• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dimana perawat membantu partisipasi klien, membantu memperoleh. pengetahuan dan meningkatkan kesehatan (Watson, 1979).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJUAN PUSTAKA. dimana perawat membantu partisipasi klien, membantu memperoleh. pengetahuan dan meningkatkan kesehatan (Watson, 1979)."

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Caring 2.1.1. Pengertian Caring

Caring sebagai esensi pertanggungjawaban dalam hubungan antara

perawat-klien, dimana perawat membantu partisipasi perawat-klien, membantu memperoleh pengetahuan dan meningkatkan kesehatan (Watson, 1979). Lebih lanjut Leininger (1979 dalam George J.B, 2002) menjelaskan Caring adalah kegiatan langsung untuk memberikan bantuan, dukungan, atau membolehkan individu atau kelompok melalui antisipasi bantuan untuk meningkatkan kondisi individu atau kehidupan. Caring adalah sebagai cara memelihara untuk berhubungan dengan orang lain, terhadap tanggung jawab pada suatu pekerjaan yang akan dinilai oleh orang lain (Tomey & Alligood, 2006). Caring adalah aspek sentral dari keperawatan, caring diidefintifikasikan sebagai carative behavior, seperti mengembangkan trust, menyediakan dukungan, membantu pemenuhan kebutuhan manusia (Watson,1979). Caring lebih dari sekedar melakukan prosedur keperawatan, caring merupakan sikap memelihara dan membantu orang lain (Ann G, 2004).

2.1.2. Asumsi Dasar Caring dalam Keperawatan

Menurut Watson (1979), banyak asumsi dan beberapa prinsip dasar caring keperawatan, adapun asumsi dasar dalam keperawatan tersebut yaitu caring hanya bisa didemonstrasikan dan dipraktekkan dengan efektif hanya secara

(2)

interpersonal, caring terdiri dari caractiv factors yang menghasilkan kepuasan terhadap kebutuhan manusia, caring efektif meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan individu dan keluarga, respon caring menerima seseorang tidak hanya sebagai dia saat ini, tetapi juga menerima akan jadi apa dia kemudian, lingkungan caring adala sesuatu yang menawarkan perkembangan dari potensi yang ada, dan disaat yang sama membiarkan seseorang untuk memilih tindakan yang terbaik bagi dirinya saat itu, dan caring lebih komplek dari pada curing,

caring lebih bersifat healthgenic (menyehatkan) dari pada curing (mengobati),

praktek caring merupakan sentral bagi keperawatan. 2.1.3. Perilaku Caring (Caring Behavior)

Godkin dan Godkin, (2004) menjelaskan bahwa perilaku caring sebagai usaha perawat untuk memenuhi kebutuhan fisik dan emosional pasien. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut perlu diperlihatkan adanya nursing presence (keberadaan perawat). Duffy (1993 dalam Watson 2008), mengembangkan instrumen Caring Behavior Tools (CAT) Admin berdasarkan 10 caractive factors. Adapun 10 caractive factors dimaksud adalah :

Membentuk sistem nilai humanistic-altruistic (The formation of a humanistic-altruistic system of values). Nilai humanistic-altruistic merupakan nilai yang mendasari caring. Pemberian asuhan keperawatan berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan (humanistic) dan perilaku mementingkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi (altruistic) (Tomey & Alligood, 2006). Hal ini dapat dikembangkan melalui pemahaman nilai yang ada pada diri seseorang, keyakinan, interaksi dan kultur serta pengalaman pribadi (Asmadi, 2008). Nilai

(3)

humanistic serta perilaku altruistic dapat dikembangkan melalui peningkatan

kesadaran dan pandangan seseorang terhadap keyakinan, dan nilai-nilai

Perilaku kepala ruangan dalam menerapkan humanisic-altruistic adalah memanggil nama staf perawat dengan hormat dengan nama panggilan sehari-hari yang disenangi, merespon panggilan staf perawat dengan cepat walaupun sedang sibuk, mendengarkan dan memperhatikan keluhan dan kebutuhan staf perawat, bersikap hormat dan sabar menghadapi perawat, menghargai dan menghormati pendapat staf perawat, membimbing sataf perawat selama supervisi keperawatan (Nurachmah,2011, Potter & Perry,2009 ; Muhlisin,2008).

(Watson,1979).

