• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN PARITAS, UMUR, DAN JENIS PERSALINAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN PARITAS, UMUR, DAN JENIS PERSALINAN DENGAN KEJADIAN PROLAPSUS UTERI DI RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR BUKITTINGGI TAHUN 2013"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

50

HUBUNGAN PARITAS, UMUR, DAN JENIS PERSALINAN DENGAN KEJADIAN

PROLAPSUS UTERI DI RUMAH SAKIT ACHMAD MOCHTAR

BUKITTINGGI TAHUN 2013

1,*

Lismarni,

2

Wiwit Fetrisia

1,2

STIKes Prima Nusantara Bukittinggi

*e-mail : lismarni01@gmail.com

ABSTRAK

Survey yang dilakukan antara bulan Januari 2013 sampai Desember 2013 telah didapatkan 54 kasus prolapsus uteri di RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi, dari 54 kasus tersebut sebagian besar adalah jumlah seluruh ibu yang pernah melahirkan dengan paritas tinggi dengan usia antara 25-44 tahun dan 45-64 tahun. Sedangkan paling sedikit berusia antara 15-24 tahun. (Rekam medik RSAM, 2013). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hubungan paritas, umur, dan jenis persalinan dengan kejadian prolapsus uteri. Penelitian ini adalah penelitian observasional analitik dengan pendekatan case control yang dilaksanakan di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada Juni 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin bulan Januari sampai Desember Tahun 2013 yang berjumlah 1545 orang. Sampel berjumlah 108 responden yang terdiri dari 54 responden pada kelompok kasus dan 54 responden pada kelompok kontrol. Data dianalisis secara bivariat untuk melihat besarnya risiko dengan menggunakan uji chi square dengan melihat nilai OR dan p value pada CI 95% dan alpha 0,05. Hasil uji statistik hubungan paritas dengan kejadian prolapsus uteri didapatkan nilai OR 6,400 dan hubungan umur dengan kejadian prolapsus uteri OR 2,483, dan hubungan jenis persalinan dengan kejadian prolapsus uteri didapatkan nilai OR 4,375. Dapat disimpulkan bahwa paritas, umur, dan jenis persalinan merupakan faktor risiko kejadian prolapsus uteri di RSUD Achmad Muchtar tahun 2013. Disarankan tenaga kesehatan dapat memberi asuhan dan informasi yang lengkap tentang prolapsus uteri pada ibu bersalin yang melakukan kunjungan ke ruang kebidanan RSUD Ahmad Mochtar Bukittinggi.

Kata Kunci : Paritas, Usia melahirkan dan Usia Menopause

ABSTRACT

Based on the survey, conducted between January 2013 until December 2013 had found 54 cases of uterine prolapse in hospitals DR. Achmad Mochtar Bukittinggi, of 54 such cases is largely the sum of all mothers who have given birth at high parity between the ages of 25-44 years and 45-64 years. While at least 15-24 years old. (RSAM Medical Record, 2013). The purpose of this study was to determine the relationship of parity relationship, age, and type of delivery with the incidence of uterine prolapse. This study is observational analytic study with case control approach implemented in hospitals Achmad Mochtar Bukittinggi in Juny 2013. The population in this study were all women giving birth in January to December in 2013, amounting to 1545 people. Samples numbered 108 respondents consisting of 54 respondents in the case group and 54 respondents in the control group. Data were analyzed using bivariate to see the magnitude of the risk by using chi square test by looking at the value of OR and CI p value at 95% and alpha of 0.05. Results of statistical test parity relationship with the incidence of uterine prolapse obtained OR values 6.400 and age relationship with the incidence of uterine prolapse OR 2.483, and the type of labor relationship with the incidence of uterine prolapse obtained value OR 4.375. It can be concluded that the parity, age, and type of delivery is a risk factor in the incidence of uterine prolapse Achmad Muchtar Hospital in 2013. It is recommended health professionals can provide care and complete information about the maternal uterine prolapse who make visits to hospitals obstetrics space Ahmad Mochtar Bukittinggi.

Keywords : Parity, age of birth, and Age of Menopause

1

(2)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

51

PENDAHULUAN

Angka Kematian Ibu (AKI) merupakan salah satu indikator untuk melihat derajat kesehatan perempuan. Organisasi Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) memperkirakan diseluruh dunia 500.000 jiwa/tahun ibu meninggal saat bersalin. Artinya, setiap menit ada satu perempuan yang meninggal (WHO, 2011).

