• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG GEJALA ASKARIASIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK MURID SD X BANTARGEBANG, BEKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG GEJALA ASKARIASIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK MURID SD X BANTARGEBANG, BEKASI"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

TINGKAT PENGETAHUAN TENTANG GEJALA ASKARIASIS DAN HUBUNGANNYA DENGAN KARAKTERISTIK MURID SD X

BANTARGEBANG, BEKASI

Mutiara Ramadhiani* , Saleha Sungkar**

*Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

**Departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak : Prevalensi askariasis di Jawa Barat mencapai 90% dan sebagian besar terjadi pada anak. Penyakit ini mudah ditemukan pada lingkungan yang padat dan sanitasi buruk seperti pada daerah Bantargebang. Askariasis dapat menimbulkan malnutrisi pada anak sehingga menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai gejala askariasis dengan karakteristik murid SD X Bantargebang, Bekasi. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Pengambilan data dilakukan

melalui pengisian kuesioner yang berisi 5 pertanyaan tentang gejala askariasis oleh 58 responden pada tanggal 17 Desember 2011. Data dianalisis dengan uji Kolmogorov-Smirnov menggunakan program SPSS 20. Hasil penelitian menyatakan tidak terdapat murid yang memiliki tingkat pengetahuan baik, 1( 1,7%) cukup, dan 57 (98,3%) kurang. Hasil analisis data menunjukan bahwa hubungan tingkat pengetahuan mengenai gejala askariasis dengan karakteristik demografi tidak berbeda bermakna (p>0,05). Disimpulkan bahwa tingkat pengetahuan murid mengenai gejala askariasis tergolong kurang dan tidak berhubungan dengan karakteristik murid SD X

Bantargebang, Bekasi. Kata kunci: askariasis, Bantargebang, demografi, gejala askariasis, karakteristik, murid SD.

(2)

The Knowledge of Ascrasiasis Symptoms and its

Association with Student's Characteristic at SD X Bantargebang, Bekasi

Abstract : In Jawa Barat, the prevalence of ascariasis is 90% and most of them occur in children. Bantargebang is more at risk of being ascariasis because it has high population density and bad sanitation. Ascariasis changes a nutritional status into malnutrition and affect child’s growth and development. The aim of this study is to know the association between the knowledge of ascaris symptomps and the student’s demographic characteristics in SD X Bantargebang, Bekasi. This study was held on December 17th, 2011 with 58 of students who participate to answer 5 questions about ascariasis symptomps in questionnaire. The data are analyzed with Kolmogorov-smirov test using SPSS 20. The result shows that 57 stundents (98,7%) have poor knowledge, 1 student (1,72%) has fair knowledge, and none of them has a good knowledge. The analyzed data show that relationship between level of knowledge and demographic characteristics was not significant (p>0,05). In conclusion, students have poor knowledge of ascariasis symptomps and there is no association between the level of knowledge about ascariasis symptomps and the student’s demographic characteristics in SD X Bantargebang, Bekasi. Keywords: ascariasis, ascariasis symptoms, Bantargebang, demographic characteristics, elementary student.

(3)

PENDAHULUAN

Soil transmitted helminths (STH) merupakan cacing yang membutuhkan tanah di dalam siklus hidupnya. Tercatat sekitar 1,5 milyar orang di dunia terkena infeksi STH.1 Salah satu contoh spesies dari soil transmitted helminths (STH) yang cukup banyak ditemukan pada masyarakat adalah Ascaris lumbricoides.2

Askariasis merupakan penyakit yang disebabkan oleh Ascaris lumbricoides. Kondisi lingkungan yang optimal untuk keberlangsungan hidup A. lumbricoides adalah keadaan iklim tropis dengan kelembaban yang tinggi, tanah liat, serta keadaan higiene dan sanitasi yang buruk. Indonesia mempunyai iklim dan kondisi yang sesuai untuk tempat hidup A. lumbricoides sehingga prevalensi askariasis tinggi.

