• Tidak ada hasil yang ditemukan

LINGUISTIK DI DUNIA ARAB (STUDI PEMIKIRAN IBNU JINNI )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LINGUISTIK DI DUNIA ARAB (STUDI PEMIKIRAN IBNU JINNI )"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

LINGUISTIK DI DUNIA ARAB (STUDI PEMIKIRAN IBNU JINNI ) Indah Khoiril Bariyyah & Milki Aan

Indahkhoiril.new@gmail.com & milki.aan@gmail.com

(UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)

Abstrak

Makalah ini membahas tentang pemikiran fonetik Ibnu Jinni, ilmuwan yang menjadi seorang tokoh sentral dalam perkembangan fonetik Arab. Karyanya yang bernama Sirru

Shinâ'atilI 'râb merupakan buku fonetik pertama dalam bahasa Arab. Ia juga menyebut ilmu

ini dengan terminology Ilmul-Ashwât yang masih digunakan oleh ilmuwan Arab hingga saat ini. Fitur-fitur ini ada di belakang penulisan makalah ini. makalah ini menjelaskan curriculum vitae Ibnu Jinni, buku itu Sirru Shinâ 'atil-I'râb, dan pemikiran fonetik Ibnu Jinni serta kontribusinya dalam bahasa Arab kemajuan fonetik Kesimpulannya, Ibnu Jinni telah memberikan kontribusi yang besar dalam bahasa Arab kemajuan fonetik. Yang terpenting adalah penelitiannya tentang vokal.

Kata Kunci: Ibnu Jinni, Fonetik, Makna dan Lafazh. Pendahuluan

Sejak Al-Quran diturunkan dan agama Islam dianut oleh sebagian besar bangsa Arab, perkembangan ilmu bahasa berkembang pesat. Banyak disiplin ilmu bahasa lahir dari rahim Al-Quran. Lahirnya kajian fonetik Arab pada awalnya adalah bagian dari kajian Al-Quran. Bagaimana Al-Quran dilafalkan dengan benar sesuai kaidah bunyi bahasa Arab. Fonetik Arab banyak dikaji oleh para ahli bahasa seperti Imam Khalil dan Sibawaih. Pada awalnya, mereka belum mengkaji fonetik secara mandiri. Pembahasan fonetik masih bercampur dengan bidang ilmu yang lain. Sampai akhirnya datang Ibnu Jinni yang menjadikan fonetik sebagai disiplin ilmu tersendiri dan menamainya ilmu al-ashwāt dalam bukunya Sirru Shināti 'l-I'rāb.131

Islam adalah factor penyemangat utama lahirnya berbagai disiplin ilmu-ilmu Arab Islam. Kesadaran untuk mentaati aturan-aturan (hukum) mendorong para ulama merumuskan fiqh dan kodifikasi Hadits. Kemudian muncullah berbagai kitab fiqh beserta mazhab-mazhabnya. Perhatian terhadap Al-Qur‟an pun telah mendorong mereka untuk merumuskan berbagai pengetahuan yang berkaitan dengan al-Quran, dimulai dari ilmu bacaannya

(al-qira‟ah) hingga tafsir-tafsirnya, sehingga bermunculan berbagai buku yang terkait dengan

131 Arifuddin, Pemikiran-Pemikiran Fonetik Ibnu Jinni, Dalam Jurnal CMES Volume VI Nomor 2

(2)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

kajian al-Qur‟an, seperti ilmu Nahwu dan Linguistik.Tokoh-tokoh atau ulama saat itu dapat dikatakan multi talenta, karena tidak hanya satu ilmu saja melainkan ilmu-ilmu lain banyak dipelajari. Termasuk tokoh-tokoh linguis Arab pun demikian. Disamping mengetahui tentang linguistik, mereka juga mengetahui ilmu lain. Sejumlah linguis Arab telah menaruh perhatian terhadap linguistik sejak gerakan ilmiah dalam kerangka daulat Islam. Mereka meraih hasil jerih payah penilitian dalam bidang fonologi, morfologi, sintaksis, dan kosakata. Orang-orang yang berkecimpung dalam linguistik diklasifikasikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama menaruh perhatian terhadap konstruksi bahasa, sedangkan kelompok kedua menaruh perhatian terhadap kosakata bahasa dan maknanya. Bidang kajian itu oleh kelompok pertama diilustrasikan sebagai nahwu (gramatika) atau ilmu bahasa Arab. Sementara bidang tersebut diilustrasikan oleh kelompok kedua sebagai bahasa atau linguistik atau filologi. Salah satu tokoh ilmu Nahwu yang terkenal adalah Ibnu Jinni, yang beliau juga ahli dalam ilmu Linguistik.

Pembahasan

Biografi Ibnu Jinni

Ada beberapa pendapat tentang tahun kelahiran Ibnu Jinni yang bernama lengkap Abu Fatah Utsman Ibn Jinni132 al-Mawsûly al-Nahwy.133 Menurut Muhammad „Ali Najjar dalam

pengantar Khashâ‟aish, Ibn Jinni dilahirkan sebelum tahun 330 H. Sementara Abu al-Farra‟ menyebutkan tahun 302 H sebagai tahun kelahiran Ibn Jinni. Sedangkan Ibn Qadhi Shuhbah dalam bukunya, "Mawsû‟ah Abâqirat al-Islâm” menyatakan bahwa Ibn Jinni wafat pada tahun 392 H dalam usia 70 tahun. Bila pendapat ini dipedomani sebagai acuan, maka

132 Nama lengkapnya adalah Usman bin Jinni. Muhammad Ali An-Najjar, dalam pengantar

al-Khashāish (Jinni, 2000, juz 1: 5), menyebutkan bahwa orang tua Ibnu Jinni berkebangsaan Romawi dan menjadi budak Sulaiman bin Fahd bin Ahmad dari kabilah Azed. Keberadaan Ibnu Jinni yang tidak memiliki garis keturunan bangsa Arab menjadi jawaban logis mengapa dalam literatur biografi nasab Ibnu Jinni berhenti sampai ayahnya saja. Hanya para ulama yang bergaris keturunan Arab terjaga silsilah keturunannya. Sebab, bagi mereka garis keturunan adalah identitas pribadi yang harus terjaga dari generasi ke generasi. Sedangkan ulama yang bergaris keturunan non-Arab, garis keturunan itu tidak dapat dilacak lebih jauh. Kenyataan ini bisa kita temukan saat meneliti nasab ulama-ulama non Arab, kebanyakan nasabnya tidak terjaga sebagaimana orang Arab.