Menanamkan Keyakinan & harapan (the instillation of faith-hope) merupakan carative factors kedua adalah kemampuan manager untuk menanamkan dalam diri staf perawat rasa keyakinan-harapan selama memberikan perawatan pada klien diantaranya dalam menerima informasi dari kepala ruangan sebelum melakukan tindakan keperawatan pada klien

Perilaku kepala ruangan yang mencerminkan faktor kepercayaan dan harapan adalah memberikan informasi pada staf perawat tentang tindakan keperawatan dan pengobatan yang akan diberikan pada klien, memotivasi perawat selama memberikan asuhan keperawatan pada klien, dan memberitahu perawat untuk memenuhi keinginan klien terhadap alternatif tindakan keperawatan dan (Watson,1979). Caractive factors ini erat kaitannya dengan caractive factors yang pertama yaitu nilai

(4)

pengobatan untuk meningkatkan kesehatan klien selama tidak bertentangan dengan penyakit dan kesembuhan klien (Nurachmah,2011).

Meningkatkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain (the

cultivation of sensitivity to one’s self and others). Seorang manager perawat

dituntut mampu meningkatkan sensitivitas terhadap dirinya dan orang lain (Tomey & Alligood, 2006). Perawat harus mampu meningkatkan sifat sensitif sehingga staf perawat merasa diterima dan diperhatikan (Watson, 1979).

Perilaku perawat dalam memberikan asuhan keperawatan yang mencerminkan faktor sensitif adalah kepala ruangan belajar menghargai kesensitifan dan perasaan perawat, sehingga perawat dapat menjadi sensitif, bersikap wajar pada kepala ruangan, menunjukkan sikap penuh kesabaran dalam menghadapi keluhan staf perawat, selalu siap membantu staf perawat bila dibutuhkan (

Membantu menumbuhkan hubungan saling percaya (the development of a helping-trustrelationship). Hubungan saling percaya antara manager perawat dan

staf perawat akan meningkatkan penerimaan terhadap perasaan positif dan negatif antara manager perawat dan staf perawat (Tomey & Alligood, 2006). Ciri-ciri hubungan saling percaya adalah harmonis, empati dan hangat, perawat menunjukkan sikap empati dengan berusaha merasakan apa yang dirasakan klien dan sikap hangat dengan menerima orang lain secara posistif (Asmadi, 2008).

Potter & Perry, 2009 ; Watson, 1979).

Perilaku kepala ruangan yaitu mencerminkan faktor saling percaya dan saling membantu adalah memberikan informasi jujur, memperhatikan sikap empati dengan hangat pada perawat, mempertahankan kontak mata saat

(5)

berinteraksi dengan perawat, menjelaskan tentang peran perawat, meyakinkan perawat bahwa kepala ruangan selalu siap untuk membantu staf perawat jika ada permasalahan selama memberikan asuhan keperawatan pada klien(Nurachmah, 2001; Potter & Perry, 2009; Muhlisin, 2008).

Mengembangkan dan menerima ekspresi perasaan posistif dan negative (the promotion and acceptance of the Expression of positive/negativefeelings). Yaitu kemampuan perawat menerima perasaan klien dan memahami perilaku mereka dan mampu mempersiapkan diri dalam menghadapi ekspresi perasaan positif dan negative perawat dengan cara memahami ekspansi perawat secara emosional maupun intelektual dalam situasi yang berbeda (Tomey & Alligood, 2006).

Perilaku kepala ruangan terhadap perawat yang mencerminkan faktor menerima ekspresi perasaan positf dan negatif adalah menyediakan waktu dan hadir didekat perawat untuk menampung dan mendukung ekspresi perasaan positif dan negatif staf perawat, mendengarkan keluhan staf perawat dengan sabar, memotivasi staf perawat untuk mengungkapkan perasaannya (Potter & Perry, 2009).

Menggunakan metode pemecahan masalah yang sistematis dalam pengambilan keputusan (the systematic use of the sciencetific problem solving

method for decision making). Perawat menggunakan proses keperawatan yang

sistematis dan teroganisasi sesuai dengan ilmu dan kiat keperawatan untuk menyelesaikan masalah klien (Watson, 1979). Metode pemecahan masalah ilmiah

(6)

merupakan metode yang member kontrol dan prediksi serta memungkinkan untuk koreksi diri (Asmadi, 2008).

Perilaku kepala ruangan yang mencerminkan faktor pemecahan masalah yang sistematis ini adalah kepala ruangan mensuperivisi staf perawat dalam melakukan pengkajian, menetukan diagnose keperawatan, membuat perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi asuhan keperawatan yang diberikan sesuai dengan masalah klien, melibatkan klien dan keluarga dalam pemberian asuhan keperawatan (Muhlisin, 2008; Nurachmah, 2001).

