SUPLEMENTASI SELENIUM DAN VITAMIN E TERHADAP
KANDUNGAN MDA, GSH-Px PLASMA DARAH DAN
BOBOT ORGAN LIMFOID AYAM BROILER
YANG DIBERI CEKAMAN PANAS
SKRIPSI LENNA ADRIYANA
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
RINGKASAN
LENNA ADRIYANA. D24050659. 2011. Suplementasi Selenium dan Vitamin E
terhadap Kandungan MDA, GSH-Px Plasma Darah dan Bobot Organ Limfoid Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan
Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr. Pembimbing Anggota : Ir. Widya Hermana, M.Si.
Tingginya suhu dan kelembaban lingkungan di daerah beriklim tropis berakibat buruk terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam broiler. Peningkatan suhu lingkungan melebihi kisaran zona suhu normal menyebabkan stress oksidatif, sehingga menyebabkan terjadinya serangan lipida peroksida pada membran sel. Salah satu upaya untuk mengatasi stress oksidatif akibat cekaman panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian selenium dan vitamin E dalam ransum. Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA) dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot organ limfoid (bursa fabricius dan timus) ayam broiler yang diberi cekaman panas.
Penelitian ini menggunakan 465 DOC (unsex) yang dipelihara pada dua kondisi, yaitu kondisi normal (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC) dan kondisi yang mendukung cekaman panas (rataan suhu lingkungan 29,80±0,76 oC). Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 2 faktor dan 3 ulangan. Faktor 1 yaitu suplementasi vitamin E (E1= ransum basal + vitamin E 0 ppm, E2= ransum basal + vitamin E 100 ppm, E3= ransum basal + vitamin E 200 ppm), faktor 2 yaitu suplementasi selenium (S1= ransum basal + selenium 0 ppm, S2= ransum basal + selenium 0,15 ppm, S3= ransum basal + selenium 0,30 ppm). Peubah yang diukur yaitu kandungan MDA dan GSH-Px plasma darah serta persentase bobot bursa fabricius dan timus. Data yang diperoleh dianalisis dengan sidik ragam (ANOVA), jika terdapat perbedaan yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E dapat menurunkan kandungan MDA (p<0,05) dan GSH-Px (p<0,01) plasma darah ayam broiler yang diberi cekaman panas, namun tidak mempengaruhi persentase bobot bursa fabricius dan timus ayam broiler. Persentase bobot bursa fabricius dan timus pada perlakuan cekaman panas masing-masing berkisar antara 0,04%-0,06% dan 0,28%-0,48%, sedangkan pada perlakuan kontrol masing-masing sebesar 0,08% dan 0,50%. Berdasarkan analisis data tersebut dapat disimpulkan bahwa peningkatan suhu lingkungan dapat menyebabkan naiknya kandungan MDA dan GSH-Px plasma darah sebagai indikator tingginya stress oksidatif serta menurunkan bobot bursa fabricius dan timus. Kombinasi suplementasi vitamin E (100 ppm dan 200 ppm) dengan selenium (0,3 ppm) dapat mengurangi stres oksidatif akibat radikal bebas pada ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas. Namun kondisi stres tetap terjadi yang ditunjukkan dengan menurunnya persentase bobot bursa fabricius dan timus.
ABSTRACT
Supplementation of Selenium and Vitamin E on MDA, GSH-Px Blood Plasma and Weights of Lymphoid Organ in Heat Stressed Broilers
L. Adriyana, M. Ridla, and W. Hermana
High environmental temperatures may cause heat stress in poultry. High temperatures contributes to oxidative stress, a condition where oxidant activity (free radical) exceeds antioxidant activity. In this research, selenium and vitamin E were utilized as anti heat-stress agents for heat stress broilers. The research used 465 unsex broilers and they were divided into 2 conditions, comfort zone (25.22±0.05 oC) and high temperatures (29.80±0.76 oC). Variables measured were malondialdehyde (MDA), glutathione peroxidase (GSH-Px) in blood plasma and weight of lymphoid organ (bursa fabricius and tymus). The data collected were analyzed with a factorial completely randomized design of 3x3 (3 levels of vitamin E, 3 levels of selenium and 3 replication) and continued with Duncan test. The result showed that selenium and vitamin E supplementation was significantly decreased on MDA (p<0.05) and GSH-Px (p<0.01) in blood plasma of heat stressed broilers, but it did not effect the weight of bursa fabricius and thymus of broilers. It could be concluded that the combination vitamin E (200 or 100 ppm) and selenium (0.3 ppm) is the most effective as anti heat-stress agent in broilers.
SUPLEMENTASI SELENIUM DAN VITAMIN E TERHADAP
KANDUNGAN MDA, GSH-Px PLASMA DARAH DAN
BOBOT ORGAN LIMFOID AYAM BROILER
YANG DIBERI CEKAMAN PANAS
LENNA ADRIYANA D24050659
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
Judul : Suplementasi Selenium dan Vitamin E terhadap Kandungan MDA, GSH-Px Plasma Darah dan Bobot Organ Limfoid Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas
Nama : Lenna Adriyana
NIM : D24050659
Menyetujui,
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Muhammad Ridla, M.Agr) (Ir. Widya Hermana, M.Si) NIP: 19631206 198903 1 003 NIP: 19680110 199203 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat G. Permana, M.Sc.Agr) NIP: 19670506 199103 1 001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 3 Maret 1987 di Subang, Jawa Barat. Penulis adalah anak ketiga dari empat bersaudara dari pasangan Bapak Supriatna dan Ibu Rachmawati.
Penulis mengawali pendidikan pada pada tahun 1993 di Sekolah Dasar Negeri Sukabakti Kabupaten Subang dan diselesaikan pada tahun 1999. Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Subang dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Subang.
Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2005 memalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007. Selama mengikuti pendidikan penulis menjadi staf informasi dan komunikasi di Himpunan Mahasiswa Nutrisi Ternak (HIMASITER) Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor 2007 dan Organisasi Mahasiswa Daerah Forum Komunikasi Kulawarga Subang (Fokkus) pada tahun 2005 sampai sekarang. Penulis juga pernah melakukan magang di Charoen Pokphand Jaya Farm 4 Subang selama satu bulan pada tahun 2008.
KATA PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim, Alhamdulillahirabbil’alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, shalawat serta salam dijunjungkan kepada nabi besar Nabi Muhammad SAW karena atas limpahan rahmat, hidayah, dan lindungan-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Suplementasi
Selenium dan Vitamin E terhadap Kandungan MDA, GSH-Px Plasma Darah dan Bobot Organ Limfoid Ayam Broiler yang Diberi Cekaman Panas”
berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bulan November 2009 hingga Februari 2010 di Laboratorium Lapang Blok A dan Blok C, serta Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis Malondialdehida (MDA) dan Glutathion Peroksidase (GSH-Px) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf suplementasi vitamin E dan selenium terhadap kandungan malondialdehida (MDA) dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot organ limfoid (bursa fabricius dan timus), sehingga diperoleh taraf suplementasi yang optimum pada ransum ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas.
