• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tradisi Membuat Jajan Apam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Tradisi Membuat Jajan Apam"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Dalam catatan kisah yang dituturkan masyarakat, peran mbah Gendon memang sangat besar dalam melawan kolonial Belanda. Bahkan masyarakat menyebut kalau mbah Gendon memiliki kesaktian karena tidak mempan ditembak oleh senjata api Belanda.

Terlepas kisah-kisah tersebut, setidaknya mbah Gendon selain dikenal sebagai ulama, ia juga disebut-sebut sebagai putra terbaik di wilayah Dusun Kauman, Desa Kesesi. Untuk

Tradisi Membuat Jajan ”Apam”

itu, dalam setiap hari Haul-nya, masyarakat setempat membuat jajan apam dengan jumlah banyak dan ada yang berukuran besar.

Jajanan apam ini dibagi-bagikan kepada ribuan masyarakat yang hadir dalam acara

haul tersebut. ”Untuk jajanan apam inilah,

maka warga Kesesi, khususnya di Dusun Kauman dikenal sebagai pembuat kue apam yang enak,” papar arifin, menambahkan.

KI AGENG PANGELING DI TALUN

SeJarah perkembangan penyebaran agama Islam di wilayah Kabupaten Pekalongan memang banyak diwarnai oleh kiprah para ulama. Boleh dibilang, para penyebar agama Islam itu dilakukan oleh para wali, khususnya para Walisongo di abad XIV hingga abad XVIII. Nah, salah satu petisan (pesarean) yang diyakini oleh masyarakat sebagai makam Ki

ageng Pangeling (Pangiling) Gondo Kusumo terdapat di Kecamatan Talun.

memang, masyarakat di sekitar Talun menyebut bahwa pesarean tersebut adalah makam seorang Waliullah yang bernama Ki ageng Pangeling Gondo Kusumo. Berdasarkan sejumlah versi sejarah, figur Ki ageng Pangeling disebut-sebut bernama Tubagus

JULIANTO/LPWs

(2)

Pengeling yang tak lain adalah putra Sultan ageng Tirtaya, penguasa Kesultanan Banten.

makam Ki ageng Pangeling sendiri berada di kawasan leuwinanggung, Tapos, Depok, Ban ten atau persisnya di pinggir Sungai Cikeas. Dalam berbagai kisah dipaparkan

bahwa Tubagus Pangeling dikenal sebagai ulama dan pejuang yang sangat getol melawan kaum konolial Belanda.

Tubagus Pengeling bersama kakak kandung-nya, Pangeran Purbaya memang tak pernah surut terus berjuang menyingkirkan kaum kolonialis itu. Bila antara Ki ageng Pangeling dan Tubagus Pangeling adalah nama yang sama, maka bisa dibilang makam yang berada di Talun itu hanya merupakan petilasan saja. Dalam catatan sejarah juga diungkapkan bah-wa pada 1683, Sultan ageng Tirtayasa dikalah-kan oleh tentara kolonial Belanda. Putranya yang bernama Pangeran Purba dan Tubagus Pangeling lari ke hutan Kerangggan di sekitar Gunung Gede. Setelah Pangeran Purbaya ditangkap VOC (Vereenigde Oostin dische Compagnie), maka perjuangan kakak nya dilanjutkan oleh Tubagus Pangeling bersama istri Pangeran Purbaya, yakni Nyi ratu ambo mayangsari.

KYAI SENGKER DI KARANGGONDANG

PeNyeBaraN agama (Islam) di wilayah Kabu paten Pekalongan di abad XIV hingga pada abad XVIII, setidaknya mening galkan banyak situs dan catatan seja rah. Pada abad-abad tersebut, siar dan pe nye baran agama Islam dila kukan oleh para ulama yang dikenal dengan sebu tan Walisongo.

Nah, salah satu petil asan atau ”makam”

ula ma di zamannya yang hing ga kini ma sih ada ter sebut, terdapat di Desa Karanggondang, Kecamatan Karanganyar. Tempat situs bersejarah itu yakni petilasan Kyai Sengker. Konon, berdasarkan kisah penuturan masya-rakat, Kyai Sengker merupakan tokoh ulama dari Kota Surabaya.

