering diyakini mempunyai power untuk menghipnotis manusia sehingga dapat menerima nilai budaya tertentu, atau bahkan secara tidak sadar audiens akan menginternalisasikan nilai ideologi yang terkandung dalam sebuah film.

(24)

9

2006: 5). Menurut Gary Solomon, terapi film adalah terapi yang memiliki efek positif pada seseorang kecuali orang dengan kelainan jiwa. Tema dari film yang ditayang beragam mulai dari pemecahan masalah, PTSD, depresi, hubungan dengan orang lain, motivasi atau kebutuhan klien (Demir, 2008: 1). Berdasarkan pendapat para ahli yang sudah dijelaskan, terapi film merupakan media komunikasi pada audiens yang memiliki kekuatan untuk memberi pengaruh positif pada penonton sehingga penonton dapat menginternalisasikan nilai yang terkandung di dalam film dan meniru peran yang dilakukan oleh tokoh utama.

2. Arti Penting Terapi Film (Cinema Therapy) Bagi Perkembangan

Manusia

(25)

10

dengan melihat pemandangan dari gambar, dan suara yang muncul di dalam film.

Terapi film mampu menyampaikan pesan kepada siswa yang menonton dan memberi efek positif. Dalam hal ini efek positif yang muncul seperti adanya ilmu pengetahuan, kebudayaan, informasi-informasi baru dan juga sebagai media modeling.

3. Indikator Terapi Film (Cinema Therapy)

Menurut Birgit Wolz (2004: 31) film yang dapat digunakan sebagai terapi memiliki:

a. Alur cerita

Menurut Rahmat dan Hariyanto (Halimah, 2005: 3) alur merupakan rangkaian peristiwa yang tersusun secara kronologis dalam kaitan sebab akibat sampai akhir kisah.

b. Naskah dialog

Menurut KBBI (2015) naskah adalah karangan seseorang yang masih ditulis dengan tangan. Sedangkan dialog adalah karya tulis yang disajikan dalam bentuk percakapan antara dua tokoh atau lebih.

c. Gambar, warna dan simbol

(26)

11

sebagainya yang menyatakan sesuatu atau mengandung maksud tertentu (Alila Pramiyanti dan Maylanny Christin, 2014: 120).

d. Suara dan musik

Suara adalah bunyi yang dikeluarkan dari mulut manusia contoh saat berbicara, bunyi binatang, dan juga alat perkakas (KBBI, 2015). Menurut Suwasono (2014: 20) suara adalah sistem tanda dalam film yang sangat penting.

e. Pergerakan/ gerakan

Kesan hidup dalam film terjadi karena pergerakan frame yang ditampilkan dalam kecepatan tertentu. (Suwasono, 2014 : 21).

f. Self reflection atau arahan sebagai demonstrasi terutama pada film-film inspirasional.

(27)

12

4. Sejarah Perkembangan Terapi Film (Cinema Therapy)

Awalnya terapi film (cinema therapy) dikenal dengan nama biblioterapi dimana berasal dari sekolah Menninger pada tahun 1030. Biblioterapi adalah bentuk asli dari terapi film (cinema therapy). Banyak cerita dan juga dongeng telah digunakan untuk media terapi dalam waktu yang cukup lama. Begitu juga dengan biblioterapi dimana biblioterapi merupakan media bacaan yang dapat memudahkan proses penyembuhan dalam terapi (Demir, 2008:1).

5. Manfaat Terapi Film (Cinema Therapy)

(28)

13

6. Proses Kerja Terapi Film (cinema therapy)

Proses yang terjadi pada saat memahami alur cerita dan karakter tokoh dalam sebuah film (Sapiana, 2014: 9) yakni:

a. Dengan melihat film, itu menandakan bahwa terjadi kerja aktif dalam otak yang menunjukkan diri kita memahami isu-isu emosi yang ditandai dengan tibulnya kepahaman dengan sebuah alur cerita dalam film.

b. Terapi dengan menggunakan film atau sinema ternyata dapat

membangkitkan semangat di alam bawah sadar kita. Dengan menonton film luapan ekspresi emosi terjadi. Penonton seperti terkena sihir, seolah berada di dalam alur cerita film.

c. Titik akhir dari cinema therapy adalah menemukan makna atau maksud dari alur cerita film. Penemuan makna ini yang kemudian dapat mendorong untuk tampil seperti apa yang semestinya, bisa berupa motivasi, hubungan depresi, percaya diri.

7. Jenis-jenis Film

(29)

14

berdasarkan jenis dan latar ceritanya. Menurut Suwasono (2014:13-17) genre film yang masih popular hingga sekarang adalah sebagai berikut:

a. Aksi

Film-film aksi berhubungan dengan adegan aksi fisik seru, menegangkan, berbahaya, nonstop dengan tempo cerita yang cepat. Film aksi memiliki karakter protagonis dan antagonis yang jelas serta konflik berupa konfrontasi fisik. Film aksi sering digunakan untuk memacu adrenalin penonton.

b. Drama

(30)

15 c. Komedi

Film komedi adalah jenis film yang tujuan utamanya memancing tawa penonton. Film komedi biasanya berupa drama ringan yang melebih-lebihkan aksi, situasi, bahasa, hingga karakternya. Film komedi ini dapat digunakan untuk mengurangi stres yang dialami oleh seseorang karena dengan tawa maka penonton akan dapat mengurangi kecemasan yang dialami, dengan tertawa maka akan berdampak pada kognitif yang dapat mengubah pikiran-pikiran negatif menjadi pikiran positif. Selain itu tertawa juga dapat mengubah mood seseorang dibuktikan oleh penelitian yang dilakukan oleh Bennett (2003 dalam Suwasono, 2014:13-17) Tertawa dalam seting kesehatan terbukti mampu meningkatkan mood pasien dan hidupnya menjadi lebih berkualitas. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari tertawa juga memiliki efek yang serupa seperti menghilangkan rasa jenuh.

d. Horor

(31)

16 e. Fantasi

Film fantasi berhubungan dengan tempat, peristiwa, serta karakter yang tdak nyata. Fillm fantasi berhubungan dengan unsur magis, mitos, negeri dongeng, imajinasi, halusinasi, serta alam mimpi. Film fantasi sering ditujukan untuk penonton dikalangan anak-anak dan remaja.

f. Fiksi ilmiah

Film fiksi ilmiah berhubungan dengan masa depan, perjalanan angkasa luar, percobaan ilmiah, penjelajahan waktu, atau proses kehancuran bumi. Film ini berhubungan dengan teknologi yang berada di luar jangkauan teknologi masa kini. Film ini lebih fokus pada kehidupan masa depan atau kehidupan di luar angkasa yang sulit di jangkau manusia. g. Film pendek

Film pendek merupakan film yang berdurasi di bawah 50 menit. Film pendek bisa juga hanya berdurasi 60 detik karena yang terpenting adalah ide dan pemanfaatan media komunikasinya berlangsung efektif.