Penulis menyadari banyak terjadi kesalahan dan kekurangan dalam penulisan skripsi ini, karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Bogor, Maret 2011
Penulis
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN ... ii ABSTRACT ... iii LEMBAR PERNYATAAN ... iv LEMBAR PENGESAHAN ... v RIWAYAT HIDUP ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... viii
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan ... 2
TINJAUAN PUSTAKA ... 3
Pengaruh Cekaman Panas terhadap Kondisi Fisiologis Ayam Broiler ... 3
Ayam Broiler ... 5
Peran Radikal Bebas ... 6
Kandungan Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator Peroksidasi Lipida ... 8
Antioksidan ... 8
Klasifikasi Antioksidan Utama ... 8
Enzim Glutathione Peroksidase ... 9
Selenium (Se) ... 10
Vitamin E ... 12
Organ Limfoid ... 13
Bursa Fabricius ... 14
Timus ... 15
MATERI DAN METODE ... 16
Lokasi dan Waktu ... 16
Materi ... 16
Ternak ... 16
Kandang dan Peralatan ... 16
Ransum ... 16
Metode ... 17
Pemeliharaan ... 17
Pembuatan Pakan ... 18
Pengukuran Suhu ... 19
Analisis Malondialdehida (MDA) Plasma Darah ... 19
Analisis Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah . 20 Pengukuran Bobot Bursa Fabricius dan Timus ... 20
Rancangan Percobaan dan Analisis Data ... 21
Perlakuan ... 21
Model Statistik ... 22
Analisis Data ... 22
Peubah yang Diukur ... 22
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 23
Pengaruh Cekaman Panas Selama Pemeliharaan ... 23
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Malondialdehida (MDA) Plasma Darah ... 27
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah ... 29
Pengaruh Perlakuan terhadap Bobot Organ Limfoid ... 30
Bursa Fabricius ... 31
Timus ... 33
KESIMPULAN DAN SARAN ... 35
Kesimpulan ... 35
Saran ... 35
UCAPAN TERIMA KASIH ... 36
DAFTAR PUSTAKA ... 37
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Produksi Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat
Umur Ayam Broiler ... 4 2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan
Non-Enzimatik ... 9 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Periode Starter
dan Finisher ... 17 4. Kombinasi Level Pemberian Vitamin E dan Selenium ... 21 5. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok C
(Perlakuan Cekaman Panas) Periode Mingguan Selama 6 Minggu
Pemeliharaan ... 23 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok A
(Kontrol) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan ... 25 7. Kandungan MDA Plasma Darah (ηg/ml) Ayam Broiler pada
Kondisi Cekaman Panas ... 27 8. Kandungan GSH-Px Plasma Darah (mU/mg protein) Ayam
Broiler pada Kondisi Cekaman Panas ... 29 9. Persentase Bobot Bursa Fabricius Ayam Broiler pada Kondisi
Cekaman Panas ... 31 10. Persentase Bobot Timus Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam
Broiler ... 3
2. Molekul Stabil dan Radikal Bebas ... 6
3. Sumber Radikal Bebas dan Tempat Kerja Antioksidan ... 7
4. Struktur Enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px) ... 10
5. Reaksi Enzim Glutathione Peroksidase ... 10
6. Struktur Kimia α –Tokoferol ... 13
7. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama 6 Minggu Pemeliharaan ... 26
8. Pengaruh Suhu Lingkungan Tinggi terhadap Aktivitas Hormonal Ayam ... 32
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Sidik Ragam Kandungan MDA Plasma Darah ... 41
2. Uji Lanjut Duncan Kandungan MDA Plasma Darah ... 41
3. Hasil Sidik Ragam Kandungan GSH-Px Plasma Darah ... 41
4. Uji Lanjut Duncan Kandungan GSH-Px Plasma Darah ... 42
5. Hasil Sidik Ragam Persentase Bobot Bursa Fabricius ... 42
PENDAHULUAN Latar Belakang
Industri ternak unggas merupakan subsektor peternakan yang sedang mengalami peningkatan pesat. Salah satu sektor perunggasan yang paling tinggi peningkatannya adalah budidaya ayam broiler. Permasalahan yang menghambat laju produksi peternakan ayam broiler di negara tropis seperti di Indonesia adalah tingginya suhu dan kelembaban lingkungan. Tingginya suhu lingkungan di daerah tropis pada siang hari (dapat mencapai 34 oC) dapat mengakibatkan terjadinya penimbunan panas dalam tubuh, sehingga ternak mengalami cekaman panas.
Cekaman panas akibat dari tingginya suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu normal dapat menyebabkan stres oksidatif pada ayam broiler. Menurut Mujahid et al. (2007) stres oksidatif yaitu kondisi aktitivitas radikal bebas yang melebihi antioksidan. Radikal bebas akan mudah menyerang asam lemak tidak jenuh ganda pada membran sel yang disebut serangan lipida peroksida.
Tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat ditentukan dengan mengukur kandungan malondialdehida (MDA) di dalam darah yang merupakan indikator dari peroksidasi lipida. Senyawa tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat. Enzim glutathione peroksidase (GSH-Px) merupakan antioksidan enzimatis di dalam tubuh yang membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida menjadi air.
Adanya pengaruh negatif terhadap sel-sel dalam tubuh akibat tingginya suhu lingkungan, memicu tubuh untuk mensekresikan antibodi lebih banyak. Semakin sering organ limfoid membentuk antibodi maka akan menyebabkan deplesi dan pengecilan limfoid sehingga berat relatifnya menurun. Akibatnya, antibodi yang dihasilkan oleh limfosit tersebut menjadi lebih rendah yang dapat memberikan dampak negatif terhadap kondisi fisiologis dan produktivitas ayam broiler.
Salah satu upaya untuk mengatasi stress oksidatif akibat cekaman panas pada ayam broiler adalah dengan pemberian antioksidan. Peran antioksidan adalah untuk mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses lipida peroksida. Selenium dan vitamin E dikenal sebagai antioksidan yang mampu menetralisir radikal bebas. Vitamin E bekerja mencegah
2 terbentuknya peroksida bebas, sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk. Hal ini merupakan alasan mengapa selenium dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengukur pengaruh berbagai taraf suplementasi selenium dan vitamin E terhadap kandungan malondialdehida (MDA) dan enzim glutathion peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot organ limfoid (bursa fabricius dan timus), sehingga dapat ditemukan taraf suplementasi selenium dan vitamin E yang optimum pada ransum ayam broiler yang diberi cekaman panas.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengaruh Cekaman Panas terhadap Kondisi Fisiologis Ayam Broiler
Cekaman merupakan kondisi dimana kesehatan ternak terganggu yang disebabkan oleh adanya lingkungan yang terjadi secara terus menerus pada hewan dan mengganggu proses homeostasis (Leeson dan Summers, 2001). Cekaman ini biasanya berhubungan dengan iklim yang ekstrim, misalnya: terlalu dingin atau terlalu panas. Diagram zona suhu nyaman (thermonetral zone) pada ayam broiler dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Zona Suhu Nyaman (Thermonetral Zone) pada Ayam Broiler Sumber : Kuczynski, 2002
Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat cekaman panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan 29 oC atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC. Panting ayam broiler pada suhu 25 oC dan 35 oC dengan kelembaban relatif 61% masing-masing sebesar 91 dan 129 kali.
Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Peningkatan suhu lingkungan yang melebihi kisaran zona suhu kenyamanan menyebabkan stres oksidatif (kondisi aktitivitas radikal bebas melebihi antioksidan)
Mati Karena Panas Mati Karena Dingin Batas Suhu Bawah Batas Suhu Atas Ayam harus meningkatkan pelepasan Panas Ayam harus meningkatkan pembentukan panas Maksimum Pelepasan Panas ZONA TEMPERATUR NETRAL Maksimum Pembentukan Panas Tingkah laku untuk mengatur pelepasan panas
4 pada ayam broiler (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007). Tingginya suhu lingkungan juga dapat mengakibatkan naiknya kandungan MDA hati sebagai indikator tingginya stres oksidatif, meningkatkan rasio H/L, dan menurunkan bobot relatif bursa fabricius (Kusnadi, 2009). Meningkatnya rasio H/L disebabkan penurunan jumlah limfosit sebagai akibat dari menurunnya bobot organ limfoid termasuk bursa fabricius (Siegel, 1995). Sahin et al. (2008) menyatakan bahwa cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA plasma darah, hati, otot leher dan otot dada pada burung puyuh.
Yahav et al. (1995) menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa nyaman. Suhu lingkungan yang nyaman sesuai kebutuhan ternak untuk menghasilkan produksi optimum sesuai umur ayam broiler disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tipikal Rata-rata Suhu Lingkungan yang Direkomendasikan untuk Produksi Optimum Pertumbuhan pada Berbagai Tingkat Umur Ayam Broiler
Umur (hari) Suhu (oC) Kelembaban (%)
1-3 32 60 4-6 31 60 7-14 30 60 15-21 28 60 22-35 26 60 >35 25 60
Sumber : Charoen Pokphand, 2005
Rangkaian respon fisiologi tubuh ayam akibat adanya cekaman panas diawali dengan pembentukan CRH (Corticotrophin Releasing Hormone) di hipotalamus dan CRH ini akan menstimulasi pembentukan ACTH (Adrenocorticotropic Hormone) pada hipofisa anterior yang kemudian ACTH ini menginduksi pembentukan glukorkotikoid pada kelenjar adrenal korteks. Pelepasan glukokortikoid menimbulkan berbagai efek terhadap metabolisme normal tubuh, seperti gangguan sekresi hormon, pertahanan (imunitas) tubuh, pertumbuhan dan aktivitas reproduksi (Sugito, 2007). Hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai
5 glukokortikoid. Menurut Guyton (1983), peranan utama kortikosteron dan kortisol terdapat pada peristiwa glukoneogenesis yaitu perombakan (katabolisme) dari non karbohidrat sebagai usaha penyediaan glukosa darah, sehingga terjadi penurunan pertumbuhan. Selain itu, menurut Siegel (1995) hormon kortikosteron juga dapat menekan pertumbuhan organ limfoid (bursa fabricius dan timus).
