TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAKAN
MURTAHIN DI DESA KARANGANKIDUL KECAMATAN
BENJENG KABUPATEN GRESIK
SKRIPSI
Oleh:
Rizky Ardiansyah
NIM. C32211122
Universitas Islam Negeri Sunan Ampel
Fakultas Syari
’ah dan Hukum
Jurusan Hukum Perdata Islam
Prodi Hukum Ekonomi Islam (Muamalah)
PERSETUruAN PEMBIMBING
Skripsi yang ditulis oleh Rizki Ardiansyah NIM.
c322llt22
inidisetujui rmtuk dimunaqasahkan.
Surabaya,
0l
Juli 2015telah diperilaa dan
ilr
PENGESAIIAN
Skripsi
yang
ditulis
oleh
Rizki
ArdiansyahNIM. C322lrl22
ini
telahdipertahankan di depan sidang Majelis Munaqasah Slaipsi Fakultas Syari'ah dan
Hukum UIN Sunan Ampel pada har:i Rabu, tanggal 12 Agustus 2015, tlan dapat
ditcrima scbagai salah satu pcrsyaratan untuk mcnyclcsaikan program sar-iana
strata satu dalam IImu Syari'ah.
Majelis Munaqasah Skipsi:
NIP. 1 9630609 1 992032001 Sekretaris
, \rr
,
fr4'll
tl
irw;
usmiati- SH. MMDr. Mugiyati. S.Ae.
NrP. I 97 1 02261997 $2401
Dr. Fah
NrP. r 97209062007 1 0 1 003
Surabaya, 18 Agustus 2015
Mcngcsahkan,
Fakultas Syari'ah dan Hukum am Ncgcri Sunan Ampcl Kstua,
NIP. 197 I 2l 2007 10 100 I
Nama
NIM
Fakult asi.Iunisan/Prodi Judul Skrip:;i
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Rizki Ardiansyah c322tt12s
Syari' ah dan Hukur/H ukum pertlat a Is lam/Muamalah Tinjauan Ifukurn Islarn Terhadap I'indak ar, Murtahin di Desa Karangankidul Kecarnatan Bcnjeng Kabupaten Gresik
menyatailan bahlva skripsi ini secara keseluruhan adalah hasii penelitian/karya saya
sendiri, kecr"iaii pada bagian-bagian yang dirujuk sumbernya.
Suiabai,'a, 0 i Juli 2015
Saya yang inenyatakan,
MElr--Q6fi1 1,a,y
rl_E_.l*4P+, 'E:.,
27618ADFA54973077
,6000
ilizki A'r1ians-rrah
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Hukum Islam terhadap Tindakan Murtahin
di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik”. Dan pertanyaan
inti yang akan dijawab adalah: Bagaimana tindakan murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik? Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik?
Skripsi ini merupakan hasil penelitiam lapangan (field research) di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi, wawancara (interview) dan dokumentasi. Selanjutnya data yang dikumpulkan disusun dan dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif analisis.
Dalam penelitian dapat disimpulkan bahwa: Pertama, Praktik tindakan murtahin di Desa karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik, menggunakan akad gadai (rahn) dan dilakukan oleh perorangan bukan lembaga. Murtahin dan ra>hin yang melakukan pejanjian akad gadai dengan menyerahkan barang jaminan dan batas jatuh tempo pelunasan. Pada saat jatuh tempo ternyata ra>hin tidak bisa melunasi hutangnya, maka jalan satu-satunya adalah dengan menjual barang jaminan itu sebagai pelunasan hutang. Kelebihan dari hasil penjualan barang jaminan tidak diberikan kepada ra>hin, melainkan murtahin mengambil semua kelebihan tersebut.
Kedua, Ditinjau secara hukum Islam dapat disimpulkan bahwa praktik tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik tidak dibolehkan, karena kelebihan harga barang jaminan tersebut milik ra>hin jika kelebihan harga itu tidak diberikan kepada ra>hin berarti kelebihan tersebut termasuk tambahan dari hutang ra>hin dan setiap hutang yang menarik manfaat adalah riba. Tindakan murtahin tersebut sama juga dengan mengambil harta dengan jalan yang batil.
x DAFTAR ISI
Halaman
SAMPUL DALAM ... i
PERNYATAAN KEASLIAN ... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iii
PENGESAHAN ... iv
MOTTO ... v
ABSTRAK ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ix
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR ... xi
DAFTAR TRANSLITERASI ... xii
BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang ... 1
B.Identifikasi Masalah dan Batasan Masalah ... 6
C.Rumusan Masalah ... 7
D.Kajian Pustaka ... 7
E. Tujuan Penelitian ... 10
F. Kegunaan Hasil Penelitian ... 10
G.Definisi Operasional ... 11
H.Metode Penelitian ... 11
I. Sistematika Pembahasan ... 17
BAB II GADAI DALAM HUKUM ISLAM A.Pengertian Gadai ... 19
B.Dasar Hukum Gadai ... 21
C.Rukun dan Syarat Gadai ... 25
D.Hak dan Kewajiban Ra>hin dan Murtahin ... 29
E. Status Barang Gadai ... 31
F. Penyelesaian Gadai ... 31
BAB III TINDAKAN MURTAHIN DI DESA KARANGANKIDUL KECAMATAN BENJENG KABUPATEN GRESIK
A.Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 37
1. Letak geografis ... 37
2. Kondisi sosial agama ... 39
3. Kondisi pendidikan ... 40
4. Kondisi sosial ekonomi ... 41
B.P Tindakan Murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik ... 42
1. Latar belakang terjadinya gadai ... 42
2. Proses tindakan murtahin ... 43
C.Faktor dan Dampak atas Tindakan Murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik... 49
BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAKAN MURTAHIN DI DESA KARANGANKIDUL KECAMATAN BENJENG KABUPATEN GRESIK A.Akad Gadai ... 52
B.Tindakan Murtahin ... 57
1. Tidak memberikan waktu tenggang ... 59
2. Tidak memberikan sisa hasil penjualan barang jaminan ... 63
C.Pemeliharaan Barang Gadai ... 69
D.Respon Ra>hin atas Tindakan Murtahin ... 73
BAB V PENUTUP A.Kesimpulan ... 77
B.Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seiring dengan berkembangnya zaman yang semakin modern, manusia
dituntut agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya dengan berbagai cara.
Tuntutan tersebut membuat manusia berfikir bagaimana agar kebutuhannya
terpenuhi dengan kemampuan mereka sendiri. Namun, dengan penghasilan
yang mereka dapatkan belum tentu bisa memenuhi segala kebutuhan
hidupnya. Keadaan yang seperti inilah manusia merasakan bantuan dari orang
lain, karena manusia diciptakan Allah sebagai mahluk sosial, yaitu mahluk
yang berkodrat hidup dalam masyarakat.
Setiap manusia hidup bermasyarakat, saling tolong-menolong dalam
menghadapi berbagai macam persoalan untuk menutupi kebutuhan antara
yang satu dengan yang lain.1 Islam adalah agama yang memberi pedoman
hidup kepada manusia secara menyeluruh, meliputi segala aspek kehidupannya
seperti akidah, ibadah, akhlak, dan sosial untuk mencapai kebahagian hidup
rohani dan jasmani.2 Bentuk dari saling tolong menolong ini bisa berupa
pemberian atau pinjaman.
1 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), 31.
2 Suparman Usman, Hukum Islam, (Asas-asas dan Pengantar Studi Hukum Islam Dalam Tata
2
Pinjaman dalam Islam adalah menjaga kepentingan kreditur dan jangan
sampai ada pihak yang merasa dirugikan. Oleh sebab itu, ia dibolehkan
meminta barang dari debitur sebagai jaminan hutangnya. Sehingga apabila
debitur tidak sanggup membayar hutangnya maka, barang jaminan tersebut
boleh dijual. Konsep tersebut dalam fiqih Islam dikenal sebagai istilah rahn
atau “gadai”.3 Dalam Fiqih Sunnah, kata rahn adalah “tetap” dan “lestari”
seperti juga dinamai al- habsu artinya “penahanan” seperti dikatakan: ni’mat
al-rahi>na artinya “karunia yang tetap dan lestari”.4
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, al-rahn adalah menahan salah
satu harta milik peminjam yang diterimanya. Barang yang ditahan tersebut
memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian, pihak yang menahan memperoleh
jaminan untuk dapat mengambil kembali seluruh atau sebagian piutangnya.
Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rahn adalah semacam jaminan
hutang atau gadai.5
Dasar hukum tentang kebolehan gadai adalah al-Quran surat al-Baqarah
ayat: 283
Artinya;“Jika kamu dalam perjalanan (dan bermuamalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian
3 Mohammad Sholikul Hadi, pegadaian syariah, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2003),1-3. 4 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, Cet. I, 1987),150.
5 Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gemainsani,
3
kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya)”.6 (Q>S. al-Baqarah: 283)
Al-Quran surat al-Baqarah ayat 283 telah menjelaskan bahwa gadai pada
hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah dimana sikap
saling tolong-menolog dan sikap amanah sangat ditonjolkan. Banyak kegiatan
muamalah di daerah pedesaan dilakukan sekedar yang mereka ketahui yaitu
dari kebiasaan yang mereka kerjakan, dan belum tentu kegiatan yang mereka
kerjakan benar menurut syariat agama Islam. Dari pengamatan pertama
dilapangan kegiatan gadai di masyarakat dilakukan dengan cara yang cukup
sederhana yaitu hannya cukup dengan sebuah kepercayaan tanpa adanya bukti
atau saksi bahwa mereka telah melakukan perjanjian.
Dalam gadai apabila ra>hin ini tidak bisa melunasi hutangnya dalam
waktu tempo yang ditentukan, maka barang yang menjadi jaminan hutang
tersebut harus dijual sebagai pelunasan hutang ra>hin. Pada zaman jahiliyah
apabila telah jatuh tempo pembayaran hutang dan orang yang menggadaikan
belum melunasi hutangnya kepada pihak yang berpiutang, maka pihak yang
berpiutang menyita barang gadai secara langsung tanpa izin orang yang
menggadaikannya. Lalu Islam membatalkan cara yang kurang manusiawi ini
dan menjelaskan bahwa barang gadai itu adalah amanat pemiliknya ditangan
pihak yang berpiutang. Jadi tidak boleh memaksa orang yang
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
4
menggadaikannya menjual barang gadai kecuali dalam keadaan tidak mampu
melunasi hutang tesebut.7
Bila tidak mampu melunasi saat jatuh tempo, maka barang gadai dijual
untuk membayar pelunasan hutang. Apabila ada sisanya maka sisa tersebut
menjadi hak pemilik barang gadai (orang yang menggadaikan barang).
Sebaliknya, bila harga barang tersebut belum dapat melunasi hutangnya, maka
orang yang menggadaikannya masih menanggung sisa hutangnya.
Deskripsi di atas terjadi di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat desa setempat
menggadaikan barangnya, jika ada keperluan mendesak yang membutuhkan
dana. Proses gadai tesebut dilakukan sangat sederhana yaitu, dengan
datangnya ra>hin yang akan menggadaikan barangnya kepada murtahin.
Setelah itu mereka melakukan transaksi gadai dengan waktu pengembalian
uang jaminan yang ditentukan. Pada saat jatuh tempo ternyata ra>hin tidak
mampu membayar hutangnya, oleh karena itu murtahin menjual barang
jaminan sebagai pelunasan hutang ra>hin. Namun hasil penjualan barang
jaminan lebih besar dari jumlah hutang ra>hin, sedangkan sisanya tidak
dikembalikan kepada ra>hin.
Masalah ini terjadi lantaran ra>hin hanya bermodal kepercayaan kepada
murtahin tanpa meminta bukti atau saksi kalau mereka melakukan perjanjian.
Rahin yang hanya mengetahui bahwasannya orang yang menggadaikan barang
dan tidak mampu melunasi hutangnya, maka barang jaminan tersebut
7Abu Al Maira,”Huk Gadai Dalam Islam” dalam http:// Hukum Gadai _ Agunan Dalam Islam
5
langsung otomatis menjadi hak murtahin. Padahal sesunguhnya barang
jaminan tersebut masih menjadi hak ra>hin.
Bila ra>hin tidak mampu membayar hutangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian ra>hin menjual barang jaminan dengan tidak
memberikan kelebihan harga barang jaminan kepada ra>hin, maka di sini telah
berlaku riba.8 Karena kelebihan harga barang jaminan tersebut milik ra>hin jika
kelebihan harga itu tidak diberikan kepada ra>hin berarti kelebihan tersebut
termasuk tambahan dari hutang ra>hin dan setiap hutang yang menarik manfaat
adalah riba. Rasulullah SAW bersabda:
َةماسأ ىأ نب ثراحا اورُ ًابِر َوُهَ ف ًةَعَف َم رَج ٍضْرَ ق لُك
Artinya:“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” (HR. Harits bin Abi Usamah).9
Pada dasarnya menjual barang jaminan itu boleh karena untuk melunasi
hutang yang belum dibayar ra>hin. Barang jaminan haruslah barang yang secara
syar’i boleh dan sah dijual. Karenanya tidak boleh menjual minuma keras, babi
dan sebagainnya. Harta hasil curian tidak boleh dijadikan jaminan, begitu juga
harta yang bukan dan belum menjadi milik ra>hin. Para ulama fiqih sepakat
mensyaratkan barang jaminan sebagaimana persyaratan barang dalam jual
beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk memenuhi hak murtahin.10
Berdasarkan latar belakang inilah penulis bermaksud untuk melakukan
penelitian dengan judul ”Tinjauan Hukum Islam tehadap Tindakan Murtahin
di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik”.
8 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 111. 9 Ibid.,108.
6
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah disusun di atas maka dapat
ditarik beberapa permasalahan yang timbul dalam penelitian yang
berkaitan dengan judul penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Praktik penjualan barang jaminan di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
b. Tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik.
c. Tinjauan hukum Islam terhadap tindakan murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
d. Dampak tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
e. Faktor tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik.
f. Adanya tambahan hutang ra>hin.
g. Cara pelunasan hutang ra>hin kepada murtahin.
2. Batasan Masalah
Agar penelitian ini tidak meluas, maka penulis membatasi pada dua
permasalahan inti sebagai berikut :
a. Tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
7
b. Tinjauan hukum Islam terhadap tindakan murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
terdapat dua rumusan masalah, yaitu;
1. Bagaimana tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik?
2. Bagaimana tinjauan hukum Islam terhadap tindakan murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik?
D. Kajian Pustaka
Kajian pustaka adalah deskripsi ringkas tentang kajian atau penelitian
yang sudah pernah dilakukan diseputar masalah yang akan diteliti sehingga
terlihat jelas bahwa kajian yang akan dilakukan ini tidak merupakan
pengulangan.11 Dalam penulisan skripsi ini belum diketemukan penulisan
yang mengkaji secara spesifik tentang tinjauan hukum Islam terhadap
tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten
Gresik.
Setelah menelusuri melalui kajian pustaka penulis menemukan sebuah
Skripsi yang ditulis oleh Mohamad Shoffa dengan judul : “Tinjauaan Hukum
Islam terhadap Uang Kelebihan Penjualan Barang Jaminan di Perum
11 Tim Penyusun Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel Surabaya, Petunjuk Teknis Penulisan
8
Pegadaian Cabang Sidoarjo”, tahun 2008. Skripsi iu membahas tentang sisa
uang kelebihan hasil pelelangan barang jaminan yang tidak diambil oleh
nasabah yang ditinjau dari hukum Islam. Hasil penelitian mengemukakan
bahwa uang kelebihan itu adalah uang sewa, yang hal ini jelas mengandung
riba, karena menarik uang tambahan dari uang pokok pinjaman, maka hal ini
diharamkan dalam hukum Islam.12
Kemudian skripsi dengan judul “ Prosedur Pelelangan Barang Gadai Di
Pegadaian Syariah Cabang Blauran Kota Surabaya ( Menurt Fatwa DSN No.