Selain sebagai ulama pendakwah agama, Kyai Sengker merupakan seorang prajurit dari Kerajaan Surabaya. Petilasan yang ada di Desa Karanggondang ini memang berbentuk

REPRO INTERNET

Makam atau “pesarean” Ki Ageng Pangeling yang berlokasi di wilayah Talun.

REPRO INTERNET

Lokasi “petilasan” Mbah Sengker di wilayah Desa Karanggondang, Kecamatan Karanganyar.

(3)

MBAH CONDRO, SANG PEJUANG

FIGUr mbah Imam Condo, bagi masyarakat Kabupaten Pekalongan seolah sudah tidak asing lagi. Sosok yang dikenal sebagai ulama sekaligus pejuang di zaman prakemerdekaan ini, tercatat dalam lembaran sejarah sebagai pejuang yang tak pernah gentar melawan kaum penjajah. mbah Imam Condro lahir pada 1926 di Desa rowokembu, Kecamatan Wonopringgo. Ia wafat Tahun 1966 dan dimakamkan di desanya pula. deretan batu kuno dan beberapa bongkahan batu serta kayu. “masyarakat di sekitar Desa Karanggondang menyebut tempat itu sebagai makam mbah Sengker,” kata Jakfar, 53 tahun, warga Karanggondang.

Dalam misi dakwah menyebarkan agama Islam, Kyai Sengker dari barat –yakni Surabaya menuju Pekalongan, kemudian singgah dan menetap di Desa Karanggondang. “Batu-batu besar dan bongkahan kayu itu memang akan dibuat oleh Kyai Sengker untuk membangun

masjid,” terang Jakfar, menambahkan.

Selama menetap di Desa Karanggondang, Kyai Sengker mendirikan padepokan atau pesantren. Di padepokan itu, ulama ini memunyai 12 santri yang sangat setia berguru agama kepadanya. menurut kisah yang dituturkan masyarakat, ke-12 santri Kyai Sengker itu pernah bertarung sengit dengan seekor naga yang bernama “Baruk Kelinting”. Dan, legenda inilah yang sampai sekarang masih beredar di tengah masyarakat.

REPRO INTERNET

Makam Mbah Condro yang berada di Desa Rowokembu, Kecamatan Wonopringgo. Foto Mbah Condro (bawah).

(4)

Salah satu adik kandung mbah Imam Condro, Kolonel Syamsul hadi mengisahkan, figur kakaknya itu memang di tengah keluarga maupun kerabat dan teman-temannya dikenal pemberani. “Sejak kecil kakak saya itu sudah terlihat sebagai anak pemberani. Kesukaannya menangkap ikan dan ular,” kenang Syamsul yang merupakan anak bungsu dari 14 keluarga itu.

Sebagai anak sulung, mbah Imam Condro sepertinya sejak kecil juga sudah terlihat berbakat untuk kelak menjadi seorang pemimpin. Saat berjuang melawan tentara kolonial Belanda, ia menjadi Brigadir dan memimpin pasukan dengan sebutan Brigade “Samber Nyowo”. ”Nah, saat kakak saya melawan tentara Belanda, maka Belanda pun selalu mengkan ayah saya lalu dimasukkan penjara di Kedungwuni,” kenang Samsyul.

Tujuan kolonial Belanda, papar Syamsul, agar mbah Imam Condro kala itu menyerahkan diri. “Namun kakak saya sama sekali tidak mau menye rah, karena ayahanda berpesan apa

pun yang terjadi jangan sampai menyerahkan diri pa da kaum penjajah itu,” ujar Syamsul sambil me nam bahkan sang kakak justru semakin gen car melakukan perlawanan pada kolonial Belanda.

masih menurut kisah Syamsul, saat melawan tentara Belanda, mbah Imam Condro memang memiliki kelebihan. Suatu saat, ia memegang mortir yang dilemparkan tentara Belanda ke arahnya. Nah, setelah mortir meledak hanya bajunya yang robek, sementara tubuh mbah Imam Condro sama sekali tidak terluka. “Kejadian inilah yang membuat tentara Belanda sangat takut menghadapi kakak saya,” terang Syamsul.