Daerah Bantargebang, Bekasi adalah lokasi pembuangan sampah akhir yang memiliki kepadatan penduduk yang tinggi serta tingkat kebersihan dan sanitasi yang buruk. Selain itu masih banyak ditemukan anak-anak yang bermain di tanah. Keadaan tersebut merupakan tempat yang baik bagi perjalan siklus hidup A. lumbricoides hingga dapat menyebabkan askariasis.

Askariasis lebih banyak terjadi pada anak dikarenakan intensitas kontak dengan tanah yang lebih sering serta kurangnya kebersihan pada anak-anak. Sebanyak 40-60% penduduk Indonesia mengalami cacingan dan askariasis memiliki angka kejadian tertinggi terutama pada anak sekolah dasar.3 Penyakit ini lambat laun dapat menimbulkan

masalah lain seperti malnutrisi yang kemudian akan menghambat pertumbuhan dan perkembangan anak.4 Oleh karena itu, masyarakat perlu mendapat informasi tentang gejala askariasis, agar mereka waspada terhadap infeksi A. lumbricoides. Melihat dari kondisi prevalensi dan dampak yang ditimbulkan dari askariasis, mengingatkan kita pentingnya pemberian penyuluhan mengenai A. lumbricoides, gejala askariasis, serta pencegahan dan pengobatan askariasis kepada anak-anak di daerah tersebut. Penyuluhan dilakukan di SD X yang terletak di Bantargebang, Bekasi karena merupakan salah satu sekolah dasar yang letaknya masih dekat dengan TPA dan masih terdapat sawah di sekitarnya. Anak murid yang dipilih untuk menjadi sampel adalah kelas 4, 5, dan 6 dikarenakan pertimbangan mengenai kematangan cara berfikir pada usia tersebut yang sudah dianggap baik. Pemberian informasi juga akan berjalan efektif apabila disesuaikan dengan karakteristik masyarakat tersebut.

Judul “Tingkat Pengetahuan tentang Gejala Askariasis dan Hubungannya dengan Karakteristik Murid SD X Bantargebang, Bekasi” dipilih untuk mengetahui tingkat

(4)

pengetahuan anak SD mengenai gejala askariasis, dapat dilakukan upaya selanjutnya untuk mencegah terjadinya askariasis pada anak.

TINJAUAN PUSTAKA A. lumbricoides

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu jenis cacing dari kelompok soil transmited helminthes. Keberadaannya cukup banyak di kehidupan manusia, diperkirakan 807-1,221 juta orang di dunia terinfeksi cacing ini.5 Infeksi A. lumbricoides dapat menyebabkan askariasis yang diketahui memiliki prevalensi terbesar dibandingkan dengan penyakit akibat infeksi nematoda lainnya.6 Parasit ini lebih mudah dijumpai pada kawasan yang padat penduduk, memiliki sanitasi yang buruk, beriklim tropis, serta memiliki tingkat kemiskinan yang cukup tinggi.

Morfologi

Ascaris lumbricoides merupakan salah satu jenis cacing dari kelas Nematoda atau biasa dikenal dengan sebutan cacing gelang. Cacing ini memiliki dua bentuk di dalam siklus hidupnya yaitu telur dan cacing dewasa. Telur A. lumbricoides memiliki struktur berbentuk oval dengan ukuran sekitar 45-47 x 35-50 mikron dan berwarna coklat kekuningan. Pada fase cacing, A. lumbricoides memiliki beberapa perbedaan fisik antara cacing jantan dan betina. Jika dilihat dari segi ukuran, cacing A. lumbricoides jantan memiliki panjang tubuh sekitar 10-30 cm dengan diameter 2-4 mm, sedangkan cacing A. lumbricoides betina memiliki ukuran yang lebih panjang, yaitu sekitar 20-35 cm dengan diameter 3-6 mm. Pada cacing jantan, bentuk ujung tubuhnya melingkar menuju arah ventral dimana disertai dengn 2 spikula. Perbedaan juga tampak pada ekornya yang berbentuk lurus dan runcing. Untuk bagian anterior, cacing jantan dan betina tidak memiliki perbedaan, keduanya sama-sama memiliki 3 buah bibir yang terletak pada mediodorsal dan ventrolateral. Ketiga bibir ini dilengkapi dengan sensor papillae.7

