• Tidak ada hasil yang ditemukan

GERAKAN DAN GAGASAN FEMINISME ISLAM R.A. KARTINI (1891-1904).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "GERAKAN DAN GAGASAN FEMINISME ISLAM R.A. KARTINI (1891-1904)."

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

GAGASAN DAN GERAKAN FEMINISME ISLAM R.A. KARTINI (1891-1904)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Dalam Program Strata Satu (S-1)

Pada Jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam (SKI)

Oleh:

ROISATUL HIKMAH NIM: A02212098

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL

(2)
(3)
(4)
(5)

BSTRAK

Skripsi ini berjudul “Gagasan dan Gerakan Feminisme Islam R.A. Kartini

(1891-1904)”. Fokus penelitian yang dibahas dalam skripsi adalah (1) Bagaimana

kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa sebelum masa R.A Kartini? (2) Bagaimana gerakan feminisme R.A Kartini terhadap kaum perempuan? (3)Bagaimana gerakan feminisme R.A Kartini terhadap kaum perempuan?.

Penelitian ini menggunakan sebuah metode Sejarah dan Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan historis. Dalam kerangka teoritik yang digunakan berasal dari wacana gender, yaitu perspektif liberal(kesetaraan gender) dan teori Fatimah Mernissi tentang feminisme Islam.

Hasil penelitian ini menyatakan bahwa (1) Kedudukan seorang perempuan Jawa sebelum adanya R.A Kartini sangat memprihatinkan bahwa seorang perempuan tidak mempunyai hak apapun, mereka terkungkung karena adanya sebuah adat yang membelenggu mereka, perempuan pada zaman itu tidaksama sekali mengenyam sebuah pendidikan. (2) Pemikiran feminisme Kartini dipengaruhi oleh wacana Islam dapat di buktikan dalam sebuah surat-suratnya bahwa ia melakukan sebuah dobrakan tentang relasi perempuan, tetap dengan cara Islam yang menyesuaikan fitrah seorang perempuan. (3) Pemikiran dan gerakan Kartini yang ingin menjunjung derajat seorang perempuan melalui sebuah pembaharuan pemikiran melalui sebuah pendidikan. Dia merupakan tokoh feminisme liberal yang ingin mendobrak sebuah pemikiran perempuan Jawa tentang adat istiadat yang dapat membelenggu mereka dalam sebuah kebodohan. Kartini juga memberikan banyak sebuah pencerahan tentang hak perempuan sesuai dengan peraturan Islam yang sebenarnya melalui surat-suratnya. Seperti yang dikatakan oleh Fatimah Mernissi tentang relasi antara lelaki dan perempuan di dalam Islam. Pada dasarnya kemitrasejahtraan antara laki-laki dan perempuan

(6)

x ABSTRACT

The title of tesis is "The idea and the Movement of Islamic Feminism RA Kartini (1891-1904) ". The focus of the research discussed in the thesis are (1) How is the position of women in the Java community before the RA Kartini? (2) How feminism RA Kartini against women? (3) How does the feminist movement RA Kartini against women?.

This study uses a method of History and the approach used in this thesis is the historical approach. In the theoretical framework used comes from gender discourse, namely the liberal perspective (gender equality) and Fatima Mernissi theories about Islamic feminism.

(7)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perbincangan tentang feminisme pada umumnya merupakan

perbincangan tentang bagaimana pola relasi laki-laki dan perempuan dalam

masyarakat, serta bagaimana hak, status, dan kedudukan perempuan disektor

domestik dan publik. Feminisme memiliki sifat keperempuanan dalam

sejarah, gerakan feminisme itu lahir dari awal kebangkitan perempuan untuk

menggeser status sebagai makhluk kedua setelah lelaki di dunia ini. Gerakan

feminisme berkembang pada abad pertengahan Eropa, yaitu pada abad 16-19

M.1

Pada periode awal ini perempuan dianggap tidak rasional yang selalu

menggunakan perasaan sebagai tolak ukur dan laki-laki hanya untuk

melindungi saja, tidak harus bekerja mencari nafkah. Sedangkan yang harus

mencari nafkah hanya perempuan saja. Keadaan ini membuat beberapa filsuf

Eropa memulai mengkritik terhadap kebijakan-kebijakan gereja yang

diskriminatif. Isu-isu kesetaraanpun mulai merebak dan menjadi perdebatan

di Eropa.2

Pada saat itu perempuan juga secara diam-diam memulai

gerakan-gerakan kecil untuk menentang dominasi laki-laki. Namun tuntutan atau

kesetaraan derajat antara perempuan dan laki-laki bisa mereka wujudkan pada

1

Siti Muslikhati, Feminisme dan Pemberdayaan Perempuan dalam Timbangan Islam (Jakarta: Gema Insani, 2004), 19.

