• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. mana proses tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga banyak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. mana proses tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga banyak"

Copied!
114
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Proses penuaan akan selalu terjadi pada setiap mahluk hidup, di mana proses tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor. Sehingga banyak usaha untuk menunda proses penuaan dengan memberi intervensi terhadap faktor-faktor tersebut agar kualitas hidup tetap baik pada usia lanjut. Menjadi tua adalah suatu proses natural dan kadang-kadang tidak tampak mencolok. Penuaan akan terjadi pada hampir semua sistem tubuh manusia dan tidak semua sistem akan mengalami kemunduran pada waktu yang sama. Meskipun proses menjadi tua merupakan gambaran yang universal, tidak seorangpun mengetahui dengan pasti penyebab penuaan dan mengapa manusia menjadi tua pada usia yang berbeda-beda. Pesatnya perkembangan ilmu dan tehnologi secara ilmiah menemukan bahwa proses penuaan dapat diperlambat sehingga menyebabkan sebagian orang berusaha melakukan berbagai upaya untuk menghambat ataupun mengobati penuaan termasuk penuaan pada kulit (Pangkahila, 2007; Afaq dan Mukhtar, 2010).

Banyak teori yang menjelaskan mengapa manusia mengalami proses penuaan, tapi sebenarnya dibagi dua kelompok teori yaitu teori stokastik dan teori nonstokastik. Dan proses yang mempengaruhi penuaannya juga dibagi dua kelompok, yaitu penuaan intrinsik (proses yang berkaitan dengan genetik) dan ekstrinsik (proses akibat akumulasi dari kerusakan akibat pengaruh lingkungan). Paling banyak dapat diantisipasi adalah

(2)

faktor ekstrinsik (seperti gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, cuaca dan iklim yang ekstrim, stres, dan kemiskinan). Untuk kita di daerah tropis, faktor ekstrinsik ini yang sering menyebabkan penuaan dini kulit (premature skin aging). Beberapa hal yang menjadi faktor ekstrinsik seperti paparan sinar UV, deterjen, dan beberapa zat topikal tertentu pada kulit.

Faktor lingkungan yang paling berperan adalah radiasi sinar ultraviolet yang dapat merusak telomer dan menginduksi radikal bebas sehingga menimbulkan penuaan seluler (Kosmadaki dan Gilchrest, 2004), sehingga istilah penuaan dini kulit sering disebut pula dengan istilah

photoaging (Garmyn et al., 2004).

Photoaging akan terjadi apabila kulit terpapar sinar UV secara kronik dan berulang dalam kurun waktu tertentu. Pajanan kronis sinar UVA dan UVB sangat berperan dalam terjadinya photoaging dan

photocarcinogenesis (Holder dan Richard, 2004; Gloster dan Nail, 2006; Kochevar dan Taylor, 2008). Kerusakan kulit pada photoaging dapat terjadi pada komponen epidermis, dermis maupun jaringan appendages

kulit. Salah satu perubahan mikroskopis yang terjadi pada lapisan dermis kulit yang mengalami photoaging dapat berupa berkurangnya jumlah serat kolagen secara bermakna (Yaar et al., 2008; Walker et al., 2008), berkurangnya kelenjar lemak dan kelenjar keringat sehingga menyebabkan berkurangnya kelembaban pada kulit.

(3)

Kolagen adalah salah satu komponen serat yang dominan pada lapisan dermis kulit. Serat kolagen banyak berperan pada kekompakan dan kekenyalan kulit. Apabila terjadi kerusakan pada dermis akibat paparan UV, maka akan terjadi perubahan berupa berkurangnya jumlah serat kolagen dan berakibat pada ketebalan kolagen berkurang, serat kelarutan serat kolagen berkurang (Diegelman, 2008).

Kerusakan kolagen akibat paparan sinar UVB akibat pengaruh radikal bebas, yang menimbulkan kerusakan pada tingkat seluler dan pada akhirnya berakibat pada kematian sel serat kolagen maupun sel fibroblas yang memproduksi kolagen (Diegelman, 2008; Fischer et al., 2008). Apabila terjadi kerusakan pada serat kolagen maka akan terjadi pula kerusakan pada gugus asam amino.

Teori radikal bebas yang dikemukakan oleh Harman pada tahun 1956 merupakan teori yang paling luas dikenal sebagai penyebab penuaan. Tubuh manusia memiliki mekanisme perlawanan terhadap stres oksidatif dengan membentuk antioksidan yang akan mengurangi dan menetralisir radikal bebas, baik antioksidan enzimatik maupun non enzimatik. Namun paparansinar ultraviolet dan sumber radikal bebas lainnya (seperti merokok, polusi) dapat mengalahkan sistem perlawanan alami tubuh tersebut sehingga kontrol terhadap perlawanan alami menjadi tidak adekuat dan terbentuk kerusakan oksidatif (Pinnell, 2003).

Antioksidan merupakan molekul yang dapat bekerja pada kulit untuk mengurangi efek reactive oxygen species (ROS), yang terbentuk

(4)

sebagai akibat dari sinar ultraviolet dan mengakibatkan kerusakan kolagen. Perkembangan terakhir banyak mengarah pada penggunaan antioksidan baik oral maupun topikal untuk melawan penuaan kulit, namun publikasi tentang hal ini termasuk minim. Banyak produk perawatan kulit yang menggunakan antioksidan seperti vitamin C, vitamin E, ferulic acid, koenzim Q-10, teh hijau, pycnogenol, sylimarin, idebenone (Baumann, 2008). Antioksidan tersebut dapat merangsang produksi kolagen dermis dengan meningkatkan produksi Tissue Inhibitor of Matrix Metalloproteinas-1 di dermis yang berfungsi untuk menghambat pemecahan kolagen-1.

Dengan demikian untuk mencegah kerusakan selular yang berhubungan dengan stres oksidatif maka penting untuk menjaga keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan suplementasi antioksidan (Hanggono, 2004). Salah satu tanaman Indonesia yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan tersebut adalah buah manggis (Garcinia mangostana), terutama pemanfaatan kulit buahnya. Tanaman manggis berasal dari hutan tropis di kawasan Asia Tenggara, salah satunya Indonesia. Sudah lama masyarakat tradisional kita mempercayai dan menggunakan kulit manggis sebagai masker untuk mencerahkan, melembabkan dan mengencangkan kulit. Kulit manggis mengeksudasikan resin kuning yang kaya akan xanton

(Akao et al., 2008). Mangostin adalah unsur xanton utama, dan terdapat pada tanaman manggis (Peres et al., 2000). Priya et al., (2010) mengekstraksi kulit manggis menemukan kandungan 95% xanton,

(5)

disamping itu didapat juga kandungan isoflavon, tannin dan flavonoid

(Priya et al., 2010).

Pada penelitian pendahuluan untuk menguji efektifitas dosis kulit manggis terhadap peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit yang akan dilakukan pada penelitian ini didapat hasil bahwa diantara dosis kulit manggis 25%, 50% dan 95%, ternyata dosis 95% adalah yang paling optimal didalam hal peningkatan jumlah kolagen dan penurunan ekspresi MMP-1 dermis pada mencit (Ericson, 2014).

Dengan demikian penulis ingin melakukan penelitian untuk menilai efek proteksi dan peremajaan kulit dari ekstrak kulit manggis dan seberapa besar kandungannya sebagai antioksidan terhadap hewan percobaan yang dipaparkan ultraviolet sehingga terjadi aging skin.

1.2 Rumusan masalah

1. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB ?

2. Apakah pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase-1pada kulit mencit yang dipapar UVB ?

1.3 Tujuan penelitian 1.3.1 Tujuan umum

(6)

Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menghambat penuaan kulit pada kulit mencit yang dipapar UVB.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% meningkatkan jumlah kolagen dermis pada kulit mencit yang dipapar UVB.

2. Membuktikan bahwa pemberian solutio ekstrak etanol kulit manggis (Garcinia mangostana) 95% menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase-1pada kulit mencit yang dipapar UVB.

1.4 Manfaat penelitian 1.4.1 Manfaat ilmiah

Memberikan informasi ilmiah mengenai peranan kulit manggis dalam meningkatkan jumlah kolagen dermis dan menurunkan ekspresi matriks metalloproteinase-1.

1.4.2 Manfaat aplikasi

Mendukung pengembangan penelitian kulit manggis sebagai alternatif antioksidan topikal dalam hal menghambat penuaan kulit melalui peningkatan jumlah kolagen dermis dan penurunan ekspresi matriks metalloproteinase–1.

(7)

7 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penuaan

Proses menua merupakan suatu akumulasi secara progresif berbagai perubahan patologis di dalam sel dan jaringan yang terjadi seiring dengan waktu. Disamping itu, proses penuaan akan disertai menghilangnya kemampuan jaringan secara perlahan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan mempertahankan struktur serta fungsi normalnya, sehingga tubuh tidak dapat bertahan terhadap kerusakan atau memperbaiki kerusakan tersebut (Rabe et al., 2006).

2.2 Penuaan kulit

2.2.1 Macam proses penuaan kulit

Proses menua kulit mempunyai dua fenomena yang saling berkaitan dan sering tumpang tindih. Yang pertama adalah penuaan intrinsik (intrinsic aging, chronological aging) (Gilchrest dan Krutmann, 2006).