Meningkatkan proses pembelajaran interpersonal (The Promotion of interpersonal Teaching-learning). adalah caractive factors yang meliputi proses yang terlibat di dalamnya baik manager perawat maupun orang lain. Faktor ini adalah konsep yang penting dalam keperawatan, karena merupakan faktor utama ketika seseorang berusaha mengontrol kesehatan mereka sendiri setelah mendapatkan sejumlah informasi kesehatan mereka sendiri setelah mendapatkan sejumlah informasi tentang kesehatannya (Watson, 1979). Perawat memberikan informasi pada klien dan klien diberi tanggung jawab dalam proses kesehatannya dan kesejateraannya. Perawat memfasilitasi porses ini dengan tehnik belajar mengajar yang bertujuan untuk memberikan kesempatan klien dalam memenuhi kebutuhan dirirnya dan memberikan kesempatan pada klien untuk perkembangan pribadinya (Tomey & Alligood, 2006).

Perilaku kepala ruangan yang mencerminkan faktor proses belajar mengajar ini adalah menetapkan kebutuhan personal staf perawat selama memberikan pengetahuan (pendidikan kesehatan) kepada klien, memberikan

(7)

asuhan mandiri yaitu dengan mengajarkan cara memenuhi kebutuhan diri klien secara mandiri sesuai dengan kemampuan klien

Menciptakan suasana suportif, korektif, dan protektif terhadap mental, fisik, sosiokultural, dan spiritual (the provision for a supportive,protective,and (or) corrective mental, physical,sociocultural and spiritual environment).

(Potter & Perry, 2009).

Merupakan kemampuan perawat untuk menciptakan lingkungan internal dan eksternal yang berpengaruh terhadap kesehatan dan penyakit individu, seperti menciptakan lingkungan yang aman, nyaman dan keleluasan pribadi pada klien (Watson, 1979). Perawat dapat memberi dukungkan situasional, membantu individu mengembangkan persepsi yang lebih akurat, serta member informasi sehingga klien dapa mengatasi masalahnya (Tomey & Alligood, 2006).

Perilaku kepala ruangan yang mendukung adalah kepala ruangan mengajarkan staf perawat untuk mengenali pengaruh lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan dan kodisi penyakitnya, memfasilitasi klien untuk bertemu dengan pemuka agama bila klien membutuhkan, membantu untuk menjalankan ibadah/kegiatan agamnya, memotivasi klien untuk berdoa, membantu menghubungi keluarga yang dibutuhkan (

Membantu memenuhi kebutuhan dasar manusia (Assitance with the gratification of human need).

Muhlisin, 2008; Nurachmah, 2001).

Perawat meyakini kebutuhan

biophysical,psychophysical, psychosocial, dan interpersonal klien. Kebutuhan

biophysical seperti makan, eliminasi dan ventilasi. Kebutuhan psychophysical seperti kemapuan aktivitas dan seksualitas. Kebutuhan psychosocial seperti

(8)

prestasi dan afiliasi. Kebutuhan intrapersonal seperti aktualisasi diri. Perawat membantu klien dengan senang hati ketika klien kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dasarnya (Watson, 1979).

Perilaku kepala ruangan yang mencerminkan faktor membantu dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia ini adalah memotovasi dan mensupervisi staf perawat dalam membantu klien memenuhi kebutuhan dasarnya seperti kebutuhan nutrisi, eliminasi, hygiene, memperhatikan kenyamanan dan keamanan lingkungan klien, sering mengunjungi klien, mengobservasi kondisi kesehatan dan kebutuhan klien secara teratur (

Menghargai kekuatan eksternal yang ada dalam kehidupanan pikiran (the allowance for existential/phenomenological dimensions). P

Muhlisin, 2008; Nurachmah, 2001).

erawat membantu klien untuk mengerti kehidupan dan kematian, sehingga dapat membantu klien dalam menentukan koping yang baik dalam menghadapi situasi yang berhubungan dengan penyakitnya (Watson, 1997 ; Tomey & Alligood, 2008).

Perilaku kepala ruangan selama berinteraksi dengan staf perawat yang mencerminkan faktor kekuatan eksistensial- fenomenologis adalah mengajarkan dan memotivasi staf perawat dalam memberikan kesempatan pada klien dan keluarga untuk melakukan kegiatan spiritual untuk penyembuhan, staf perawat memfasilitasi klien dan keluarga untuk melakukan alternatif sesuai pilihannya yang tidak bertentangan dengan kondisi kesehatan dan penyakitnya serta sesuai persetujuan medis, memotivasi klien untuk berserah diri pada Tuhan YME, menyiapkan klien dan keluarga saat menghadapi fase berduka (Muhlisin, 2008; Nurachmah, 2001).

