• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II JENAZAH. 1. Pengertian Jenazah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II JENAZAH. 1. Pengertian Jenazah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

13

Kata jenazah, bila ditinjau dari segi bahasa (etimologis), berasal dari bahasa Arab dan menjadi turunan dari isim masdar (adjective) yang diambi dari fi’il madi janaza-yajnizu-janazatan wa jinazatan. Bila huruf jim dari kata tersebut dibaca fathah (janazatan), kata ini berarti orang yang telah meninggal dunia. Namun bila huruf jim-nya dibaca kasrah, maka kata ini memiliki arti orang yang mengantuk. Demikian keterangan yang dijelaskan oleh sang penulis kitab Matali’ al-Anwar (An-Nawawi t.th, 104).

Dalam kamus al-Munawwir, kata jenazah diartikan sebagai “seseorang yang telah meninggal dunia dan diletakkan dalam usungan” (Munawwir 1997, 215). Kata ini bersinonim dengan al-mayyit (Arab) atau mayat (Indonesia) (Departemen Agama 1993, 516). Karenanya, Ibn al-Faris memaknai kematian (al-mawt) sebagai peristiwa berpisahnya nyawa dari badan atau jasad (an-Nawawi t.th, 105).

Luis Ma’luf di dalam kitab al-Munjid mendefenisikan jenazah sebagai berikut:

Artinya: seseorang yang berpisah dengan kehidupan(Ma’luf 1986, 779)

Menurut Hasan Sadiliy, kata jenazah yaitu “seseorang yang telah meninggal dunia yang sudah terputus masa kehidupannya dengan alam dunia ini” (Sadiliy 1982, 36). Hampir sama dengan pemaknaan tersebut, Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S., mengartikan kata jenazah sebagai orang yang telah meninggal yang diletakkan di dalam usungan dan hendak dibawa ke kubur untuk dimakamkan (Mas’ud, Abidin S2000, 449).

Selanjutnya, kata jenazah juga diartikan oleh Partanto dan M. Dahlan al-Barry sebagai “raga yang sudah tidak bernyawa lagi” (Partanto,

(2)

Al-Barry 1994, 285). Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jenazah diartikan sebagai badan atau tubuh yang sudah mati (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 639).

Lebih jauh lagi, Ustad Labib Mz. Memperluas pemaknaan tersebut dengan seseorang yang terputus hubungannya antara ruh dengan badan, perpisahan antara keduanya, perubahan dar suatu keadaan ke keadaan lainnya (Labib Mz 2000, 77).

Di dalam kitab Fathul Qadir didefenisikan sebagai berikut:

Artinya: ”kata al-janaiz adalah jama’ dari kata janazah. Apabila huruf “jim” berbaris kasrah berarti beranda usungan mayat, tetapi kalau berbaris fathah maka artinya mayat (Hanafi 1994, 103).

Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa jenazah adalah seseorang yang telah meninggal dunia dengan berpisahnya antara ruh dengan badan dan telah terputus hubungannya dengan dunia ini, tak ada yang dapat dibawa selain amal ibadahnya selama hidup didunia.

Memandikan jenazah merupakan gabungan dari kata memandikan dan jenazah. Kata memandikan berasal dari kata mandi yang berarti menyiramkan air ke seluruh badan. Memandikan disini maksudnya mensucikan mayat misalnya sesudah meninggal lalu dimandikan (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa 1995, 630).

Maksudnya perbuatan orang yang masih hidup terhadap orang yang sudah meninggal dunia dengan cara menyiramkan air atau mengalirkan air ke seluru tubuh untuk mengangkat najis yang menempel pada tubuh jenazah tersebut dengan niat kepada Allah SWT. Jenazah artinya mayat, maksdunya jasad manusia yang telah ditinggalkan oleh ruhnya.

Jadi, memandikan jenazah yang dimaksud disini adalah perbuatan orang yang masih hidup terhadap jasad seseorang yang sudah meninggal

(3)

dunia dengan cara menyiramkan air ke seluruh tubuh atau jasad tersebut dengan cara tertentu yang disertai dengan niat kepada Allah SWT.

Disunnahkan untuk segera memandikan mayat dan mempersiapkan penguburannya apabila dia telah benar-benar mati, seperti mati dikarenakan suatu sebab atau muncul tanda-tanda kematiannya seperti kedua telapak kakinya menjadi lembek dan tidak tegak, atau hidungnya miring atau pelipisnya berlubang atau meleleh kulit wajahnya, atau copot kedua mata kakinya dari betisnya atau menyusut buah testisnya, apabila ragu karena tidak ada sebab yang membuatnya mati, atau kemungkinan dia hanya diam atau muncul tanda-tanda yang menakutkan atau lainnya, hendaknya ditunggu hingga benar-benar bahwa dia mati, misalnya dengan baunya yang berubah atau lainnya (Ad-Dimasyqi, Yahya 2007, 888).