Tingginya angka kematian ibu menempatkan Indonesia pada urutan ketiga di ASEAN dalam hal tersebut. Target MDG’s 2015 terkait dengan penurunan angka kematian ibu (AKI). Indikator AKI merupakan salah satu indikator yang diramalkan sulit dicapai. Tidak hanya di Indonesia akan tetapi banyak dinegara berkembang di dunia (Riskesdas, 2010).

Di Indonesia Angka Kematian Ibu menurut laporan SDKI 2012 359/100.000 kelahiran. Rencana Departemen Kesehatan RI Angka Kematian Ibu (AKI) dalam target MDG’s 2015 menjadi 102/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2011). AKI untuk Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2011 adalah 107/100.000 kelahiran hidup (Laporan Balai Kesehatan Masyarakat 2011). AKI untuk kota Bukittinggi pada tahun 2011 adalah 0. Angka ini mengalami penurunan dibanding tahun 2010 (Profil kesehatan kota Bukittinggi).

Pada tahun 2010 cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan telah mencapai angka di atas 69% dan terjadi peningkatan yang bermakna sejak tahun 1990. Cakupan persalinan yang tinggi dan yang memenuhi standar persalinan merupakan indikator proxy dari angka kematian ibu. Untuk mempercepat pencapaian target MDG’s pada tahun 2015, Kementrian Kesehatan telah menetapkan kebijakan bahwa semua persalinan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih (Depkes RI, 2011).

Setiap tahun ada sekitar 200.000 jiwa ibu hamil di negara – negara berkembang, lebih dari 50.000 diantaranya akan meninggal karena penyebab yang berhubungan dengan kehamilan dan jutaan lainnya akan menderita komplikasi yang cukup signifikan akibat kehamilan dan persalinan (Prawirohardjo 2007).

Salah satu dari faktor yang cukup signifikan akibat kehamilan dan persalinan tersebut adalah prolapsus uteri.

Prolapsus uteri adalah keadaan yang terjadi akibat otot penyangga uterus menjadi kendor sehingga uterus akan turun atau bergeser kebawah dan dapat menonjol keluar dari vagina (Widjanarko, 2009).

Prolapsus uteri ditemukan paling sedikit pada 14 % perempuan di atas 30 tahun. Sedangkan menurut data dari American Medical System (AMS), pada perempuan antara 18 sampai 44 tahun, prevalensinya adalah 24 %.(Abrams,2009)

Pada umumnya perempuan multipara mengalami pelemahan dasar panggul, karena itu prevalensi prolapsus uteri tanpa gejala cukup tinggi. Diperkirakan 50% multipara menderita prolapsus uteri genetalia. Kasus prolapsus uteri akan meningkat jumlahnya seiring dengan meningkatnya usia hidup wanita. Muharam melakukan penelitian selama 2 tahun 2007-2009 mendapatkan 65 kasus prolapsus genetalia dari 5.371 kasus ginekologi di RSCM Jakarta terbanyak pada grande multipara dalam masa menopause. Junizaf melaporkan kasus prolapsus genitalia ada 186 kasus prolapsus uteri baru di RSCM pada tahun 2009.

Di Indonesia seperti di katakan diatas, hampir 50% multipara menderita prolapsus uteri. Dwika Suryadiningyah pada tahun 2008 dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Paritas dengan Kejadian Prolapsus uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menyebutkan bahwa angka kejadian prolapsus uteri dialami oleh grande multipara dengan angka revalansinya 81%. Khalilullah, dkk, mengatakan “pada tahun 2011 total pasien ginekologi yang dirawat diruangan RSUD DR. Zainoel Abidin Banda Aceh antara bulan Januari 2007 sampai dengan bulan Desember 2010 adalah 2163 orang dimana 71 orang diantaranya merupakan penderita prolapsus uteri”.

Diprediksi hampir dari setengah dari seluruh wanita yang melahirkan akan mengalami penurunan organ peranakan. Meskipun sudah dikenal sejak lama, kelainan ini tidak banyak terungkap. Sedangkan penyakit ini berpotensi menurunkan kualitas hidup wanita (Mazna, Shafinaz 2007).