133

Ibnu Burhan Al-„Ukbary, Syarhu Al-Luma’, (Kuwait: Silsilat al-Turatsiyyah, 1404 H/1994 M.) Cet.I. Bagian I, h. 43.; Ibnu Jinni, Al-Khashâ‟ish 1-3. (Kairo: Matba‟ah Dâr al-Kitâb al-Mishriyah, 1371 H/ 1952 M). Tahqȋq: Muhammad „Ali Najjâr)

(3)

diperkirakan tahun kelahiran Ibn Jinni pada tahun 321/322 H. Adapun tentang tempat kelahirannya tidak ada perbedaan pendapat, yakni di Mosul, Irak Utara.134

Dari segi silsilahnya, Ibn Jinni itu keturunan seorang Romawi dan Yunani yang menjadi pembantu Sulaiman bin Fahd bin Ahmad al-Azdî, akan tetapi tidak ada keterangan tentang kapan ayahnya datang ke Mosul atau tentang profesi majikannya. Mungkin karena statusnya sebagai pembantu atau agar diterima dengan baik di kalangan masyarakat Arab. Ibn Jinni menisbatkan namanya kepada kabilah majikannya setelah nama ayahnya, yakni Abu Fattah Utsman Ibn Jinni al-Azdî. Sementara Ibn Ma‟kula mendengar dari Isma‟il bin Mu‟ammal bahwa Ibn Jinni berasal dari gennaius135

yang berarti: “mulia, jenius, baik pikirannya dan ikhlas” pertanda bahwa ayahnya seorang yang terhormat, dan karena itu pula memakai nama Ibn Jinni.

Para sejarawan tidak menemukan catatan yang pasti terkait tahun berapa Ibnu Jinni dilahirkan. Pendapat yang meraka sampaikan bersifat spekulatif. Mereka menulis Ibnu Jinni dilahirkan sebelum tahun 330 H. Imam Abul Fida menulis tahun kelahiran Ibnu Jinni adalah tahun 302 H. Sejarawan Ibnu Qadli Syuhbah menyatakan usia Ibnu Jinni saat meninggal 70 tahun. Jika dihitung dari tahun wafatnya, yaitu tahun 392 H., maka tahun kelahirannya adalah 322 H. atau 321 H.136

Riwayat pendidikan Ibnu Jinni bermula di tanah kelahirannya, Mosul. Di sana, dia belajar ilmu nahwu kepada Ahmad bin Muhammad al-Maushiliy asySyāfiiy yang dikenal dengan sebutan al-Akhfasy. Saat itu, ilmu nahwu di kota Mosul sudah berkembang pesat. Ilmu ini dibawa pertama kali oleh Maslamah bin Abdullah al-Fihriy. Banyak ulama ilmu nahwu yang lahir dari kota ini.137

Ibn Jinni dibesarkan di Mosul, tempat memulai pelajarannya dalam berbagai dasar disiplin ilmu dari ulama yang berbeda. Ilmu Nahwu dipelajarinya dari Abu „Ali al-Hasan bin Ahmad bin „Abd al-Ghaffâr bin Sulaiman al-Fârisi al-Baghdâdi. Selain itu Ibnu Jinni juga

134 Wati Setiawati, Lafazh dan Makna dalam Perspektif Pemikiran Ibnu Jinni, Dalam Jurnal

Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Volume 2 Nomor 2 Tahun 2015, h.168.

135

Rihab Khadar 'Ikâwiy, Mausu’ah Abaqirah AlIslamfi al-Nahwi wa al-lughah wa al-Fiqh, (Beirut:), h. 97 lihat juga Ibnu Jinni, Al-khashaish (Beirut : Dar al-Kitab al-„Arabi, 1983), jilid 1, h. 8. 8

136 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Muhammad Ali an-Najjar, ( Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah,

2000), Juz 1, h.11 dan lihat juga Arifuddin, Pemikiran-Pemikiran Fonetik Ibnu Jinni, Dalam Jurnal CMES Volume VI Nomor 2 Tahun 2013, h.147.

137 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Muhammad Ali an-Najjar, ( Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah,

(4)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

belajar sastra pada Abu Bakar Muhammad bin al-Hasan al-Ru‟yani, Abu Bakar al-Sijistaniy, Muhammad bin Salmah dan Abu „Abbas al-Mubarrid. Adapaun i‟râb dipelajarinya dari fushâha Arab, sebut misalnya Abu „Abdillah Muhammad bin Assaf al-„Aqliy atau Abu „Abdillah al-Shajariy. Untuk memuaskan dahaganya akan ilmu, Ibn Jinni tidak segan-segan berjalan jauh sampai ke Iraq, Suriah, dan lain-lain. Ibn Jinni menghabiskan masa kanak-kanaknya juga di kota kelahirannya tersebut.

Setelah itu, ia pindah ke Baghdad dan menetap di sana. Di kota ini, ia mendalami linguistik selama kurang lebih empat puluh tahun pada gurunya, Abu „Ali al-Farisi.138

Begitu lamanya Ibn Jinni menimba pengetahuan bahasa pada Abu „Ali, sehingga keduanya terjalin hubungan yang sangat erat seperti hubungan persahabatan.