(32)

17

B. Konsep Modeling

1. Pengertian Modeling

Belajar model (modeling) adalah proses menirukan tingkah laku orang lain yang dilihat, dilakukan secara sadar atau langsung. Sinonim dari belajar model adalah proses imitasi (Muhibin Syah, 2003: 111). Modeling merupakan belajar dengan cara mengamati atau mengobservasi dengan menambahkan atau mengurangi tingkah laku yang teramati, menggeneralisir berbagai pengamatan sekaligus, melibatkan proses kognitif (Gantina Komalasari, dkk, 2011: 76). Dalam proses belajar model (modeling) individu mengamati tokoh model dan kemudian diperkuat untuk mencontoh tingkah laku sang model. Menurut Bandura (Corey, 2005: 221) menyatakan bahwa belajar bisa diperoleh melalui pengalaman langsung dan bisa pula secara tidak langsung dengan mengamati tingkah laku orang lain. Berdasarkan pendapat ahli, modeling merupakan belajar mengamati tingkah laku orang lain, baik langsung maupun tidak langsung kemudian mengimitasi perilaku tersebut.

2. Jenis-jenis Modeling

(33)

18

secara langsung dengan subjek yang ditiru. Model simbolik yaitudi mana seseorang meniru orang lain melalui perantara simbol atau media. Individu mencoba melakukan hal yang sama dengan subyek yang ditiru setelah individu melihat apa yang dilakukan oleh subjek melalui rekaman, video, gambar, dan lain-lain sehingga individu tidak belajar langsung dengan subjek yang ditiru.

Menurut Gantina Komalasari, dkk (2011: 179) membagi macam-macam modeling kedalam tiga macam-macam, yakni:

a. Penokohan nyata (live model) contohnya seperti terapis, guru, anggota keluarga atau tokoh yang dikagumi untuk dijadikan model oleh individu

b. Penokohan simbolik (symbolc model) misalnya, tokoh yang dilihat melalui film, video atau media lain

(34)

19

siswa dapatkan dari buku maupun guru, dan juga dapat digunakan sebagai variasi pembelajaran.

3. Proses Modeling

Gantina, dkk (2011: 177) membagi proses modeling menjadi empat macam yaitu:

a. Perhatian, harus fokus pada model. Pada proses ini dipengaruhi asosiasi pengamat dengan model, sifat model yang atraktif, arti penting tingkah laku yang diamati bagi siswa.

b. Representasi, setelah siswa mengamati tingkah laku tokoh maka selanjutnya tingkah laku itu harus disimbolisasikan dalam ingatan siswa.

c. Peniruan tingkah laku model, pada proses ini siswa memikirkan bagaimana siswa akan menirukan tingkah laku model

d. Motivasi dan penguatan, motivasi yang tinggi untuk melakukan tingkah laku model mempengaruhi keefektifan belajar siswa. 4. Pengaruh modeling

Bandura dan Walters (Sarwono, 2000: 25) menyebutka tiga pengaruh yang terjadi dari proses belajar melalui pengamatan (modeling) yakni:

a. Efek modeling (modeling effect) dimana peniru melakukan tingkah laku baru sehingga sesuai dengan tingkah laku model.

(35)

20

laku model dihambat kemunculannya, sedangkan tingkah laku yang sesuai dengan tingkah laku model dihapuskan hambatan-hambatannya sehingga timbul tingkah laku yang dapat menjadi nyata.

c. Efek kemudahan (fascilitation effects). Tingkah laku yang sudah pernah dipelajari oleh peniru lebih mudah muncul kembali dengan mengamati tingkah laku model.

5. Hal-hal yang Perlu Diperhatikan dalam Penerapan Penokohan

Di bawah ini merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam penerapan modeling menurut Gantina Komalasari, dkk (2011: 177):

a. Ciri model seperti; usia, status sosial, jenis kelamin, keramahan, dan kemampuan, penting dalam meningkatkan imitasi.

b. Anak lebih senang meniru model seusianya daripada model dewasa.

c. Anak cenderung meniru model seusianya daripada model dewasa. d. Anak cenderung meniru model yang standar prestasinya dalam

jangkauannya.

e. Anak cenderung mengimitasi orang tuanya yang hangat dan terbuka.

(36)

21

meniru model yang usianya sama seperti mereka. Sehingga peneliti berusaha menayangkan film dimana tokoh utama di dalam film ini sesuai dengan usia siswa.

C. Swakelola Belajar

1. Pengertian Swakelola Belajar

(37)

22

sendiri dalam artian mengatur lingkungan baik fisik maupun sosial mereka demi mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Arti Penting Swakelola Belajar Bagi Perkembangan Manusia

Pengaturan diri menjadi sangat penting pada usia remaja dan dewasa, ketika banyak aktivitas belajar seperti membaca, mengerjakan PR, surfing internet, terjadi tanpa kehadiran dan keterlibatan orang lain dan karena itu mensyaratkan pengarahan diri yang tinggi (Ormrod, 2008: 41). Ketika anak-anak dan remaja semakin self regulating, mereka juga dapat memberi penguatan pada diri mereka sendiri ketika berhasil mencapai tujuan-tujuan mereka (Ormrod, 2008: 35).

(38)

23

3. Aspek Swakelola Belajar

Menurut Zimmerman (dalam Chen, 2002: 13), disebutkan aspek-aspek swakelola belajarsebagai berikut:

a. Metakognitif

(39)

24

b. Manajemen lingkungan fisik dan sosial

Manajemen lingkungan fisik dan sosial di dalamnya termasuk pengaturan lingkungan belajar dan pencarian bantuan. Pengaturan dari lingkungan belajar membutuhkan lokasi atau tempat yang tenang dan bebas dari gangguan-gangguan yang dapat dilihat maupun didengar sehingga peserta didik mampu berkonsentrasi. Zimmerman dan Martinez-Pons (1986) menemukan bahwa peserta didik yang memiliki prestasi tinggi menggunakan manajemen lingkungan dengan lebih baik dibandingkan dengan peserta didik yang memiliki prestasi lebih rendah, dan pembelajar regulasi diri cenderung akan menyusun kembali lingkungan fisik mereka untuk mencapai apa yang mereka butuhkan.

c. Manajemen Waktu

Aspek lain dari pembelajaran siswa, adalah penggunaan waktu mereka. Manajemen waktu melibatkan pengaturan jadwal, perencanaan, dan pengaturan jadwal belajar.

d. Regulasi Usaha

(40)

25

regulation merupakan penggambaran yang kuat dari kesuksesan akademik.