1. Penuaan intrinsik dikenal juga dengan proses penuaan secara alamiah, yang merupakan proses yang terus berlangsung, biasanya dimulai pada usia 20 tahunan yang disebabkan oleh berbagai faktor dari faktor fisiologis tubuh sendiri seperti faktor genetik, hormonal dan ras (Chung

et al., 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008), maupun faktor patologis seperti penyakit dan kekurangan gizi. Penuaan intrinsik tersebut, terjadi oleh karena akumulasi kerusakan endogen yang disebabkan oleh

(8)

pembentukan senyawa oksigen reaktif selama metabolisme oksidasi seluler. Pemendekan telomer pada pembelahan sel juga dapat dikatakan sebagai salah satu penyebab penuaan intrinsik pada kulit, selain oleh karena penurunan faktor pertumbuhan dan hormon. Manifestasi klinis penuaan kronologis kulit dapat berupa serosis, kelemahan, kerutan dan gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angioma buah ceri.

Proses penuaan dari seseorang ternyata dipengaruhi oleh gen tetentu. Kondisi kulit orang tertentu, ada yang memiliki kecenderungan mengalami proses penuaan lebih awal seperti kecenderungan untuk timbul keriput. Di dunia ini ada berbagai macam ras dan masing-masing mempunyai struktur kulit yang berbeda terutama struktur kulit yang berperan dalam sistem pertahanan tubuh terhadap lingkungan. Ras kaukasia lebih mudah mengalami terbakar surya dan akan lebih mudah mengalami penuaan dini kulit, terjadinya lesi prekanker kulit atau kanker kulit dibandingkan dengan kulit berwarna (Yaar dan Gilchrest, 2008).

Pengaruh hormonal erat hubungannya dengan umur seseorang. Proses menua fisiologis lebih terlihat pada wanita yang memasuki masa menopause. Pada masa tersebut fungsi ovarium menurun, menyebabkan estrogen berkurang yang mengakibatkan kekeringan dan penurunan elastisitas kulit sehingga dapat menyebabkan penuaan kulit (Klatz dan Goldman, 2003; Rabe et al., 2006).

(9)

2. Penuaan ekstrinsik (photoaging), terjadi sebagai akibat kerusakan kumulatif dari radiasi sinar ultraviolet.

Paparan sinar matahari, dapat menginduksi penuaan kulit lebih awal dan sering disebut dengan istilah premature skin aging. Gambaran klinis penuaan ini terbatas pada daerah terpapar sinar UV seperti wajah, leher, lengan dan punggung tangan. Penuaan ekstrinsik pada kulit pada umumnya disebabkan paparan sinar UV sehingga dikenal dengan istilah

photoaging (Glogau, 2004).

Radiasi sinar ultraviolet dengan panjang gelombang 200 - 400 nm merupakan 5% dari seluruh kisaran radiasi sinar matahari. Secara umum sinar ultraviolet dibagi menjadi tiga, yaitu UVA (320 - 400nm), UVB (290 - 320nm), UVC (300 - 290nm). UVC dapat terabsorbsi secara langsung oleh lapisan ozone di atmosfer.

Radiasi UV dapat mengakibatkan aktivasi reseptor permukaan sel yang mengakibatkan propagasi sinyal intraseluler dan sintesis faktor transkripsi. Protein inti yang berikatan dengan DNA dapat meningkatkan atau menekan gen transkripsi. Salah satu faktor transkripsi yang secara cepat dan prominen dapat terinduksi oleh radiasi sinar UV adalah AP-1. AP-1 dapat mempengaruhi gen transkripsi kolagen pada fibroblas, menurunkan level prokolagen-I dan prokolagen-III, selain itu AP-1 juga dapat merangsang gen transkripsi yang mengkode matrix-degrading enzyme seperti metalloproteinase.

(10)

Pada kulit yang mengalami photoaging tersebut dapat memperlihatkan gambaran klinis berupa permukaan yang kasar, kerutan halus dan kasar, bercak kekuningan, kering, dan telangiektasis (Rigel

et.al., 2004; Gilchrest dan Krutmann, 2006).

Kelembaban udara juga berpengaruh pada terjadinya proses penuaan kulit. Kelembaban udara yang rendah, paparan angin dan suhu dingin akan mempercepat penguapan air kulit yang akan menyebabkan kulit menjadi kering dan mempercepat terjadi penuaan kulit. Berbagai bahan yang meningkatkan pembentukan radikal bebas dapat mempercepat penuaan kulit, antara lain: sinar X, sinar UV, polusi kendaraan bermotor, gas N2O, freon, asap rokok, diet karbohidrat dengan kalori tinggi, bahan pengawet, pewarna dan pelezat. Penggunaan kosmetik yang tidak sesuai dengan kondisi kulit dapat menyebabkan kekeringan kulit dan pada akhirnya dapat terjadi penuaan kulit. Terlalu sering menggunakan sabun, detergen, pembersih berkadar alkohol tinggi pada jenis kulit normal atau kering akan mempercepat terjadi penuaan kulit (Chung et al., 2003; Soepardiman, 2003).

Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk Gambar 2.1. Gambar perbandingan kulit muda dan tua.

(11)

Tabel 2.1. Perubahan kulit secara klinis dan histologis karena penuaan kulit.

Epidermis Dermis Lain-lain

Dermal-epidermal junction menyempit Atrofi (kehilangan volume dermal) Rambut kehilangan pigmen Ketebalan bervariasi Fibroblas berkurang Kehilangan rambut Ukuran dan bentuk sel

bervariasi

Sel mast berkurang Perubahan rambut terminal menjadi rambut

vellus/halus Nukleus atipik berkala Pembuluh darah

berkurang

Dasar kuku yang abnormal Melanosit berkurang Loop kapiler memendek Kelenjar berkurang Sel Langerhans berkurang Ujung saraf abnormal

Sumber : catatan kuliah penuan kulit oleh Dr.dr.A.A.G.P.Wiraguna, Spkk 2.2.2 Teori terjadinya proses penuaan

Secara perspektif penuaan dibagi tiga sudut pandang : usia biologis (kapasitas fungsi sistem organ), usia psikologis (kapasitas perilaku adaptasi), usia sosial (perubahan peran & perilaku sesuai usia manusia).

Dalam kesempatan ini, penulis ingin menjelaskan lebih kearah sudut pandang usia biologis. Teori ini berfokus pada proses biologi dalam kehidupan seseorang dari lahir sampai meninggal. Perubahan pada tubuh dapat secara independen atau dapat dipengaruhi oleh faktor luar yang bersifat patologis. Teori biologi dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu ( Klatz dan Goldman, 2003; Yaar dan Gilchrest, 2008) :

(12)

1. Teori stokastik/ Stochastic theories

Bahwa penuaan merupakan suatu kejadian yang terjadi secara acak / random dan akumulasi setiap waktu. Teori ini terdiri dari :

a. Free radical theory (teori radikal bebas)

Banyak teori yang menjelaskan mengenai penuaan, yang paling banyak dianut adalah teori radikal bebas. Riset anti penuaan Dr. Denham Harman pada tahun 1954 mengemukakan teori radikal bebas. Teori ini menyatakan bahwa penuaan disebabkan akumulasi kerusakan ireversibel akibat senyawa pengoksidan.

Radikal bebas adalah produk metabolisme selular yang merupakan bagian molekul yang sagat reaktif. Molekul ini mempunyai muatan ekstraselular kuat yang dapat menciptakan reaksi dengan protein, mengubah bentuk dan sifatnya. Molekul ini juga dapat bereaksi dengan lipid yang berada dalam membran sel, mempengaruhi permeabilitasnya, atau dapat berikatan dengan organel sel lainnya. Radikal bebas adalah elektron dalam tubuh yang tidak memiliki pasangan sehingga akan berusaha mencari pasangan agar dapat berikatan dan stabil. Sebelum mendapat pasangan radikal bebas akan terus menerus merusak sel tubuh termasuk sel tubuh normal. Hal tersebut mengakibatkan sel akan cepat rusak dan menua, bahkan mungkin dapat menimbulkan terjadi kanker atau keganasan.

(13)

Radikal superoksid dan hidroksil akan terbentuk saat respirasi mitokondria yang timbul akibat autooksidasi berbagai molekul intraseluler serta akibat pengaruh lingkungan seperti sinar ultraviolet.

Proses metabolisme oksigen diperkirakan menjadi sumber radikal bebas terbesar, secara spesifik, oksidasi lemak, protein dan karbohidrat dalam tubuh menyebabkan terbentuknya formasi radikal bebas. Polutan lingkungan merupakan sumber eksternal radikal bebas.

Enzim superoksid dismutase akan berkurang seiring bertambahnya umur sehingga akan mengakibatkan antioksidan alami tubuh tidak mampu lagi menetralisir oksidan yang terbentuk.

b. Teori kelainan alat (Orgell error theory)

Kesalahan transkripsi DNA akan dapat menghasilkan RNA yang tidak sempurna, hal tersebut mengakibatkan kelainan pada berbagai enzim dan protein intraseluler sehingga terjadi gangguan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan atau kematian sel bersangkutan. Teori kesalahan didasarkan pada gagasan di mana kesalahan dapat terjadi di dalam rekaman sintese DNA. Kesalahan ini diabadikan dan secepatnya didorong kearah sistem yang tidak berfungsi di tingkatan yang optimal. Jika proses transkripsi dari DNA terganggu maka akan mempengaruhi suatu sel dan akan terjadi penuaan yang berakibat pada kematian. Jumlah enzim yang tidak aktif akan semakin bertambah dengan meningkatnya umur.

