Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 29
JURNAL KONSTRUKSI
Kajian Penentuan Luas Bangunan dari Orthofoto untuk Keperluan Kadaster
Fiskal
Yackob Astor
Universitas Swadaya Gunung Jati (Unswagati) Jl. Pemuda No.32 Cirebon. Email: yackobastor@yahoo.com
ABSTRAK
Akibat laju pesatnya pembangunan di suatu wilayah dan dinamika masyarakat yang semakin berkembang mengakibatkan adanya perubahan dan penambahan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hal ini mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak selalu mengadakan kegiatan Pendataan Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan secara sistematik dan terprogram.Untuk kegiatan pendataan dengan melakukan pengukuran objek pajak tentunya lebih sulit dilakukan untuk daerah variable terrain, seperti pada daerah perkotaan yang padat maupun pemukiman di daerah yang berbukit. Salah satu kesulitan tersebut adalah dalam penentuan luas bangunan obyek pajak, dimana pengukuran dilakukan pada bangunan dalam jumlah yang banyak dan tidak teratur, maupun bangunan dengan ketinggian terrain yang berbeda, hal ini menyebabkan pengukuran akan lebih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang relatif lama. Orthofoto dapat dijadikan sebagai solusi terhadap permasalahan penentuan luas bangunan untuk daerah variable terrain. Lebih dari itu, dengan orthofoto dapat diperoleh data grafis yang mencerminkan keadaan sebenarnya di lapangan dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif cepat sehingga pengelolaan PBB dan pelayanan kepada wajib pajak diharapkan akan lebih meningkat. Penelitian ini mengkaji sejauh mana orthofoto dapat digunakan untuk menentukan luas bangunan objek pajak. Realisasi penelitian dilaksanakan dengan cara membandingkan luas bangunan pada orthofoto yang dihasilkan terhadap luas bangunan dilapangan. Dilakukan proses orthofoto pada foto udara small format (non-metrik) hasil pemotretan menggunakan kamera digital untuk daerah kampus ITB, dengan perangkat lunak PCI Geomatics sebagai tool.
Kata kunci : Orthofoto, Digital Elevation Model, Pixel Spacing.
ABSTRACT
Due rapid pace of development in the region and growing community dynamics makes any changes nor additions object and subject land and building tax (Pajak Bumi Bangunan, PBB), this requires that the Directorate General of Taxes always held data collection about the object and subject land also building tax systematic and programmed. Collection activity by measuring tax object is certainly more difficult in variable terrain areas, such as in dense urban areas and settlements in hilly areas. One of these difficulties is determine building wide where measurement conducted in dense area and irregular terrain and buildings with different heights, this led measurement would be more difficult and requires in relatively long time. Orthofoto can be used as solution for problem of determining building area in variable terrain. Moreover, orthofoto reflect real situation on the ground with many objects and relatively fast, so that land and building tax management and taxpayers service is expected to be increased. This study examines how orthofoto can be used to determine building wide as tax object. Research realization implemented by comparing building wide on orthofoto against building wide in the ground. Small format aerial photographs (non-metric) location in ITB area captured using digital camera used for input, process by PCI Geomatics software as a tool.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 30 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Akibat laju pesatnya pembangunan di suatu wilayah dan dinamika masyarakat yang semakin berkembang mengakibatkan adanya perubahan dan penambahan objek dan subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), hal ini mengharuskan Direktorat Jenderal Pajak selalu mengadakan kegiatan Pendataan Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan secara sistematik dan terprogram. Kegiatan pendataan dapat dilaksanakan dengan menggunakan/memilih salah satu dari empat alternatif sebagai berikut, yakni dengan melakukan Pendataan dengan penyampaian dan pemantauan pengembalian Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP), Identifikasi objek pajak, Verifikasi data objek pajak maupun Pengukuran objek pajak. (KEP-533/PJ/2000).
Untuk kegiatan pendataan dengan melakukan pengukuran objek pajak tentunya lebih sulit dilakukan untuk daerah variable terrain, seperti pada daerah perkotaan yang padat maupun pemukiman di daerah yang berbukit. Salah satu kesulitan tersebut adalah dalam penentuan luas bangunan obyek pajak, dimana pengukuran dilakukan pada bangunan dalam jumlah yang banyak dan tidak teratur, maupun bangunan dengan ketinggian terrain yang berbeda, hal ini menyebabkan pengukuran akan lebih sulit dilakukan dan membutuhkan waktu yang relatif lama.
Fotogrametri adalah suatu metode pemetaan
objek-objek dipermukaan bumi yang
menggunakan foto udara sebagi media, dimana dilakukan penafsiran objek dan pengukuran geometri untuk selanjutnya dihasilkan peta garis, peta digital maupun peta foto. Secara umum fotogrametri merupakan teknologi geoinformasi dengan memanfaatkan data geospasial yang diperoleh melalui pemotretan udara.
Pemanfaatan metode fotogrametri untuk keperluan kadaster fiskal di Indonesia selama ini dirasakan dapat menunjang percepatan pendataan objek Pajak Bumi dan Bangunan karena meringankan dalam proses pengumpulan data lapangan dan memerlukan waktu yang lebih singkat, ini dikarenakan:
a. Obyek yang terliput terlihat apa adanya/ mencerminkan keadaan sebenarnya di lapangan. b. Produk dapat berupa: peta garis, peta foto atau
kombinasi peta foto-peta garis.
c. Proses pengambilan data geospasial relatif cepat.
d. Efektif untuk cakupan daerah yang relatif luas. Foto udara dapat dijadikan sebagai solusi terhadap permasalahan penentuan luas bangunan untuk daerah variable terrain. Lebih dari itu, dengan foto udara dapat diperoleh data grafis yang mencerminkan keadaan sebenarnya di lapangan dalam jumlah yang banyak dengan waktu yang relatif cepat sehingga pengelolaan PBB dan pelayanan kepada wajib pajak diharapkan akan lebih meningkat.
Permasalahannya adalah pada foto udara kita mengetahui adanya kesalahan-kesalahan berupa penyimpangan geometris yang menyebabkan foto udara tersebut tidak dapat digunakan sebagai peta. Penyimpangan geometris ini terjadi karena adanya pengaruh dari penggunaan proyeksi sentral, distorsi kamera dan terrain distortion.