Menurut Pintrich, (1991: 5) komponen utama dalam swakelola belajar dalah metakognisi. Metakognisi itu dapat diartikan sebagai kesadaran, pengetahuan, kontrol kognisi. Tiga proses yang membentuk kegiatan metakognitif adalah perencanaan, monitoring, dan regulasi. Aspek lain dari swakelola belajar menurut Zimmerman & Risemberg, 1997 (dalam Chen, 2002: 13) adalah manajemen waktu, regulasi lingkungan fisik dan sosial, dan kemampuan untuk mengontrol usaha dan perhatian. Pinritch & De Groot (1990: 33) menambahkan bahwa swakelola belajar memilki tiga komponen penting untuk kegiatan belajar. Pertama, swakelola belajar mencakup strategi metakognitif siswa. Metakognitif ini terdiri dari perencanaan, monitoring, dan memodifikasi kesadaran mereka. Kedua, kemampuan atau usaha siswa untuk mengatur dan mengontrol

tugas-tugas akademik. Contohnya kemampuan siswa dalam

(41)

26

4. Strategi Swakelola Belajar

Apabila siswa menginginkan hasil prestasi yang memuaskan, siswa tidak hanya harus mengatur perilakunya sendiri, tetapi juga mereka harus mengatur proses-proses mental mereka. Menurut Ormrod (2008: 38-39) secara khusus, swakelola belajar mencakup proses-proses berikut ini:

a. Penetapan Tujuan (goal setting) b. Perencanaan (planning)

c. Motivasi diri (self motivation). d. Kontrol atensi (attention control).

e. Penggunaan strategi belajar yang fleksibel (flexible use of learning strategies).

f. Monitor diri (self monitoring).

g. Mencari bantuan yang tepat (appropriate help seeking). h. Evaluasi diri (self evaluating).

Sedangkan strategi swakelola belajar menurut Zimmerman (1989: 337) yaitu evaluasi diri, organizing and transforming, perencanaan dan penetapan tujuan, mencari sumber informasi, keeping records and monitoring, manajemen lingkungan, konsekuensi diri, berlatih dan menghafal, mencari bantuan sosial, dan reviewing records.

(42)

27

mereka menyelesaikan suatu tugas belajar dengan sukses. Mereka akan berusaha memfokuskan perhatian mereka pada pelajaran yang sedang berlangsung, memiliki strategi belajar yang berbeda tergantung tujuan- yang ingin dicapai. Memiliki kemampuan memonitor kemajuan mereka dalam kerangka tujuan yang telah ditetapkan, dan mereka mengubah strategi belajar atau memodifikasi tujuan bila dibutuhkan, serta tidak selalu harus berusaha sendiri. Pembelajar yang mengatur diri menentukkan apakah yang mereka pelajari itu telah memenuhi tujuan awal mereka.

Berdasarkan strategi swakelola belajar menurut Zimmerman (1989: 337) dan Ormrod (2008: 38-39) maka dapat disimpulkan strategi swakelola belajar yang dapat digunakan oleh siswa adalah penetapan tujuan (goal setting), perencanaan (planning), motivasi diri (self motivation), kontrol atensi (attention control), penggunaan strategi belajar yang fleksibel (flexible use of learning strategies), monitor diri (self monitoring), mencari bantuan yang tepat (appropriate help seeking), evaluasi diri, organizing and transforming, manajemen lingkungan, konsekuensi diri, berlatih dan menghafal, dan reviewing records.

(43)

28

5. Karakteristik Pelajar yang Memiliki Swakelola Belajar

Para ahli kognitif sosial dan juga psikolog kognitif menyadari bahwa untuk menjadi pembelajar yang benar-benar efektif, siswa harus terlibat dalam beberapa aktivitas mengatur diri (Winnie, dalam Santrock, 2010: 296). Berikut ini adalah karakteristik siswa yang memilki kemampuan mengelola belajarnya:

a. Bertujuan memperluas pengetahuan dan menjaga motivasi

b. Menyadari keadaan emosi mereka dan punya strategi untuk

mengelola emosinya

c. Secara periodik memonitor kemajuan kearah tujuannya

d. Menyesuaikan atau memperbaiki strategi berdasarkan kemajuan yang mereka buat

e. Mengevaluasi halangan yang mungkin muncul dan melakukan

adaptasi yang diperlukan.

Siswa yang memiliki kemampuan untuk mengatur pola belajarnya sendiri, maka siswa tersebut dapat dikatakan sebagai pembelajar yang efektif. Selain mampu menetapkan tujuan dan menjaga motivasi, siswa dengan swakelola belajar yang tinggi juga mampu memonitor dan mengevaluasi kegiatan belajarnya sehingga kegiatan belajarnya lebih terstruktur.

D. Siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)

(44)

29

dikenal dengan sebutan “adolescence” yang berasal dari kata dalam bahasa

Latin “adolescere” yang berarti tumbuh menjadi dewasa atau dalam

perkembangan menjadi dewasa (Desmita, 2012: 189). Hurlock menyatakan awal masa remaja berlangsung kira-kira dari tiga belas tahun samapai enam belas tahun atau tujuh belas tahun (Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 124).

Dalam kehidupan beragama, remaja sudah mulai melibatkan diri ke dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Pada fase remaja ini, ditandai dengan berkembangnya sikap dependen kepada orang tua ke arah independen, minat seksualitas dan kecendeungan merenung atau memperhatikan diri sendiri, nilai-nilai etika, dan isu-isu moral (Salzman dan Pikunas dalam Syamsu Yusuf, 2014:71). Menurut Konopka (dalam Syamsu yusuf, 2014: 71) masa remaja ini meliputi: remaja awal dengan rentang usia 12-15 tahun, remaja madya dengan rentang usia 15-18 tahun, dan remaja akhir dengan rentang usia 19-22 tahun.

Menurut Wiliam Kay (dalam Syamsu Yusuf, 2014: 72) tugas-tugas perkembangan yang terjadi pada usia remaja adalah:

a. Menerima fisiknya sendiri berikut keragaman kualitasnya

(45)

30

c. Mengembangkan kemampuan komunikasi interpersonal dan belajar bergaul dengan teman sebaya atau orang lain, baik secara individual maupun kelompok

d. Menemukan manusia model yang dijadikan identitasnya

e. Menerima dirinya sendiri dan memiliki kepercayaan terhadap kemampuannya sendiri

f. Memperkuat self control atas dasar skala nilai, prinsip-prinsip atau falsafah hidup.

g. Mampu meninggalkan reaksi dan penyesuaian diri (sikap/perilaku) kekanak-kanakan.