Persalinan pervaginam adalah yang paling sering dikutip sebagai faktor resiko untuk terjadinya prolapsus uteri contohnya tarikan pada janin pada pembukaan

(3)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

52

belum lengkap, prasat Crede yang berlebihan, laserasi

dinding vagina bagian bawah pada kala II dan reparasi otot-otot panggul yang tidak baik. Jadi, tidaklah mengherankan bila prolapsus genitalia terjadi segera sesudah partus atau dalam masa nifas. Faktor resiko prolapsus uteri meningkat menjadi 1,2 kali lipat pada persalinan pervaginam. (Winkjosastro, 2005)

Menurut Kadarsari ahli kebidanan dan kandungan dari bagian obstetri dan gynekologi RS Sari Asih Ciledug pada tahun 2011 menyebutkan bahwa faktor-faktor yang dapat menyebabkan prolapsus uteri adalah paritas, peningkatan tekanan di perut menahun. Misalnya, obesitas, batuk berbulan-bulan, adanya tumor dalam rongga perut, tumor pelvis dan konstipasi berkepanjangan. Meskipun angka kasus dari tahun ke tahun menunjukkan penurunan, namun kasus prolapsus uteri di anggap penting karena berkaitan langsung dengan kehidupan penderita dan keluarga penderita di masa yang akan datang. Penyakit ini berpotensi menurunkan kualitas hidup. Pada stadium yang berat, prolaps uteri membuat seorang wanita sulit melakukan aktivitas sehari- hari karena sakit yang dirasakan

Survey awal penulis menemukan antara bulan Januari 2013 sampai Desember 2013 telah didapatkan 54 kasus prolapsus uteri di RSUD DR. Achmad Mochtar Bukittinggi, dari 54 kasus tersebut sebagian besar adalah jumlah seluruh ibu yang pernah melahirkan dengan paritas tinggi dengan usia antara 25-44 tahun dan 45-64 tahun. Sedangkan paling sedikit berusia antara 15-24 tahun. (Rekam medik RSAM, 2013).

Berdasarkan latar belakang diatas peneliti tertarik untuk melihat hubungan paritas, umur, dan jenis persalinan dengan kejadian prolapsus uteri. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan hubungan paritas, umur, dan jenis persalinan dengan kejadian prolapsus uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2013.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan menggunakan rancangan penelitian case control yang membandingkan antara kelompok kasus dengan kelompok kontrol untuk mengetahui proporsi

kejadian berdasarkan riwayat ada tidaknya paparan. Rancangan penelitian ini dikenal dengan sifat retrospektif yaitu rancang bangun dengan melihat kebelakang dari suatu kejadia yang berhubungan kejadian kesakitan yang diteliti. (Hidayat, 2007). Penelitian ini di lakukan di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi pada Juli 2014. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh ibu bersalin di RSUD Dr. Achmad Moctar Bukittinggi bulan Januari sampai Desember Tahun 2013 yang berjumlah 1545 orang. Sampel berjumlah 108 responden yang terdiri dari 54 responden pada kelompok kasus dan 54 responden pada kelompok kontrol. Data dianalisis secara univariat dan bivariat untuk melihat besarnya risiko dengan menggunakan uji chi square dengan melihat nilai OR dan p value pada CI 95% dan alpha 0,05.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Paritas

Tabel 1. Distribusi frekuensi Responden Berdasarkan Paritas di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Tabel 1 menunjukan bahwa pada kelompok kasus ada sebanyak 44 responden (81,5%) yang termasuk dalam kategri paritas berisiko, sedangkan pada kelompok kontrol ada sebanyak 22 responden (40,8%) yang termasuk dalam kategori paritas berisiko.

Paritas adalah jumlah anak yang pernah dilahirkan ibu termasuk yang meninggal (Pusdiknas RI, 2002). Paritas dibedakan menjadi 4 yaitu nullipara yaitu wanita yang belum pernah melahirkan bayi yang viabel untuk pertama kalinya. Primipara yaitu seorang wanita yang telah melahirkan bayi yang viabel untuk pertama kalinya. Multipara yaitu seorang wanita yang telah melahirkan bayi yang viabel lebih dari 1 orang anak. Grande multipara yaitu wanita yang telah melahirkan 5 orang anak atau lebih. Sedangkan tingkat paritas di

Paritas Kasus Kontrol Jumlah

f % f %

Tidak berisiko 10 18,5 32 59,2 42

Berisiko 44 81,5 22 40,8 66

(4)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

53

bedakan menjadi 3 yaitu paritas rendah, sedang dan

tinggi. (Prawirohardjo, 2008).

Rahim adalah organ yang sangat mudah bergerak dalam rongga panggul wanita. Rahim melekat di tempatnya dengan disangga oleh banyak ligamen yang tersusun dari jaringan-jaringan berserabut dan sejumlah kecil serat otot. Berbagai penyangga tersebut mendapat banyak tekanan selama kehamilan dan proses kelahiran normal.