2

(8)

21

awal abad ke 17 di Inggris. Tokoh-tokoh macam Susan B. Anthony dan

Elisabeth Cady Staton melopori gerakan-gerakan kebangkitan perempuan

melalui surat kabar the revolution.3

Dalam perspektif feminis, spesifikasi peran manusia laki-laki dan

perempuan dalam masyarakat dipandang timpang tidak egaliter. Artinya

konstruksi sosial selama ini dianggap sangat berpihak kepada lelaki dan pada

saat yang sama sangat menyudutkan kaum hawa menurut kaum feminis,

hegemoni laki-laki atas perempuan ini memperoleh legitimasi dari nilai-nilai

sosial, agama, hukum negara, dan sebagainya serta tersosialisasikan secara

turun-temurun dari generasi ke generasi.4

Para kaum feminis dalam pemikirannya mempunyai kesadaran yang

sama tentang adanya ketidakadilan terhadap perempuan di dalam keluarga

maupun masyarakat, tetapi mereka berbeda pendapat dalam menganalisis

sebab-sebab terjadinya ketidakadilan serta target dan bentuk perjuangan

mereka.5 Pandangan feminisme terhadap perbedaan peran jender laki-laki dan perempuan secara umum dapat dikatagorikan kepada tiga kelompok seperti:

1. Feminisme Liberal

Seorang perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki,

ciri dari gerakan ini tidak mengusulkan perubahan struktur secara

3

Dadang S. Anshori dan Engkos Kosasih, Membincangkan Feminisme (Bandung:Pustaka Budaya, 1997), 125.

4

Sri Suhandjati, Pemahaman Islam dan tantangan Keadilan Jender (Yogyakarta: Gama Media, 2002), 161.

5

(9)

22

fundamental, melainkan memasukan wanita kedalam struktur yang ada

berdasarkan prinsip kesetaraan dengan laki-laki.

Feminisme Liberal mengatakan bahwa subordinasi perempuan

karena adanya setting budaya dan hukum yang membatasi akses dan

aktualisasi perempuan di sektor publik, karena itu segala hukum dan

budaya yang berasaskan patriarki harus diganti dengan yang

berkesetaraan gender.

2. Feminisme Radikal

Feminis radikal lebih menekankan kebalikan dari feminis liberal,

jika sebelumnya kaum feminis mengusulkan kesetaraan kaum hawa

dengan kaum adam maka radikal tidak demikian, hal ini dapat dilihat dari

usulan bahwasannya hak antara laki-laki dan hak perempuan harus

dibedakan. Misalnya wanita dan laki-laki mengkonseptualkan kekuasaan

secara berbeda, bila laki-laki lebih pada mendominasi dan mengontrol

orang lain maka perempuan lebih tertuju dalam berbagi dan merawat

keakuasaannya.

Feminis ini menyatakan bahwasannya adanya keteransingan yang

dialami kaum perempuan karena diciptakan oleh unsur politik maka

transformasi personal lebih kepada aksi-aksi radikal.

3. Feminisme sosialis dan Marxix

Konsep dasar dari feminisme marxis dan sosialis didasarkan pada

teori Marx, yang memandang bahwa manusia baru bermakna apabila

(10)