Bupati Pekalongan, Drs. h. amat antono m.Si., dalam suatu kesempatan ziarah ke ma-kam mbah Imam Condro mengatakan bah wa perjuangan tokoh ulama dan sekaligus pe ju -ang untuk membela Tanah air ini patut dite la-dani. “yang jelas, mbah Imam Condro ada lah pahlawan yang menjadi kebanggaan bagi ma-sya rakat Kabupaten Pekalongan,” kata bupati.

PURA ITU BERNAMA KALINGGA

DI hamParaN lahan hijau dengan panorama yang sangat indah –di kawasan objek wisa-ta alam linggoasri, Dusun ling goasri, Desa linggoasri, Ke ca ma tan Kajen berdiri dengan me gah sebuah tempat peribadatan umat hin du, yakni Pura Kalingga Satya Dharma. Berdasarkan cata tan sejarah, keberadaan pura ini ada sejak zaman hindu di masa abad XIV.

Gambaran secara khusus, ba ngun an pura terdiri dari bahan batu bata dan kayu yang khas sebagai tempat ibadat masyarakat hindu. luas lahan yang diperguanakan untuk membangun pura ini mencapai 5.600 meter persegi dengan luas bangunan 168 meter persegi.

REPRO INTERNET

Pura Kalingga berada di kawasan wisata Linggoasri.

(5)

Sebagai bangunan kuno, setidaknya ba-ngu nan ini menyimbolkan bahwa wilayah Kabupaten Pekalongan sejak zaman pra-Islam sudah ada aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat hindu. Selebihnya, bangunan pura ini juga menandakan kalau masyarakat Kota Santri memunyai nilai tolerasi yang

tinggi terhadap kelangsungan kerukunan antarumat beragama.

Sejalan dengan itu, Pura Kalingga Satya Dhar ma ini selalu dipergunakan untuk acara-acara keagamaan umat hindu, seperti upacara Perayaan Galungan, Kuningan, dan sebagainya.

REPRO INTERNET

Saat acara “galungan” di Pura Kalingga, Linggoasri.

REPRO INTERNET

Batu kuno berupa berupa lingga yoni.

(6)

SITUS-situs di zaman batu atau pada abad VI memang banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Pekalongan. misalnya, di Dusun Tlogopakis, Desa Tlogopakis, Kecamatan Petung kriyono ditemukan batu kuno berben-tuk Lingga Yoni. Keberadaan lingga yoni yang diperkirakan ada pada era hindu-Budha

itu juga terdapat di Dusun Gondang, Desa Tlogohendro, Kecamatan Petungkriyono.

Selain di kawasan Kecamatan Petung-kriyono, di Kecamatan lebakbarang juga ditemukan situs lingga yoni. Batu lingga

yoni tersebut persisnya ditemukan di Dusun

Parakandowo, Desa Sidomulyo. Kemudian

situs lingga yoni itu terdapat pula di Dusun Pejomblangan, Desa Pejomblangan, Kecamatan Kedungwuni.

Terkait dengan situs-situs kuno tersebut, kebanyakan batu lingga yoni berwarna hitam lazimnya sebuah batu besar. Panjang batu rata-rata mencapai 100 centimeter lebih, lebar 16 centimeter, dan tinggi rata-rata mencapai 31 centimer.

Untuk batu lingga yoni yang ada di Dusun Tlogopakis memang berada di kompleks Situs Nogo Petolo. Bentuk lingga yoni ini memiliki hiasan bergambar kepala naga yang melingkar di badan yoni. Batu-batu megalitikum itu, banyak juga ditemukan di sekitar lokasi

lingga yoni.

REPRO INTERNET

Situs-situs batu kuno berupa arca megalit yang banyak ditemukan di wilayah Kabupaten Pekalongan.

REPRO INTERNET

Gambar

FIGUr  mbah  Imam  Condo,  bagi  masyarakat  Kabupaten Pekalongan seolah sudah tidak asing  lagi

Referensi

Dokumen terkait