(9)

2.2. Konsep Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan 2.2.1. Definisi

Menurut Newman (1968 dalam Marquis & Houston, 2003) kepemimpinan adalah kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang lain atau seni mempengaruhi perilaku manusia baik perorangan maupun kelompok. Dan satu hal yang perlu diingat bahwa kepemimpinan tidak harus dibatasi oleh aturan-aturan atau tata karma birokrasi. Kepemimpinan bisa terjadi dimana saja, asalkan seseorang menunjukkan kemampuannya mempengaruhi perilaku orang lain kearah tercapainya suatu tujuan tertentu.

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok untuk pencapaian tujuan. Bentuk pengaruh tersebut dapat secara formal seperti tingkat manajerial pada suatu organisasi. Karena posisi manajemn terdiri atas tingkatan yang biasanya menggambarkan otoritas, seorang individu bisa mengasumsikan suatu peran kepemimpinan sebagai akibat dari posisi yang ia pegang pada organisasi tersebut (Robbins, 2008).

Kepemimpinan sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, yang mempunyai peran penting dalam rangka proses administrasi. Hal ini didasarkan kepada pemikiran bahwa peran seorang pemimpin merupakan implementasi atau penjabaran dari fungsi kepemimpinan. Fungsi kepemimpinan merupakan salah satu di antara peran administrator dalam rangka mempengaruhi orang lain atau para bawahan agar mau dengan senang hati untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya (Marquis & Houston, 2003).

(10)

Gaya kepemimpinan, mengandung pengertian sebagai suatu perwujudan tingkah laku dari seorang pemimpin, yang menyangkut kemampuannya dalam memimpin. Perwujudan tersebut biasanya membentuk suatu pola atau bentuk tertentu. Pengertian gaya kepemimpinan yang demikian ini sesuai dengan pendapat yang disampaikan oleh Davis (1995 dalam Usman, 2010). Keduanya menyatakan bahwa pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan atau diacu oleh bawahan tersebut dikenal sebagai gaya kepemimpinan.

Hersey dan Blanchard (1992 dalam Usman, 2010) berpendapat bahwa gaya kepemimpinan pada dasarnya merupakan perwujudan dari tiga komponen, yaitu pemimpin itu sendiri, bawahan, serta situasi di mana proses kepemimpinan tersebut diwujudkan.

2.2.2. Macam-Macam Gaya Kepemimpinan

Ada beberapa gaya kepemimpinan yang ditawarkan oleh Bass (1985) yaitu Transformasional dan Transaksional

a. Kepemimpinan Transformasional (

Transformational Leadership)

Model kepemimpinan transformasional merupakan model yang relatif baru dalam studi-studi kepemimpinan. Model ini dianggap sebagai model yang terbaik dalam menjelaskan karakteristik pemimpin. Konsep kepemimpinan transformasional mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan watak, gaya dan kontingensi.

(11)

Burns (1978 dalam Usman, 2010) merupakan salah satu penggagas yang secara eksplisit mendefinisikan kepemimpinan transformasional. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang model kepemimpinan transformasional, model ini perlu dipertentangkan dengan model kepemimpinan transaksional. Kepemimpinan transaksional didasarkan pada otoritas birokrasi dan legitimasi di dalam organisasi. Pemimpin transaksional pada hakekatnya menekankan bahwa seorang pemimpin perlu menentukan apa yang perlu dilakukan para bawahannya untuk mencapai tujuan organisasi. Disamping itu, pemimpin transaksional cenderung memfokuskan diri pada penyelesaian tugas-tugas organisasi. Untuk memotivasi agar bawahan melakukan tanggungjawab mereka, para pemimpin transaksional sangat mengandalkan pada sistem pemberian penghargaan dan hukuman kepada bawahannya.

Burns (dalam Bass,1985) menyatakan bahwa model kepemimpinan transformasional pada hakekatnya menekankan seorang pemimpin perlu memotivasi para bawahannya untuk melakukan tanggungjawab mereka lebih dari yang mereka harapkan. Pemimpin transformasional harus mampu mendefinisikan, mengkomunikasikan dan mengartikulasikan visi organisasi, dan bawahan harus menerima dan mengakui kredibilitas pemimpinnya.