23

bahwa manusia lewat berproduksi menciptakan masyarakat yang

kemudian menciptakan atau membentuk mereka. Dari sudut pandang

teori ekonomi dipandang bahwa sistem kapitalisme hanya mendasarkan

hubungan pertukaran hubngan dan pertukaran kekuasaan yang nantinya

mengharapkan surplus value dari hubungan employer. Sehingga manusia

tidak memiliki kebebasan untuk memilih sebab mereka sebagai pekerja

yang tertindas.6

Dalam pemikiran feminisme yang bermunculan di Eropa

mempengaruhi salah satu pemikiran pejuang Kartini yang ingin menyuarakan

gerakan perempuan. Dalam pemikiranya menurut paham feminisme Kartini

masuk dalam gelombang liberalisme, gerakan perempuan di Indonesia mulai

menyeruak kepermukaan setelah terbit buku kompilasi surat-menyurat Kartini

dengan teman-teman Belandanya. Dalam surat-suratnya, Kartini bercerita

tentang kegetiran dan nestapa yang dialaminya sebagai anak wanita seorang

priyayi, Ia selalu ditempatkan sebagai makhluk kelas dua setelah saudara

laki-lakinya. Perannya dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.

Dalam surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang

kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Pejuang

Kartini juga menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat

kungkungan adat. Sebagian besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan

khususnya menyangkut budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat

kemajuan perempuan. Dia ingin perempuan memiliki kebebasan menuntut

6

(11)

24

ilmu dan belajar. Pandangan-pandangan kritis lainnya yang diungkap oleh

Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik tentang agamanya. Ia

mempertanyakan mengapa Al-Qur’an wajib dihafalkan dan dilafalkan tanpa

diwajibkan untuk dipahami.7

Dari surat-surat Kartini terhadap sahabatnya dapat dianalisis, awal

pemikiran Kartini merupakan suatu bentuk feminis liberal, dimana feminis

liberal menganggap bahwa seorang perempuan terjadi karena adanya setting

hukum dan budaya sehingga harus adanya rekonstruksi hukum dan budaya.8 Feminis liberal juga mengiginkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan

dalam keluarga baik secara perlakuan maupun sopan santun. Terlihat dari isi

surat Kartini yang menandakan bahwa Kartini seorang feminis liberal.9

Perjuangan Kartini dilatar belakangi kehidupan para perempuan pada

zamannya yang pada umumnya hanya menjalankan kehidupan sebagai ibu

rumah tangga. Apa yang dikerjakan ibu rumah tangga pada waktu itu juga

terbatas pada tugas menjalankan fungsi sebagai istri, mengasuh anak,

mengurus dapur, dan pekerjaan rumah tangga lainnya. Kartini adalah potret

tragis perempuan di awal abad ke-20, riwayat hidupnya menggambarkan

penderitaan perempuan Jawa yang terpasung dalam tembok tradisi dan adat

istiadat.

Kartini ingin mendobrak tradisi yang menghambat kemajuan kaumnya

menuju masa depan yang lebih cerdas, bebas, cemerlang dan merdeka. Untuk

itu pendidikan mutlak diperlukan demi mengangkat derajat perempuan dan

7

Anshori, Membincangkan Feminisme, 209.

8

Irwan Abdullah, Peran Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), 22. 9

(12)

25

martabat Indonesia sebagai bangsa. Sebab, pengajaran kepada perempuan

secara tidak langsung akan meningkatkan martabat bangsa.

R.A.Kartini sebagai seorang putri di zamanya telah menyuarakan

jeritan dan tuntutan bangsa serta agamanya. Pemandangan hidup pada awal

abad 20 merupakan produk tatanan adat dan penjajah masa belanda yang

tidak sejalan dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, menjadikan Kartini

merasa hidup dalam kegelapan yang menyeramkan apa dan bagaimana cara

kiranya Al-Qur’an merupakan cahaya terang yang melepaskan dirinya dalam

kegelapan.10

Kartini melihat para perempuan pada waktu itu tidak memiliki hak

dan kebebasan yang sama dengan kaum lelaki untuk mengenyam pendidikan

tinggi. Dalam kondisi seperti itu Kartini juga melihat adanya

kesenjangan intelektual diantara suami istri dalam hal pendidikan. Padahal

untuk bisa membentuk keluarga yang baik, terutama dalam mendidik anak,

selain diperlukan seorang ayah yang berpendidikan tinggi, juga diperlukan

seorang ibu yang juga berpendidikan tinggi.11

Dari latar belakang sejarah perjuangan Kartini sudah jelaslah bahwa

arah perjuangan Kartini adalah memajukan kaum perempuan yang dimulai

dari pendidikan. Kartini tidak pernah menganggap pekerjaan sebagai ibu

rumah tangga sebagai pekerjaan yang lebih rendah daripada pekerjaan yang

dilakukan oleh kaum lelaki. Dibalik tembok kebangsawanan, Kartini

mengungkapkan kegelisahan intelektualnya dan penderitaan ribuan

10

Krisna Bayu Adji, Istri-istri Raja Jawa (Yogyakarta: Araska, 2013), 111.