25 Tahun 2002)”, tahun 2012, yang ditulis oleh Taufik Hussholeh,
menjelaskan tentang analisis prosedur pelelangan barang gadai berupa emas
pada pegadaian syariah cabang blauran, dengan memandang dari segi hukum
menurut Fatwa DSN no.25 Tahun 2002. Hasil penelitian ini menjelaskan
prosedur pelelangan barang gadai ini sudah sesuai dengan butir-butir fatwa
DSN no.25 tahun 2002. Sehingga prosedur pelelangan barang gadai ini
praktik dan syarat-syaratnya sesuai dengan fatwa DSN no.25 Tahun 2002.13
Selanjunya skripsi yang dibahas oleh Lina Ayu Hapsari dengan judul
“Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Barang di Desa Bebekan
Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo”, tahun 2014. Skripsi ini menjelaskan
bahwa tidak ada kejelasan waktu dalam sistem gadai dan murtahin meminta
bunga dari pinjamannya. Juga memanfaatkan barang jaminan tanpa
12 Mohamad Shoffa, “Tinjauaan Hukum Islam terhadap uang kelebihan penjualan barang jaminan
diPerum Pegdaian cabang Jombang”, (Skripsi--Surabaya, IAIN Sunan Ampel), 2008.
13 Taufik Hussholeh, “Prosedur Pelelangan barang gadai di Pegadaian Syariah cabang Blauran
9
memperdulikan kerusakan barang jaminan tersebut. Hasil penelitian ini
menjelaskan bahwa sistem gadai yang terjadi di Desa Bebekan Kecamatan
Taman Kabupaten Sidoarjo, tidak sesuai dengan hukum Islam. Praktik gadai
tersebut dilihat dari ma’qud alaih (barang yang digadaikan), tidak sesuai
dengan hukum Islam, yaitu barang gadai tersebut berupa hutang. Seperti
halnya dalam syarat gadai bahwa barang gadai tidak boleh ada tanggungan
dengan pihak lain atau milik sempurna.14
Selanjutnya skripsi yang dibahas oleh Heny Rahmawati dengan judul
“Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Ganda Kendaraan Bermotor Di
Kelurahan Pagesangan Kecamatan Jambangan Kabupaten Surabaya”, tahun
2014. Skripsi ini menjelaskan praktik peralihan pinjaman dari murtahin I ke
murtahin II dengan nilai yang lebih besar. Hasil penelitian ini menurut hukum
Islam terhadap gadai ganda yang terjadi di kelurahan Pagesangan kecamatan
Jambangan Surabaya hukumnya haram karena tidak sesuai dengan syarat dan
rukun gadai dalam hukum Islam.15
Di sini jelas terdapat perbedaan pada skripsi yang dikaji oleh penulis.
Dalam skripsi yang ditulis oleh Mohamad Shoffa, murtahin telah
memberitahukan sisa kelebihan uang hasil penjualan barang jaminan tetapi
rahin tidak mengambil uang sisa tersebut. Sedangkan dalam skripsi ini
murtahin tidak memberitahukan dan mengambil sisa uang hasil penjualan
14 Lina Ayu Hapsari, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Sistem Gadai Barang di Desa Bebekan
Kecamatan Taman Kabupaten Sidoarjo”, (Skripsi--Surabaya, UIN Sunan Ampel), 2014.
15 Heny Rahmawati, “Perspektif Hukum Islam Terhadap Gadai Ganda Kendaraan Bermotor Di
10
barang jaminan. Selain itu, perbedaanya juga terlihat dari cara transaksi dan
tempat pelaksanaanya yang berbeda yaitu di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik yang dilakukan oleh perorangan. Jadi jelas, skripsi
ini berbeda dengan skripsi yang lain.
E. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan permasalahan yang telah diuraikan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
2. Untuk mengetahui tinjauan hukum Islam terhadap tindakan murtahin di
Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
F. Kegunaan Penelitian
Dari kegunaan penelitian ini secara garis besar dapat berupa:
1. Kegunaan teoritis, diharapkan berguna bagi pengembangan ilmu
pengetahuan atau menambah wawasan pengetahuan yang berkaitan
dengan tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik.
2. Secara praktis, diharapkan ada gerakan perubahan dalam tindakan
murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik
11
G. Definisi Operasional
Berapa istilah kunci yang ada dalam judul skripsi ini, untuk
memperjelas dan memperoleh gambaran kongkrit tentang arah dan tujuan
yang terkandung dalam konsep penelitian ini:
1. Hukum Islam : Ketentuan hukum yang bersumber dari al-Quran
dan Hadits serta pendapat fuqaha’ yang
mengatur tentang gadai atau jaminan yang
dijadikan pedoman bagi kehidupan masyarakat.
2. Tindakan murtahin : Perilaku murtahin (orang yang menerima barang
gadai) yang tidak memberikan sisa hasil
penjualan barang jaminan kepada ra>hin.
H. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan suatu konsep tentang metode
penelitian, yaitu metode ilmiah yang tersusun secara sistematis yang
diharapkan dapat menjelaskan dan menjawab suatu masalah yang dihadapi.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini meliputi:
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian skripsi ini adalah penelitian lapangan (field
research) yakni penelitian yang dilakukan dalam kehidupan sebenarnya16
terhadap tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik yang bermaksud mempelajari secara intensif tentang
12
latar belakang keadaan sekarang dan interaksi suatu sosial, individu,
kelompok, lembaga, dan masyarakat.17
Selain itu, jenis penelitian dalam skripsi ini juga menggunakan
penelitian pustaka (library research) yaitu penelitian yang dilakukan
berdasarkan karya tertulis yang merupakan sumber literatur yang
berhubungan dengan penelitian skripsi ini.
2. Sumber data
Sumber data adalah subyek darimana data itu diperoleh atau
darimana sumbernya. Sumber data yang penyusun gunakan untuk
dijadikan pedoman dalam literatur ini agar bisa mendapatkan data yang
akurat terkait tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik. Meliputi data primer dan sekunder yaitu:
a. Sumber data primer
Sumber data primer adalah sumber data yang langsung dari
sumbernya. Dalam penelitian ini sumbernya adalah data utama yang
berkaitan langsung dengan obyek yang dikaji, yaitu tindakan
murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten
Gresik. Sumber data primer dalam penelitian ini, meliputi:
1) Bapak Hidayat adalah sebagai murtahin atau pihak yang
menerima barang gadai di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
17 Husaini Usman dan Purnomo Setiady Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
13
2) Bapak Ropi’i adalah sebagai ra>hin yaitu pihak yang
menggadaikan barang di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.\
3) Bapak Rohim adalah sebagai ra>hin 1
4) Bapak Taufik adalah sebagai ra>hin 2
5) Bapak Kasbun adalah sebagai ra>hin 3
b. Sumber sekunder
Data sekunder adalah data yang memberi penjelasan terhadap
data primer. Data tersebut sebagian besar merupakan literatur yang
terkait dengan konsep hukum Islam dan data ini bersumber dari
buku-buku dan catatan atau dokumen tentang apa saja yang berhubungan
dengan masalah dalam penelitian.
1) Ghufron A. Masadi, Fiqh Muamalah Kontekstual.
2) Syafe’i Rahmat, Fiqih Muamalah
3) Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah
4) Antonio Muhammad Syafi’i, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik
5) Suparman Usman, Hukum Islam ( Asas-asas dan Pengantar Studi
Hukum Islam Dalam Tata Hukum Indonesia )
6) Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah
7) Dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini.
3. Teknik pengumpulan data
Untuk mendapatkan data yang valid penulis menggunakan beberapa
14
a. Observasi
Observasi adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan
dengan cara terjun langsung dan mengamati (melihat, mendengar,
dan merasakan secara langsung).18 Teknik ini digunakan untuk
mengamati tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
b. Teknik interview (wawancara)
Metode interview atau wawancara adalah suatu percakapan
yang diarahkan pada suatu masalah tertentu, ini merupakan proses
tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadap-hadapan
secara fisik.19 Adapun wawancara yang dilakukan terkait dengan
penelitian ini adalah:
1) Ra>hin (orang yang menggadaikan barang).