Hater dan Bass (1988) menyatakan bahwa "the dynamic of

transformational leadership involve strong personal identification with the leader, joining in a shared vision of the future, or going beyond the self-interest exchange of rewards for compliance". Pemimpin transformasional merupakan pemimpin

(12)

organisasi mencapai tujuannya. Pemimpin transformasional juga harus mempunyai kemampuan untuk menyamakan visi masa depan dengan bawahannya, serta mempertinggi kebutuhan bawahan pada tingkat yang lebih tinggi dari pada apa yang mereka butuhkan.

Bass dan Avolio (1990) mengemukakan bahwa kepemimpinan transformasional mempunyai empat dimensi yang disebutnya sebagai "the Four

I's".

Dimensi yang pertama disebutnya sebagai idealized influence (pengaruh ideal). Dimensi yang pertama ini digambarkan sebagai perilaku pemimpin yang membuat para pengikutnya mengagumi, menghormati dan sekaligus mempercayainya.

Dimensi yang kedua disebut sebagai inspirational motivation (motivasi inspirasi). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai pemimpin yang mampu mengartikulasikan pengharapan yang jelas terhadap prestasi bawahan, mendemonstrasikan komitmennya terhadap seluruh tujuan organisasi, dan mampu menggugah spirit tim dalam organisasi melalui penumbuhan entusiasme dan optimisme.

Dimensi yang ketiga disebut sebagai intellectual stimulation (stimulasi intelektual). Pemimpin transformasional harus mampu menumbuhkan ide-ide baru, memberikan solusi yang kreatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi bawahan, dan memberikan motivasi kepada bawahan untuk mencari pendekatan-pendekatan yang baru dalam melaksanakan tugas-tugas organisasi.

(13)

Dimensi yang terakhir disebut sebagai individualized consideration (konsiderasi individu). Dalam dimensi ini, pemimpin transformasional digambarkan sebagai seorang pemimpin yang mau mendengarkan dengan penuh perhatian masukan bawahan dan secara khusus mau memperhatikan kebutuhan-kebutuhan bawahan akan pengembangan karir. Walaupun penelitian mengenai model transformasional ini termasuk relative baru (Bass dan Avolio, 1990)

Konsep kepemimpinan transformasional ini mengintegrasikan ide-ide yang dikembangkan dalam pendekatan-pendekatan watak (trait), gaya (style) dan kontingensi, dan juga konsep kepemimpinan transformasional menggabungkan dan menyempurnakan konsep-konsep terdahulu yang dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi Weber (1947 dalam Usman, 2010). Bryman (1992 dalam Usman 2010),menyebut kepemimpinan transformasional sebagai kepemimpinan baru (the

new leadership).

Sarros dan Butchatsky (1996 dalam Usman, 2010) menyebutnya sebagai pemimpin penerobos (breakthrough leadership).Lebih lanjut Sarros dan Butchatsky menyatakan, disebut sebagai penerobos karena pemimpim semacam ini mempunyai kemampuan untuk membawa perubahan-perubahan yang sangat besar terhadap individu-individu maupun organisasi dengan jalan: memperbaiki kembali (reinvent) karakter diri individu-individu dalam organisasi ataupun perbaikan organisasi, memulai proses penciptaan inovasi, meninjau kembali struktur, proses dan nilai-nilai organisasi agar lebih baik dan lebih relevan, dengan cara-cara yang menarik dan menantang bagi semua pihak yang terlibat, dan

(14)

mencoba untuk merealisasikan tujuan-tujuan organisasi yang selama ini dianggap tidak mungkin dilaksanakan.

Avolio dan Bass (1985) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional berbeda dengan kepemimpinan transaksional dalam dua hal:

Pertama, meskipun pemimpin transformasional yang efektif juga mengenali kebutuhan bawahan, mereka berbeda dari pemimpin transaksional aktif. Pemimpin transformasional yang efektif berusaha menaikkan kebutuhan bawahan. Motivasi yang meningkat dapat dicapai dengan menaikkan harapan akan kebutuhan dan kinerjanya. Misalnya, bawahan di dorong mengambil tanggungjawab lebih besar dan memiliki otonomi dalam bekerja (Bass, 1985)

Kedua, pemimpin transformasional berusaha mengembangkan bawahan agar mereka juga menjadi pemimpin. Sebelum Bass mengindikasikan ada tiga ciri kepemimpinan transformasional yaitu karismatik, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual mengindikasikan inspirasional termasuk ciri-ciri kepemimpinan transformasional. Dengan demikian ciri-ciri kepemimpinan transformasional terdiri dari karismatik, inspirasional, stimulasi intelektual dan perhatian secara individual (Bass & Stogdill, 1990).