Prolapsus uteri biasanya ditandai dengan adanya benda yang mengganjal kemudian di lanjutkan dengan keluarnya air kencing pada saat batuk, bersin dan melompat. Hal itu disebabkan karena letak kandung kemih dan uterus yang berdekatan. Dilanjutkan dengan prolapsus derajat I biasanya keadaan ini tidak disadari penderita, derajat II uterus turun lebih jauh kedalam vagina sehingga ujung uterus berada di orifisium vagina. Dan derajat III sebagian besar uterus telah keluar dari vagina.

Dwika Suryadiningyah pada tahun 2008 dalam penelitiannya yang berjudul Hubungan Paritas dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta menyebutkan bahwa angka kejadian prolapsus uteri dialami oleh grande multipara dengan angka revalensinya 81%.

Menurut asumsi peneliti keadaan dimana ibu-ibu memiliki paritas tinggi dipengaruhi oleh hubungan sosial, dimana ibu-ibu tersebut (grandemultipara) tidak peduli dengan kesehatan organ reproduksi sendiri. Dan sebagian besar ibu-ibu tersebut masih percaya dengan pepatah banyak anak banyak rezeki sehingga ibu-ibu tersebut memilih untuk memiliki anak lebih dari 5 orang. Makin tinggi paritas, lebih tinggi angka kematian maternal. Selain itu tingginya paritas akan menyebabkan kelemahan otot dasar panggul sehingga terjadi penurunan organ panggul. Selain itu kurangnya informasi yang mereka terima dari tenaga kesehatan yang menyebabkan masyarakat semakin tabu untuk membahas masalah gangguan organ reproduksi kepada orang terdekat ataupun tenaga medis.

Hal tersebut membuat tenaga kesehatan harus bekerja lebih keras untuk melakukan penyuluhan tentang pemakaian alat kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan agar

pasangan usia subur terhindar dari paritas tinggi yang dapat memicu terjadinya prolapsus uteri.

Umur

Tabel 2. Distribusi frekuensi Responden Berdasarkan Umur Bersalin di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Umur Kasus Kontrol Jumlah

f % f %

Risiko Rendah 19 35,2 32 59,2 51

Risiko Tinggi 35 64,8 22 40,8 57

Total 54 100 54 100 108

Tabel 2 menunjukan bahwa pada kelompok kasus ada sebanyak 35 responden (64,8%) yang masuk kategori umur resiko tinggi dan pada kelompok kontrol ada sebanyak 22 responden (40,8) yang masuk dalam kategori umur tinggi.

Umur merupakan salah satu sifat karakteristik tentang orang yang sangat utama karena umur mempunyai hubungan yang erat dengan keterpaparan. Umur juga mempunyai hubungan dengan besarnya resiko terhadap penyakit tertentu dan sifat resistensi pada berbagai kelompok umur tertentu. Umur juga mempunyai hubungan erat dengan berbagai sifat karakteristik tentang orang lainnya seperti pekerjaan, status perkawinan dan reproduksi,dan berbagai kebiasaan lainnya (Noor, 2008).

Umur > 40 tahun akan berisiko tinggi mengalami prolapsus uteri dibandingakan umur ≤ 40 tahun, karena penurunan hormone esterogen yang terjadi pada usia > 40 tahun, maka meningkatkan kelelahan ligament- ligament panggul sehingga meningkatkan resiko stress inkontinensis dan prolapsus uteri (Widjanarko,2009).

Menurut hasil penelitian Khailullah pada tahun 2011, ia menyebutkan bahwa prolapsus uteri menduduki angka kasus terbanyak ke enam di bagian gynekologi, yaitu sebanyak 3,28% jika dibandingkan dengan kasus-kasus paling sering ditemukan lainnya. Dari 71 kasus-kasus tersebut sebagian besar (57,74%) penderita berusia antara 60-80 tahun. Sedangkan yang paling sedikit berusia <40 tahun. Berdasarkan yang sudah mengalami menopause atau belum, hasil yang didapatkan adalah bahwa 90,14% kasus prolapsus uteri dialami oleh penderita yang sudah

(5)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

54

menopause sedangkan yang belum mengalami

menopause hanya 9,86%.