2. Hukum Memandikan Jenazah

Apabila ada seseorang yang meninggal dunia, maka kewajiban bagi sekelompok orang adalah untuk segera menyelenggarakan jenazahnya, salah satu diantara poin tersebut adalah memandikan jenazah. Adapun hukum memandikan jenazah ini, Imam Syairazi dalam kitabnya al-Muhazzab menjelaskan bahwa hukumnya adalah fardhu kifayah :

Memandikan mayat fardhu kifayah hukumnya (al-Syairazi t.th, 112).

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW :

Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya, bahwa Nabi SAW telah besabda mengenai orang yang jatuh dari kendaraannya lalu meninggal dunia, Lalu Rasulullah bersabda: mandikanlah ia dengan air daun bidara, kafanilah ia dengan dua lapis kain(HR. Muttafaqun’alaihi)(ash-Shan’ani t.th, 191).

(4)

Muhammad bin Isma’il ash-Shan’ani, menjelaskan:

ا

ل

Hadis ini menjadi dalil wajibnya memandikan jenazah (ash-Shan’ani t.th, 191)

Selanjutnya Imam al-Nawawi, menjelaskan:

Imam al-Nawawi berkata : sepakat para ulama bahwa memandikan jenazah hukumnya fardhu kifayah (ash-Shan’ani t.th, 191)

Berdasarkan keterangan di atas jelaslah bahwa hukum memandikan jenazah itu fardu kifayah bagi kaum muslimin yang masih hidup. Sebagaimana dijelaskan Imam al-Nawawi dalam Kiatabnya al-Majmu’:

Dan memandikan mayat itu adalah fardhu kifayah dengan kesepakatan kaum muslimin dan maknanya fardhu kifayah bahwasannya apabila dilakukan dari padanya memandikan jenazah maka kifayah baginya dan terlepas dari orang yang meniggalkannya dan bagi setiap mereka yang tidak mengerjakannya maka berdosa mereka semuanya dan saya mengetahui memandikan mayat dan mengafankan dan menyalatkan dan menguburkan juga fardhu kifayah (al-Nawawi t.th, 113)

Maksudnya adalah apabila ada sebagian dari mereka yang melakukannya maka gugurlah kewajiban tersebut dari yang lain, termasuk juga pada hal mengkafankan, menshalatkan dan menguburkan jenazah hukumnya juga fardhu kifayah. Artinya, jika sebagian orang telah melakukannya maka yang lain sudah terwakili. Ini merujuk kepada perintah

(5)

Rasulullah saw., dan selalu dilaksanakan oleh kaum muslimin (Sabiq 2010, 44).

3. Syarat-syarat memandikan jenazah

Dalam hal memandikan jenazah terdapat beberapa hal pokok yang tidak dapat di tinggalkan, seperti syarat-syarat bagi orang yang memandikan jenazah dan ada juga syarat-syarat bagi jenazah yang akan dimandikan. Adapun syarat-syarat bagi orang yang akan memandikan jenazah tersebut diantaranya adalah :

a. Orang yang memandikan itu adalah orang muslim, baligh dan berakal b. Orang itu berniat memandikan jenazah

c. Orang yang akan memandikan jenazah haruslah orang yang terpercaya atau amanah. Sebagaimana yang dikatakan Imam al-Syairazi :

Hendaklah yang memandikan itu orang yang amanat (terpercaya)(al-Syairazi t.th, 124).

Kemudian orang tersebut mengetahui hukum memandikan jenazah dan tidak meceritakan aibnya kepada orang lain, akan tetapi hendaklah ia merahasiakan apa yang ia liat yang tidak baik dari jenazah tersebut, berdasarkan hadis Nabi SAW sebagai berikut :

Dari Abdullah bin Umar ia berkata, Rasulullah SAW bersabda “hendaklah orang yang memandikan mayat-mayat kamu orang yang amanah (HR. Ibnu Majah)(Majah t.th, 469).

Dari hadis di atas dapat dipahami bahwa orang yang akan memandikan jenazah itu hendaklah mempunyai sifat amanah, tsiqah (dapat dipercaya) maksdunya adalah dapat menyempurnakan pemandian mayat tersebut dan menutup aib serta memaparkan kebaikan mayat yang dilihatnya. Bila ia melihat sesuatu yang ia

(6)

kagumi seperti wajah mayat yang berseri-seri, bau harum badannya dan lain sebagainya, maka ia disunatkan untuk membicarakannya kepada orang lain. Sedangkan apabila ia melihat sesuatu yang tidak ia sukai seperti bau busuk badannya, kerut wajahnya dan lain sebagainya, maka ia tidak boleh membicarakan hal itu. Disunatkan untuk mengeringkan badan mayat setelah dimandikan sehingga tidak membasahi kain kafan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam al-Nawawi dalam kitabnya al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab :

Disunatkan bagi orang yang memandikan mayat, apabila melihat yang baik dari mayat maka ceritakanlah. Dan apabila melihat yang buruk dari mayat maka tidak boleh menceritakannya (An-Nawawi t.th, 186). Hendaklah seseorang dalam melakukannya hanya semata-mata mencari keridhoan Allah SWT, dan tidak mengharapkan balasan apapun dari urusan dunia, hal ini mengingatkan ketetapan Allah yang disyari’atkannya, bahwa ia tidak mau menerima segala peribadatan kecuali yang benar-benar murni yang ditujukan kepadanya(Az-Zuhaili2011, 539). Allah SWT berfirman dalam surah al-Kahfi ayat 110:





Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa apabila seseorang akan mengharapkan atau menginginkan perjumpaan dengan Allah SWT

(7)

maka dia harus mengerjakan amal perbuatan yang shaleh dan dia dilarang mempersekutukan Allah SWT dengan sesuatu dan dengan siapapun.

e. Apabila perempuan yang meninggal ditengah kaum laki-laki yang disana tidak ada mahram dan tidak ada juga suami, maka hendaklah ia ditayamumkan oleh laki-laki yang bukan mahram tadi dari muka dan tangan hingga siku dengan tidak melihat aurat perempuan itu. Jika ada mahramnya, maka ia wajib memandikannya, bila tidak ada suaminya. Bila suaminya ada, maka suami itu didahulukan dari pada laki-laki mahram.

Apabila laki-laki meninggal dunia ditengah kaum wanita yang diantara mereka tidak ada istri dan tidak ada pula mahramnya, maka hendaklah ia ditayamumkan oleh salah seorang dari wanita yang bukan mahram tadi dengan menggunakan lapis yang menghalangi sentuhan dengan cara tidak melihat auratnya. Bila diantara mereka ada istri maka ialah yang wajib memandikannya sekalipun tanpa menggunakan pelapis. Bila tidak ada istri, tetapi diantara mereka ada wanita mahram, seperti anak perempuannya atau saudara perempuannya ataupun ibunya, maka ialah yang lebih utama untuk memandikannnya. Istrinya hendaklah didahulukan dari wanita mahram (al-jaziri 1996, 504). Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah SAW :

Dari Makhul berkata Rasulullah SAW bersabda : jika seseorang wanita meninggal dilingkungan laki-laki hingga tidak ada wanita lain, atau laki yang meninggal dilingkungan wanita sehingga tidak ada laki-laki lain,maka hendaklah wanita itu ditayamumkan lalu dimakamkan, kedua mereka itu sama halnya dengan orang yang tidak mendapatkan air (HR. Al-Baihaqi) (Al-Baihaqi Juz 3 t.th, 398).

(8)

Menurut mazhab Hanbali, orang yang akan memandikan jenazah diisyaratkan sebagi berikut :

1. Islam 2. Niat

3. Berakal, orang yang tidak berakal tidak berhak untuk berniat. Mayoritas ulama tidak mengisyaratkan dua hal ini, yaitu Islam dan niat. Maka tetap sah bila seorang kafir memandikan jenazah seorang muslim dan boleh juga memandikan jenazah tana berniat. Akan tetapi, niat wajib diuacapkan oleh orang yang memandikandengan cara berenang, yaitu menggerak-gerakkan jenazah sebanyak tiga kali di air dengan niat memandikan, karena kita diperintahkan untuk memandikan mayit. Akan tetapi, Hanafi berpendapat niat tidaklah menjadi syarat sahnya thaharah, akan tetapi syarat untuk menggugurkan kewajiban dari orang yang terkena kewajiban (Az-zuhaili 2010, 536).

Adapun syarat-syarat jenazah atau mayat itu wajib untuk dimandikan adalah sebagai berikut :

1. Hendaklah seorang muslim . tidak wajib hukumnya memandikan mayat orang kafir, bahkan diharamkan menurut mayoritas ulama meskipun syafi’i membolehkannya. Kerena, memandikan mayat itu untuk kebersihan, Nabi saw. Sendiri pernah memerintahlkan Ali ra. Untuk memandikan dan mengafani jenazah ayahnya.

2. Hukum keguguran. Hendaklah diketahui hidup. Tidak perlu dishalati, menurut Maliki, bayi yang baru lahir ataupun keguguran (anak kecil meninggal atau belum sepurna bulannya) kecuali jika diketahui kehidupannya dengan menyusui, bergerak, atauberteriak meski hanya sebentar saja, sesuai hadis.

“Anak bayi tidak perlu dishalati, tidak boleh mewarisi, dan tidak boleh mewariskan sampai ia berteriak” (HR. At-Tarmidziy)(Az-Zuhaili 2010, 539).

(9)

Ibnu Majah meriwayatkan dari jabir ra. Hadis Nabi SAW :

“Jika seorang bati yang lahir itu sempat teriak sebelum meninggal, maka ia harus dishalatkan dan mendapatkan warisan”.

Mazhab Hanafi berpendapat anak bayi yang baru lahir tetap dimandikan dan dishalati, serta mewarisi ataupun mewariskan jika ia berteriak. Dengan kata lain, jika terdapat bukti bahwa bayi itu hidup setelah keluar dari rahim ibunya ataupun lebih dari itu. Namun jika tidak berteriak maka hanya perlu dimandikan dan diberi nama menurut Abu Yusuf dan ini lebih sahih. Hal ini dilakukan untuk menghormati anak Adam, dengan kata lain jika bayi itu terlahir dalam keadaan hidup maka ia dihukumi seperti orang dewasa meskipun tidak berteriak.