Siklus Hidup

Dalam upaya mempertahankan hidup dan berkembang biak, A. lumbricoides memiliki 2 tempat yang menunjang siklus hidupnya yaitu tubuh manusia dan tanah. Siklus hidup A. lumbricoides berawal dari telur yang dikeluarkan oleh cacing betina

(5)

dewasa di rongga usus manusia. Karakteristik lingkungan seperti tanah bertekstur liat, serta kelembapan yang tinggi juga mempengaruhi perkembangan telur menjadi bentuk infektif. Telur cacing dikatakan infektif apabila embrio dalam cacing telah berubah menjadi larva. Perubahan ini kurang lebih membutuhkan waktu 3 minggu. Apabila bentuk infektif ini tertelan dan masuk ke dalam saluran pencernan manusia, maka telur ini akan menetas pada usus manusia. Larva akan keluar dari telur tersebut dan menembus dinding usus halus hingga masuk ke vena portal hepatika. Larva ini juga akan terbawa ke berbagai organ seperti jantung bagian kanan dan paru tepatnya jaringan alveolus melalui sirkulasi portal. Dalam siklus hidupnya, larva akan mengalami dua kali molting saat berada di paru-paru. Setelah 10 hari berada di dalam paru-paru, larva berpindah menuju bronkus, trakea, laring hingga sampai pada faring. Kemudian larva tertelan kembali dan menjadi cacing dewasa di usus manusia dalam kurun waktu 6-8 minggu dan siap untuk bertelur kembali.8,9

Gejala Klinis

Askariasis tidak memiliki gejala spesifik yang dapat menjadi penanda pada penyakit ini. Gejala yang terjadi pada penyakit askariasis dapat muncul di berbagai organ, hal ini berdasarkan dimana lokasi cacing tersebut bermigrasi dan merusak organ tubuh. Beberapa gangguan yang biasa ditemukan pada askariasis antara lain berupa pneumonitits, malnutrisi, obstruksi intestinal, obstruksi biliaris, serta obstruksi pankreas. Penumonitis dapat terjadi ketika telur A. lumbricoides terbawa oleh sirkulasi darah menuju sistem pernafasan dan menetas di sana. Infeksi A. lumbricoides akan menyebakan reaksi yang bermanifestasi pada akumulasi eosinofil di parenkim paru disebut Loeffler’s Syndrome.10 Gejala klinis yang ditimbulkan antara lain timbulnya batuk dan demam. Pada foto toraks, ditemukan infiltrat paru yang bersifat sementara. Gejala lain juga dapat ditemukan pada saluran pencernaan yang disebabkan karena adanya migrasi cacing menuju sistem pencernaan. Pada keadaan tersebut akan terjadi malabsorpsi nutrisi pada saluran pencernaan, contohnya gangguan pada penyerapan protein, lemak, serta vitamin A. Hal yang paling dikhawatirkan adalah ketika hal tersebut terjadi pada anak. Pada usia anak, tubuh memerlukan nutrisi yang cukup untuk proses tumbuh dan kembang, sehingga terjadinya malabsorpsi nutrisi akan mempengaruhi tingkat nutrisi pada anak. Apabila keadaan tersebut dibiarkan, selanjutnya akan berdampak pada pertumbuhan anak yang terhambat, kemampuan fisik anak yang menurun, serta kemampuan kongnitif anak yang terganggu.

(6)

Selain gangguan penyerapan nutrisi, sejumlah cacing dapat menggumpal membentuk suatu bolus pada saluran pencernaan. Bolus ini dapat menyumbat rongga usus dan akan menimbulkan gejala abdomen akut yaitu penyumbatan usus (Ileus obstructive).11

Migrasi cacing menuju ke beberapa organ lain seperti apendiks, duktus choledocus, dan duktus pakreatikus juga akan menyebabkan ectopic infection seperti apendisitis, obstruksi saluran empedu, pankreatitis akut.

A. lumbricoides juga memiliki cairan yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi toksik pada tubuhnya. Reaksi tersebut akan menimbulkan gejala lain seperti demam yang disertai alergi, oedema wajah, dan iritasi saluran pernafasan.

