• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kriteria Keshahihan Hadis Perpektif Syiah. Oleh: Muhammad Nasir IAIN Sultan Amai Gorontalo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kriteria Keshahihan Hadis Perpektif Syiah. Oleh: Muhammad Nasir IAIN Sultan Amai Gorontalo"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

ISSN 1907- 0993 E ISSN 2442-8264 Volume 12 Nomor 1 Juni 2015

Halaman 192-208

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

Kriteria Keshahihan Hadis Perpektif Syiah Oleh: Muhammad Nasir

IAIN Sultan Amai Gorontalo [email protected]

Abstract

This study focused on the validity of hadith in the view of Shia, which during this portion of the discussion of hadith more in Sunni view. It is important to be studied further to enrich the scientific insights in the field of

hadith that is not rigid in the face of difference. In view of Shia the hadith transmission is restricted on a track history of ahl al-bait or priest Ma'shum, and this criterion is one of the requirements for an authentic hadith assessed from the aspect sanad. In the aspect of honor, the validity of tradition criteria

not mentioned explicitly by the Shiites, they just make the benchmark validity honor on the basis of conformity with the Qur'an, and not in conflict with the

other authentic tradition.

Penelitian ini difokuskan pada kriteria keshahihan hadis dalam pandangan Syiah, yang selama ini porsi pembahasan keshahihan hadis lebih banyak mengkaji pandangan Sunni. Hal ini penting dikaji untuk lebih memperkaya wawasan keilmuan dalam bidang hadis sehingga tidak kaku dalam menghadapi

perbedaan. Dalam pandangan Syiah, periwayatan hadis dibatasi pada jalur riwayat ahl al-bait atau imam yang ma’shum, dan kriteria ini merupakan salah

satu syarat agar sebuah hadis dinilai shahih dari aspek sanad. Dalam aspek matan, kriteria keshahihan hadis tidak disebutkan secara eksplisit oleh kalangan Syiah, mereka hanya membuat tolak ukur keshahihan matan dengan berdasar pada kesesuaian dengan al-Qur’an, serta tidak bertentangan dengan

hadis shahih yang lainnya.

(2)

Pendahuluan

Hadis merupakan salah satu rujukan utama dalam Islam untuk dijadikan pedoman oleh umat Islam baik dalam hal aqidah, ibadah, dan muamalah. Seyogyanya apa yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw bisa diaplikasikan dalam kehidupan umat Islam. Namun dalam kenyataan tidak semua hadis yang diriwayatkan dari Nabi Saw dapat dilaksanakan karena adanya rangkaian nama-nama periwayat pada tiap thabaqat yang dijadikan pintu masuk untuk menerima atau menolak kandungan dari hadis tersebut. Keshahihan sebuah hadis menjadi syarat utama agar hadis tersebut bisa diterima dan diaplikasikan. Mengetahui keshahihan sebuah hadis menjadi keniscayaan bagi umat Islam.

Ulama hadis telah memberikan petunjuk kriteria keshahihan hadis yang bisa dijadikan hujjah. Kriteria tersebut sangat beragam, karena ulama hadis berbeda-beda dalam menetapkannya. Secara umum, ada dua kelompok dalam Islam yang menetapkan kriteria keshahihan hadis. Kedua kelompok tersebut adalah Sunni dan Syiah. Dalam kelompok Sunni, terdapat juga ragam pendapat tentang keshahihan hadis, begitu pula pada kelompok Syiah. Namun dalam tulisan ini, akan difokuskan pada kriteria keshahihan hadis dalam perspektif kelompok Syiah. Dalam pandangan Syiah, hadis adalah sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perbuatan, perkataan maupun taqrir.1

Sementara orang yang ma’shum menurut mereka adalah Rasulullah Saw dan dua belas imam. Sehingga dalam versi Syiah, dua belas imam memiliki porsi yang sejajar dengan Rasulullah Saw. Selain itu, tidak terdapat perbedaan pula antara orang yang masih kecil dan yang sudah dewasa dari kedua belas imam tersebut. Sebab menurut pandangan mereka, ke-dua belas imam nanti ini telah terjaga dari salah dan lupa sepanjang hidupnya.

Pembatasan periwayat pada dua belas imam Syiah tersebut merupakan hal yang menarik untuk dikaji, karena dengan pembatasan jalur periwayatan tersebut akan berakibat pada banyaknya sabda Nabi Saw yang tidak bisa diaplikasikan oleh umat Islam dalam kehidupannya. Dengan anggapan bahwa hadis yang tidak melalui jalur ke-dua belas Imam tersebut dinilai tidak shahih.

Pernyataan itulah yang menarik untuk diteliti lebih lanjut, dengan tujuan mengetahui dan memahami kriteria keshahihan hadis dalam pandangan Syiah. kemudian membandingkannya dengan kriteria keshahihan hadis menurut jumhur ulama Sunni yang tidak membatasi jalur periwayatan pada imam-imam tertentu.

1Ali Ahmad al-Salusi, Ma’a Itsna’ al-Asyariyah fi al-Ushul wa al-Furu’

(3)

Sekilas Tentang Syiah

Syiah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut istilah Syiah berarti sekolompok orang yang mengagumi dan mengikuti Ali bin Abi Thalib. Belakangan, golongan ini memiliki beberapa istilah yaitu al-Rafidhah,

al-Imamiyah, al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ja’fariyah.2 Kata Syiah menurut

pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang, seperti kata hizb (partai) dalam pengertian yang modern. Kata Syiah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai Ali bin Abi Thalib karramallâhu wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.3

Secara lingusitik, Syiah adalah pengikut. Seiring dengan bergulirnya masa, secara terminologis Syiah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah Saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.4

Para penulis Sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula lahirnya Syiah. Sebagaian menganggap syiah lahir langsung setelah wafatnya Rasulullah Saw, yakni pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar. Di balai pertemuan Bani Saqifah Bani Saidah. Pada saat itu terdapat suara yang menuntut ke-khalifah-an Ali bin Abi Thalib dari Bani Hasyim dan sejumlah kecil Muhajirin.5

Pendapat lain menyebutkan bahwa Syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga Utsman bin Affan Ra atau tepatnya pada awal pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Pendapat yang paling populer adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi.6 Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan

Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut Ali).

2Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1997), h 5.

3Abdul Mun’eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syiah (T.tp.: Yayasan

Alumni Timur Tengah, 1988), h. 34-35.

4http://www.al-shia.com/html/id/shia/moarrefi/1.htm.

5Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam Jilid 5 (Jakarta: Ichtiar

Baru Van Hoeve, 1997), h. 5.

