• Tidak ada hasil yang ditemukan

HARMONI KEHIDUPAN DI PROPINSI MULTI ETNIS: STUDI KASUS INTEGRASI ANTARA PENDUDUK PENDATANG DAN PENDUDUK ASLI DI JAMBI.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "HARMONI KEHIDUPAN DI PROPINSI MULTI ETNIS: STUDI KASUS INTEGRASI ANTARA PENDUDUK PENDATANG DAN PENDUDUK ASLI DI JAMBI."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

HARMONI KEHIDUPAN DI PROPINSI MULTI ETNIS:

STUDI KASUS INTEGRASI ANTARA PENDUDUK PENDATANG DAN PENDUDUK ASLI DI JAMBI

Lindayanti; Witrianto; dan Zulqaiyyim

Abstrak

Otonomi Daerah dan Kebangkitan primordialisme berpotensi mengganggu harmonisasi kehidupan masyarakat. Padahal di hampir setiap daerah terjadi migrasi penduduk masuk sehingga membentuk masyarakat multi etnis. Di masyarakat multi etnis rentan terjadi konflik antar etnis, seperti konflik antara etnis Melayu dan etnis Madura yang pernah terjadi di Kalimantan. Sebaliknya di antara daerah multi etnis terdapat daerah yang dapat menjaga harmonisasi hubungan antar etnis, misalnya propinsi Jambi.

Dengan demikian perlu dipelajari faktor apakah yang dapat menjadi perekat hubungan antar etnis. Bagaimana interaksi yang terjadi antara penduduk pendatang dan penduduk asli. Bagaimana proses terbentuknya masyarakat yang sekarang dikenal sebagai Melayu Jambi. Lokasi Penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Seberang Kota Jambi, dan Kabupaten Tebo.

Tujuan akhirnya adalah merumuskan strategi pola integrasi berbagai etnis menuju pengharmonisan dalam hubungan antara penduduk asli dan pendatang. Untuk mencapai tujuan itu digunakan metode sejarah yang dimulai dengan pengumpulan sumber: studi kearsipan dan dokumen, dan studi lapangan melalui wawancara mendalam dengan tokoh adat dan perwakilan etnis. Kedua, melakukan kritik terhadap sumber yang didapat, Ketiga, menganlisa hubungan antar fakta yang ditemukan, dan akhirnya keempat adalah menuliskan hasil temuan.

Sikap Masyarakat menghadapi kehidupan yang multi etnis ini pun beragam karena berkaitan dengan letak geografis daerah tersebut dan interaksi masyarakat di sepanjang proses sejarah yang dilalui

Di Dua Kabupaten, yaitu Tebo dan Tanjung Jabung Timur identitas dan budaya masing-masing etnis masih dipertahankan. Beragam etnis dan beragam agama terdapat di kedua daerah, akan tetapi tata kehidupan mereka disatukan dalam kerangka Adat Melayu Jambi. Tanjung Jabung Timur daerah muara sungai yang berdekatan dengan laut, daerah merdeka, jauh dari pusat kekuasaan, pendudukdibiarkan menggunakan adat kebiasaan masing-masing. Akan tetapi saat menghadapi sengketa lintas etnis, tata cara penyelesaian yang digunakan adalah Adat Melayu Jambi dan kepala Lembaga Adat Melayu yang menyelesaikannya. Hal ini berlainan dengan Daerah Seberang kota Jambi. Seberang Kota Jambi memiliki latar belakang sebagai pusat kekuasaan Sultan, basis perlawanan rakyat melawan Pemerintah Kolonial Belanda, dan pusat pendidikan Islam maka mereka pun memiliki cara tersendiri dalam mengharmoniskan hubungan antar etnis.

(2)

I. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang terdiri dari berbagai etnis, seperti Jawa, Sunda, Madura, Aceh, Minangkabau, Batak, Bugis, Banjar, Ambon, dan keturunan Arab, India, dan Cina. Di samping mendiami suatu wilayah, mereka juga hidup berdampingan dalam suatu wilayah tertentu. Proses integrasi yang mereka alami sudah berlangsung sudah sejak lama, sejak zaman kerajaan sebelum kedatangan bangsa Barat. Pembauran sesamanya pun telah terwujud dalam bentuk-bentuk budaya yang menjadi milik bersama. Akan tetapi, sejak satu dasawarsa terakhir, kehidupan yang harmoni tersebut di beberapa daerah mulai goyah dan bahkan berubah menjadi konflik fisik. Kerukunan hidup yang selama ini terjaga dengan baik mulai hilang. Bahkan, konflik tersebut seolah-olah dapat pula menggoyahkan sendi-sendi persatuan dan mengancam integrasi bangsa.

Provinsi Jambi termasuk salah satu daerah yang dapat mempertahankan keharmonian hubungan antar etnis tersebut, baik antara penduduk pendatang maupun antara penduduk pedatang dan penduduk asli. Sepanjang sejarahnya tidak terdapat catatan konflik “berdarah“ sesama mereka. Kehadiran mereka di daerah Jambi pada awalnya lebih disebabkan karena Jambi merupakan salah satu pusat perdagangan di kawasan Pantai Timur Sumatra dan Selat Malaka. Kedatangan mereka telah menambah jumlah penduduk, mengubah komposisi penduduk dan membentuk masyarakat yang plural. Mereka melakukan proses integrasi sehingga generasi berikutnya mengidentifikasikan diri sebagai orang Melayu Jambi.

(3)

Melalui penelitian kesejarahan yang menggunakan analisa prosesual akan dapat menjelaskan proses terbentuknya identitas baru, masyarakat Melayu Jambi. Sehingga, darinya dapat dilihat berbagai budaya yang dikembangkannya untuk menjaga keharmonian hidup di Propinsi Jambi. Pada sisi lain, dapat pula dipetik kearifan lokal yang mereka hadirkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat membantu pemerintah dalam rangka integrasi bangsa dengan cara memberi contoh suatu kehidupan yang harmonis di suatu daerah, yaitu Jambi dan akan dapat menjadi contoh bagi kehidupan penduduk di daerah lain dalam lingkup negara Indonesia.