2) Murtahin (orang yang menerima barang gadaian) .
c. Dokumentasi
Untuk melengkapi data penelitian ini, peneliti akan melakukan
pengumpulan data dengan metode dokumenter, yakni teknik mencari
data berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti,
notulen rapat, agenda dan sebagainya.20 Dalam studi ini penyusun
mencari dan mempelajari beberapa dokumentasi yang berkaitan
dengan penelitian ini.
18Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Cetakan ke-12, (Bandung:
Alfabeta, 2012), 145.
15
4. Teknik pengolahan data
Pengolahan data adalah suatu proses dalam memperoleh data
ringkasan atau angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau
rumus-rumus tertentu.21 Tahapan penelitian ini meliputi:
a. Organizing
Organizing adalah langkah menyusun secara sistematis data
yang diperoleh dalam kerangka paparan yang telah direncanakan
sebelumnya untuk memperoleh bukti-bukti dan gambaran secara jelas
tentang tindakan murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik.
b. Editing
Editing adalah pengecekan atau pengkoreksian data yang
dikumpulkan.22 Adapun teknik pengolahan data editing dalam
penelitian ini yaitu memeriksa kembali secara cermat dari segi
kelengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, kesesuaian satu sama
lain, relevansi dan keseragaman data tentang tindakan murtahin di
Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
c. Analizing
Analizing adalah lanjutan terhadap klasifikasi data, sehingga
diperoleh kesimpulan mengenai tindakan murtahin di Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik.
21 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya, (Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2002), 89.
16
5. Teknik analisis data
Analisis data, yaitu proses penyederhanaan data ke bentuk yang
lebih mudah dibaca dan interpretasikan.23 Penyusun melakukan analisis
data pada saat pengumpulan data berlangsung dan setelah selesai
pengumpulan data dan dalam periode tertentu analisis data tersebut
menggunakan metode kualitatif, yakni mencari nilai-nilai dari suatu
variabel yang tidak dapat diutarakan dalam bentuk angka-angka, tetapi
dalam bentuk kategori-kategori.24
Setelah penulis melakukan penelitian dengan mengumpulkan data
secara sistematis dan factual, kemudian penulis menganalisisnya dengan
menggunakan metode diskriptif analisis yaitu mengumpulkan data
tentang tindakan Murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Bejeng
Kabupaten Gresik yang disertai analisis untuk diambil kesimpulan.
Penulis mengguanakan metode ini karena ingin memaparkan, menjelaskan
dan menguraikan data yang terkumpul kemudian disusun dan dianalisis
untuk diambil kesimpulan.
Pola pikir yang dipakai adalah induktif. Induktif merupakan pola
pikir yang digunakan untuk mengemukakan fakta-fakta atau kenyataan
dari hasil penelitian yang ada, kemudian diteliti sehingga ditemukan
pemahaman mengenai tindakan murtahin di Desa Karangankidul
23 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai (Jakarta: LP3ES, 1989), 263. 24 Koenjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat,Cet ke 9 (Jakarta: Pengadilan Tinggi.
17
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik, kemudian dianalisis secara umum
menurut hukum Islam.
I. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah dalam pembahasan dan pemahaman terhadap
permasalahan yang diangkat, penyusun membagi menjadi 5 bab yang terdiri
dari sub bab yang saling berhubungan dan disusun secara sistematis sesuai
tata urutan dari pembahasan masalah yang ada.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang memuat tentang latar belakang
masalah, rumusan masalah, kajian pustaka, tujuan penelitian, kegunaan hasil
penelitian, definisi operasional, metode penelitian, dan sistematika
pembahasan.
Bab kedua, merupakan landasan teori yang berkaitan dengan studi ini,
yaitu tentang konsep gadai (rahn) yang terdiri atas pengertian gadai, dasar
hukum, rukun dan syarat-syarat gadai, hak dan kewajiban (ra>hin dan
murtahin), status barang gadai, penyelesaian gadai dan pemeliharaan barang
gadai.
Bab ketiga, Gambaran Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng
Kabupaten Gresik , dengan menjelaskan sedikit tentang keadaan umum lokasi
penelitian di Desa Karangankidul, baik letak goegrafis, keadaan sosial
keagamaan, pendidikan dan ekonomi. Serta gambaran tentang tindakan,
18
Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Uraian ini sekaligus menjawab
rumusan masalah yang pertama.
Bab empat, merupakan pembahasan analisa tentang praktik tindakan
murtahin di Desa Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik yang
meliputi analisis akad gadai, tindakan murtahin, pemeliharaan barang gadai
dan respon ra>hin atas tindakan murtahin. Uraian ini sekaligus menjawab
rumusan masalah kedua.
Bab kelima, bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan
19 BAB II
GADAI DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Gadai
Dalam fiqih muamalah, perjanjian gadai disebut rahn. Istilah rahn
secara bahasa berarti “menahan”, maksudnya adalah “menahan sesuatu untuk
dijadikan sebagai jaminan utang”.1 Pengertian al-rahn dalam bahasa arab
adalah al-thubu>t wa al-dawa>m, yang berarti “tetap”dan “kekal”, seperti dalam
kalimat ma>un ra>hin, yang berarti “air yang tenang”.2 Menurut bahasanya rahn
adalah “tetap” dan “lestari”, seperti juga dinamai al-habsu, artinya
“penahanan”. Seperti dikatakan ni’mat al-rahi<nah, artinya karunia yang tetap
dan lestari.3 Allah SWT berfirman dalam al-Qur’an surat al-Mudatsir ayat 38:
Artinya:“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”(QS. al-Mudaththir : 38)4
Secara etimologis, kata al-rahn berarti tetap, kekal, dan jaminan. Akad
al-rahn dalam istilah hukm positif disebut dengan barang jaminan, agunan,
dan rungguhan. Dalam Islam al-rahn merupakan sarana saling tolong
menolong bagi umat Islam tanpa adanya imbalan jasa. Sebagaimana terdapat
dalam firman Allah SWT surat al-Ma>idah ayat 5:
1 Burhanuddin S, Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam, (Yogyakarta: The Syariah
Institute, 2009), 175.
2 Wahbah Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatahu, jilid 4, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2002), 4204. 3 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Bandung : PT. Al-Ma’arif, Cet. I, 1987),150.
4 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: CV Penerbit Diponegoro,
20
Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran dan bertakwalah kamu kepada Allah SWT, sesungguhnya Allah SWT amat berat siksa-Nya”. (QS. al-Ma>idah : 2)5
Secara terminologis, ada beberapa definisi al-rahn yang dikemukakan
para ulama fiqih. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai berikut :
ٍنْيَدِب ًةَقْ يِثَو ٍَْْع ُلْعَج
ِِئاَفَو ِرُذَعَ ت َدِْع َاهِْم ِى ْوَ تْسَي
Artinya : “Menjadikan suatu barang yang bisa dijual sebagai jaminan utang dipenuhi dari harganya, bila yang berutang tidak sanggup membayar utanganya”.6
Ulama Hanabillah mendefinisikan sebagai berikut:
ُْي ىِذلاَو ُلاَما
وَتْسَيِل ِنْيدلااِب ًةَقْ يِثَو ُلَع
ِى
ْسا َرذَعَ ت ْنَأ َََِِ ْنِم
َُلَوُ ْن ِِ ُُؤِفْيَ ت
Artinya : “Suatu benda yang dijadikan kepercayaan suatu utang, untuk dipenuhi dari harganya. Bila yang yang berutang tidak sanggup membayar utangnya”.7
Sedangkan, ulama Malikiyah mendefinisikan sebagai berikut :
َوَ ت ِِكِل اَم ْنِمُدَخْؤُ ي ٌلوَمَتُم ٌئْيَش
ا
ٍنْيَد ِى ِِب اًقُ ث
ٍمِزَا
Artinya : “Sesuatu yang bernilai harta (mutamawwal) yang diambil dari pemiliknya untuk dijadikan pengikat atas utang yang tetap (mengikat)”.8
Dari beberapa definisi di atas, dapat dikemukakan bahwa pada
dasarnya tidak ada perbedaan prinsip diantara para ulama dalam mengartikan
gadai atau rahn. Definisi tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa gadai
atau rahn adalah menjamin hutang dengan barang yang memungkinkan
hutang itu bisa dibayar dengannya, atau dari hasil penjualannya.Rahn pada
5 Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemahnya..., 156.