(4)

Keshahihan Sanad Hadis

Eksistensi perangkat metodologis kritik sanad hadis yang dirumuskan oleh para ulama tidaklah muncul secara tiba-tiba, tetapi melalui proses yang panjang dan rumit. Pada tahap yang paling awal, langkah kritik sanad masih dalam bentuk sederhana dan belum ada kaidah yang baku. Dalam kurun waktu seratus tahun pertama, periwayat-periwayat hadis tampaknya masih didominasi oleh para sahabat dan tabiin senior yang ke-tsiqah-annya dapat diandalkan. Sehingga tidak heran jika kritik hadis masih dilakukan secara terbatas pada satu dua orang yang memang bermasalah. Sepanjang satu abad pertama, itu sudah mulai dikenal pengklasifikasian hadis, seperti marfû‘, mauqûf, maqthû‘,

muttashil, mursal, munqathi‘, mudallas, atau lainnya. Seluruh jenis hadis ini—

dilihat dari segi kualitasnya—dibagi menjadi dua: (1) maqbûl (dapat diterima sebagai dalil), yang nantinya dikenal dengan sebutan shahîh dan hasan; dan (2)

mardûd (tidak dapat diterima sebagai dalil), yang nantinya dikenal dengan

sebutan dla‘îf.7 Selanjutnya, seiring dengan meluasnya objek kajian al-jarh wa

al-ta‘dîl, langkah kritik hadis juga semakin melebar yang berujung pada

pemilahan hadis antara yang “sehat” (shahîh) dan yang “sakit” (saqîm). Mulai abad III H, atau tepatnya pada masa al-Tirmidzî, telah dikenal pembagian hadis antara shahîh (sahih), hasan (hasan), dan dla‘îf (dhaif).8 Dengan begitu, maka

kategori hadis shahîh (sahih), hasan (hasan), dan dla‘îf (dhaif) sudah muncul di kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah sejak era ulama mutaqaddimûn.9

Ulama mutaqaddimûn Syiah10 juga membagi kualitas hadis berkisar

pada dua jenis: (1) hadis mu‘tabar (muktabar); dan (2) hadis ghair mu‘tabar (tidak muktabar). Pembagian seperti ini didasarkan pada: pertama, kriteria internal, seperti keakuratan periwayat; dan kedua, kriteria eksternal seperti kemuktabaran hadis yang dihubungkan dengan Zurârah, Muhammad ibn Muslim, dan Fudlail ibn Yasâr. Maka hadis yang memenuhi kedua kriteria itu

7Nûr al-Dîn ‘Itr, Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts (Damaskus: Dâr al-Fikr,

1418H/1997 M), h. 57; Nûr Dîn ‘Itr, Madkhal ilâ ‘Ulûm Hadîts, (Madinah: al-Maktabat al-‘Ilmiyah, 1971), h. 10.

8 Lihat Taqiyy al-Dîn Ahmad ibn Taimiyyah, Majmû‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm

Ahmad ibn Taimiyyah, (Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 1398 H), jilid XVIII, h. 23-25.

9Ulama mutaqaddimûn, di kalangan ahli hadis Sunni, adalah ulama yang masa

hidupnya sebelum dan hingga akhir abad III H. Lihat Abû Hasanât ‘Abd Hayy Laknawiy, Raf‘ wa Takmîl fî Jarh wa Ta’dîl, (Beirut: Dâr Aqshâ li al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1407 H/1987 M), h. 64.

10Ulama mutaqaddimûn, di kalangan ahli hadis Syiah, adalah ulama yang masa

hidupnya sebelum Ahmad ibn Thâwus ibn Mûsâ Hilliy (w. 673 H), dan muridnya, al-Hasan ibn Yûsuf ibn Aliy ibn Dâwud ibn uthahhar al-Hilliy (w. 726 H). Lihat lebih lanjut, Ja‘far Subhâniy, Kulliyât fî ‘Ilm Rijâl (Qum: Mu’assasat Nasyr al-Islâmiy, 1412 H), h. 358-359.

(5)

dianggap sahih, yakni muktabar, sehingga boleh dijadikan sandaran. Namun sebaliknya, jika kedua kriteria itu tidak terpenuhi, maka hadis bersangkutan dianggap tidak sahih, yakni tidak muktabar, dan tidak mungkin dijadikan sandaran.11 Sementara itu, ulama muta’akhkhirûn Syiah membagi kualitas hadis

menjadi empat jenis: shahîh (sahih), muwatstsaq (andal), hasan (hasan), dan

dla‘îf (dhaif).12 Pembagian kualitas hadis itu mulai dikenal sejak akhir abad VII H, tepatnya pada masa Ahmad ibn Thâwus ibn Mûsâ al-Hilliy (w. 673 H) dan muridnya al-Hasan ibn Yûsuf ibn Aliy ibn Dâwud ibn Muthahhar al-Hilliy (w. 726 H).13 Meski demikian, golongan Syiah Akhbâriy masih bersikeras bahwa

pembagian kualitas hadis seperti itu tidaklah beralasan dan menyatakan bahwa semua hadis dapat dipercaya, terutama hadis-hadis yang ada dalam kitab-kitab yang dapat dipercaya.14 Mereka pun mencela al-Hasan ibn Yûsuf al-Hilliy dan

Ahmad ibn Thâwus al-Hilliy, dan memandang klasifikasinya sebagai bid’ah dan menyimpang dari tradisi kaum salaf yang salih.15

Menurut jumhur ulama Sunni menyebutkan bahwa kriteria kesahihan hadis adalah: (1) sanad bersambung; (2) seluruh periwayat bersifat adil; (3) seluruh periwayat bersifat dhabit; (4) terhindar dari kejanggalan (syâdz); (5) terhindar dari cacat (illah).16 Dari seluruh kriteria ini, tiga kriteria pertama

bertalian dengan sanad, sedangkan dua kriteria terakhir bertalian dengan sanad dan matan sekaligus. Kriteria kesahihan hadis yang diajukan oleh ulama Sunni ini tampaknya ada titik perbedaan—di samping juga persamaan—dengan kriteria yang diajukan oleh para ulama Syiah Imamiyah.

Perbedaan itu sekilas sudah terlihat dalam definisi hadis sahih yang mereka ajukan. Menurut ulama muta’akhkhirûn Syiah, hadis sahih adalah “hadis yang bersambung sanadnya kepada orang yang ma’shum, diriwayatkan oleh orang yang adil dari kelompok Imamiyah dari orang yang sepertinya dalam seluruh tingkatan sanad.”17 Hasan ibn Zain al-Dîn (w. 1010 H), ulama Syiah

Imamiyah, mendefinisikan hadis sahih dengan “hadis yang bersambung

11 Al-Subhâniy,‘Ilm al-Rijâl, h. 358-359.

12Murtadlâ al-‘Askariy, Ma‘âlim al-Madrasatain, (t.t.: t.p., 1414 H/1993 M),

jilid III, h. 240-241; al-Shubhâniy, Ushûl al-Hadîts, h. 43; al-Subhâniy, ‘Ilm al-Rijâl, h. 359.

13 Al-‘Askariy, Ma‘âlim al-Madrasatain, jilid III, h. 240.

14Murtadha Muthahhari dan M. Baqir al-Shadr, Pengantar Ushul Fiqh dan

Ushul Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 1414 H/1993 M), h. 145.

15Hâsyim Ma‘rûf al-Hasaniy, “Telaah Kritis Kitab Hadis Syiah, al-Kâfiy”,

Al-Hikmah, no. 6, 1992, h. 37.

16al-Husainiy ‘Abd al-Majîd Hâsyim, Ushûl al-Hadîts al-Nabawiy: ‘Ulûmuhu

wa Maqâyîsuhu, (Kairo, Beirut: Dâr al-Syurûq, 1407 H/1988 M), h. 31.

17Murtadlâ al-‘Askariy, Ma‘âlim al-Madrasatain Jilid III (T.t. : t.p., 1414

(6)

sanadnya kepada orang yang ma’shum, diriwayatkan oleh orang yang adil lagi

dhabit dari orang yang seperti itu dalam seluruh tingkatan sanad.”18 Ada pula

ulama Syiah yang mengartikan hadis sahih dengan “hadis yang bersambung sanadnya kepada orang yang ma’shum, diriwayatkan oleh orang yang adil dari kelompok Imamiyah dari orang yang sepertinya dalam seluruh tingkatan sanad, dan tidak terdapat kejanggalan (syudzûdz).”19

Berdasarkan definisi-definisi itu, maka yang menjadi kriteria kesahihan hadis bagi kelompok Syiah Imamiyah dapat dirangkum sebagai berikut: (1) sanadnya bersambung kepada Nabi Saw atau imam ma’shum; (2) seluruh periwayat berasal dari kelompok Syiah Imamiyah pada tiap-tiap tingkatan; (3) seluruh periwayat bersifat adil; (4) seluruh periwayat bersifat dhabit; dan (5) terhindar dari kejanggalan (syudzûdz).