Ayam Broiler
Ayam broiler merupakan ayam tipe berat pedaging yang dapat tumbuh sangat cepat sehingga dapat dipanen pada umur 6-7 minggu yang ditujukan untuk menghasilkan daging dan menguntungkan secara ekonomis jika dibesarkan (Amrullah, 2004). Ayam broiler merupakan ayam-ayam muda jantan dan betina yang umumnya dipanen pada umur sekitar 5-6 minggu dengan bobot badan antara 1,2-1,9 kg/ekor yang bertujuan sebagai sumber daging (Kartasudjana, 2005).
Ayam broiler termasuk kedalam ordo Galliformes, family Phasianidae, genus Gallus, dan spesies Gallus domesticus. Ayam-ayam ini dipilih dari ayam yang berdada lebar. Ayam broiler dihasilkan dari bangsa ayam tipe berat Cornish. Bangsa ayam ini dipilih yang berbulu putih dan seleksi diteruskan hingga dihasilkan ayam broiler seperti sekarang ini (Amrullah, 2004).
Strain Ross merupakan bibit broiler yang dirancang untuk memuaskan konsumen yang menginginkan performa yang konsisten dan produk daging yang beraneka ragam. Keunggulan yang dimiliki oleh strain Ross adalah sehat dan kuat, tingkat pertumbuhan yang cukup tinggi, kualitas daging yang baik, efisiensi pakan yang tinggi, dan dapat meminimalkan biaya produksi. Keunggulan ini tidak hanya berlaku di wilayah subtropis tetapi juga di wilayah tropis (Aviagen, 2007).
Rekayasa genetik, perkembangan teknologi pakan dan manajemen perkandangan menyebabkan strain ayam broiler yang ada sekarang lebih peka terhadap formula pakan yang diberikan (Unandar, 2001). Menurut Wahju (2004), pakan ayam broiler harus mengandung energi yang cukup untuk memb antu reaksi-reaksi metabolik, menyokong pertumbuhan dan mempertahankan suhu tubuh, selain itu ayam membutuhkan protein yang seimbang, fosfor, kalsium dan mineral serta vitamin yang memiliki peran penting selama tahap permulaan hidupnya.
6
Peran Radikal Bebas
Radikal bebas adalah atom atau molekul yang mengandung elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya. Zat ini sangat reaktif, dan struktur yang demikian membuat radikal bebas cenderung “mencuri” atau mengekstraksi satu elektron dari molekul lain di dekatnya untuk melengkapi dan selanjutnya mencetuskan reaksi berantai yang dapat mengakibatkan kerusakan sel (Suryohudoyo, 2000). Reaktif juga berarti radikal bebas tidak bertahan lama dalam bentuk “asli” karena untuk mempertahankan kestabilan molekul, mereka harus mengambil satu elektron dari molekul yang lain. Artinya, radikal bebas menyerang molekul stabil yang berada di dekatnya dan mengambil elektron dari molekul tersebut. Molekul yang diambil elektronnya kemudian juga menjadi radikal bebas dan mengambil elektron dari molekul lain, begitulah seterusnya sampai terjadi kerusakan sel (Bottje et al., 1995). Perbedaan antara molekul stabil dengan radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Molekul Stabil dan Radikal Bebas Sumber : Fouad, 2006
Oksigen merupakan unsur penting bagi kehidupan organisme. Walaupun oksigen (O2) esensial untuk kebanyakan proses kehidupan, molekul tersebut dapat berubah menjadi molekul yang memiliki toksisitas tinggi. Metabolit oksigen utama yang dihasilkan melalui reduksi satu elektron adalah Spesies Oksigen Reaktif (SOR) yang terdiri dari superoksida (O2-), radikal bebas hidroksil (•OH), hidrogen peroksida (H2O2), serta radikal peroksil (ROO-). SOR terus menerus dibentuk dalam jumlah besar di dalam sel melalui jalur metabolik tubuh yang merupakan proses biologis normal karena berbagai rangsangan, misalnya radiasi, tekanan parsial oksigen (pO2)
7 tinggi, paparan zat-zat kimia tertentu, infeksi maupun inflamasi (Suryohudoyo, 2000).
Semua SOR merupakan oksidan kuat dengan derajat berbeda-beda. Radikal superoksida (O2-) merupakan bentuk yang paling reaktif yang paling banyak dihasilkan oleh berbagai mekanisme di dalam tubuh antara lain, mitokondria, sistem enzim NADPH oksidase, reaksi dari xantine oksidase dan metabolisme asam arakidonat. Radikal superoksida kemudian dapat langsung di “makan” oleh antioksidan vitamin E atau diubah menjadi H2O2yang kemudian diubah lagi menjadi air oleh enzim glutathione peroksidase. H2O2 yang terbentuk juga dapat diubah menjadi radikal hidroksil (•OH). Jika tidak dinetralisir, •OH akan merusak lipid dan DNA (Fellenberg dan Speisky, 2006). Gambar 3 memperlihatkan sumber radikal bebas dan tempat kerja antioksidan.
Gambar 3. Sumber Radikal Bebas dan Tempat Kerja Antioksidan Sumber : Fouad, 2006
Radikal bebas diproduksi secara normal pada fungsi imunitas, diperlukan oleh sel imun untuk membunuh patogen dan mengeluarkannya, dalam keadaan overproduksi pada kondisi patogenik menyebabkan kerusakan sel imun dan menimbulkan imunosupresi. Dibutuhkan keseimbangan oksidan-antioksidan untuk mengatur fungsi sistem imun dalam menjaga integritas dan fungsi lipida membran, protein seluler, asam nukleat serta mengatur ekspresi gen (Wu dan Meydani, 1999).
8
Kandungan Malondialdehida (MDA) sebagai Indikator Peroksidasi Lipid
Peroksidasi (auto-oksidasi) lipid khususnya asam lemak tak jenuh ganda adalah suatu reaksi berantai radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Selain itu menurut Jadhav et al. (1996), peroksidasi lipid adalah proses reaksi kimia yang sangat kompleks termasuk melibatkan radikal bebas, ion logam, dan sistem biologik . Reaksi tersebut dicetuskan oleh sebuah senyawa radikal bebas, yaitu radikal hidroksil (•OH) yang mengekstraksi satu hidrogen dari lemak polyunsaturated (LH) sehingga terbentuk radikal lemak (L-) yang setelah melalui beberapa proses maka terbentuklah MDA, 9-hidroksi-nonenal, etana (C2H6) dan pentana (C5H12) suatu radikal bebas yang merupakan metabolit reaktif peroksidasi lipid sehingga dapat digunakan sebagai indeks peroksidasi lipid (Suryohudoyo, 2000). Radikal bebas menyerang asam lemak tidak jenuh ganda (Poly Unsaturated Fatty Acid/PUFA) pada membran sel yang disebut serangan peroksidasi lipida, sehingga meningkatkan hasil sampingan berupa MDA (Fellenberg dan Speisky, 2006; Mujahid et al., 2007).
Malondialdehida (MDA) adalah salah satu indikator dari perosidasi lipida dalam tubuh yang sering digunakan berhubungan dengan stres oksidatif (Sahin et al., 2008). Tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas dapat ditentukan dengan mengukur kadar malondialdehida (MDA) di dalam darah yang merupakan indikator dari peroksidasi lipida. Senyawa tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000).
Antioksidan
Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) untuk meredam dampak negatif dari SOR. Alam menyediakan senyawa-senyawa antioksidan yang merupakan senyawa pemberi elektron termasuk enzim-enzim dan protein-protein pengikat logam (Suryohudoyo, 2000). Antioksidan terdiri atas antioksidan endogen yang dihasilkan oleh tubuh sendiri dan antioksidan eksogen yang berasal dari makanan (Jadhav et al., 1996).