Selain berguru secara khusus kepada Abu „Ali, Ibn Jinni juga banyak belajar pada tokoh linguistik lain, terutama yang terkait dengan pengambilan sumber bahasa (ruwât al-lughah wa al-adab), di antara mereka ialah Abu Bakr Muhammad bin al-Hasan yang lebih dikenal dengan sebutan Ibn Miqsam, seorang pakar qirâ‟at al-Qur‟an, Abu Abdillah Muhammad bin al- „Assaf al-„Uqaili al-Tamimi, terkadang Ibnu Jinni menyebutnya dengan Abu Abdillah al-Syajari.

Ibn Jinni hidup pada abad keempat hijriah (abad X M) yang merupakan puncak perkembangan dan kematangan ilmu-ilmu keislaman, yang pada umumnya para ilmuawan pada abad ini tidak saja menguasai satu disiplin pengetahuan, tetapi juga menguasai disiplin-disiplin lainnya. Oleh karena itu, tidak berlebihan jika para penulis biografi Ibn Jinni menyatakan bahwa karya-karya tokoh yang satu ini menggabungkan teori linguistik, teori prinsip fiqh (ushûl fiqh), juga teori ilmu kalâm (teologi) karena dia penganut mazhab Mu‟tazilah, mazhab yang juga dianut oleh guru besarnya, Abu Ali al-Farisi.139

Ibn Jinni menetap di Baghdad hingga wafat pada tahun 392 H.140

138

Abdul Halim al-Najjar, Târikh al-Adab al-Arabiy, Jilid II, (Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, tt), h. 244

139 Abdillah, Zamzam Afandi. Ibn Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik dalam Adabiyyat. Vol.

8. 2009, h. 54. Lihat juga Abd al-Halim an-Najjar, Târikh al-Adab alArabi, h. 244.

140 Rihab Khadar 'Ikâwiy, Mausu’ah Abaqirah Al-Islam fi al-Nahwi wa al-lughah wa al-Fiqh,

(Beirut: tp), h. 100 dan dapat di lihat juga dalam tulisan Wati Setiawati, Lafazh dan Makna dalam Perspektif

Pemikiran Ibnu Jinni, Dalam Jurnal Pendidikan Bahasa Arab dan Kebahasaaraban, Volume 2 Nomor 2 Tahun

(5)

Selain ilmu nahwu, Ibnu Jinni juga belajar sastra kepada Imam Abu Ali alFārisiy. Informasi ini dikemukakan oleh Ibnu Khallikan. Dia menulis141“Dia belajar sastra kepada Abu Ali al-Fārisiy, kemudian mengajar di kota Mosul. Suatu saat, gurunya Abu Ali berkunjung kepadanya dan melihatnya sedang mengajar banyak murid-murid. Abu Ali berkata: “Kamu belum pantas, kamu masih bodoh”. Dia langsung meninggalkan majlisnya, dan berguru kepada Abu Ali hingga menjadi mahir”. Dari data di atas, an-Najjar menyimpulkan bahwa Ibnu Jinni berguru kepada Abu Ali pada masa kecil. Hanya saja, data di atas tidak menjelaskan nama daerah dimana Ibnu Jinni berguru. Abu Ali masuk ke kota Baghdad pada tahun 307 H. diduga kuat, kota Baghdad adalah nama daerah tersebut, jika benar informasi yang dikemukakan oleh Ibnu Khallikan.142

Hubungan guru-murid antara Abu Ali dan Ibnu Jinni sangatlah kuat. Ibnu Jinni selalu menunjukkan dalam karya-karyanya bahwa dia adalah murid yang taat kepada gurunya itu dan mengakui jasa-jasa besarnya. Para sejarawan, kecuali Ibnu Khallikan, hampir sepakat bahwa Ibnu Jinni pertama kali mengenal Abu Ali alFārisiy saat dia mengajar para murid-muridnya di masjid kota Mosul. Dalam riwayat Ibnu al-Anbāriy diceritakan143 bahwa Abu Ali suatu hari berkunjung ke kota Mosul dan masuk ke masjid jami' kota Mosul.

Ibnu Jinni, yang saat itu masih muda, sedang mengajarkan ilmu nahwu kepada murid-muridnya. Materi yang diajarkan adalah tentang mengganti huruf waw dengan alif. Abu Ali kemudian membantah pendapat Ibnu Jinni, dan Ibnu Jinni tidak dapat menjawab bantahan tersebut. Abu Ali berkata: “Kamu sudah berani mengajar, padahal kamu masih perlu belajar lagi”. Abu Ali kemudian berdiri dan meninggalkan tempat. Saat itu, Ibnu Jinni belum mengenal Abu Ali, dia bertanya kepada seseorang, dan diberitahu kalau orang itu adalah Abu Ali. Segera dia mencarinya, dan dia menjumpainya di kota Sumeria dalam perjalanan ke kota Baghdad. Sejak saat itu, dia selalu ikut dan berguru kepada Abu Ali. Dalam riwayat di atas, jelas sekali bahwa Ibnu Jinni belum mengenal Abu Ali. Riwayat inilah yang diyakini oleh banyak sejarawan Arab.

Sebagian besar karya-karya Ibnu Jinni ditulis saat Imam Abu Ali masih hidup. Karya-karya itu mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari sang guru. Ibnu Jinni juga sering

141 Ibnu Khallikan, Wafyâtul-Ayân wa Anbâ'u Abnâi az-Zamân. (Beirut: Dar ash-Shadir, 1994).h.246

142 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Muhammad Ali anNajjar, ( Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah,

2000), Juz 1, h.11

143 Ibnu Al-Anbari, Nuzhatu alAlibbâi fî Thabaqâti al-Udabâ'i. Yordania: Maktabah Al-Manar1985),

(6)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

mengutip dan memuji pendapat gurunya. Dalam karyanya, al-Khashāish, (1/208) dia mengatakan: “Suatu hari saya mengatakan kepada Abu Bakar Ahmad bin Ali arRāziy, saat itu kami banyak memperbincangkan kecerdasan Abu Ali dan reputasinya yang tinggi: “Saya menduga masalah ini sudah diketahui olehnya. Dan dia telah berjasa memberikan sepertiga argumentasi ilmu nahwu ini kepada para ulama”. Tampak Ahmad bin Ali ar-Rāziy begitu menyimak perkataan tersebut, dan menyetujuinya”. Di tempat yang lain (1/276), Ibnu Jinni mengatakan: “Māsyā‟a 'llāh, semoga Allah selalu merahmatinya. Tampak sekali betapa kuat argumentasinya, dan betapa tinggi pengetahuannya tentang ilmu bahasa Arab ini. Seakan-akan dia tercipta untuknya.