11

(13)

26

perempuan yang senasib, dan yang paling menyedihkan, masyarakat

memaklumi kenyataan ini.

Nilai dan tradisi telah membelenggu perempuan, dalam posisi tidak

berdaya, tergantung dalam kesewenang-wenangan kaum pria. Diskriminasi

perempuan yang disaksikan Kartini adalah sistem budaya yang tidak

egaliter.12 Realitas sosio-kultural pada saat itu mencermikan kekentalan usur-unsur feodalisme dan kolonialisme, yang sangat mengesankan keyataan

sejarah ini adalah jalan keluar yang diambil oleh Kartini. Realitas

keterbelakangan dan kebodohaan kaum perempuan menjadi sebab utama

terjadinya perlakuan diskriminatif ini.

Maka masalah keterlibatan perempuan hendaknya diletakkan dalam

rangka transformasi bangsa. Selaras dengan tuntutan zaman dan perubahan

yang sedang terjadi, perjuangan feminis perempuan merupakan satu upaya

untuk meningkatkan kualitas kaum perempuan itu sendiri.

Dengan demikian, gerakan feminisme di Indonesia merupakan upaya

memperkuat kepercayaan diri kaum perempuan dalam mengaktualisasi

peranan tanggung jawabnya, ditengah masyarakat yang sedang berubah ini,

khususnya di masa yang akan datang. Implikasinya, peran-peran sosial

kemasyarakatan wanita merupakan pilihan yang terbuka dan tidak

bergantung.

Sudah saatnya kita sadar, bahwa tidak ada satu alasan yang membuat

kaum muslim harus ikut-ikutan mengadopsi dan mempropagandakan bahkan

12

(14)

27

memperjuangkan ide feminisme. Hal ini disebabkan Islam telah memiliki

pandangan yang unik tentang keberadaan laki-laki dan perempuan, sekaligus

mengenai hubungan keduanya serta bentuk kehidupan masyarakat yang

hendak dibangun di atas landasan akidah dan aturan-aturannya.

Islam memandang bahwa Allah Swt telah menciptakan manusia

dengan jenis laki-laki dan perempuan dengan memberikan seperangkat

potensi yang sama pada keduanya, berupa akal yang berfungsi untuk

memahami sesuatu, serta potensi hidup (naluri dan kebutuhan jasmani) dan

cara pemenuhannya. Dan hal ini bukan karena adanya kesetaraan jender,

tetapi karena memang demikianlah aturan Allah. Akhir-akhir ini gerakan

yang memperjuangkan perubahan tersebut secara luas disebut feminisme

Islam, ada juga yang menganggap bahwa Islam menyulitkan seorang dalam

melakukan sesuatu.

Peneliti mengambil tahun 1891 sampai dengan 1904 karena ketika itu

Kartini telah pulang dari tempat pembelajarannya di Belanda, dan dia kembali

ke Indonesia untuk menjalani sebuah pingitan, dari sebuah kejadian itu

Kartini mulai merasa dirinya mendapatkan diskriminasi ketika menjadi

seorang perempuan.

Dari tahun 1891 Kartini mulai mencoba menorehkan pemikirannya

dan dia mulai menulis surat-surat tentang kehidupannya yang begitu

terkungkung akibat adat-istiadat yang membelenggu perempuan pribumi.

Adanya rasa ingin tahu yang tinggi tentang feminisme, penulis merasa

(15)

28

1891-1904. Melihat kenyatan yang ada, menjadikan masalah ini sangat

menarik untuk dikaji, bagaimana perkembangan feminisme di masa Kartini

serta feminisme dalam pandangan Islam. Karena dalam kenyataanya bahwa

Kartini sangat mempengaruhi pergerakan perempuan saat ini, ia memberikan

inspirasi pada era kemoderenan. Skripsi ini akan membahas dalam bentuk

penelitian yang berjudul “Gagasan dan Gerakan Feminisme Islam

R.A.Kartini (1891-1904)”.