21
prinsipnya merupakan suatu kegiatan utang piutang yang murni berfungsi
sosial, sehingga dalam buku fiqih muamalah akad ini merupakan akad
tabarru’ atau akad derma yang tidak mewajibkan imbalan.
Gadai menurut Undang-Undang Hukum Perdata pasal 1150, adalah
“suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak,
yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh orang lain atas
namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada yang berpiutang itu
untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan dari
pada orang-orang berpiutang lainnya dengan pengecualian biaya untuk
melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus
didahulukan”.9 Pemilik barang yang berhutang disebut ra>hin (yang
menggadaikan) dan yang menghutangkan, yang mengambil barang tersebut
serta mengikatnya di bawah kekuasaannya disebut murtahin. Serta untuk
sebutan barang yang digadaikan adalah rahn (gadaian).10
B. Dasar Hukum Gadai
Dasar hukum yang menjadi landasan gadai syariah adalah ayat ayat
al-Quran, Hadis Nabi Muhammad SAW, ijma’ ulama, dan fatwa MUI. Adapun
dasar hukum tentang kebolehan gadai sebagai berikut:
1. Dasar hukum al-Quran
Allah berfirman dalam surat al-Baqarah ayat 283:
22
Artinya: “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”.11 (QS. al-Baqarah: 283)
2. Dasar hukum al-sunnah
a. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim,
يِدُهَ ي ْنِم ًاماَعَط ىَرَ تْشِا ملَسَو ِْيَلَع للا ىلَص ِِلا نَأ اَهْ َع للا يِضَر َةَشِئَاع ْنَع
ٍدْيِدَح ْنِم اًعْرِد َََُرَو ٍلَجَأ ََِإ
Artinya:“Dari Aisyah r.a. menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah membeli makanan dari seorang Yahudi, dan dia menggadaikan baju besinya”12. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
b. Dalam riwayat al-Bukhari, Nabi SAW bersabda:
ْنَع
ِِ لا َنََر ْدَقلَو : َلاَق َُْع للا يِضَر ٍسَنَأ
ِةَْ يِدَمْل اِب َُل اًعْرِدملَسَو ِْيَلَع ُللا ىلَص
ًرْ يِعَش ُِْم َدَخَأَو يدُهَ ي َدِْع
ِِلَْْا
Artinya: “Anas r.a. berkata, Rasulallah menggadaikan baju besinya kepada seorang yahudi di madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau”.13 (HR. al-Bukhari)
c. Dalam riwayat Syafi’i dan Daruqutni, Nabi SAW bersabda:
ُنْرلا ُقَلْغُ يَا : َلاَق ْمّلَسَو ِْيَلَع ُللا ىلَص ِِِلا ِنَعَةرْيَرُ ِِأ ْنَع
ىِذلا ِِبِح اَص ْنِم
ِْيَلَعَو ُُمََغ َُل َََُر
ُُمْرِغ
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya..., 71.
23
Artinya: “Abu Hurairah r.a berkata bahwasannya Rasulullah SAW bersabda, barang yang digadaikan itu tidak boleh ditutup dari pemilik yang menggadaikannya. Baginya adalah keuntungan dan tanggung jawabnyalah bila ada kerugian”.14 (HR. Syafi’i dan
Daruqutni)
Dari landasan al-quran di atas telah menjelaskan bahwa gadai
pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk dari konsep muamalah
dimana sikap saling tolong-menolog dan sikap amanah sangat
ditonjolkan. Dan dari hadis di atas dapat dipahami juga bahwa
bermuamalah dibenarkan juga dengan non muslim dengan syarat
harus ada jaminan sebagai pegangan, sehingga tidak ada
kekhawatiran bagi yang memberi piutang.15
3. Dasar hukum landasan ijma’
Para ulama sepakat bahwa gadai (rahn) itu boleh. Mereka tidak
pernah mempertentangkan kebolehan dari aspek landasan hukumnya.
Jumhur berpendapat bahwa disyari’atkan pada waktu tidak bepergian atau
waktu bepergian, berargumentasi kepada perbuatan Rasulah SAW,
terhadap orang Yahudi di Madinah. Adapun dalam masa perjalanan
(penjelasan tentang dhahir ayat yang menjelaskan gadai dalam perjalanan,
safar) mereka (jumhur) berpendapat bahwa apa yang dijelaskan pada ayat
di atas, merupakan suatu kebiasaan atau kelaziman pada saat itu, dimana
pada umumnya gadai (rahn) dilakukan pada waktu bepergian.16 Berbeda
14 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktik, (Jakarta: Gemainsani, 2001),
129.
15 Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam (Fiqih Muamalah), (Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada, 2003), 255.
24
dengan paham yang dianut oleh madzhab Zahiri, Mujahid dan al-Dahhak
yang berpendapat, bahwa gadai (rahn) hanya diperbolehkan dalam
keadaan bepergian saja. Mereka berpegang kepada dhahir ayat (Q.S.
al-Baqarah 283) yang menjelaskan tentang gadai dalam bepergian (safar).
Padahal hadis yang dapat dijadikan argumentasi tentang kebolehan gadai
yang dilakukan tidak dalam bepergian (safar).17
4. Dasar hukum fatwa DSN
Berdasarkan fatwa DSN mempunyai ketentuan dalam gadai
diantaranya; (a) murtahin (penerima barang) mempunyai hak untuk
menahan marhun (barang) sampai semua hutang ra>hin (yang menyerahkan
barang) dilunasi; (b) marhu>n dan manfaatnya tetap menjadi milik ra>hin.
Pada prinsipnya, marhu>n tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin kecuali
seizin ra>hin, dengan tidak mengurangi nilai marhu>n dan pemanfaatannya
itu sekedar pengganti biaya pemeliharaan dan perawatannya; (c)
pemeliharaan dan penyimpanan marhu>n pada dasarnya menjadi kewajiban
ra>hin, namun dapat dilakukan juga oleh murtahin, sedangkan biaya dan
pemeliharaan penyimpanan tetap menjadi kewajiban ra>hin; (d) besar biaya
pemeliharaan dan penyimpanan marhu>n tidak boleh ditentukan
berdasarkan jumlah pinjaman; (e) penjualan marhu>n mempunyai
ketentuan diantaranya adalah :
a. Apabila jatuh tempo, murtahin harus memperingatkan ra>hin untuk
segera melunasi hutangnya.
17 Ali. Hasan, Masail Fihiyah Zakat, Pajak Asuransi Dan Lembaga Keuangan,(Jakarta: PT. Raja
25
b. Apabila ra>hin tetap tidak dapat melunasi hutangnya, maka marhun
dijual paksa/dieksekusi melalui lelang sesuai syariah.
c. Hasil penjualan marhun digunakan untuk melunasi hutang, biaya
pemeliharaan dan penyimpanan yang belum dibayar serta biaya
penujualan.
d. Kelebihan hasil penjualan menjadi milik ra>hin dan kekurangannya
menjadi kewajiban ra>hin.