Bagaimana tidak?! Dia telah berbakti bersama para tokoh-tokoh terkemuka ilmu bahasa selama 70 puluh tahun merumuskan argumentas-argumentasi ilmu bahasa dan memecahkan problematikanya. Dia juga menjadikan ilmu bahasa sebagai perhatian utamanya, dan tidak tergoda oleh kesenangan dunia”. Hubungan guru murid antara Abu Ali dan Ibnu Jinni ini seperti hubungan Imam Khalil dan muridnya, Imam Sibawaih, dimana sang murid banyak mengutip ilmu sang guru dan menuliskannya dalam karya-karyanya. Hanya saja, dalam konteks Ibnu Jinni sang guru terkadang bertanya dan meminta pendapat muridnya, bahkan keduanya berdiskusi panjang. Hal ini seperti yang diceritakan Ibnu Jinni dalam al-Khashāish (1/387), suatu hari saya masuk kepada Abu Ali di sore hari. Dia bertanya kepadaku: “Dimana kamu? Saya mencarimu”. “Ada apa, guru?”. “Apa pendapatmu tentangkata ذ٠سٛز?

Kami pun berdiskusi bersama dan belum mendapatkan jawabannya. Abu Ali berkata: “(Kata) itu adalah dialek Yaman, berseberangan dengan dialek Bani Nizar.” Meskipun begitu dekat dan taat kepada gurunya, Ibnu Jinni tidak fanatik kepada sang guru. Dalam beberapa permasalahan, dia tidak sependapat dengan gurunya. Seperti dalam kata (فبفدر( apakah huruf ta' itu imbuhan untuk disamakan dengan wazan )طبطشل(?(Abu Ali berpendapat iya dan memberikan argumentasinya. Ibnu Jinni kemudian berkomentar: “Menurut saya pendapat itu jauh dari kebenaran”, dan dia pun mengajukan argumentasinya.144

Dasar Teori tentang Kajian Lafazh dan Makna

Kajian makna tidak dapat dilepaskan dari kajian lafazh itu sendiri. Lafazh dan makna adalah dua unsur komunikasi yang senantiasa digunakan karena lafazh itu adalah perwujudan

144 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Muhammad Ali anNajjar, ( Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah,

(7)

dari makna yang ingin disampaikan oleh si pembicara kepada lawan bicaranya. Akan tetapi, setiap lafazh tidak selalu mewakili makna yang sama setiap kali diucapkan. Begitupun suatu makna bisa diwakili oleh lafazh yang berbeda-beda pula sesuai dengan keberagaman si penutur, letak geografis, waktu pengucapan, dialek bahasa, dan sebagainya. Karena itu ketika mempelajari tentang lafazh dan makna, seorang hendaklah memperhatikan unsur-unsur di atas seperti yang telah diisyaratkan oleh Ibn Jinni dalam bukunya al-Khashâ‟ish bahwa tidak ada dua bahasa atau lebih yang persis sama. Jikapun ada kata-kata yang sama pemakaiannya atau bersinonim, mestilah salah satu dari kata-kata tersebut lebih tinggi intesitas penggunaannya dan biasanya itulah kata asal. Sedangkan kata-kata yang lain adalah kata-kata yang kemudian kemungkinan bukan kata asli si pemakai bahasa tapi merupakan serapan dari bahasa ataupun dialek lain. Jadi dapat kita katakan bahwa menurut Ibn Jinni dua kata atau lebih yang bersinonim adalah kata-kata yang mempunyai padanan dan kemungkinan padanan pada dialek dan bahasa yang berbeda.145

Kata-kata yang bersinonim, menurut Ibn Jinni, adalah karena adanya proses asimilasi dan pertukaran kosa kata antar penutur bahasa dengan dialek yang berbeda. Keberagaman lafazh untuk suatu makna ini membuat suatu bahasa lebih baik/lebih fleksibel dan menjadikannya sebagai bahasa universal serta sebagai alat komunikasi atau lingua franca bagi masyarakat secara umum.146 Sebuah kata, seperti disebutkan sebelumnya, bisa juga mempunyai dua makna atau lebih. Kata-kata seperti ini biasa diistilahkan dengan polisemi yang sepadan dengan musytarak lafzhî. Berbeda dengan ilmuwan Barat yang melihat polysemy dari bentuk bunyi ujaran-seperti kata pretty yang biasa berarti cantik, begitu atau banyak, tergantung siyâq kalamnya, maka Ibn Jinni melihatnya dari segi huruf dan harakat. Sebagi contoh adalah ٜذصٌا yang berarti kondisi sangat kehausan bila dibaca al-shada, dan berarti gema/suara yang bersipongan apabila dihilangkan lam-nya dan dibaca ashda. 147

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditegaskan bahwa pada dasarnya Ibn Jinni berpendapat bahwa makna adalah hasil akhir dari analisis menyeluruh terhadap peristiwa kebahasaan yang terjadi pada lafazh. Karena itu, dalam mempelajari makna kita harus meninjau segala segi kebahasaan yang melingkupi konteks sosial, fonologis, morfologis,

145 Ibn Jinni, al-Khashâ’ish 1, h. 372, Abd alKarim Mujahid, al-Dalâlah al-Lughawiyyah Inda AlArab, ('Amman: Dâr al-Dhiyâ, 1985), h. 102

146 Ibn Jinni, al-Khashâ’ish 1, h. 374.

147

(8)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

sintaksis dan leksikal.148 Walaupun demikian, kajian lafazh dan makna menurut Ibnu Jinni lebih ditekankan pada kajian fonologi, morfologi dan sintaksis sebagaimana telah diuraikannya di dalam Kitabnya al-Khashâish, tepatnya خ١ػبٕصٌاٚ خ١ظفٌٍا خٌٍاذٌا ةبث bab pada

خ٠ٕٛؼٍِاٚ. Secara harfiyah memang Ibn Jinni tidak menyebut kata fonem, morfem atau sintaksis sebagaimana yang dilakukan oleh para linguis kontemporer. Berikut sejumlah pemikiran linguistiknya tentang lafazh dan makna secara ringkas.