(14)

c. Teori ikatan silang (Cross-linkage theory)

Proses menua terjadi akibat DNA dan molekul lainnya akan saling melekat, saling memilin (Crosslink) sehingga terbentuk ikatan silang yang progresif antara protein intraseluler dan interseluler seperti contoh pada serabut kolagen. Ikatan silang ini akan meningkat dengan bertambahnya umur. Akibatnya protein yang sudah rusak tidak dapat dicerna oleh enzim protease, sehingga ikatan silang ini akan menyebabkan penurunan elastisitas dan kelenturan kolagen pada membran basalis atau pada substansi dasar jaringan penyambung, mengurangi elastisitas protein dan molekul. Akibatnya pada kulit bisa terjadi kerutan, pada ginjal fungsi penyaringan menjadi berkurang dan pada mata dapat menimbulkan katarak (kekeruhan lensa mata), ataupun kerusakan organ yang lain.

d. Wear and tear theory (Teori pakai dan rusak)

Dipublikasikan pertama sekali oleh Dr. Augus Weistman seorang biologis dari Jerman pada tahun 1882. Teori ini mengatakan bahwa manusia diibaratkan seperti mesin. Sehingga perlu adanya perawatan. Dan penuaan merupakan hasil dari penggunaan yang terus menerus dan berlebihan.

e. Teori neuroendokrin

Vladimir Dilman, Ph.D. menjelaskan teori kerusakan akibat pemakaian dengan berfokus pada sistem neuroendokrin, jaringan biokimia rumit yang mengatur pelepasan hormon dan elemen-elemen

(15)

vital tubuh lainnya. Ketika muda, hormon-hormon kita bekerja bersama-sama untuk mengatur berbagai fungsi-fungsi tubuh, termasuk respon kita terhadap panas, dingin dan aktifitas seksual kita. Kelenjar sebesar kacang kenari ini terletak dalam otak dan bertanggung jawab untuk reaksi berantai hormonal kompleks yang dikenal dengan nama lain thermostat tubuh.

Hormon penting fungsinya untuk memperbaiki dan mengatur fungsi-fungsi tubuh. Sejalan dengan bertambahnya usia, tubuh memproduksi hormon-hormon dalam kadar yang lebih rendah dan dapat menyebabkan efek berbahaya, termasuk penurunan kemampuannya dalam memperbaiki tubuh dan mengatur tubuh. Produksi hormon sangat interaktif : produksi satu tetes hormon apapun akan mempengaruhi mekanisme secara keseluruhan, seperti menyampaikan sinyal pada organ-organ lain untuk melepaskan hormon lainnya dalam kadar yang lebih rendah sehingga bagian-bagian tubuh lainnya juga akan mengeluarkan hormon dalam kadar yang lebih rendah. Dan bilamana salah satu hormon produksinya berkurang akan menyebabkan produksi hormon yang lain dapat berubah, bisa berkurang dan bahkan malah bertambah.

f. Teori telomerase

Teori penuaan telomerase adalah teori baru tentang penuaan yang menawarkan banyak kemungkinan yang menjanjikan dalam bidang obat-obatan anti penuaan. Teori ini lahir dari hasil temuan kemajuan

(16)

ilmu-ilmu genetika dan teknologi genetika. Pertama kali ditemukan oleh sekelompok ahli dari Geron Corporation di Menlo Park, California, telomer adalah sekumpulan asam nukleat yang merupakan perpanjangan dari ujung kromosom. Telomer bertugas untuk mempertahankan integritas kromosom. Setiap kali sel-sel kita membelah, telomer akan memendek. Terutama, saat ujung telomer-DNA terlalu pendek, pembentukan sel akan melambat dan kemudian akan berhenti sama sekali. Hal ini diyakini kemungkinan sebagai mekanisme untuk jam selular penuaan.

Para ahli menemukan bahwa elemen kunci dalam membentuk kembali telomer-telomer kita yang hilang adalah enzim telomerase abadi sebuah enzim yang hanya ditemukan dalam sel-sel kuman dan kanker. Telomerase berfungsi untuk memperbaiki dan memperbaharui telomer, memanipulasi mekanisme berdetaknya jam yang mengatur jangka waktu terbelahnya sel.

2. Teori nonstokastik/Nonstochastic theories

Proses penuaan disesuaikan menurut waktu tertentu

a. Programmed theory (teori kontrol genetik)

Pembelahan sel dibatasi oleh waktu, sehingga suatu saat tidak dapat regenerasi kembali. Teori ini mengatakan bahwa kita sudah memiliki program genetik dalam DNA masing-masing, yang akan mengatur fungsi fisik dan mental masing-masing individu. Keturunan genetik ini yang menentukan berapa usia kita yang mulai menua, usia berapa kita akan

(17)

meninggal, setiap manusia seakan memiliki jam waktu (seperti bom waktu) yang berdetik terus sampai masanya habis. Dan setelah itu kita meninggal.

b. Immunity theory

Mutasi yang berulang atau perubahan protein pasca translasi, dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan system imun tubuh mengenali dirinya sendiri. Mutasi somatik menyebabkan terjadinya kelainan pada antigen permukaan sel, maka hal ini dapat menyebabkan system imun tubuh mengalami perubahan, dan dapat dianggap sebagai sel asing. Hal inilah yang menjadi dasar terjadinya peristiwa autoimun. Di lain pihak, system imun tubuh sendiri daya pertahanannya mengalami penurunan pada proses penuaan dan daya serangnya terhadap sel kanker mengalami penurunan.

2.2.3 Penyebab penuaan kulit

Proses penuaan itu berhubungan dengan perubahan yang terjadi secara terus-menerus pada semua jaringan termasuk pada kulit. Perubahan ini termasuk kehilangan interstitial matriks protein dalam sel. (Jenkins, 2002). Penuaan kulit secara intrinsik berupa pengurangan ketebalan kulit dan perubahan karakteristik dari susunan jaringan. Gambaran klinis dari perubahan karakteristik tersebut, seperti terjadinya kerutan halus, permukaan jaringan yang lebih kasar dan timbulnya hiperpigmentasi.

(18)

Secara umum diasumsikan penyebab dari proses penuaan kulit ini dapat dipengaruhi oleh latar belakang etnis, gaya hidup dan paparan sinar matahari secara terus-menerus (Gilchrest dan Krutmann, 2006).

2.3 Photoaging 2.3.1 Definisi

Photoaging adalah kelainan dan kerusakan kulit yang diakibatkan paparan kronis sinar UV pada kulit yang memang sudah mengalami penuaan intrinsik. Banyak fungsi kulit yang menurun seiring dengan bertambahnya usia kronologis, akan tetapi pada photoaging terjadi lebih cepat. Jadi photoaging dianggap sebagai kondisi makroskopis, mikroskopis dan fungsional kulit akibat pajanan kronik dan berulang terutama disebabkan radiasi ultraviolet matahari atau sumber sinar buatan (Glogau et al., 2004).

2.3.2 Kondisi kulit akibat photoaging

2.3.2.1 Perubahan klinis kulit pada photoaging

Penuaan merupakan proses multifaktorial yang kompleks dan mengakibatkan sejumlah perubahan fungsional dan estetik pada kulit. Perubahan ini dipengaruhi faktor intrinsik maupun ekstrinsik. Proses menua kulit berlangsung secara lambat tetapi pasti, mulai tampak jelas adanya keriput pada wajah, lipatan kulit dan garis ekspresi lebih nampak serta penurunan kulit (kendor) terutama pada dagu. Kulit muka menjadi kering, tipis dan kasar serta berkurangnya elastisitas, tidak jarang disertai bercak-bercak hiperpigmentasi dan tumor jinak kulit sehingga akan

(19)

sangat mempengaruhi penampilan seseorang (Kochevar dan Taylor, 2008).

Proses penuaan pada orang-orang tertentu dapat terjadi sesuai usia, tetapi pada sebagian orang proses menua kulit lebih awal atau disebut

premature skin aging. Salah satu faktor yang sering dikambing-hitamkan mempercepat penuaan kulit adalah pengaruh sinar UV, sehingga sering disebut pula dengan photoaging. Tanda klinis yang berhubungan dengan

photoaging adalah depigmentasi, kekenduran, kerutan, telangiektasia, penampakan seperti kulit hewan yang disamak (leather), dan keganasan kulit. Seborrhoeic keratosis adalah pertumbuhan proliferatif jinak, merupakan salah satu contoh dari ciri karakteristik kulit yang telah mengalami penuaan dan berhubungan dengan paparan matahari.

Fenotipe spesifik yang merupakan akibat dari paparan matahari dapat terlihat jelas pada kasus actinic elastosis dan sindroma Favré-Racouchot

(elastosis noduler dengan kista dan komedo) (Moyal dan Fontainer, 2004).

2.3.2.2 Perubahan histopatologi pada kulit photoaging

Secara histopatologis, kulit yang telah mengalami photoaging

memperlihatkan hilangnya polaritas epidermal atau kekacauan proses maturasi sel keratinosit. Keratinosit menunjukkan gambaran atipik, terutama pada lapisan epidermis yang lebih dalam. Ketebalan epidermis yang terlindung dari matahari pun dapat berkurang seiring dengan bertambahnya usia, walaupun beberapa laporan memperlihatkan bahwa

(20)

jumlahnya masih relatif konstan. Terjadi penipisan atau pendataran taut

dermoepidermal yang dapat menyebabkan penampakan menyerupai atrofi seperti yang terlihat pada poikiloderma (Garmyn et al., 2004; Rabello-Fonseca et al., 2008).