Menurut asumsi peneliti faktor umur sangat mempengaruhi karena penurunan estrogen pada masa menapouse akan meningkatkan kelemahan ligamen– ligamen panggul sehingga meningkatkan resiko stres inkontinensis dan prolaps organ panggul.Keadaan menopause atau kekurangan hormon berlaku secara natural yaitu ketika berumur 50 tahunkeatas, ataupun akibat pembedahan oleh karena penyakit seperti pengangkatan ovarium sehingga menyebabkan hormon berkurang sehingga menyebabkan kelemahan otot dan ligamen uterus. Proses atrofi ligamen dan otot dalam jangka panjang dapat menyebabkan prolapsus. Nyata sekali prolaps yang parah sering terjadi pada wanita yang berumur 60 tahun keatas akibat kekurangan hormon karena menopause. Semakin bertambahnya usia, otot-otot dasar panggul pun akan semakin melemah.

Jenis Persalinan

Tabel 3. Distribusi frekuensi Responden Berdasarkan Umur Bersalin di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Tabel 3 menunjukan bahwa pada kelompok kasus ada sebanyak 38 responden (70,2%) yang masuk kategori jenis persalinan resiko tinggi dan pada kelompok kontrol ada sebanyak 19 responden (33,3) yang masuk dalam kategori jenis persalinan risiko tinggi.

Persalinan adalah pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu). Persalinan normal adalah proses pengeluaran janin yang terjadi pada kehamilan cukup bulan (37-42 minggu), lahir spontan dengan presentasi belakang kepala yang berlangsung selam 18 jam, tanpa komplikasi baik pada ibu maupun pada janin. (Prawirohardjo, 2009)

Tahapan persalinan dibagi menjadi 4 tahap kala I, kala II, kala III dan kala IV. Persalinan sendiri di bagiu

menjadi persalinan normal yaitu persalinan yang berlangsung dengan tenaga sendiri. Persalinan buatan yaitu proses persalinan dengan bantuan tenaga dari luar. Sedangkan seksio caesaria adalah prosedur operasi untuk melahirkan bayi melalui sayatan pada dinding perut dan uterus.

Shafinaz pada tahun 2007 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hampir 50% ibu yang pernah melahirkan pervaginam mempunyai resiko untuk terjadi prolapsus uteri. Hal ini juga di benarkan oleh dr. R Muharam SpOG, ahli kebidanan dan kandungan dari bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM Jakarta. Ia menyebutkan bahwa wanita yang baru saja melahirkan atau wanita yang sudah berkali-kali melahirkan tergolong dalam kelompok wanita yang beresiko tinggi menderita gangguan prolaps uteri. Tapi patut pula dicatat peranakan turun tidak hanya di derita oleh wanita yang pernah melahirkan saja, artinya wanita yang belum pernah melahirkan pun dapat mengalami gangguan ini, tapi

kemungkinannya kecil.

Persalinan pervaginam baik dari tenaga sendiri maupun buatan di asumsikan mempunyai pengaruh besar untuk terjadinya prolapsus uteri, karena semakin sering melahirkan dan memilih persalinan pervaginam sebagai jenis persalinan, akan menyebabkan semakin melemahnya otot dasar panggul dan mengalami penurunan organ panggul. 34 orang responden yang tidak mengalami prolapsus uteri di dapati karena responden memilih jenis persalinan seksio caesaria yang menyebabkan tidak terjadi pelemahan dasar panggul saat proses persalinan.

Hubungan Paritas dengan Kejadian

Prolapsus Uteri

Tabel 5. Hubungan Paritas dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013 Paritas Prolapsus Uteri Jumlah P OR Kasus Kontrol n % n % f % Rendah 10 18,5 32 59,3 42 38,9 0,0 00 6,400 Tinggi 44 81,5 22 40,7 66 61,1 Total 54 100 54 100 108 100 Jenis Persalinan