II Jambi dan Perdagangan Lada

Dalam abad ke-15 Malaka pun menjadi Islam dan sekaligus kota pelabuhan terbesar di wilayah semenanjung dan daerah sekitarnya. Hal ini mendorong mendorong penyebaran agama Islam ke seluruh wilayah pesisir semenanjung Melayu dan Sumatera Timur. Kota-kota pelabuhan Islam muntul di sepanjang jalur perdagangan rempah-rempah ke pantai utara Pulau Jawa dan Maluku, juga jalur perdagangan lainnya ke Brunei dan Manila Abad XV diperkirakan Islam mulai berkembang di Jambi bersamaan dengan kebangkitan kerajaan Jambi. Diawali dengan disebutkannya Puti Selaro Pinang Masak, putri keturunan Raja Pagaruyung yang menikah dengan saudagar bernama Ahmad Salim keturunan Turki dan menjadi raja pertama Jambi. Puti Selaro Pinang Masak mendirikan kerajaan Jambi di Ujung Jabung. Setelah itu penguasa di Ujung Jabung digantikan oleh anak-anak dari Puti Selaro Pinang Masak, yaitu Orang Kayo Pingai (1480), Orang Kayo Kedataran (1490), dan Orang Kayo Hitam.1 Pada sekitar tahun 1494 ibukota kerajaan Jambi dipindahkan ke Tanah Pilih (Kota Jambi sekarang).2

Paruh pertama abad XVI, tahun 1511 Malaka jatuh ketangan Portugis. Hal ini menyebabkan pusat perdagangan menjadi tersebar ke beberapa pelabuhan, seperti

1 Istilah Orang Kayo menyatakan asal muasal kegiatan dagang sejumlah keluarga penguasa,

termasuk dari Jambi, Banda, dan Ambon. Ada tiga tipe orangkaya: saudagar asing, tertarik pada bandar karena ada kesempatan berdagang tetapi dapat meninggalkannya lagi orang asing atau keturunan orang asing, sebagian saudagar-pejabat, menjadi perantara antara dan pedagang bangsawan pribumi yang tertarik pada perdagangan karena kedudukannya atau kekayaannya, lihat Anthony Reid, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II (terj.), Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999, hlm. 152-153

2 Junaidi T. Noor, Mencarai Jejak Sangkala, (Jambi: Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya

(4)

Banten, Johor, dan Jambi. Daerah-daerah ini mengalami peningkatan perdagangan secara besar-besaran antara tahun 1500 dan 1630 sebagai pelabuhan lada. Disebutkan bahwa pada sekitar tahun tersebut Jambi merupakan kota kecil yang memiliki fungsi politik dan ekonomi diperkirakan berpenduduk sekitar 10.000 orang.3 Jambi sebagai pelabuhan pengekspor lada yang terkemuka memiliki syahbandar, suatu jabatan yang oleh penguasa Melayu biasanya diberikan pada saudagar asing yang terkemuka untuk memberikan jaminan bahwa protokol diperhatikan dan bea pelabuhan dibayar oleh saudagar asing yang datang melalui laut. Pada sekitar tahun 1512 pemegang jabatan syahbandar di Jambi adalah orang Islam Cina.4

Jambi merupakan kerajaan pantai (coastal state) dan merupakan pelabuhan dagang bagi produk daerah pedalaman, terutama lada. Oleh sebab itu turun naiknya Jambi sebagai pelabuhan ekspor sangat tergantung dari hasil lada daerah pedalaman Jambi.5 Perdagangan lada ini pula yang menentukan kekuatan kerajaan Jambi. Lada yang menjadi produk andalan ekspor Jambi6 berasal dari pedalaman Minangkabau yang tidak termasuk daerah kekuasaan Sultan Jambi, sehingga pada suatu masa selama dua tahun berturut-turut petani lada tidak datang ke hulu, Jambi tidak memiliki apa pun untuk ditawarkan di pasaran internasional.

Pada masa kejayaan perdagangan lada di Jambi mendorong mobilitas penduduk dari berbagai daerah. Orang Laut yang datang dari Timur (kelompok orang Bugis), Orang Melayu Timur yang berasal dari Luzon, orang Jawa, orang Cina dan orang Minangkabau. Kedatangan orang Jawa, terutama mereka yang bekerja sebagai pedagang lada. dan di Jambi ditempatkan seorang gubernur wakil dari penguasa Jawa. Oleh sebab itu Kesultanan Jambi merupakan perpaduan dua pengaruh besar, yaitu dari Jawa dan

3 Anthony Reid, op.cit., hlm. 100

4 Anthony Reid, Ibid., hlm. 159

5 Dari temuan-temuan keramik Cina di hilir Sungai Batanghari dapat memberikan bukti bahwa

pada masa lampau bagian daerah aliran Sungai Batanghari, Muara Tebo, Muara Tembesi, Jambi, Suak Kandis, Muara Jambi sampai Muara Sabak dan Kuala Tungkal adalah kota-kota pelabuhan yang mempunyai peranan penting dalam perdagangan internasional. Selain itu ada indikasi di kawasan hulu Sungai Batanghari, yaitu sekitar Batang Tembesi dan Batang Merangin terdapat jalur tradisional yang menghubungkan kawasan tersebut dengan kawasan sekitar Sungai Rawas.

6 M.A.P. Meilink-Roelofsz, Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago

(5)

Minangkabau. Kedekatan dengan Mataram terlihat dari pakaian dan bahasa Jawa yang mulai dipakai di kalangan kraton masa pemerintahan Pangeran Kedah Abdul Kahar diberitakan bahwa sultan mengirim Tumenggung Demang Surya Menggala dan Kyai Anggayuda ke Mataram. Di samping migrasi penduduk, pelabuhan-pelabuhan yang mekar butuh tentara yang kuat. Untuk itu Jambi selalu mengundang tentara bayaran dan menyediakan uang untuk membayar mereka dengan demikian meningkatkan kekuasaan para penguasa terhadap para bangsawan dan masyarakat pedalaman. Raja Jambi misalnya pada tahun 1660-an memiliki tentara bayaran orang Bugis sebanyak 500 orang.7

Gambar

Mobilitas Penduduk Masuk Ke Jambi Sekitar Abad 15-17

Persaingan dalam perdagangan lada makin meningkat dengan masuknya pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC. Kedatangan pedagang-pedagang Belanda ini mendapat tentangan keras dari pedagang-pedagang Portugis yang mendapat dukungan dari penguasa negeri Jambi. Selain Belanda Portugis masih harus menghadapi kompetitor lain, yaitu Inggris. Pada abad ke-17 Jambi yang telah berkembang menjadi pelabuhan lada yang penting tidak hanya disinggahi junk-junk Cina tetapi juga kapal-kapal dari Siam, Patani, Jawa, dan Malaka. Bahkan pada tahun 1616 disebutkan bahwa terdapat tiga junk Cina, meskipun bukan musim panen lada, dapat mengangkut 11.000 karung lada.