Sedangkan menurut Hurlock (dalam Rita Eka Izzaty, dkk, 2008: 126) tugas perkembangan remaja adalah sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

b. Mencapai peran sosial pria dan wanita.

c. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

d. Mengharapkan dan mencapai perilaku sosial yang

bertanggungjawab.

e. Mempersiapkan karier ekonomi.

f. Memepersiapkan perkawinan dan keluarga.

g. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku menggunakan ediologi.

E. Penelitian Terdahulu

(46)

penelitian-31

penelitian yang lain. Adapun penelitian terdahulu yang memiliki relevansi sekaligus berkaitan dengan topik tentang swakelola belajardan terapi film ini, yaitu:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Sapiana (2014) di SMK Negeri 1 Limboto Kabupaten Gorontalo bahwa bimbingan kelompok dengan teknik cinema therapy berpengaruh terhadap motivasi belajar.

2. Penelitian yang dilakukan oleh Anansi Sun Ebu (2014) di kelas

VIII SMP Negeri 1 Bulango Timur, Gorontalo bahwa bimbingan kelompok dengan teknik cinema therapy dapat meningkatkan percaya diri.

(47)

32

belajarnya. Hal ini dikarenakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw memberikan kesempatan kepada mahasiswa yang kemampuannya kurang untuk meningkatkan pemahamannya terhadap mata kuliah yang sedang dipelajari melalui kerjasama saling membantu dalam memahami materi pembelajaran.

Dari penelitian ini peneliti mengkaji tentang terapi film (cinema therapy) dan pembelajaran regulasi diri atau yang di dalam penelitian ini disebut dengan swakelola belajar. Sebagai pembeda dari penelitian sebelumnya dalam penelitian ini peneliti ingin mengetahui pengaruh terapi film (cinema therapy) terhadap peningkatan swakelola belajar pada siswa kelas 8 SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta.

F. Kerangka berfikir

Pada penelitian ini, mengacu pada penelitian yang dilakuan oleh Sapiana tahun 2014 yang berjudul Pengaruh Bimbingan Kelompok Teknik Cinema Therapy terhadap Motivasi Belajar Siswa Kelas X Multimedia di SMK N 1 Limboto Kabupaten Gorontalo. Hubungan dengan penelitian ini adalah terapi film (cinema therapy) sama-sama mempunyai efek yang dapat merangsang nalar siswa dengan melihat sebuah film yang dapat memacu siswa untuk berkembang melalui respon dai film yang ditampilkan.

(48)

33

(49)

34

Beberapa kasus yang terjadi akan memberi dampak negatif seperti kenakalan remaja, kekerasan, atau hal lain yang dapat merugikan diri siswa sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Siswa yang memiliki swakelola belajar yang tinggi maka cenderung memiliki prestasi yang tinggi, dikarenakan kebiasaannya lebih terstruktur.

(50)

35

[image:50.595.115.500.170.579.2]

tingkah laku dengan aman (Dermer& Hutchings, 2000). Agar lebih memudahkan penjelasan diatas, dapat dilihat pada bagan kerangka berfikir sebagai berikut:

Gambar 1. Kerangka Berfikir

Treatment

Siswa belajar mengamati tingkah laku tokoh dalam film yang ditayangkan (modeling), dalam penelitian ini digunakan film yang berjudul Mestakung, dimana isi dari film tersebut sebagagai berikut:

1. Film tersebut menceritakan tentang kehidupan siswa SMP yang memiliki tujuan dan keinginan yang kuat 2. Siswa tersebut memiliki kemampuan

untuk mengatur pola belajar sehingga dapat digunakan sebagai contoh. 3. Selain itu, di dalam film ini

menjelaskan tentang mata pelajaran fisika dan juga kebudayaan yang berasal dari Madura.

Diharapkan akan meningkat setelah siswa mengamati dan mengimitasi tokoh dalam film. Pre-treatment

Diketahui data swakelola belajar siswa rendah

Pasca Treatment

Film sebagai terapi berpengaruh meningkatkan

(51)

36

G. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kajian teori diatas, maka dapat diperoleh hipotesis sebagai berikut “Terapi film (Cinema therapy) memiliki pengaruh dalam

(52)

37

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Peneliti menggunakan metode penelitian eksperimen berupa True Experimental Design. Dalam desain ini peneliti dapat mengontrol semua variabel luar yang mempengaruhi jalannya eksperimen. Ciri utama dari true experimental design adalah bahwa, sampel yang digunakan untuk eksperimen maupun sebagai kelompok kontrol diambil secara random dari populasi tertentu (Sugiyono, 2012: 112). Dalam true experimental design, peneliti menempatkan partisipan secara random ke dalam kondisi variabel eksperimen yang berbeda. Individu dalam kelompok eksperimen menerima perlakuan eksperimental, sementara individu dalam kelompok kontrol tidak menerimanya (Creswell, 2015 : 606).

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat penelitian

Dalam penelitian ini tempat yang digunakan adalah sekolah yaitu SMPN 2 Berbah yang beralamat di Desa Sanggrahan Tegaltirto, Kec. Berbah, Kab. Sleman, DIY

2. Waktu penelitian

(53)

38

C. Subyek penelitian

1. Populasi

Menurut Sugiyono (2012: 119) Populasi ialah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek atau subyek yang memiliki kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas 8 SMP N 2 Berbah tahun akademik 2015/2016 yang berjumlah 128 siswa, dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 58 siswa dan siswa perempuan sebanyak 70 siswa. 2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi. Menurut Sugiyono teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Dalam penelitian ini untuk menentukan sampel, peneliti menggunakan simple random sampling dengan pertimbangan bahwa populasi dianggap homogen. Pengambilan sampel dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi (Sugiyono, 2012: 120). Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas 8A dan kelas 8C tahun akademik 2015/2016.

D. Variabel penelitian

(54)

39

Dari pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa variabel penelitian merupakan sesuatu yang ditetapkan menjadi obyek penelitian oleh peneliti untuk memperoleh informasi tentang hal tersebut. Dalam penelitian ini terdapat dua variable yaitu

1. Variabel bebas (X)

Variabel bebas ialah variabel yang mempengaruhi atau menjadi penyebab berubahnya variabel terikat.Dalam penelitian ini, variabel yang digunakan ialah terapi film.

2. Variabel terikat (Y)

Variabel terikat menrupakan variabel yang dipengaruhi, dalam penelitian ini variable bebasnya adalah tingkat swakelola belajar pada siswa.

E. Definisi Operasional

1. Swakelola belajar adalah tinggi atau rendahnya kemampuan individu atau siswa untuk memonitor, meregulasi, mengontrol kognisi dan perilaku seperti regulasi lingkungan yang kemudian diarahkan demi mencapai tujuan yang diinginkan.