Epidemiologi

Askariasis merupakan salah satu penyakit infeksi cacing Ascaris dengan prevalensi lebih tinggi dibandingkan jenis cacing lainnya seperti Trichuris dan Oxyuris.6 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa cacing ini dapat berkembang dengan baik pada daerah yang memiliki karakteristik tertentu seperti suhu yang tropis. Ciri ini dapat kita temukan pada negara-negara berkembang di Asia Tenggara sehingga menjadikan angka kejadian askariasis terbanyak di dunia. Afrika dan Amerika Selatan menduduki urutan selanjutnya dalam jumlah infeksi askariasis.12 Selain itu, sosial ekonomi dan kebersihan juga turut berperan terhadap prevalensi askariasis. Hal ini telihat dari prevalensi askariasis berdasarkan golongan sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan yaitu 80% pada keadaan sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan buruk, dan 33% pada sosial ekonomi dan kebersihan lingkungan baik.

Diagnosis Askariasis

Untuk mendiagnosis askaris dapat dilakukan dengan beberapa pemeriksaan, namun pemeriksaan yang paling umum dilakukan adalah pemeriksaan telur cacing pada tinja manusia. Selain itu, terdapat pemeriksaan lain seperti radiologi, ultrasonografi, maupun penemuan cacing dewasa dari dalam tubuh yang dapat membantu untuk menegakkan diagnosis.

Pada pemeriksaan tinja manusia, dapat dilakukan menggunakan sediaan apusan dari tinja untuk mendeteksi secara langsung keberadaan telur. Terdapat pula metode Kato Katz yang merupakan pemeriksaan secara kuantitatif terhadap telur Ascaris. Metode Kato Katz secara epidemiologi dikatakan mampu mengurangi morbiditas dan mortalitas

(7)

akibat infeksi parasit karena mencegah diagnosis yang salah .13 Pengobatan dan Pencegahan Askariasis

Terdapat beberapa macam obat yang diberikan untuk mengobati askariasis. Albendazol merupakan obat yang biasa digunakan dengan dosis tunggal yaitu 400 mg. Menurut penelitian, albendazol memiliki efikasi yang tinggi dalam penyembuhan infeksi STH.14

Mebendazol juga dapat menjadi pilihan untuk pengobatan askariasis. Obat ini merupakan contoh obat cacing yang memiliki spectrum luas dan memiliki toleransi hospes yang baik. Pemberian obat ini dilakukan dengan dosis 100 mg dengan frekuensi dua kali sehari selama 3 hari. Obat ini diberikan pada usia lebih dari 2 tahun.15 Pemakaian jangka panjang dapat menyebabkan penurunan sel darah putih.

Contoh obat lain yang dapat digunakan untuk mengobati askariasis adalah Pirantel Pamoat. Pirantel Pamoat digunakan dengan dosis tunggal, yaitu 11mg/kg berat badan.16 Adapun efek samping yang diberikan dari pengkonsumsian obat ini antara lain sakit kepala, diare, dan muntah.

Selain pengobatan secara farmakologi, askariasis perlu dicegah oleh manusia. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam upaya pencegahan askariasis, contohnya mencuci tangan agar tidak terjadi transmisi telur cacing ke dalam tubuh, menjaga kebersihan makan yang dikonsumsi, serta memperbaiki sanitasi di dalam lingkungan hidup. Pemberian edukasi kesehatan kepada masyarakat juga menjadi salah satu langkah pencegahan infeksi askariasis yang sangat penting.

Pengetahuan

Pengetahuan merupakan perubahan menjadi tahu akan suatu hal dalam bentuk kesan di pikiran yang telah didahului dengan pengamatan dari sistem penginderaan manusia terhadap suatu objek. Pengetahuan memiliki beberapa tingkatan dimulai dari awal pengenalan seseorang terhadap suatu hal. Setelah tahap ini, manusia akan merasa paham dan mampu mengaplikasikan pengetahuannya pada kehidupan. Manusia juga pada akhirnya akan mampu mengevaluasi kesesuaian pengetahuan yang dimiliki dengan nilai-nilai yang sudah ada.17

(8)