Secara menyeluruh, jumlah sel-sel pada dermis yang mengalami

photoaging akan meningkat. Fibroblas mengalami hyperplasia dengan banyak ditemukan infiltrat radang. Inflamasi kronis yang terjadi pada kulit yang mengalami photoaging disebut heliodermatitis.

Mikrovaskuler juga mengalami perubahan dan dinding pembuluh darah menebal akibat penumpukan basement membrane-like material. Fibroblast pada kulit yang telah mengalami photoaging memanjang dan kolaps. Pada kulit yang mengalami penuaan intrinsik akan memperlihatkan berkurangnya kolagen-1 dan kolagen-3, namun hal yang sama akan terjadi lebih cepat pada daerah yang terpapar sinar matahari (Fenske et al., 2012; Fisher et al., 2001). Jumlah serat elastin menurun seiring bertambahnya usia, namun pada kulit yang terpapar matahari, jumlah serat elastin meningkat secara proporsional. Elastin yang terakumulasi pada kulit abnormal akan menempati daerah yang seharusnya ditempati serat serat kolagen. Suatu teori yang diajukan menyatakan bahwa peningkatan elastin yang abnormal merupakan akibat dari proses bifasik yang berawal dari hiperplasia jaringan elastik normal. Elastin menjadi abnormal dalam penampilannya karena efek peradangan kronis (Fisher et al., 2002; Chung et al., 2003; Chung et al., 2004).

(21)

2.3.2.3 Patogenesis terjadi photoaging

Matriks ekstraseluler dermis terutama terdiri dari kolagen-1 (85%), sejumlah kecil kolagen-3, elastin, proteoglikan dan fibronektin. Serat kolagen yang terdapat pada dermis manusia berperan penting untuk kekuatan dan kekenyalan kulit, terdiri sekitar 85% kolagen-1 dan sekitar 10% kolagen-3 (Uito et al., 2008).

Biosintesis kolagen-1, berawal dari pembentukan prokolagen-1 dalam sel fibroblast dermis dan terdiri dari kolagen-1 tripel helix, ujung karboksipeptida dan ujung aminopeptida. Begitu disekresikan dari fibroblast ke matriks ekstraseluler, prokolagen-1 melalui proses enzimatik, maka akan pecah dari kedua ujungnya dan membentuk kolagen-1 matang (Varani et al., 2001).

Matriks metalloproteinase merupakan sekelompok enzim yang bertanggung jawab terhadap degradasi kolagen. Sampai saat ini sudah ditemukan 18 jenis matriks metalloproteinase, akan tetapi yang berperan pada kulit dapat diklasifikasikan menjadi empat sub family yaitu:

kolagenase, gelatinase, stromelisin, dan MMPs membrane.

Penghancuran kolagen tergantung pada aktivitas kolagenase. Enzim kolagenase dapat diklasifikasikan lagi menjadi MMP-1 (kolagenase-1 atau kolagen interstitial), MMP-8 (kolagenase-2 atau kolagen netrofil) dan MMP-13 (kolagenase-3). Masing-masing

kolagenase akan memecah kolagen dengan spesifisitas tertentu. Misalnya MMP-8 lebih memecah kolagen-1 dibanding kolagen-3.

(22)

Lokasi pemecahan kolagen juga spesifik dan akan menghasilkan fragmen yang terdiri dari ¾ dan ¼ bagian. Kolagen yang telah hancur disebut gelatin dan lebih lanjut gelatin akan dihancurkan oleh gelatinase

dan stromelisin, dan selanjutnya diekskresi dari tubuh (Uito et al., 2008; Varani et al., 2010).

2.3.2.4 Pecegahan dan pengobatan photoaging

Pada prinsipnya penatalaksanaan photoaging, lebih mengutamakan faktor pencegahan primer. Pencegahan dilakukan dengan menghindari paparan sinar matahari seperti penggunaan perlindungan fisik (topi, pakaian ataupun payung), serta penggunaan tabir surya dengan daya perlindungan yang memadai dan disesuaikan dengan kondisi kulit. Faktor pencegahan sekunder dalam hal ini dengan menggunakan asam retinoat, antioksidan, faktor pertumbuhan sitokin (Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cuninghan et al., 2005).

Apabila sudah terjadi photoaging, setiap tindakan yang dilakukan untuk mengatasi atau mengkoreksi kelainan tersebut sudah merupakan tindakan pengobatan (Sterm, 2004; Kullavanijaya dan Lim, 2005; Cuninghan et al., 2005). Pengobatan ini adalah pengobatan dari suatu proses penyakit simtomatik yang ada untuk memperbaiki efeknya atau menunda kemajuannya.

Pengobatan tersebut meliputi penggunaan chemical peeling, teknik seperti mikro-dermabrasion resurfacing, penggunaan sistem ablatif dan

(23)

non-ablatif laser, teknologi frekuensi radio, penggunaan racun Botulinum eksotoksin dan augmentasi jaringan lunak, juga dikenal sebagai filler. 2.4 Sinar matahari dan ultraviolet

2.4.1 Sinar matahari

Sinar matahari merupakan energi elektromagnetik yang dipancarkan dalam bentuk gelombang yang terdiri dari sinar gama, sinar X, sinar UV, sinar kasat mata, infra merah dan gelombang radio. Spektrum sinar matahari yang mencapai permukaan bumi dan berperan dalam fotobiologi adalah radiasi sinar UV, sinar tampak dan sinar infra merah. Radiasi sinar UV dapat dibagi menjadi UVA (320-400 nm), UVB (290-320 nm) dan UVC (200-290 nm). Radiasi UVC tidak mencapai permukaan bumi (kecuali pada dataran yang tinggi sekali) karena seluruhnya diserap oleh lapisan ozon. Lapisan ozon di permukaan bumi juga menghambat sekitar 95% sinar UVB (Walker et al., 2008).

Spektrum elektromagnetik yang ditransmisikan oleh sinar matahari berkisar antara sinar kosmik yang sangat pendek hingga gelombang radio yang sangat panjang. Sebagian besar perubahan kulit akibat sinar yang terjadi berhubungan dengan radiasi UV. Terdapat tiga kategori radiasi UV, yaitu : UVC, dengan panjang gelombang yang terpendek, yaitu 200-290 nm. Tidak ada panjang gelombang yang lebih pendek dari 200-290 nm yang mencapai permukaan bumi, terutama disebabkan oleh fitrasi oleh lapisan ozone, kecuali bila ada keruskan pada lapisan ozone. Berbeda dengan UVB dengan panjang gelombang 290-320 nm yang mencapai

(24)

permukaan bumi dan bertanggung jawab terhadap atas sebagian besar terjadinya fotobiologi pada kulit. Sinar UVA dengan panjang gelombang 320-400 nm mampu melewati kaca jendela dan dibagi menjadi UVA-satu dengan panjang gelombang 340-400 nm dan UVA-dua dengan panjang gelombang 320-340 nm (Rigel et al., 2004). Menipisnya lapisan stratosfer dari ozone mengakibatkan semakin banyak jumlah radiasi UVB yang mencapai permukaan bumi yang selanjutnya menimbulkan efek langsung terhadap kesehatan manusia. Paparan ultraviolet ini memegang peranan penting terhadap terjadinya penuaan dini kulit. Menariknya hasil akhir dari proses glikasi atau advance glycation end product (AGE) yang terakumulasi pada protein yang berusia panjang seperti matriks ekstraseluler juga berfungsi sebagai sensitiser untuk ultraviolet sehingga merusak sel fibroblas di dermal. Sinar ultraviolet juga terbukti meningkatkan degradasi kolagen melalui aktivasi matriks metalloproteinase (MMP). Dan juga sinar ultra violet dapat memacu sintesis MMP-1 dan MMP-3 melalui pelepasan TNF-α oleh keratinosit dan fibroblas. UVB secara langsung berefek pada kerusakan DNA terutama pada dua lesi besar yaitu cyclobutane dimer dan pyrimidine pyrimidone photo product. Yang secara langsung mempengaruhi sintesis asam nukleat. Walaupun DNA inti mempunyai kemampuan untuk memperbaiki diri, kerusakan DNA jarang sekali di perbaiki secara komplit dan bisa menjadi sel kanker (Gilchrest, 2004).

(25)

Pada beberapa penelitian juga dikatakan bahwa radiasi sinar UVB menyebabkan penurunan dari sintesis TGF-β (Gilchrest dan Krutmann, 2006). TGF-β dapat menghambat sintesis melanin dengan memecah enzim tyrosinase (Martinez-Esparza et al., 2001).

Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk

Gambar 2.2. Gambar sinar ultraviolet

Sebanyak 95-98% radiasi UV yang mencapai permukaan bumi terdiri dari UVA, sedangkan sisanya sekitar 2-5% adalah sinar UVB. Intensitas UVA dalam sinar matahari mencapai 500-1000 kali lebih besar dibandingkan UVB. Namun penyebab utama dari photoaging dan

photocarsinogenesis adalah UVB. Dahulu UVA dianggap tidak berbahaya, akan tetapi ternyata paparan kronik ikut berperan pada

photoaging dan photocarsinogenesis (Hawk dan Young, 2004; Walker et al., 2008).