Klasifikasi Antioksidan Utama
Antioksidan endogen dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu antioksidan non-enzimatik dan antioksidan enzimatik. Antioksidan bekerja dalam 3 cara yaitu:
9 (1) Pemutusan rantai reaksi (2) Mengurangi pembentukan radikal bebas dan (3) “Memakan” (scavenge) radikal bebas (Suryohudoyo, 2000). Klasifikasi selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Utama Antioksidan Enzimatik dan Antioksidan Non-Enzimatik
Antioksidan Peranan Ciri-ciri
Enz im Superokside Dismutase (SOD): Mitokondrial, Sitoplasmik, ekstraseluler Mengubah O2- menjadi H2O2 Mengandung mangan (MnSOD), tembaga
(CuSOD), serta tembaga dan seng (CuZnSOD)
Katalase Mengubah H2O2
menjadi H2O Hemoprotein berbentuk tetramer Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Mengubah H2O2 dan lipid perokside
Selenoprotein terutama berada di sitosol dan mitokondria dan menggunakan GSH Vitamin Alpha tokoferol Memutus peroksidase lipid
Vitamin yang larut dalam lemak Scavenge lipid perokside, O2- dan .OH Beta karotene scavenge O2-, bereaksi langsung dengan peroksil
Vitamin larut dalam lemak
Asam askorbat
scavenge secara langsung OH dan O2
-Vitamin larut dalam air Menetralkan oksidan dari stimulasi neutrofil Berperan dalam regenerasi vit. E Sumber : Fouad, 2006
Enzim Glutathione Peroksidase
Enzim glutathione peroksidase (GSH-Px) adalah protein dengan bentuk tetramer. Mempunyai berat molekul sebesar 85.000 D. Enzim ini mengandung 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocysteine. Fungsi Utama enzim GSH-Px yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun (Jenkinson et al., 1982). Menurut Pamok et al. (2009), aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi cakaman panas
10 meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan berlangsungnya cekaman panas. Struktur enzim ini dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Struktur Enzim Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Sumber : Fouad, 2006
Enzim glutathione peroksidase membantu mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dengan cara mengkatalisa berbagai hidroperoksida. Glutathione peroksidase mereduksi H2O2 menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan Speisky, 2006). Reaksi enzim tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
H2O2+ 2GSH GSH-Px GSSG + 2H2O
Gambar 5. Reaksi Enzim Glutathione Peroksidase Sumber : Fellenberg dan Speisky, 2006
Selenium (Se)
Sebelum tahun 1957 telah diadakan penelitian tentang selenium yang menyatakan bahwa selenium adalah esensial pada fisiologis ternak, meskipun dibutuhkan dalam jumlah kecil pada jaringan bila dibandingkan dengan mineral esensial lainnya. Kekurangan selenium mempengaruhi pertumbuhan, kesehatan dan fertilitas ternak, serta metabolisme pada ternak. Selenium mempunyai hubungan dengan vitamin E. Selenium merupakan mineral esensial bagi pertumbuhan ayam dan juga dapat bertindak sebagai pengganti vitamin E (Underwood dan Suttle, 2001). Surai et al. (2006) yang melaporkan bahwa selenium berperan dalam pertahanan antioksidan dan merupakan bagian penting dari GSH-Px, serta ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px. Selenium mengindikasikan peranannya dalam enzim GSH-Px yang melindungi membran sel dari kerusakan akibat peroksida lipid dan mengurangi efek negatif dari stres oksidatif
11 yang disebabkan oleh heat stress (Sahin dan Kucuk, 2007). Heat stress mengurangi laju pertumbuhan dan kemampuan kekebalan tubuh (immunocompetence), dimana suplementasi selenium memperbaiki respon imun broiler (Niu et al., 2009). Rao et al. (2004) melaporkan bahwa suplementasi selenium sebesar 0,25-0,50 ppm dalam ransum diperlukan untuk imunitas ayam pedaging. Underwood dan Suttle (2001) menyatakan bahwa batas normal penggunaan mineral Se per hari dalam ransum ayam maksimal adalah 1-10 mg/kg.
Burk (1986) mengemukakan, pada kondisi “steady-state”, selenometionin akan mengisi pusat pool selenium dengan sejumlah unsur selenium yang dimakan, dan sebagian dari unsur selenium tersebut akan didaur ulang serta terikat dengan protein dalam pool metionin, sehingga tercipta pool selenometionin dalam protein jaringan. Besarnya pool yang terbentuk, proporsional sama dengan intake selenometionin. Makanan yang mengandung selenium dalam bentuk selenosistein atau selenium inorganik, tidak dapat/tidak mempunyai jalur untuk masuk pool tersebut, tetapi dapat menyebabkan selenium teregulasi dalam jaringan membentuk selenoprotein yang nantinya mempengaruhi aktivitas GSH-Px. GSH-Px dapat dimodulasi oleh intake selenium, tetapi secara umum tidak tanggap terhadap intake selenium yang terlalu tinggi. Namun, jika selenium yang dimakan dalam bentuk selenosistein atau selenium inorganik, ditingkatkan dalam makanan, maka kadar selenium dalam jaringan juga meningkat, demikian pula GSH-Px dan selenoprotein lainnya akan jenuh. Kemudian lama kelamaan akan menjadi “plateau” keadaanya sampai dengan terbentuknya unsur selenium dalam bentuk beracun. Sebaliknya, jika selenium makanan itu adalah selenometionin, maka tidak akan terbentuk keadaan “plateau”, sebab selenometionin memiliki hubungan langsung dengan pool selenometionin yang berikatan dengan protein.
Suplementasi selenium organik meningkatkan level vitamin E pada kuning telur (Surai, 2003). Diketahui pula bahwa selenium dapat menggantikan fungsi vitamin E dalam tiga bentuk, yaitu:
1) Diperlukan untuk menjaga integritas kelenjar pankreas agar terjadi pencernaan lemak secara normal, pembentukan garam empedu micelle secara normal dan absorbsi vitamin E secara normal pula;
12 2) Selenium merupakan bagian integral dari sistem enzim GSH-Px, yang merubah bentuk reduksi glutathione menjadi bentuk oksidase glutathine dan pada waktu yang bersamaan merusak peroksida dengan cara konversi peroksida menjadi bentuk alkohol yang tidak berbahaya. Reaksi tersebut mencegah terjadinya proses peroksidasi terhadap asam-asam lemak yang tidak jenuh pada membran sel, dan oleh karena itu menurunkan jumlah vitamin E yang diperlukan untuk menjaga integritas sel-sel membran;
3) Mineral Se, dengan cara yang tidak diketahui membantu retensi vitamin E dalam plasma.
Sebaliknya, vitamin E nampak mengurangi kebutuhan akan selenium, dengan mencegah kehilangan selenium dari tubuh atau mempertahankannya dalam bentuk aktif. Dengan mencegah oto-oksidasi lemak membran dari dalam, vitamin E mengurangi jumlah glutation peroksidase yang dibutuhkan untuk merusak peroksida yang dibentuk dalam sel (Piliang, 2004).
Vitamin E
Vitamin E ditemukan oleh Evans dan Bishop tahun 1992 sebagai vitamin yang larut dalam lemak atau minyak dan dikenal juga sebagai alpha-tocopherol. Selama ransum dibuat dari bahan-bahan makanan sumber nabati dan hewani, kandungan vitamin E ransum sudah cukup. Namun, kekurangan itu dapat terjadi akibat proses penyimpanan, karena vitamin E bersifat sangat tidak stabil yaitu mudah dioksidasi oleh oksigen dari udara, sehingga ransum biasanya dilengkapi dengan bahan penstabil yang biasanya terdapat dalam campuran vitamin dan mineral pelengkap buatan pabrik. Beberapa fungsi vitamin E adalah: (1) Sebagai antioksidan biologis; (2) Menjaga struktur lipida; (3) Dalam reaksi-reaksi fosforilasi normal, terutama persenyawaan fosfat berenergi tinggi seperti fosfat keratin dan trifosfat adenosine; (4) Metabolisme asam nukleat; (5) Sintesis asam askorbat; (6) Sintesis ubiquinon, dan metabolisme sulfur asam amino (Sumardjo, 2006). Struktur kimia α – tokoferol dapat dilihat pada Gambar 6.
13 Gambar 6. Struktur Kimia α –Tokoferol
Sumber: Sumardjo, 2006
Fungsi utama vitamin E adalah mencegah peroksidasi membran fosfolipid. Karakteristik vitamin E yang lipofilik memungkinkan tokoferol berada di lapisan dalam sel membran. Tokoferol OH dapat memindahkan atom hidrogen dengan satu elektron ke radikal bebas dan membersihkan radikal bebas sebelum radikal bebas bereaksi dengan protein membran sel atau bereaksi membentuk lipid peroksidasi. Tokoferol-OH yang bereaksi dengan radikal bebas membentuk tokoferol-O. Tokoferol-O sendiri adalah radikal bebas juga (Halliwell, 1992).
Surai (2003) menyatakan bahwa konsumsi nutrisi antioksidan pada pakan dapat memelihara status antioksidan alami ternak. Selanjutnya dijelaskan bahwa penyediaan selenium organik dengan kombinasi vitamin E memperbaiki stres dan daya tahan terhadap penyakit. Sebagai hasilnya performa produksi dan reproduksi meningkat. Kerja selenium berhubungan erat dengan antioksidan lainnya terutama vitamin E. Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergis sebagai antioksidan utama menghilangkan radikal lemak, radikal O2, atau metabolit relatif O2 yang merupakan bagian yang terpenting dari fungsi sel, akan tetapi berpotensi mengakibatkan kerusakan sel dan proses penyakit bila pertahanan berlebihan. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H2O2).