Syafi’i berpendapat jika muncul tanda-tanda kehidupan seperti bergerak maka harus dimandikan, dan juga dimandikan menurut menurut pendapat yang paling zahir karena dimungkinkan adanya kehidupan dan untuk lebih hati-hati. namun jika tidak tanpak tanda-tanda kehidupan maka tidak perlu dishalati meskipun sudah mencapai empat belas bulan menurut pendapat yang zahir, karena tidak adanya kehidupan. Akan tetapi tetap saja wajib untuk dimandikan, dikafani dan dikuburkan, pada keadaan terakhir. Namun tidak perlu dimandikan jika belum mencapai empat bulan.

Adapun menurut Hanbali jika seorang bayi terlahir dengan keguguran dan berumur lebih dari empat bulan maka harus dimandikan dan dishalati.

Kesimpulannya, para ulama fikih sepakat wajibnya memandikan bayi yang keguguran jika terlahir dalam keadaan hidup dan berteriak, juga dishalatkan. Namun jika tidak ada tanda-tanda kehidupan maka cukup dimandikan, dikafani dan dikuburkan secara mutlak menurut Hanafi, Sedangkan menurut Syafi’i jika telah mencapai umur empat

(10)

bulan, tetapi tidak perlu dishalati. Sedangkan menurut Hanbali tetap dimandikan dan dishalatkan jika terlahir dan berumur lebih dari empat bulan. Dengan demikian Syafi’i dan Hanbali sepakat atas tidak wajibnya memandikan bayi yang belum berumur kurang dari empat bulan

3. Hendaknya ada jasad mayat itu sendiri, ataupun sebagian besar dari jasad mayat menurut Hanafi dan Maliki. Sedangkan menurut Hanafi terdapat sebagian besar ataupun setengah saja termasuk kepala. Jika jasad mayat itu hanya ada sepertiga badan meski termasuk kepala maka memandikannya addalah makruh, menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali berpendapat, jika jasad mayat tidak ada kecuali hanya sebagiannya saja meskipun sedikit maka tetap dimandikan dan dishalati, karena para sahabat melakukannya.

4. Hendaklah bukan mati syahid yang terbunuh dipeperangan untuk menegakkan kalimat Allah. Karena, orang yang mati jelaskan, tidak perlu dimandikan, dikafaniataupun dishalati. Mereka bahkan dikuburkan lengkap dengan baju, sedang sedang senjatanya dicabut menurut mayoritas ulama Abu Hanifah berpendapat, orang yang mati syahid tidak perlu dimandikan, tetapi disalatkan saja (Az-Zuhaili 2010, 541).

4. Orang – orang yang berhak memandikan jenazah

Mayat laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan mayat perempuan dimandikan oleh perempuan juga. Setiap jenis lebih berhak untuk jenisnya menurut kesepakatan ulama. Seadainya pun mayat laki-laki sedang sakaratul maut dan orag yang hadir hanya seorang laki-laki kafir dan seorang msulimah non-muhrim, maka yang berhak memandikan mayat itu adalah lelaki kafir, menurut mayoritas ulama. Adapun wanita non-muhrim lebih berhak memandikan suaminya sendiri (Az-Zuhaili 2010, 534).

(11)

Adapun orang-orang yang paling utama dalam memandikan jenazah adalah sebagai berikut :

a. Orang yang utama untuk memandikan dan mengafani jenazah adalah orang yang diwasiatkan (Karim 2002, 20).

b. Untuk mayat laki-laki yang boleh memandikannya adalah sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab an-Nawawi berikut :

“Jika mayat itu laki-laki tidak ada istrinya maka manusia yang pertama memandikannya adalah Bapaknya kemudian kakeknya kemudian anak lakinya kemudian cucu lakinya kemudian saudara laki-lakinya kemudian anak saudara laki-laki-lakinya kemudian pamannya kemudian anak pamannya. Dikarenakan mereka berhak untuk menyalatkannya maka mereka juga berhak memandikannya dan jika ada istrinya maka istrinya boleh untuk memandikannya jenazah suaminya” (an-Nawawi t.th, 113).

c. Untuk mayat perempuan adalah :

“Jika mati perempuan dan tidak ada suaminya untuk memandikannya, maka yang pertama memandiknnya adalah perempuan dan yang lebih utama orang yang memandikannya familinya (mahramnya) kemudian orang yang bukan familinya kemudian orang lain. Maka jika tidak ada perempuan yang akan memandikannya maka yang akan memandikannya adalah laki-laki terdekat , kemudian orang yang dekat (hubungannya dengan si mayat itu) sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka jika perempuan itu ada suaminya maka suaminya boleh memandikan istrinya”. (an-Nawawi t.th, 115).