Kedalaman penetrasi sinar UV dipengaruhi panjang gelombang. Semakin besar panjang gelombang semakin dalam penetrasinya pada

(26)

kulit. Sinar UVA maupun UVB dapat menembus sampai ke lapisan dermis (Hawk et al., 2004).

2.4.2 Pengaruh sinar UV pada matriks ekstraseluler dermis

Radiasi UV memiliki banyak efek negatif terhadap kulit, baik secara langsung maupun tidak langsung. Diperkirakan bahwa sekitar 50% kerusakan yang disebabkan oleh UV terjadi karena pembentukan radikal bebas, sedangkan kerusakan seluler langsung dan mekanisme lainnya merupakan penyebab untuk sisanya. Kerusakan matriks ekstraseluler kulit dermis akibat sinar UV pada dasarnya diperantarai mekanisme seluler dan molekuler antara lain melibatkan reseptor permukaan sel, jalur transduksi sinyal protein kinase, faktor transkripsi, matriks metalloproteinase(MMP) (Rabe et al., 2006).

Radiasi UV dapat mengaktivasi reseptor sitokin faktor pertumbuhan (growth factor), pada permukaan keratinosit di epidermis dan sel fibroblast pada dermis. Diperkirakan sekitar 15 menit setelah paparan UV, akan terjadi aktivasi reseptor untuk epidermal growth factor

(IL-1 dan TNF-α) pada keratinosit dan fibroblast. Aktivasi reseptor ini akan menginduksi sinyal intraseluler seperti MAP kinase yang selanjutnya mengaktivasi kompleks faktor transkripsi nukleus activator protein-satu (AP-1) (Rigel et al., 2004).

Bukti yang ada terus bertambah dari penelitian in vitro bahwa radiasi UV memicu aksi ligand reseptor melalui pembentukan ROS. Telah didahlilkan bahwa ROS bersifat sebagai oksidan dan melalui

(27)

proses oksidasi tersebut akan menurunkan ensim protein-tyrosine phosphatase. Penurunan ensim ini akan menyebabkan terjadi up-regulation reseptor growth factor dan pada akhirnya akan mengaktivasi AP-satu (Rabe et al., 2006). Reactive oxygen species (ROS) juga berpengaruh dalam tranduksi sinyal yang diperantarai oleh MAP kinase

(MAPKs), p38 dan JNK. Enzim ini sama baiknya dengan seramid dari membran sel yang selanjutnya menyebabkan induksi AP-1. Activator

protein-1 terdiri dari dua subunit, yaitu c-fos yang diekspresikan secara konstitutif dan c-jun yang dapat terinduksi UV. Ekspresi komponen c-Jun dari AP-1 yang berlebihan pada fibroblast hasil kultur dapat mengurangi jumlah ekspresi kolagen-1. Pada dermis dan epidermis, AP-1 menginduksi ekspresi MMP kolagenase (MMP-1), stromelysin-1 (MMP-3) dan gelatinase 92-kd (MMP-9) yang merusak kolagen dan protein lain yang menyusun matriks ekstraseluler dermis. AP-1 dapat menekan ekspresi gen prokolagen-1, prokolagen-3 dan TGFβ sel fibroblas dermis sehingga terjadi penurunan sintesis kolagen. Pada manusia dalam waktu beberapa jam terpapar sinar UV akan terbentuk MMPs khususnya

gelatinase dan kolegenase yang pada akhirnya menurunkan jumlah kolagen pada lapisan dermis (Fisher et al., 2002; Rhein dan Santiago, 2010).

Up-regulation MMPs dapat terjadi walau hanya menerima dosis minimum UV yang besarnya jauh di bawah dosis yang diperlukan untuk menyebabkan terjadinya eritema serta didapat hubungan dosis antara

(28)

paparan UV dan induksi MMPs. Paparan terhadap sinar UV dalam jumlah yang tidak cukup untuk menyebabkan terbakarnya kulit (sunburn) dapat memfasilitasi terjadinya degradasi kolagen kulit yang menyebabkan terjadi photoaging. Paparan dosis sangat rendah berulang sinar UV pada dosis yang setara dengan lima sampai dengan 15 menit paparan terhadap matahari siang setiap dua hari sekali adalah cukup untuk mempertahankan tingkat MMP yang meningkat ini (Cuningham et al., 2005).

Faktor transkripsi Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga diaktivasi oleh sinar UV melalui mekanisme iron-dependent. Mekanisme ini memperkuat respon UV dengan menstimulasi transkripsi sitokin untuk peroses inflamasi dan menarik neutrofil yang mengandung neutrophil collagenase (MMP-8) yang telah terbentuk sebelumnya (Fisher et al., 2007). Nuclear Factor-kB (NF-κB) juga dapat meningkatkan ekspresi MMP-9 (Kim et al., 2007; Rhein dan Santiago, 2010).

Produksi kolagen berkurang pada kulit yang mengalami

photoaging. Setelah radiasi UV, persediaan prokolagen tampak jelas berkurang dan tidak ada sama sekali saat 24 jam setelah paparan in vivo. AP-1 dan transforming growth factor β (TGF-β) terlibat dalam down-regulation sintesis kolagen yang dimediasi oleh UV ini (Chung et al., 2004; Rabe et al., 2006).

Secara keseluruhan, efek radiasi UV pada dermis menghasilkan degradasi kolagen, hambatan sintesis kolagen, inflamasi dan stres

(29)

oksidatif, serta penurunan kemampuan sel dan pada akhirnya terjadi proses apoptosis (Cuningham et al., 2005; Rabe et al., 2006).

Gambar 2.3 Efek radiasi UV pada keratinosit (KC) dan fibroblas (F). Radiasi UV memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang dapat merusak DNA dan menghambat kerja enzim tirosin fosfatase. UV

juga dapat menurunkan reseptor asam retinoat (RA) dan memicu peningkatan nuclear factor-kB (NFk), dengan efek akhir penurunan

produksi kolagen, pemecahan kolagen, akibat aktivitas matriks metaloproteinase (MMP).

(Sumber: Rigel et al., 2004; Rabe et al., 2006) 2.4.3 Efek ultraviolet

Ultraviolet B (UVB) merupakan spektrum radiasi ultraviolet dengan panjang gelombang 290 – 320 nm, dan merupakan sinar ultraviolet yang paling efektif menembus bumi dan mengakibatkan kerusakan pada kulit manusia. Kerusakan yang terjadi oleh karena ultraviolet B adalah lebih pada kerusakan DNA sel yang merupakan kromofornya. Sinar UVB banyak terserap ke epidermis dan menembus ke papila dermis. Gejala kerusakan yang terjadi akibat penyerapan UVB ke epidermis berupa eritema. Panjang gelombang dari ultraviolet yang

(30)

paling efektif menyebabkan eritema yaitu 250-290 nm dan semakin berkurang efek eritemanya seiring dengan bertambahnya panjang gelombang. Pada paparan sinar UVB tunggal dengan dosis suberitema, gejala eritema berangsur berkurang dalam waktu 24 jam. Pada paparan berulang akan terjadi efek kumulatif dan terjadilah eritema. Gejala eritema setelah paparan sinar UVB akan terjadi kemudian dalam waktu tiga-lima jam dan maksimal pada 12-24 jam kemudian, dan berkurang dalam 72 jam. Sebelum terjadi eritema maka akan terjadi vasodilatasi pembuluh darah. Secara histopatologis pada studi dengan potongan kulit 1-µm yang disinari UVB tunggal dengan dosis tiga MED terjadi kerusakan sel keratinosit pada 30 menit setelah paparan, dan paling jelas pada 24 jam kemudian. Setelah 72 jam sel keratinosit yang rusak berubah menjadi parakeratotik dan pembesaran sel endotel terjadi setelah 30 menit sampai maksimal 24 jam setelahnya (Gilchrest, 2004). Lihat lampiran-1 (Tabel 2.2 Efek UV terhadap kulit).

2.4.3.1 Efek akut ultraviolet 2.4.3.1.1 Eritema

Eritema (sunburn) merupakan reaksi inflamasi akut pada kulit berkaitan dengan kemerahan yang timbul akibat setelah paparan yang berlebihan radiasi sinar ultraviolet. Eritema yang terbentuk tergantung pada panjang gelombang. UVA yang memiliki dua kategori oleh karena memiliki perbedaan eritemogenik di mana UVA-2 lebih meningkatkan eritema dibandingkan UVA-1. Efektivitas eritema menurun dengan

(31)

bertambahnya panjang gelombang. Eritema yang diinduksi oleh UVB berespon lebih lambat, mencapai puncaknya setelah enam sampai 24 jam tergantung dosis. Intensitas kemerahan sangat tergantung dosis. Eritema ini dapat bertahan satu hari atau lebih, tergantung dosis dan tipe kulit. Meskipun reaksi akhirnya adalah peningkatan kemerahan kulit, lamanya dan dosis yang mengakibatkan eritema akibat UVB dan UVA sangat berbeda, radiasi UVA sangat kurang efektif mengakibatkan kemerahan dibandingkan dengan UVB. Dosis terendah yang mengakibatkan kemerahan minimal yang dapat dilihat dengan jelas 24 jam setelah radiasi disebut minimal erythema dose (MED). Nilai MED ini bervariasi antara satu orang dengan lainnya tergantung fototipe kulit, warna kulit, dan lokasi anatomi (Rigel et al., 2004).