2. Terapi film adalah suatu media terapi yang memiliki pengaruh positif

(55)

40

F. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini, menggunakan desain pretest-posttest control group design. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih secara random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Hasil pretest yang baik bila nilai kelompok eksperimen tidak berbeda secara signifikan. Sebelum dilakukan treatment, terlebih dahulu kelompok eksperimen maupun kelompok control diberikan pre-test untuk melihat kondisi swakelola belajar mereka. Kemudian kelompok eksperimen diberikan treatment sedangkan kelompok control tidak diberikan treatment, tetapi kelompok control diberi layanan klasikal dengan menggunakan metode tradisional yaitu ceramah dan diskusi. Kemudian kelompok control maupun kelompok eksperimen kembali diberikan tes ke dua (post-test) untuk mengetahui keadaan setelah diberikan treatment, dalam jangka waktu yang berdekatan setelah diberikan treatment.

Sugiyono (2012:112) memvisualisasikan model ini sebagai berikut:

R O1 X O2

[image:55.595.228.341.576.654.2]

R O3 O4

(56)

41 Keterangan:

O1 : Kondisi kelompok eksperimen sebelum diberi treatment (pre-test)

O3 : Kondisi kelompok kontrol (pre-test)

X : Pemberian treatment dengan media film.

O2 : Kondisi kelompok eksperimen setelah pemberian treatment ( post-test)

O4 : kondisi kelompok kontrolyang tidak diberikan treatment ( post-test).

R : dipilih secara random

[image:56.595.171.468.488.541.2]

Dalam penelitian eksperimen terdapat 3 tahapan yang harus dilakukan yaitu pretest, treatment, dan posttest. Tahapan tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3. Tahapan dalam penelitian eksperimen

1. Pra eksperimen a. Penentuan sampel

Pada tahap pra eksperimen ini pertama kali adalah menentukan sampel dari populasi dan memilih sampel yang akan dijadikan kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.

(57)

42

b. Pembuatan skala swakelola belajar

Setelah penentuan sampel dilanjutkan dengan membuat instrumen berupa skala swakelola belajar yang merujuk pada aspek dan indikator swakelola belajar

2. Eksperimen

Pada tahap ini terdiri dari test awal, pemberian treatment, posttest. a. Tes awal

Test awal (pretest) dilakukan untuk mengetahui tingkat swakelola belajarsiswa sebelum diberikan treatment pada kelompok eksperimen. Pretest diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. Setelah diadakan pretest hasilnya dianalisis untuk mengetahui tingkat swakelola belajar yang terjadi pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol. b. Pemberian treatment

Pemberian treatment kepada kelompok eksperimen

(58)

43

Langkah-langkah dalam pemberian treatment kepada kelompok eksperimen menggunakan media film yaitu:

1) Peneliti mempersiapkan alat yang perlu digunakan dalam

memberikan perlakuan

2) Semua siswa dipastikan sudah masuk di dalam kelas dan diarahkan agar mencari posisi yang nyaman untuk menonton film

3) Sebelum film ditayangkan, peneliti menyampaikan tujuan

yang akan dicapai

4) Peneliti mengarahkan kepada siswa agar dapat rileks saat

menonton film

5) Siswa mulai mengamati sebuah film yang disajikan, apabila saat film ditayangkan dan dipandang ada yang perlu dijelaskan maka peneliti dapat menghentikan film sejenak untuk menjelaskan atau memberikan keterangan terkait dengan isi film tersebut

6) Setelah film selesai ditayangkan, peneliti meminta siswa untuk menyampaikan perasaan serta makna yang terkandung dalam sebuah film dan mendiskusikan film bersama-sama dengan peneliti.

c. Post-test

(59)

44

kelompok eksperimen yang diberikan treatment menggunakan media film dengan kelompok kontrol yang diberikan layanan klasikan menggunakan metode ceramah dan diskusi.

3. Pasca eksperimen

Pada tahap ini hasil data pre-test dan post-test dianalisis dengan menggunakan uji beda rat-rata (uji-t) antara data hasil pre-test dan post-test. Uji t dilakukan untuk menguji perubahan yang terjadi akibat suatu perlakuan peneliti terhadap sampel dan membandingkan skor pre-test dan post-test.

G. Teknik Pengumpulan Data

(60)

45

response tidak diklasifikasikan sebagai jawaban “benar” atau “salah”,

semua jawaban dianggap benar sepanjang sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.

H. Instrumen Penelitian

Sugiyono (2012:148) mendefinisikan instrumen penelitian sebagai suatu alat yang digunakan untuk mengukur variabel penelitian. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan skala swakelola belajar dengan 4 pilihan jawaban berupa (SS) Sangat Sesuai, (S) Sesuai, (TS) Tidak Sesuai, (STS) Sangat Tidak Sesuai yang disusun berdasarkan aspek serta indikator swakelola belajar.

1. Pedoman Instrumen Swakelola Belajar

(61)

46

Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen Swakelola Belajar sebelum Ujicoba Reliabilitas dan Uji Validitas

NO Aspek Indikator Jumlah Butir No. Butir 1. Metakognitif Menetapkan tujuan 5 1,2,3,4,5

Mengatur pola belajar untuk meningkatkan pemahaman

4 6,7,8,9

Memonitor hasil belajar 4 10,11,12,13

2. Manajemen lingkungan fisik dan sosial

Memberikan

konsekuensi pada diri sendiri

3 14,15,16

Memiliki dan memelihara lingkungan belajar

8 17,18,19,20, 21,22,23,24

Mencari bantuan secara sosial

5 25,26,27,28,29

3. Manajemen Waktu

Mengatur waktu belajar 4 30,31,32,33 Mengatur jadwal belajar 4 34, 35,36,37

4. Regulasi Usaha

Berlatih dan menghafal materi pelajaran

4 38,39,40,41

Mereview kembali hasil belajar

4 42,43,44,45

Mencari informasi 3 46,47,48

Mengevaluasi diri 3 49,50,51

Jumlah 51

2. Pedoman Instrumen Film

[image:61.595.121.499.111.487.2]
(62)
[image:62.595.156.469.94.299.2]

47

Tabel 2. Kisi-kisi Instrumen Kelayakan Film sebelum Uji Validitas No Indikator Jumlah Butir No Butir 1 Melengkapi

pengalaman-pengalaman dasar

5 1-5

2 Memancing inspirasi baru 5 6-10

3 Menarik perhatian 5 11-15

4 Mengandung nilai-nilai rekreasi

6 16-21

5 Memperlihatkan perlakuan obyek yang sebenarnya

1 22

6 Menjelaskan hal-hal abstrak 3 23-25 7 Mengatasi rintangan bahasa 3 26-28

8 Melengkapi catatan 3 29-30

Jumlah 30

I. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen

1. Uji Validitas Instrumen

(63)

48

Sebelum film disajikan pada siswa, expert menguji film dengan menonton dan memberi penilaian berdasarkan indikator dan pernyataan-pernyataan yang tersedia di dalam instrumen film. Hasil penilaian ahli atau expert judgement secara lengkap dapat dilihat pada lampiran.