1. al-Dalâlah al-Ijtimâ’iyah (Konteks Situasi) Dalam dalâlah Ijtima‟iyah, makna mengacu kepada kontek situasi (siyâq al-kalâm) dan kondisi yang mengitari peristiwa kebahasaan. Kridalaksana mengartikan konteks situasi ini dengan lingkungan non-linguistik yang menjadi alat untuk merinci ciri-ciri yang diperlukan untuk memahami makna ujaran. Dalam teori ini makna merupakan hubungan yang kompleks antara ciri linguistik ujaran dan ciri situasi sosial.149 Sebenarnya istilah konteks situasi ini sebelum Firth sudah dikenal dikalangan antropolog yang dipelopori oleh Malinowski.150

2. al-Dalâlah al-Shawtiyah (Phonology) Fonologi sebagai salah satu cabang linguistik adalah suatu ilmu yang mengkaji fungsi bunyi-bunyi dalam bahasa tertentu yang dapat membedakan makna suatu kata dengan yang lainnya. Makna fonologis ini bisa berbentuk fonem, strees (nabr) dan intonasi (tanghîm).151 Ibnu Jinni mengistilahkan

al-dalâlah al-shawtiyah dengan al-dalâlah al-lafzhiyah yang merupakan dalâlah yang

lebih dominan dari kedua dalâlah lainnya, yaitu aldalâlah shina‟iyah dan

al-dalâlah al-Maknawiyah.

3. al-Dalâlah al-Sharfiyah (Morfologi) Morfologi adalah bagian linguistic yang mempelajari tentang morfem. Morfologi adalah satu didiplin ilmu yang mempelajari dan menganalisis struktur, bentuk dan klasifikasi kata-kata. Dalam kajian Bahasa

148 Firth, Papers in Linguistics: (Modes of Meaning), h. 142; Lihat. Mujahid, Al-Dalâlah alLughawiyyah Inda Al-Arab, h. 157

149

Kridalaksana, Kamus Linguistik, 120

150 Pembahasan lebih mendalam tentang pendapat Malinowski ini bisa dilihat dalam Koenejaraningrat. Sejarah Teori Antropologi (Jakarta: UI press, 1987) 160; Mujahid, al-Dalâlah alLughawiyyah Inda Al-Arab,

h. 158.

151 Moh. Matsna HS, Orientasi Semantik AlZamakhsyari, (Jakarta: Anglo Media, 2006), Cet. Ke-1, h.

(9)

Arab, morfologi dikenal dengan ilmu sharf. Morfologi juga didefinisikan sebagai berikut:

بِ خغٌ ٝف ٕٝؼِ دار خ٠ٛغٌ حذزٚ شغصأ

152

"Unit bahasa terkecil yang memiliki makna”

Ibn Jinni menyebutnya al-Dalâlah al-Shinâ’iyah, yaitu yang dihasilkan dari satuan morfologis dalam kata.

4. al-Dalâlah al-Nahwiyah (Syntax) Sintaksis, disebut juga gramatika atau kaidah bahasa. Menurut R. R. K. Hartmann dan F. C. Stork, sintaksis adalah “Syintax is the

Branch of grammar which is conserned with the study of the arrangement of words in sentences and of the means by which such relationship are shown, e.g. word order or inflection.”153

Dari definisi tersebut, dapat dipahami bahwa sintaksis merupakan bagian dari grammar/kaidah bahasa yang mengkaji tentang posisi & makna sebuah kata di dalam sebuah kalimat sempurna. Dalâlah Nahwiyah atau Dalâlah

Ma'nawiyah adalah makna yang dihasilkan oleh tingkatan yang lebih rendah dari al-Dalâlah al-Sharfiyah.

Pemikiran Fonetik Ibnu Jinni

Pemikiran fonetik Ibnu Jinni hadir di tengah sejumlah pemikiran fonetik para linguis Arab terkenal seperti Khalil bin Ahmad, Sibawaih, Ibnu Duraid, dan Abu Ali al-Fārisi. Pemikiran-pemikiran itu telah berkembang pesat. Diyakini, Ibnu Jinni telah mempelajari dan memanfaatkan pemikiran-pemikiran tersebut secara langsung dari sumber-sumbernya melalui jalur riwayat dari para guru-guru. Para ahli bahasa secara detil telah mengkaji bunyi bahasa Arab, titik artikulasi, dan sifat masing-masing bunyi. Mereka juga telah mengkaji perubahanperubahan fonem seperti idghām, ibdāl, dan i‟lāl. Hanya saja, mereka seringkali tidak konsisten dalam mengkaji kaidahkaidah fonetik, terkadang mereka hanya mendeskripsikan saja tanpa didukung argumentasi nyata. 154 Ibnu Jinni menuangkan pemikiranpemikiran fonetik tidak hanya dalam Sirru Shinā‟atil-I‟rāb, melainkan juga dalam

152

David Cristall, al-Ta’rif bi ‘Ilm al-Lughah, Terjemahan Ḥilmi Khalil, (Kairo: al-Hai‟ah alMishriyah al-„Āmmah, 1979), h. 162