2.4.3.1.2 Pigmentasi

Respon pigmentasi kulit mengikuti paparan sinar matahari terdiri dari reaksi kecoklatan (tanning) dan pembentukan melanin baru. Respon kecoklatan pada kulit tergantung panjang gelombang radiasi. Eritema yang diinduksi UVB diikuti dengan pigmentasi. Melanisasi yang terjadi akibat paparan kumulatif UVA bertahan lebih lama dibandingkan dengan yang terjadi akibat paparan UVB. Perbedaan ini kemungkinan terjadi akibat lokalisasi pigmen yang diinduksi oleh UVA lebih basal. Melanisasi yang diinduksi oleh UVB menghilang dengan turn-over

epidermis dalam satu bulan (Fisher et al., 2001; Rigel et al., 2004). Jadi pigmentasi dapat terjadi karena meningkatnya fungsi melanosit,

(32)

meningkatnya sintesis melanin dan meningkatnya transfer melanosom ke keratinosit.

2.4.3.1.3 Kerusakan DNA

DNA seluler secara langsung menyerap UVB, dan penyerapan ini menyebabkan lesi pada basa pirimidin, yang menjadi ikatan kovalen dan merusak heliks DNA. Apabila kerusakan DNA ini tidak diperbaiki maka akan mengakibatkan kesalahan pembacaan kode genetik, mutasi, dan kematian sel. Radiasi UVA juga merusak DNA tetapi kurang jika dibandingkan dengan UVB (Rigel et al., 2004; Placzek et al., 2005; Gilchrest dan Krutmann, 2006).

2.4.3.1.4 Penekanan sistem imun

Paparan sinar ultraviolet ternyata dapat menekan sistem imunitas. Fenomena ini disebut photo immunosuppresion. Fenomena ini berperan penting terhadap terjadinya kanker kulit, meningkatnya insiden penyakit infeksi dan virus, serta menurunnya efektivitas vaksin. Suatu penelitian menunjukkan bahwa dosis tunggal suberitemal dari radiasi simulator sinar matahari (0,25 atau 0,5 MED) menekan induksi dari respon hipersensitifitas kontak terhadap dinitroklorobenzena hingga 50-80% (Rigel et al., 2004).

(33)

Tabel 2.2. Efek akut UV terhadap kulit

Efek Mikroskopik Efek seluler Efek Fungsi Infiltrat sel radang

Vasodilatasi

Produksi sitokin Imunosupresi

Sel sunburn (Apoptosis) Proses repair Sintesis vit D

Pengurangan sel

Langerhans

Berhentinya siklus sel

Hiperkeratosis Hiperproliferasi

(Penebalan epidermis)

Akantosis

Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk

2.4.3.2 Efek kronis ultraviolet 2.4.3.2.1 Photoaging

Beberapa perubahan molekuler dan seluler yang diinduksi oleh paparan tunggal radiasi ultraviolet tidak memiliki relevansi dengan kerusakan kronis. Perubahan seluler dan jaringan yang terlibat pada beberapa efek akibat paparan ultraviolet, tidak sesederhana yang terjadi sebagai respon akut. Kromofor terbesar menyerap UVB adalah asam nukleat dan protein, kromofor lainnya menyerap UVA tetapi pada konsentrasi yang rendah (Gichrest, 2004). Kulit yang mengalami

photoaging secara klinis menunjukkan karakteristik kasar, kerutan halus dan kasar, hiperpigmentasi yang tidak merata dapat berupa lentigen atau

(34)

bercak (freckles), kelemahan, bengkak, dan telangiektasis (Rigel et al., 2004).

2.4.3.2.2 Fotokarsinogenesis

Telah banyak penelitian yang menyokong peranan langsung paparan sinar matahari terhadap perkembangan kanker kulit, khususnya kanker kulit non melanoma, seperti melanoma sel skuamosa dan karsinoma sel basal. Sangat sulit mengevaluasi efek paparan ultraviolet pada induksi dan progresi kanker kulit pada manusia. Perkembangan lesi ini membutuhkan waktu bertahun-tahun, dan frekuensi maupun intensitas paparan menyerupai keadaan yang sebenarnya di alam sangatlah sulit (Rigel et al., 2004). Dikatakan juga kerusakan DNA yang disebabkan oleh radiasi UV merupakan penyebab utama perkembangan kanker kulit (Pleczek et al., 2005).

Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk

(35)

Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk

Gambar 2.5. Gambar patogenesa efek radiasi UV

Sumber : catatan kuliah fotofisik, fotokimia dan fotobiologi Dr.dr.A.A.G.P,Wiraguna, Spkk

(36)

2.5. Kolagen

Merupakan protein (polipeptida) ekstraseluler utama dalam tubuh manusia yang ditemukan pada hampir semua organ tubuh. Sampai saat ini sudah ditemukan sebanyak 21 tipe kolagen, jumlah dan jenisnya berbeda-beda pada berbagai organ tubuh manusia (Rhein dan Santiago, 2010).

Kolagen-1 merupakan jenis serabut kolagen terbanyak yang dijumpai dalam tubuh manusia seperti pada tendon, tulang, kulit. Serabut kolagen-1 berperan penting dalam pembentukan jaringan parut. Kolagen-2, kolagen-9, kolagen-10, kolagen-11 ditemukan pada kartilago. Kolagen-3 banyak dijumpai pada kulit, dinding pembuluh darah, pada jaringan yang ada serabut retikuler, seperti pada jaringan yang mengalami pertumbuhan cepat terutama pada tahap awal penyembuhan luka. Kolagen-3 penyebarannya hampir sama dengan kolagen-1. Sedangkan kolagen-7 kebanyakan lokasinya terletak pada anchoring fibril di dermal epidermal junction pada kulit, mukosa dan servik. Kolagen-7 juga banyak terdapat pada dinding pembuluh darah (Uito et al., 2008).

Telah banyak dibuktikan bahwa tipe kolagen yang mendominasi organ kulit adalah kolagen-1 dan kolagen-3 yang berfungsi pada pertahanan mekanik. Akan tetapi tipe kolagen lain yang juga ada pada kulit, seperti kolagen-5, kolagen-6, kolagen-7, kolagen-12 ditemukan dalam jumlah minimal yang diperkirakan ikut menunjang, akan tetapi

(37)

peran yang pasti belum jelas (Uito et al., 2008; Rhein, 2010). Karena kolagen-1 yang mendominasi organ kulit, maka kolagen-1 yang akan diukur pada penelitian kali ini.

Pada umumnya jumlah kolagen akan berkurang dengan bertambah umur. Akan tetapi beberapa tipe kolagen mengalami hal yang tidak sama. Pada kulit anak mempunyai banyak kolagen-3 (biasanya pada jaringan dengan pertumbuhan cepat). Pada proses penuaan intrinsik akan terjadi penurunan kolagen-3 dan peningkatan kolagen-1. Kolagen-1 terus meningkat sampai umur 35 tahun, saat kulit mencapai puncak kekuatan mekanik, setelah itu kolagen-1 akan menurun. Hubungan umur dengan jumlah kolagen sampai saat ini belum jelas, akan tetapi jumlah kolagen manusia setelah umur 60 tahun secara keseluruhan secara signifikan jumlahnya lebih sedikit dibandingkan dengan kulit umur lebih muda (Rhein dan Santiago, 2010).

Kolagen merupakan serat utama pada lapisan dermis kulit dan merupakan protein yang berfungsi untuk kekuatan mekanik dan penyangga kulit. Semakin bertambah umur maka struktur protein kulit dan komponen kulit lain akan berubah dan hal ini menyebabkan penuaan kulit. Perubahan jumlah kolagen merupakan bagian integral dari proses penuaan kulit. Diperkirakan bahwa akan terjadi penurunan kolagen sekitar 1% pertahun perunit area kulit akan tetapi pada kulit yang terpapar sinar UV dijumpai penurunan sampai 59% seperti yang

(38)

ditemukan pada kulit yang mengalami photodamage (Uito et al., 2008; Griffits et al., 2009).

Walaupun kolagen-1 merupakan kolagen utama pada lapisan dermis kulit akan tetapi kolagen tipe lain juga tidak kalah peranan pentingnya. Kolagen-7 yang terbanyak pada anchoring fibril terletak pada membrana basalis yang melekatkan membrana basalis ke papila dermis. Pada pasien dengan paparan sinar UV kronis akan menurunkan jumlah kolagen-7 dan akan mengakibatkan perlekatan antara membrana basalis dengan papilla dermis menurun sehingga ikatan epidermis dan dermis menjadi lemah Pada satu penelitian didapatkan bahwa kerutan kulit terbentuk akibat lemahnya ikatan antara dermis dan epidermis oleh karena degenerasi anchoring fibril. Hal ini ditambah adanya bukti adanya penurunan kolagen-7 pada pada dasar kerutan kulit di samping juga ditemukan penurunan kolagen-4 pada tempat yang sama (Rhein dan Santiago, 2010).

2.6 Martiks Metalloproteinase-satu (MMP-1)

MMP adalah suatu protease dengan aktivitas degradasi terhadap protein jaringan ikat seperti kolagen, elastin, proteoglikan dan laminin. Pada setiap organisme, MMP merupakan endopeptidase yang mengandung domain aktif Zn² (zinc-dependent endopeptidase). MMP memiliki gene family pada manusia terdiri dari 28 tipe dengan struktur dan spesivitas yang berbeda. MMPs berhubungan dengan proses

(39)

fisiologis dan patologis yang berkaitan dengan turn over matriks ekstraseluler, wound healing, angiogenesis, dan kanker.