Penyimpangan geometris terlihat jelas pada suatu bangunan berupa gedung dengan ketinggian dan posisi tertentu pada foto udara akan terlihat atap dan dasar gedung tersebut / gedung terlihat seolah-olah seperti bersandar. Jika pada suatu foto udara masih terdapat penyimpangan geometris kemudian dilakukan proses digitasi untuk pembuatan peta garis, maka akan mengalami kesulitan dalam menentukan geometri suatu obyek yang akan di digitasi, sehingga ada kemungkinan proses digitasi dilakukan dari dasar hingga atap gedung. Hal ini menyebabkan posisi planimetrik gedung hasil digitasi menjadi tidak benar. Tentunya jika digunakan untuk keperluan analisis lebih lanjut, seperti dalam menentukan luas bangunan, hal ini akan menyebabkan ketidaktepatan terhadap hasil yang diperoleh. Jadi dapat disimpulkan bahwa penggunaan foto udara yang masih mengandung penyimpangan geometris tidak dapat dilakukan untuk keperluan analisis lebih lanjut atau hasil analisis yang diperoleh menjadi tidak akurat. Didalam pekerjaan fotogrametri ada suatu proses untuk mengkoreksi penyimpangan geometris pada daerah yang variable terrain, yakni proses orthofoto, dimana dengan orthofoto ini dilakukan
re-eksposur secara orthogonal per bagian-bagian
kecil dari foto, sehingga kemiringan, skala dan pergeseran relief dapat dikoreksi. Proses orthofoto akan menjadikan foto udara dalam proyeksi orthogonal.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 31 Seperti peta, orthofoto hanya mempunyai satu
skala (walaupun untuk medan yang beragam ketinggiannya), dan tetap menyajikan keadaan sebenarnya di lapangan (tidak berwujud garis dan simbol). Suatu orthofoto adalah benar secara planimetris, maka dapat dianggap sebagai sebuah peta atau lebih tepat disebut peta orthofoto, sehingga pengukuran jarak, sudut, posisi dan luas dapat dilakukan secara langsung pada orthofoto. Orthofoto merupakan peta dasar yang baik sekali untuk keperluan kadaster fiskal. Karena obyek pada orthofoto dapat dikorelasikan dengan apa yang diamati dilapangan, maka orthofoto dapat digunakan sebagai acuan untuk penggambaran dan hitungan hasil pengamatan lapangan. Oleh karena itu penentuan luas bangunan objek pajak untuk
daerah variable terrain seharusnya cukup
dilakukan dengan menggunakan orthofoto.
Permasalahan yang mendasar adalah bagaimana dengan ketelitian yang dihasilkan bila pengukuran luas bangunan dilakukan secara langsung pada orthofoto. Dalam penelitian ini akan dilakukan
kajian penentuan luas bangunan dari orthofoto untuk keperluan kadaster fiskal.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dari penelitian ini adalah:
a. Bagaimana teknis pembuatan orthofoto
digital? sehingga diperoleh orthofoto dengan penyimpangan geometris yang minimal dan dapat digunakan untuk keperluan kadaster fiskal.
b. Mengkaji sejauh mana orthofoto dapat digunakan untuk menentukan luas bangunan objek pajak?
1.3. Tujuan dan Sasaran Penelitian
Tujuan dan sasaran penelitian adalah mengkaji penentuan luas bangunan obyek pajak dari suatu orthofoto. Pengkajian dilakukan dengan cara membandingkan luas bangunan pada orthofoto
yang dihasilkan terhadap luas bangunan
dilapangan.
Dari penelitian ini diharapkan akan diperoleh
suatu kesimpulan yang berkaitan dengan
kemungkinan digunakannya orthofoto sebagai acuan untuk hitungan luas bangunan hasil pengamatan lapangan.
1.4. Batasan Masalah
Pembahasan hasil penelitian dilakukan
berdasarkan batasan masalah sebagai berikut: 1. Cakupan daerah penelitian dibatasi hanya pada
Bandung Kota di sekitar kampus ITB.
2. Foto udara yang digunakan adalah foto udara non metrik/small format hasil pemotretan
dengan menggunakan kamera digital.
Penggunaan foto udara dari format analog ke digital melalui proses scanning tidak dibahas dalam penelitian ini.
3. Ground Control Points (GCP) hanya
menggunakan titik kontrol yang terdapat di kampus ITB dan sekitarnya.
4. Pembuatan orthofoto untuk keperluan kadaster fiskal terkait dengan beberapa hal, yakni:
Penentuan penggunaan software, sebagai
salah satu persyaratan pelaksanaan
pekerjaan.
Spesifikasi teknis dari foto udara yang
akan digunakan.
Proses orthofoto
Ketelitian yang dihasilkan
5. Menggunakan foto udara format kecil yang tidak disertai dengan data kalibrasi secara lengkap. Sehingga pada saat proses orthofoto, data kalibrasi yang digunakan hanya beberapa parameter saja.
1.5 Metodologi Penelitian
Secara umum metode penelitian digambarkan melalui diagram berikut:
Gambar 1.1 Metodologi Penelitian secara umum
Foto Udara Small Format ORTHO-ENGINE (PCI Geomatics) Produk akhir : Orthofoto Identifikasi Bangunan
Pengukuran Jarak dan Luas Bangunan di lapangan
Dikaji :
Analisis untuk Keperluan Kadaster Fiskal Menghitung Nilai Displacement (X,Y) Menghitung Luas Bangunan Menghitung Jarak Validasi Orthofoto : Saran Kesimpulan Luas Bangunan Jarak
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 32
Teknis penelitian adalah sebagai berikut: a. Foto Udara Small Format beserta spesifikasi
teknis foto udara yang digunakan mencakup
data kalibrasi kamera dan
parameter-parameter lainnya merupakan data utama dalam penelitian ini.
b. Identifikasi bangunan, dilakukan dengan membawa foto udara dan melihat langsung ke lapangan kemudian menentukan bangunan-bangunan mana yang akan di ukur luasnya. Pemilihan bangunan dilakukan berdasarkan kenampakan yang jelas pada foto udara.
c. Ortho-engine, merupakan fasilitas yang
disediakan oleh software PCI Geomatics, terdiri dari beberapa processing step, antara lain:
1. Project 2. Data Input
3. Ground Control Point (GCP) / Tie Point (TP) Collection
4. Model Calculations
5. Import & Build Digital Elevation Model (DEM)
6. DEM From Stereo 7. 3-D Operations 8. Ortho Generation 9. Mosaik
10. Report
Masing-masing processing step di atas terdiri dari beberapa bagian processing step lainnya.