C. Rukun dan Syarat Gadai
1. Rukun gadai
Rukun merupakan sesuatu yang mesti ada dalam sebuah akad atau
transaksi. Tanpa rukun akad tidak akan sah. Rukun mutlak adanya dalam
sebuah akad, layaknya sebuah transaksi gadai dapat dikatakan sah apabila
memenuhi rukun dan syaratnya. Rukun gadai menurut ulama Hanafiyah
adalah, ija>b dari ra>hin dan qabu>l dari murtahin. Disamping itu, menurut
mereka untuk sempurna dan mengikatnya akad al-rahn ini, maka
diperlukan al-qabd (penguasaan barang). Adapun kedua orang yang
melakukan akad, harta yang dijadikan agunan dan hutang, menurut Ulama
Hanafiyah termasuk syarat-syarat al-rahn, bukan rukunnya.18 Sementara
rukun gadai menurut jumhur Ulama ada empat, yaitu:19
a. Sighat (ija>b dan qabu>l), seperti seseorang berkata “aku gadaikan
laptopku ini dengan harga Rp 1500.000” dan yang satunya lagi
18 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, 254.
26
menjawab. “Aku terima gadai laptopmu seharga Rp 1500.000” atau
bisa dengan kata-kata lain.
b. Pihak yang mengadakan akad (aqid), yaitu orang yang menggadaikan
(ra>hin) dan yang menerima gadai (murtahin ).
c. Barang yang digadaikan (marhu>n).
d. Hutang (marhun bih).
2. Syarat-syarat gadai
Ulama fiqih mengemukakan syarat-syarat gadai sesuai dengan
rukun gadai itu sendiri. Syarat-syarat gadai yang dimaksud, terdiri atas:
orang yang berakad (a>qid), sighat (ija>b qobu>l), hutang (marhu>n bih),
barang yang digadaikan (marhu>n). Keempat syarat dimaksud, diuraikan
sebagai berikut:
a. Orang yang berakad (a>qid )
Syarat yang terkait dengan aqid (orang yang berakad) adalah
ahli tasharruf, yaitu mampu membelanjakan harta dan dalam hal ini
memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan gadai.20
Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria al-ahliyah.
Menurut ulama syafi’iyah ahliyah adalah orang yang telah sah untuk
jual beli, yakni berakal dan mumayyiz, tetapi tidak disyaratkan harus
baligh. Dengan demikian, anak kecil yang sudah mumayyiz, dan
orang yang bodoh berdasarkan izin dari walinya dibolehkan
27
melakukan rahn.21
Selain itu, ia harus cakap bertindak hukum. Kecakapan
bertindak hukum, menurut jumhur ulama adalah orang yang telah
baligh dan berakal. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah, kedua
belah pihak yang berakad tidak disyaratkan baligh, tetapi cukup
berakal saja. Oleh sebab itu, menurut mereka anak kecil yang
mumayyiz boleh melakukan akad rahn dengan syarat akad rahn yang
dilakukan anak kecil yang sudah mumayyiz ini mendapat persetujuan
dari walinya.22
b. Sighat (ijab qabu>l)
Pernyataan ija>b qabu>l yang terdapat dalam gadai tidak boleh
digantungkan (mu’allaq) dengan syarat tertentu yang bertentangan
dengan hakikat rahn.23 Rahn mempunyai sisi pelepasan barang dan
pemberian hutang seperti halnya akad jual beli, sehingga tidak boleh
diikat dengan syarat tertentu atau dengan suatu waktu tertentu atau
dengan waktu di masa depan.24 Menurut ulama Hanafiyah
mensyaratkan bahwa akad gadai tidak boleh disandarkan kepada
waktu mendatang. Misalnya, orang yang menggadaikan hartanya
mempersyaratkan tenggang waktu utang habis dan utang belum
terbayar, sehingga pihak penggadai dapat diperpanjang satu bulan
21 Rahmat Syafe’i, Fiqih Muamalah,( Bandung : Pustaka Setia, 2001), 162. 22 Sayyid Sa>biq, Fiqih Sunnah..., 150.
23 Burhanuddin S., Fiqh Muamalah Pengantar Kuliah Ekonomi Islam..., 173.
24 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer, ( Bogor : Ghalia Indonesia, 2012),
28
tenggang wakut pembyarannya.
c. Hutang ( marhu>n bih )
Syarat hutang (marhu>n bih ) menurut ulama Hanafiyah adalah:25
(1) hutang itu hendaklah barang yang wajib diserahkan; (2) utang itu
memungkinkan dapat dibayarkan; (3) utang itu jelas dan tertentu.
Sedangkan menurut ulama Hanabilah dan Shafi’iyah memberikan
tiga syarat bagi marhu>n bih:26 (a) berupa hutang yang tetap dan dapat
dimanfaatkan; (b) hutang harus lazim pada waktu akad; (c) hutang
harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.
d. Barang yang digadaikan ( marhu>n )
Menurut ulama Syafi’iyah, gadai bisa sah dengan dipenuhi tiga
syarat. Pertama, harus berupa barang, karena utang tidak bisa
digadaikan. Kedua, penetapan pemilikan penggadai atas barang yang
digadaikan tidak terhalang. Ketiga, barang yang digadaikan bisa
dijual manakala tiba masa pelunasan hutang gadai.27
Menurut para Fuqaha mengenai syarat marhun (barang
yang di jadikan agunan) adalah: (1) barang jaminan (agunan) itu
boleh dijual dan nilainya seimbang dengan utang; (2) barang jaminan
itu bernilai harta dan boleh dimanfaatkan, karenanya khamr tidak
boleh dijadikan barang jaminan, disebabkan khamr tidak bernilai
25 Rahmat Syafei, Fiqih Muamalah...,163.
26 Muhammad Asy-Syarbini, Mugni al-Muhtaj, juz II, 121.
29
harta dan tidak bermanfaat dalam Islam; (3) barang jaminan itu jelas
dan tertentu; (4) agunan itu milik sah orang yang berutang.
Sedangkan menurut ulama Hanafiyah mensyaratkan marhu>n
antara lain28; (a) dapat diperjualbelikan; (b) bermanfaat; (c) jelas; (d)
milik ra>hin; (e) bisa diserahkan; (f) tidak bersatu dengan harta lain;
(g) dipegang (dikuasai) oleh ra>hin; (h) harta yang tetap atau dapat
dipindahkan.
D. Hak dan Kewajiban Murtahin dan Ra>hin
1. Hak murtahin
a. Penerima gadai berhak menjual barang gadai apabila ra>hin tidak
dapat membayar hutangnya pada saat jatuh tempo. Hasil penjualan
diambil sebagian untuk melunasi hutangnya ra>hin dan sisanya
dikembalikan kepada ra>hin.
b. Murtahin mempunyai hak menahan barang gadai selama pinjaman
belum dilunasi oleh ra>hin.
c. Murtahin berhak mendapatkan biaya yang telah dikeluarkan untuk
menjaga keselamatan barang gadai.
2. Kewajiban Murtahin
a. Murtahin tidak boleh menggunakan barang gadai tanpa seizin ra>hin
atau untuk kepentingan pribadinya.
b. Murtahin bertanggung jawab atas hilang atau rusaknya barang gadai
30
bila itu disebabkan oleh kelalaiannya.
c. Murtahin berkewajiban memberi informasi kepada ra>hin sebelum dan
sesudah penjualan barang gadai.
d. Murtahin wajib memberikan sisa hasil penjualan barang gadai kepada
ra>hin.
e. Murtahin berkewajiban merawat atau menjaga barang gadai
3. Hak Ra>hin
a. Ra>hin berhak mendapatkan kembali barang yang digadaikannya
sesudah ia melunasi pinjaman hutangnya.
b. Ra>hin berhak meminta ganti rugi atas kerusakan atau hilangnya
barang yang digadaikan.
c. Ra>hin berhak menerima sisa hasil penjualan barang gadai sesudah
dikurangi biaya pinjaman dan biaya lainnya.
d. Ra>hin berhak meminta kembali barang gadai jika diketahui adanya
penyalahgunaan.