III Keberagaman Penduduk Jambi

Daerah Jambi, sudah sejak zaman dahulu didiami penduduk yang heterogen. Misalnya, penduduk Kesultanan Jambi terdiri dari

1. Orang Melayu : keluarga Sultan, kelompok Bangsa XII, dan rakyat biasa

7 Anthony Reid, op.cit., hlm. 302

Mobilitas Penduduk

Pertumbuhan Ekonomi Jambi abad 16

Minangkabau

Melayu Timur

Jawa

(6)

2. Batin

Pertama, Orang Melayu berada tersebar di sepanjang aliran Sungai Batanghari, dari Muara Tebo sampai Muara Sabak yang termasuk dalam kekuasaan Kesultanan Jambi. Daerah kekuasaan Sultan dibedakan antara tanah nan berjenang dan tanah nan berajo. Pertama, Tanah nan berajo adalah daerah teras kerajaan yang didiami oleh Bangsa XII yang terdiri dari:

1. Jebus meliputi Sabak dan Dendang, Simpang, Aur Gading, dan Tanjung Londrang

2. Pemayung meliputi negeri-negeri Teluk Sebeleh Ulu, Pudak, Kumpeh, dan Berembang

3. Marasebo meliputi Sungai Buluh, Pelayang, Sengkati Kecil, Sungai Ruan, Buluh Kasap, Kembang Seri, Rengas Sembilan, Sungai Aur, Teluk Lebak, Sungai Bengkal, Mangupeh, Remaji, Rantau Api, Rambutan Masam, dan Kubu Kandang

4. Petajin meliputi Betung Berdarah, Panapalan, Sungai Keruh, Teluk Rendah, Dusun Tuo, Paninjauan, Tambun Arang, dan Pemunduran Kumpeh

5. VII Koto yang juga disebut Kembang Paseban meliputi Teluk Ketapang, Muara Tabun, Nirah, Sungai Abang, Teluk Kayu Putih, Kuamang, dan Tanjung

6. Awin meliputi Pulau Kayu Aro, dan Dusun Tengah 7. Penagan negerinya Dusun Kuap

8. Mestong meliputi Tarekan, Lopak Alai, Kota Karang, dan Sarang Burung 9. Serdadu negerinya Sungai Terap

10. Kebalen negerinya Terusan

11. Air Hitam meliputi Durian Ijo, Tebing Tinggi, Padang Kelapo, Sungai Seluang, Pematang Buluh, dan Kejasung

12. Pinokawan Tengah meliputi Dusun Tureh, Lupak Aur, Pulau Betung, dan Sungai Duren

Kedua, Tanah nan berjenang yaitu tanah yang berada di bawah pemerintahan seorang jenang.8 Tanah nan berjenang meliputi beberapa daerah di dataran tinggi Jambi di luar area Batanghari. Penduduk di daerah ini terdiri dari orang Batin dan orang

8 Lembaga jenang adalah jalan lain yang digunakan Sultan untuk mengingatkan para pimpinan

(7)

Penghulu, orang Rawas yang berada di sepanjang sungai Tembesi, sebagian dari suku Anak Dalam di tepi Timur sungai Tembesi, dan penduduk Merangin. Penduduk daerah ini harus membayar jajah pada sultan.

Kedua, Orang Batin terdiri atas kaum pendatang Minangkabau yang menetap di sepanjang batang Tembesi dan Batang Asai dan kemudian berbaur dengan penduduk asli.9 Dusun-dusun Orang Batin memiliki adalah merupakan dusun yang otonom, mereka memilih pimpinannya sendiri, dan sultan tidak dapat mengintervensi daerah ini. Secara hukum mereka hanya bertanggung jawab pada Dewan XII dan tidak kepada sultan.

Mereka bertugas sebagai penjaga garis batas daerah dan wajib membayar pajak (jajah) dan dianggap sebagai orang dalam (keluarga). Mereka hanya dikenakan wajib pajak yang terdiri dari pemungutan hasil sawah sebagai sewa tanah, hasil hutan, dan hasil mendulang emas. Hasil emas yang dipungut dapat dari perorangan atau setiap keluarga yang mendulang emas. Pembayaran uang-jajah ini sebagai pengakuan terhadap kekuasaan sultan, melalui instansi perwakilan sultan, yaitu jenang.

Ketiga, Orang Penghulu juga berasal dari Minangkabau, dan oleh karena itu masih mempunyai hubungan dengan orang Batin. Mereka bermigrasi ke Jambi untuk mencari emas dan pada awal kedatangan mereka bergabung dan tunduk kepada Orang Batin. Persyaratan yang diajukan oleh orang Batin adalah bahwa setahun sekali Orang Penghulu diwajibkan membayar dengan seekor kerbau dan seratus gantang beras serta harus patuh pada Undang-undang Jambi.

Kewajiban orang Penghulu pada kesultanan Jambi adalah membayar jajah (pajak penghasilan) dan bertugas sebagai penjaga batas dengan Bengkulu dan Palembang bagi orang Penghulu yang berada di Limun dan Batang Asai, sedangkan orang Penghulu yang berada di Ulu Tebo dan Bungo sebagai penjaga batas dengan Sumatera Barat.

Keempat, Orang Kubu, yang menurut asal usulnya adalah keturunan keluarga prajurit kerajaan Melayu Jambi pertama yang menyingkir ke hutan karena tidak mau tunduk kepada kerajaan Sriwijaya. Orang Kubu itu dapat dibedakan menurut dua kategori, yaitu orang Kubu yang masih ‘liar’ dan orang Kubu yang sudah bertempat

9 Menurut Andaya, hanya penduduk di VII dan IX kota yang berasal dari Minangkabau. Lihat

(8)

tinggal tetap.10Orang Kubu yang masih liar merupakan penduduk yang bertempat tinggal tidak tetap dan hidupnya berkelompok di hutan. Untuk memenuhi kebutuhan mereka berburu binatang, menangkap ikan atau mencari buah-buahan di hutan. Orang Kubu yang sudah bertempat tinggal tetap adalah penduduk yang masih berpradaban rendah dan lokasi pemukimannya terpisah dari penduduk biasa. Mereka kebanyakan tinggal di distrik Jambi (di luar ibukota Jambi), Muara Tembesi, dan Sarolangun.

Kelima, Penduduk Tungkal, yaitu penduduk yang bermukim di tepian sungai Tungkal. Mereka terdiri dari bermacam-macam suku, yaitu orang Minangkabau, orang Jawa, dan orang Johor yang diperkirakan datang sekitar abad ke-15 saat daerah Tungkal berada di bawah kekuasaan Sultan. Johor.

Migran tertua yang datang ke Tungkal berasal dari Minangkabau, yaitu dari daerah Pariangan Padang Pandjang dan bertempat tinggal di daerah sepanjang pantai Jambi yang disebut Tungkal. Sebelum itu beberapa tempat di Tungkal telah berpenghuni seperti di Merlung, Tanjung Paku, Suban. Mereka dipimpin oleh seorang Demong.