Kasus Kontrol Jumlah

f % Ff %

Risiko Rendah 16 29,6 35 66,7 51

Risiko Tinggi 38 70,2 19 33,3 57

(6)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

55

Berdasarkan tabel 4.5 dapat diketahui bahwa dari

66 responden (61,1%) yang memiliki paritas beresiko tinggi, ternyata sebanyak 44 orang (81,1%) menderita prolapsus uteri dan hanya 22 orang (40,7%) yang tidak menderita prolapsus uteri. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Square didapatkan p=(0,000) yang berarti Ha diterima, dengan derajat kepercayaan p <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadianprolapsus uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2013. Nilai Odd Ratio (OR) 6,400 yang berarti ibu dengan paritas tinggi mempunyai peluang 6,400 kali terhadap kejadian prolapsus uteri dibanding ibu dengan paritas rendah.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hipotesa para ahli yang menyatakan bahwa tingkat paritas dapat mempengaruhi kejadian prolapsus uteri, karena semakin sering perempuan melahirkan dan ditolong dengan persalinan kurang aman maka adanya penekanan pada abdominal dan menyebabkan lemahnya jaringan ikat pada daerah rongga panggul, terutama jaringan ikat travensal. Patofisiologi lainnya adalah terjadinya perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan lemahnya jaringan ikat penyangga vagina, ibu yang memiliki banyak anak membuat jaringan ikat dibawah panggul semakin kendor.

Pada penelitian epidemiologi prolaps pada Oxford Fanily Planning Asosiation,paritas merupakan factor resiko paling berpengaruh untuk terjadinya prolapsus uteri. Jadi semakin tinggi jumlah paritas ,maka semkin tinggi pula factor seseorang tersebut menderita prolapsus uteri.

Menurut asumsi peneliti proses kehamilan dan persalinan memang melemahkan dan melonggarkan otot dalam badan khususnya ligament dan otot yang memegang kemaluan dan rahim. Ini satu hal yang tidak dapat dihindari tetapi dipulihkan walaupun tidak seratus persen jika seorang wanita yang melakukan gerak tubuh untuk menguatkan otot otot disekitar kemaluan dan lantai punggung. Semakin sering seorang wanita mengalami kehamilan maka semakin kuat tekanan pada otot- otot dan ligament, sehingga rahim turun kebawah karenan otot penyangga yang tidak kokoh.

Hubungan

Umur

dengan

dengan

Kejadian Prolapsus Uteri

Tabel 6. Hubungan Umur Ibu dengan dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui bahwa dari 58 responden (53,7%) yang masuk kedalam kelompok umur beresiko tinggi, ternyata sebanyak 35 orang (64,8%) menderita prolapsus uteri dan hanya 23 orang (42,6%) yang tidak menderita prolapsus uteri. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Squaredidapatkan p=0,021yang berarti Ha diterima, dengan derajat kepercayaan p <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kejadianprolapsus uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2013. Nilai Odd Ratio (OR) 2,483 yang berarti ibu dengan kelompok umur berisiko tinggi mempunyai peluang 2,483 kali terhadap kejadian prolapsus uteri dibanding ibu dengan kelompok umur berisiko rendah

.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Khalilullah dalam penelitiannya menyebutkan bahwa sebagian besar penderita prolapsus uteri berusia antara 40-80 tahun. Sedangkan yang paling sedikit berusia antara ≤40 tahun.

Peneliti mengasumsikan bahwa prolapsus uteri sangat beresiko pada wanita yang telah menopause. Nyata sekali prolaps yang parah sering terjadi pada wanita yang berumur >40 tahun akibat kekurangan hormone karena menopause. Semakin bertambahnya usia, otot otot dasar panggulakan semakin melemah. Selain itu, kurang nya pengetahuan ibu yang berada pada usia > 40 tahun tentang cara perawatan dan menjaga organ reproduksi sehingga ibu tersebut tidak memperdulikan organ reproduksinya.

Umur Prolapsus uteri Jumlah P OR Kasus Kontrol n % n % f % Rendah 19 35,2 31 57,4 50 46, 3 0,02 1 2,4 83 Tinggi 35 64,8 23 42,6 58 53, 7 Total 54 100 54 100 10 8 100

(7)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

56

Hubungan Jenis Persalinan dengan

dengan Kejadian Prolapsus Uteri

Tabel 7. Hubungan Jenis Persalinan dengan dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Jenis persali nan Prolapsus uteri Jumlah P OR Kasus Kontrol n % n % f % Rendah 16 29,6 35 64,8 51 47,2 0,0 00 4,37 5 Tinggi 38 70,4 19 35,2 57 52,8 Total 54 100 54 100 108 100 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa dari 57 responden (52,8%) yang masuk kedalam kelompok jenis persalinan beresiko tinggi, ternyata sebanyak 38 orang (70,4%) menderita prolapsus uteri dan hanya 19 orang (35,2%) yang tidak menderita prolapsus uteri. Setelah dilakukan uji statistik Chi-Squaredidapatkan p=0,000yang berarti Ha diterima, dengan derajat kepercayaan p <0,05 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada hubungan yang bermakna antara jenis persalinan dengan kejadianprolapsus uteri di RSUD Achmad Mochtar Bukittinggi tahun 2013. Nilai Odd Ratio (OR) 4,375 yang berarti ibu dengan kelompok jenis persalinan risiko tinggi mempunyai peluang 4,375 kali terhadap kejadian prolapsus uteri dibanding ibu dengan kelompok jenis persalinan risiko rendah

.