Karismatik menurut Yukl (1994) merupakan kekuatan pemimpin yang besar untuk memotivasi bawahan dalam melaksanakan tugas. Bawahan mempercayai pemimpin karena pemimpin dianggap mempunyai pandangan, nilai dan tujuan yang dianggapnya benar. Oleh sebab itu pemimpin yang mempunyai karisma lebih besar dapat lebih mudah mempengaruhi dan mengarahkan bawahan agar bertindak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh pemimpin. Selanjutnya

(15)

dikatakan kepemimpinan karismatik dapat memotivasi bawahan untuk mengeluarkan upaya kerja ekstra karena mereka menyukai pemimpinnya.

Inspirasional, perilaku pemimpin inspirational menurut Yukl dan Fleet (dalam Bass, 1985) dapat merangsang antusiame bawahan terhadap tugas-tugas kelompok dan dapat mengatakan hal-hal yang dapat menumbuhkan kepercayaan bawahan terhadap kemampuan untuk menyelesaikan tugas dan mencapai tujuan kelompok.

Stimulasi Intelektual, menurut Yukl (1998) stimulasi intelektual merupakan upaya bawahan terhadap persoalan-persoalan dan mempengaruhi bawahan untuk melihat persoalan-persoalan tersebut melalui perspektif baru.

Hater dan Bass (1998) menjelaskan bahwa melalui stimulasi intelektual, pemimpin merangsang kreativitas bawahan dan mendorong untuk menemukan pendekatan - pendekatan baru terhadap masalah-masalah lama. Melalui stimulasi intelektual, bawahan didorong untuk berpikir mengenai system nilai, kepercayaan, harapan dan didorong melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan melakukan inovasi dalam menyelesaikan persoalan dan berkreasi untuk mengembangkan kemampuan diri serta disorong untuk menetapkan tujuan atau sasaran yang menantang. Kontribusi intelektual dari seorang pemimpin pada bawahan harus didasari sebagai suatu upaya untuk memunculkan kemampuan bawahan.

Hal itu dibuktikan dalam penelitian Seltzer dan bass (1990) bahwa aspek stimulasi intelektual berkorlasi positif dengan extra effort. Maksudnya, pemimpin

(16)

yang dapat memberikan kontribusi intelektual senantiasa mendorong staf supaya mapu mencurahkan upaya untuk perencanaan dan pemecahan masalah.

Perhatian secara Individual, perhatian atau pertimbangan terhadap perbedaan individual implikasinya adalah memelihara kontak langsung face to

face dan komunikasi terbuka dengan para pegawai. Zalesnik (1977; dalam Bass,

1985) mengatakan, bahwa pengaruh personal dan hubungan satu persatu antara atasan-bawahan merupakan hal terpenting yang utama. Perhatian secara individual tersebut dapat sebagai indentifikasi awal terhadap para bawahan terutama bawahan yang mempunyai potensi untuk menjadi seorang pemimpin. Sedangkan

monitoring merupakan bentuk perhatian individual yang ditunjukkan melalui

tindakan konsultasi, nasehat dan tuntutan yang diberikan oleh senior kepada yunior yang belum berpengalaman bila dibandingkan dengan seniornya.

Heater dan Bass (1998) mengatakan bahwa kepemimpinan transformasional lebih menarik bagi karyawan yang berpendidikan tinggi karena karyawan yang berpendidikan tinggi mendambakan tantangan kerja yang dapat menambah profesionalis dan pengembangan diri.

Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat Keller (1992 dalam Usman 2010) bahwa mereka yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mempunyai minat mendalam dalam menghadapi tantangan kerja dan bawahan yang mempunyai pendidikan tinggi dapat mendukung memberi respon terhadap kepemimpinan transformasional. Respon positif tersebut dapat mempengaruhi tingkat motivasi bawahan sehingga bawahan juga akan meningkatkan upayanya

(17)

atau melakukan extra effort untuk mendapatkan hasil kerja lebih tinggi dari yang diharapkan.