153 R. R. K. Hartmann dan F. C. Stork, Dictionary of Language and Linguistics, (London: Applied

Science Publishers Ltd, 1972), h. 231

154 Husam Said An-Nu'aimi. Ad-Dirâsâtul Lahjiyyah wash-Shautiyyah Inda Ibni Jinni. (Baghdad:

(10)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

karya-karya yang lain, utamanya al-Khashāish. Pemikiran-pemikiran tersebut menunjukkan tingkat kepakaran Ibnu Jinni dalam hal linguistik, khususnya fonetik yang diakui oleh para linguis Arab modern. Beberapa pemikiran Ibni Jinni terkait fonetik adalah sebagai berikut:

1. Teori asal Muasal Bunyi

Terdapat perbedaan sikap diantara para linguis dalam menanggapi isu bagaimana awal mulanya lahirnya bahasa manusia. Ada yang memandang, mendiskusikan isu ini tidak ada untungnya bagi ilmu pengetahuan, bahkan melanggar kode etik ilmu pengetahuan itu sendiri karena tidak adanya data empiris yang wajib ada dalam setiap penelitian ilmiah. Selain itu, sebagian memandang isu itu sudah masuk ranah metafisika. Shubhi Shalih dalam

Dirāsātu Fiqhil-Lughati menegaskan: “Sudah seharusnya kajian bahasa direvitalisasi dengan

menjauhkan persoalan awal mula bahasa manusia yang penuh dengan ketidakjelasan dan gaib”.

Di sisi lain, sejumlah ilmuwan memandang, membicarakan isu ini tetap menarik dan mendatangkan manfaat ilmiah. Paling tidak, tidak membiarkan isu tersebut terkubur dalam kemisteriusan. Inilah yang mendorong Ibnu Jinni untuk membicarakan isu awal mula bahasa manusia, apakah datang sebagai ilham dari Tuhan, ataukah hasil olah pikir dan konsensus sekelompok manusia? Ibnu Jinni memilih opsi yang kedua yang mengatakan bahasa adalah hasil konsensus manusia. Hal ini menurutnya, karena tidak ada teks agama (riwayat hadis) yang sahih yang memperkuat opsi pertama. Semua riwayat hadis yang menafsirkan bahwa Allah telah mengajarkan kepada Nabi Adam sejumlah nama-nama (QS. 2:31) bagi Ibnu Jinni tidak menginformasikan secara pasti tentang kemunculan bahasa. Selain itu, riwayat-riwayat tersebut mengandung pertentangan substansi.155

Dalam hal ini, yang menarik dalam pembahasan Ibnu Jinni adalah dia mengajukan teori fonetik terkait lahirnya bahasa manusia. Dalam al-Khashāish,156 Ibnu Jinni menuliskan: “Sejumlah ulama berpandangan awal mula bentuk bahasa manusia adalah suara-suara alam yang sering didengar seperti desir angin, gemericik air, suara keledai, gagak, dan sejenisnya. Kemudian terlahirlah setelah itu bahasa-bahasa manusia. Pendapat ini, menurutku, adalah pendapat yang bisa diterima”. Perlu digarisbawahi bahwa pendapat di atas bukan pendapat Ibnu Jinni, melainkan kutipan dari pendapat sejumlah ahli bahasa yang dipilih olehnya.

155 Husam Said An-Nu'aimi. Ibnu Jinni Âlimul-Arabiyyah. (Baghdad: Kementerian Budaya dan

Informasi, 1990), h.271.

156 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Muhammad Ali anNajjar, ( Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah,

(11)

Tentang siapa sejumlah ahli bahasa yang dimaksud Ibnu Jinni, menurut an-Nuaimi157 tidak ada data valid yang menunjukkan hal tersebut.

Teori yang dipilih Ibnu Jinni di atas dapat dipahami bahwa pada mulanya manusia berbicara dengan meniru suarasuara alam. Saat itulah manusia sadar akan kemampuannya menggunakan alat ucap. Kemudian manusia merasa nyaman saat mampu menyatakan apa yang ada dalam pikirannya kepada orang lain, meskipun menggunakan bahasa yang masih sangat primitif. Kemudian tiba masa, yang tidak diketahui pasti berapa lama, dimana manusia berusaha mengembangkan kemampuan berbicaranya untuk mengungkapkan kebutuhan sehari-hari dan mulai meninggalkan bentuk suara-suara alam tersebut. Kemampuan berbicara itu semakin berkembang menyesuaikan kebutuhan hidup dan perkembangan akal pikiran manusia, dan bahasa manusia tumbuh secara bertahap.158

2. Bunyi Bahasa Arab

a. Titik Artikulasi

Ibnu Jinni dalam mengkaji titik artikulasi lebih condong kepada pendapat Imam Sibawaih yang membagi titik artikulasi ke dalam enam belas bagian. Dalam bukunya, Sirru Shinā‟atil-I'rāb (1993:46) beliau menyebutkan keenam belas titik artikulasi tersebut.

b. Bunyi vokal

Bunyi vokal adalah bunyi yang saat mengucapkannya udara tidak mengalami hambatan sama sekali dalam alurnya. Sedangkan bunyi konsonan adalah bunyi yang udara mengalami hambatan, baik total maupun sebagian, di beberapa titik artikulasinya. Dalam bahasa Arab, bunyi vokal disebut dengan istilah harakat dan huruf mad. Ibnu Jinni mengkaji bunyi ini dalam bukunya Sirru Shinā‟atilI‟rāb. Dia menjelaskan159: “Ketahuilah, bahwa harakat adalah setengah dari huruf mad yaitu alif, ya‟, wau. Sebagaimana huruf mad ada tiga, begitu juga harakat, yaitu fatah, kasrah, dan dammah. Fatah adalah setengah dari alif, kasrah adalah setengah dari ya, dan dammah adalah setengah dari wau. Para ahli ilmu nahwu menyebut fatah dengan alif kecil, kasrah dengan ya kecil, dan dammah dengan wau kecil.” Pernyataan Ibnu Jinni