Namun demikian, kriteria yang diajukan oleh ulama muta’akhkhirûn Syiah jauh berbeda dengan kriteria ulama mutaqaddimûn yang menetapkan kesahihan hadis bukan berdasarkan pada keadilan periwayat. Bagi ulama

mutaqaddimûn Syiah, sebuah hadis dapat dinyatakan sahih apabila memenuhi

kriteria berikut: (1) diperoleh dari sumber yang dapat dipercaya, kendatipun ia termasuk salah satu dari ushûl al-arba‘ mi’ah,20 atau terdapat dalam sebuah

kitab yang sempat diperlihatkan kepada salah seorang imam. Misalnya kitab yang ditulis oleh ‘Ubaidullâh al-Halabiy yang sempat diperlihatkan kepada Imam Ja‘far Shâdiq, dan dua kitab yang ditulis oleh Yûnus ibn ‘Abd Rahmân dan Fadll ibn Syâdzân yang sempat diperlihatkan kepada Imam al-‘Askariy; dan (2) sejalan dengan dalil lain yang sifatnya pasti (qath‘iy) dan sesuai dengan konteks yang dapat dipercaya, meskipun tidak semua periwayat, dari segi kepribadian mereka, termasuk orang-orang yang sah untuk dijadikan sandaran. Berikut ini akan diurai kriteria keshahihan sanad hadis tersebut.

1) Sanad Bersambung

Adapun sanad bersambung yang dimaksdukan di sini adalah tiap-tiap periwayat dalam sanad, dari yang paling awal hingga paling akhir, telah

18Jamâl al-Dîn Abî Manshûr al-Syaikh Hasan ibn Zain al-Dîn, Ma‘âlim al-Dîn

wa Malâdz al-Mujtahidîn, (Teheran: al-Maktabat al-Islâmiyah, t.th.), h. 216.

19al-Shubhâniy, Ushûl al-Hadîts, h. 44.

20Istilah ushûl al-arba‘ mi’ah dipahami secara beragam oleh kaum Syiah

sendiri. Syaikh al-Mufîd, misalnya, mengungkapkan, “Kaum Syiah Imamiyah dari periode Amîr Mu‘minîn (Aliy ibn Abî Thâlib) hingga era Abû Muhammad Hasan al-‘Askariy telah menyusun sebanyak 400 kitab yang disebut dengan al-ushûl.” Sementara Muhsin al-Amîn berkesimpulan bahwa ushûl al-arba‘ mi’ah umumnya diriwayatkan dari seluruh imam Syiah, dan dari Imam Ja‘far al-Shâdiq khususnya. Lihat al- al-Sayyid Muhsin al-Amîn, A‘yân al-Syî‘ah. Jilid I (Beirut: Dâr al-Ma‘ârif li al-Mathbu‘ât, 1406 H/1986 M), h. 140.

(7)

menerima hadis secara langsung dari periwayat terdekat sebelumnya.21 Jadi,

dalam hal ini, seluruh periwayat dalam rangkaian sanad mulai tingkat mukharrij (penyusun hadis) hingga tingkat sahabat yang menerima hadis dari Nabi Saw, bersambung dalam periwayatan. Jika hadis yang diterima dan disampaikan itu berupa dokumen tertulis, maka harus ada ketersambungan antara pemakai naskah dengan pemilik asli naskah hadis.22

Ulama hadis Syiah Imamiyah umumnya mengakui kriteria ketersambungan sanad. Menurut mereka, suatu hadis dapat dinyatakan sahih apabila memenuhi sejumlah kriteria, salah satunya adalah sanadnya bersambung. Seperti halnya ulama Sunni, kriteria ketersambungan sanad bagi mereka adalah tiap-tiap periwayat dalam rangkaian sanad menerima hadis secara langsung dari periwayat terdekat sebelumnya. Jadi, sanad hadis dapat dinyatakan bersambung apabila memenuhi unsur muttashil (bersambung) dan juga marfû‘. Hanya saja, pengertian marfû‘ menurut mereka adalah yang sampai kepada Nabi Saw. dan salah seorang imam Syiah.23 Periwayatan dari para imam

Syiah sendiri tidak disyaratkan bersambung kepada Nabi Saw. Jika demikian, maka dilihat dari sudut pandang ulama Sunni, tidak seluruh hadis sahih dalam pandangan Syiah dapat dikategorikan sebagai marfû‘ (sampai kepada Nabi Saw.). Hadis yang bersumber dari Nabi Saw. dapat dikategorikan sebagai

marfû‘, namun hadis yang berasal dari Ali, Hasan, dan Husain dapat

dikategorikan sebagai mauqûf (sampai kepada sahabat). Sementara hadis yang berasal dari Ali Zain al-‘Abidîn bisa dikategorikan sebagai maqthû‘ (sampai kepada tabiin).24 Bahkan, hadis-hadis yang berasal dari para imam Syiah yang

lebih belakangan, umumnya dianggap tidak lebih dari pendapat ulama atau imam mazhab.25

Namun demikian, ulama Syiah Imamiyah memiliki argumen tersendiri mengenai kriteria ketersambungan sanad kepada dua belas imam yang ma’shum. Setidaknya kedudukan para imam dalam penyampaian hadis dapat dipandang dari dua posisi. Pertama, para imam mendapat kewenangan (otoritas) dari Allâh swt.—melalui lisan Nabi Muhammad Saw.—untuk menyampaikan hukum-hukum aktual. Karena itu, mereka tidak menetapkan hukum, kecuali dengan hukum-hukum aktual dari Allâh Swt. Hukum-hukum

21Khathîb Baghdâdiy, Kifâyah fî ‘Ilm Riwâyah (Beirut: Dâr

al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1409 H/1988 M), h. 21; ‘Itr, Manhaj al-Naqd, h. 242.

22‘Itr, Manhaj al-Naqd, h. 465. 23al-Shubhâniy, Ushûl al-Hadîts, h. 58.

24Penjelasan lebih lanjut tentang hadis marfû‘, mauqûf, dan maqthû‘ menurut

kalangan ulama Sunni, lihat Abû ‘Amr ‘Utsmân ibn ‘Abd al-Rahmân Ibn al-Shalâh, ‘Ulûm al-Hadîts (Madinah: al-Maktabat al-‘Ilmiyah, 1972), h. 41-47.

25 Lihat Abû al-‘Abbâs Taqiyy al-Dîn Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm ibn

Taimiyyah, Minhâj al-Sunnat al-Nabawiyyah, (t.t.: t.p., 1406 H/1986 M), juz II, h. 460-462.