Keenam, Orang Laut yang biasa disebut pula sebagai Orang Timur yang bermukim di delta sungai Batanghari. Mereka bekerja sebagai nelayan penangkap ikan dan memiliki pola hidup berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Orang laut ini hidup di perahu-perahu mereka, memiliki pimpinan tersendiri, dan tidak berada di bawah kekuasaan Sultan Jambi,

Ketujuh, Orang Arab yang kebanyakan berada di ibukota kesultanan, yaitu kota Jambi. Kebanyakan mereka memiliki hubungan yang dekat dengan Sultan Jambi, seperti keluarga Al Jufri yang salah seorang anggota keluarganya menjadi menantu Sultan Jambi. Ketujuh, Orang Cina yang memiliki peran sebagai pedagang perantara dalam perdagangan lada. Mereka kebanyakan bertempat tinggal di kota Jambi.

Dalam perkembangan selanjutnya, terutama setelah abad ke-17, Jambi menjadi salah satu pusat perkembangan ekonomi di pantai Timur. Pertumbuhan ekonomi Jambi ini menarik migran penduduk masuk, misalnya dari Sulawesi Selatan, Kalimantan, dan Riau (orang Singkep/orang Laut).

Memasuki abad XIX, antara tahun 1870 sampai 1905 jumlah penduduk Jambi diperkirakan berjumlah 76.000 orang.11 Setelah dilakukan sensus penduduk pada tahun

10 J.W.J. Wellan, Zuid-Sumatra, Wageningen: H. Veenman & Zonen, 1932, hlm. 111-113

(9)

1917, penduduk keresidenan Jambi telah meningkat menjadi 138.539 orang. Jambi termasuk daerah yang berpenduduk jarang yang disebabkan karena keadaan alam Jambi yang sebagian besar masih berupa hutan, endapan sungai, dan daerah pantai yang berupa hutan mangrove dan daerah pantai yang berawa.Oleh karena itu di daerah pantai hanya terdapat sedikit perkampungan penduduk, sedangkan daerah yang berpenduduk padat adalah daerah di sepanjang aliran sungai.

Tabel. Jumlah dan Komposisi Etnis di Jambi Tahun 1930

Kelompok Etnis Jumlah Prosentase Etnis dari daerah di pulau Sumatera 76 0,03

Banjar 159954 6,82

Etnis dari berbagai daerah Jawa dan Madura 66 0,03

Etnis bukan penduduk pribumi 79 0,03

Etnis tidak dikenal asal usulnya 165 0,07

Sumber: J. Tideman, Djambi, (Amsterdam: De Bussy, 1938), hlm. 46

Melalui sensus tahun 1930 dapat diketahui komposisi dan jumlah etnis yang bermukim di Jambi. Dari sejumlah 234.533 orang penduduk Residensi Jambi, orang Minangkabau merupakan penduduk pendatang yang berjumlah besar, yaitu 57.929 orang.12 Saat itu jumlah orang Jawa, yang datang melalui program transmigrasi berjumlah 12.323 orang atau sekitar 5,25 %

IV. Tumbuh Kembang Pemukiman Masyarakat Jambi

J.W.J. Wellan, op.cit, hlm. 101

12 J. Tideman, Djambi, (Amsterdam: De Bussy, 1938), hlm. 46 Dari sekitar 25% orang

(10)

1. Seberang Kota Jambi

Kota Jambi berfungsi sebagai pusat pemerintahan didiami berbagai macam etnis. Kota Jambi terbagi atas: pusat kota yang merupakan pusat perdagangan dan daerah pinggiran (dusun). Pada masa pemerintahan kolonial Belanda pusat kota dihuni oleh berbagai suku bangsa, seperti Belanda, Arab, Cina, dan Timur Asing lainnya, orang Melayu, dan penduduk pribumi yang bukan orang Jambi Perkampungan di kota Jambi dapat dibedakan menjadi13:

1. Komplek perkampungan di tepian kiri sungai Batanghari, yaitu Tanjungjohor, Tachtulyaman, Arab Melayu, Mudunglaut dan Jelmu, Kampungtengah, Olakkemang dan Ulugedong, Tanjungpasir, Tanjungraden, dan Pasirpanjang. 2. Komplek perkampungan di tepian kanan dari sungai Batanghari, yaitu Sijinjang,

Kasang, Sungeiasam, Soloksipin dan Pulaupandan.

3. Kampung-kampung yang tidak berada dalam pemerintahan marga, yaitu Thehok, Pasirputih, Simpang III, Simpang IV, dan Paal V

Komplek perkampungan di tepian kiri sungai Batanghari terdiri dari dua kecamatan, yaitu kecamatan Danau Teluk dan kecamatan Pelayangan. Kecamatan Danau Teluk terbagi atas 5 kelurahan, yaitu Pasir Panjang, Tanjung Raden, Tanjung Pasir, Olak emang, dan Ulu Gedong. Kecamatan Pelayangan terdiri dari Tanjungjohor, Tachtulyaman, Arab Melayu, Mudunglaut dan Jelmu.

Pada masyarakat Melayu Jambi tidak dikenal adanya harta pusaka tinggi. Suku seorang anak dapat mengikuti suku kedua orangtuanya. Harta dibagikan pula untuk anak laki-laki karena dalam pembagian harta mereka lebih mengutamakan pembagian harta menurut Islam.

Perkampungan Seberang Kota Jambi ini pada masa Kesultanan Jambi terdapat kompleks Pecinan yang bercampur dengan pemukiman penduduk Melayu Jambi. Rumah-rumah penduduk yang berderet di sepanjang sungai Batanghari memiliki kekhasan tersendiri, yaitu berupa rumah-rumah panggung. Dengan demikian rumah-rumah terhindar dari banjir pada saat sungai Batanghari pasang.

Sekoja ini dahulu bernama kampung Pecinan. Menurut ceritera masyarakat setempat dahulu perkampungan ini didiami oleh orang-orang Cina yang beragama Islam dan tokohnya yang masih dikenal sampai sekarang adalah datuk Sin Tay. Mereka menikah dengan penduduk Melayu Jambi sampai akhirnya identitas Cina mereka hilang

(11)

dan menjadi orang Melayu Jambi. Selain orang Cina di perkampungan ini juga diami oleh orang-orang keturunan Arab sehingga salah satu daerah disini bernama kampung Arab Melayu. Keberadaan mereka diperkirakan sudah sejak abad ke-12 di Jambi. Hal ini dilihat dari keberadaan pemakaman Arab Melayu dan salah satu dari pemakaman itu bertarikh 12 Masehi.