157 Husam Said An-Nu'aimi. Ad-Dirâsâtul Lahjiyyah wash-Shautiyyah Inda Ibni Jinni. (Baghdad:

Kementerian Kebudayaan dan Penerangan Republik Irak, 1980), h.273

158 Husam Said An-Nu'aimi. Ad-Dirâsâtul Lahjiyyah wash-Shautiyyah Inda Ibni Jinni. (Baghdad:

Kementerian Kebudayaan dan Penerangan Republik Irak, 1980), h.273

159

(12)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

ini sangat sesuai dengan apa yang disepakati oleh para ahli fonetik Arab modern. Mereka mengatakan, bahwa perbedaan antara fatah dengan alif hanya dalam panjang bunyi. Demikian juga, antara kasrah dengan ya, dammah dengan wau. Alif juga bisa disebut dengan fatah panjang, ya dengan kasrah panjang, dan wau dengan dammah panjang.160

Dari pernyataan Ibnu Jinni di atas dapat disimpulkan juga bahwa bunyi vokal yang diakui oleh ahli bahasa Arab ada tiga, terlepas dari panjang dan pendeknya. Yaitu: fatah, kasrah, dan dammah.

c. Bunyi konsonan

Ibnu Jinni menjelaskan bunyi konsonan satu persatu dalam bukunya Sirru

Shināati –l'Irāb` dalam satu bab, dari Bābul Hamzah, Bābu l-Bā', sampai Bābu l-Yā.

Di awal setiap bab, Ibnu Jinni menjelaskan apakah bunyi itu bersuara (majhûr) atau tidak bersuara (mahmûs), kemudian menjelaskan perubahan-perubahan bunyi itu dalam sebuah kata. Ibnu Jinni menjelaskan maksud istilah bunyi bersuara. Dia mengatakan161“Bunyi yang bertekan pada tempatnya secara kuat, dan mencegah udara mengalir bersamanya, sampai berakhir kebertekanan tersebut dan udara dapat mengalir”.

Sedangkan bunyi tidak bersuara didefinisikan “Bunyi yang lemah bertumpu pada tempatnya sehingga udara tetap dapat mengalir”. Yang dimaksud “tempat” dalam pernyataan Ibnu Jinni di atas bukanlah pita suara sebagaimana ahli fonetik modern memandang bunyi bersuara dan tidak bersuara. Ibnu Jinni dipastikan masih belum memahami pita suara karena keterbatasan teknologi saat itu. Maksud dari “tempat” itu adalah alur udara yang di dalamnya terdapat titik artikulasi. Hal ini diperjelas dengan penjelasan Ibnu Jinni saat menjelaskan bunyi [ َ ْ]. Ibnu Jinni menyebut kedua bunyi itu bertekan pada mulut dan rongga hidung sehingga keduanya sengau.162

Dalam proses pembentukan kedua bunyi itu, udara melewati rongga hidung karena rongga mulut tertutup. Kebertekanan bunyi bersuara pada alur udara secara

160 Anis, Ibrahim. Al-Ashwât alLughawiyyah. Kairo: Maktabah Anglo Mashriyyah,TT), h.39-40.

161 Ibnu Jinni, Al-Khashâish Editor Hasan Hindawi, ( Damaskus: Darul Qalam, 1993), h.60.

(13)

kuat menjadikan bunyi ini lebih keras dari bunyi tidak bersuara. Hal inilah yang dipahami oleh Ibnu Jinni terkait istilah majhûr (yang dikeraskan). Udara pun tidak mengalir saat bunyi bertekan pada alur udara. Udara itu baru mengalir setelah selesai proses bertekan tersebut. Tampaknya, Ibnu Jinni memahami istilah majhûr ini dengan adanya stressing yang menjadikan bunyi lebih terdengar keras. Hal ini berbeda dengan ahli fonetik modern. Mereka memandang bunyi bersuara dikarenakan pita suara bergetar. Menurut Ibnu Jinni bunyi tidak bersuara itu ada sepuluh. Selain itu maka masuk bunyi bersuara.

Penutup

Ibnu Jinni telah memberikan konstribusi besar dalam pengembangan kajian fonetik bahasa Arab. Dia adalah orang pertama yang menuliskan materimateri pembahasan fonetik Arab dalam satu buku khusus yang dia beri nama Sirru

Shinâ'atil-I'râb. Dalam karyanya ini, Ibnu Jinni membahas titik artikulasi, bunyi

vokal, bunyi konsonan dan deskripsi masing-masing. Pembahasan bunyi vokal adalah salah satu konstribusi penting dari Ibnu Jinni. Dia menjelaskan definisinya, macam-macamnya, kedudukan vokal dalam tata tulis bahasa Arab dimana pembahasan-pembahasan itu tidak ditemukan, dengan kedalaman yang sama, dalam karya-karya ulama pada masa itu. dan dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa teori makna dalam pemikiran linguistik Ibn Jinni didasarkan kepada proses-proses yang terjadi pada lafazh sesuai dengan konteks situasi atau makna sosial, makna fonologis, morfologis, sintaksis dan makna leksikal. Makna bahasa Arab adalah hasil akhir dari analisis menyeluruh terhadap peristiwa kebahasaan yang terjadi pada lafazh yang meliputi: dalâlah al ijtimâ‟iyyah (konteks situasi), dalâlah alshawtiyyah, al-dalâlah al-sharfiyyah, dan alal-dalâlah al-nahwiyyah (makna nahwi, makna sintaksis) Namun demikian, pemikiran linguistik Ibn Jinni tentang lafazh dan makna lebih ditekankan pada kajian fonologi, morfologi dan sintaksis dalam bingkai penggunaan bahasa Arab sebagai media komunikasi, baik lisan maupun tulisan. Secara harfiyah, Ibn Jinni tidak menyebut istilah fonem, morfem atau sintaksis sebagaimana yang dilakukan oleh para linguis kontemporer, karena istilah linguistik saat itu adalah istilah-istilah Arab tersebut. Pemikiran linguistik Ibn Jinni penting dikembangkan dalam proses pembelajaran „ilm aldalâlah untuk memperkaya substansi dan metodologi kajian semantik bahasa Arab di masa mendatang.