(8)

itu diperoleh melalui dua cara: (a) ilham, sebagaimana Nabi Saw. memperoleh hal yang sama melalui wahyu; (b) perjumpaan dengan imam sebelumnya.26

Kedua, para imam juga berstatus sebagai periwayat yang menyampaikan sunnah

Nabi Saw., dan karena itulah semua yang keluar dari mereka termasuk sunnah. Mereka adalah orang-orang yang meriwayatkan sunnah dari anak— dari bapaknya—dari kakeknya—dari Rasûlullâh Saw.27 Hal itu antara lain tercermin

dari pernyataan Imam Ja‘far al-Shâdiq, “Hadisku adalah hadis dari ayahku, hadis ayahku adalah hadis dari kakekku, hadis kakekku adalah hadis dari Husain, hadis Husain adalah hadis dari Hasan, hadis Hasan adalah hadis dari Amîr al-Mu’minîn, hadis Amîr al-Mu’minîn adalah hadis dari Rasûlullâh Saw., dan hadis Rasûlullâh Saw. adalah firman dari Allâh swt.”28 Riwayat lain

menyebutkan bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abû ‘Abdillâh—Ja‘far al-Shâdiq—tentang suatu masalah, lalu dijawabnya. Laki-laki itu bertanya lagi, “Apakah menurut pendapatmu masalahnya harus begini dan begitu?” Dia menjawab, “Diamlah, jawaban yang kuberikan dalam masalah ini adalah dari Rasûlullâh Saw. Kami bukanlah orang menghukumi sesuatu dengan pendapat akal pikiran.”29

Jadi, hadis-hadis dari para imam tetap bersambung kepada Nabi Saw. Jalan hidup yang ditempuh oleh para imam telah menjadi mata-rantai penghubung yang berkesinambungan, tidak ada pemisahan, tidak ada periwayat yang asing dan tidak dikenal, hingga sampai kepada Nabi Saw. Keabsahan argumen yang dibangun oleh kalangan ulama Syiah Imamiyah itu tampaknya tidak bisa diukur dari sudut pandang ahli hadis Sunni yang sangat ketat dalam menetapkan kriteria kesahihan hadis.

2) Periwayat Bersifat Adil

Kata adil mengandung pengertian lurus, tengah-tengah, rata. Sedangkan menurut ahli hadis dan ushul fikih Sunni, pengertian adil adalah “tabiat atau sifat dasar yang ada dalam diri seseorang yang mendorong pemiliknya untuk senantiasa berada dalam koridor ketakwaan dan muruah.”30 Muhammad

al-Syaukâniy, salah seorang ulama Syiah Zaidiyyah, juga mengartikan adil dengan

26Muhammad Ridlâ Muzhaffar, Ushûl Fiqh fî Mabâhits Alfâzh wa

al-Mulâzamât al-‘Aqliyyah. (Qum: Markaz Intsyârât Daftar bi Tablîghât al-Islâmiy Hauzat al-‘Ilmiyah, 1419 H), juz I,h. 63-64.

27Lajnat Ta‘lîf-Mu’assasat al-Balâgh, Ahl al-Bait: Maqâmuhum, Manhajuhum,

Masaruhum ,(Teheran: al-Majma‘ al-‘Alamiy li Ahl al-Bait, 1413 H/1992 M), h. 84.

28Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Ishaq al-Kulainiy al-Râziy, al-Kâfiy,

(Qum: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1375 H), juz I, h. 53.

29al-Kulainiy, al-Kâfiy, juz I, h. 58.

30Ahmad ibn Aliy ibn Hajar al-‘Asqalâniy, Nuzhat al-Nazhar Syarh Nukhbat

al-Fikar fi Mushthalah Ahl al-Atsar, (Kairo: Maktabat Ibn Taimiyah, 1411 H/1990 M), h. 25.

(9)

“tabiat yang ada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk senantiasa konsisten dengan ketakwaan dan muruah”.31 Hasan ibn Zain al-Dîn, seorang

ulama Syiah Imamiyah, mendefinisikan adil dengan “tabiat atau daya yang ada dalam diri seseorang yang dapat mencegah untuk melakukan perbuatan dosa besar dan dosa-dosa kecil ataupun sesuatu yang menghilangkan muruah.”32

Ja‘far al- Subhâniy, juga dari kalangan Syiah Imamiyah, mengartikan adil dengan “tabiat yang ada dalam diri seseorang yang mendorong untuk senatiasa berada dalam orbit ketakwaan, meninggalkan dosa besar ataupun dosa kecil, serta meninggalkan suatu perbuatan yang dapat menghilangkan muruah.”33

Sejumlah ulama ahli hadis, baik dari kelompok Ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah ataupun Syiah, telah memberikan kriteria yang lebih rinci bagi periwayat yang adil. Al-Hâkim al-Naisâbûriy (w. 405 H)—yang oleh sebagian kalangan disebut-sebut sebagai ulama Syiah—mengajukan kriteria bagi periwayat yang adil: (1) beragama Islam; (2) tidak mengajak kepada perbuatan bid’ah; dan (3) tidak melakukan perbuatan maksiat yang dapat menggugurkan keadilannya.34 Ibn al-Shalâh (w. 643 H) dan al-Nawâwiy (w. 676 H)

mengajukan syarat bagi periwayat yang adil sebagai berikut: (1) beragama Islam; (2) balig; (3) berakal; (4) terhindar dari sebab-sebab kefasikan; dan (5) memelihara muruah.35 Sementara Ibn Hajar al-‘Asqalâniy (w. 853 H)

mengajukan kriteria bagi periwayat yang adil berikut: (1) bertaqwa; (2) tidak berbuat dosa besar seperti syirik; (3) tidak berbuat bidah; (4) tidak berbuat fasik; dan (5) senantiasa memelihara muruah.36

Kendati kriteria keadilan periwayat yang diajukan oleh para ulama hadis ini bervariasi, tetapi secara umum unsur-unsur itu tetap mengacu pada aspek ketakwaan dan muruah. Argumen utama yang diajukan oleh para ulama hadis, baik dari kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah ataupun Syiah, untuk mendukung keadilan periwayat sebagai salah satu syarat kesahihan hadis adalah firman Allâh dalam QS. al-Hujurât/49: 6: Kandungan ayat di atas secara umum memerintahkan agar berita yang dibawa oleh orang fasik terlebih dahulu diteliti kebenarannya. Menurut al-Thabarsiy, seorang mufasir Syiah, ayat ini memerintahkan agar berita yang datang dari orang fasik diklarifikasi kebenaran dan kebohongannya, serta tidak terburu-buru menerima atau melaksanakan isi

31Muhammad ibn Aliy al-Syaukâniy, Irsyâd al-Fuhûl ilâ Tahqîq ‘Ilm al-Ushûl,

(Makkah: al-Maktabat al-Tijâriyat al-Mushthafâ, 1413 H/1993 M), h. 97.

32Jamâl al-Dîn Abî Manshûr al-Syaikh Hasan Ibn Zain al-Dîn, Ma‘âlim al-Dîn

wa Malâdz al-Mujtahidîn (Teheran: al-Maktabat al-Islâmiyah, t.th), h. 201.

33al-Shubhâniy, Ushûl al-Hadîts, h. 118. 34al-Hâkim, ‘Ulûm al-Hadîts, h. 53.

35Ibn al-Shalâh, ‘Ulûmal-Hadîts, h. 94; al-Suyûthiy, Tadrîb al-Râwiy, h. 260. 36al-‘Asqalâniy, Nuzhat al-Nazhar, h. 25.

(10)

berita itu.37 Sementara menurut al-Thabâthabâ’iy, juga seorang mufasir Syiah,

ayat tersebut memerintahkan agar berita yang berasal dari orang fasik dilakukan klarifikasi dengan jalan melakukan pemeriksaan atau penyelidikan untuk mengetahui kebenarannya. Lebih jauh, perintah melakukan klarifikasi dalam konteks ini mengandung arti larangan untuk menerima atau mengamalkan berita yang datang dari orang fasik.38