METODE

Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan subjek penelitian murid kelas 4,5, dan 6 pada SD X Bantargebang, Bekasi. Pengambilan data dilaksanakan pada tanggal 17 Desember 2011 bertempat di SD X Bantargebang, Bekasi. Seluruh murid (58 anak) dikumpulkan di dalam satu ruang kelas untuk diberikan penjelasan kegiatan mengenai kegiatan hari tersebut dan dimintakan

persetujuan untuk mengisi kuesioner penelitian. Selama pengisian, para subjek berada di bawah bimbingan peneliti agar pengisian berjalan sesuai alur yang benar. Kemudian data dari kuesioner tersebut dikumpulkan dan dianalisis dengan program SPSS for windows versi 20 menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis dengan variabel yang diteliti, yaitu jenis kelamin, usia, kelas, info terdahulu mengenai cacingan serta jumlah sumber informasi.

HASIL PENELITIAN

Tabel 1 Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi Murid SD X Bantargebang, Bekasi

Variabel Kategori Jumlah

Kelompok usia 9-10 20 (34,5%)

11-12 32 (55,2%)

>12 6 (10,2%)

Tingkat pendidikan Kelas 4 27 (46,6%)

Kelas 5 10 (17,2%)

Kelas 6 21 (36,2%)

Jenis kelamin Perempuan 28 (48,3%)

Laki-laki 30 (51,7%)

Informasi terdahulu Tahu 50 (86,2%)

Tidak tahu 8 (13,8%)

Sumber informasi <3 sumber 36 (62,1%)

>3 sumber 22 (37,%)

Tabel.1 menunjukan responden terbanyak berusia 11-12 tahun (55,2%) diikuti dengan usia 9-10 (34,5%) dan usia >12 (10,2%), tingkat pendidikan berada di kelas 4 SD (46,6%) diikuti dengan kelas 6 (36,2%) dan kelas 5 (17,2%), jenis kelamin laki-laki (51,7%) diikuti dengan perempuan (48,3%) dan telah mendapat informasi tentang cacingan (86,2 %) dari < 3 sumber berbeda (62,1%).

(9)

Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi

Jumlah Sumber Informasi Jumlah

Tidak mendapat informasi 8 (13,8%)

1 sumber informasi 9 (15,5%)

2 sumber informasi 19 (32,8%)

3 sumber informasi 21 (36,2%)

4 sumber informasi 1 (1,7%)

Tabel 2 menunjukan mayoritas responden yakni 21 (36,2%) memiliki informasi dari 3 sumber yang berbeda, diikuti dengan 19 (32,8%) yang memiliki 2 sumber berbeda. Dari 58 responden terdapat 8 (13,8%) yang belum mendapat sumber informasi apapun mengenai infeksi askariasis.

Tabel 3 Proporsi Skor Jawaban terhadap Pertanyaan Mengenai Gejala Askariasis

Pertanyaan Skor

Total

Skor Maksimal Persentase 1. Cacing gelang dapat

menimbulkan gejala …

96 290 33,1%

2. Di dalam usus, cacing gelang menyerap zat-zat gizi ...

80 290 27,6%

3. Infeksi cacing gelang dalam jangka panjang dapat menyebabkan...

114 290 39,3%

4. Jika cacing gelang cukup banyak, maka usus dapat mengalami...

87 290 30%

5. Pada infeksi berat, larva cacing gelang dapat menyebabkan:

52 290 17,9%

Tabel 3 menunjukan bahwa responden yang menjawab benar terbanyak ada pada soal nomor 3 di kuesioner (39,3%) sedangkan soal nomor 5 merupakan soal yang paling banyak dijawab salah oleh responden (17,9%).

Tabel 4 Tingkat Pengetahuan Responden Mengenai Gejala Askariasis dan Karakteristik Demografi Murid

Variabel Kategori Tingkat Pengetahuan Gejala Askariasis

Nilai P

Kurang Cukup Baik

Jenis Kelamin Perempuan 28 0 1

Laki-laki 29 1

Kelas Kelas 4 27 0 1

Kelas 5* 11 0

Kelas 6* 19 1

Info Terdahulu Tahu 49 1 1

Tidak tahu 8 0 Sumber Informasi < 3 35 1 1 ≥ 3 22 0 Usia 9-10 20 0 1 11-12* 31 1 >12* 6 0

(10)

Tabel 4 menunjukan bahwa tidak terdapat satu pun responden dengan tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis yang baik. Jumlah responden yang memiliki tingkat pengetahuan cukup adalah 1 orang dan kurang 57 orang. Nilai P yang didapat dari uji Kolmogorov-Smirnov pada masing-masing karakteristik adalah 1. Hal tersebut diartikan bahwa nilai tidak berbeda bermakna (p > 0,05).