Pemilihan processing step yang akan
digunakan selanjutnya dapat dijadikan sebagai prosedur pelaksanaan pekerjaan orthofoto. d. Orthofoto sebagai produk akhir, yakni berupa
foto udara yang orthogonal dan memiliki
displacement yang minimum.
e. Validasi Orthofoto, dilakukan untuk
mengetahui apakah orthofoto yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan kadaster fiskal, yakni dengan menghitung displacement / pergeseran yang terjadi selanjutnya dihitung luas bangunan dan jarak secara langsung pada orthofoto. Perhitungan luas bangunan dan jarak dihitung menggunakan rumus koordinat.
f. Pengukuran di lapangan, dilakukan
pengukuran jarak dan luas bangunan
menggunakan pita ukur. Objek diukur berdasarkan kenampakan yang jelas pada foto udara dan dapat diidentifikasi dengan baik sehingga akan diperoleh hasil pengukuran yang akurat.
g. Pengkajian dilakukan dengan membandingkan luas bangunan pada orthofoto dengan luas bangunan hasil plotting stereo maupun dengan luas bangunan hasil pengukuran lapangan.
h. Analisis untuk keperluan kadaster fiskal, yakni dengan melakukan beberapa analisis dan evaluasi berupa beberapa percobaan untuk menghasilkan orthofoto yang lebih baik sehingga akan diperoleh ketelitian luas bangunan yang lebih teliti lagi.
2. PEMBUATAN ORTHOFOTO
MENGGUNAKAN PCI GEOMATICS
2.1 Sumber Data
Dalam penelitian ini digunakan foto udara small
format (foto udara non -metrik) hasil pemotretan
udara tahun 2000. Penelitian dilakukan pada daerah kampus ITB dan sekitarnya, dengan pertimbangan bahwa daerah kampus ITB dapat mewakili daerah variabel terrain yang dapat digunakan dalam pembuatan orthofoto.
Foto udara untuk kampus ITB dan sekitarnya terdiri dari 5 RUN dengan jumlah keseluruhan sebanyak 42 foto. Didalam penelitian ini hanya menggunakan 3 RUN saja yakni : RUN 1-3-5, dengan jumlah total 23 foto. Pemilihan foto dilakukan berdasarkan pada ketentuan penggunaan overlap 60% dan side lap 20 %.
Ground control points (GCP) menggunakan titik
kontrol yang sudah tersedia di kampus ITB dan sekitarnya hasil pengukuran terrestris maupun GPS, serta digunakan peta analog kampus ITB untuk mengetahui distribusi penyebaran titik kontrol tanah yang ada di kampus ITB dan sekitarnya. Jumlah GCP yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 27 titik.
2.2 Peralatan dalam Penelitian
Hardware berupa satu set komputer dengan
spesifikasi sebagai berikut :
Prosessor : AMD Athlon XP 2 Gb
Hardisk : 40 Gb
RAM : DDR 256 Mb Visipro
VGA : GeForce 4 MX 64 Mb Pixel View
Software yang digunakan:
PCI Geomatics V.8.2 untuk pengolahan foto
udara: dari mulai registrasi, GCP / TP
Collection, Model Calculations, Import & Build DEM, Plotting, Ortho Generation hingga Mosaicking.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 33
AutoCAD 2000, untuk penyajian hasil plotting,
mengukur displacement/ pergeseran orthofoto terhadap hasil plotting dan menghitung luas detail hasil plotting.
Surfer 8, untuk analisis terhadap DEM yang
dihasilkan secara otomatis menggunakan PCI
Geomatics. Dengan tujuan agar lebih
memperlihatkan bentuk DEM yang dihasilkan.
Windows XP Home Edition untuk Operating
System.
2.3 Prosedur Pelaksanaan Proses Ortho-engine
Dalam penelitian ini pembuatan orthofoto
menggunakan software PCI Geomatics, karena selain telah banyak digunakan oleh beberapa instansi, software ini dipilih karena cukup baik dan lengkap fiturnya (powerfull).
Pada software ini seluruh proses pekerjaan sudah satu paket dan terintegrasi satu dan lainnya, sehingga tidak perlu lagi melakukan pekerjaan yang hanya membuat ketelitian menjadi turun, karena pada software lain fiturnya terpisah dan kadang-kadang masih harus melakukan pekerjaan secara manual untuk pemasukan datanya.
Berikut prosedur pelaksanaan ortho-engine yang terdapat di PCI Geomatics:
Gambar 2.1 Prosedur pelaksanaan proses
orthoengine.
2.4 Proses Ortho-engine
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 34 2.5 Spesifikasi Foto Udara yang Digunakan
1. Foto udara yang akan digunakan untuk proses orthofoto dalam penelitian ini adalah foto udara small format / non metrik hasil pemotretan dengan menggunakan kamera digital.
2. Foto udara vertikal, yaitu apabila sumbu kamera pada saat pemotretan dilakukan benar-benar vertikal atau sedikit miring tidak lebih dari 3˚.
3. Penggunaan overlap 60% dan sidelap 20%,
ketentuan ini digunakan karena pada
penelitian ini pembuatan DEM diperoleh dari model stereo.
4. Spesifikasi foto udara yang digunakan adalah sebagai berikut:
Panjang focus kamera yang digunakan:
120 mm
Tinggi terbang pesawat = 500 m – 750
m
Resolution = 0.25 pixel / m
Pixel Dimensions = 3,1 MP
width = 2048 pixels height = 1536 pixels
Gambar 2.3 Foto udara RUN 3 foto 4.
2.6 Extract DEM Automatic
Untuk menghasilkan orthofoto yang baik, maka DEM yang baik mutlak diperlukan. Dalam
penelitian ini pembuatan DEM dilakukan
sepenuhnya secara otomatis dan dibentuk
berdasarkan penggunaan pixel spacing dan DEM
detail.
Tabel 2.1 Extraction option Extract DEM Automatic. Pixel Spacing DEM Detail
1 ( 0,2 m ) High, Medium, Low 2 ( 0,4 m ) High, Medium, Low 4 ( 0,9 m ) High, Medium, Low 8 (1,8 m ) High, Medium, Low 16 ( 3,6 m ) High, Medium, Low 32 (7,1 m ) High, Medium, Low
2.7 Geocode
Apabila semua pasangan foto telah di-extract
DEM-nya, langkah selanjutnya adalah
memberikan sistem koordinat tanah pada DEM tersebut dengan cara memakai tool Geocode
Extracted DEM.
Pada DEM yang sudah di-geocode terlihat bahwa unsur tinggi diwakili oleh warna, dimana objek berwarna putih memiliki ketinggian yang paling tinggi.
A. DEM berdasarkan Detail yang berbeda
Gambar 2.4 DEM Geocode berdasarkan DEM Detail yang berbeda.
DEM detail parameter (High, Medium, Low) menentukan berapa banyak detail yang akan tercakup pada DEM yang dihasilkan. Walaupun secara visualisasi tidak terlihat perbedaan yang terlalu signifikan antara penggunaan detail high dan medium, namun dengan menggunakan DEM detail high akan diperoleh detail yang maksimum dibandingkan dengan menggunakan DEM detail
medium dan low. (Tutorial PCI Geomatics).