Periwayat hadis yang berasal dari orang kafir (non-muslim) ataupun fasik jelas-jelas ditolak oleh para ulama, baik dari kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah maupun Syiah. al-Hâkim menilai bahwa pelaku bid’ah yang mengajak orang lain kepada perbuatan itu tidak dapat diterima riwayatnya. Hanya saja, ia tidak secara tegas menyebutkan bahwa pelaku bid’ah yang tidak mengajak orang lain untuk melakukan hal yang sama bisa diterima riwayatnya. Lebih jauh, kalangan ulama Syiah Imamiyah menilai bahwa para periwayat yang berasal dari kelompok non-Imamiyah, termasuk Ahl Sunnah wa al-Jamâ‘ah, sudah rusak akidahnya. Mengenai periwayatan mereka, setidaknya dalam kelompok Syiah berkembang tiga arus pendapat: (1) tidak diterima periwayatannya; (2) diterima periwayatannya sejauh mereka dinilai tsiqah dan terpuji oleh kalangan Imamiyah; dan (3) diterima periwayatannya sejauh mereka dinilai tsiqah dan terpuji, serta para periwayat sebelum dan sesudahnya berasal dari kelompok Imamiyah.39 Jika begitu, maka berarti periwayatan

non-Imamiyah tidak sepenuhnya ditolak. Ulama muta’akhkhirûn Syiah sendiri berpendirian bahwa periwayatan hadis dari orang-orang yang telah rusak akidahnya (non-Imamiyah), selama mereka dianggap tsiqah oleh kelompok Imamiyah, maka riwayatnya dapat diterima dan dihukumi sebagai muwatstsaq (andal), yang kedudukannya berada di bawah hadis shahîh (sahih) dan hasan (hasan), serta di atas hadis dla‘îf (daif).40

Faktor mazhab bagi kalangan Syiah Imamiyah tampaknya menjadi salah satu elemen penting dalam menilai kredibilitas periwayat. Akan tetapi, dalam sumbersumber Syiah yang ditulis lebih belakangan tampaknya sudah terjadi pergeseran sikap dalam menilai kredibilitas periwayat. Mereka berusaha menilai periwayat secara lebih objektif, tanpa membeda-bedakakan mazhab periwayat. Jika periwayat dinilai tsiqah dan terpuji, maka riwayatnya dapat diterima, dan sebaliknya jika dinilai tercela, maka riwayatnya ditolak. Jadi, alat ukur untuk menguji kredibilitas periwayat hanyalah kejujuran dan kebersihan

37Abû Aliy Fadll ibn Hasan Thabarsiy, Majma‘ Bayân fî Tafsîr

al-Qur’ân, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1406 H/1986 M), juz IX, h. 199.

38Muhammad Husain al-Thabâthabâ’iy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, (Beirut:

Mu’assasat al-A‘lamiy li al-Mathbû‘ât, 1393 H/1973 M), jilid XVIII, h. 311.

39Muhammad Abû Zahrah, al-Imâm al-Shâdiq: Hayâtuhu wa ‘Ashruhu, wa

آrâ’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1993), h. 311.

(11)

jiwa periwayat, bukan pandangan mazhabnya. Doktrin Keadilan Sahabat dan

Kema’shuman Imam Di antara persoalan krusial yang masih terus

diperdebatkan antara kelompok Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah dan Syiah di seputar keadilan periwayat ini adalah tentang doktrin keadilan sahabat dan kema’shuman imam. Jumhur ulama Sunni telah berketetapan bahwa

“al-shahâbat kulluhum ‘udûl” (sahabat seluruhnya adalah adil).41

Lain halnya dengan Sunni, kelompok Syiah (Rafidlah) menilai bahwa hampir seluruh sahabat telah kafir, kecuali hanya menyisakan tujuh belas orang sahabat.42 Hanya saja, sekte Syiah Imamiyah (Itsnâ ‘Asyariyah) berpendirian

bahwa para sahabat sebagiannya merupakan orang-orang yang diakui keadilannya. Termasuk di antara mereka adalah para ulama dan periwayat hadis. Sebagian lainnya adalah para pembangkang, orang-orang munafik, dan ahli-ahli maksiat. Sebagian lagi merupakan orang-orang yang hal-ihwalnya tidak diketahui (majhûl al-hâl).43

Kelompok Syiah Imamiyah lebih lanjut menolak dengan tegas pandangan dan argumen kaum Sunni yang menyatakan bahwa seluruh sahabat berpredikat adil. Dalam konteks ini, Ahmad Husain Ya’qûb berkomentar: ‘Menurut kami keadilan seluruh sahabat adalah bertentangan dengan nas-nas yang terdapat dalam sunnah Nabi Saw., berupa perkataan, perbuatan, maupun persetujuan, dan bertentangan pula dengan nas-nas syar‘i yang pasti dalam al-Qur’an, bahkan bertentangan dengan tujuan kehidupan, logika, dan ruh universal ajaran Islam. 44

Ada sejumlah argumen yang diajukan oleh kelompok Syiah Imamiyah untuk meruntuhkan argumen-argumen kaum Sunni seputar keadilan sahabat. Di antara argumen mereka yang berasal dari QS. al-Taubah/9: 101 yang maknanya bahwa di antara orang Arab Badui yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik, dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Nanti mereka akan Kami siksa dua kali kemudian mereka akan dikembalikan kepada azab yang besar.’

Sementara dasar-dasar argumen yang berasal dari hadis Nabi Saw. yaitu hadis riwayat dari Abû Hurairah yang menyebutkan ‘Tatkala aku sedang berdiri, muncullah serombongan orang yang kukenal dan seorang laki-laki muncul pula antara diriku dan mereka. Laki-laki itu berkata, “Ayo!” Aku bertanya, “ke mana?” Ia menjawab, “ke neraka, demi Allâh!” Aku bertanya,

41 al-Suyûthiy, Tadrîb al-Râwiy, h. 482. 42Syâkir, al-Bâ‘its al-Hatsîts, h. 177.

43Lihat Zhafar Ahmad ‘Utsmâniy Tahânawiy, Qawâ‘id fî ‘Ulûm

al-Hadîts, (Aleppo: Maktabat al-Mathbu‘ât al-Islâmiyah, 1392 H/1972 M), 202-203.

44Ahmad Husain Ya‘qûb, Nazhariyyat ‘Adâlat al-Shahâbah, (Qum: Mu’assasat

Anshâriyân li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1417 H/1996 M), h. 72.

(12)

“Ada apa dengan mereka?” Ia menjawab, “Mereka telah berbalik setelah engkau wafat.” Dan aku tidak melihat keikhlasan pada wajah mereka, seperti gerombolan unta tanpa gembala.’45

Selain dari kelompok Syiah Imamiyah, argumen-argumen seperti itu juga pernah diajukan oleh sebagian sarjana muslim. Akan tetapi, argumen mereka ternyata masih debatable. Ayat-ayat di atas ternyata hampir seluruhnya menjelaskan sikap dan perilaku orang-orang munafik, bukan sikap para sahabat Nabi Saw. yang jujur dan bersih. Kedua kelompok ini jelas mempunyai karakteristik yang berbeda dan tidak dapat dikacaukan satu sama lain. Menurut Abû Syuhbah, kaum munafik berada di luar orbit keutamaan sahabat, yang Allâh dan rasul-Nya sungguh telah memberikan jaminan akan menyingkap tabir kemunafikan mereka.46

Persoalan berikutnya yang masih banyak diperdebatkan oleh komunitas Syiah dan Sunni adalah doktrin kema’shuman imam. Kalangan Syiah Imamiyah (Itsnâ ‘Asyariyah) telah berketetapan bahwa seluruh imam memiliki sifat ‘ishmah seperti halnya Nabi Saw. dan nabi-nabi lainnya.47 ‘Ishmah oleh

kalangan Syiah Imamiyah diartikan sebagai daya atau kekuatan jiwa yang menghalangi pemiliknya untuk terjatuh ke dalam kemaksiatan dan kesalahan, sehingga secara aktual pemiliknya tidak pernah meninggalkan suatu kewajiban dan tidak pula melakukan suatu yang diharamkan.48 Jadi, ishmah merupakan

kualitas batin akibat pengendalian diri yang memancar dari sumber keyakinan, ketakwaan, dan wawasan yang luas. Ia menjamin manusia melawan semua jenis dosa dan penyelewengan moral.49

Banyak argumen yang diajukan oleh kalangan Syiah untuk menopang doktrin kema’shuman imam ini. Di antaranya yang berupa dalil naqli adalah Firman Allâh swt. dalam QS. al-Ahzâb/33: 33:

إ

اَمنَّ

ُديِرُي

ُهمللٱ

َبِهْذُيِل

ُمُكنَع

َسْجِّرلٱ

َلْهَأ

ِتْيَ بْلٱ

ْمُكَرِّهَطُيَو

اًيرِهْطَت

Terjemahnya:

‘Sesungguhnya Allâh bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahli bait dan membersihkan kaum sebersih-bersihnya.’ (QS. al-Ahzâb/33: 33).