B. Rumusan Masalah

Agar pembahasan dalam skripsi ini lebih terarah dan jelas pokok

permasalahannya, maka perlu adanya batasan seputar Islam dan feminisme di

era Kartini. Selanjutnya untuk memudahkan dalam penulisan proposal ini,

perlu melakukan kualifikasi bahasan dan masalah dalam satu spesifikasi

berdasarkan tingkat kebutuhan menopang dalam penyusunan tulisan ini, yaitu

dengan membuat rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Jawa sebelum masa

R.A.Kartini?

2. Bagaimana pemikiran feminisme Islam R.A.Kartini?

3. Bagaimana gerakan feminisme R.A.Kartini terhadap kaum perempuan?

C. Tujuan Penelitian

Dengan melakukan penelitian sehubungan dengan judul diatas, mempunyai

(16)

29

1. Untuk mengetahui kedudukan perempuan dalam Jawa sebelum masa

R.A.Kartini?

2. Untuk mengetahui pemikiran feminisme Islam R.A.Kartini

3. Untuk mengetahui gerakan feminisme R.A.Kartini terhadap kaum

perempuan

D. Kegunaan Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Secara akademis

Untuk memperluas ilmu pengetahuan di lingkungan Universitas

Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, khususnya untuk menambah

referensi bagi kajian kita sebagai mahasiswa, dimana penulis sangat

berharap agar penelitian skripsi ini memberikan gambaran dengan jelas

mengenai gagasan dan gerakan feminisme Islam R.A.Kartini

(1891-1904).

2. Secara praktis

Dengan skripsi ini diharapkan penulis dapat menyelesaikan skripsi,

jurusan Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab UIN Sunan

Ampel Surabaya.

E. Penelitian Terdahulu

Sebuah sejarah yang menerangkan tentang sebuah biografi R.A.

(17)

30

banyak dari sudut pandang Kartini yang menarik untuk dibahas, banyak

penelitian yang menjelaskan tentang sebuah perjuangan dan pemikiranya,

seperti yang dibahas oleh beberapa orang ini seperti:

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Muh. Aniqul wafa

dengan judul “Pergerakan dan Perjuangan R.A. Kartini dalam Dunia

Pendidikan” penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pergerakan

dan perjuangan Kartini dalam pendidikan untuk para perempuan pribumi agar

tidak tertindas dan lebih meningkatkan kualitas diri.

Selain menggambarkan perjuangan Kartini, penelitian yang dilakukan

oleh Aniqul Wafa juga menjelaskan tentang pendidikan yang dibuat oleh

Kartini di Semarang. Penelitian ini lebih menekankan seorang perempuan

yang mengeluarkan ide-ide pembaharuan melalui pendidikan agar suatu saat

bangsanya mencapai kejayaan dan kemenangan.

Penelitian yang dilakukan Widiyani Nurul Islami Hati yang berjudul

"Revalansi Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini dengan Konsep Feminisme

dalam Pendidikan Islam”. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Widiyani,

pembahasan yang di ulasnya menjelaskan tentang sebuah revelansi tentang

feminisme dalam sebuah pendidikan Kartini, bagaimana sebuah konsep

feminisme dalam pendidikan Islam yang sebenarnya, pendidikan Islam yang

tidak untuk lelaki saja, namun perempuan juga berhak untuk mendapatkan

pendidikan yang layak.

Penelitian ini lebih terfokus terhadap pendidikan dalam konsep

(18)

31

menjelaskan konsep pemikiran Kartini yang ketika itu dia merupakan tokoh

feminis.13

Penelitian ini juga dilakukan oleh Luky Asmaningsi yang berjudul

“Pemikiran dan Perjuangan R.A Kartini dalam Islam” yang menjelaskan

tentang sebuah kehidupan Kartini dan asal-usul Katini yang diusut secara

detail, Penelitian ini menjelaskan sebuah pemikiran seorang Kartini dan

perjuanganya terhadap sebuah negara.14

Jika karya-karya diatas lebih memfokuskan pada asal-usul Kartini dan

perjuangan seorang perempuan tangguh yang dilakukan oleh Kartini maka

berbeda dengan penelitian penulis yang terfokus dalam feminisme Kartini

yang lebih memperluas gambarannya dalam berbagai perjuangan yang

disangkut pautkan terhadap sebuah feminis Islamnya, tidak hanya dalam

pendidikan saja. Selain memahami perjuangannya dalam konteks feminisme

penulis juga menjelaskan feminisme dalam posisi Islam menurut telaah

surat-surat Kartini yang telah ditorehkanya.