Bollengier-Lee et al. (1999) menyatakan bahwa suplementasi 250 mg vitamin E/ kg yang disediakan sebelum, selama dan setelah stres panas optimum untuk mengurangi efek dari stres panas yang terus menerus pada ayam petelur. Kombinasi 250 ppm vitamin E dan 0,2 ppm selenium menghasilkan perfoma terbaik pada puyuh Jepang yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dan kombinasi tersebut dapat
14 dipertimbangkan sebagai praktek manajemen perlindungan dalam pakan puyuh Jepang yang mengurangi efek negatif dari cekaman panas (Sahin dan Kucuk, 2001).
Organ Limfoid
Beberapa organ yang berperan di dalam reaksi tanggap kebal antara lain bursa fabricius, timus, limpa dan caecal tonsil. Organ limfoid primer pada unggas terdiri dari bursa fabricius dan timus, kedua organ ini berfungsi mengatur produksi dan diferensiasi limfosit (Tizard, 1988). Menurut Gregg (2002), penyakit tertentu dan kondisi lain yang diketahui mempengaruhi perkembangan timus dan bursa fabricius pada ayam muda. Kondisi ini dapat menyebabkan jumlah kerusakan kelenjar yang bervariasi yang diikuti dengan berkurangnya sistem kekebalan tubuh, yang dikenal sebagai imunosupresi. Imunosupresi adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan reaksi pembentukan zat kebal tubuh atau antibodi akibat kerusakan organ limfoid. Dengan adanya penurunan jumlah antibodi dalam tubuh, maka penyakit-penyakit akan lebih leluasa masuk dan menginfeksi bagian tubuh. Hal tersebut akan menyebabkan adanya gangguan pertumbuhan dan produksi.
Bursa Fabricius
Bursa fabricius merupakan organ limfoid yang hanya ditemukan pada unggas. Organ ini terletak pada daerah dorsal kloaka. Bursa fabricius memiliki tugas untuk memproduksi dan mendewasakan sel limfosit B. Bursa fabricius juga berfungsi sebagai organ limfoid sekunder yaitu dapat menangkap antigen dan membentuk antibodi dan juga mengandung sebuah pusat kecil sel T di belakang lubang salurannya (Tizard, 1988). Bursa fabricius sebagai organ limfoid primer sangat dipengaruhi oleh hormon kortikosteron (Siegel, 1995).
Bila antigen masuk kedalam tubuh, pertama-tama antigen akan dikenal sedemikian rupa sehingga dapat dikenali sebagai benda asing. Kemudian sel limfosit B akan masuk ke sirkulasi dan berperan untuk menerima atau memberi reaksi terhadap benda asing yang masuk atau keadaan patologis tubuh misalnya demam/ naiknya panas tubuh dari normal karena adanya cekaman panas pada unggas. Setelah itu informasi yang diperoleh harus dikirim ke sistem pembentuk antibodi dalam hal ini bursa fabricius. Sistem ini nantinya akan menanggapi dengan membentuk antibodi khusus dan sel yang mampu menyingkirkan antigen (Tizard, 1987).
15 Pada unggas yang terjangkit bakteri patogen, maka bursa fabricius membentuk antibodi yang akibatnya akan menyebabkan deplesi dan folikel limfoid menjadi mengecil sehingga persentase bobot bursa fabricius menurun (Tizard, 1987). Bursa fabricius akan mengalami regresi dan involusi secara lengkap pada saat ayam mencapai kematangan seksual yaitu pada umur 14-20 minggu. Unggas yang mempunyai berat relatif bursa fabricius besar cenderung relatif tahan terhadap berbagai penyakit. Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot bursa fabricius ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone (23,9 °C) rata-rata 0,17% dari bobot hidup.
Timus
Timus adalah organ yang terdapat dalam rongga mediastinal anterior, tetapi pada kuda, sapi, domba, babi dan ayam meluas ke arah leher sampai sejauh kelenjar tiroid. Timus ayam secara anatomis terletak pada sisi kanan dan kiri saluran pernafasan (trakea). Warnanya pucat kuning kemerah-merahan, bentuknya tidak teratur dan berjumlah 3-8 lobi pada masing-masing leher. Besar timus dapat sangat bervariasi, ukuran relatif yang paling besar pada hewan yang baru lahir sedangkan ukuran absolutnya terbesar pada waktu pubertas. Setelah dewasa, timus mengalami atrofi dari parenkhima dan korteks diganti jaringan lemak. Niu et al. (2009) menyatakan bahwa persentase bobot timus ayam broiler umur 42 hari (6 minggu) pada kondisi thermoneutral zone (23,9 °C) rata-rata 0,30% dari bobot hidup.
Timus merupakan regulator sel T yang bekerja pada sel-sel primitif yang berasal dari sumsum tulang dan membuat sel-sel itu mampu secara imunologik bertindak sebagai pembentuk antibodi tubuh. Sel T mampu membedakan jenis patogen dengan kemampuan berevolusi sepanjang waktu demi peningkatan kekebalan setiap kali tubuh terkena patogen (Tizard, 1987). Limfosit T mengambil peran pada imunitas seluler dan mengalami diferensiasi fungsi yang berbeda sebagai subpopulasi (Sharma, 1991). Timus yang mengalami atrofi cepat merupakan reaksi terhadap stres, sehingga hewan yang mati sesudah menderita sakit yang lama mungkin mempunyai timus yang sangat kecil (Tizard, 1988).
MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Blok A dan Blok C, serta Laboratorium Nutrisi Ternak Unggas Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Analisis Malondialdehida (MDA) dan Glutathione Peroksidase (GSH-Px) dilaksanakan di Laboratorium Fisiologi dan Farmakologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 hingga Februari 2010.
Materi Ternak
Penelitian ini menggunakan 465 ekor DOC (Day Old Chick) ayam broiler strain Ross (unsex) yang dibeli dari Cibadak Indah Sari Farm. Ternak yang dipelihara di kandang Blok A berjumlah 60 ekor dibagi dalam 3 ulangan, masing-masing ulangan terdiri dari 20 ekor, sedangkan ayam yang dipelihara di kandang Blok C berjumlah 405 ekor dibagi dalam 9 perlakuan dan 3 ulangan, setiap ulangan terdiri dari 15 ekor ayam.
Kandang dan Peralatan
Kandang yang digunakan adalah kandang sistem litter beralaskan sekam padi. Kandang di Blok A berukuran 1,5 x 3 m sebanyak 3 petak, sedangkan kandang di Blok C berukuran 1,5 x 1,5 m sebanyak 27 petak. Peralatan yang digunakan adalah tempat pakan, tempat air minum, timbangan digital, thermohygrometer, brooder (pemanas) berbahan bakar batu bara, air conditioner (AC), exhaust fan dan tabung darah yang berisi anti-koagulan.
Ransum
Ransum yang digunakan pada penelitian ini adalah ransum ayam broiler periode starter dan finisher. Ransum yang digunakan disusun dari campuran bahan pakan yang terdiri dari jagung giling, bungkil kedelai, dedak padi, CGM, MBM, CPO, DCP, garam, premix, CaCO3, vitamin E dan selenium dengan ransum berbentuk crumble. Susunan dan kandungan nutrien ransum basal yang digunakan dalam penelitian disajikan dalam Tabel 3.
17 Tabel 3. Susunan dan Kandungan Nutrien Ransum Basal Periode Starter dan
Finisher
Bahan pakan Ransum Starter (%) Ransum Finisher (%)
Jagung 47,95 51,64 Bungkil Kedelai 25,00 19,26 Dedak Padi 12,01 12,48 CGM 6,70 3,06 MBM 5,00 8,09 CPO 1,59 5,00 DCP 1,00 - Garam 0,27 0,22 Premix 0,25 0,25 CaCO3 0,24 - Total 100 100
Kandungan Nutrien*) Ransum Starter Ransum Finisher
Bahan Kering (%) 86,02 83,72 Protein Kasar(%) 24,48 22,03 Serat Kasar (%) 4,61 4,28 Lemak Kasar (%) 4,85 5,83 Beta-N (%) 47,20 46,90 Abu (%) 5,09 4.68
Energi Bruto (kkal/kg) 3712 3981
Keterangan : *) Hasil Analisis Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Institut Pertanian Bogor (2010).
Metode Pemeliharaan
Pemeliharaan ayam broiler dilakukan pada dua tempat, yaitu di kandang Blok A dengan kondisi lingkungan normal (thermonetral zone) dan di kandang Blok C dengan kondisi lingkungan yang mendukung cekaman panas. Perlakuan pada kondisi suhu normal ini digunakan sebagai pembanding terhadap peubah yang diukur pada kondisi yang mendukung cekaman panas. Penggunaan AC (untuk kondisi normal) dilakukan pada awal minggu ke-4 pemeliharaan dengan tujuan suhu optimum
18 pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan, sedangkan pada kandang yang mendukung cekaman panas digunakan 10 buah pemanas (brooder) berbahan batu bara yang dipasang untuk mempertahankan suhu lingkungan kandang agar tetap berada pada kondisi cekaman panas.