2. Uji Reliabilitas Instrumen

Sebelum instrumen digunakan untuk pengumpulan data, terlebih dahulu dilakukan uji coba (try out) guna pembakuannya, yaitu dengan melakukan uji reliabilitas. Uji coba dilakukan pada 50 responden.Dalam penelitian ini subyek uji coba 50 siswa diluar sampel dan subyek yang telah ditetapkan kelas 8 dan 8 SMP N 2 Berbah.Uji coba dilakukan pada siswa kelas 8 di SMP N 6 Purwokerto.

Berdasarkan hasil uji coba dengan menggunakan rumus Alpha Cronbach didapatkan koefisien reliabilitas rxx = 0,933. Sebenarnya instrumen swakelola belajar ini sudah tergolong baik, namun masih ada beberapa item yang sebaiknya digugurkan berdasarkan batasan keofisien dalam pemilihan item. Setiap item akan gugur apabila item tersebut mempengaruhi berubahnya Cronbach’s Alpha menjadi lebih tinggi disbanding nilai koefisien reabilitas. Sedangkan item dipertahankan apabila nilai Crobach’s Alpha tetap atau lebih rendah dibandingkan

(64)
[image:64.595.115.511.110.633.2]

49

Tabel 3. Kisi-kisi Instrumen Swakelola Belajar sesudah Ujicoba Reliabilitas dan Uji Validitas

NO Aspek Indikator Jumlah item Pernyata

an

No. Item No. Item

Jumlah item pernyata

an 1. Metakognitif Menetapkan

tujuan

5 1,2,3,4,5 1,2,3,4,5 5

Mengatur pola belajar untuk meningkatkan pemahaman

4 6,7,8,9 6,7,8,9 4

Memonitor hasil belajar

4 10,11,12, 13

10,11,12 ,13

4

2. Manajemen lingkungan fisik dan sosial Memberikan konsekuensi pada diri sendiri

3 14,15,16 15,16 2

Memiliki lingkungan belajar yang baik

4 17,18,19, 20

17,19 2

Memelihara lingkungan belajar

4 21,22,23, 24 21,22,23 ,24 4 Mencari bantuan secara sosial

5 25,26,27, 28,29

25,26,27 ,28,29

5

3. Manajemen waktu

Mengatur waktu belajar

5 30,31,32, 33,34 30,31,32 ,33 4 Membuat jadwal belajar

3 35,36,37 35,36,37 3

4. Regulasi Usaha

Berlatih dan menghafal materi pelajaran

4 38,39,40, 41 38,39,40 ,41 4 Mereview kembali hasil belajar

4 42,43,44, 45 42,43,44 ,45 4 Mencari informasi

3 46,47,48 46,47,48 3

Mengevaluasi diri 3 49,50,51 49,50 2

(65)

50

Tabel 4. Kisi-kisi Instrumen Film sesudah Uji Validitas

No Indikator Jumlah

Pernyataan

No item 1 Melengkapi

pengalaman-pengalaman dasar

5 1-5

2 Memancing inspirasi baru

5 6-10

3 Menarik perhatian 5 11-15

4 Mengandung nilai-nilai rekreasi

6 16-21

5 Memperlihatkan perlakuan obyek yang sebenarnya

2 22-23

6 Menjelaskan hal-hal abstrak

3 24-25

7 Mengatasi rintangan bahasa

3 26-28

8 Melengkapi catatan 3 29-31

Jumlah 31

J. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini adalah analisis data kuantitatif. Adapun penjabarannya sebagai berikut:

1. Kategori Diagnostik

(66)

51

Penentuan kategorisasi tersebut dapat dilakukan menggunakan rumus sebagai berikut:

Rendah :

Sedang :

Tinggi :

Keterangan :

X : Jumlah skor tes

μ : Mean ideal

σ : Standar deviasi

2. Uji hipotesis

Sebelum melakukan uji hipotesis perlu dipastikan dahulu apakah datanya berdistribusi normal atau tidak. Penentuan normal atau tidaknya data tersebut dapat menggunakan dua cara yakni Pengujian Normalitas dan Uji Beda (Uji T)

3. Uji Normalitas

(67)

52

jika taraf signifikansinya ≤ 0,05. Jika data berdistribusi normal maka

menggunakan uji parametrik, sedang jika tidak normal maka analisisnya menggunakan uji non parametrik.

4. Uji Beda (Uji T)

Uji beda digunakan untuk menguji hipotesis penelitian yakni hipotesis nol (Ho) dan hipotesis alternatif (Ha). Pengujiannya menggunakan software SPSS versi 21.0. Langkahnya yakni peneliti menentukan Ho yaitu terapi film (cinema therapy) tidak berpengaruh terhadap peningkatan tingkat swakelola belajar dan Ha-nya terapi film (cinema therapy) berpengaruh terhadap meningkatnya tingkat swakelola belajar. Langkah selanjutnya yakni menentukan taraf signifikansi dalam hal ini sebesar 5% atau 0,05. Adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut:

Ha: (Sig) ≤ 0,05 maka Ha diterima dan Ho ditolak

(68)

53

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Data Hasil Penelitian

1. Deskripsi Lokasi dan Sampel Penelitian

Waktu dan tempat pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 14 Maret-31 Maret di SMP N 2 Berbah yang beralamat di Desa Sanggrahan Tegaltirto, Kec. Berbah, Kabupaten Sleman, DIY. Populasi penelitian ini adalah seluruh kelas 8 SMP N 2 Berbah yang berjumlah 128 siswa, dengan siswa laki-laki sebanyak 58 siswa, dan siswa perempuan sebanyak 70 siswa. Sampel penelitian yaitu kelas 8A dan 8C. Peneliti menggunakan kelas 8C yang berjumlah 32 siswa, yang terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 14 siswa, dan siswa perempuan sebanyak 18 siswa sebagai kelompok eksperimen dan akan diberikan perlakuan menggunakan terapi film, dan kelas 8A yang berjumlah sama yaitu 32 siswa yang terdiri dari siswa laki-laki sebanyak 14 siswa, dan siswa perempuan sebanyak 18 siswa sebagai kelompok kontrol.