Setelah kota Jambi berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, Kampung di Seberang Kota Jambi menjadi pemukiman kerabat Sultan. Misalnya Pangeran Wirokusumo, menantu Sultan Ahmad Nazaruddin yang menjadi wakil Sultan di ibukota Jambi. Hal ini disebabkan Sultan Jambi bermukim di Dusun Tengah dan hanya sekali waktu berkunjung ke kota Jambi. Pada saat Sultan berada di kota Jambi, Sultan menginap di perkampungan Pecinan di rumah pangeran Wirokusumo. Di rumah inilah Sultan Nazaruddin menginap saat berkunjung ke kota Jambi.

Misalnya, pada tahun 1861 Residen Palembang van Ophuijzen untuk pertama kali bertemu dengan Sultan Nazaruddin tanpa disertai Pangeran Ratu di kediaman Pangeran Wiro Kesumo. Pertemuan kedua terjadi pada tahun 1867 Residen Palembang menemui Sultan di kediaman Pangeran pada pemukiman orang Arab. Pada pertemuan kedua ini residen mulai membicarakan tentang rencana pembangunan kediaman untuk sultan di kota Jambi. Setelah itu Residen dan Sultan baru kembali bertemu pada tahun 1869.

Sejak peristiwa pemberontakan para anak raja tahun 1915 kedudukan Perkampungan Sekoja berubah, yaitu menjadi tempat pembuangan dan pelarian para anak raja yang menjadi pengikut Sultan Taha. Mereka kebanyakan berada di satu tempat yang kemudian diberi nama kampung Tachtulyaman yang berarti tempat perlindungan. Gerak mereka pun dibatasi. Mereka hanya boleh bepergian sampai ke daerah Muara Tembesi dan daerah Muara Sabak.14 Keberadaan pengikut Sultan Taha di Tachtulyaman diperkuat melalui keberadaan sebuah pekuburan lama yang menurut ceritera rakyat setempat adalah pemakaman para pengikut Sultan Taha yang meninggal saat melawan Belanda.

Mereka tidak lagi melawan Belanda dengan mengangkat senjata akan tetapi mereka melawan melalui perkuatan pendidikan agama Islam dan tidak dapat menerima ide ‘Barat’. Masyarakat yang anti Belanda mempersonifikasikan dengan cara

(12)

penampilan. Mereka tidak mau memakai dasi karena dasi mereka samakan dengan tali anjing. Merekapun tidak mau memakai celana dan kemeja karena itu adalah pakaian orang kafir. Hal ini mereka tetap pertahankan sampai sekitar tahun 1960-an barulah mereka berubah dalam berpakaian. Akan tetapi sarung dan baju gunting cina tetap dipertahankan pada saat mereka pergi shalat Jumat.

Masyarakat Sekoja dapat menerima baik penduduk pendatang yang terdiri dari berbagai etnis dan mereka pun akan memperlakukan sama sebagai orang Melayu Jambi. Mereka hanya mempersyaratkan penduduk pendatang yang akan menetap di Sekoja harus beragama Islam dan bersedia melebur dalam adat masyarakat setempat.

2. Muara Sabak dan Nipah Panjang

Berdasarkan penemuan artefak-artefak, seperti keramik asing, kaca kuno, dan tembaikar dalam jumlah besar pada situs-situs arkeologi menggambarkan bahwa daerah tersebut sejak abad X-XIII Masehi telah menjadi pemukiman penduduk.15Sisa-sisa pemukiman kuno ditemukan di kawasan Lambur. Pola pemukiman di sepanjang tepian sungai dan rumah mereka berupa rumah panggung yang tonggaknya adalah batang nibung (Oncosperma filamentosa). Batang-batang nibung untuk bangunan rumah tidak hanya terdapat di Delta Batanghari akan tetapi juga terdapat di Kecamatan Nipah Panjang (Kabupaten Tanjung Jabung Timur) sampai ke wilayah pantai timur Sumatera Selatan.

Pada masa sekarang, penduduk yang tinggal di daerah rawa pasang surut yang relatif dekat dengan pantai masih banyak menempati rumah panggung bertiang nibung. Jenis tumbuhan ini biasanya terdapat pada hutan mangrove. Selain nibung lingkungan semacam itu juga menyediakan niah yang berlimpah. Daun nipah digunakan untuk atap rumah dan atap perahu kajang.

Asal orang Melayu yang berada di daerah pantai Timur Jambi berasal dari Mindanao. Semula mereka merantau sampai ke Johor (Semenanjung) dari sini mereka. kemudian menyebar ke pulau Bintan di Kepulauan Riau dan pantai-pantai Timur Sumatera. Nenek moyang orang Melayu yang berada di pantai timur Jambi adalah Dun Pran Ismail. Mereka tinggal di daerah rawa, sehingga untuk dapat dijadikan tempat

15

Nurhadi Rangkuti Kepala Balai Arkeologi Palembang, Sepucuk Nipah

SerumpunNibunghttp://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/05/01561951/sepucuk.nipah.

(13)

tinggal rawa tersebut dikeringkan dan airnya dialirkan di parit. Di tepi kanan dan kiri parit tanah ditinggikan dan di tanah inilah mereka membangun pemukiman dan berkebun. Selain orang Melayu di daerah muara sungai Batanghari ini juga terdapat orang Cina, orang Arab, orang Jawa, orang Bugis, orang Banjar, orang dari pulau Singkep, dan orang Palembang. Keberadaan mereka sekarang masih dapat dikenali melalui nama-nama kampung, Misalnya, Parit Cina, kampung Singkep, dan kampung Palembang. Penamaan ini berdasarkan daerah asal orang yang membuka parit tersebut.

Pada masa jayanya perdagangan lada Jambi (abad 17 dan 18) Muara Sabak menjadi kota pelabuhan penting. Peran Muara Sabak sebagai pelabuhan ekspor impor berlanjut sampai masa pemerintahan kolonial Belanda. Tidaklah mengeherankan apabila di kota Muara Sabak bermukim berbagai suku bangsa.

Kota Muara Sabak sendiri dahulu dikenal sebagai Kampung Cina karena di kota ini banyak bermukim orang Cina. Mereka bekerja sebagai nelayan dan pedagang hasil hutan. Akan tetapi jumlah orang Cina di Muara Sabak mulai berkurang sejak diberlakukannya PP10 tahun 1960-an yang melarang orang Cina berdagang di daerah pedesaan. Dengan demikian banyak orang Cina meninggalkan Muara Sabak dan pindah ke kota Jambi.