Pada hari pertama dikandangkan, DOC diberikan larutan gula kemudian dilanjutkan pemberian Vita Stress selama 3 hari pertama serta sesudah penimbangan dan vaksinasi. Ransum starter diberikan mulai dari DOC hingga ayam berumur 21 hari, dilanjutkan dengan pemberian ransum finisher mulai umur 22 hari hingga umur 42 hari. Pakan dan air minum diberikan ad libitum. Tempat pakan dan minum diletakkan cukup tinggi di atas sekam agar tidak cepat kotor. Sanitasi dilakukan terhadap peralatan makan dan minum, serta kandang. Pencegahan terhadap penyakit dilakukan melalui vaksinasi. Vaksin ND (Newcastle Desease) dilakukan saat ayam berumur 3 hari melalui tetes mata dan saat berumur 21 hari secara oral (ditambahkan ke dalam air minum). Vaksin IBD atau gumboro dilakukan secara oral saat ayam berumur 10 hari.
Pemeliharaan dilakukan selama 6 minggu, setiap minggu dilakukan penimbangan. Pada minggu ke-6 (42 hari) dilakukan pengambilan sampel darah dan penimbangan bobot organ dalam.
Pembuatan Pakan
Pakan yang digunakan dibuat secara manual. Proses pembuatan pakan yaitu : 1) Setiap bahan pakan yang akan digunakan dalam penyusunan ransum ditimbang
sesuai dengan formulasi yang telah ditentukan;
2) Bahan pakan mikro seperti garam, premix, CaCO3, vitamin E dan selenium dicampur terlebih dahulu dalam plastik ukuran kecil;
3) Jagung dicampur dengan CPO secara manual sampai tercampur rata;
4) Setelah tercampur rata, satu per satu bahan dimasukkan dalam campuran termasuk bahan pakan mikro, kemudian diaduk sampai rata;
5) Setelah semua bahan tercampur rata, ransum kemudian dimasukkan ke dalam mesin pellet sedikit demi sedikit;
6) Pakan yang telah berbentuk pellet kemudian dimasukkan ke dalam mesin crumble, untuk mendapatkan bentuk granulla yang lebih mudah dikonsumsi ayam.
19
Perlakuan Cekaman Panas
Perlakuan cekaman panas dilakukan dengan menambahkan pemanas berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang disimpan di sepanjang lorong antarsekat. Sumber panas batu bara disesuaikan dengan keadaan suhu kandang yang mendukung cekaman panas. Sumber panas lain adalah bohlam berdaya 60 watt yang dipasang pada masing-masing kandang. Lampu ini menyala selama 24 jam. Selain itu, sisi kandang bagian luar ditutup dengan tirai berwarna hitam. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan suhu panas yang lebih ekstrim dari pada suhu normal.
Pengukuran Suhu (Robiansyah, 2006)
Pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan dilakukan pada pagi hari (pukul 07.00 WIB), siang hari (pukul 14.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB). Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan dengan 2 thermohygrometer yang ditempel pada sisi kanan dan sisi kiri kandang. Nilai suhu dan kelembaban lingkungan yang diperoleh pada pagi hari, siang dan sore hari kemudian dihitung untuk mendapatkan suhu dan kelembaban lingkungan harian dengan rumus:
Analisis Malondialdehida (MDA) dan Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah
Persiapan analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan bersamaan dengan pengukuran bobot bursa fabricius. Ayam tersebut dipotong, lalu darah ditampung secukupnya ke dalam tabung darah yang telah ditambah anti koagulan. Tabung darah tersebut dikocok secara perlahan agar darah tidak membeku dan disimpan dalam termos es. Setelah itu dilakukan analisis kandungan MDA dan GSH-Px plasma darah.
1) Analisis Malondialdehida (MDA) Plasma Darah
Analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan dengan menggunakan metode Thiobarbituric Acid Reactive Subtances (TBARS) menurut Rice-Evans dan Anthony (1991) dengan sedikit modifikasi. Prosedur analisis yaitu; sebanyak 1,784 ml HCl pekat, 12 g asam trikloroasetat (TCA) dan 0,304 g asam tiobarbiturat (TBA) dimasukkan dalam tabung untuk membuat larutan campuran lalu ditambahkan 80 ml
20 aquadest. Larutan campuran tersebut diambil sebanyak 1 ml dan dimasukkan dalam tabung kemudian dicampurkan dengan sampel darah sebanyak 100 μl. Campuran tersebut dipanaskan pada suhu 80 oC (oven) selama 1 jam, selanjutnya didinginkan dengan air mengalir dan disentrifuse 2500 rpm selama 10 menit. Supernatan hasil sentrifuse tersebut kemudian diukur absorbansinya pada panjang gelombang 532 nm.
2) Analisis Glutathion Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah
Analisis kandungan MDA plasma darah dilakukan menurut Pigeolet et al. (1990). Pembuatan sampel 100 μl plasma darah ditambah dengan 200 μl buffer phosfat pH 7,0; kemudian divortex. Larutan disentrifuse pada 3.000 rpm selama 5 menit dalam kondisi dingin. Supernatan digunakan untuk mengukur aktivitas glutathione peroksidase (GSH-Px). Dua ratus μl buffer phosfat 0,1 M pH 7,0 mengandung 0,1 mM EDTA ditambahkan dengan 200 μl sampel. Dua ratus μl glutathione tereduksi (GSH) 10 nM dan 200 μl enzim glutathione reduktase 2,4 unit kemudian diinkubasi selama 10 menit pada suhu 37ºC. Tambahkan 200 μl NADPH 1,5 mM kedalam larutan, diinkubasi lagi pada suhu yang sama selama 3 menit. Tambahkan 200 μl H2O2 1,5 mM. Absorbansi dibaca pada spektrofotometer diantara waktu 1-2 menit pada panjang gelombang 340 nM.
Perhitungan aktivitas GSH-Px: mUnit GSH-Px = Keterangan:
Δabs = Perubahan absorban Vt = Volume total dalam ml Vs = Volume sampel dalam ml
6,22 = Koefisien ekstensik dari NADPH
2 = 2 mol GSH yang setara dengan untuk mengoksidasi 1 mol NADPH 1000 = Perubahan menjadi milliunit
Pengukuran Bobot Bursa Fabricius dan Timus
Pengukuran bobot bursa fabricius dan timus dilakukan pada minggu ke-6. Ayam yang digunakan sebanyak 1 ekor dari setiap ulangan berdasarkan rataan bobot badan pada ulangan tersebut (total 30 ekor ayam). Ayam ditimbang untuk
21 mengetahui bobot hidupnya kemudian dipotong. Setelah itu dibedah untuk diambil bagian bursa fabricius dan timusnya kemudian ditimbang. Persentase bobot bursa fabricius dan timus diperoleh dengan cara membagi bobot organ dengan bobot hidup dikali 100%.
Persentase bobot bursa fabricius atau timus (%) = 100%
Rancangan Percobaan dan Analisis Data Perlakuan
Perlakuan yang digunakan adalah penambahan vitamin E (sebagai faktor 1) dan penambahan selenium (sebagai faktor 2) yang dicampurkan dalam ransum basal. Level pemberian vitamin E dan selenium yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Level pemberian vitamin E
E1 = Ransum Basal + Vitamin E 0 ppm E2 = Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm E3 = Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm 2) Level pemberian selenium
S1 = Ransum Basal + Selenium 0 ppm S2 = Ransum Basal + Selenium 0,15 ppm S3 = Ransum Basal + Selenium 0,30 ppm
Kombinasi level pemberian vitamin E dan selenium yang digunakan sebagai perlakuan pada penelitian ini dapat dilihat pada tabel 4 berikut ini.
Tabel 4. Kombinasi Level Pemberian Vitamin E dan Selenium
Perlakuan Level Vitamin E
E1 E2 E3
Level Selenium
S1 E1S1 E2S1 E3S1
S2 E1S2 E2S2 E3S2
22
Model Statistik
Model statistik yang digunakan adalah sebagai berikut : Yijk= µ + αi + βj +(αβ)ij + εijkl Keterangan :
Yijk = Hasil pengamatan perlakuan suplementasi vitamin E dan selenium terhadap peubah yang diukur
µ = Rataan umum peubah yang diukur
αi = Pengaruh perlakuan suplementasi vitamin E βj = Pengaruh perlakuan suplementasi selenium
(αβ)ij = Pengaruh interaksi perlakuan suplementasi vitamin E dan Selenium Εijk = Galat akibat pengaruh suplementasi vitamin E dan Selenium
Analisis Data
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial (RAL Faktorial) 3x3 dengan 3 ulangan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA). Apabila terdapat perbedaan yang nyata akan dilanjutkan dengan uji jarak Duncan (Steel dan Torrie, 1993).