DISKUSI

Daerah Bantargebang dimana SD X berlokasi memiliki keadaan lingkungkan dengan tingkat kebersihan dan sanitasi yang buruk, padat penduduk, serta banyak ditemukan tanah di sekitar rumah masyarakat. Keadaan tersebut merupakan tempat yang baik untuk pertumbuhan A. Lumbricoides sehingga dapat menyebabkan askariasis. Keadaan tersebut mendasari dilakukannya penelitian untuk menjawab adakah hubungan tingkat pengetahuan dengan karakteristik demografi murid SD pada daerah ini.

Dari penelitian didapatkan hasil bahwa mayoritas dari murid SD X di Bantargebang memiliki pengetahuan tentang gejala askariasis yang kurang. Hanya terdapat 1 ( 1,72%) murid yang tingkat pengetahuannya tergolong cukup, sedangkan 57 (98,28 %) lainnya tergolong kurang.

Pengetahuan merupakan hal yang penting bagi seorang individu untuk membentuk sebuah perilaku. Mengingat rendahnya tingkat pengetahuan akan gejala askariasis pada murid SD X di Bantargebang, maka perlu dilakukan penyuluhan mengenai gejala askariasis. Penyuluhan ini bertujuan untuk memberikan informasi kepada murid SD di Bantargebang agar mereka lebih mengenali gejala askariasis serta dapat mengubah perilaku hidup bersih dan sehat guna mencegah askariasis lebih dini. Penyuluhan akan berhasil bila dilakukan tepat sasaran dan menggunakan bahasa yang mudah dimengerti oleh orang yang disuluh. Berdasarkan penelitian, didapatkan hasil bahwa edukasi kesehatan efektif mencegah kejadian infeksi atau reinfkesi pada cacingan.18

Pada umumnya, tingkat pengetahuan seorang individu akan meningkat seiring dengan pertambahan usia serta jumlah informasi yang didapatkan. Pada hasil yang didapat dari penelitian ini, tidak ditemukan perbedaan yang bermakna antara tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis dengan karakteristik demografi murid SD X

(11)

Bantargebang. Hal ini dikarenakan baik kelas 4, 5, maupun 6 tidak mendapatkan informasi mengenai gejala askariasis pada pelajaran di sekolahnya, sehingga tingkat pendidikan tidak memberikan perbedaan yang bermakna terhadap tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis pada murid SD X Bantargebang, Bekasi. Selain itu, tempat bermain yang sama menyebabkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan terhadap informasi yang diterima, sehingga baik jenis kelamin maupun usia tidak menunjukan perbedaan yang bermakna terhadap tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis.

Hasil penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian sebelumnya oleh Hafizh.19 Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa tidak terdapat hubungan antara tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis dengan tingkat pendidikan formal para murid tsanawiyah dan aliyah. Namun berbeda pula jika dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Benthem et al (dikutip dari Fadhlan20), yang melaporkan bahwa wanita memiliki tingkat pengetahuan lebih baik dibanding pria. Kebiasaan wanita yang gemar berbincang dan bertukar informasi satu sama lain dikatakan sebagai penyebabnya.

Tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis diukur melalui 5 soal pada kuesioner, yaitu soal no. 1 sampai dengan 5. Masing-masing soal memiliki nilai maksimal sebesar 5 poin. Dari data pengetahuan mengenai gejala askariasis yang didapatkan, soal nomor 3 tentang dampak infeksi jangka panjang dari cacing gelang memiliki pencapaian skor tertinggi yaitu 114 dari total skor 290, sehingga dapat diartikan bahwa pengetahuan mengenai dampak jangka panjang dari infeksi cacing gelang merupakan hal yang paling diketahui oleh murid SD X Bantargebang. Hal tersebut disebabkan karena murid SD X sebelumnya sudah pernah mendengar informasi dampak dari infeksi cacing gelang di sekolahnya walaupun bukan melalui pelajaran. Hal ini juga sesuai dengan analisis kuesioner, yaitu 50 murid (86,2%) dari 18 murid (13,8%) telah mendapatkan informasi mengenai cacingan sebelumnya.