Di tempat penyeberangan perahu menuju Muara Sabak terdapat kampung bernama kampung Palembang. Menurut ceritera dahulu pembuka hutan daerah ini adalah orang Palembang sehingga dinamakan kampung Palembang. Orang Arabpun banyak bertempat tinggal di Muara Sabak, mereka memiliki kebun-kebun kelapa di tanah sewaan milik penduduk Jambi ataupun di tanah piagem milik Sultan. Bukti keberadaan mereka dapat dikenali melalui keberadaan pekuburan Arab di kampung Tanjung Kalam, kampung yang sekarang akan dibangun pelabuhan samudera. Saat peran pelabuhan Muara Sabak berkurang, sejak sekitar tahun 1990-an Muara Sabak mulai ditinggalkan penduduk. Ketika itu Pertokoan di Muara Sabak terbakar akibatnya pedagang Cina banyak yang pindah ke Jambi. Apalagi setelah perdagangan penyelundupan melalui sungai menghilang, bahkan kantor-kantor pemerintah pun pindah ke tempat baru di Geragai, Muara Sabak bertambah sunyi .

(14)

Maka dalam kelembagaan adat yang dibentuk dimasukanlah wakil dari berbagai etnis yang berada di daerah tersebut. Meskipun demikian sengketa dalam masyarakat pertama kalinya diselesaikan oleh kepala adat masing-masing etnis. Apabila pada tingkat ini tidak dapat diselesaikan maka kasus tersebut dibawa ke ketua lembaga adat.

Sengketa yang sering terjadi adalah sengketa tanah. Selama beberapa tahun terakhir ini terdapat 20 kasus. Misalnya kepemilikan sawah yang tumpang tindih karena seseorang yang meninggalkan sawahnya pada kepala desa akan tetapi sawah tersebut dijual oleh kepala desa. Ketua Lembaga Adat pertama kali menemui kedua belah pihak yang bersengketa lalu dimabil jalan tengah. Misalnya tanah sengketa dibagi sama antara kedua belah pihak yang bersengketa. Kepala Adat pun banyak menangani penyelesaian kasus-kasus sengketa harta waris karena ketua lembaga adat yang mengetahui asal usul tanah.

3. Kabupaten Tebo

Muara Tebo memiliki posisi penting karena

1. Muara Tebo di masa Jambi masih berupa kerajaan, sekitar tahun 1690 pernah menjadi ibu kerajaan. Saat Pangeran Cakranegara yang kemudian bergelar Sultan Kyai Gedeh bertikai dengan kedua orang saudaranya, yaitu Kyai Singopati dan Raden Jaelat yang tidak menyetujui pengangkatan tersebut. Oleh karena Raden Jaelat lah yang berhak menggantikan ayahnya. Mereka memberontak terhadap Kyai Gedeh tetapi akhirnya mereka terusir sampai di Muara Tebo.16 Sesampai di Muara Tebo Raden Jaelat mengumpulkan penduduk VII Koto dan IX Koto untuk memberitahukan peristiwa yang terjadi padanya, Selanjutnya Raden Jaelat pun pergi ke Pagaruyung untuk meminta pertolongan dari Raja Pagaruyung. Atas dukungan dan pengakuan dari Raja Pagaruyung, Raden Jaelat diakui sebagai sultan Jambi dengan gelar Sultan Sri Maharaja Batu dan berkedudukan di Mangunjayo (Muara Tebo).17

2. Sultan Taha pernah bertempat tinggal dan sebagai arena perjuangan melawan penjajah Belanda dan tempat perjuangan akhir Sultan Taha

Daerah pemukiman di Muara Tebo terbagi antara pemukiman penduduk di dataran tinggi dan pemukiman penduduk di dataran rendah. Di dataran tinggi bermukim penduduk yang disebut orang Batin, sedangkan penduduk yang bertempat tinggal di

16 Muara Tebo merupakan pemukiman Kalbu VII dan IX Koto yang dahulu diperintah oleh Sunan

Pulau Johor.

17 Oorsprong en lotgevallen van het tegenwoordig Vorstelijk Huis van Djambi, dalam Tijdschrift

(15)

bagian hilir sungai serta di ibukota Muara Tebo, yaitu kelompok ‘Orang Berajo’ yang merupakan anggota Bangsa XII (Petajen, Marasebo, Air Hitam).

Anggota bangsa XII bertempat tinggal tersebar di beberapa dusun di Muaratebo, yaitu:

1. Petajen berada di dusun-dusun Sungai Keruh, Penapalan, Betungbedara, Telukrendah, Dusuntuo-hilir, Tambunarang, Peninjauan, dan Sungaiaro

2. Marasebo berada di dusun-dusun Sungaibengkal, Remaji, dan Mengupuh 3. Air Hitam berada di dusun-dusun Pintas, Embacanggedang, dan Tanahgaro

4. Hambo rajo berada di dusun-dusun Muara ketalo, Sungaiaro, Muarakilis, Telukpandak, Dusuntengah-hulu, Mangunjayo, Jatibelarik, Kandang, Pelayang, dan Semabu.

Saat keistimewaan Bangsa XII dihapuskan oleh pemerintah Kolonial Belanda maka mereka pun hidup menjadi dan bersama rakyat biasa. Berdasarkan sistim pembagian administrasi pemerintahan tahun 1937 daerah (onderafdeeling) Muaratebo dibagi menjadi onderdistrik Muaratebo hulu dan Muaratebo hilir.

Onderafdeeling Distrik Onderdistrik Marga

Muaratebo Muaratebo Muaratebo hulu VII Kota

IX Kota Sumai Muaratebo hilir Petajen hulu

Petajen hilir Tabir hilir

Selanjutnya pada masa pemerintahan Republik Indonesia, Rimbo Bujang yang terletak di marga IX Kota pada sekitar tahun 1980 dibuka untuk lokasi transmigrasi penduduk dari Jawa. Desa transmigran dibagi dalam beberapa Unit, desa Perintis yang pertama dibuka berasal dari daerah yang disebut Unit I. Daerah transmigrasi Rimbo Bujang pada tahap awal dihuni oleh 500 KK yang terdiri dari 250 KK berasal dari Jawa Barat dan 250 KK berasal dari Jawa Tengah.

(16)

buruh juga terdapat pendatang menjadi pemilik kebun karet dengan cara membeli kebun karet milik warga transmigran.

Orang Minang mulai ramai datang ke Rimbo Bujang setelah Pasar Sarinah mulai dibuka (sekitar tahun 1978). Orang Minang terutama berasal dari daerah Pariaman, Sawahlunto, Solok, dan Bukittinggi. Kebanyakan dari mereka pada awal kedatangannya hanya bekerja membantu di toko milik orang sekampung. Akan tetapi lambat laun pendatang itu dapat berdiri sendiri.