Penggunaan detail parameter (High, Medium,
Low) akan berpengaruh juga pada waktu yang
dibutuhkan untuk menghasilkan DEM dan besarnya kapasitas / space yang dibutuhkan untuk menyimpan DEM yang dihasilkan. Detail high akan membutuhkan waktu yang relatif lebih lama dan kapasitas penyimpanan yang lebih besar dibandingkan dengan penggunaan detail medium dan low.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 35
Gambar 2.5 DEM Geocode berdasarkan Pixel
Spacing yang berbeda.
Penggunaan pixel spacing dalam pembuatan DEM otomatis adalah sama halnya dengan pembuatan grid secara teratur dengan kerapatan/ interval tertentu. Pixel spacing 1 (0,2m) tentunya akan lebih kecil dan rapat dibandingkan dengan pixel
spacing 2, 4, 8, 16 dan 32. Karena lebih kecil dan
rapat, maka DEM yang menggunakan pixel
spacing 1 hasilnya akan lebih menyerupai bentuk
obyek sebenarnya dibandingkan dengan DEM yang menggunakan pixel spacing 32.
Setelah proses DEM selesai, maka proses Ortho
Generation sudah bisa dilakukan.
2.8 DEM dan Orthofoto yang dihasilkan
(1) (2)
Gambar 2.6 DEM (1) dan Orthofoto (2) hasil
Automatic Mosaicking.
3. KAJIAN PENENTUAN LUAS BANGUNAN DARI ORTHOFOTO
3.1 Analisis terhadap Orthofoto yang dihasilkan
Untuk menghasilkan orthofoto yang baik, maka DEM yang baik mutlak diperlukan. Dalam
penelitian ini pembuatan DEM dilakukan
sepenuhnya secara otomatis dan dibentuk
berdasarkan penggunaan pixel spacing dan DEM
detail.
Tabel 3.1 Pilihan pixel spacing yang dapat digunakan
Pixel Spacing meter
1 0.25 2 0.5 4 1 8 2 16 4 32 8
Klasifikasi pixel spacing di atas merupakan pilihan yang diberikan oleh PCI Geomatics. Sedangkan untuk nilai dalam satuan meter diperoleh berdasarkan resolusi pixel foto udara digital yang digunakan sebagai input. Jadi nilai satu pixel
spacing sangat tergantung pada kualitas foto udara
yang digunakan.
Penggunaan pixel spacing dalam pembuatan DEM adalah sama halnya dengan pembuatan grid secara teratur dengan kerapatan tertentu. Pixel spacing 1 (0,2m) tentunya akan lebih kecil dan rapat dibandingkan dengan pixel spacing 32 (7,1m). Karena lebih kecil dan rapat, maka DEM yang menggunakan pixel spacing 1 hasilnya akan lebih
menyerupai bentuk obyek sebenarnya
dibandingkan dengan DEM yang menggunakan
pixel spacing 32. (Gambar.3.1)
Penggunaan pixel spacing yang tepat, yakni harus memperhatikan :
1. Kualitas pixel yang digunakan. Dalam penelitian ini 1 pixel = 0.25 m, maka sebaiknya menggunakan pixel spacing di atas 1 pixel (0,2m), yakni dapat menggunakan
pixel spacing 2, 4, 8, 16 atau 32.
2. Kondisi di lapangan, untuk daerah ITB lebih cocok menggunakan pixel spacing 2 (0,5m) atau 4 (1m) sehingga grid yang dibentuk dapat mewakili detail yang ada.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 36
Sedangkan penggunaan DEM detail (High,
Medium, Low) menentukan berapa banyak detail
yang akan tercakup pada DEM yang dihasilkan. Terlihat bahwa DEM dengan detail High dan
Medium nampak lebih mendekati bentuk bangunan sebenarnya bila dibandingkan DEM dengan detail Low. (Gambar.3.2).
Berdasarkan penjelasan di atas, maka orthofoto yang dipilih dalam penelitian ini adalah orthofoto menggunakan DEM dengan pixel spacing 4 (1 m) dengan DEM detail: High. (Gambar.2.6)
Analisis terhadap DEM yang dihasilkan dilakukan menggunakan software Surfer. Dengan tujuan agar
lebih memperlihatkan bentuk DEM yang
dihasilkan oleh PCI Geomatics. DEM dalam format PCI Geomatics (pix) dikonversi kedalam format .dat , agar dapat ditampilkan di Surfer.
Gambar 3.2 DEM menggunakan detail yang berbeda dalam bentuk 3D Surface
Orthofoto yang dihasilkan dalam penelitian ini adalah orthofoto yang tidak sempurna, dimana
pada tepi bangunan ada yang terlihat
bergelombang (anomali) dan mengalami sedikit kerusakan sehingga sedikit merubah bentuk aslinya.
Gambar 3.3Contoh anomali pada tepi bangunan.
Anomali pada tepi bangunan disebabkan karena adanya penempatan titik tinggi pada bangunan
(surface), maupun terjadi karena adanya
pergeseran / ketidaktepatan penempatan titik origin dari posisi seharusnya, yang kemudian ikut digenerate dalam pembuatan DEM sehingga menyebabkan terjadinya kesalahan ketinggian pada proses interpolasi.
Gambar 3.1 DEM menggunakan pixel
spacing berbeda dalam bentuk 3D Surface.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 37
Gambar 3.4 Kesalahan ketinggian hasil interpolasi.
Gambar 3.5 Pergeseran titik origin.
Gambar 3.5 menunjukkan bahwa pergeseran titik origin akan merubah bentuk objek pada DEM yang dihasilkan. Titik origin awal dengan interval
d (meter) jika mengalami pergeseran, maka titik
origin setelah pergeseran akan memiliki interval yang sama.
Hal ini akan berpengaruh pada penggunaan pixel
spacing untuk membuat DEM. Ini dikarenakan
pembuatan DEM dilakukan secara interpolasi dengan interval tertentu, sehingga kesalahan interpolasi maupun kesalahan karena adanya pergeseran titik origin akan lebih sering terjadi jika kita menggunakan pixel spacing yang kecil. Penggunaan pixel spacing yang kecil (pixel
spacing 1) akan membuat grid/ interval yang rapat,
sehingga kesalahan pun terjadi untuk setiap grid yang rapat tersebut (kesalahan terjadi setiap 0,25m), menyebabkan anomali yang dihasilkan cenderung akan lebih banyak.
3.2Validasi Orthofoto dalam Penentuan Luas Bangunan
Validasi dimaksudkan untuk mengetahui ketelitian atau kualitas dari orthofoto yang dihasilkan, sehingga dapat dinyatakan apakah orthofoto tersebut dapat digunakan untuk keperluan kadaster fiskal.
Gambar 3.6 Diagram Alir Validasi Orthofoto.
Penjelasan:
1. Pada proses pemetaan secara fotogrametris ada tahapan pekerjaan yang disebut plotting.
Plotting dilakukan agar diperoleh sajian
informasi grafis geometris dalam pembuatan peta secara fotogrametris. Pada peta garis, detail planimetrik dan informasi ketinggian
kedua-duanya diplot, sedangkan untuk
keperluan peta foto hanya informasi
ketinggian saja yang diplot (garis kontur dan
Spot Height).