2. Deskripsi Proses Penelitian

a. Pra Eksperimen

(69)

54

peneliti mendiskusikan dengan guru bimbingan dan konseling terkait untuk jadwal penelitian. Langkah selanjutnya peneliti mengadakan pre-test pada siswa kelas 8C dan 8A untuk memperoleh data swakelola belajar siswa sebelum diberikan perlakuan. Pretest dilakukan pada tanggal 16 Maret-17 Maret 2016 di dalam kelas menggunakan jam layanan klasikal bimbingan dan konseling.

b. Pemberian Treatment

(70)

55 1) Persiapan

Sebelum memulai treatment peneliti menyiapkan alat yang diperlukan yaitu film, Proyektor, Laptop, Speaker dan Absensi Siswa.

2) Pembukaan

Sebelum film ditayangkan, peneliti mengajak siswa untuk berdoa, melakukan perkenalan, dan menjelaskan tujuan peneliti. Selanjutnya peneliti memastikan semua siswa dalam keadaan siap untuk menonton film yang berjudul Mestakung. Film yang berjudul Mestakung ini menceritakan suasana kehidupan nyata seorang siswa SMP yang memiliki tujuan dan cita-cita belajar, rasa optimis serta cara bagaimana dia mengelola kebiasaan belajarnya agar mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam film ini juga menyajikan pengetahuan kebudayaan daerah dan mata pelajaran fisika.

3) Kegiatan inti (treatment)

(71)

56

yang diberikan pada siswa, 59,37% siswa menganggap film menarik karena sesuai dengan kondisi siswa, sehingga siswa merasa bersemangat untuk belajar dengan giat seperti tokoh utama. Dalam penelitian ini film digunakan sebagai media pemberian informasi, hiburan yang mengedukasi siswa.

4) Penutup

Untuk mengakhiri sesi menonton film peneliti menutup dengan berdoa.

c. Posttest

Posttest pada kelompok kontrol dilakukan pada tanggal 30 Maret 2016 di kelas 8A pada pukul 08.20-09.00 dan posttest kelompok eksperimen dilakukan pada tanggal 31 Maret 2016 pada pukul 09.55 – 10.35. Posttest dilakukan agar dapat mengetahui kondisi swakelola belajar siswa setelah diberikan perlakuan.

3. Data Deskriptif

(72)

57

Tabel 5. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Eksperimen

Kriteria

Eksperimen

Pre test Post test

F % F %

Rendah 5 15.625 0 0.0

Sedang 23 71.875 17 53.1

Tinggi 4 12.5 15 46.9

Jumlah 32 100 32 100.0

[image:72.595.165.481.103.226.2]

Berdasarkan tabel 5. dapat dilihat bahwa hasil pretest pada kelompok eksperimen sebanyak 15,6% siswa memiliki swakelola belajar pada kategori rendah, 71,8% siswa dalam kategori sedang, dan 12,5% siswa dalam kategori tinggi. Setelah peneliti memberikan treatment dengan sebuah film dengan judul Mestakung yang berdurasi 90 menit, maka selanjutnya dilaksanakan posttest dengan hasil sebanyak 53,1% siswa tergolong dalam kategori sedang, dan 46,9% siswa tergolong dalam kategori tinggi.

Tabel 6. Distribusi Frekuensi Kategorisasi Kelompok Kontrol

Kriteria

KONTROL

Pre test Post test

F % F %

Rendah 3 9.375 1 3.1 Sedang 23 71.875 23 71.9 Tinggi 6 18.75 8 25.0 Jumlah 32 100 32 100.0

(73)

58

siswa dalam kategori tinggi. Setelah diberikan pretest kelompok kontrol lalu diberikan posttest selang beberapa hari dan menghasilkan data sebanyak 3,1% siswa berada pada kategori rendah, 71,9% siswa memiliki swakelola belajar dalam kategori sedang, dan 25,0% siswa termasuk dalam kategori tinggi. Adapun rata-rata hasil pretest dan posttest dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 7. Hasil Rata-rata Pretest dan Posttest Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol

Mean N

Std.

Deviation Std. Error Mean Pair

1

PREEKS 120.9063 32 17.89460 3.16335

POSTEKS 131.9375 32 15.29271 2.70339

Pair 2

PREKONTROL

123.9688 32 2.76626

POSTKONTROL

129.8438 32 11.76136 2.07913

[image:73.595.149.507.281.403.2]
(74)

59

bahwa terapi film berpengaruh digunakan untuk meningkatkan swakelola belajar yang dialami oleh siswa kelas 8 SMP N 2 Berbah.

4. Data Hasil Pengujian Hipotesis

a. Hasil Uji Normalitas

[image:74.595.125.501.367.560.2]

Dalam penelitian ini, peneliti melakukan uji normalitas sebagai uji prasyarat untuk melakukan analisis data. Uji normalitas data digunakan untuk mengetahui data yang sudah ada berdistribusi normal atau tidak. Berikut adalah tabel uji normalitas berdasarkan hasil penghitungan melalui kolmogorof- Smirnov melalui software SPSS 21.0 :

Tabel 8. Hasil Uji Normalitas

PREEKS POSTEKS PREKONTROL

POSTKONTR OL

N 32 32 32 32

Norm al Param etersa,b

Mean 120.9063 131.9375 123.9688 129.8438

Std. Deviatio

n

17.89460 15.29271 15.64832 11.76136

Most Extre

me Differ

ences

Absolute .142 .167 .164 .186

Positive .109 .112 .109 .100

Negative

-.142 -.167 -.164 -.186

Kolmogorov-Smirnov Z .803 .946 .929 1.051

Asymp. Sig.

(2-tailed) .539 .332 .355 .220

(75)

60

dan pengujian hipotesis dapat dilakukan dengan menggunakan uji paired sampel t-test.

b. Hasil Uji kesamaan varian populasi awal

[image:75.595.134.506.413.666.2]

Untuk mengetahui perbedaan nilai rata-rata penurunan kejenuhan belajar antara kelompok eksperimen yang diberikan perlakuan dengan menggunakan media film dan kelompok kontrol yang hanya diberikan layanan melalui diskusi, sebaiknya terlebih dahulu data awal (pretest) antara kelompok ekperimen dengan kelompok kontrol dipastikan sudah homogen atau sama. Untuk menguji kesamaan varian dilakukan dengan menggunakan uji independent sampel test. Adapun hasilnya dapat dilihat pada tabel 4.5 sebagai berikut:

Tabel 9. Hasil Uji Homogenitas

Levene's Test for Equality

of Variances t-test for Equality of Means

F Sig. T Df

Sig. (2-tailed) Me an Diff eren ce Std. Error Diffe rence

95% Confidence Interval of the Difference Lowe

r Upper

P R E E K S Equa l varia nces assu med

.038 .845 -.729 62 .469

-3.06 250 4.202 26 -11.46 269 5.33769 Equa l varia nces not assu med

-.729 60.91

7 .469

-3.06 250 4.202 26 -11.46 566 5.34066

(76)