Jadi yang memandikan jenazah laki-laki adalah laki-laki dan yang meandikan jenazah perempuan adalah perempuan. Sebagaimana yang

(12)

disebutkan Imam Syarbaini yang terdapat dalam kitab Mughni

al-Muhtaj :

Yang memandikan mayat laki-laki adalah laki-laki dan yang memandikan mayat perempuan adalah perempuan (Syarbaini t.th, 334).

Berdasarkan keterangan diatas dapat dipahami bahwa laki-laki tidak boleh memandikan jenazah wanita, demikian juga sebaliknya. Dengan demikian anak laki-laki tidak boleh memandikan ibunya, begitu juga sebaliknya. Kecuali suami istri, maka bagi keduanya boleh memandikan yang lain. Akan tetapi, jika wanita tersebut telah ditalak sekalipun ditalak raj’i, maka pada saat itu salah satu dari kedua suami istri tersebut tidak boleh memandikan yang lain. Hukum ini disepakati oleh Malikiyah dan Syafi’iyah. Hanabilah berpendapat bahwa wanita yang ditalak raj’i boleh memandikan suaminya sedangkan yang diatalak ba’in tidak boleh.

Sedangkan menurut Hanafiyah, mereka berpendapat bila seorang wanita meninggal dunia maka suami tidak boleh memandikannya, karena hak nikahnya berarti telah berakhir atau putus hubungan nikah. Apabila yang meninggal dunia itu suami maka istri boleh memandikannya, karena ia masih dalam masa iddah, maka ikatan pernikahan itu tetap manjadi haknya sekalipun ia ditalak raj’i sebelum suami meningggal. Sedangkan apabila dia ditalak ba’in (talak tiga), maka ia tidak boleh memandikannya sekalipun dalam masa iddah (Al-Jazairi 1996. 244).

Imam An-Nawawi menyatakan dalam bukunya yang berjudul Raudhatuth Thalibin bahwa, laki-laki hendaknya tidak memandikan mayat perempuan kecuali karena salah satu dari tiga sebab, yaitu :

Pertama,adanya hubungan suami istri. Maka dia diperbolehkan

(13)

perempuan diperbolehkan memandikan suaminya, sekalipun dia menikahi saudaranya atau menikah dengan empat wanita selain dirinya menurut pendapat yang shahih.

Kedua, adanya hubungan mahram. Menurut pendapat Imam

Ghazali secara zhahir, diperbolehkan bagi kaum laki-laki untuk memandikan mayat perempuan mahramnya dengan disertai para perempuan. Akan tetapi saya (an-Nawawi) tidak melihat adanya keterusterangan dari para sahabat kami tentang hal itu, melainkan mereka berbicara tentang urutan. Mereka mengatakan, “laki-laki mahram lebih diutamakan setelah perempuan”.

Ketiga, karena dia adalah hamba sahaya miliknya. Diperbolehkan

bagi tuan untuk memandikan hamba sahaya perempuan miliknya, atau hamba sahaya perempuan yang berada dibawah pengawasannya, atau ibu anaknya dan terikat perjanjian dengannya, karena perjanjian itu terputus dengan kematiannya. Apabila mereka memiliki suami atau sedang menjalani masa iddah, maka tuannya tidak diperbolehkan untuk memandikannya (Ad-Dimasyqi. Yahya 2007, 894).

Apabila jenazahnya laki-laki maka dia dimandikan oleh kerabat terdekatnya sesuai dengan urutannya masing-masing. Apakah hubungan suami istri lebih diutamakan dari kerabat terdekatnya? dalam hal ini ada tiga pendapat menurut pengikut mazhab Syafi’i.

Pertama, menurut pendapat yang Ashah, didahulukan kerabatnya

yang laki-laki, kemudian laki-laki yang bukan mahramnya, kemudian istri, kemudian perempuan-perempuan mahram. Kedua, kerabat laki-laki didahulukan, kemudian istri, kemudian laki-laki-laki-laki yang bukan mahram, kemudian perempuan mahram. Ketiga, istri didahulukan daripada semuanya.

Apabila jenazahnya perempuan, maka didahulukan perempuan dalam memandikannya. Dan yang lebih diutamakan adalah kerabat terdekat permpuan, dan yang lebih utama dari mereka yang masih

(14)

mahram. Apabila ada dua perempuan yang sama tingkatan mahramnya, maka bibi dari pihak ibu dan bibi dari pihak ayah lebih diutamakan. Sedangkan perempuan yang bukan mahram, maka yang diutamakan adalah yang terdekat, kemudian yang lebih dekat. Setelah kerabat perempuan, barulah perempuan yang bukan mahram, kemudian kerabat laki-laki.

Apakah suami didahulukan dari kerabat perempuan? Dalam hal ini ada dua pendapat pengikut mazhab Syafi’i. Menurut pendapat yang pertama yang Ashah dan tertulis, para kerabat perempuan lebih didahulukan daripada suaminya, karena lebih tepat mengurusnya. Kedua, suami didahulukan karena dia diperbolehkan melihat apa yang tidak diperbolehkan bagi mereka. Suami didahulukan daripada kerabat laki-laki menurut pendapat yang Ashah.Semua yang kita dahulukan tadinya diisyaratkan beragama Islam. Apabila dia kafir, maka keberadaannya tidak dianggap. Bahkan laki-laki yang bukan mahram tetapi beragama Islam lebih didahulukan daripada kerabat laki-laki yang kafir, dan juga diisyaratkan dia bukan orang yang membunuhnya (Ad-Dimasyqi. Yahya 2007, 898).

d. Apabila jenazah tersebut adalah jenazah anak laki-laki, maka perempuan boleh memandikannya, dan begitu juga sebaliknya jika jenazah itu anak perempuan maka laki-laki boleh memandikannya. Sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Nawawi :

“Perempuan boleh memandikan anak laki-laki dan laki-laki boleh memandikan anak perempuan”.

Seorang bapak boleh memandikan putrinya yang masih berumur tiga tahun, dan ibu boleh memandikan putranya yang masih berumur tiga tahun, tetapi lebih baik itu dilakukan dalam keadaan darurat saja (Mughniyah1999, 91).

(15)

Apabila Khuntsa Musykil(orang yang memiliki dua alat kelamin) yang meninggal dunia dan tidak ada mahramnya baik laki-laki maupun perempuan, apabila dia masih kecil maka diperbolehkan bagi laki-laki dan perempuan untuk memandikannya. Demikian juga apabila dia masih anak-anak diperbolehkan bagi keduanya untuk memandikannya, sebagaimana juga diperbolehkan untuk melihat dan menyentuhnya.

Apabila Khuntsa Musykil itu sudah dewasa, maka dalam hal ini ada dua pendapat menurut pengikut mazhab Syafi’i, sama seperti masalah mayat yang bukan mahram. pertama ditayamumkan dan dikuburkan, yang kedua dimandikan. Adapun tentang orang yang memandikannya ada beberapa pendapat menurut pengikut Syafi’i. Namun yang Ashah dan juga dikatakan oleh Abu Zaid, “diperbolehkan bagi laki-laki dan perempuan untuk memandikannya karena darurat dan disamakan dengan hukum memandikan Khuntsa Musykil yang masih kecil”.

Kedua, bahwa hak laki-laki seperti perempuan dan hak perempuan

seperti laki-laki, (tidak diperbolehkan untuk dilihat auratnya dengan dimandikan oleh selain mahram), sebagi sikap berhati-hati (Ad-Dimasyqi. Yahya 2007, 896).

Mengenai hal wali mayat, Fuqaha mengatakan bahwa, ”hendaknya memandikan mayat dan menyalatinya dengan izin walinya. Jika ia dimandikan atau dikafani tanpa izin walinya, maka perbuatan itu tidak sah”.

Adapun yang akan menjadi wali mayat menurut Muhammad Jawad Mughniyahdalam bukunya mengatakan, “ wali mayat memiliki tingkatan-tingkatan, yang sebagiannya mesti didahulukan atas yang lain, sesuai dengan ketentuan sebagai berikut ;

1) Suami didahulukan, termasuk atas ayah dan anak 2) Ayah didahulukan atas ibu dan anak laki-laki

(16)

3) Ibu didahulukan, jika tidak ada ayah, atas anak laki dan wali laki-laki

4) Wali laki-laki didahulukan atas wali wanita yang setingkat dengannya. Demikian juga, wali yang baligh didahulukan atas yang belum baligh 5) Anak wanita didahulukan atas cucu laki-laki melalui anak laki-laki,

kakek, dan saudara laki-laki

6) Cucu laki-laki melalui anak laki-laki didahulukan atas kakek 7) Kakek didahulukan atas saudara laki-laki

8) Saudara laki-laki didahulukan atas saudara perempuan

9) Saudara perempuan didahulukan atas anak lelaki dari saudara laki-laki

10) Paman dari pihak ayah didahulukan atas paman dari pihak ibu 11) Paman dari pihak ibu didahulukan atas hakim syar’i

12) Hakim syar’i didahulukan atas orang-orang Islam yang adil

Wali yang belum baligh, gila atau tidak ada ditempat dianggap tidak ada. Orang yang bernasab kepada mayat dari jalur ayah dan ibu sekaligus lebih utama daripada yang bernasab kepadanya dari salah satu jalur saja. Orang yang bernasab kepada mayat dari jalur ayah lebih utama daripada yang bernasab dari jalur ibu.

Jika jumlah wali yang ada dalam satu tingkat lebih dari satu orang maka mereka sama-sama mempunyai hak, karena dalil menunjukkan kepada keseluruhan tanpa membedakan satu dari yang lain. Kebiasaan meminta izin kepada anak laki-laki terta saja, pada dasarnya tidak mempunyai sandaran dalam agama.

Apabila sebelumnya si mati telah berwasiat kepada seseorang untuk mengurusi mayatnya, hal itu tidak menggugurka izin wali, karena keduanya dapat digabungkan, yaitu dengan cara si wali memberi izin kepada orang yang diberi wasiat dan orang itulah yang mengurusi mayat. Dengan demikian, perintah syari’at dan kehendak si mati dapat terlaksana sekaligus (Mughniyah1999, 98 ).

(17)

Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa orang-orang yang berhak memandikan jenazah adalah sebagai berikut :

1) Yang paling utama adalah orang yang diwasiatkan

2) Jenazah laki-laki dimandikan oleh laki-laki dan Jenazah perempuan dimandikan oleh perempuan

3) Suami istri boleh saling memandikan satu sama lain jika masih dalam hubungan suami istri (tidak dalam masa iddah talak raj’i) 4) Apabila jenazah tersebut adalah jenazah anak laki-laki, maka

perempuan boleh memandikannya, dan begitu juga sebaliknya 5) Apabila Khuntsa Musykil(orang yang memiliki dua alat kelamin)

yang meninggal dunia dan tidak ada mahramnya baik laki-laki maupun perempuan, apabila dia masih kecil maka diperbolehkan bagi laki-laki dan perempuan untuk memandikannya

6) Jika mayat tersebut mempunyai wali maka hendaklah meminta izin walinya izin walinya.

5. Tata cara memandikan jenazah

Sebelum kita memandikan mayat telebih dahulu kita harus memperhatikan Keadaan mayat yang akan dimandikan.Hal yang lebih utama itu bila mayat diletakkan ditempat yang kosong dari orang-orang dan ditutupi oleh papan.Lebih baik juga bila berada dibawah atap agar lebih tertutupi. Jika mayat itu putus kepalanya ataupun angota angota badannya ada yang terpotong maka harus dijahid atau diikat satu sama lain dengan tali pengikat dan tanah panas sehingga tidak terlihat goresannya. Kemudian, jika ada sesuatu yang terjatuh dari mayat seperti gigi maka harus dimandikan dan ditaruh bersama mayat didalam kafannya.

Hal yang dianjurkan bila seorang yang memandikan itu duduk dengan baik dan tenang dan agak condong kebelakang.Ia meletakakan bagian kanannya diatas pundak mayat, sedang ibu jarinya berada dicekung kedua pelipis mayat dengan menyandarkan punggungnya kelutut kanan

(18)

mayat. Selanjutnya mayat dengan agak keras agar keluar apa yang ada didalam perut mayat. Setiap kali tangan menekan keras perut maka air disiram dengan banyak sampai tidak muncul bau yang dapat keluar darinya.Setelah itu, menelungkupkan mayat.

Wajib menutupi aurat mayat yang sedang dimandikan, kecuali mayat yang berumur kurang dari tujuh tahun maka tidak mengapa ketika memandikannya tanpa memakai penutup apapun, seperti yang disebutkan oleh hanbali.Sedangkan menurut mayoritas ulama, tidak memakai penutup apapun yang dianjurkan saja hukumnya karena lebih mudah dalam memandikannya dan lebih memnbersihkannya.Pada saat itu, memandikan orang yang masih hidup.Juga , lebih dapat karena mungkin saja keluar benda najis darinya.

Seandainya memandikan mayat yang berumur kurang dari tujuh tahun dengan mengenakan baju ringan dan luas lengan bajunya maka tetap boleh. Syafi’i mengatakan, tidak sampai membutnya tidak mengenakan apapun, hanya saja memandikannya dengan tetap mengenakan baju itu lebih dianjurkan karena lebih dapat menutupinya. Nabi saw, sendiri dimandikan dengan tetap mengenakan baju (Az-Zuhaili 2010, 538).

Baju itu hendaknya yang sudah usang atau tipis. Kemudian apabila baju itu lebar, hendaknya tangannya dimasukkan ke dalam lengan bajunya dan memandikannya dari bawahnya. Apabila baju itu sempit, maka kerah baju itu dirobek lalu tangannya dimasukkan ke dalam lengan lengan bajunya. Apabila bukan baju, atau tidak dapat dimandikan dengan baju itu, maka perlu ditutupi antara pusar dan paha, diharamkan untuk dilihat.

Makhruh bagi orang yang memandikan untuk melihat sesuatu yang ada pada badannya kecuali diperlukan seperti ingin mengetahui tempat yang dimandikan. Sedangkan orang yang membantunya, hendaknya tidak melihat kecuali karena darurat. Hendaknya disediakan air yang dingin

(19)

dalam sebuah bejana yang besar untuk memandikannya, dan ini lebih baik dari pada air yang hangat, kecuali apabila diperlukan air hangat dikarenakan keadaan cuaca yang sangat dingin atau karena kotor. Bejana tempat airnya hendaknya agak dijauhkan dari mayat yang dimandikan sehingga air yang ada di dalamnya tidak terkena percikannya ketika memandikan (Ad-Dimasyqi, Yahya 2007, 889)

Sayyid Sabiq juga mengatakan, adapun yang wajib dilakukan ketika memandikan jenazah adalah mengalirkan air ke seluruh tubuhnya, satu kali, walaupun jeanazah tersebut sedang junub atau haid. Sunahnya, jenazah diletakkan ditempat yang agak tinggi, pakaiannya dilepas dan diganti dengan sesuatu yang menutupi auratnya, jika mayatnya sudah baligh. Orang-orang yang hadir dalam proses pemandian hanya orang-orang yang diperlukan, dan hendaklah memandikan itu orang-orang yang jujur, shalih, dan dapat dipercaya agar bisa menutupi sisi buruknya dan menceritakan sisi baiknya saja (Sabiq 2008, 48).

Proses selanjutnya adalah memandikan dengan air dan sabun atau air yang jernih (tanpa sabun) sebanyak tiga kali. Tubuh yang pertama kali dimandikan adalah bagian kanan. Jika ingin memandikannya lebih dari tiga kali setelah tubuhnya bersih karena suatu alasan atau tanpa suatu alasan, orang yang memandikan boleh melakukannya sebanyak lima atau tujuh kali.

Ibnu Mundzir mengatakan, “sesungguhnya bilangan memandikan diserahkan kepada orang yang memandikan dengan syarat yang telah disebutkan dalam hadits, yaitu ganjil” (Sabiq 2008, 55).

Jika mayat yang dimandikan adalah mayat perempuan, maka disunatkan untuk mengurai jalinan rambutnya kemudian dibasuh dan kembali dibuat jalinan dan diletakkan dibagian belakang. Ummu Athiyah meriwayatkan bahwa kaum perempuan membuat rambut putri Rasulullah saw. yang meninggal menjadi tiga jalinan, seperti yang disebutkan dalam Hadis Al-Lu’lu’ Wal Marjan :

(20)

“Um Athiyah Al-Anshariyah r.a. berkata: Rasulullah saw. masuk ketika kami sedang memandikan putrinya, maka bersabda: Mandikan dia tiga atau lima kali atau lebih bila perlu, dengan air dan daun bidara dan yang terakhir dengan kapur barus, jika telah selesai beritakan kepadaku. Maka ketika telah selesai kami beritakan kepadanya, maka beliau memberikan kainnya kepada kami sambil bersabda: Sarungkan kepadanya. (Bukhari, Muslim).”

Ayyub yang meriwayatkan hadits ini berkata: Hafsah menceritakan kepadaku seperti hadits Muhammad ini, tetapi dalam riwayat Hafsah ada keterangan: Mandikanlah ia witir (ganjil) tiga, lima atau tujuh, juga: Dahulukan bagian kanannya dan tempat-tempat wudhu' (anggota wudhu') daripadanya. Juga Um Athiyah berkata: Lalu kami sisir dan menggulung rambutnya tiga sanggul. (Bukhari, Muslim hadis no. 545).

Setelah selesai dimandikan tubuh mayat dikeringkan dengan kain yang bersih agar tidak membasahi kafan yang akan membungkusnya, setelah itu diberi wewangian. Abu Wa’il berkata, “Ali ra. memiliki minyak misik. Ia berwasiat agar setelah ia meningggal jasadnya dilabur dengan minyak ini. Ia berkata, “ini adalah minyak yang dilaburkan di jenazah Rasulullah saw.”

Hikmah memberi kapur barus seperti yang telah disebutkan oleh para ulama adalah karena baunya yang wangi. Dan hal itu cocok untuk para malaikat yang memang pada sa’at-sa’at itu menghadiri mayat. Kapur barus juga berfungsi untuk mengeraskan tubuh mayat, mendinginkan dan

(21)

menguatkan tubuh, mengusir serangga dan memperlambat pembusukan. Jika tidak ada kapur barus, maka dapat digantu dengan materi lainnya yang memiliki semua atau sebagian fungsi-fungsi seperti kapur barus (Sabiq 2008, 56).

Referensi

Dokumen terkait

Setiap orang, pelaku usaha, pengelola, penyelenggara dan/atau penanggung jawab tempat/kegiatan dan fasilitas umum yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada angka 11

Persoalan cabai merah sebagai komoditas sayuran yang mudah rusak, dicirikan oleh produksinya yang fluktuatif, sementara konsumsinya relatif stabil. Kondisi ini menyebabkan

3) dilaporkan dalam neraca dengan klasifikasi (classification) akun yang tepat dan periode akuntansi yang sesuai dengan terjadinya transaksi (cutoff). Bagian flowchart yang

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik dadih susu sapi yang menggunakan formula starter bakteri asam laktat probiotik selama penyimpanan pada suhu ruang

Program Kampung Iklim (ProKlim) adalah program berlingkup nasional yang dikelola oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam rangka meningkatkan

Salah satu alasannya adalah eksternalitas dan free ridding – kekuatan pasar tidak bias memberikan perusahaan full social benefits terhadap keputusan produksi informasi

Mengenai hal tersebut, Lembaga Amil Zakat PKPU menyalurkan dana zakat melalui salah satu program yaitu Program Sinergitas Pemberdayaan Ekonomi Komunitas, program ini

Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang selanjutnya disingkat KLHS adalah proses mengintegrasikan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup dalam