Bass (1985) mengatakan, kepemimpinan transformasional lebih memungkinkan muncul dalam organisasi yang memiliki kehangatandan kepercayaan yang tinggi juga berpendidikan tinggi, diharapkan dengan pendidikan tinggi dapat menjadi orang yang kreatif.

b. Kepemimpinan Transaksional

Menurut Burns (1978 dalam Bass 1985) pada kepemimpinan transaksional, hubungan antara pemimpin dengan bawahan didasarkan pada serangkaian aktivitas tawar menawar antar keduanya. Karakteristik kepemimpinan transaksional adalah contingent reward dan management by-exception dan laissez

faire.

Pada contingent reward dapat berupa penghargaan dari pimpinan karena tugas telah dilaksanakan, berupa bonus atau bertambahnya penghasilan atau fasilitas. Hal ini dimaksudkan untuk memberi penghargaan maupun pujian untuk bawahan terhadap upaya-upayanya. Selain itu, pemimpin betransaksi dengan bawahan, dengan memfokuskan pada aspek kesalahan yang dilakukan bawahan, menunda keputusan atau menghindari hal-hal yang kemungkinan mempengaruhi terjadinya kesalahan (Hughes, Ginnett, & Curphy, 2002).

Management by-exception menekankan fungsi managemen sebagai

kontrol. Pimpinan hanya melihat dan mengevaluasi apakah terjadi kesalahan untuk diadakan koreksi, pimpinan memberikan intervensi pada bawahan apabila standar tidak dipenuhi oleh bawahan. Praktik management by-exception, pimpinan

(18)

mendelegasikan tanggungjawab kepada bawahan dan menindaklanjuti dengan memberikan apakah bawahan dapat berupa pujian untuk membesarkan hati bawahan dan juga dengan hadiah apabila laporan yang dibuat bawahan memenuhi standar (Northouse, 2004).

Menurut Bycio dan kolega. (1995 dalam Bass 1985) kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Sedangkan

laisssez-Pemimpin laissez faire menurut Sondang (2010 Marquis & Houston, 2003) dapat dilihat dari karakteristik kepemimpinan yang digunakannya, misalnya dalam pendelegasian wewenang terjadi secara ekstensif, pengambilan keputusan

faire, tipe kepemimpinan ini merupakan kebalikan

dari tipe kepemimpiann otoriter, jika dilihat dari segi perilaku ternyata tipe kepemimpinan ini cenderung didominasi oleh perilaku kepemimpinan kompromi dan perilaku kepemimpinan pembelot. Pemimpin yang termasuk tipe ini sama sekali tidak memberikan kontrol dan koreksi terhadap pekerjaan bawahannya. Pembagian tugas dan kerjasama diserahkan kepada bawahannya, tanpa petunjuk dari pimpinan.. Dengan demikian, dalam kepemimpinan ini akan mudah terjadi kekacauan dan tingkat keberhasilan organisasi yang dipimpin dengan gaya laissez

faire semata-mata disebabkan karena kesadaran dan dedikasi beberapa bawahan

(19)

diserahkan kepada pemimpin yang lebih rendah dan para petugas operasional, kecuali dalam hal-hal tertentu yang nyata-nyata menuntut keterlibatannya tidak terganggu, status quo organisasional tidak terganggu, penumbuhan dan pengembangan kemampuan berpikir dan bertindak yang inovatif dan kreatif diserahkan kepada para bawahan, selama bawahan menunjukkan perilaku dan prestasi kerja yang memadai, intervensi pemimpin dalam perjalanan organisasi berada pada tingkat yang minimum.

Peneliti berusaha menuangkan beberapa hasil penelitian yang terkait perilaku caring dan gaya kepemimpinan untuk mendukung penelitian ini Penelitian caring antara staf dan manajer Duffy (1993) menemukan hubungan positif antara perilaku caring dan perawat manajer kepuasan kerja perawat. Penelitian Duffy juga mengungkapkan bahwa praktek lingkungan, yang diciptakan oleh manajer keperawatan mempengaruhi praktek keperawatan..

Nyberg (1992) dalam penelitiannya ditemukan caring

atribut manajer meliputi perilaku seperti komitmen, diri. Smith (1992) menemukan bahwa manajer keperawatan berpikir bahwa mereka menggunakan perilaku caring dalam kepemimpinannya tapi mereka menyadari tidak mampu menggunakannya dalam praktek mereka

Longo & Christine (2006), melakukan penelitian 99 Resgitered nurse menemukan ada pengaruh perilaku caring manajer dengan kepuasaan kerja perawat.

.

Berbagai bentuk hubungan dan implikasi dari kepemimpinan transaksional dan transformasional, Al-Mailam (2004) dalam penelititiannya

(20)

menemukan karyawan yang bekerja di bawah kepemimpinan transformasional merasa pemimpin mereka lebih efektif dibandingkan dengan karyawan yang bekerja bagi pemimpin transaksional.