4. Kewajiban ra>hin
a. Ra>hin berkewajiban melunasi barang gadai yang telah diterimanya
dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, termasuk biaya lain
yang disepakati.
b. Ra>hin berkewajiban merelakan penjualan barang gadai bila dalam
waktu yang telah ditetapkan tidak mampu melunasi pinjamannya.29
29 Burhanuddin, Aspek Hukum Lembaga Keuangan Syariah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010),
31
E. Status Barang Gadai
Status barang gadai terbentuk saat terjadinya akad atau kontrak utang
piutang yang dibarengi dengan penyerahan jaminan. Misalnya, ketika
seseorang penjual meminta pembeli menyerahkan jaminan seharga tertentu
untuk pembelian suatu barang dengan kredit. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa gadai itu berkaitan dengan keseluruhan hak barang yang digadaikan
dan bagian lainnya.30 Ini berarti jika seseorang menggadaikan sejumlah barang
tertentu, kemudian dia melunasi sebagiannya maka keseluruhan barang gadai
masih tetap berada ditangan penerima gadai sampai orang yang menggadaikan
melunasi seluruh hutangnya.
Ulama fiqih menyatakan bahwa rahn baru dianggap sempurna apabila
barang yang dijadikan itu secara hukum sudah berada di tangan penerima
gadai (murtahin/kreditor), dan uang yang dibutuhkan telah diterima oleh
pemberi gadai (rahin/debitur).31 Sebagian ahli fiqih berpendapat bahwa barang
yang masih tetap berada di tangan penerima gadai (murtahin) hanya
sebagiannya saja, yaitu sebesar hak yang belum dilunasi.
F. Penyelesaian Gadai
Untuk menjaga supaya tidak ada pihak yang dirugikan, dalam gadai
tidak boleh diadakan syarat-syarat,32 misalkan ketika akad gadai diucapkan,
“Apabila ra>hin tidak mampu melunasi hutangnya hingga waktu yang telah
30 Ismail Nawawi, Fiqih Muamalah Klasik dan Kontemporer...., 201.
32
ditentukan, maka barang gadai menjadi milik murtahin sebagai pembayaran
hutang”, sebab ada kemungkinan pada waktu pembayaran yang telah
ditentukan untuk membayar hutang harga barang gadai lebih kecil daripada
hutang ra>hin yang harus dibayar, yang mengakibatkan ruginya pihak
murtahin. Sebaliknya ada kemungkinan juga harga barang gadai pada waktu
pembayaran yang telah ditentukan akan lebih besar jumlahnya dari pada
hutang yang harus dibayar, yang akibatnya akan merugikan pihak ra>hin.
Apabila pada waktu pembayaran yang telah ditentukan ra>hin belum
membayar hutangnya, hak mutahin adalah menjual barang gadai pembelinya
boleh murtahin sendiri atau yang lain, tetapi dengan harga yang umum berlaku
pada waktu itu dari penjualan barang gadai tersebut. Hak murtahin hanyalah
sebesar piutangnya, dengan akibat apabila harga penjualan barang gadai lebih
besar dari jumlah hutang, sisanya dikembalikan kepada ra>hin, apabila
sebaliknya, harga penjualan barang gadai kurang dari jumlah hutang, ra>hin
masih menanggung pembayaran kekurangannya.33
Menurut ketentuan syariat bahwa apabila masa yang telah diperjanjikan
untuk pembayaran hutang telah terlewati, maka orang yang berhutang
berkewajiban untuk membayar hutangnya.34 Jika masanya telah habis maka
ra>hin berkewajiban melunasi hutangnya. Apabila ra>hin tidak melunasi
hutangnya dan tidak mengizinkan barangnya dijual maka, hakim berhak
memaksanya untuk melunasi atau menjual barang yang dijadikan jaminan.
Jika hakim telah menjual barang tersebut kemudian terdapat kelebihan, maka
33 Ibid.
33
kelebihan itu milik ra>hin, dan jika masih belum tertutup, maka ra>hin
berkewajiban menutu sisanya.35
Bila ra>hin tidak mampu membayar hutangnya hingga pada waktu yang
telah ditentukan, kemudian ra>hin menjual barang jaminan dengan tidak
memberikan kelebihan harga barang jaminan kepada ra>hin, maka di sini telah
berlaku riba.36 Karena kelebihan harga barang jaminan tersebut milik ra>hin
jika kelebihan harga itu tidak diberikan kepada ra>hin berarti kelebihan
tersebut termasuk tambahan dari hutang ra>hin dan setiap hutang yang menarik
manfaat adalah riba. Rasulullah SAW bersabda:
لُك
ٍضْرَ ق
رَج
ًةَعَف َم
َوُهَ ف
ًابِر
ُ
اور
ثراحا
نب
ِأ
ةماسأ
َ
Artinya:“Setiap utang yang menarik manfaat adalah termasuk riba” (HR. Harits bin Abi Usamah).37
Pegadaian Syari’ah tidak menekankan keuntungan yang dihasilkan dari
hasil pemberian bunga dari barang yang digadaikan, melainkan memang yang
menjadi hak dari pihak pegadaian untuk menarik keuntungan dari pihak
penggadai. Meski tanpa menarik keuntungan dai unsur bunga, pegadaian
syari’ah tetap memperoleh keuntungan seperti yang di atur oleh Dewan
Syariah Nasional, yaitu memberlakukan biaya pemeliharaan dari barang yang
digadaikan. Biaya itu dihitung dari nilai barang yang digadaikan, bukan dari
jumlah pinjaman yang dipinjam penggadai.38
Adapun akad gadai berakhir dengan hal-hal berikut ini : (a) barang
35 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah jilid13..., 144.
36 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 111. 37 Ibid.,108.
38 My blog “Pegadaian Syari’ah”, dalam
34
jaminan diserahkan kepada pemiliknya; (b) dipaksa menjual tersebut; (c) ra>hin
melunasi sisa sewa hutangnya; (d) pembebasan hutang; (e) pembatalan oleh
murtahin, meskipun tidak ada persetujuan dari pihak ra>hin; (f) Ra>hin
meninggal dunia; (g) barang jaminan tersebut rusak; (h) barang jaminan
tersebut dijadikan hadiah, sedekah, dan lain-lain atas seizin pemiliknya.39
G. Pemeliharaan Barang Gadai
Ada perbedaan pendapat para ulama dalam hal pemeliharaaan barang
gadai. Ulama Shafi’iyah dan Hanabilah berpendapat biaya pemeliharaan
barang gadai menjadi tanggung jawab pemberi gadai karena barang tersebut
merupakan miliknya dan akan kembali kepadanya. Sedangkan para ulama
Hanafiyah berpendapat bahwa biaya pemeliharaan barang gadai menjadi
tanggungan penerima gadai yang mana dalam posisinya sebagai penerima
amanat. Berdasarkan pendapat di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai adalah hak ra>hin dalam kedudukannya sebagai
pemilik yang sah. Akan tetapi jika harta atau barang jaminan tersebut menjadi
kekuasaan murtahin dan di izinkan oleh maka biaya pemeliharaan jatuh pada
murtahin.40
Sedangkan untuk mengganti biaya tersebut nantinya, apabila murtahin
mendapat izin dari ra>hin maka murtahin dapat memungut hasil marhu>n sesuai
dan senilai dengan yang telah ia keluarkan. Tetapi apabila ra>hin tidak
39 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah..., 178.