Shafinaz pada tahun 2007 dalam penelitiannya menyebutkan bahwa hampir 50% ibu yang pernah melahirkan pervaginam mempunyai resiko untuk terjadi prolapsus uteri. Hal ini juga dibenarkan oleh dr. R.Muharam,SpOG, ahli kebidanan dan kandungan RSCM Jakarta. Ia menyebutkan bahwa wanita yang baru saja melahirkan atau wanita yang sudah berkali- kali melahirkan tergolong kedalam kelompok wanita yang beresiko tinggi menderita prolapsus uteri.

Menurut asumsi peneliti jenis persalinan seksio caesaria membuat wanita mengalami resiko relative rendah di karenakan proses persalinan tidak menyebabkan lemahnya otot panggul, dan jika wanita memilih jenis persalinan seksio caesaria,ia akan lebih berfikir untuk mempunyai anak selanjutnya, karena wanita dengan riwayat seksio caesaria dibatasi untuk

jumlah anak karna seksio caesaria dilakukan dengan tindakan pembedahan.

Sedangkan bagi ibu yang memilih persalinan dengan pervaginam , mempunyai resiko relative tinggi, karena persalinan pervaginam melibatkan otot-otot dan ligament yang berasa pada jalan hadir, sehingga jika dilakukan persalinan pervaginam akan beresiko tinggi terganggu nya otot- otot tersebut sehingga menyebabkan prolapsus uteri.

Selain itu, karena proses persalinan yang tidak aman seperti persalinan secara induksi tanpa pengawasan dokter dan proses persalinan kristeler, karena terdapat tekanan paksaan pada abdominal sehingga menyebabkan longgarnya otot penyangga rahim.

KESIMPULAN

1. Ditemukan lebih dari setengah responden berada pada paritas tinggi.

2. Ditemukan lebih dari setengah responden berada pada kelompok umur yang beresiko tinggi.

3. Ditemukan lebih dari setengah responden melahirkan secara pervaginam.

4. Ditemukan sebagian responden mengalami prolapsus uteri.

5. Ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian prolapsus uteri dimana p= 0,000.

6. Ada hubungan yang bermakna antara umur ibu dengan kejadian prolapsus uteri dimana p= 0,034.

7. Ada hubungan yang bermakna antara jenis persalinan dengan kejadian prolapsus uteri dimana p= 0,001.

SARAN

1. Bagi peneliti selanjutnya

Diharapkan agar dapat mengembangkan penelitian ini dengan lebih jelas sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat, dan

(8)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

57

mencari hubungan faktor lain dengan

prolapsus uteri

2. Bagi institusi pendidikan

Diharapkan institusi pendidikan dapat

menambah referensi di perpustakaan sehingga mahasiswa mendapatkan sumber yang lebih banyak untuk penunjang penelitiannya. 3. Bagi lahan praktek

Diharapkan tenaga kesehatan dapat member asuhan dan informasi yang lengkap tentang prolapsus uteri pada ibu bersalin yang melakukan kunjungan ke ruang kebidanan RSUD. Dr. Ahmad Mochtar Bukittinggi.. 4. Bagi responden

Diharapkan responden yang mengalami resiko tinggi dan mengalami faktor lain terhadap

prolapsus uteri dapat

memeriksakan

keadaannya secara teratur pada tenaga

kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA

Bidan, Publikasi. 2010. Defenisi Umur.

http://bidan-ilfa.blogspot.com /2010/01

/definisi-umur.html. Diakses 20 Maret 2013

Departemen Kesehatan. 2012. Strategi Akselerasi Pencapaian Target MDGs,2011. http://kgm.bappenas.go.id/document/makalah/ 17_makalah.pdf. Diakses 11 Maret 2013 Kasim, muslim. Sumbar targetkan penurunan

Angka Kematian Ibu. http://www.antarasumbar.com/id/berita/p

ropinsi/d/1/220129/sumbar/ targetkan-

penurunan-angka-kematian-ibu. Diakses 18 maret 2013

Kebidanan Home. 2012. Defenisi Paritas pada Ibu Hamil Menurut Para Ahli.

http://www.sarjanaku.com/2012/12/peng

ertian-paritas-pada-ibu-hamil. Diakses

20 Maret 2013

Khalilullah, alfin said. 2011. Prolpasus Uteri pada Rumah Sakit Umum Dr. Zainoel Abidin Banda Aceh: Aceh. Diakses 22 Februari 2013 Noor Nasry 2008. Epidemiologi, Jakarta : Rineka

Cipta

Notoadmodjo, Soekidjo. 2010. Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. 2005. Metode Penelitian

Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta. Prawirohardjo, Sarwono. 2009. Ilmu Kebidanan.