45al-Bukhâriy, Shahîh al-Bukhâriy, juz IV, h. 338.

46Muhammad ibn Muhammad Abû Syuhbah, Difâ‘ ‘an al-Sunnat wa Radd

Syubah al-usytasyrikîn wa al-Kuttâb al-Mu‘âshirîn (Beirut: Dâr al-Jîl, 1411 H/1991 M), h. 91.

47al-Muzhaffar, ‘Aqâ’id al-Imâmiyyah, h. 91.

48Syaikh Ibrâhîm al-Amîn, Dirâsat fî al-Imâmiyyah, (Qum: Mu’assasah

Anshâriyân, 1416 H/1996 M), h. 143.

49Sayyid Mujtaba MuSawi Lari, Imam Penerus Nabi Saw.: Tinjauan Historis,

(13)

Ayat di atas, menurut pemahaman kaum Syiah, telah memberikan petunjuk bahwa para imam berpredikat ma’shum.50 Kata innamâ dalam bahasa

Arab berfungsi sebagai pembatasan (hashr). Sehingga kehendak Allah untuk melakukan penyucian dan pembersihan dosa itu hanya terbatas pada Ahli Bait, bukan yang lainnya.51 Sedangkan kata al-rijs secara umum mengandung arti

kotoran, ada yang berupa kotoran lahir yang dapat dilihat ataupun kotoran batin yang berada dalam jiwa. Namun, kata al-rijs dalam ayat ini lebih tepat dipahami dengan kotoran batin, dan bentuknya yang paling terang adalah dosa dan kemaksiatan ataupun kefasikan. Sementara yang dimaksud dengan Ahli Bait, menurut para ulama Syiah, hanya terbatas pada lima orang: Nabi Saw., Ali, Fâthimah, Hasan ibn Ali, dan Husain ibn Ali.52

3) Periwayat Bersifat Dhabit

Pengertian dhabit secara bahasa antara lain teguh, kuat, kokoh, hafal dengan mantap. Sedangkan menurut istilah, al-Syahâwiy mengartikan dhabit dengan kondisi terjaga dan tidak pelupa yang sekiranya mampu membedakan antara yang benar dan yang salah.53 Al-Bazdawiy dan al-Jurjâniy mengartikan

dhabit dengan mendengar pembicaraan sebagaimana mestinya, memahami arti pembicaraan secara benar, kemudian menghafalnya dengan sungguh-sungguh dan berhasil hafal dengan sempurna, sehingga mampu menyampaikannya kepada orang lain dengan baik. Sementara yang disebut orang dhabit, menurut Ibn Hajar, adalah orang yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya dan mampu menyampaikan hafalannya kapan saja dia menginginkan.54 Kalangan Syiah Imamiyah juga mengartikan dhabit dengan

“kuat hafalan, tidak pelupa dalam meriwayatkan hadis.”55

Kedhabitan itu sendiri dapat dibedakan lagi menjadi dua: (1) dlabth

shard, apabila periwayat menyampaikan hadis dari hafalannya, dan ia

senantiasa hafal hadis itu; (2)dlabth kitâb, apabila periwayat meyampaikan hadis dari kitabnya, dan senantiasa menjaga tulisan itu sejak mendengar hingga menyampaikannya kembali kepada orang lain, dan juga memelihara tulisan itu dari penggantian dan perubahan.56

50al-Sayyid Ashghar Nâzhim Zâdah al-Qummiy, al-Fushûl al-Mi’ah fî Hayât

Abî al-A’immat Amîr al-Mu’minîn Aliy ibn Abî Thâlib, (Qum: Mahr, 1411 H), juz V, h. 34.

51al-Thabâthabâ’iy, al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân, jilid XVI, h. 309. 52al-Thabarsiy, Majma‘ al-Bayân, juz VII, h. 560;

53al-Syahâwiy, Mushthalah al-Hadîts, h. 106. 54al-‘Asqalâniy, Nuzhat al-Nazhar, h. 25.

55‘Abd al-Majîd Mahmûd, Amtsâl al-Hadîts Ma‘a Taqdimat fî ‘Ulûmal-Hadîts,

(Kairo: Dâr al-Turats, t.th.), h. 77.

(14)

4) Sanad Terhindar dari Syâdz

Dari segi bahasa syâdz berarti “asing”, “jarang”, “menyendiri”, atau “menyalahi orang banyak”.57 Para ulama berbeda pendapat seputar pengertian

syâdz suatu hadis. Setidaknya ada tiga pendapat yang cukup menonjol: (1) hadis syâdz ialah hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi riwayatnya

bertentangan dengan riwayat orang yang lebih tsiqah atau beberapa orang periwayat yang tsiqah. Ini adalah pendapat al-Syâfi‘iy;58 (2) hadis syâdz adalah

hadis yang diriwayatkan oleh orang yang tsiqah, tetapi orang yang tsiqah lainnya tidak meriwayatkan hadis itu. Ini adalah pendapat al-Hâkim;59 dan (3)

hadis syâdz ialah hadis yang sanadnya hanya satu buah, baik periwayatnya

tsiqah atau tidak. Ini adalah pendapat Abû Ya‘lâ al-Khalîliy.60

5) Sanad Terhindar dari ‘Illah

Pengertian ‘illah menurut bahasa adalah cacat atau penyakit. Sedangkan menurut terminologi ilmu hadis, ‘illah adalah cacat-cacat yang tersembunyi (asbâb khafiyyah) dan bila terdeteksi, maka hadis yang pada lahirnya tampak berkualitas sahih menjadi tidak sahih.61 Pengertian ‘illah di sini berbeda dengan

tha‘n al-hadîts (cacat umum hadis), misalnya karena periwayatnya pendusta

atau tidak kuat hafalannya.

Ahli hadis dari kalangan Syiah Imamiyah tidak menyebutkan—secara eksplisit—kriteria terhindarnya sanad dari ‘illah. Hal itu tidak harus mengherankan, karena ada juga sebagian ulama fikih dan usul fikih yang tidak mensyaratkan keterhindaran dari syâdz ataupun illah untuk sanad hadis yang sahih. Secara metodologis, hal itu juga tidak terlalu menjadi masalah, karena pada kenyataannya para ulama hadis Syiah telah mengakui kriteria-kriteria terkait lainnya, seperti sanad bersambung dan periwayat bersifat dhabit. Kalau diteliti, dari empat bentuk ‘illah seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, dua bentuk yang pertama karena sanad hadis terputus, sedangkan dua bentuk terakhir karena periwayat tidak dhabit atau setidaknya tidak tâmm al-dlabth. Jadi, sekiranya unsur-unsur sanad bersambung dan periwayat bersifat dhabit atau tâmm al-dlabth telah terpenuhi, maka sebenarnya unsur sanad terhindar

57 Ibrâhîm Unais et al., al-Mu‘jam al- Wasîth, (Kairo : t.p., 1392 H/1972 M),

juz I, h. 476.