Kepemimpinan adalah aspek yang paling penting dari caring kepala ruangan kegiatan (Fox et al. 1999). Lebih lanjut Fox dan kolega menjelaskan dalam penelitianya dampak waktu kepala ruangan dikhususkan untuk kepemimpinan produktivitas personil unit. Mereka menyimpulkan bahwa bahwa keterlibatan dalam kepemimpinan memberikan kontribusi besar terhadap produktivitas unit. Namun, temuan pada penelitian ini menunjukkan bahwa perawat kepala menghabiskan rata-rata hanya 10% dari waktu mereka pada pengarahan, coaching, dan mentoring staf secara individual dan kolektif, dan menunjukkan proaktif perilaku.

Malloy dan Penprase (2010) dalam penelitiannya menemukan a Duffield dan Lumby, (1994) dalam penelitiannya menemukan bahwa kepala ruangan lebih banyak menghabiskan waktu dalam merawat pasien daripada memfasilitasi caring staf mereka.

da hubungan yang signifikan antara gaya kepemimpinan dan lingkungan kerja psikososial. Implikasi bagi manajemen keperawatan hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akan terjadi perbaikan dalam keperawatan psikososial lingkungan kerja dengan pelaksanaan transformasional dan perilaku kepemimpinan.

(21)

2.2 Kerangka Konsep

Mudhianto (2011) dalam penelitiannya menemukan bahwa gaya kepemimpian transformasional dan gaya kepemimpinan transaksional berpengaruh pada komitmen organisasi.

Duffy (1993) mengidentifikasi perilaku caring berdasarkan teori Watson (2008) 10 caractiv faktors, menyatakan bahwa caring yang diharapkan dalam keperawatan adalah sebuah perilaku perawatan yang didasari dari beberapa aspek diantaranya : human altruistic (mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan), Menanamkan kepercayaan-harapan, mengembangkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, pengembangan bantuan dan hubungan saling percaya, meningkatkan dan menerima ungkapan perasaan yang positif dan negatif, sistematis dalam metode pemecahan masalah, pengembangan pendidikan dan pengetahuan interpersonal, meningkatkan dukungan, perlindungan mental, fisik, sosial budaya dan lingkungan spiritual, senang membantu kebutuhan manusia, menghargai kekuatan eksistensial phenomenologikal.

(Watson, 1979) Seorang pemimpinan dengan gaya kepemimpinan yang di gunakan untuk menjalankan suatu organisasi menjadi berkualitias bagi jika pemimpin bisa menjadi menjadi role model untuk berperilaku caring terhadap stafnya. Untuk menilai perilaku caring pemimpin dalam hal ini kepala ruangan agar menjadi objektif dapat diukur dengan instrumen CAT-Admin Versi II yang dikembang oleh Duffy (1993 dalam Watson, 1997)

(22)

Kepemimpinan transaksional dan transformasional dikembangkan oleh Bass (1985). Bass mengembangkan konsep untuk mengukur gaya kepemimpinan transformasional, transaksional. Berdasarkan instrumen tersebut ditemukan adanya hubungan antara caring dengan kepuasan pasien juga ditemukan adanya hubungan antara caring perawat manajer dengan kepuasan perawat. Dapat dilihat pada skema 2.1 :

(23)

Perilaku Caring berdasarkan 10 karatif Watson teridiri dari : Mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan,

Menanamkan

kepercayaan-harapan, mengembangkan kepekaan terhadap diri sendiri dan orang lain, pengembangan bantuan dan hubungan saling percaya, meningkatkan dan menerima ungkapan perasaan yang positif dan negatif, sistematis dalam metode pemecahan masalah, pengembangan pendidikan dan pengetahuan interpersonal, meningkatkan dukungan, perlindungan mental, fisik, sosial budaya dan lingkungan spiritual, senang membantu kebutuhan manusia, menghargai kekuatan eksistensial phenomenologikal. (Watson, 1979). Perilaku caring Perawat Pelaksana Perilaku Caring Kepala Ruangan VARIABEL DEPENDENT VARIABEL INDEPENDENT Keterangan:

--- = area yang tidak diteliti

Skema 2.1 Kerangka Penelitian

Gaya kepemimpinan yang ditawarkan oleh Bass & Avolio (1989) :

Kepemimpinan Transformasiona

Kepemimpinan Transaksional

Referensi

Dokumen terkait