Plotting adalah proses pemindahan detail
planimetrik maupun ketinggian dari model foto ke bidang gambar. Pemindahannya dilakukan dengan cara memproyeksikan secara orthogonal dari model foto stereo yang sudah terorientasi secara absolut ke bidang gambar.(Saptomo,1993).
Dalam penelitian ini, plotting stereo dilakukan pada PCI Geomatics menggunakan 3-D
Operations. Koordinat hasil plotting adalah
penggambaran koordinat foto udara yang diperoleh dari hasil proses interior orientation dan exterior orientation yang telah dilakukan pada proses sebelumnya. Koordinat hasil orientasi dapat dilihat pada Residual Report. 2. Perbedaan utama koordinat hasil plotting
dengan koordinat orthofoto adalah pada koordinat hasil plotting masih mengandung
relief displacement, sedangkan pada koordinat
orthofoto relief displecement sudah
diminimalkan.
3. Validasi orthofoto dilakukan dengan
menghitung displacement / pergeseran yang
Gedung 1
Bentuk permukaan hasil interpolasi Ketinggian seharusnya Ketinggian hasil interpolasi Z D Z D = kesalahan ketinggian Penempatan titik tinggi di atap gedung (surface)
d (m) d (m)
X Z
Ket : = titik origin awal = titik origin setelah pergeseran
Orthofoto Hasil Plotting Stereo
(PCI Geomatics) Overlay (AutoCAD) Hitung nilai Displacement Pengukuran Lapangan Kesimpulan Membandingkan Jarak
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 38
dihasilkan dari selisih antara koordinat hasil
plotting stereo dengan koordinat orthofoto.
Selisih yang diperoleh menunjukkan besarnya
relief displacement pada foto udara.
4. Selanjutnya dilakukan perbandingan luas bangunan pada orthofoto dengan hasil plotting
stereo maupun dengan hasil pengukuran
lapangan. Luas bangunan hasil plotting menyatakan luas pada foto udara yang masih
mengandung relief displacement. Luas
bangunan pada orthofoto menyatakan luas
bangunan setelah relief displacement
diminimalkan. Sedangkan luas bangunan hasil pengukuran dilapangan menyatakan luas bangunan sebenarnya.
5. Validasi ukuran jarak dilakukan dengan melakukan perbandingan antara hasil ukuran jarak dilapangan dengan hasil ukuran jarak
pada orthofoto.Perhitungan jarak pada
orthofoto dihitung menggunakan rumus
koordinat.
6. Perhitungan luas bangunan pada orthofoto
dihitung menggunakan plotting pada
AutoCAD.
A. Hasil Plotting Stereo PCI Geomatics
(a)
(b)
Gambar 3.7 (a) Hasil plotting stereo secara keseluruhan. (b) Hasil plotting stereo berupa gedung
(gedung A–X) yang akan dihitung luasnya.
Selanjutnya hasil plotting stereo dari PCI Geomatics (berupa data raster) dikonversi ke dalam AutoCAD (menjadi data vektor).
B. Orthofoto
Gambar 3.8 Orthofoto dilakukan plotting menggunakan AutoCAD (kiri).
Hasil plotting orthofoto untuk gedung yang akan dihitung luasnya (kanan)
C. Overlay
Gambar 3.9 Overlay orthofoto terhadap hasil plotting stereo (kiri).
Overlay hasil plotting orthofoto terhadap hasil plotting stereo untuk gedung yang akan dihitung
luasnya (kanan).
3.2.1 Displacement / Pergeseran
Displacement / pergeseran dihasilkan dari selisih
antara koordinat hasil plotting stereo dengan koordinat orthofoto.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 39
Displacement yang dihasilkan dari 136 titik (X,Y)
yakni :
Tabel 3.2 Displacement pada orthofoto
Hasil yang diperoleh Koordinat X (m) Koordinat Y (m) Displacement terbesar 2.634 2.776 Displacement terkecil 0.005 0.006 Displacement rata-rata 0.686 0.717
Dari hasil perhitungan pada tabel 3, diperoleh
displacement / pergeseran rata-rata yaitu 0.686m
(untuk koordinat X) dan 0.717m (untuk koordinat Y).
3.2.2 Perbandingan Jarak
Pengukuran jarak pada orthofoto dilakukan pada obyek yang lurus di lapangan dan secara visualisasi terlihat lurus dan jelas sehingga mudah dilakukan identifikasi. Pengukuran jarak pada orthofoto dilakukan dengan menempatkan tie
point pada obyek yang akan diukur, setelah proses exterior orientation maka tie point tersebut akan
memiliki koordinat tanah. Pengukuran jarak diperoleh berdasarkan dua titik yang diketahui koordinatnya. Sedangkan untuk pengukuran jarak dilapangan menggunakan pita ukur.
Gambar 3.11 Pengukuran jarak di orthofoto dilakukan pada objek yang lurus di lapangan
Gambar 3.12 Pengukuran panjang dan lebar gedung pada orthofoto
Tabel 3.3 Daftar koordinat untuk pengukuran jarak pada orthofoto
Rumus jarak : 2 ) 2 ) ( ) ( B A B A AB X X Y Y D ……(1)
Tabel 3.4 Perbandingan antara jarak pada orthofoto dengan jarak dilapangan
Analisis ketelitian ukuran jarak dilakukan dengan menghitung besarnya penyimpangan antara hasil ukuran jarak di orthofoto terhadap hasil ukuran jarak di lapangan. Dari hasil perhitungan melalui tabel 3.4 diperoleh penyimpangan rata-rata antara kedua data tersebut yaitu ± 0.63 m.
Dari hasil perbandingan pada tabel 3.4
menunjukkan bahwa 13 dari 16 data sampel atau 81.25 % data hasil ukuran jarak diperoleh selisih dibawah 1 meter. Tidak ada peraturan dalam kadaster fiskal yang menyatakan toleransi selisih perhitungan jarak di peta digital terhadap jarak sesungguhnya dilapangan. Hingga saat ini luas bangunan yang memenuhi toleransi dijadikan sebagai indikator bahwa pengukuran jarak telah memiliki ketelitian yang cukup baik.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 40 3.2.3 Perbandingan Luas Bangunan/ Gedung
Validasi luas dilakukan dengan perbandingan luas bangunan pada orthofoto dengan hasil plotting
stereo maupun dengan hasil pengukuran lapangan.
Luas bangunan hasil plotting menyatakan luas pada foto udara yang masih mengandung relief
displacement. Luas bangunan pada orthofoto
menyatakan luas bangunan setelah relief
displacement diminimalkan. Sedangkan luas
bangunan hasil pengukuran dilapangan
menyatakan luas bangunan sebenarnya.