58Hâkim, ‘Ulûm Hadîts, h.119; Baghdâdiy, Kifâyat fî ‘Ilm

Riwâyah, h. 141; Ahmad ibn Aliy ibn Hajar ‘Asqalâniy, Nukat fî Kitâb ibn al-Shalâh, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1414 H/1994 M), h. 40. Pendapat al-Syâfi‘iy inilah yang paling banyak diikuti oleh para ahli hadis.

59al-Hâkim, ‘Ulûmal-Hadîts, h.119. 60Ibn al-Shalâh, ‘Ulûmal-Hadîts, h. 69.

(15)

dari ‘illah tidak perlu ditetapkan sebagai salah satu kaidah mayor, karena fungsinya telah dijalankan oleh dua unsur kaidah mayor lainnya.62

c. Kesahihan Matan Hadis

Sejauh ini muncul tudingan dari sebagian orientalis Barat dan sarjana muslim sendiri bahwa kriteria kesahihan hadis hanya memperhatikan aspek sanad dan belum menyentuh aspek matan.63 Tudingan itu segera dibantah oleh

para sarjana hadis. Mereka dengan tegas menyatakan bahwa kaidah kesahihan hadis yang dirumuskan oleh para ulama telah mencakup aspek sanad dan matan sekaligus.64 Namun demikian, mereka mengakui bahwa perhatian ulama hadis

terhadap kritik sanad memang lebih besar dibanding perhatian mereka terhadap kritik matan, kendati secara historis kritik matan lebih awal muncul dibanding dengan kritik sanad.

Jika diteliti lebih jauh, dari lima kriteria atau kaidah kritik hadis yang telah disampaikan di muka, dua kriteria yang disebut terakhir—yakni terhindar dari syâdz dan ‘illah—selain ditujukan pada aspek sanad, juga diarahkan pada aspek matan. Bahkan, menurut sebagian ulama hadis, kedua kriteria itu pada dasarnya ditujukan untuk matan hadis.65 Kalau begitu, maka yang menjadi

unsur kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis ada dua macam, yakni: (a) matan terhindar dari syâdz; dan (b) matan terhindar dari ‘illah.

Para ahli hadis dari kalangan Syiah Imamiyah tampaknya tidak secara eksplisit menyebutkan kedua unsur kaidah mayor bagi kesahihan matan hadis di atas. Hanya saja, mereka telah mengajukan beberapa tolok ukur bagi kesahihan matan hadis. Di antara tolok ukur itu adalah: (1) matan hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an; dan (2) matan hadis tidak bertentangan dengan sunnah yang sahih.66 Ulama hadis dari kalangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamâ‘ah sendiri

tampaknya tidak secara ketat menerapkan kedua unsur kaidah mayor itu dalam meneliti kualitas matan hadis. Bahkan, ketika menjelaskan macam-macam matan hadis yang daif, para ahli hadis Sunni tidak mengelompokkannya kepada kedua unsur kaidah mayor kesahihan matan hadis itu. Seperti halnya para ulama hadis Syiah Imamiyah, para ulama hadis Sunni juga mengajukan sejumlah tolok ukur bagi kritik matan hadis. Sebagian dari tolok ukur itu bahkan telah diterapkan oleh para sahabat. Dari hasil penelitian beberapa sarjana hadis,

62M. Syuhudi Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis: Telaah Kritis dan

Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah (Jakarta: Bulan Bintang, 1995), h. 149-150.

63 G. H. A. Juynboll, Muslim Tradition, (London: Cambridge University Press,

1983), h. 4.

64Abû Syuhbah, Difâ‘ an al-Sunnah, h. 30-31; ‘Itr, al-Madkhal, h. 15-17;

Muhammad Mushthafâ al-Sibâ‘iy, al-Sunnat wa Makânatuhâ fî al-Tasyrî‘ al-Islâmiy, (t.t.: Dâr al-Qaumiyat li al-Thibâ‘at wa al-Nasyr, t.th.), h. 205-206.

65‘Ajjâj al-Khathîb, Ushûl al-Hadîts, h. 305. 66 Lihat al-Kulainiy, al-Kâfiy, juz I, h. 6.

(16)

setidaknya ada lima tolok ukur kritik matan hadis yang telah dipakai oleh para sahabat: (1) membandingkan hadis dengan al-Qur’an; (2) membandingkan hadis yang satu dengan hadis lainnya; (3) membandingkan hadis dengan qiyas; (4) membandingkan hadis dengan pernyataan sahabat; dan (5) membandingkan hadis dengan kejadian-kejadian dan pengetahuan-pengetahuan sejarah.67

Mengacu pada kriteria keshahihan hadis baik dari aspek sanad maupun matan, maka dapat diketahui bahwa dalam keshahihan sanad hadis lebih banyak mendapat porsi pembahasan dikalangan Syiah dibandingkan dengan matan hadis. Perbedaan paling menonjol antara kriteriah keshahihan sanad hadis versi Syiah dan Sunni adalah dalam hal jalur periwayatan yang dikalangan Syiah dibatasi pada jalur ahl al-bait, sedangkan dikalangan Sunni tidak dibatasi pada anak dan cucu nabi Saw. tetapi semua sahabat dapat diterima periwatannya. Kesimpulan

Kelompok Syiah mutaqaddimîn membagi kualitas hadis berkisar pada dua jenis yaitu hadis mu‘tabar (muktabar); dan hadis ghair mu‘tabar (tidak muktabar), sedangkan kelompok Syiah mutakhirîn membagi kualitas hadis menjadi empat jenis yaitu shahîh (sahih), muwatstsaq (andal), hasan (hasan), dan dla‘îf (daif).

Kriteria kesahihan hadis bagi kelompok Syiah Imamiyah ada lima yaitu sanadnya bersambung kepada Nabi Saw. atau imam ma’shum, seluruh periwayat berasal dari kelompok Syiah Imamiyah pada tiap-tiap tingkatan, seluruh periwayat bersifat adil, seluruh periwayat bersifat dhabit, dan terhindar dari kejanggalan (syudzûdz). Kriteria ini hampir sama dengan pendapat kelompok Sunni yang juga menyebutkan lima kriteria, bedanya hanya pada pembatasan jalur periwayatan imam ma’shum bagi Syiah, sedangkan bagi kelompok Sunni, semua sahabat dapat diterima periwayatannya.

67Dâminiy, Maqâyîs Naqd, h. 59-108; ‘Abd Muththalib, Tautsîq

(17)

Daftar Pustaka Al-Qur’an al-Karim

Abû Zahrah, Muhammad. al-Imâm al-Shâdiq: Hayâtuhu wa ‘Ashruhu, wa

آ

râ’uhu wa Fiqhuhu. Kairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabiy, 1993.

Al-Amîn, al- al-Sayyid Muhsin, A‘yân al-Syî‘ah. Jilid I Beirut: Dâr al-Ma‘ârif li al-Mathbu‘ât, 1406 H/1986 M.

Al-Askariy, Murtadlâ, Ma‘âlim al-Madrasatain. t.t.: t.p., 1414 H/1993 M Al-Baghdâdiy, al-Khathîb. al-Kifâyah fî ‘Ilm al-Riwâyah. Beirut: Dâr al-Kutub

al-‘Ilmiyah, 1409 H/1988 M.

Al-Balâgh, Lajnat Ta‘lîf-Mu’assasat. Ahl al-Bait: Maqâmuhum, Manhajuhum,

Masaruhum. Teheran: al-Majma‘ al-‘Alamiy li Ahl al-Bait, 1413

H/1992 M.

Al-Dahlawiy, Syâh ‘Abd al-‘Azîz al-Imâm Waliyyullâh Ahmad ‘Abd al-Rahîm,

Mukhtashar Tuhfat Itsnâ ‘Asyariyyah. Riyadl: Ri’âsat

‘Ammat li Idârat Buhûts ‘Ilmiyyat wa Iftâ’ wa Da‘wat wa al-Irsyâd, 1404 H.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam “Ensiklopedi Islam”, Cet. 4. 1997. Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve.