Peubah yang Diukur
Peubah yang diukur dalam penelitian ini adalah kadar Malondialdehida (MDA) dan Glutathion Peroksidase (GSH-Px) plasma darah serta persentase bobot organ limfoid yang terdiri dari bursa fabricius dan timus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Cekaman Panas Selama Pemeliharaan
Salama 6 minggu pemeliharaan, ayam broiler diberi tambahan sumber penerangan dan panas berupa lampu bohlam berdaya 60 watt yang dipasang sepanjang hari (24 jam) pada masing-masing kandang serta pemanas (brooder) berbahan bakar batu bara sebanyak 10 buah yang dipasang sesuai dengan keadaan suhu kandang yang mendukung cekaman panas. Hai ini bertujuan untuk menghasilkan suhu panas yang lebih ekstrim dari pada suhu normal. Cekaman panas yang didapat selain berasal dari lampu yang menyala selama 24 jam dan pemanas berbahan bakar batu bara juga dikarenakan tirai penutup kandang berupa plastik warna hitam yang tetap tertutup walaupun pada siang hari. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan kandang blok C (perlakuan cekaman panas) periode mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Suhu dan Kelembaban Relatif Lingkungan Kandang Blok C (Perlakuan Cekaman Panas) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan
Periode Minggu Ke- Suhu (oC) Kelembaban (%)
Starter 1 30,67 62,34 2 29,67 70,18 3 30,81 66,82 Rataan 30,38±0,62 66,45±3,93 Finisher 4 29,57 77,25 5 29,18 84,29 6 30,65 74,8 Rataan 29,80±0,76 78,78±4,93
Selama tiga minggu pertama (0-3 minggu), suhu lingkungan pemeliharaan yang sesuai bagi ayam broiler untuk mempertahankan hidupnya, yaitu sekitar 28-32 o
C dengan tingkat kelembaban sebesar 60%, sedangkan pada minggu berikutnya (4-6 minggu) ayam broiler memerlukan suhu lingkungan yang lebih rendah yaitu berkisar antara 25-26 oC dengan tingkat kelembaban sebesar 60% agar pertumbuhan dan produksinya dapat optimum (Charoen Pokphand, 2005).
Hasil pengukuran suhu dan kelembaban lingkungan kandang blok C selama pemeliharaan (Tabel 5) pada periode starter masing-masing 30,38±0,62 oC dan
24 66,45±3,93%, sedangkan pada peride finisher masing-masing 29,80±0,76 oC dan 78,78±4,93%. Berdasarkan Tabel 5, perlakuan cekaman panas dirasakan ayam broiler pada umur tiga minggu keatas karena suhu dan kelembaban lingkungan kandang yang diperoleh masing-masing berkisar antara 29,18-30,81 oC dan 66,82%-84,9%. Kisaran suhu dan kelembaban tersebut lebih tinggi dari yang direkomendasikan oleh Charoen Pokphand (2005) yaitu 25-28 oC dengan tingkat kelembaban sebesar 60%. Tingginya suhu dan kelembaban lingkungan kandang diatas thermonetral zone selama pemeliharaan mengindikasikan bahwa adanya pemberian cekaman panas pada ayam broiler.
Pengaruh cekaman panas terhadap ayam broiler selama pemeliharaan ditandai dengan perilaku ayam yang tidak banyak bergerak, saling memisahkan diri dengan melebarkan sayapnya, menempelkan tubuhnya di lantai serta panting (meningkatkan frekuensi pernapasan). Panting merupakan salah satu respon ayam broiler yang nyata akibat stress panas dan merupakan mekanisme evaporasi saluran pernapasan. North dan Bell (1990) menyatakan bahwa ayam broiler mulai panting pada kondisi lingkungan 29 oC atau ketika suhu tubuh ayam mencapai 42 oC.
Sebagai pembanding (kontrol) dalam penelitian ini digunakan kandang pada kondisi thermonetral zone (kandang blok A) yang suhunya dipertahankan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan optimum ayam broiler pada kandang tertutup (closed house) yang didukung dengan dua buah AC (air conditioner) dan dua buah exhaust fan. Penggunaan AC dimulai pada awal minggu keempat pemeliharaan dengan tujuan suhu optimum pertumbuhan ayam broiler dapat dipertahankan. Perlakuan pada kondisi suhu normal ini digunakan sebagai pembanding terhadap peubah yang diukur pada kondisi yang mendukung cekaman panas, sehingga diperoleh taraf suplementasi selenium dan vitamin E yang optimum pada ransum ayam brolier yang dipelihara pada kondisi cekaman panas.
Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di kandang blok A (Tabel 6) selama periode starter tidak berbeda jauh dengan rataan suhu dan kelembaban di kandang blok C yaitu masing-masing sebesar 30,34±1,34 oC dan 30,38±0,62 oC dengan tingkat kelembaban masing-masing 69,70±9,62% dan 66,45±3,93%. Rataan suhu dan kelembaban lingkungan di kandang blok A selama panggunaan AC (periode finisher) masing-masing sebesar 25,22±0,05 oC dan 93,05±3,02%. Hasil pengukuran
25 suhu tersebut relatif tetap dan sesuai yang direkondasikan oleh Charoen Pokphand (2005) yaitu ±25 oC dan didukung juga oleh Kuczynski (2002) bahwa zona suhu nyaman (thermonetral zone) selama pemeliharaan untuk produktivitas optimal ayam broiler berkisar antara 19-27 oC. Rataan suhu dan kelembaban relatif lingkungan kandang blok A (kontrol) periode mingguan selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Suhu dan Kelembaban Lingkungan Kandang Blok A (Kontrol) Periode Mingguan Selama 6 Minggu Pemeliharaan
Periode Minggu Ke- Suhu (oC) Kelembaban (%)
Starter 1 31,48 60,43 2 30,67 69,04 3 28,86 79,64 Rataan 30,34±1,34 69,70±9,62 Finisher 4 25,22 89,93 5 25,17 95,96 6 25,27 93,25 Rataan 25,22±0,05 93,05±3,02
Selama penggunaan AC di kandang blok A menunjukkan terjadinya peningkatan rataan kelembaban lingkungan (Tabel 6). Sebelum penggunaan AC rataan kelembaban lingkungan kandang sebesar 69,70±9,62% meningkat menjadi 93,05±3,02% setelah penggunaan AC. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurangnya jumlah exhaust fan, sehingga sirkulasi udara di dalam kandang kurang lancar. Meningkatnya kelembaban lingkungan kandang juga disebabkan oleh respirasi ayam broiler dan pengabutan dalam kandang sebagai upaya menurunkan suhu udara dalam kandang dan mengikat amoniak yang ada di udara dalam kandang.
Berdasarkan rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan, memperlihatkan bahwa tingginya kelembaban lingkungan kandang pada suhu lingkungan yang tetap (kandang blok A) tidak mempengaruhi penampilan ayam broiler. Terbukti bahwa rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok A lebih tinggi dibandingkan rataan bobot badan akhir ayam broiler di kandang blok C walaupun rataan kelembaban lingkungan kandang blok C lebih rendah dari kelembaban lingkungan kandang blok A. Hal ini didukung oleh Yahav et al. (1995) yang menyatakan bahwa meningkatnya kelembaban dalam kandang ayam broiler
26 pada suhu udara yang tetap dapat meningkatkan kondisi lingkungan kandang ayam broiler kepada kondisi thermonetral zone sehingga ayam broiler semakin merasa nyaman. Rataan bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7. Rataan Bobot Badan Akhir Ayam Broiler Selama 6 Minggu Pemeliharaan Keterangan : E1S1= Ransum Basal; E2S1= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm; E3S1= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm; E1S2= Ransum Basal + Selenium 0,15 ppm; E2S2= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,15 ppm; E3S2= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,15 ppm; E1S3= Ransum Basal + Selenium 0,30 ppm; E2S3= Ransum Basal + Vitamin E 100 ppm + Selenium 0,30 ppm; E3S3= Ransum Basal + Vitamin E 200 ppm + Selenium 0,30 ppm; Kontrol= E1S1 pada kondisi
thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC).