Obyek yang akan diukur luasnya di lapangan
adalah bangunan berupa gedung dengan
karakteristik yang hampir sama, yakni:
1. Gedung memiliki bentuk geometris yang sederhana dan simetris.
2. Gedung memiliki selisih antara atap gedung dengan dasar gedung ± 1,5 m.
3. Gedung bertingkat, walaupun tiap gedung memiliki tingkat yang berbeda, tetapi karena semua gedung berbentuk simetris, maka luas setiap tingkat adalah kelipatannya.
Gambar 3.13 Gedung yang diukur luasnya dilapangan.
Gedung yang akan dihitung luasnya tentunya dipilih gedung yang secara visualisasi pada foto udara terlihat paling baik dan paling jelas, dimana tidak terdapat atau sedikit sekali anomali pada tepi gedung tersebut. Tentunya ini diharapkan dapat meminimalkan kesalahan pada saat plotting, sehingga dapat diperoleh selisih luas yang minimal.
Secara hukum selisih hasil perhitungan luas untuk keperluan kadaster fiskal yakni mengacu pada Keputusan Direktur Jendral Pajak Nomor: KEP-533/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rangka Pembentukan dan atau Pemeliharaan Basis Data Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP).
Pada Lampiran A bab II.4.3 Tahapan Pelaksanaan SIG PBB bagian G, menyatakan:
Analisis Data adalah pekerjaan membandingkan data spasial/peta dengan basis data SISMIOP secara otomatis, yang dituangkan dalam laporan
hasil analisis. Adapun informasi yang
diperbandingkan adalah: NOP, luas bangunan, bangunan beserta nomornya. Toleransi yang diperbolehkan antara luasan di peta digital dan luasan di SISMIOP adalah 10%.
A. Perbandingan luas bangunan hasil plotting stereo 3D terhadap luas bangunan pada orthofoto.
Berdasarkan toleransi yang diperbolehkan antara luasan di peta digital dan luasan di SISMIOP adalah 10%, dalam hal ini hasil plotting stereo dianggap sebagai peta digital, sedangkan orthofoto dijadikan sebagai acuan untuk pembentukan data SISMIOP.
Perbandingan luas bangunan hasil plotting stereo terhadap luas bangunan pada orthofoto dilakukan pada 24 gedung. Hasilnya adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5 Perbandingan luas bangunan hasil
plotting stereo terhadap luas bangunan pada
orthofoto.
Berdasarkan tabel diatas, ternyata semua gedung dapat memiliki selisih luas perbandingan antara hasil plotting dengan orthproduk dibawah 10%. Ini berarti:
1. Berdasarkan nilai selisih yang diperoleh, dapat dikatakan bahwa orthofoto yang dihasilkan memiliki pergeseran/ displacement yang tidak terlalu besar.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 41 2. Walaupun orthofoto yang dihasilkan pada tepi
bangunan ada yang terlihat bergelombang (anomali) dan mengalami sedikit kerusakan sehingga sedikit merubah bentuk aslinya, namun secara keseluruhan bangunan / gedung masih cukup jelas untuk dilakukan identifikasi dalam pembuatan peta garis / plotting.
Sehingga dapat diperoleh data berupa
koordinat yang cukup baik dan luas bangunan yang sesuai dengan ketentuan kadaster fiskal. Tentunya untuk melakukan perbandingan luas agar sesuai dengan ketentuan kadaster fiskal, maka diperlukan hasil plotting yang baik. Hasil plotting
stereo foto udara menggunakan PCI Geomatics
maupun hasil plotting orthofoto menggunakan AutoCAD akan sangat menentukan besarnya
displacement dan luas suatu bangunan.
Pada tabel 3.5 menunjukkan bahwa setidaknya hasil plotting yang telah dilakukan dapat mencapai selisih luas ≤ 10%, ini berarti secara hukum telah sesuai dengan ketentuan kadaster fiskal.
Tetapi secara teknis pengukuran dan pemetaan, tentunya toleransi luas yang telah ditetapkan dalam KEP-533/PJ/2000 sebesar 10% tidak dapat mewakili bangunan dengan luas yang berbeda. Karena didalam proses pengukuran suatu jumlah, beberapa faktor seperti keterbatasan manusia, ketidaklengkapan instrumen, dan ketidakstabilan alamiah sering menyebabkan nilai yang diukur menjadi tidak tepat. Sehubungan adanya faktor-faktor tersebut maka meskipun pengukuran dilaksanakan dengan cermat, akan selalu terdapat kesalahan.
Suatu bangunan dengan luas 100 m² akan memiliki kesalahan luas yang berbeda dengan bangunan yang memiliki luas 10 m², oleh karena itu tolerensi 10% tidak bisa ditetapkan untuk bangunan dengan luas berbeda. Seharusnya untuk bangunan dengan luas 100 m² akan mendapatkan selisih toleransi persentase kesalahan luas yang lebih kecil dibandingkan untuk bangunan dengan luas 10 m² yang mendapatkan toleransi persentase kesalahan luas lebih besar.
Gambar 3.14 Curvalinier hubungan antar toleransi selisih kesalahan luas terhadap luas bangunan.
B. Perbandingan luas bangunan pada orthofoto terhadap luas bangunan hasil pengukuran lapangan.
Tabel 3.6 Luas bangunan hasil pengukuran lapangan.
Pengukuran luas bangunan pada orthofoto dilakukan sebanyak 10 kali untuk setiap gedung, sehingga diperoleh simpangan baku untuk masing-masing luas gedung. Simpangan baku (standard
deviation ) merupakan suatu jumlah yang
digunakan untuk menyatakan ketepatan
sekelompok pengukuran. Pengukuran dilakukan untuk data sampel, standar deviasi dari sampel dihitung dengan cara sebagai berikut:
) 1 / ) ( ( 2 X X n S i ...(2)
Tabel 3.7 Luas bangunan hasil pengukuran pada orthofoto.
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 42
Tabel 3.8 Beda luas bangunan pada orthofoto dengan luas bangunan di lapangan.
Beda luas tersebut masih dipengaruhi oleh atap bangunan yang lebih panjang dari batas bangunan, mengakibatkan adanya selisih luas yang diperoleh dengan luas sebenarnya suatu bangunan. Untuk itu perlu dilakukan pengurangan ukuran jarak atap terhadap batas yang sebenarnya. Jika kita menggunakan asumsi bahwa selisih antara atap gedung dengan dasar gedung sebesar 1.5 m, maka beda luas bangunan yang diperoleh adalah 9.088
m2 (gedung I), 91.113 (gedung N dan O), dan
36.729 (gedung P).