Untuk pencapaian skor terendah terdapat pada soal nomor 5, yaitu 52 dari skor total 290. Hal tersebut dapat diartikan bahwa pengetahuan yang paling tidak diketahui oleh mayoritas murid SD X adalah mengenai dampak yang ditimbulkan oleh larva cacing gelang pada infeksi berat. Pertanyaan tersebut dianggap sulit bagi murid SD X Bantargebang disebabkan karena mereka belum mengetahui fase hidup cacing dengan

(12)

baik, termasuk pengertian bentuk larva. Oleh karena itu, kurangnya pengetahuan tentang larva menyebabkan mereka tidak mengetahui dampak yang ditimbulkan larva cacing gelang pada infeksi berat. Selain itu ditemukan kata-kata sulit pada pilihan jawaban nomor 5 yang sulit dimengerti murid SD seperti “radang paru” dan “tumor paru” .

KESIMPULAN

Karakteristik demografi terbanyak pada murid SD X Bantargebang, Bekasi adalah 55,2% berusia 11-12 tahun, 51,7% laki-laki, 46,6% berada di kelas 4 SD, 86,2% telah mengetahui tentang cacingan, dan 62,1% mendapatkan informasi tentang cacingan dari < 3 sumber informasi.

Tingkat pengetahuan mengenai gejala askariasis pada SD X Bantargebang, Bekasi masih tergolong kurang, sesuai hasil yang didapat, yaitu 98,3% murid memiliki pengetahuan yang kurang sedangkan 1,7% lainnya memiliki tingkat pengetahuan yang cukup.

Tidak ditemukan hubungan antara tingkat pengetahuan tentang gejala askariasis dengan karakteristik murid SD X Bantargebang, Bekasi.

Daftar Pustaka

1. Centers for Disease Control and Prevention. Parasites: Soil-transmitted Helminths. 2013. Diunduh dari http://www.cdc.gov/parasites/sth/ [diakses tanggal 20 Juni 2013]

2. World Health Organization. Soil-transmitted Helminth Infections. 2013. Diunduh dari http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs366/en/ [diakses tanggal 20 Juni 2013]

3. DEPKES RI. Prevalensi Cacingan di Indonesia. Jakarta : DEKES RI; 2009. 4. Listorti JA, Doumani FM. Environmental Health: Bridging the Gaps. World

Bank Discussion Paper. 2001;422:323-4

5. Centers for Disease Control and Prevention. Parasites-ascariasis. 2013. Diunduh dari http://www.cdc.gov/parasites/ascariasis/ [diakses tanggal 20 Juni 2013]

(13)

6. Palmer PES, Reeder MM. The Imaging of Tropical Diseases with Epidemiological, Pathological and Clinical Correlation. Heidelberg: Springer; 2000. h.11-38

7. Kotpal RL. Modern Text Book of Zoology: Invertebrates. New Delhi : Rastogi Publications; 2010. h.387-8

8. Weischer B, Brown DJF. An Introduction to Nematode : General Nematology ; A Student's Textbook. Sofia : Pensoft; 2000. h.10-12

9. Bethony J, Brooker S, Albinico M, Geiger SM, Loukas A, Diemert D, et al. Soil-transmitted Helmint Infections: Ascariasis, Trichuriasis, and Hookworm. Lancet. 2006 May 6; 367(9521): 1521-32.

10. Joob B, Wiwanitkit V. Loeffler’s Syndrome, Pulmonary Ascariasis, in Thailand, Rare or Under-reported? J Thorac Dis 2012;4(3):339.