Bobot badan akhir ayam broiler selama 6 minggu pemeliharaan pada kondisi cekaman panas berkisar antara 1,64-1,76 kg lebih rendah dibandingkan rataan bobot badan pada kondisi thermonetral zone yang mencapai 2,04 kg. Rendahnya bobot badan akhir pada perlakuan cekaman panas berhubungan dengan konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan yang rendah. Menurut Kusnadi (2006), cekaman panas pada ayam broiler dapat menurunkan konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan efisiensi penggunaan ransum. Menurunnya konsumsi ransum pada suhu lingkungan tinggi merupakan usaha ayam untuk mengurangi penimbunan panas dalam tubuh, walaupun harus diikuti dengan berkurangnya pertumbuhan. Suhu lingkungan tinggi akan menyebabkan terangsangnya pusat haus dan sekresi hormon kortikosteron, sementara pusat lapar dan sekresi Thyroid Stimulating Hormone (TSH) yang berperan dalam sekresi hormon tiroid dihambat sehingga pertumbuhannya terhambat. 1,67 1,64 1,69 1,65 1,69 1,75 1,68 1,64 1,76 2,04 1,00 1,15 1,30 1,45 1,60 1,75 1,90 2,05
E1S1 E2S1 E3S1 E1S2 E2S2 E3S2 E1S3 E2S3 E3S3 Kontrol
B obot B adan ( K g) Parlakuan
27
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Malondialdehida (MDA) Plasma Darah
Malondialdehida (MDA) merupakan salah satu produk final dari lipid peroksida dan parameter yang mudah terdeteksi sebagai indikator tingkat kerusakan oksidatif sel/jaringan tubuh akibat radikal bebas. Senyawa tersebut dapat menimbulkan kerusakan pada komponen sel, seperti lipid, protein dan asam nukleat (Clarkson dan Thomson, 2000). Kandungan MDA plasma darah ayam broiler yang dipelihara pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Kandungan MDA Plasma Darah (ηg/ml) Ayam Broiler pada Kondisi
Cekaman Panas
Selenium (ppm) Vitamin E (ppm) Kontrol
0 100 200
0 2,46±0,40b 2,43±0,17b 2,70±0,14b
1,84±0,31 0,15 3,26±0,27c 2,23±0,33ab 2,15±0,23ab
0,30 2,14±0,23ab 1,85±0,50a 1,76±0,23a
Keterangan : Superskrip non-kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan MDA plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas dibandingkan pada perlakuan kontrol (Tabel 7). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Sahin et al. (2008) yang menyatakan bahwa cekaman panas dapat meningkatkan kandungan MDA plasma darah, hati, otot leher dan otot dada pada burung puyuh.
Rataan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman panas sebesar 2,33±0,46 ηg/ml, lebih tinggi bila dibandingkan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 1,84±0,31 ηg/ml. Kandungan MDA plasma darah pada perlakuan kontrol menunjukkan kandungan MDA dalam batas normal karena pada kelompok ini ayam broiler tidak diberi perlakuan dan ditempatkan pada kondisi yang sesuai untuk kebutuhan pertumbuhan optimal. Terjadinya peningkatan kandungan MDA plasma darah pada perlakuan cekaman panas ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler.
Suplementasi selenium dan vitamin E pada ayam broiler yang diberi cekaman panas menghasilkan kandungan MDA plasma darah yang berbeda pada
masing-28 masing perlakuan yang berkisar antara 1,76-3,26 ηg/ml (Tabel 7). Tinggi rendahnya kandungan MDA dipengaruhi oleh kadar peroksidasi lipid, yang secara tidak langsung menunjukkkan adanya aktivitas radikal bebas akibat dari perlakuan cekaman panas yang diberikan. Ayam yang diberi suplementasi selenium dan vitamin E pada taraf maksimum penelitian memiliki kandungan MDA sebesar 1,76±0,23 ηg/ml, lebih rendah 4,35% dibandingkan dengan perlakuan kontrol (1,84±0,31ηg/ml). Hal ini memperlihatkan bahwa suplementasi selenium dan vitamin E memberikan pengaruh yang nyata (p<0,05) menurunkan kandungan MDA darah ayam broiler yang diberi cekaman panas. Berdasarkan uji lanjut Duncan diketahui bahwa level suplementasi selenium dan vitamin E yang efektif menurunkan kandungan MDA darah yaitu pada perlakuan E2S3 (kombinasi vitamin E 100 ppm dengan selenium 0,30 ppm) dan E3S3 (kombinasi vitamin E 200 ppm dengan selenium 0,30 ppm).
Kandungan MDA plasma darah yang paling rendah terdapat pada kombinasi suplementasi selenium 0,3 ppm dan vitamin E 200 ppm (E3S3). Hal ini berarti kombinasi tersebut sangat efektif meredam stres oksidatif akibat cekaman panas. Suplementasi vitamin E 100 dan 200 ppm, saat dikombinasikan dengan selenium 0,15 dan 0,30 ppm cenderung menurunkan kadar MDA plasma darah. Kombinasi selenium 0,15 ppm dengan vitamin E 0 ppm menghasilkan kandungan MDA plasma darah paling tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa selenium dan vitamin E dalam mekanisme penurunan radikal bebas di dalam tubuh tidak dapat berdiri sendiri. Selenium dan vitamin E bekerja secara sinergi untuk melindungi membran seluler.
Selenium dan vitamin E berfungsi sebagai antioksidan yang bereaksi dengan radikal bebas untuk membentuk produk yang lebih stabil. Peran antioksidan adalah untuk mengubah bentuk radikal bebas ke dalam ikatan-ikatan yang aman sehingga menghentikan proses peroksidasi lipid. Vitamin E bekerja mencegah terbentuknya peroksida bebas sedangkan selenium bekerja mengurangi peroksida yang sudah terlanjur terbentuk (Fellenberg dan Speisky, 2006). Menurut Noguchi dan Niki (1999), vitamin E termasuk antioksidan primer yang bekerja sebagai antioksidan pemutus rantai peroksidasi lipid dengan cara menjadi donor ion hidrogen bagi radikal bebas menjadi molekul yang lebih stabil yaitu hidroperoksida (H2O2).
29
Pengaruh Perlakuan terhadap Kandungan Glutathione Peroksidase (GSH-Px) Plasma Darah
Metabolisme nutrien dalam tubuh ternak yang mengalami cekaman panas, menghasilkan radikal bebas yang berpotensi merusak membran sel dan mengurangi fungsi-fungsi sel. GSH-Px adalah satu enzim antioksidan yang mengurangi pengaruh negatif dari radikal bebas di dalam sel-sel. Menurut Jenkinson et al. (1982) fungsi utama enzim GSH-Px yaitu mendetoksifikasi hidrogen peroksida dan mengubah hidroperoksida lipid menjadi komponen yang tidak beracun. GSH-Px mereduksi hidroperoksida (H2O2) yang dibentuk oleh vitamin E menjadi H2O dan glutathione disulfide (GSSG) dengan bantuan glutathione tereduksi (GSH) (Fellenberg dan Speisky, 2006). Selenium berperan dalam pertahanan antioksidan dan merupakan bagian penting dari GSH-Px, serta ketersediaan selenium merupakan kunci efektif sintesis GSH-Px (Surai et al., 2006). Kandungan GSH-Px plasma darah ayam broiler pada kondisi cekaman panas dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kandungan GSH-Px Plasma Darah (mU/mg protein) Ayam Broiler pada Kondisi Cekaman Panas
Selenium (ppm) Vitamin E (ppm) Kontrol 0 100 200 0 88,59±4,83CD 91,21±1,13D 86,39±2,60CD 64,31±16,08 0,15 57,77±1,45AB 108,15±5,09E 62,59±6,94AB 0,30 72,88±12,17BC 95,28±6,75D 42,77±29,95A
Keterangan: Superskrip kapital yang berbeda pada kolom dan faktor yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Kontrol= E1S1 pada kondisi thermonetral zone (rataan suhu lingkungan 25,22±0,05 oC). Hasil penelitian menunjukkan terjadinya peningkatan kandungan GSH-Px plasma darah pada ayam broiler yang diberi cekaman panas. Hal ini sejalan dengan Pamok et al. (2009) bahwa aktivitas enzim GSH-Px pada ayam broiler yang diberi cakaman panas meningkat pada awal periode, kemudian menurun seiring dengan berlangsungnya cekaman panas. Rataan kandungan GSH-Px plasma darah pada perlakuan cekaman panas sebesar 78,40±20,85 mU/mg protein, lebih tinggi bila dibandingkan kandungan GSH-Px plasma darah pada perlakuan kontrol yaitu sebesar 64,31±16,08 mU/mg protein. Peningkatan kandungan GSH-Px plasma darah ini mengindikasikan bahwa telah terjadinya stres oksidatif pada ayam broiler.