61

karena (p> 0,05) maka H0 diterima atau kelompok ekperimen maupun kelompok kontrol sama secara signifikan.

c. Hasil Uji Hipotesis

Uji hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji t yang merupakan analisis dengan melibatkan dua pengukuran pada subyek yang sama terhadap suatu pengaruh atau perlakuan tertentu (Cornelius Trihendradi, 2013: 121). Dua kelompok yang dimaksud adalah data kelompok pretest dan posstest. Uji t yang dipakai adalah paired sample t-test karena data yang dipakai berpasangan dan ditentukan taraf signifikansi sebsar 5% atau 0,05

[image:76.595.123.508.441.645.2]

Ha : (Sig.) ≤ 0,05, Ha diterima dan Ho ditolak Ho : (Sig.) ≥ 0,05, Ho diterima dan Ha ditolak

Tabel 10. Hasil Uji Hipotesis

Paired Differences

T df

Sig. (2-taile d) Mean Std. Deviati on Std. Error Mean 95% Confidence Interval of the

Difference

Lower Upper Pai r 1 PREEKS-POSTEKS -11.031 25 12.3327 1 2.1801 4 -15.477 67 -6.5848 3 -5.06 0 3

1 .000

Pai r 2 PREKONTRO L-POSTKONTR OL -5.8750 0 12.0823 8 2.1358 8 -10.231 16 -1.5188 4 -2.75 1 3

1 .010

(77)

62

menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak, maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis “Terapi film (Cinema therapy)dapat meningkatkan

kemampuan swakelola belajar siswa SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta” diterima.

B. Pembahasan

Penelitian yang berjudul “Pengaruh Terapi Film (Cinema Therapy) terhadap Peningkatan Swakelola Belajar pada Siswa SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta” ini dilaksanakan dua kali pertemuan yaitu

pretest , satu kali treatment, dua kali posttest. Pertemuan dilakukan dengan menggunakan jam mata pelajaran lain dengan izin guru yang bersangkutan serta menggunakan jam layanan klasikal bimbingan dan konseling.

(78)

63

film berpengaruh meningkatkan swakelola belajar siswa di SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta.

Film yang digunakan oleh peneliti sebagai media terapi untuk meningkatkan swakelola belajar berjudul Mestakung atau Semesta Mendukung. Alasan peneliti menggunakan film Mestakung ini dikarenakan cerita di dalam film ini dianggap sesuai dengan kondisi permasalahan siswa yaitu swakelola belajar. Film ini juga telah melewati uji validitas yang dilakukan oleh expert judgement yaitu dosen pembimbing, dan berdasarkan indikator film dalam instrumen film, seperti melengkapi pengalaman-pengalaman dasar, memancing inspirasi baru, menarik perhatian, penyajian lebih baik karena mengandung nilai-nilai rekreasi, dapat memperlihatkan perlakuan obyek yang sebenarnya, sebagai pelengkap catatan, menjelaskan hal-hal abstrak, mengatasi rintangan bahasa. Menurut Solomon (Demir, 2008: 1) indikator film yang dapat digunakan sebagai terapi adalah film yang memiliki cerita sesuai atau mendekati permasalahan konseli, serta jenis film yang berdasarkan konteks terapetik seperti kecanduan, kematian, keterasingan, atau kekerasan. Berdasarkan pendapat ahli tersebut maka penelitipun memutuskan untuk menggunakan film Mestakung sebagai media terapi untuk meningkatkan swakelola belajar.

(79)

64

Penelitian ini diperkuat dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Nur Wangid, dkk (2011: 14) yaitu penggunaan media CD interaktif dapat meningkatkan swakelola belajar mahasiswa. Peningkatan tersebut berdampak pada peningkatan kualitas pembelajaran, dalam hal ini adalah sumber belajar bertambah dengan media belajar yang semakin variatif, sehingga bisa membantu membelajarkan siswa. Sapiana (2014: 13) menambahkan bahwa terapi film (cinema therapy) memberikan pengaruh atau dapat merangsang nalar siswa dengan melihat sebuah film yang ditampilkan, selain itu hasil akhir dalam teknik terapi film (cinema therapy) adalah menemukan makna yang terkandung dari film. Dan pada akhirnya siswa mampu mengimplementasikannya melalui latihan pribadinya agar tidak malas dan jenuh dalam proses belajar mengajar.

(80)

65

peneliti siswa tidak hanya memperoleh hiburan semata, namun juga siswa dapat mengimitasi strategi pengelolaan belajar yang dilakukan oleh tokoh dalam film. Sebagai tambahan dari film ini, siswa mendapatkan pengetahuan budaya Madura, dan juga mata pelajaran fisika.

Implikasi penelitian ini pada Bimbingan dan Konseling khususnya dalam bidang belajar, sebaiknya guru atau konselor mulai menyediakan media belajar yang menarik dan bervariasi sesuai permasalahan belajar yang dialami oleh siswa.

C. Keterbatasan Penelitian

Dalam proses penelitian ini, peneliti telah berusaha menjalankan treatment semaksimal mungkin sesuai dengan prosedur yang sudah dirancang supaya penelitianini dapat berjalan dengan lancar, namun demikian peneliti masih menemui keterbatasan dalam proses penelitian. Adapun keterbatasan yang terjadi meliputi:

1. Penelitian ini hanya bisa digeneralisasikan siswa kelas 8 di SMP N 2 Berbah, Sleman, Yogyakarta.

2. Penelitian ini hanya mengkaji swakelola belajar pada siswa secara umum.

(81)

66

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

(82)

67

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan yang telah diuraikan sebelumnya, maka peneliti mengajukan saran-saran sebagai berikut:

1. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling

Terapi menggunakan media film yang berkaitan dengan swakelola belajar sebagai layanan Bimbingan dan Konseling dapat dijadikan sebagai variasi dalam metode pembelajaran untuk memaksimalkan mutu dan kualitas pelaksanaan layanan informasi di sekolah khususnya dalam meningkatkan mutu studi siswa dan kemampuan siswa untuk mengelola kebiasaan belajarnya.

2. Bagi Siswa

Terapi film dapat digunakan sebagai variasi media belajar bagi siswa. Sela

Gambar

Gambar 1. Kerangka Berfikir
Gambar 2. Pretest-Posttest Control Group Design
Gambar 3. Tahapan dalam penelitian eksperimen
Tabel 1. Kisi-kisi Instrumen  Swakelola Belajar sebelum Ujicoba Reliabilitas dan Uji Validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait