• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA. (Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA. (Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng."

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

(Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Masrura 00001001111111

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(2)

i

(Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

Masrura As’ad 00001001111111

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1441 H/2020 M

(3)
(4)
(5)
(6)

v ABSTRAK

MASRURA AS‟AD. NIM 1115043000090. PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA (ANALISIS PUTUSAN NOMOR

557/Pdt. G/2018/PA. Tng.

).

Program Studi Perbandingan Madzhab, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.

Studi ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Madzhab Syâfi‟î dan Undang- undang Perkawinan di Indonesia (UU no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI) terhadap putusan nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. tentang perceraian karena HIV/AIDS. Secara umum didalam fikih dijelaskan bahwa cacat tubuh seperti gila, kusta (al-baras), lepra (al-judzâm) dapat dijadikan alasan perceraian. Didalam pasal 116 (e) KHI juga dijelaskan bahwa cacat badan atau penyakit yang dapat dijadikan alasan perceraian adalah yang mengakibatkan “tidak dapat menjalankan kewajiban suami/istri”. Namun tidak ditemukan pernyataan tegas terkait status perceraian karena HIV/AIDS.

Jenis penelitian dalam skripsi ini adalah penelitian Hukum Normatif yang mengutamakan pendekatan kualitatif, berdasarkan pada bahan kepustakan yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sebagaimana penelitian ini juga menggunakan pendekatan undang-undang dan pendekatan komparatif. Studi pustaka dalam penelitian ini dilakukan guna mengeksplorasi teori-teori tentang konsep dan pemahaman yang terkait dengan tema penelitian penulis yaitu Perceraian Karena HIV/AIDS.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa menurut Madzhab Syâfi‟î virus HIV/AIDS membolehkan adanya khiyar fasakh pernikahan, dengan berdalilkan qiyâs terhadap penyakit judzâm (lepra) dan baras (kusta). Sedangkan menurut UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), bahwa alasan-alasan perceraian yang tergolong klasifikasi „aib seperti HIV/AIDS, dalam konteks keindonesian penerapannya dilakukan dengan aktifasi talak bâ‟in sughrâ.

Terkait putusan no. 557/Pdt. G/2018/PA. Tng., menurut Madzhab Syâfi‟î, adanya HIV/AIDS pada tergugat (suami) telah memenuhi kriteria untuk dijadikan alasan perceraian dan pertimbangan hukum dengan putusan fasakh nikah. Sementara itu, analisis undang-undang perkawinan di Indonesia menunjukkan bahwa penjatuhan talak satu bâ‟in sughrâ sudah benar, sebab dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim melihat bahwa yang menjadi pemicu perceraian adalah pertengkaran terus menerus daripada alasan HIV/AIDS, berdasarkan pada ketentuan Pasal 39 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Pasal 116 huruf (f) Kompilasi Hukum Islam.

Kata kunci : Perceraian, HIV/AIDS, Putusan, Fikih dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia.

Pembimbing : 1. Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag.

2. Ummu Hanah Yusuf Saumin, M.A.

Daftar Pustaka : 1974 s.d. 2019.

(7)

vi

PEDOMAN TRANSLITERASI

Yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih penggunaannya terbatas.

A. Padanan Aksara

Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara Latin:

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

ا

Tidak Dilambangkan

ب

B Be

ث

T Te

ر

Ts Te Dan Es

ج

J Je

ح

H Ha Dengan Garis Bawah

ر

Kh Ka Dan Ha

د

D De

ذ

Dz De Dan Zet

ز

R Er

ش

Z Zet

ض

S Es

غ

Sy Es Dan Ye

ص

S Es Dengan Garis Bawah

(8)

vii

ض

D De Dengan Garis Bawah

غ

T Te Dengan Garis Bawah

ظ

Z Zet Dengan Garis Bawah

ع

Koma Terbalik Di Atas Hadap Kanan

ؽ

Gh Ge Dan Ha

ف

F Ef

ق

Q Qo

ن

K Ka

ٌ

L El

م

M Em

ن

N En

و

W We

ـه

H Ha

ء

` Apostrop

ي

Y Ya

B. Vokal

Dalam bahasa Arab, vokal sama seperti dalam bahasa Indonesia, memiliki vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal tunggal atau monoftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ــَــــــ

ــــ A Fathah

ــِــــــ

ــــ I Kasrah

ــُــــــ

ــــ U Dammah

(9)

viii

Sementara itu, untuk vokal rangkap atau diftong, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan ــَــــــ

ي

ــــ Ai a dan i

ــَــــــ

و

ــــ Au a dan u

C. Vokal Panjang

Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ــــــــــ َ ــــــــــــــــــ

ـا

 a dengan topi di atas

ـــــــِـــــــــــــــــــــ

يـــ

Î i dengan topi di atas

ــــــــ ُ ــــــــــــــــــــ

ىـ

Û u dengan topi di atas

D. Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan huruf alim dan lam ( لا ), dialihaksarakan menjadi huruf “l” (el), baik diikuti huruf syamsiyyah atau huruf qamariyyah. Misalnya:

داهتحالا

= al-ijtihâd

تصزسلا = al-rukhsah, bukan ar-rukhsah.

(10)

ix E. Tasydîd (Syaddah)

Dalam alih aksara, syaddah atau tasydîd dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya:

تػفؼلا

= al-syuf„ah, tidak ditulis asy-syuf„ah.

F. Ta‟ Marbûtah

Jika ta marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1) atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialih aksarakan menjadi huruf “t” (te) (lihat contoh 3).

No Kata Arab Alih Aksara

1

تػَسػ

syarî „ah

2

تُملاطالإ تػَسؼلا

al- syarî „ah al-islâmiyyah

3

بهار لما تهزالم

Muqâranat al-madzâhib

G. Huruf Kapital

Walau dalam tulisan Arab tidak dikenal adanya huruf kapital, namun dalam transliterasi, huruf kapital ini tetap digunakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). Perlu diperhatikan bahwa jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka huruf yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan huruf awal kata sandangnya. Misalnya,

يزاسبلا

= al-

Bukhârî, tidak ditulis Al-bukhârî.

(11)

x

Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal. Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kata nama tersebut berasal dari bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn al-Rânîrî.

H. Cara Penulisan Kata

Setiap kata, baik kata kerja (fi‟l), kata benda (ism) atau huruf (harf), ditulis secara terpisah. Berikut adalah beberapa contoh alih aksara dengan berpedoman pada ketentuan-ketentuan di atas:

No Kata Arab Alih Aksara

1

ثازىظحلما ذُبج ةزوسظلا

al-darûrah tubîhu al-mahzûrât

2

يملاطالإ داصخكالا

al-iqtisâd al-islâmî

3

هلفلا ٌىصأ

usûl al-fiqh

4

تخابالإ ءاُػالأ يف لصالأ

al-„asl fi al-asyyâ‟ al-ibâhah

5

تلطسلما تحلصلما

al-maslahah al-mursalah

(12)

xi

KATA PENGANTAR

Puji dan rasa syukur yang mendalam penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA (Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.)” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Perbandingan Madzhab Jurusan Perbandingan Madzhab Fikih Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini tentunya tidak dapat terselesaikan tanpa hadirnya Allah SWT serta dukungan dari orangtua, saudara, suami, serta pihak-pihak yang terkait dalam memberikan dukungan. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

َ ل : ٌَا َك َمهل َط َو ِهُْ َلَغ ُالله ىهلَص ِّيِبهىلا ًَِغ ُهْىَغ ُ هاللَّ َي ِ ضَز َةَسٍَْسُه يِبَأ ًَْغ ٌَ

ْؼ ِس ُى َالله َم

َ ًْ

ل ٌَ

ْؼ ِس ُى هىلا َضا .

1

Artinya: “dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah SAW bersabda: Orang yang tidak berterima kasih kepada sesama manusia, ia tak kenal bersyukur kepada Allah”, (H.R. Bukhari). Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, SH., MH., MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum serta para Pembantu Dekan Fakultas Syariah dab Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Ibu Siti Hanna, Lc., M.A., Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Bapak Hidayatulloh, M.H., sebagai Sekretaris Program Studi Perbandingan Mazhab.

3. Bapak Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si., Dosen Penasehat Akademik Penulis.

1 Muhammad bin Ismâ‟il al-Bukhâri, al-Adab al-Mufrad (Riyâd: Maktabat al-Ma‟ârif 1998), nomor hadits: 218, h., 114.

(13)

xii

4. Bapak Dr. Umar Al-Haddad, M.Ag., dan Ibu Ummu Hanah Yusuf Saumin, M.A., dosen pembimbing yang telah memberikan arahan dan masukan kepada penulis, sehingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Pimpinan dan seluruh karyawan perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

7. Kedua orang tua tercinta yaitu bapak As‟ad Idris Akuba dan Ibu Sakinah M. Naser, yang telah membantu, mendukung, dan melimpahkan kasih sayang kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Suami tercinta, yang selalu sabar dan setia menemani serta memberikan ilmu dan dukungannya selama proses kuliah, juga selama proses penyusunan skripsi ini sampai selesai.

9. Keluarga besar PMH angkatan 2015 terima kasih atas suasana, ilmu, dan pengalaman baru yang saya dapatkan.

10. Semua pihak yang turut membantu dan mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Akhirul kalam, semoga segala kebaikan yang telah mereka berikan kepada penulis mendapatkan balasan pahala dari Allah SWT. Disadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, sehingga kritik dan saran dari semua pihak sangat diharapkan. Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak terutama bagi penulis sendiri âmîn yâ rabbal „âlamîn.

Jakarta, 14 Mei 2020

Penulis

(14)

xiii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……….………i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ………..………...……….…….………...ii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI... iii

LEMBAR PERNYATAAN ... iv

ABSTRAK……… ... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ... vi

KATA PENGANTAR ... xi

DAFTAR ISI….. ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 8

C. Pembatasan Masalah ... 8

D. Rumusan Permasalahan ... 9

E. Tujuan Penulisan ... 9

F. Manfaat Penulisan ... 9

G. Tinjauan Studi Terdahulu ... 10

H. Metodologi Penelitian ... 12

I. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II TINJAUAN UMUM ... 16

A. Pernikahan….. ... 16

1. Pengertian Pernikahan ... 16

2. Dasar Hukum Pernikahan ... 18

3. Tujuan Pernikahan ... 22

4. Hak dan Kewajiban Suami Istri ... 26

B. Perceraian ... 30

1. Pengertian dan Bentuk-Bentuk Perceraian ... 30

2. Alasan-Alasan Perceraian ... 36

3. Hukum Perceraian dan Dasar Hukumnya ... 43

(15)

xiv

C. HIV dan AIDS ... 47

1. Pengertian HIV/AIDS dan Gejala-Gejalanya ... 47

2. Cara Penularan Virus HIV dan AIDS ... 48

3. Upaya Pencegahan dan Penularan HIV/AIDS ... 50

BAB III PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS MENURUT MADZHAB SYAFI‟I DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA…...54

A. Perceraian Karena HIV/AIDS Menurut Madzhab Syâfi‟î ... 54

1. Kedudukan Aib Nikah Didalam Madzhab Syâfi‟î ... 54

2. Dasar dan „Illat Hukum Fasakh Nikah Karena Aib ... 59

3. Hukum Perceraian Karena HIV/AIDS Menurut Madzhab Syafi‟i ... 63

B. Perceraian Karena HIV/AIDS Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 67

1. Kriteria Cacat Badan Sebagai Alasan Perceraian Didalam UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI ………67

2. Hukum Perceraian Karena HIV/AIDS Menurut UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan KHI ... 69

BAB IV ANALISIS MADZHAB SYAFI‟I DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA TERHADAP PUTUSAN NOMOR 557/PDT. G/2018/PA. TNG……… ... …….73

A. Ringkasan Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. ... 73

1. Duduk Perkara (Posita) ... 73

2. Permohonan (Petitum) ... 74

3. Pertimbangan Hukum ... 74

4. Amar Putusan ... 77

B. Analisis Madzhab Syâfi‟î dan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia Terhadap Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. ... 78

1. Analisis Pertimbangan Hukum ... 78

2. Analisis Putusan “talak (satu) bâ‟in sughrâ” ... 81

(16)

xv

BAB V PENUTUP ... 85

A. Simpulan ... 85

B. Saran dan Rekomendasi ... 86

DAFTAR PUSTAKA ... 87

LAMPIRAN…… ... 94

(17)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di dalam fikih terdapat pembahasan mengenai solusi hubungan antara laki-laki dan perempuan, yaitu dengan cara melakukan pernikahan untuk menghalalkan hubungan yang awalnya diharamkan. Dalam mendefinisikan “pernikahan” para ahli fikih berbeda-beda didalam redaksinya, diantaranya adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Khatîb al-Syirbînî (w. 977 H), bahwa pernikahan ialah suatu akad yang mengandung ketentuan hukum kebolehan wati‟ (berhubungan seksual) dengan menggunakan lafaz “nikah” atau “kawin” atau dengan kata-kata yang semakna dengan keduanya1. Definisi yang sama di ungkapkan oleh Wahbah al-Zuhailî (w. 1436 H), yaitu perkawinan adalah "Akad yang telah di tetapkan oleh syar'i agar seorang laki-laki dapat mengambil manfaat untuk melakukan istimtâ' dengan seorang wanita atau sebaliknya"2.

Dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 2 disebutkan sebagai berikut: “Pernikahan adalah akad yang sangat kuat atau Mitsaqan Ghalidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah”3. Lebih luas lagi pengertian yang terdapat di dalam Pasal 1 UU No. 1 tahun 1974 sebagai berikut: “Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha Esa”4.

1 . Lihat: Syamsuddîn Muhammad bin Ahmad al-Khatîb al-Syirbînî, Mughnî al-Muhtâj, (Bairut:

Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1415/1994), cet-1, juz 4, h., 200.

2 . Wahbah al-Zuhailî, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhû, (Damaskus: Dâr al-Fikr, tt), Jilid VII, h., 23.

3 . Team Media, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, (t.t., Grahamedia Press, 2019), h., 335.

4 . Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Republik Indonesia,

“Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan”, (Jakarta, 2015), h., 22.

(18)

Dari berbagai pengertian diatas, meskipun redaksinya berbeda akan tetapi ada kesamaannya. Karena itu dapat disimpulkan pernikahan ialah suatu akad atau perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhai Allah SWT, sebagaimana Firman Allah SWT dalam surat al-Rûm [30] ayat 21 yang artinya: “dan diantara kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikannya dianataramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda bagi kaum yang berpikir”.

Anjuran untuk menikah datang langsung dari Rasulullah SAW, bahwa beliau memerintahkan para pemuda yang telah mampu dari segi fisik dan ekonomi untuk bersegera menikah. Hal ini bisa dilihat dalam sabda beliau, yang artinya: “Hai generasi muda, barang siapa diantara kamu telah memiliki kemampuan (secara fisik dan harta), hendaknya ia menikah, karena hal itu dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Dan barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia dapat meredam (syahwat)”5.

Pada dasarnya, Syariat Islam mulai dari ibadah, mu‟âmalât, jinâyât, munâkahât sampai qadâ‟ (ketatanegaraan) adalah bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia baik sebagai makhluk individual, maupun makhluk sosial dalam hubungannya dengan Allah, antara sesama manusia (lingkungan sosial) dan alam, yang muara akhirnya adalah sa‟âdat al-dârain (kebahagiaan dunia dan akhirat). Sebagaimana dikemukakan oleh Abû Ishâq al-Syâtibî (w. 790 H) bahwa tujuan pokok disyari‟atkan hukum Islam adalah untuk kemaslahatan manusia baik di dunia maupun di akherat6.

5 . Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah (Bairut: Dâr al-Kitâb al-„Arabî, 1977), cet. 3, juz 2, h. 16.

6 . Abû Ishâq al-Syâtibî, al-Muwâfaqât, (Bairut: Dâr al-Ma‟rifah, 1997), jilid 1-2, h. 324;

Alauddin Koto, Ilmu Fiqih dan Ushul Fiqih, (Jakarta: Rajawali Press, 2006), h. 121.

(19)

Salah satu aspek penting dari pernikahan adalah pemenuhan hasrat seksual.

Dalam sudut pandang Islam, pernikahan dapat mengontrol nafsu seksual dan menyalurkannya di tempat yang benar7. Disamping itu, pernikahan memiliki fungsi sebagai sebuah langkah preventif (mâni‟) bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan, seperti diketahui, manusia dari kenyataan tabi‟at dan nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormatan dan kemuliaannya8.

Pada intinya, Islam memandang bahwa pernikahan harus membawa maslahat, baik bagi suami istri, maupun masyarakat. Sedemikian bermanfaatnya pernikahan sampai-sampai nilai kebaikan (maslahah) yang dihasilkan olehnya lebih besar daripada keburukan-keburukan (mâdârat). Dilihat dari titik pandang kolektif manfaat yang paling berarti tentu saja adalah meneruskan keturunan, tetapi ini bukan hanya sekedar pengabaian anak secara fisik saja. Lebih dari itu, lembaga pernikahan menjamin agar manfaat penerusan keturunan tersebut akan dapat menjadi suci dan tertib, tidak vulgar dan semrawut9.

Dari sini kita ketahui bahwa Islam sangat menjaga kehormatan manusia, sebab dengan disyari‟atkannya pernikahan, hawa nafsu dan naluri seks dapat disalurkan secara sah, dan implikasinya adalah masyarakat akan menjadi tertib dengan lahirnya zuriat-zuriat yang sah melalui hubungan yang sah dan suci. Sebagaimana Allah swt.

telah memerintahkan umat manusia untuk saling memelihara diri mereka dan anggota keluarga mereka melalui didikan agama yang kukuh (perintah dan dorongan berbuat baik serta larangan untuk bermaksiat kepada Allah SWT)10, agar terhindar dari Neraka Jahanam. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat al-Tahrîm [66] ayat 6 yang

7 . Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan: Perspektif Islam atas Kesetaraan Jender, alih bahasa Anni Hidayatun Noor dkk., (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2002), cet. 1, h.105.

8 . Abû al-„Ainain Badran, Ahkâm al-Zawâj wa al-Talâq fî al-Islâm, (Kairo: Dâr al-Ta‟lif, 2002), h. 20-21.

9 . Haifaa A. Jawad, Otentisitas Hak-hak Perempuan, h. 105.

10 . Lihat: Ismâ‟il bin Umar al-Quraisyî bin Katsîr, Tafsir al-Quran al-Karim, (Bairut: Dâr al- Kutub al-„Ilmiyah, 1419), jilid 8, h.188-189.

(20)

artinya: “Hai orang-orang yang beriman peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari api neraka”.

Namun, fakta yang ada menunjukkan bahwa kehidupan rumah tangga tidak selalu harmonis dan tanpa konflik. Dalam menjalaninya suami istri tidak akan luput dari masalah, bahkan tidak sedikit masalah yang terjadi dalam hubungan suami istri yang berakibat pada perceraian dengan berbagai macam bentuk perceraian, diantaranya dengan bentuk talak11, khulu‟12,dan fasakh13.

Banyak hal yang dapat menjadi pemicu retaknya pernikahan, semuanya bersifat kondisional dan kembali kepada sikap dan keadaan masing-masing pasangan suami istri. Seirama dengan perubahan zaman, fenomena rumah tanggapun semakin berkembang dan beberapa permasalahan baru bermunculan, seperti terjadi pada kasus- kasus yang baru, diantaranya adalah kasus perceraian yang disebabkan oleh salah satu dari suami atau istri mengidap penyakit AIDS.

AIDS atau Acquired Immujiuno Deficiency Syndrome adalah kumpulan dari berbagai gejala dan penyakit yang disebabkan rusaknya sistem kekebalan tubuh karena infeksi human immunodeficiency virus (HIV)14. Dengan hilangnya sistem kekebalan tubuh penyakit-penyakit lain akan mudah timbul dan menjadi susah atau tidak dapat disembuhkan, karena semua injeksi obat-obatan menjadi tidak berarti, sementara AIDS itu sendiri sampai sekarang belum ditemukan obatnya. Oleh karena itu pada batas tertentu umumnya AIDS akan merenggut nyawa penderitanya. Pada tahun 2008,

11 . Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak lagi halal bagi suaminya. Lihat: Dr. H. Abd. Rahman Ghazali, M.A., Fiqih Munâkahât.

(Jakarta: Kencana, 2006), h. 192.

12. Khulu‟ ialah terjadinya perpisahan (perceraian) antara sepasang suami-istri dengan keridhaan dari keduanya dan dengan pembayaran diserahkan istri kepada suaminya. Lihat: Mustafâ al-Khin Dkk., al-Fiqh al-Manhajî (Damaskus: Dâr al-Qalam, 199 ), cet. IV, jilid 4, h. 127.

13 . Fasakh adalah membatalkan dan melepaskan ikatan pertalian antara suami-istri. Lihat:

Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, h., 314.

14 . Muhammad Husein, Fiqh HIV dan AIDS, Pedulikah kita?, (Jakarta: PKBI, 2010), h., 9.

(21)

peningkatan kasus baru HIV di Indonesia merupakan yang tercepat di Asia, dilaporkan oleh seluruh provinsi dan sekitar 200 kabupaten atau kota15.

Beberapa fakta membuktikan bahwa virus HIV/AIDS merupakan salah satu pemicu adanya ketidakharmonisan rumah tangga yang berlanjut pada gugatan perceraian dari pihak suami maupun istri. Apabila salah satu pihak mengajukan permohonan perceraian karena pasangannya terbukti mengidap penyakit HIV/AIDS setelah perkawinan, seringkali Pengadilan Agama memutus dengan talak bâ‟in sughrâ16.

Salah satu kasusnya adalah berdasarkan Putusan Perkara Nomor 557/Pdt.

G/2018/PA. Tng. Pengadilan Agama Tangerang, berawal dari adanya perkawinan antara Y binti YYY sebagai Penggugat dengan X bin XXX sebagai Tergugat, keduanya telah menikah sah secara Islam, tetapi ketika perkawinan sudah berlangsung kira-kira satu bulan, kehidupan rumah tangga keduanya mulai tidak harmonis dengan adanya perselisihan antara keduanya yang terus menerus dalam rumah tangga yang sulit untuk dirukunkan lagi, dan diketahui bahwa penyebab perselisihan dan pertengkaran tersebut adalah karena tergugat menderita penyakit HIV/AIDS dan seorang gay (homo)17.

Dalam kondisi semacam itu, dimana salah satu pihak dari pasangan suami-istri mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai suami istri, sehingga menghalangi tujuan perkawinan itu sendiri, atau tidak bisa memiliki anak, maka secara logika akal sehat seorang istri dibolehkan untuk melakukan gugatan perceraian. Namun, dalam menetapkan suatu hukum, tidak

15. Samsuridjal Djauzi, Situasi HIV/AIDS di Indonesia dalam Prosiding Kuliah Umum, Kesehatan Perempuan dan Perlindungan Sosial pada Pasien HIV dan AIDS, (Jakarta: SANDAR, 2011), h.,7-8.

16 . Definisi Talak Bâ‟in Sughrâ sebagaimana disebutkan didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 119 adalah: talak yang tidak boleh dirujuk, tetapi boleh akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun dalam Iddah. Lihat: Team Media, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h., 366.

17. Lihat: Mahkamah Agung Republik Indonesia, “Putusan Nomor: 557/Pdt.G/2018/PA.Tng.”, h., 1-2.

(22)

dibenarkan jika hanya berlandaskan pada logika, melainkan harus berlandaskan pada dalil-dalil yang autentik.

Para pakar hukum islam telah membahas secara khusus didalam buku-buku fikih mereka terkait beberapa hal yang dapat menjadi sebab putusnya pernikahan, yaitu manakala pasangannya terbukti memiliki aib atau cacat tubuh. Diantara cacat tubuh yang membolehkan adanya perceraian tersebut adalah: gila, kusta (al-baras), lepra (al- judzâm), belang, kemaluan terpotong, imponten, dikebiri, vagina tersumbat daging, faraj tersumbat tulang, vagina bau busuk, vagina menyatu yaitu menyatunya kedua saluran pembuangan (kencing dan kotoran)18.

Beberapa ahli fikih berpendapat bahwa penyakit-penyakit tersebut adalah termasuk aib-aib yang memperbolehkan bagi suami istri untuk menuntut cerai19. Adanya hukum tersebut setidaknya karena dua sebab: pertama, karena dapat menjadikan orang lain menghindar (tanfîr) karena membahayakan (al-darar), atau merasa risih, sehingga mengganggu eksistensi manusia sebagai makhluk sosial.

Kedua, dapat menghalangi pemenuhan kebutuhan biologis yang menjadi tujuan utama (al-maqâsid al-a‟zam) dari perkawinan itu sendiri yaitu jima‟ (istimtâ‟) atau hubungan seksual. Ini berarti mengurangi fitrah manusia sebagai mahluk individu yang membutuhkan kepuasan seks20.

Menurut ilmu medis, AIDS merupakan salah satu penyakit menular. Diantara media penularanya melalui cairan-cairan tubuh yang aktif (transfusi darah, sperma atau hubungan seksual)21. Berdasarkan analisa medis pula, hubungan seks dengan

18. Lihat: Syamsuddîn Muhammad bin al-Khatîb al-Syirbînî, Mughnî al-Muhtâj, juz 4, h.339- 340.

19 . Lihat: Muhammad bin Abdillâh al-Kharsyî, Syarh Mukhtasar Khalîl, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.t.), jilid 3, h.243-244; Sulaimân al-Jamal, Hâsyiyah Syarh al-Manhaj, (Bairut: Dâr al-Fikr, t.th.), jilid 4, h. 212; Mûsâ al-Hijâwî, Zâd al-Mustaqni‟ fî Ikhtisâr al-Muqni‟, (Bairut: Dâr al-Kutub Al-„Ilmiyyah, 1994), cet. I, h., 76.

20 . Lihat: Abû Bakar al-Hisnî, Kifâyat a1-Akhyâr, (Damaskus: Dâr al-Khair, 1994), cet.I, jilid 1, h., 366.

21 . Lihat: Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan R.I. Jakarta 2006, “Situasi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 1987-2006”, h., 4.

(23)

penderita AIDS sangat berbahaya karena dapat terinfeksi virus HIV (AIDS) yang sewaktu-waktu dapat merenggut jiwa22. Padahal dalam ajaran agama, menjaga diri, kehormatan dan harta benda adalah kewajiban.

Dengan demikian, AIDS telah menghilangkan atau setidaknya mengurangi arti penting sebuah perkawinan yang memiliki nuansa sosial dan individual. Pertama, menghalangi al-maqsud al-a„zam dari perkawinan yaitu hubungan seksual (jima‟ atau istimtâ‟). Yang kedua, manjadikan orang menghindar (tanfîr) karena ada al-darar (bahaya) maupun karena risih. Maka, secara implisit menurut hukum islam HIV dapat dijadikan alasan untuk menuntut ataupun menggugat perceraian.

Sama halnya dengan ketentuan hukum islam, Undang-undang Perkawinan di Indonesia juga tidak secara tegas menyebutkan jenis-jenis (atau kriteria) penyakit atau cacat badan yang boleh dijadikan alasan perceraian. Melainkan hanya sebatas ketentuan-ketentuan umum saja. Seperti dinyatakan dalam pasal 39 ayat (2) UU No. 1 tahun 1974 yang berbunyi: “untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri”23.

Didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 116 (e) yang menjadi dasar hakim pengadilan agama juga dijelaskan bahwa yang dapat dijadikan alasan untuk perceraian adalah “apabila salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri”24.

Berdasarkan beberapa data dan fakta yang telah dipaparkan diatas, penulis menganggap sangat perlu adanya kajian secara komprehensif terkait hukum perceraian yang disebabkan oleh virus HIV/AIDS, dilanjutkan dengan menganalisis putusan Pengadilan Agama terkait persoalan tersebut. Untuk itu, penulis menuangkan gagasan

22 . Jumlah kematian akibat AIDS pada tahun 2006 mencapai 2,9 juta jiwa. Lihat: Situasi HIV/AIDS di Indonesia… h., 7.

23 . Kementerian Agama Republik Indonesia, “Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan”, h., 32.

24 . Tim Grahamedia Press, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h., 365.

(24)

tersebut dalam skripsi yang berjudul: PERCERAIAN KARENA HIV/AIDS DALAM PERSPEKTIF FIKIH DAN UNDANG-UNDANG PERKAWINAN DI INDONESIA (Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.).

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis mengidentifikasikan masalah yang ada sebagai berikut:

1. Para ahli fikih sepakat bahwa cacat tubuh merupakan salah satu faktor yang membolehkan adanya perceraian

2. Virus HIV adalah jenis virus menular yang sangat berbahaya dan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan dan keharmonisan hidup manusia dari segala aspek kehidupan, baik dari aspek kehidupan rumah tangga, agama dan Negara.

3. Fikih sebagai kitab hukum resmi Islam sudah seharusnya memperhatikan bagaimana perspektifnya terhadap HIV/AIDS sebagai aib nikah.

4. Persoalan penyakit aids sebagai aib nikah adalah tergolong masalah kontemporer, sebab belum pernah dibahas oleh fuqoha terdahulu didalam buku-buku mereka.

5. Para fuqaha didalam menetapkan hukum suatu masalah yang belum diketahui hukumnya atau masalah kontemporer adalah dengan melakukan istinbath hukum dari kaedah-kaedah usûl fikih, seperti Qiyas, Istihsan dan lainnya.

6. Pengadilan Agama Tangerang menjatuhkan talak bâ‟in sughrâ terhadap pasangan suami istri yang dilatarbelakangi oleh virus HIV/AIDS.

C. Pembatasan Masalah

Sehubungan dengan banyaknya masalah yang teridentifikasi didalam penelitian ini, maka penulis perlu membatasi permasalahan yang akan dikaji didalam skripsi ini pada pembahasan tentang “Hukum perceraian karena HIV/AIDS menurut Fikih dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia dan kaitannya dengan putusan nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.”.

(25)

Kemudian penulis membatasi Fikih yang akan digunakan untuk meneliti dan mengkaji inti pembahasan dalam Skripsi ini didalam fikih Madzhab Syâfi‟î saja, juga membatasi Undang-undang Perkawinan pada pasal-pasal yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam (KHI); agar lebih fokus dan mendapatkan hasil penelitian yang maksimal, disamping itu juga karena Madzhab Syâfi‟î merupakan landasan hukum yang paling sering digunakan bagi orang-orang muslim di Indonesia, sehingga diharapkan manfaat dari hasil kajian dalam skripsi ini akan lebih besar dan menyeluruh.

D. Rumusan Permasalahan

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah tersebut diatas, permasalahan yang akan dibahas didalam skripsi ini dapat dirumuskan didalam pertanyaan:

“bagaimana pandangan Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia terhadap putusan No. 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. tentang perceraian karena HIV/AIDS?”.

E. Tujuan Penulisan

Dari latar belakang dan rumusan permasalahan yang telah dipaparkan, maka tujuan penulisan skripsi ini adalah: untuk mengetahui pandangan Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia terhadap putusan No. 557/Pdt. G/2018/PA.

Tng. tentang perceraian karena HIV/AIDS.

F. Manfaat Penulisan

1. Manfaat Teoritis (akademis)

Manfaat penulisan ini secara teoritis atau akademis adalah: dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam memahami hukum perceraian yang disebabkan oleh virus HIV/AIDS serta penerapan Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia. Selain itu, diharapkan hasil penelitian dalam skripsi ini akan menjadi sumbangan karya ilmiyah dan menambah literatur perpustakaan dibidang Perbandingan Madzhab.

(26)

2. Manfaat Praktis (aplikatif)

Manfaat penulisan skripsi ini secara praktis adalah: untuk memberikan input (masukan) dan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan praktisi hukum Islam, khususnya para Hakim Pengadilan Agama di Indonesia tentang hukum perceraian karena virus HIV/AIDS dalam perspektif Madzhab Syâfi‟i dan UU Perkawinan di Indonesia. Dan selanjutnya, mengingat bahwa Madzhab Syâfi‟î sangat mewarnai fikih Indonesia, maka penelitian ini diharapkan secara praktis juga dapat membantu pembentukan fikih Indonesia khususnya dalam masalah perceraian yang disebabkan oleh penyakit tubuh seperti HIV/AIDS.

G. Tinjauan Studi Terdahulu

Dalam proses penyelesaian skripsi ini, penulis melakukan penelitian terhadap beberapa karya ilmiyah yang bersifat akademik yang ada kaitannya dengan permasalahan dalam skripsi ini, sebagai sebuah sarana pemahaman dan pembelajaran bagi penulis, ini dilakukan agar mendapatkan hasil yang lebih baik. Berikut diantara buku dan karya ilmiyah sebagai bahan tinjauan pustaka penulis:

Karya Ahmad Dermawan Mangku Negoro (13210099) yang berjudul “Studi Komparasi Antara Madzhab Syâfi‟î dan Madzhab Hanafî tentang Cacat yang Dapat Dijadikan Alasan Fasakh”. Skripsi ini merupakan karya mahasiswa Fakultas Syari‟ah jurusan al-Ahwal al-Syakhshiyyah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Fokus Penelitian pada skripsi ini adalah membandingkan pendapat Madzhab Syâfi‟î dan madzhab hanafi tentang khiyar fasakh, yaitu hak untuk memilih melanjutkan atau membatalkan perkawinan yang disebabkan oleh karena cacat pada suami atau istri bahkan keduanya. Berdasarkan hasil penelitian pada skripsi ini dapat dijelasakn bahwa terdapat perbedaan antara Madzhab Syâfi‟î dan Madzhab Hanafî tentang macam- macam cacat yang memperbolehkan adanya khiyar fasakh, Madzhab Syâfi‟î menyatakan ada tujuh macam yaitu: terpotongnya penis, impoten, gila, lepra/kusta, supak, tersumbatnya lubang vagina oleh daging, dan tersumbatnya lubang vagina oleh tulang. Sedang menurut madzhab Hanafi hanya ada tiga, yaitu: penyakit kelamin yang berupa kebiri, impoten, dan terputusnya dzakar. Istinbath hukum yang digunakan oleh masing-masing madzhab sehingga menimbulkan perbedaan dikarenakan Madzhab

(27)

Syâfi‟î menggunakan qiyas terhadap jual beli, sedangkan madzhab Hanafi mendasarkan putusnya perkawinan karena cacat tersebut dengan talak bukan fasakh.

Penelitian selanjutnya yaitu skripsi yang berjudul “Batasan Cacat Yang Memperbolehkan Putusnya Pernikahan (Studi Komparatif Pendapat Imam al-Syîrâzî Dan Imam al-Sarkhasî)”. Skripsi ini ditulis oleh Nur Rochmad (132111115), mahasiswa syariah dan hukum konsentrasi Muqâranat al-Madzâhib jurusan Ahwâl al- Syakhsyiyah Universitas Islam Negeri Walisongo Semarang. Fokus kajian pada skripsi ini adalah membandingakn pendapat Imam al-Syîrâzî dan al-Sarkhasî tentang batasan cacat yang memperbolehkan putusnya pernikahan dan mengaitkannya dengan konteks hukum di Indonesia. Hasil penelitian skripsi ini menyebutkan bahwa Imam al- Syîrâzî dan al-Sarkhasî sepakat bahwa batasan cacat yang dapat memutuskan pernikahan adalah cacat yang tidak sesuai dengan tujuan pernikahan (cacat primer) dan cacat yang menurut kebanyakan orang tidak bisa diterima. Namun dalam penetapan hukum hak khiyarnya terdapat perbedaan, Imam al-Syîrâzî berpendapat dengan adanya hak khiyar fasakh dalam pernikahan karena beliau menyamakan dengan jual beli. Sedangkan Imam al-Sarkhasî menetapkan adanya hak khiyar karena cacat dengan talak, karena ungkapan pemutusan dalam pernikahan adalah kinayah dari talak. Pendapat al-Sarkhasî lebih sesuai dengan hukum Indonesia, sebab selain pendapat itu sesuai dengan ketentuan pasal 116 huruf (e) KHI, dalam khiyar talak perempuan didudukkan sebagai pasangan dalam pernikahan (manusia). Sedangkan dalam khiyar fasakh status perempuan disamakan dengan barang yang bisa diperjualbelikan (al-mabî‟).

Karya ilmiah selanjutnya yaitu skripsi yang berjudul “Fasakh Perkawinan Karena Alasan Cacat Badan (Studi Komparasi Fiqih dan Undang-Undang Perkawinan)”. Skripsi ini ditulis oleh Dewi Nurul Imanda (1111044200011), mahasiswa program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Fokus penelitian pada skripsi ini adalah mengenai pandangan Fiqih dan Undang-undang Perkawinan tentang fasakh perkawinan karena alasan cacat badan dan relevansi antara keduanya. Penelitian

(28)

tersebut menyimpulkan bahwa konsep tentang fasakh perkawinan karena alasan cacat atau penyakit menurut pandangan fikih, bahwa apabila salah satu pasangan suami istri terdapat cacat atau penyakit yang mengakibatkan tidak tercapainya tujuan perkawinan bahkan menimbulkan keresahan serta penderitaan, maka pasangannya mempunyai hak untuk menuntut fasakh kepada hakim. Sedangkan menurut pandangan Undang-undang Perkawinan bahwa cacat badan atau penyakit yang berakibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri (bersifat permanen) adalah diantara alasan- alasan perceraian, dan Pengadilan Agama tidak menetapkan fasakh, melainkan dengan perceraian. Relevansi antara kedua pandangan tersebut adalah adanya hubungan saling menjelaskan dan melengkapi. Dalam fiqh, pembahasan menegenai fasakh karena alasan cacat badan atau penyakit dijelaskan sangat detail, sedangkan dalam Undang- undang Perkawinan tidak mengatur secara tegas tentang keadaan diri seseorang sehingga dapat dijadikan alasan pembatalan perkawinan.

Berdasarkan literatur diatas, penulis menilai sekarang ini belum ditemukan karya ilmiyah yang mengulas secara khusus tentang hukum perceraian karena HIV/AIDS ataupun analisis suatu putusan Pengadilan Agama terkait perceraian karena HIV/AIDS. Oleh sebab itu, penulis mencoba membahas secara khusus tinjauan Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia tentang perceraian karena HIV/AIDS, dan mengaitkannya dengan putusan Pengadilan Agama Tangerang No. 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. melalui Analisis Hukum Komparatif.

H. Metodologi Penelitian 1. Jenis Penelitian

Dalam menyusun skripsi ini penulis menggunakan jenis penelitian yuridis normatif (penelitian Hukum Normatif)25, yaitu metode penelitian hukum yang dilakukan

25 . Mengenai istilah penelitian hukum normatif, tidak terdapat keseragaman diantara para ahli hukum. Diantara pendapat beberapa ahli hukum dimaksud, yakni : Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Jakarta: Rajawali Pers, 2001, h. 13-14.). Soetandyo Wignjosoebroto, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum doktrinal, (Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma Metode

(29)

dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka26. Sesuai dengan karakteristik kajiannya, yaitu berdasar pada penelitian kepustakaan (library research), maka penelitian dalam skripsi ini mengutamakan pendekatan kualitatif, berdasarkan pada bahan kepustakan dan literatur yang ada relevansinya dengan judul skripsi ini. Sebagaimana penelitian ini juga menggunakan pendekatan undang-undang (statute approach), dan pendekatan komparatif (comparative approach)27, yang dalam penelitian ini penulis membandingkan antara analisis Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang terhadap putusan No. 557/Pdt. G/2018/PA.

Tng. tentang perceraian karena HIV/AIDS.

2. Sumber Data Penelitian

Sebagaimana dijelaskan diatas bahwa jenis penelitian ini adalah kajian kepustakaan, maka sumber data yang digunakan adalah sumber data primer dan sumber data sekunder. Adapun yang menjadi sumber data primer adalah literature buku-buku fikih Madzhab Syâfi‟î; seperti kitab al-Umm karya Imam Syâfi‟î (w. 204 H), kitab al-Bayân karya imam al-„Amrânî (w. 558 H), kitab Tuhfat al-Muhtâj karya imam Ibnu Hajar al-Haitamî (w. 974 H), UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, Kompilasi Hukum Islam (KHI), dan naskah putusan Pengadilan Agama Tangerang No. 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. Sedangkan bahan hukum sekunder, terdiri dari kitab-kitab fikih pada umumnya, kitab-kitab ushul fikih, buku-buku dan berbagai macam karya ilmiyah yang ada kaitannya dengan masalah penelitian.

3. Teknik Pengumpulan Data

Sesuai dengan jenis penelitian dalam skripsi ini, maka pengumpulan datanya dilakukan dengan metode dokumentasi melalui studi terhadap teks-teks para fuqoha (ahli Hukum Islam) Madzhab Syâfi‟î dan teks dari pasal-pasal yang terdapat pada UU nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam tentang kategori penyakit atau cacat tubuh yang menyebabkan bolehnya memutus tali pernikahan, serta dasar dan landasan hukumnya. Kemudian, mengaitkan data yang dan Dinamika Masalahnya, Editor : Ifdhal Kasim et.al., Jakarta: Elsam dan Huma, 2002, h. 147);

Sunaryati Hartono, menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum normatif (C.F.G. Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum Di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20, Bandung: Alumni, 1994, h. 139);

dan Ronny Hanitjo Soemitro (Almarhum), menyebutkan dengan istilah metode penelitian hukum yang normatif atau metode penelitian hukum yang doktrinal (Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1994, Cet. 5, h. 10).

26 . Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h., 13-14.

27 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2009, hlm.22

(30)

diperoleh dari beberapa sumber hukum tersebut dengan persoalan perceraian karena HIV/AIDS, dengan menerapkan metode komparatif (perbandingan).

4. Teknik Analisis Data

Dalam analisis data, penulis menganalisa data secara kualitatif, yaitu analisis dengan menggunakan metode penafsiran hukum, penalaran hukum, dan argumentasi rasional28, dengan menggunakan metode deduktif dan komparatif.

Adapun metode deduktif adalah metode analisis data dengan menguraikan pernyataan yang bersifat umum kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat khusus, yaitu dengan menguraikan teks-teks ulama fikih Madzhab Syâfi‟î dan teks atau pasal-pasal yang terdapat pada UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan KHI yang berkaitan dengan kebolehan menggugat perceraian karena cacat tubuh berikut landasan hukumnya; untuk memperoleh kesimpulan hukum perceraian karena HIV/AIDS. Sedangkan metode komparatif digunakan untuk menganalisis Putusan Pengadilan Agama Tangerang No. 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. tentang penjatuhan talak bâ‟in sughrâ terhadap tergugat penderita HIV/AIDS menurut tinjauan hukum Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, kemudian membandingkan hasil analisa diantara keduanya, agar memperoleh kesimpulan yang akurat.

5. Teknik Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2017.

I. Sistematika Penulisan

Dalam upaya untuk memudahkan penyusunan skripsi ini serta agar lebih sistematik, maka dibuat sistematika penulisan sebagai berikut:

BAB I: Bab ini membahas tentang Pendahuluan, yang meliputi: Latar Belakang Permasalahan, Identifikasi, Pembatasan dan Rumusan Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penulisan, Metode Penelitian dan Teknik Penulisan, Tinjauan Studi Terdahulu, dan Sistematika Penulisan.

28 . Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Universitas Atma Jaya, 2007), h. 29.

(31)

BAB II: Tinjauan Umum, yang meliputi: Tinjauan Umum tentang Pernikahan, Perceraian dan HIV/AIDS.

BAB III: Perceraian Karena HIV/AIDS. Bab ini merupakan pengantar dari bab setelahnya. Bab ini akan membahas tentang: Perceraian Sebab HIV/AIDS Menurut Mazhab Syâfi‟î, dan UU Nomor 1 tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

BAB IV: Analisis Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng. Terkait Perceraian Karena HIV/AIDS. Bab ini merupakan akhir pembahasan inti dalam skripsi. Yang meliputi: Isi Putusan Pengadilan Agama Tangerang Nomor 557/Pdt.

G/2018/PA. Tng. dan Analisis Madzhab Syâfi‟î dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia Terhadap Putusan Nomor 557/Pdt. G/2018/PA. Tng.

BAB V: Penutup. Bab ini merupakan bab terakhir dalam penulisan skripsi ini.

Pada bab ini dikemukakan beberapa kesimpulan dari pembahasan, saran dan rekomendasi dari penulis sehubungan dengan kesimpulan tersebut dan lampiran.

(32)

BAB II

TINJAUAN UMUM

A. Pernikahan

1. Pengertian Pernikahan

Pernikahan dalam fikih berbahasa arab disebut dengan dua kata, yaitu nikâh dan zawâj. Kedua kata ini yang terpakai dalam kehidupan sehari-hari orang Arab dan banyak terdapat dalam al-Qur‟an dan hadis Nabi1. Di dalam kitab Mughnî al-Muhtâj, Muhammad bin Ahmad al-Khatîb al-Syirbînî (w. 977 H) menjelaskan bahwa nikah menurut bahasa ialah:

هظلا :حايىلا َجلاو م

ؼم

.2

Artinya : “Nikah menurut bahasa ialah berhimpun atau berkumpul”.

Sedangkan orang arab menggunakan kata al-nikâh )

حايىلا

( pada dua makna, yaitu:

1) Hubungan kelamin atau al-wat'u (

ءغىلا

) yang artinya hubungan seksual.

2) Akad, atau al-„aqdu (

دلَػلا

), maksudnya sebuah akad, atau bisa juga bermakna ikatan atau kesepakatan.

Dan para ulama berbeda pendapat tentang makna yang manakah yang merupakan makna asli (hakekat) dari nikah dan mana yang makna kiasan (kinâyah)?

Apakah makna asli nikah itu hubungan seksual dan makna kiasannya akad ikatan dan kesepakatan? ataukah sebaliknya?. Dalam hal ini, para ulama terpecah menjadi tiga golongan:

1 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia: Antara Fiqh Munâkahât dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h., 35.

2 Muhammad bin Ahmad al-Khatîb al-Syirbînî, Mughnî al-Muhtâj, juz 4, h., 200-201.

(33)

Golongan pertama, yaitu ulama Syâfi‟iyah berpendapat bahwa makna asli nikah itu adalah akad (

دلػلا

), sedangkan kalau dimaknai sebagai hubungan seksual, itu merupakan makna kiasan saja.

Golongan kedua mengatakan bahwa makna asli dari nikah itu adalah hubungan seksual (

ءغىلا

), sedangkan akad adalah makna kiasan; ini adalah pendapat imam Abu Hanifah.

Golongan ketiga: ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa nikah itu memang punya makna asli kedua-duanya (Musytarak), hubungan seksual dan akad itu sendiri3.

Kemudian secara istilah (syara‟) nikah dapat didefenisikan sebagaimana yang dijelaskan oleh al-Khatîb al-Syirbînî (w. 977 H):

َغ :اغسػو دل

همظخً

ًُ

َتخابإ ئػ َو ِظفلب حايهإ جٍوصج وأ َج وأ ِخم َحس ِه

.4

Artinya : “Nikah menurut syara‟ (istilah) ialah suatu akad yang membolehkan wati‟ (hubungan seksual) dengan menggunakan lafaz inkâh atau tazwîj atau terjemahannya.”

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa5. Oleh karena itu, pengertian perkawinan dalam ajaran Islam mempunyai nilai ibadah, sehingga Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam menegaskan bahwa perkawinan adalah akad yang sangat kuat untuk menaati perintah Allah, dan melaksanakannya merupakan ibadah6.

3 . Ibid., h., 200-201.

4 . Ibid., h., 200.

5 . Prof. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Buana Press, 2014), Cet II, h., 568.

6 . Team Grahamedia Press, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam, h., 335.

(34)

2. Dasar Hukum Pernikahan

Islam sangat menganjurkan pernikahan, karena banyak mendatangkan kemaslahatan bagi manusia. Oleh karenanya, Islam mensyariatkan nikah bagi setiap individu. Landasan disyariatkannya pernikahan adalah al-Qur‟an, hadits dan ijmâ‟

(konsensus) ulama7.

a. Dalil dari Al-Quran, diantaranya adalah: firman Allah SWT dalam surat al-Nisâ Ayat 3 dan al-A‟râf ayat 189 yang artinya secara urut sebagai berikut:

...

ﮌ ﮍ ﮎ ...ﮏ

Artinya: “… maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi…”.

ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ

ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ

ﮖ ﮗ ﮘ

ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ

ﮝ ﮞ

Artinya: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir”.

(QS. al-Rûm [30]: 21).

Sehingga pernikahan adalah menciptakan kehidupan keluarga antar suami istri dan anak-anak serta orang tua agar tercapai suatu kehidupan yang aman dan tentram (sakînah), pergaulan yang saling mencintai (mawaddah), dan saling menyantuni (rahmah).

7 . Muhammad bin Ahmad al-Khatîb al-Syirbînî, Mughnî al-Muhtâj, h., 201.

(35)

b. Dalil dari Hadits

Ibnu Hajar menyebutkan bahwa hadits tentang syariat pernikahan sangat banyak sekali lebih dari seratus hadits8, diantaranya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas‟ud r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ْجهو َزَتَُْلَف َةءاَبلا ُم ُىى ِم َعاؼَخ ْطا ًِ َم ِباب هؼلا َس َؼػَم اً

ِهُ َلَػَف ْؼ ِؼَخ ْظٌَ ْمَل ًَْمَو ، ِجْسَفْلِل ًَُصْخَأَو ِسَصَبلِل ُّعَؾأ ُهههئَف ،

ءا َحِو ُه َ

ل ُهههئف ِمى هصلاِب

.9

Artinya: “Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka menikahlah, karena itu dapat lebih baik menahan pandangan dan menjaga kehormatan. Dan siapa yang tidak memiliki kemampuan itu, hendaklah ia selalu berpuasa, sebab puasa itu merupakan kendali baginya” (H.R. Bukhârî Muslim).

c. Dalil Ijmâ‟

Seluruh umat Islam telah mencapai kata sepakat bahwa menikah adalah syariat yang ditetapkan dalam agama Islam. Bahkan banyak ulama yang menyebutkan bahwa syariat pernikahan telah ada sejak zaman Nabi Adam a.s., dan tetap terus dijalankan oleh umat manusia, meski mereka banyak yang mengingkari agama10.

Diantara ulama yang menukil ijma‟ tersebut yaitu:

1) Abû al-Hasan Alî bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardî (w. 450 H). beliau menyebutkan dalam kitabnya al-Hâwî al-Kabîr:

ِهُِِّب َه ِتهى ُط يِف اًدٍِسَصَو ِهِباَخِه يِف اًّصَه َحاَيِّىلا ىَلاَػَح ُ هاللَّ َحاَبَأ -

َلَغ ُ هاللَّ ى هل َص هل َط َو ِهُْ

َ م - ْواو َػ َل َد اط اهب ِعامحإ ُف ِل

8 . Hadits-hadits tersebut beliau kumpulkan dalam sebuah kitab beliau yang berjudul: al-Ifsâh li Ahâdîts al-Nikâh (حايىلا ثًداخلأ حاصفالإ). Lihat: Ibnu Hajar, Tuhfah Al-Muhtaj (bairut: dar ihya al-turats al-

„arabi, tt.).

9 . Muhammad bin Ismâ‟il al-Bukhârî, al-J âmi‟ al-Musnad al-Sahîh, jilid 7, h. 3, Hadits (5065);

Muslim bin al-Hajjâj, al-Musnad al-Sahîh al-Mukhtasar, jilid 2, h. 1018, Hadits (1400).

10 . Ahmad Sarwat, Fiqh al-Hayâh (Jakarta: DU Publishing, 2011), h., 28.

(36)

ُ الأ ِتم

.11

“Allah SWT membolehkan pernikahan secara tekstual didalam kitab-Nya (Al- Qur‟an) dan secara jelas di dalam Sunnah Nabi-Nya -sallallahu alaihi wa sallam-, dan karenanya telah ada ijma‟ (kesepakatan) umat (islam)”.

2) Yahyâ al-„Amrânî (w. 558 H), beliau berkata:

ُ الأ ِذػمحأو ِشاىح ىلغ ُتم

ِّىلا ِحاي

.12

“dan umat (islam) telah bersepakat atas bolehnya pernikahan”.

3) Abû al- Muzaffar Ibnu Hubairah al-Dzuhlî (w. 560 H), beliau mengatakan:

هجاو َف ُل هنأ ىلغ اى ِّىلا

َحاي ِم ًَ

ُػلا ِدى ُل ّؼلا ِغس ِت هُ

َلما ِتهى ُىظ ِلصأب هؼلا ِعس

...13

“dan mereka telah bersepakat bahwa pernikahan termasuk akad yang legal di dalam syariat islam dan disunnahkan dengan dalil syar‟i”.

4) Ibnu Qâsim al-Hanbalî (w. 1392 H), beliau mengatakan:

ُلصالأ َم يف ِغو سؼ هُ ِخ ِه ُباخىلا ُّظلاو ، ُتى ُعامحالإو ، َذو ،

َه َس ُريؾ دخاو ِم ِءاملػلا ً هنأ

هجا مه َف ُل ُػلا ًم ههأ ىلغ اى ُل

دى

ِتُغسؼلا ِتهىىظلما

عسؼلا لصأب

.14

”Dalil disyari‟atkannya pernikahan adalah al-kitab (al-quran), al-sunnah, dan Ijma‟, dan tidak sedikit para ulama yang menyebutkan bahwa mereka telah bersepakat bahwa termasuk akad yang legal di dalam syariat islam dan disunnahkan dengan dalil syar‟i”.

11 . Abû al-Hasan „Alî bin Muhammad bin Habîb al-Mâwardî, al-Hawî al-Kabîr (Bairut: Dâr al- Kutub al-„Ilmiyyah, 1999), jilid 9, h., 3.

12 . Yahyâ al-„Amrânî, al-Bayân fi Madzhab al-Imâm al- Syâfi‟î (Jeddah: Dâr al-Minhâj, 2000), cet I, jilid 9, h., 106.

13 . Abu al-Muzaffar Yahyâ bin Hubairah al-Dzuhlî, al-Ifsâh „an Ma‟ânî al-Sihâh, (Bairut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyyah, t.th.), h., 88.

14 . Abdurrahmân bin Muhammad bin Qâsim al-„Âsimî, al-Hanbalî,, Hâsyiyat al-Raud al- Murbi‟, (Maktabah Syamilah, t.th.), jilid 6, h., 223.

(37)

Dari sudut pandang hukum, didalam kitab al-Fiqh al-Manhajî dijelaskan:

ِحايىلل مايخأ ِّدػخ ُم َد ة ُخ عِلو ، او ًامى

َج ًلذو ،ًادخ ِتلاحلل ًاػ َب

ُصخشلا اهيلغ نىيً يتلا

“Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda, tidak hanya satu. Hal ini mengikuti kondisi seseorang (secara kasuistik)”15.

Dari keterangan tersebut, bisa dipahami bahwa hukum nikah akan berbeda disesuaikan dengan kondisi seseorang dan bersifat khusus sehingga hukumnya tidak bisa digeneralisasi. Lebih lanjut, Sa„îd Mustafâ al-Khin dan Mustafâ al-Bughâ dalam kitab itu memerinci hukum-hukum tersebut sebagai berikut:

a. Sunnah

Nikah dihukumi sunnah bagi seseorang yang memang sudah mampu untuk melaksanakannya, namun jika tidak menikah juga tidak dikhawatirkan akan berbuat maksiat atau suatu perbuatan yang diharamkan. Sebagaimana hadits Nabi:

ْجهو َزَتَُْلَف َةءاَبلا ُم ُىىِم َعاؼَخ ْطا ًِ َم ِباب هؼلا َس َؼػَم اً

“Wahai para pemuda, barangsiapa diantara kalian memiliki kemampuan, maka menikahlah”.

b. Sunnah Ditinggalkan

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya menginginkan nikah, namun tidak memiliki kelebihan harta untuk ongkos menikah dan menafkahi istri. Dalam kondisi ini sebaiknya orang tersebut menyibukkan dirinya untuk mencari nafkah, beribadah dan berpuasa sambil berharap semoga Allah mecukupinya hingga memiliki kemampuan. Hal ini senada dengan firman Allah SWT Surat al-Nûr ayat 33:

ﭥ ﭦ

ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ

Artinya: “Dan orang-orang yang tidak mampu menikah, hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya”. (Q.S. al- Nûr [24]:33).

15 Mustafâ al-Khin Dkk., al-Fiqh al-Manhajî, h., 17.

(38)

Dalam konteks ini, jika orang tersebut tetap memaksakan diri menikah, maka ia dianggap melakukan tindakan yang dihukumi khilâf al-aulâ, yakni kondisi hukum ketika seseorang meninggalkan apa yang lebih baik untuk dirinya.

c. Makruh

Hukum ini berlaku bagi seseorang yang memang tidak menginginkan nikah, entah karena perwatakannya demikian, ataupun karena penyakit. Ia pun tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Jika dipaksakan menikah, dikhawatirkan bahwa hak dan kewajiban dalam pernikahan tidak dapat tertunaikan.

d. Lebih Utama Jika Tidak Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang sebenarnya memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, namun sedang dalam kondisi tidak membutuhkan nikah dengan alasan sibuk menuntut ilmu atau sebagainya.

e. Lebih Utama jika Menikah

Hal ini berlaku bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya, serta sedang tidak disibukkan menuntut ilmu atau beribadah. Maka orang tersebut sebaiknya melaksanakan nikah16.

3. Tujuan Pernikahan

Tujuan pernikahan menurut agama islam ialah untuk memenuhi petunjuk dalam rangka mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera artinya tecipta ketenangan lahir dan batin disebabkan terpenuhinya keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbullah kebahagian, yakni kasih sayang antar anggota keluarga Manusia diciptakan Allah SWT mempunyai naluri manusiawi yang perlu mendapat pemenuhan. Dalam pada itu manusia diciptakan oleh Allah SWT untuk mengabdikan dirinya kepada Khaliq penciptanya dengan segala aktifitas hidupnya17.

16 Ibid.

17 . Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munâkahât, (Jakarta: Prenada Media Grup, 2006), Cet. Ke-2, h.

22.

(39)

Islam menganjurkan pernikahan sebagaimana tersebut, karena ia mempunyai pengaruh yang baik bagi pelakunya sendiri, masyarakat, dan seluruh umat manusia.

Menikah merupakan jalan terbaik untuk membuat anak-anak menjadi mulia, memperbanyak keturunan, melestarikan hidup manusia serta memelihara nasab yang oleh islam sangat diperhatikan sekali18.

Jadi, aturan perkawinan menurut Islam merupakan tuntutan agama yang perlu mendapat perhatian, sehingga tujuan melangsungkan pernikahan pun hendaknya ditujukan untuk memenuhi petunjuk agama. Adapun tujuan dari pernikahan secara terperinci antara lain yaitu:

1) Mendapatkan dan Melangsungkan Keturunan

Seperti telah diungkapkan di muka naluri manusia mempunyai kecenderungan untuk mempunyai keturunan yang sah kehidupan keluarga bahagia, umumnya antara lain ditentukan oleh kehadiran anak-anak. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa19. Keturunan merupakan generasi yang akan terus melanjutkan keluarga ke generasi-genersi berikutnya, dengan keturunan, kehidupan rumah tangga menjadi terasa hidup, damai, dan tenang20.

2) Penyaluran Syahwat dan Penumpahan Kasih Sayang Berdasarkan Tanggung Jawab.

Sesungguhnya naluri seks merupakan naluri yang paling kuat dan keras yang selamanya menuntut adanya jalan keluar21. Sudah menjadi kodrat iradah Allah SWT, manusia diciptakan berjodoh jodoh dan diciptakan oleh Allah SWT mempunyai keinginan untuk berhubungan antara pria dan wanita. Disamping perkawinan untuk mengatur naluri seksual juga untuk menyalurkan cinta dan kasih sayang dikalangan pria dan wanita secara harmonis dan bertanggung jawab. Penyaluran cinta dan kasih sayang yang diluar perkawnan tidak akan menghasilkan keharmonisan dan tanggung

18 . Lihat: Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, h., 13.

19 . Abd. Rahman Ghazali, Fiqh Munâkahât, h., 23.

20 . Ibid., h, 24

21 . Lihat: Sayyid Sâbiq, Fiqh al-Sunnah, juz 2, h., 13.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas yang telah dilaksanakan dalam 2 siklus dengan menerapkan Teori Konstruktivisme dalam pembelajaran Pendidikan

Kegunaan penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi genetik mengenai keragaman alel gen DGAT1 yang dapat dimanfaatkan dalam proses seleksi induk sapi

Dengan demikian, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yakni “ Kepemimpinan kepala desa cukup punya pengaruh terhadap perencanaan pembangunan desa Gulo

Relasi kuasa pengetahuan melalui pemakaian tumpang atap bade yang merupakan penglukunan dasa aksara ‘penyatuan sepuluh huruf suci’, mengandung harapan agar roh mendiang yang

Hasi penelitian ini menujukan bahwa: (1) Strategi komunikasi dalam melaksanakan pembagunan desa di Desa Sumari Kecamatan Duduksampeyan Kabupaten Gresik adalah

Hal tersebut ditunjukkan oleh presentase sebaran petani pada daerah hulu yang lebih dari 60% dan sekitar 90% daerah hilir telah mendapatkan layanan jadwal pengairan yang

Untuk teknik RIL, kegiatan memuat dan membongkar mempunyai rata-rata waktu yang lebih cepat daripada teknik setempat, hal tersebut disebabkan saat alat sarad memuat

Ahli hadis menyerahkan semua yang berurusan tentang penulisan hadis kepada hafal- an para sahabat yang lafadznya mere- ka terima dari Nabi, namun ada juga sahabat yang