Jakarta : Yayasan Bina Pustaka.

Priyanto, Dwi. 2008. Mandiri Belajar SPSS Untuk Analilis Data dan Uji Statistik, Yokyakarta: Mediakom

Scott, James R. 2002. Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Widya Medika

Siswosudarmo. 2008. Pengertian Paritas.

http://www.psychologymania.com

/2012/10/pengertian-paritas.html. Diakses 20 Maret 2013

Stouwrii, Fye’s. 2012. Prolapsus Uteri.

http://fyesstouwrii.blogspot.com

/2012/03/prolaps-uteri.html. Diakses 21 Maret 2013

Suryaningdyah, Dwika. 2008. Hubungan Paritas dengan Kejadian Prolapsus Uteri di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.http://e-

purwerejo.ac.id/index.php/jkk2/article/vi ew/48. Diakses 22 Februari 2013

Who. 2013. Data Angka Kematian Ibu Menurut Who. File:///E:/Kumpulan%

20Tugas%20Asal/Dok/Aki%. Diakses

19 Maret 2013

Widjanarko, Bambang. 2009 .Informasi

(9)

Jurnal Kesehatan STIKes Prima Nusantara Bukittinggi, Vol.4 No 1 Januari 2013

58

blogspot.com/2009/10/prolapsus-uteri.html. Diakses 20 Maret 2013

Wiknjosastro, Hanifa. 2009. Ilmu Kandungan. Jakarta : Bina Pustaka

Yuniati. 2012. Profil Kesehatan Kota Bukittinggi .http://www.depkes.go.id/ downloads

/profil_kesehatan_prov_kab/profil_kes kota

bukittinggi_2009.pdf Diakses 8 Maret 2013

Shafinaz . 2007.Jenis Persalinan beserta

purwerejo.ac.id/index.php/jkk2/article/vi ew/48. Diakses 22 Februari 2013

Gambar

Tabel  3.  Distribusi  frekuensi  Responden  Berdasarkan  Umur  Bersalin  di  RSUD  Achmad  Mochtar Bukittinggi Tahun 2013
Tabel  6.  Hubungan  Umur  Ibu  dengan  dengan  Kejadian  Prolapsus  Uteri  di  RSUD  Achmad  Mochtar Bukittinggi Tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Pada variabel paritas didapatkan hasil p value 0,001 &lt; dari α = 0,05 , yang menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara paritas dengan kejadian eklampsia.. Pada

Hasil uji statistik dengan menggunakan uji chi-Square adalah p = 0,015 dengan tingkat kemaknaan α = 0,05 yang berarti p &lt; 0,05 maka ha diterima dan ho

Penelitian ini menggunakan uji gamma didapatkan nilai p = 0.002 (p&lt;0.05) dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, yang berarti terdapat hubungan antara derajat

Hasil Analisis statistik dengan uji Chi Squart test menunjukkan bahwa nilai p =0,03 dan nilai α=0,05 yang berarti p &lt; α dengan demikian Ho ditolak dan Ha diterima, berarti

Hasil uji “chi square” dengan menggunakan tingkat kepercayaan 95 % menunjukkan hitung lebih kecil dari tabel (5,26 &lt; 5,991) yang berarti secara statistik

Setelah dilakukan uji statistik dengan menggunakan Chi-Square dengan tingkat kepercayaan 95% diperoleh nilai p-value = 0,006 ini berarti bahwa p-value &lt;  =0,05, sehingga

Dari hasil perhitungan Chi square didapatkan nilai p value sebesar 0,010 karena hasil p value&lt; 0,05 berarti Ha diterima, maka dapat disimpulkan bahwa ada

Setelah dilakukan Uji statistik dengan menggunakan uji Chi-Squere dengan tingkat kepercayaan 0.05 maka diperoleh nilai p value 0.070 > α = 0.05 yang berarti H0 diterima dan Ha ditolak