Misalnya, Darmasisyaf yang datang ke Rimbo Bujang pada tahun 1978 diawali dari kunjungan pada kakaknya. Namun setelah tamat sekolah dia menjadi berminat menetap bersama kakaknya. Dimulai dari menekuni usaha penjualan balok kayu, lalu pada tahun 1979 dia berganti usaha dengan membuka bengkel motor. Akhirnya pada tahun 1990-an Darmasisyaf memindahkan usahanya ke sebuah ruko yang lebih strategis letaknya. Saat ini usahanya telah berkembang bahkan Darmasisyaf sudah mempekerjakan 5 orang karyawan yang terdiri dari 3 orang Minang, 1 orang Jawa, dan 1 orang Batak.

Sebagai konsekuensi masyarakat Rimbo Bujang yang multi etnis maka agama yang dipeluk penduduknya pun beragam, antara lain agama Islam, Kristen, Hindu, dan Budha. Meskipun demikian di Rimbo Bujang tidak pernah terjadi konflik besar diantara pemeluk agama ataupun kelompok etnik. Perselisihan kecil yang pernah terjadi misalnya perselisihan antara etnik Minang dan Batak pada tahun 1978 di Pasar Sarinah. Perselihan antar pemuda ini akhirnya dapat diselesaikan dengan damai berkat campur tangan orang yang dituakan (Kepala Adat). Konflik berlatar belakang agama pernah terjadi pada tahun 1990-an, yaitu terjadi pembakaran gereja di Unit III. Pelaku pembakaran diidentifikasi berasal dari etnik Jawa dan Palembang. Akibat pembakaran ini para pelaku dipenjarakan dan bangunan gereja dipindahkan ke Unit V, sekarang bernama Gereja Kristen Sumatera Bagian Selatan, sedangkan bangunan gereja lama dijadikan kantor karang taruna.

Perkawinan antar etnik pun terjadi di Rimbo Bujang, sebut saja perkawinan antar etnik Jawa dengan Minang, Jawa dengan Medan, Jawa dengan Melayu Jambi18, Minang

18 Melayu Jambi merupakan panggilan resmi panggilan tidak resminya ialah “Orang Dusun”

(17)

dengan Orang Dusun, dan lain sebagainya. Hal yang menarik ialah perkawinan antara Orang Cina dengan Orang Dusun ataupun dengan Orang Jawa maka para lelaki Tionghoa menjadi pemeluk Islam agar dapat diterima oleh masyarakat setempat

V. Pola Integrasi Antar Etnis di Propinsi Jambi

Secara umumperilaku migrasi penduduk yang masuk ke Jambi dapat dibedakan pada dua tipe. Tipe pertama adalah migran sukarela (voluntary migration) dan migrasi kedua yang diatur dan bersifat organik ( organized migration).19 Pada migrasi sukarela, migran merantau dengan keinginan dan upaya sendiri tanpa paksaan siapapun. Di Jambi perantau-perantau Bugis, Banjar, Minangkabau misalnya adalah perantau yang dapat dikategorikan sebagai migran sukarela. Pada tipe organized migration, migran melakukan migrasi dengan diatur secara terorganisasi. Tipe migrasi yang terorganisir misalnya adalah orang Jawa. Mereka bermigrasi melalui program transmigrasi, baik transmigrasi pertanian maupun transmigrasi tenaga kerja.

Di Jambi transmigran Jawa tersebar di berbagai daerah Kabupaten dan Kota Jambi. Di Tanjung Jabung Timur daerah transmigrasi orang Jawa terdapat antara lain di Lagan, Lambur, dan Rantau Rasau. Di Kabupaten Tebo daerah transmigrasi orang Jawa terdapat antara lain di Rimbo Bujang, Alai Hilir. Di Seberang Kota Jambi juga terdapat nama Kampung Jawa yang menurut penduduk setempat, pada masa pemerintahan Kolonial Belanda didatangkan orang Jawa untuk dikerjakan di pabrik karet milik Belanda yang terdapat di Seberang Kota Jambi dan mereka ditempatkan di suatu tempat yang kemudian disebut sebagai Kampung Jawa. Akan tetapi dalam perkembangannya meskipun di Kampung Jawa masih dapat ditemukan keturunan orang Jawa, mereka kebanyakan tidak lagi menyebut dirinya sebagai orang Jawa, mereka telah menjadi Melayu Jambi. Pendatang dari Jawa selain datang secara terorganisir, misalnya di Nipah Panjang ditemukan migrasi orang Jawa secara sukarela. Kebanyakan mereka adalah nelayan yang mencari ikan di laut, sehingga mereka sampai ke Nipah Panjang.

Dalam perkembangan selanjutnya di Jambi terjadi perubahan jumlah etnis yang disebabkan

19 Sjafri Sairin, Perubahan Sosial Masyarakat Indonesia, Perspektif Antropologi, Yogyakarta:

(18)

1. Migran baru masuk : terutama orang Bugis yang datang setelah tahun 1980-an yang kebanyakan bermukim di daerah muara sungai Batanghari Kabupaten Tanjung Jabung Timur dan transmigran Jawa yang menyebar di berbagai Kabupaten di Jambi, seperti Tanjung Jabung Timur dan Tebo (Rimbo Bujang) 2. Migran lama sudah membaur dalam penduduk asli Jambi dan telah memiliki

identitas Orang Melayu Jambi

Pada kasus Jambi terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebudayaan lokal dalam hal ini telah menjadi kekuatan baru pembentukan identitas inidividual yang mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan lokal.

Gambar Etnis Melayu Jambi

Pola Integrasi antar etnis di Jambi beragam dan berkaitan erat dengan sejarah terbentuknya masyarakat yang bersangkutan. Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang letaknya di muara sungai Batanghari dan sangat dekat dengan laut banyak dihuni oleh penduduk pendatang yang berasal antara lain dari Sulawesi Selatan (Bugis), Kalimantan (Banjar), Jawa, dan Melayu

Gambar

(19)

Di daerah Seberang Kota Jambi memiliki kebijakan tersendiri, yaitu merekatkan hubungan antar etnis melalui agama Islam. Mereka tidak mempermasalahkan seseorang dari suku apapun yang penting mereka beragama Islam akan diterima dengan baik. Di Jambi Seberang hanya ada satu identitas, yaitu Melayu Jambi

Gambar

Model Integrasi Seberang Kota Jambi (Kota Jambi)

Satu daerah yang dipilih di Kabupaten Tebo adalah Kecamatan Rimbo Bujang, daerah transmigrasi orang Jawa yang dibuka pada tahun 1980-an

Gambar

Model Integrasi Di Rimbo Bujang

Dalam perjalanan waktu penduduk Jambi mengalami pada tahun 2000, etnis Jawa menjadi penduduk pendatang yang jumlahnya terbanyak di Jambi. Pada tahun 2000 penduduk Jambi berjumlah 2.405.378 orang dan terdiri dari beragam etnis. Etnis Melayu