Haidar, Asad. Imâm Shâdiq wa Madzâhib Arba‘ah, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabiy, 1490 H/1979 M.

Hâsyim, al-Husainiy ‘Abd al-Majîd. Ushûl al-Hadîts al-Nabawiy: ‘Ulûmuhu wa

Maqâyîsuhu. Kairo, Beirut: Dâr al-Syurûq, 1407 H/1988 M.

Ibn al-Shalâh, Abû ‘Amr ‘Utsmân ibn ‘Abd al-Rahmân. ‘Ulûm al-Hadîts. Madinah: al-Maktabat al-‘Ilmiyah, 1972.

ibn Taimiyyah ,Taqiyy al-Dîn Ahmad. Majmû‘ Fatâwâ Syaikh al-Islâm Ahmad

ibn Taimiyyah. Beirut: Dâr al-‘Arabiyah, 1398 H

al-‘Irâqiy, ‘Abd al-Rahîm ibn Husain. al-Taqyîd wa al-‘Adlâh limâ Uthliqa wa

Ughliqa min Muqaddimat ibn Shalâh. Makkah: Maktabat

al-Tijâriyat Mushthafâ Ahmad al-Bâz, 1413 H/1993 M.

Irâqiy, Zain al-Dîn ‘Abd al-Rahîm ibn Husain. Fath al-Mughîts bi Syarh

Alfiyat al-Hadîts. Beirut: Dâr al-Fikr, 1416 H/1995 M.

Itr Nûr al-D,în,.Manhaj al-Naqd fî ‘Ulûm al-Hadîts. Damaskus: Dâr al-Fikr, 1418H/1997 M

(18)

Al-Laknawiy, Abû al-Hasanât ‘Abd al-Hayy al-Raf‘ wa al- Takmîl fî al-Jarh wa

al-Ta’dîl. Beirut: Dâr al-Aqshâ li al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1407 H/1987

M.

Muthahhari, Murtadha dan M. Baqir al-Shadr. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul

Fiqh Perbandingan, terj. Satrio Pinandito dan Ahsin Muhammad.

Jakarta: Pustaka Hidayah, 1414 H/1993 M.

Al-Subhâniy, Ja‘far, Kulliyât fî ‘Ilm Rijâl. Qum: Mu’assasat Nasyr al-Islâmiy, 1412

Al-Thabarsiy, Abû Aliy Fadll ibn Hasan. Majma‘ Bayân fî Tafsîr

al-Qur’ân, Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, 1406 H/1986 M.

Al-Muzhaffar, Muhammad Ridlâ. Ushûl Fiqh fî Mabâhits Alfâzh wa

Mulâzamât ‘Aqliyyah. Qum: Markaz Intsyârât Daftar bi Tablîghât

al-Islâmiy Hauzat al-‘Ilmiyah, 1419 H.

Al-Qiffâriy, Nâshir ibn ‘Abdillâh ibn Aliy. Ushûl Madzhab Syî‘at

al-Imamiyyat al-Itsnâ ‘Asyariyyah. Kairo: Dâr al-Haramain li al-Thibâ‘ah,

1415 H/1994 M.

Al-Râziy, Abû Ja‘far Muhammad ibn Ya‘qûb ibn Ishaq al-Kulainiy. al-Kâfiy, Qum: Dâr al-Kutub al-Islâmiyah, 1375 H.

Al-Syâmiy,Makki. al-Sunnat al-Nabawiyyat wa Mathâ ‘an al-Mubtadi‘ah. Aman: Dâr ‘Ammar li al-Nasyr wa al-Tauzî‘, 1988.

Al-Thabâthabâ’iy, Muhammad Husain. al-Mîzân fî Tafsîr al-Qur’ân. Beirut: Mu’assasat al-A‘lamiy li al-Mathbû‘ât, 1393 H/1973 M.

Ya‘qûb, Ahmad Husain. Nazhariyyat ‘Adâlat al-Shahâbah. Qum: Mu’assasat Anshâriyân li al-Thibâ‘ah wa al-Nasyr, 1417 H/1996 M.

(19)

1. Tulisan naskah/artikel berupa hasil karya orisinil, baik hasil penelitian, kajian ilmiah yang terkait dengan keislaman.

2. Tema tulisan ditentukan oleh dewan redaksi. Tema setiap volume terbitan dan dapat dilihat di

http://journal.iaingorontalo.ac.id/index.php/fa

3. Naskah ditulis dalam salah satu bahasa (Indonesia, Arab, atau Inggris), Jumlah 5000 Kata.

4. Huruf latin menggunakan Times New Roman 12 dan jenis huruf Arab menggunakan jenis fond al-Mohanad 15

5. Kata atau istilah asing yang belum masuk dalam kaidah bahasa Indonesia diketik/ditulis dengan huruf miring.

6. Referensi dari internet diperbolehkan hanya berupa e-book, e-journal yang memiliki ISSN.

7. Sistem pengutipan menggunakan model footnote dengan contoh sebagai berikut :

Buku:

Sofyan AP Kau, Masailul Fiqhiyyah al-Mu’ashirah. (Cet 2; Gorontalo: Sultan Amai Press, 2012, h. 164

Buku Terjemahan:

Muhammad Shahrur, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2004), h. 447.

Artikel dalam Buku:

M. Quraish Shihab, Membongkar Hadis-Hadis Bias Jender, dalam

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim (Jakarta: JPPR,

1998), h. 26-28. Artikel dalam Jurnal:

M. Inam Esha, Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad

Shahrur, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol. 2 No. 4. 2001, 126. Skripsi, Tesis, Disertasi, Working Paper

Faisar Ananda, Dasar dan Metode Pemikiran Modern Islam Indonesia Tentang

Wanita, Disertasi (Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,

2001), 114. Kitab Suci : Q.S. Al-Baqarah :2. Kontruksi naskah

1. Judul ; (judul tidak menyerupai laporan penelitian) 2. Nama lengkap penulis tanpa gelar.

3. Asal Institusi penulis 4. Email penulis

(20)

abstrak antara 80-130 kata).

6. Kata kunci (menggunakan 3-5 kata)

7. Pendahuluan ( Pendahuluan untuk tulisan yang berasal dari penelitian berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan, metode penelitian ditulis dalam bentuk narasi) Pendahuluan untuk tulisan yang berasal dari artikel/kajian ilmiah berisi latar belakang masalah dan rumusan masalah.

8. Bahasan utama ( yang dibagi dalam beberapa sub bagian sesuai dengan kebutuhan tulisan)

9. Kesimpulan

10. Daftar Pustaka ditulis sebagai berikut : Buku:

Kau, Sofyan AP, 2012, Masailul Fiqhiyyah al-Mu’ashirah. Cet 2 Gorontalo: Sultan Amai Press.

Buku Terjemahan:

Shahrur, Muhammad, 2004, Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, Yogyakarta: eLSAQ Press.

Artikel dalam Buku:

Shihab, M. Quraish, 1998, Membongkar Hadis-Hadis Bias Jender, dalam

Kepemimpinan Perempuan dalam Islam, ed. Syafiq Hasyim Jakarta: JPPR Artikel dalam Jurnal:

Esha, M. Inam, 2001, “Konstruksi Historis Metodologis Pemikiran Muhammad Shahrur’, Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Islam Al-Huda, Vol. 2 No. 4.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Working Paper

Faisar Ananda, 2001, Dasar dan Metode Pemikiran Modern Islam Indonesia

Tentang Wanita, “Disertasi”, Jakarta: Program Pascasarjana IAIN Syarif

Hidayatullah.

Referensi

Dokumen terkait