(14)

Indah Khoiril Bariyyah, Milki Aan

Daftar Pustaka

 Manâhijul-Bahts fil-Lughati. Hilmiyet Zaitoun Kairo: Maktabah an-Nasr.

 Abdillah, Zamzam Afandi. “Ibn Jinni Menembus Sekat Mazhab Linguistik”, dalam Jurnal Adabiyyat. Vol. 8. 2009.

 Abduttawwab, Ramadan. 1997. AlMadkhal ilâ „Ilmil-Lughati. Kairo: Maktabah al-Khanji. Al-Anbari, Ibnu. 1985.

 Anis, Ibrahim. TT. Al-Ashwât alLughawiyyah. Kairo: Maktabah Anglo Mashriyyah.  An-Nu'aimi, Husam Sa‟id. 1990. Ibnu Jinni „Âlimul-„Arabiyyah. Baghdad:

Kementerian Budaya dan Informasi.

 ---. 1980. Ad-DirâsâtulLahjiyyah wash-Shautiyyah „Inda Ibni Jinni. Baghdad: Kementerian Kebudayaan dan Penerangan Republik Irak. As-Samirra‟i, Fadhil Shaleh. 1969.

 Cristall, David, al-Ta‟rîf bi „Ilm al-Lughah, Terjemahan Ḥilmi Khalil, Kairo: alHai‟ah al-Mishriyah al-„Â mmah, 1979.

 Djajasudarma, T. Fatimah, Semantik 1: Pengantar ke Arah Ilmu Makna, Bandung: Erasco, 1993. Firth, JR., Papers in Linguistics: (Modes of Meaning), Oxford: Oxford University Press, 1957.

 Halim, Najjar, Târîkh al-Adab al-Arabî, Jilid II, Kairo: Dâr al-Ma‟ârif, tt. Hartmann, R. R. K., dan Stork, F. C., Dictionary of Language and Linguistics, London: Applied Science Publishers Ltd, 1972

 Ibn Jinni, al-Khashâ‟ish Jilid 1-3. Kairo: Matba‟ah Dâr al-Kitâb al-Mishriyah, 1952  ---. Baghdad: Dar anNadzîr. Dlaif, Syauqi. 1992. Al-MadârisunNahwiyyah.

Kairo: Darul Ma‟arif.

 ---. Editor Muhammad Ali anNajjar. 2000. Al-Khashâish. Kairo: Darul Kutub al-Mishriyyah.

 ---. Editor Hasan Hindawi. 1993. Sirru Shinâ‟atil-I‟râb. Damaskus: Darul Qalam. Hassan, Tammam. 1989.

 Khallikan, Ibnu. 1994. Wafyâtul-A‟yân wa Anbâ‟u Abnâi az-Zamân. Beirut: Dar ash-Shadir.

 Koenejaraningrat, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: UI Press, 1987.  Kridalaksana, Harimurti, Kamus Linguistik, Jakarta: Gramedia, 1993.

 M. „Ikawi, Rihab Khudar, Mawsû‟ah Abâqirat Al-Islam: al-Nahwi wa al-Lughah wa alFiqh, Beirut: Dâr al-Fikr al-„Arabî, 1993.

 Matsna HS, Moh., Orientasi Semantik alZamakhsyari, Jakarta: Anglo Media, Cet. I, 2006. Mujahid, Abd al-Karim, al-Dalâlah alLughawiyyah „Inda al-Arab, „Amman: Dâr al-Dhiyâ‟ 1985.

 Nuzhatu alAlibbâ‟i fî Thabaqâti al-Udabâ‟i. Yordania: Maktabah Al-Manar.  Shalih, Shubhi. 2004. Dirâsâtu fî FiqhilLughah. Beirut: Darul Ilmi lilMalâyîn.

 Tarigan, Henry Guntur, Pengajaran Semantik, Bandung: Angkasa, 1995. „Ukbari, Ibn Burhan, Syarh al-Luma‟, Kuwait: al-Silsilat al-Turâtsiyyah, Cet. ke-1, 1994.  Umar, Ahmad Mukhtar. 1988. Al-BahtsulLughawiyyi 'Indal-„Arab. Kairo: 'Alamul

Referensi

Dokumen terkait

Memberi contoh ungkapan sederhana yang menyatakan harapan ( raja’ ) atas suatu kebahagiaan dan prestasi, dengan memperhatikan fungsi sosial, struktur teks, dan unsur

“Epistemologi Ilmu Ekonomi Islam (Kajian atas Pemikiran M. Abdul Mannan dalam Teori dan Prak tek Ekonomi Islam)” dalam Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner,

Dengan demikian dapat kita simpulkan bahwa fonetik dan fonologi (bunyi) merupakan unsur pertama dan utama dalam mempelajari suatu bahasa Bila unsur ini

Dari permasalahan yang terjadi di atas, maka penulis berharap melalui pembahasan tentang materi pendidikan akhlak pada anak dalam kitab Tahdzib Al-Akhlak karya

Adapun hasil penelitian bahwa Solusi Ibnu Khaldun dalam hal tersebut seperti yang diterangkan dalam bukunya bahwa sebaiknya Perlakukanlah peserta didik sebagai

mufassir adalah al-ma’na> al-maja>zi> atau makna kiasan. 110 Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, h. 111 Quraisy Shihab, Tafsir al-Misbah:

(kebebasan memilih atau pilihan bebas). Sebagaimana akan ditemukan makna kedua pengertian di atas di dalam uraian-uraian di bawah ini, kelihatannya al Ibn al-‘Arabî memaknai

11 3.2 Menganalisis unsur kebahasaan bunyi, kata dan makna dari teks sangat sederhana terkait tema : تعاسلا dengan memperhatikan struktur زمالأ لعفو عراضلما لعفلا Unsur kebahasaan