Lembaga Adat Melayu Jambi

Masyarakat Melayu Masyarakat Minangkabau

Masyarakat Kalimantan

Masyarakat Kerinci

Masyarakat Sumatera Selatan

Masyarakat Jawa

(20)

merupakan mayoritas, yaitu berjumlah 910.832 orang, etnis lain yang berjumlah besar adalah etnis Jawa20 yang berjumlah 664.931 orang, Kerinci berjumlah 254.125 orang, Minangkabau21 yang berjumlah 131.609 orang, Banjar berjumlah 83.458 orang22, dan Bugis berjumlah 62.185 orang.23

Gambar

Komposisi penduduk Jambi tahun 2000

Sumber: Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta: LP3ES, 2002, hlm. 18

VI. Penutup

Strategi harmonisasi masyarakat yang multi etnis, pertama memberdayakan Kearifan Lokal, dan kedua melalui Kebijakan Pemerintah yang dapat menjadi perekat hubungan antar etnis. Misalnya di Jambi pemberdayaan kearifan lokal melalui sosialisasi pengetahuan tentang Adat Melayu Jambi dilakukan secara berkala di semua daerah. Hal ini contohnya di daerah transmigrasi Rimbo Bujang yang dapat terselenggara karena

20 Etnis Jawa merupakan satu-satunya etnis yang terdapat di semua propinsi dengan konsentrasi

yang relatif tinggi. Di pulau Sumatera selain di Propinsi Jambi etnis Jawa juga terdapat di Propinsi Lampung dan Propinsi Sumatera Utara, dan merupakan etnis terbanyak di Propinsi Bengkulu.

21

Sumatera Barat merupakan propinsi asal etnis Minangkabau dengan persentase sebesar 68,44% dari seluruh etnis Minangkabau. Selain di Jambi etnis Minangkabau banyak ditemukan di Propinsi Riau (9,77%), Sumatera Utara (5,60%), dan Propinsi Sumatera Selatan (1,17%)

22

Etnis Banjar merupakan etnis terbesar di Kalimantan Selatan, yaitu 76,34%, selain itu mereka juga terdapat di Klimantan Tengah, Kalimantan Timur dan sedikit di Kalimantan Barat.Di pulau Sumatera etnis Banjar terdapat di Jambi, Riau dan Sumatera Utara.

23

(21)

dukungan kuat dari pemerintah. Pengetahuan tentang adat Melayu Jambi ini menjadi penting karena dapat menyamakan persepsi semua kelompok etnis tentang adat Melayu Jambi. Pada satu sisi adat Melayu Jambi memberikan peluang bagi berbagai etnis untuk mengembangkan adat dan kebudayaan sendiri. Pada sisi lain, karena kedudukan adat Melayu ditempatkan di atas semua adat dari etnis yang ada, maka peranan adat Melayu Jambi menjadi pelindung bagi adat yang lain. Di samping itu, adat Melayu Jambi juga menjadi penengah dalam setiap konflik antar etnis. Peranan yang terakhir ini dimungkinkan karena semua etnis merasakan bahwa mereka sesungguhnya berada di wilayah Jambi. Semua etnis bersepakat untuk menjunjung ungkapan adat Melayu Jambi: “di mana bumi dipijak di sana langit dijunjung”. Oleh karena itu dalam berinteraksi dengan berbagai etnis lain, satu etnis akan merasakan bahwa mereka secara bersama-sama pula menjunjung tinggi adat Melayu Jambi.

Keberadaan setiap etnis dihormati oleh etnis yang lain. Saling menghormati sesama etnis dimungkinkan karena sama-sama merasakan adanya pengayoman yang diberikan oleh adat Melayu Jambi. Bagaimana pun juga kehadiran suatu etnis di suatu daerah, serta merta tentu membawa adat mereka. Namun, adat dari etnis pendatang perlu mendapat pengayoman dari adat setempat supaya keberadaannya tetap dirasakan oleh pendukungmya. Artinya, pengayoman itu dapat dilakukan bila adat setempat menjaga kewibawaannya di atas adat etnis pendatang. Menjaga wibawa adat tersebut dapat dilakukan dengan tetap menggali, mengembangkan, dan memodifikasinya sesuai dengan kebutuhan zaman dan generasinya.

Daftar Pustaka

A. Mukty Nasruddin, Jambi dalam Sejarah Nusantara, Jambi, 1982

(22)

Djunaidi T Noor, Memancang Kedaulatan, Jambi: Pemerintah Propinsi Jambi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Musium Negeri Jambi, 2007

Jang Aisyah Muttalib, Jambi 1900-1916; From War to rebellion, Proefschrift Columbia Univ. Ew York, 1977

Junaidi T. Noor, Mencarai Jejak Sangkala, Jambi: Kajian Pengembangan Sejarah dan Budaya Jambi, 2007

Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003

Leo Suryadinata, Evi Nurvidya Arifin, Aris Ananta, Penduduk Indonesia Etnisitas dan Agama Dalam Era Perubahan Politik, Jakarta: LP3ES, 2002

Legenden van Djambi” dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indie, achste jaargang, Batavia: Het Bataviaasch Genootschaap, 1846, hlm. 33-56

Lindayanti, Orang Minangkabau Di Antara Penduduk Pendatang Jambi, Laporan Penelitian Doktor Muda, dana DIPA Universitas Andalas Anggaran 2008

Locher Scholten, Elsbeth, Sumatraans Sultanaat en Koloniale Staat, Leiden: KITLV Uitgeverij, 1994

Meilink-Roelofsz, M.A.P., Asian Trade and European Influence in the Indonesian Archipelago Between 1500 and about 1630, ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1962

Mochtar Naim, Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1984

Nurhadi Rangkuti Kepala Balai Arkeologi Palembang, Sepucuk Nipah

SerumpunNibunghttp://cetak.kompas.com/read/xml/2008/09/05/01561951/sepucuk.nipah.

serumpun.nibung

Oorsprong en lotgevallen van het tegenwoordig Vorstelijk Huis van Djambi, dalam Tijdschrift voor Neerland’s Indie, achste jaargang, vierde deel, Batavia: Het Bataviaasch Genootshap, 1846

Reid, Anthony, Dari Ekspansi Hingga Krisis: Jaringan Perdagangan Global Asia Tenggara 1450-1680 jilid II (terj.), Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1999

Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia, 1993

(23)

Tideman. J., Djambi, Amsterdam: De Bussy, 1938

Taufik Abdullah, Reaksi terhadap Kuasa Kolonial: Jambi dalam Perbandingan, Prisma 11, 1984,

Gambar

Tabel. Jumlah dan Komposisi Etnis di Jambi Tahun 1930

Referensi

Dokumen terkait