Untuk mengetahui keakuratan pengukuran luas bangunan dilapangan dengan pengukuran luas bangunan di orthofoto, maka dilakukan uji student (t) sebagai berikut, dimana luas bangunan hasil pengukuran lapangan dalam hal ini dianggap
sebagai suatu hipotesis terhadap ukuran luas
bangunan pada orthofoto.
n
s
x
t
/
0
... (3) Gedung I (HO = 2121.93 m ; HO ≠ 2121.93 m) t = 2.746 Gedung N dan O ( HO = 1932.49 m ; HO ≠ 1932.49 m ) t = 5.239 Gedung P ( HO = 2869.35 m ;HO ≠ 2869.35 m ) t = 2.729Nilai-nilai dalam distribusi t
α = 5 % α =2 % α = 1 % df = 9 2.262 2.821 3.250
Untuk df = 9 dan α = 5 %, HO diterima bila
2.262 ≤ t ≤ 2.262
Untuk df = 9 dan α = 2 %, HO diterima bila
2.821 ≤ t ≤ 2.821
Untuk df = 9 dan α = 1 %, HO diterima bila
3.250 ≤ t ≤ 3.250
Dari hasil Uji t untuk gedung I dan P, HO diterima
dengan tingkat signifikansi (α) = 2 %, ini berarti luas bangunan hasil pengukuran orthofoto secara statistik sama dengan luas bangunan hasil pengukuran lapangan. Sedangkan untuk gedung N
maupun gedung O, HO ditolak dengan tingkat
signifikansi (α) = 5 %, 2%,dan 1%. Ini berarti luas bangunan hasil pengukuran orthofoto secara statistik tidak sama (terdapat perbedaan secara
signifikan) dengan luas bangunan hasil
pengukuran lapangan yang kemungkinan besar
disebabkan adanya kesalahan pada saat
pengukuran dilapangan.
3.3 Pengaruh penggunaan pixel spacing
terhadap luas bangunan pada orthofoto.
Seperti yang telah dijelaskan pada sub bab 3.1, bahwa penggunaan pixel spacing yang kecil walaupun banyak terlihat bergelombang pada sisi-sisi gedung, tetapi secara geometris tidak mengalami perubahan yang besar.
Sedangkan penggunaan pixel spacing yang lebih besar walaupun terlihat tidak bergelombang / tidak ada anomali pada tepi gedung, tetapi sebenarnya mengalami perubahan secara keseluruhan, yakni perubahan geometri. Sehingga menyebabkan bentuk bangunan akan tampak menjadi tidak simetris / terlihat lebih miring maupun terlihat seakan lebih cembung.
Penggunaan pixel spacing dapat mempengaruhi bentuk geometris suatu objek sehingga akan berpengaruh pula pada ketelitian luas bangunan yang diukur pada orthofoto. Hal ini dibuktikan dengan melakukan perhitungan luas bangunan pada orthofoto dengan pixel spacing yang berbeda.
Perhitungan luas bangunan diukur dengan
melakukan plotting pada orthofoto.
Sepintas percobaan ini terlihat subyektif sekali, dimana hasil luas bangunan yang diperoleh sangat ditentukan oleh ketelitian pada saat plotting. Tetapi setelah dilakukan plotting berulang-ulang pada gedung yang sama dengan pixel spacing yang berbeda, hasilnya menunjukkan adanya suatu kecenderungan bahwa penggunaan pixel spacing yang lebih besar menyebabkan luas bangunan pada orthofoto akan semakin berbeda jauh (memiliki selisih yang besar) dari luas bangunan hasil stereo plotting sebagai acuan.
Ini dikarenakan suatu orthofoto sangat dipengaruhi oleh Digital Elevation Model (DEM) yang digunakan. Pada gambar.8 ditunjukkan suatu bentuk DEM dengan pixel spacing yang berbeda. Penggunaan pixel spacing dalam pembuatan DEM adalah sama halnya dengan pembuatan grid secara teratur dengan kerapatan tertentu. Pixel spacing 1 (0,2m)
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 43 tentunya akan lebih kecil dan rapat dibandingkan
dengan pixel spacing 32 (7,1m). Karena lebih kecil dan rapat, maka DEM yang menggunakan
pixel spacing 1 hasilnya akan lebih menyerupai
bentuk obyek sebenarnya dibandingkan dengan DEM yang menggunakan pixel spacing 32.
Tabel 3.9 Pengaruh penggunaan pixel spacing yang berbeda terhadap luas bangunan pada orthofoto.
4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan
1. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa ketelitian yang dicapai oleh orthofoto untuk keperluan kadaster fiskal adalah sebagai berikut :
a) Orthofoto yang dihasilkan dalam
penelitian ini diperoleh pergeseran /
displacement rata-rata yaitu 0.686m (untuk koordinat X) dan 0.717m (untuk koordinat Y).
b) Ketelitian ukuran jarak diperoleh ± 0.63 m atau 81.25 % yakni 13 dari 16 data sampel hasil ukuran jarak diperoleh selisih < 1 meter.
c) Ketelitian yang dicapai oleh orthofoto untuk pengukuran luas bangunan adalah 0.5% (untuk gedung I) ; 4.8% (untuk
gedung N dan O) ; 1.3 % (untuk gedung P).
Untuk mengetahui keakuratan pengukuran
luas bangunan dilapangan dengan
pengukuran luas bangunan di orthofoto, maka dilakukan uji student (t). Dari hasil Uji t ternyata hanya gedung I dan P yang diterima dengan tingkat signifikansi (α) = 2 %, ini berarti luas bangunan (gedung I dan P) hasil pengukuran orthofoto secara statistik sama dengan luas bangunan hasil pengukuran lapangan.
Ketelitian orthofoto terhadap rata-rata luas bangunan keseluruhan (populasi) dalam hal ini tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan gedung (gedung I, N, O, dan P) yang telah dihitung luasnya sebagai sampel. Ini disebabkan karena sampel yang digunakan tidak dapat mewakili populasi, antara lain: letak sampel yang tidak menyebar, jumlah sampel yang terlalu sedikit, dan karakteristik sampel yang homogen (ukuran gedung yang hampir sama).
2. Penggunaan pixel spacing dapat
mempengaruhi bentuk geometris suatu objek
sehingga akan berpengaruh pula pada
ketelitian luas bangunan yang diukur pada orthofoto.
Hasil dari percobaan ini menunjukkan bahwa penggunaan pixel spacing yang lebih besar menyebabkan luas bangunan pada orthofoto akan semakin berbeda jauh (memiliki selisih yang besar) dari luas bangunan hasil stereo plotting maupun luas hasil pengukuran lapangan sebagai acuan.
3. Secara konsep, penambahan jumlah Ground
Control Points (GCP) maupun Tie Points (TP)
akan berpengaruh terhadap ketelitian orthofoto yang dihasilkan. Semakin banyak GCP dan TP yang digunakan maka ketelitian orthofoto yang dihasilkan semakin baik atau orthofoto akan memiliki ketelitian yang tinggi.