40 Ijuslearn “Konsep Gadai Syariah (Ar-Rahn) Dalam Perspektif Ekonomi Islam Dan
35
mengizinkannya maka biaya pemeliharaan menjadi utang ra>hin kepada
murtahin.41 Resiko atas kerusakan menurut para ulama Syafi’iah dan
Hanabilah berpendapat bahwa murtahin tidak bertanggung jawab atas
rusaknya barang gadai jika tidak disengaja. Sedangkan ulama Hanafiah
berpendapat bahwa hal tersebut menjadi tanggungan murtahin sebesar harga
barang minimum, dihitung mulai waktu diserahkannya barang gadai kepada
murtahin sampai barang tersebut rusak. sebagaimana yang dinyatakan hadits
Nabi Muhammad SAW
َلاَق َُْع ُها يِضَر َةَرْ يَرُ َِِأ ْنَع
اَذِإ ِِتَقَفَ ِب ُبَكْرُ ي ُنْ رلا َملَسَو ِْيَلَع ُها ىلَص ِها ُلوُسَر َلاَق
ُةَقَف لا ُبَرْشَيَو ُبَكْرَ ي يَذلا ىَلَعَو اًنوُْرَم ناَكاَذِإ ِِتَقَفَ ِب ُبَرشُيِردلا َُبَلَوًان وُْرَم َنَاك
Artinya:“Abi Hurairah r.a. berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda, “apabila ada ternak digadaikan, punggungnya boleh dinaiki(oleh orang yang menerimah gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Apabila ternak itu digadaikan, air susunya yang deras boleh diminum (oleh yang menerimah gadai) karena ia telah mengeluarkan biaya (menjaganya). Kepada yang naik dan minum, ia harus mengeluarkan biaya perawatannya”.42(HR.
al-Bukhari)
Pembayaran atau pelunasan hutang gadai apabila sudah samapai jatuh
tempo dan ra>hin belum membayarkan kembali utangnya maka murtahin boleh
memaksa ra>hin untuk menjual barangnya. Kemudian hasilnya digunakan
untuk menebus utang tersebut sedangkan jika terdapat sisa atas penjualan
barang tersebut, maka akan dikembalikan kepada rahin. Prosedur pelelangan
gadai jika ada persyaratan akan menjual barang gadai pada saat jatuh tempo,
maka ini diperbolehkan dengan ketentuan:43 (1) murtahin harus mengetahui
41 Muhammad Sholikul Hadi. Pegadaian Syariah, (Jakarta : Salemba Diniyah, 2003),17. 42 Aplikasi Hadis: Lidwah Pustaka, dalam kitab Bukhori nomer 2329.
36
terlebih dahulu keadaan ra>hin; (2) dapat memeperpanjang tenggang waktu
pemabayaran;(3) kalau keadaan mendesak murtahin boleh memindahkan
barang gadai kepada murtahin lain dengan izin ra>hin; (4) apabila ketentuan di
atas tidak terpenuhi, maka murtahin boleh menjual barang gadai dan
37 BAB III
TINDAKAN MURTAHIN DI DESA KARANGANKIDUL KECAMATAN BENJENG KABUPATEN GRESIK
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dalam kehidupan sosial bermasyarakat, keadaan suatu wilayah sangat
berpengaruh dan menentukan watak serta sifat dari masyarakat yang
menempatinya, sehingga karakteristik masyarakat itu akan berbeda antara
wilayah satu dengan wilayah lainnya. Seperti yang terjadi pada masyarakat
Desa Karangankidul, yang mana diantaranya adalah faktor geografis, faktor
sosial, keagamaan, faktor ekonomi, faktor pendidikan dan faktor budaya.
1. Letak Geografis
Desa Karangankidul adalah sebuah desa yang sangat asri dan masih
alami karena letaknya jauh dari kota sehingga desa ini jauh dari polusi.
Desa Karangan adalah salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Benjeng Kabupaten Gresik. Adapun daerah-daerah yang membatasi Desa
Karangankidul Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik adalah sebagai
berikut:1
a. Sebelah Utara : berbatasan dengan Desa Munggugebang Kecamatan
Benjeng
b. Sebelah Selatan : berbatasan dengan Desa Kalipadang Kecamatan
Benjeng
1
38
c. Sebelah Barat : berbatasan dengan Desa Pacuh Kecamatan
Balongpanggang
d. Sebelah Timur : berbatasan dengan Desa Kalipadang Kecamatan
Benjeng.
Desa Karangankidul mempunyai luas wilayah sebesar kurang lebih
267,249 ha, yang terdiri dari: tanah pemukiman umum, tanah sawah,
tanah ladang/tegalan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut:2
Tabel 3.1
Luas Tanah dan Penggunaannya
No Pengguna Luas (ha)
1 Pemukiman 21,995 ha
2 Sawah 142,050 ha
3 Ladang/tegalan 50,051ha
4 Perikanan/kolam -
5 Hutan -
6 Lain-lain 53,153
Sumber: Profil Desa Karangankidul tahun 2014
Adapun jumlah penduduk di Desa Karangankidul Benjeng Gresik
[image:45.595.138.498.263.541.2]pada tahun 2014 mencapai 2653 jiwa dengan rincian sebagai berikut:3
Tabel 3.2
Jumlah Penduduk Desa Karangankidul
No Uraian Keterangan
1 Laki-laki 1239 orang
2 Perempuan 1414 orang
3 Kepala keluarga 751 KK
Sumber: Profil Desa Karangankidul tahun 2014
2
Ibid.
3
[image:45.595.115.515.615.726.2]39
2. Kondisi sosial agama
Berdasarkan catatan yang terdapat di kantor kepala Desa Karangan
dari jumlah penduduknya, 100% penduduknya beragama Islam. Hal ini
menunjukan bahwa agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk
sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat, sehingga corak dan
tradisi budaya yang dilatarbelakangi ajaran Islam juga sangat menonjol
dalam kegiatan kemasyarakatan, seperti:
a. Kegiatan tahlil dan yasinan yang dilakukan oleh ibu-ibu dan
bapak-bapak setiap malam Jum’at di tempat yang berbeda dan bergiliran di
rumah-rumah penduduk atau Musholla yang ada di sana.
b. Kegiatan diba’iyah yang dilakukan oleh anak-anak remaja putri
setiap malam selasa di tempat Musholla secara bergiliran.4
Desa Karangankidul yang mayoritas beragama Islam juga
mempunyai fasilitas keagamaan yang cukup lengkap. Hal ini terbukti
dengan dibangunnya masjid dan musholla.5
Tabel 3.3 Tempat Sarana Ibadah
NO Sarana Ibadah Jumlah
1 Masjid 3
2 Musholla 5
3 Gereja -
4 Wihara -
5 Puri -
Sumber: Profil Desa Karangankidul tahun 2014
4
Nurlan, Wawancara, Gresik 03 Juni 2015.
5
[image:46.595.125.516.221.726.2]40
3. Kondisi Pendidikan
Masalah pendidikan tidak bisa lepas dari sarana dan prasarana
lembaga pendidikan yang ada, karena sarana tersebut merupakan tolak
ukur bagi perkembangan pendidikan anak didik generasi yang akan
datang. Masyarakat Desa Karangankidul rata-rata mengenyam pendidikan
sampai SD, tetapi ada juga sebagian yang mengenyam sampai perguruan
tinggi. Adapun rincian tentang sarana pendidikan dan jumlah penduduk
[image:47.595.137.516.259.671.2]menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel berikut:6
Tabel 3.4
Jumlah Sarana Pendidikan di Desa Karangankidul
No Keterangan Jumlah
Sekolah
Jumlah
Guru
Jumlah
Murid
1 TK 1 - -
2 SD 2 - -
3 MI - - -
4 SMP - - -
5 SMA - - -
6 Madrasah Tsanawiyah - - -
7 Madrasah Aliyah - - -
8 Akademi/InstitutSekolah
tinggi/Universitas
- - -
Sumber: Profil Desa Karangankidul 2014
6
41
Sedangkan data penduduk menurut tingkat pendidikannya adalah
[image:48.595.134.512.203.548.2]sebagai berikut:7
Tabel 3.5
Data Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan
No Keterangan Jumlah
1 Tidak Tamat SD 253
2 SD 1818
3 SLTP 274
4 SLTA 195
5 Sarjana 38
Sumber: Profil Desa Karangankidul 2014
4. Kondisi sosial ekonomi
Pada dasarnya penduduk pedesaan mempunyai kegiatan yang
berbeda-beda untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam usaha
memenuhi kebutuhan sehari-hari, masyarakat Desa Karangankidul terdiri
dari berbagai macam sektor pekerjaan yang disesuaikan dengan bakat dan
keahlian masing-masing. Ada yang bertani, pedagang, pengusaha, buruh,
pegawai negeri, bidan, guru dan lainnya. Akan tetapi menurut hasil
penelitian yang ada, mayoritas penduduk di Desa Karangankidul rata-rata
bekerja disektor pertanian, buruh dan swasta sebagaimana dapat dilihat
pada tabel berikut ini:8
7
Ibid.
8
42