11. Zheng PP, Wang BY, Wang F, Ao R, Wang Y. Esophageal Space-occupying Lesion Caused by Ascaris Lumbricoides. World J Gastroenterol 2012; 18(13):

1552-1554 Available from: URL:

http://www.wjgnet.com/1007-9327/full/v18/i13/1552.htm

12. Liacouras CA, Piccoli DA. Pediatric Gastroenterology : The Requisites in Pediatrics. Phildadelphia : Mosby Elsevier; 2008. h.176

13. Endris M, Tekeste Z Lemma W. Comparison of The Kato-katz, Wet Mount, and Formol-ether Concentration Diagnostic Techniques for Intestinal Helminth Infections in Ethiopia. University of Gondar. 2012. Diunduh dari http://www.hindawi.com/isrn/parasitology/2013/180439/ [diakses tanggal 9 Juli 2013]

14. Keiser J, Utzinger J. Efficacy of Current Drugs Against Soil-transmitted Helminth Infections : Systemic Review and Meta-analysis. 2008.

15. Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman’s The Pharmacological Basis of Therapeutics. 11th ed. McGrawHill: USA; 2006. p. 1074-90

16. Schwartz E. Tropical Diseases in Travelers. Chichester : Wiley-Blackwell ; 2009. p. 308-9

17. Notoatmodjo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2003

18. Albright JW, Hidayati NR, Keys JB. Behavioral and Hygienic Characteristics of Primary Schoolchildren which Can be Modified to Reduce the Prevalence of

(14)

Geohelminth Infections: A study in Central Java, Indonesia. Southeast Asian J Trop Med Public Health Vol 36(3). 2005;629-640

19. Boenjamin HA. Tingkat Pengetahuan Mengenai Gejala Askariasis dan Hubungannya dengan Karakteristik Santri Pesantren X, Jakarta Timur [skripsi]. Jakarta : Universitas Indonesia; 2011

20. Fadhlan A. Tingkat Pengetahuan Siswa Madrasah Tsanawiyah Negeri Bayah Mengenai Pemberantasan Sarang Nyamuk DBD Setelah Penyuluhan [skripsi]. Jakarta : Universitas Indonesia; 2010

Gambar

Tabel 1 Sebaran Responden Berdasarkan Karakteristik Demografi   Murid SD X Bantargebang, Bekasi
Tabel 2 Sebaran Responden Berdasarkan Jumlah Sumber Informasi  Jumlah Sumber Informasi  Jumlah

Referensi

Dokumen terkait

Desa Pejarakan, Kec. Dinas Kalibukbuk, Ds. Dinas Dauh Margi. 18 Singaraja, Kec. Basri Abdillah/ PP. Dinas Sekeling, Ds. Dinas Sekeling, Ds. Anyelir 26C Denpasar, Tanjung Bungkak

Pada tahun 2009 Kabupaten Lampung Barat melaksanakan program P2KPDT yang lebih diarahkan untuk memilih komoditas yang cepat menghasilkan seperti ternak, dalam

Penelitian ini bertujuan untuk mengatasi perilaku siswa yang seriing membolos di SMK Wisudha Karya pada Siswa kelas XI TKR Tahun pelajaran 2015/2016

Insersi hurdle technology pada home industry pengolahan tahu dengan perlakuan penambahan ekstrak kunyit 5 % (b/b) dan perendaman dalam larutan jeruk nipis dapat memperpanjang

Meskipun model versi 2 memiliki nilai akurasi lebih rendah dari versi 1, model versi 2 merupakan kondisi ideal, dimana keberadaan jaringan irigasi dimaksudkan untuk memenuhi

“Lalu, tanpa adanya mata, wujud dan kesadaran melihat (penglihatan), tiada landasan (thana) untuk melabel (menyebutkan) sebutan ‘kontak.’ Tanpa adanya landasan untuk

Faktor lainnya yang ada di BPRS ini sendiri adalah dengan melihat besarnya nisbah yang ditentukan oleh bank syariah lainnya yakni nisbah yang ada di Mitra Harmoni Malang tidak

Sedangkan pada umur 9-10 tahun, tahap kemampuan motorik yang dimiliki antara lain; (1) belajar rileks bila merasa lelah, (2) belajar tentang masalah-masalah hambatan gizi, (3)