Dalam penelitian ini penambahan jumlah GCP maupun TP berpengaruh terhadap ketelitian orthofoto yang dihasilkan / residual error, tetapi semakin banyak jumlah GCP dan TP tidak menjamin nilai residual menjadi semakin kecil. Hal ini dikarenakan dalam penelitian ini GCP hanya menggunakan titik kontrol yang terdapat di kampus ITB dan sekitarnya, dimana titik kontrol yang digunakan tidak
memiliki ketelitian yang cukup baik.
Kemungkinan kesalahan juga terjadi karena ketidaktepatan
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 44
penempatan GCP pada posisi sebenarnya di foto udara.
4. Penambahan jumlah Ground Control Points
(GCP) dengan ketelitian yang tinggi maupun
perapatan Tie Points (TP) akan berpengaruh terhadap ketelitian orthofoto yang dihasilkan, sehingga suatu objek pada orthofoto akan memiliki koordinat planimetris (X,Y) dan tinggi (H) yang benar. Kemudian jika pada orthofoto dilakukan suatu pengukuran luas maupun jarak, maka tentunya akan diperoleh hasil hitungan yang lebih tepat atau mendekati ukuran sebenarnya.
Dalam penelitian ini, penambahan jumlah
Ground Control Points (GCP) maupun
perapatan Tie Points (TP) pada bangunan tidak membuat luas bangunan di orthofoto mengalami perubahan yang signifikan. Tidak menunjukkan bahwa dengan menggunakan GCP dan TP yang semakin banyak maka akan diperoleh selisih luas bangunan yang semakin kecil. Sehingga dalam penelitian ini dapat dikatakan bahwa penambahan GCP dan TP tidak terlalu berpengaruh pada ketelitian luas bangunan. Hal ini disebabkan karena GCP yang digunakan memiliki ketelitian yang kurang baik.
4.2 Saran
1. Untuk mendapatkan hasil orthofoto yang lebih baik sebaiknya dalam proses orthofoto dicoba menggunakan data calibration camera secara lengkap, yakni dengan memperhitungkan
Radial Lens Distortion dan Decentering Distortion.
2. Sebaiknya diperhitungkan sebelumnya
mengenai ketelitian Ground Control Points (GCP) yang akan digunakan. Selain itu penyebaran GCP yang cukup merata perlu juga diperhatikan penempatan distribusinya pada daerah-daerah yang ekstrim perbedaan
tingginya sehingga displacement yang
dihasilkan akan lebih minimal.
3. Untuk pelaksanaan pendataan objek pajak di daerah yang variable terrain, seperti pada
daerah perkotaan yang padat maupun
pemukiman di daerah yang berbukit,
sebaiknya agar penggunaan orthofoto dapat diterapkan sebagai acuan maupun pelengkap
untuk hitungan luas bangunan dan
rekonstruksi batas-batas bangunan yang
digunakan pada saat penggambaran dan hitungan hasil pengamatan lapangan.
4. Untuk mengetahui perkiraan ketelitian
orthofoto terhadap rata-rata luas bangunan keseluruhan (populasi), maka sampel yang digunakan secara kuantitatif harus lebih
banyak dan heterogen (small, medium, large) dengan pola distribusi yang menyebar, sehingga sampel dalam hal ini benar-benar dapat mewakili populasi.
DAFTAR PUSTAKA
Amhar, F. (1999): Mengenal Orthofoto Sejati dan Model Kota 3D. Majalah Survey dan
Pemetaan vol XII. Ikatan Surveyor
Indonesia.
Anggraini. (1999): Kajian Aspek Geometri Korelasi Citra Digital. Tesis Magister Jurusan Teknik Geodesi, Insitut Teknologi Bandung.
Dipokusumo,B.S. (1999): Penggunaan Foto Udara Format Kecil (FUFK) untuk Survey Pembuatan Peta Pendaftaran dan Surat Ukur. Majalah Survey dan Pemetaan vol XII. Ikatan Surveyor Indonesia.
Hadi, T.S. (2000): Analisis Ketelitian Pengukuran Batas-batas Bidang Tanah dengan metode Fotogrametri Digital. Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, ITENAS Bandung.
Glone, JC., Mikhail, EM. dan Bethel, J. (2004): Manual of Photogrammetry. Fifth edition. American Society for Photogrammetry and Remote Sensing.
KEP-533/PJ/2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaran, Pendataan dan Penilaian Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rangka Pembentukan dan atau
Pemeliharaan Basis Data Sistem
Manajemen Informasi Objek Pajak
(SISMIOP).
Kursus Penyegaran Fotogrametri. (1993), ITB, Bandung.
Paine, D. (1993): Fotografi Udara dan Penafsiran Citra untuk Pengelolaan Sumber Daya. Indonesian edition. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.
Priadin, D. (1999): Pengaruh Ketelitian dan Distribusi Titik Tinggi (Spot Height)
terhadap Posisi Planimetrik Ortofoto
Digital. Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, Insitut Teknologi Bandung.
Purwadhi, S.H. (2001): Interpretasi Citra Digital. Grasindo Jakarta.
Rahayu, G. (1997): Kajian Ketelitian Geometris Pemetaan Digital dengan cara Softcopy Fotogrametris. Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, ITENAS Bandung.
Rudianto, B.(1999): Kajian Pemenfaatan Metode
Fotogrametri Digital untuk Pemetaan
Jurnal Konstruksi, Vol. 1, No. 1, April 2013 | 45 Jurusan Teknik Geodesi, Insitut Teknologi
Bandung.
Schenk,T. (1999): Digital Photogrammetry.
TerraScience, Ohio State University. Seminar Ilmiah. (2001): Inovasi Geoinformasi
dengan Teknologi Small Format
Photogrammetry. Jurusan Teknik Geodesi, ITENAS Bandung.
SE-33/PJ.6/1993 tentang Petunjuk Teknis
Pemetaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Sugiyono.(2000): Statistik untuk Penelitian.
Alfabeta, Bandung. Tutorial PCI Geomatics V.8.2
Wahono, E.A. (1999): Pengaruh Sebaran Titik-Titik Kontrol Minor Pada Triangulasi Udara. Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, Insitut Teknologi Bandung.
Yanti. (1999): Pembuatan Peta Foto Hasil Rektifikasi Dengan Menggunakan Soft Copy Photogrammetry.Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, ITENAS Bandung.
Yudi. (1999): Kajian Pembuatan dan Pemanfaatan Peta Slope dengan menggunakan Soft Copy Photogrammetry di Wilayah Cekungan Bandung. Tugas Akhir Jurusan Teknik Geodesi, ITENAS Bandung.