Sejumlah MMPs mampu menimbulkan degradasi terhadap kolagen-1 yaitu antara lain MMP-1, MMP-8, MMP-13, MT1-MMP (MMP-14), MT2-MMP (MMP-15), dan MT3-MMP (MMP-16). Pada kulit hanya MMP-1 yang paling banyak dipicu pembentukannya oleh pajanan sinar ultraviolet dan tampaknya paling bertanggung jawab terhadap pemecahan kolagen akibat paparan matahari. Oleh karena itu, kadar MMP-1 yang akan diukur pada penelitian kali ini. Kadar MMP-1 akan meningkat sesuai dengan bertambahnya usia, yang mana hal ini diperkirakan sebagai akibat dari fragmentasi serat kolagen dan disorganisasi susunan serat kolagen pada dermis (Seltzer dan Eisen, 2006).

Matriks Metalloproteinase juga bertanggung jawab terhadap tejadinya degradasi kolagen. MMP juga telah dikenal perannya dalam pertumbuhan sel kanker dan metastase dan telah sering menjadi target terapi anti kanker oleh karena ekspresinya yang berlebihan. Berbagai jenis Matriks Metalloproteinase dan target sasaran yang didegradasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini (Rhein dan Santiago, 2010).

(40)

Tabel 2.3 Jenis Matriks Metalloproteinasedan target sasaran yang terdegradasi SINGKATAN NAMA NAMA ALTERNATIF TARGET SASARAN

MMP-1 Matrix collagenase Collagens I,II.II.VII dan X

MMP-2 Gelatinase Gelatin, Collagens I,V, VII, XI, Fibronectin

laminin dan elastin

MMP-3 Stromelysin I Agreccan, Gelatin, Laminin Fibronectin, Collagens tipe IV, IX, X

MMP-7 Matrilisyn Agreccan, Fibronectin

MMP-8 Neutrophil colagenase Agreecan, Gelatin, Fibronectin, Laminin, Collagens II, IV, IX, X

MMP-9 Gelatinese B Agrecan dan Fibronectin

MMP-10 Stromelysin 2 Agrecan

MMP-11 Stromelysin 3 Fibronectan

MMP-12 Metalloelastase Elastin

MMP-13 Collagenase 3 Collagens I, II, III

MMP-14 Membran Type Collagens I, II, III, Lamininn

MMP-18 Colagenase IV Agrecan

(41)

2.7 Radikal bebas 2.7.1 Definisi

Radikal bebas adalah molekul oksigen yang tidak stabil atau molekul lainnya yang tidak stabil. Molekul-molekul tersebut hanya mengandung satu atau lebih elektron bebas (elektron yang tidak berpasangan = unpaired electrons). Adanya satu atau lebih elektron bebas menyebabkan senyawa itu menjadi sangat reaktif. Molekul tersebut akan berusaha secara reaktif mencari pasangan elektron dengan mengambil atau mencuri dari elektron sel lainnya, sel yang diambil elektronnya akan menjadi molekul reaktif juga, demikian seterusnya secara berantai, sehingga sering disebut ROS (Bauman, 2002; Chen et al. 2012).

2.7.2 Jenis dan sumber radikal bebas

Terbentuknya radikal bebas dapat terjadi melalui sistem internal yang melibatkan sistem biologis tubuh maupun pengaruh eksternal seperti faktor lingkungan. Reaksi inflamasi ataupun setiap respirasi di mitokondria dapat menghasilkan oksidan. Kelebihan gizi juga dapat menimbulkan radikal bebas. Pada saat terjadi proses metabolisme lemak di samping terbentuk energi ternyata dapat menimbulkan oksidan. Faktor lingkungan antara lain seperti paparan sinar UV, polusi asap rokok atau pabrik, emisi kendaraan bermotor, konsumsi alkohol akan dapat menyebabkan terbentuk radikal bebas (Pinnel, 2003; Ardhie, 2011).

(42)

Oksigen penting untuk kehidupan organisme aerob, akan tetapi oksigen dapat mengalami reduksi parsial menjadi radikal bebas seperti

anion superoksida, hidrogen peroksida pada saat metabolisme normal di mitokondria dan di peroxisomes. Radikal bebas dapat terbentuk akibat aktivitas dalam berbagai sistem ensim seperti sitokrom p-450, ensim yang berhubungan dengan oksidasi pada plasma membran seperti

lipoksigenase dan xanthine oxidase. Hidrogen peroksida merupakan oksidan yang lemah dibanding anion superoksida, berfungsi sebagai intermediasi dalam produksi metabolisme oksigen yang reaktif dan toksik seperti hypochlorous acid yang terbentuk dari aktifitas

mieloperoksidase dan radikal hidroksil, serta melalui oksidasi metal transisi (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003; Chen, 2012).

Sebagian hasil reduksi metabolik oksigen yang dikenal dengan istilah ROS, ternyata reaktifitasnya relatif lebih tinggi dibanding oksigen.

Nitrit oksida (NO) yang diproduksi berlebihan juga merupakan sumber oksidan toksik yang dikenal dengan istilah RNOS, seperti peroxynitrite, nitroxyl, oxide nitrogen. Oxide nitrogen merupakan reaksi dari NO dengan anion superokside atau molekul oksigen (Moini et al., 2002).

Fungsi utama ROS atau RNOS adalah untuk mekanisme pertahanan imunologis, yang akan mengalami degenerasi dibantu oleh makrofag dan netrofil untuk mengeliminasi mikroba dan benda asing. Fakta terakhir menunjukkan bahwa NO penting dalam neurotransmisi dan mengatur tekanan darah. Fakta lain, sel non fagosit beberapa sitokin,

(43)

growth factor, hormon dan neurotransmiter produksi meningkat akibat pacuan ROS dan atau RNOS yang berperan dalam signal molekul atau sebagai tranduksi signal (Moini et al., 2002).

Akan tetapi ROS atau RNOS level tinggi cenderung menyebabkan kerusakan makromolekul seluler seperti lemak, protein dan DNA. Efek merusak radikal bebas dapat dinetralkan oleh sistem pertahanan antioksidan, seperti sistem enzim endogen yang menetralkan radikal bebas seperti superoksid dismutase, katalase, glutation peroksidase dan antioksidan non enzim dengan berat molekul rendah seperti glutathione

(GSH) dan thioridoksin (Moini et al., 2002; Chen et al., 2012).

Apabila terjadi pembentukan radikal bebas melebihi antioksidan dalam tubuh ataupun antioksidan dari konsumsi makanan akan menyebabkan kerusakan secara berantai sampai ke tingkat seluler dikenal dengan istilah stres oksidatif. Jadi stres oksidatif didefinisikan secara luas sebagai ketidak seimbangan antara kapasitas produksi oksidan dan antioksidan yang dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel. Walaupun beberapa reaksi sistem biologis berperan dalam menjaga keseimbangan konsentrasi anion superoksida dan hidrogen peroksida

akan tetapi mitokondria rupanya menjadi sumber yang paling penting untuk terbentuk radikal bebas. Produk berlebihan ROS dan RNOS berperan dalam patogenesis dan perkembangan penyakit peradangan kronis, aterosklerosis, kanker, diabetes dan proses aging (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003).

(44)

ROS yang berlebihan dapat menyebabkan kerusakan sampai ke tingkat seluler oleh karena pengambilan elektron baik dari komponen lemak, protein, DNA termasuk kerusakan pada sel yang berhubungan dengan proses penuaan. Diperkirakan setiap hari terjadi kerusakan sebanyak 10.000 DNA akibat proses oksidatif dalam tubuh yang menimbulkan radikal bebas. Oksigen yang kita hirup digunakan dalam metabolisme tubuh, sebanyak 95% mengalami metabolisme lengkap, 5% menghasilkan ROS (semi Reduce oxygen species) (Moini et al., 2002; Pinnel, 2003; Ardhie, 2011).

Berbagai jenis radikal bebas yang ada dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua bagian besar. Pertama adalah molekul oksigen dengan elektron yang tidak berpasangan di antaranya adalah anion superoksida (+O2-), radikal hidroksil (OH-), radikal peroksil lipid

(LOO) sedangkan yang kedua adalah molekul oksigen tunggal (Bauman, 2002; Ardhie, 2011).

Anion superokside merupakan radikal bebas yang pertama kali terbentuk saat metabolisme lipid maupun protein. Segera setelah terbentuk radikal ini melalui sistem enzim akan diubah menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Hidrogen peroksida merupakan oksidan lemah dan mampu menginisiasi proses oksidatif sehingga dapat membentuk radikal bebas. Perubahan H2O2 menjadi OH- melalui reaksi yang dikatalasi oleh transisi metal (Fe2+ atau Cu2+) (Moini, 2002; Pinnel, 2003).

(45)

Ada beberapa mekanisme yang menyebabkan sinar UV menimbulkan kerusakan pada kulit. Sinar UVB memicu produksi anion superokside melalui aktivasi NADPH oksidase dan rantai reaksi pernafasan di mitokondria. Sinar UVB yang diserap DNA dapat juga menyebabkan kerusakan langsung pada DNA. Sedangkan UVA melalui reaksi fotokimia diserap kromofor seperti riboflavin atau porpirin dan menimbulkan radikal bebas. Biasanya UVA memicu terbentuk ROS berupa molekul oksigen tunggal, sedangkan UVB memicu radikal

hidroksil dan lipid peroksidase (Masaki, 2010).

Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.7. Radikal Bebas

2.7.3 Tahap pembentukan radikal bebas

Secara umum, tahapan reaksi pembentukan radikal bebas melalui tiga tahapan reaksi berikut:

1. Tahap inisiasi, yaitu awal pembentukan radikal bebas, misalnya: Fe ++ + H2O2 Fe +++ OH- + •OH

(46)

R1 _H + •OH R1• + H2O 2. Tahap propagasi, yaitu pemanjangan rantai radikal.

R2_H + R1• R2 • + R1_H R3_H + R2• R3 • + R2_H

3. Tahap terminasi, yaitu bereaksinya senyawa radikal dengan radikal lain atau dengan penangkap radikal, sehingga potensi propagasinya rendah. (Winarsi, 2011).

R1 • + R1 • R1_R1

R2 • + R1 • R2_R1

R2 • + R2 • R2_R2 dan seterusnya 2.7.4 Spesies oksigen reaktif

Radikal bebas, yang sering disebut senyawa oksigen reaktif (ROS), dapat dibentuk melalui jalur enzimatis ataupun metabolik. Senyawa oksigen reaktif juga dapat diproduksi oleh sel dalam kondisi stres ataupun tidak stres. Pada kondisi tidak stres, terdapat keseimbangan antara proses pembentukan dan pemusnahan senyawa oksigen reaktif. Sementara pada kondisi stres oksidatif, pembentukan senyawa oksigen reaktif lebih tinggi dibandingkan dengan pemusnahannya. Akibatnya, sistem pertahanan tubuh terpacu untuk bekerja lebih keras untuk memusnahkan senyawa oksigen reaktif. Salah satu sistem pertahanan tubuh itu adalah sistem antioksidan enzimatis dan non enzimatis, yang bekerja menekan senyawa oksigen reaktif yang berlebihan. Sebagai akibatnya adalah gangguan metabolik yang mengakibatkan stres

(47)

oksidatif. Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2), yaitu senyawa yang sangat dibutuhkan oleh organisme aerob seperti halnya manusia (Winarsi, 2010).

Tabel 2.4. Spesies Oksigen Reaktif (Caimi et al., 2004)

2.7.5 Dampak positif radikal bebas

Oksigen aktif atau ROS adalah bagian dari radikal bebas. ROS ini penting dalam produksi energi, fagositosis, sistem imun, transduksi signal (Hanggono, 2004).

2.7.6 Dampak negatif radikal bebas

Namun ROS juga berperan terhadap terjadinya penyakit kanker, jantung dan proses penuaan. Radikal bebas dapat merusak DNA, protein, membran fosfolipid (Hanggono, 2004). Radikal bebas mempengaruhi

peroksidasi lipid yang menyebabkan produksi MDA yang mengikat protein dan menyebabkan gangguan fungsi biologik protein tersebut. Pengaruh radikal bebas secara molekuler berupa serangkaian peristiwa yang menyebabkan oksidasi organik oleh oksigen molekuler, peristiwa ini mengakibatkan kerusakan fungsi seluler melalui terjadinya. Di dalam sel, peroksidasi lipid berhubungan dengan kondisi kerusakan seluler dan sitotoksisitas. Di mana terjadi perubahan pada struktur membran dan

(48)

fluiditas, peningkatan permeabilitas, kerusakan biologis seperti DNA dan protein menghasilkan penyakit kronis (Halliwell dan Gutteridge, 2006). 2.7.7 Stres oksidatif

Stres oksidatif adalah suatu keadaan ketika jumlah antioksidan tubuh kurang dari yang diperlukan, untuk meredam efek buruk radikal bebas, yang dapat merusak membran sel, protein dan DNA, dan berakibat fatal bagi kelangsungan hidup sel atau jaringan. Jika hal ini terjadi dalam waktu yang berkepanjangan, maka akan terjadi penumpukan hasil kerusakan oksidatif di dalam sel dan jaringan yang akan menyebabkan sel atau jaringan tersebut kehilangan fungsinya dan akhirnya mati (Bagiada, 2001). Stres oksidatif dihipotesiskan berperan penting terhadap terjadinya berbagai penyakit kronis (Wu et al., 2004). Dengan demikian penting untuk menjaga keseimbangan antioksidan dan oksidan dengan suplementasi antioksidan (Hanggono, 2004).

Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.8. Ketidakseimbangan ROS dan antioksidan

(49)

2.8 Antioksidan 2.8.1 Definisi

Antioksidan (AO) merupakan molekul yang menghambat proses oksidasi molekul oksidan. Oksidasi merupakan reaksi kimia yang memindahkan elektron atau hidrogen dari satu substansi ke agen oksidan (McDaniel, 2007).

Sebagai pertahanan terhadap kerusakan oksidatif, sel tubuh manusia dilengkapi berbagai antioksidan yang bekerja melalui berbagai mekanisme. Integritas seluler dipertahankan dengan menggunakan berbagai AO enzimatik seperti katalase, glutation peroksidase, glutation reduktase yang akan menghambat dampak negatif H2O2. Sedangkan area ekstra seluler dilindungi AO superoksid dismutase (SOD) dari dampak anion superokside. Membran sel dilindungi AO non enzimatik seperti glutation dan vit C pada fase air, vit E dan ubiquinol pada fase

lipid (Ames et al., 1993; Stahl dan Sies, 2003).

Sumber : catatan kuliah free radical oleh Prof.Dr.dr.A.A.Gd.Budhiarta Gambar 2.9. Mekanisme antioksidan menetraliser oksidan.

(50)

2.8.2 Mekanisme kerja antioksidan (Tandon, 2005; Ardhie, 2011) 1. Antioksidan primer.

Anti oksidan primer ini bekerja untuk mencegah pembentukan senyawa radikal bebas baru. Ia mengubah radikal bebas yang ada menjadi molekul yang berkurang dampak negatifnya, sebelum radikal bebas ini sempat bereaksi. Antioksidan tipe ini akan menetralisir radikal bebas dengan mendonasi satu elektronnya. Akibat kehilangan satu elektron molekul AO tersebut akan menjadi radikal bebas yang baru. Radikal yang baru terbentuk ini relatif stabil yang selanjutnya akan dinetralisir oleh AO lain seperti vit C, vit E, LA, CoQ10, flavonoid, asam urat, bilirubin (Moini et al., 2002).

Contoh antioksidan ini adalah enzim SOD yang berfungsi sebagai pelindung hancurnya sel-sel dalam tubuh serta mencegah proses peradangan karena radikal bebas. Enzim SOD sebenarnya sudah ada dalam tubuh kita. Namun bekerjanya membutuhkan bantuan zat-zat gizi mineral seperti mangan, seng dan tembaga. Selenium (Se) juga berperan sebagai antioksidan. Jadi, jika ingin menghambat gejala dan penyakit degeneratif, mineral-mineral tersebut hendaknya tersedia cukup dalam makanan yang dikonsumsi setiap hari.

2. Antioksidan sekunder.

Antioksidan ini berfungsi menangkap senyawa serta mencegah terjadinya reaksi berantai. Mekanisme ini bekerja dengan mengikat logam, transisi pemicu ROS dan selanjutnya menyingkirkannya.

Gambar

Gambar 2.2. Gambar sinar ultraviolet
Gambar 2.3 Efek radiasi UV pada keratinosit (KC) dan fibroblas (F).  Radiasi UV memicu terbentuknya reactive oxygen species (ROS) yang  dapat merusak DNA dan menghambat kerja enzim tirosin fosfatase
Tabel 2.2. Efek akut UV terhadap kulit
Gambar 2.4. Efek positif dan negatif sinar matahari
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil pemeriksaan spirometer yang dilakukan oleh Balai Pencegahan dan Pengobatan Penyakit Paru (BP4) Semarang pada bulan Juli 2006 terhadap 10 (sepuluh)

Sekaitan dengan pandangan tersebut, maka latar belakang yang disajikan dalam makalah ini akan didasarkan pada beberapa “ isu “ utama, antara lain: (1) kebutuhan akan perubahan

Hasil belajar psikomotorik siswa pertemuan ke III dengan menggunakan Pembelajaran IPA Terpadu Model Keterhubungan ( Connected )berdasarkan gambar 4.11 menunjukkan hasil

Dari hasil penyuluhan dengan seluruh responden di dapatkan informasi bahwasannya rasa ingin tahu dan informasi yang kurang dapat menimbulkan perilaku perawatan

o Siswa berdiskusi dengan teman sekelompok atau guru tentang bagaimana membuat pilar yang kokoh dari selembar kertas dan informasi/pengetahuan apa yang mereka butuhkan untuk sukses

Industri kilang kopi, selain menghasilkan produk utama berupa biji kopi juga menghasilkan limbah padat berupa sekam dan kulit kopi. Limbah tersebut tersebut dimanfaatkan

pemicu bau menyengat yang mengundang banyak lalat. Gas amonia menghasilkan 51% pemanasan global. Apabila kita tidak mengatur temperatur, kelembaban dan amonia secara

Dengan demikian, aktivitas bekjar di pesantren yang difukuskan pada peng- ajaran kiab kuning tidak tergangu oleb kehad.iran madrasah-hserta kuriku- lum Depagnya-yang