F. Pendekatan dan Kerangka Teori

Pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini yaitu pendekatan

sosiologi yang masuk dalam konsep-konsep penerapan tentang masyarakat

pada kedudukan seorang perempuan, dan perubahan seorang wanita setelah

13

Widiyani Nurul Islami Hati, "Revalansi Pemikiran Pendidikan R.A. Kartini dengan Konsep Feminisme dalam Pendidikan Islam”, (Skripsi Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Tarbiyah, 2008).

14Luky Asmaningsi, “Pemikiran dan Perjuangan R.A. Kartini dalam Islam”, (Skripsi jurusan Ilmu

(19)

32

adanya Kartini.15 Melalui pendekatan sosiologi ini diharapkan bisa memahami gagasan dan gerakan seorang Kartini dalam pandangan

feminisme.

Dalam pendekatan ini, peneliti menggunakan teori feminisme liberal

sesuai dengan gejala yang ada pada pembahasan penulis. Teori feminis liberal

dasar pemikirannya bahwa semua manusia laki-laki dan perempuan,

diciptakan seimbang dan serasi dan semestinya tidak terjadi penindasan

antara satu dan dengan lainya.16

Feminisme liberal diinspirasi oleh prinsip-prinsip pencerahan bahwa

laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai kekhususan-kekhususan

tertentu. Teori ini berpendapat bahwa kebebasan dan keseimbangan berakar

pada rasionalitas, pada dasarnya tidak ada perbedaan antara laki-laki dan

perempuan. Oleh karena itu, dasar perjuangan mereka adalah menuntut

kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individual termasuk perempuan

atas dasar kesamaan keberadaanya sebagai makhluk rasional.

Bagi mereka pusat masalahnya adalah perbedaan antara pola-pola

tradisional dan modern. Kehidupan modern menuntut karakter manusia yang

ekspresif yaitu rasional, kompetitif, dan mampu mengubah keadaan dan

lingkunganya sementara kehidupan tradisional ditandai dengan karakter yang

sebaliknya.

Penyebab perempuan terbelakang adalah karena salah perempuan

sendiri, yaitu karena kebodohan dan sikap irasional mereka dalam berpegang

15

Dudung Abdurrahman, Metodelogi Penelitian Sejarah (Yogyakarta:Ar-Ruz Media, 2007), 5. 16

(20)

33

teguh pada nilai-nilai tradisional seperti agama, tradisi, dan budaya yang

mengungkung perempuan dalam dunia domestik yang statis tidak produktif.

Nilai-nilai tradisional inilah yang membuat mereka tidak dapat bersaing

dengan kaum laki-laki, karena potensi perempuan dibatasi dari dunia publik

yang senantiasa produktif dan dinamis.

Dalam pandangan Islam tentang feminisme Islam yang dianut oleh

perempuan muslim yaitu Fatimah Mernissi bahwa dalam pemikirannya

seputar tentang sebuah kedudukan seorang perempuan dan laki-laki.17 Dia mencoba memberontak hingga akhirnya mampu menghasilkan karya-karya

yang sanggup membuka mata dunia tentang perempuan dan Islam yang

terlupakan. Pemikiran seorang Mernissi keinginan untuk melawan semua

ketertindasan perempuan.

Tokoh feminis muslim Fatimah Mernissi dalam kajiannya yang

dikembangkan melalui beberapa tahapan: yakni melakukan

penafsiran-penafsiran al-Qur’an dan hadis, riset sejarah, kemudian memberikan tafsiran

alternatif terhadap ayat dan hadis yang dianggapnya berbau misoginis, untuk

mensejajarkan antara perempuan dan laki-laki telah melahirkan beberapa

konsep, diantaranya:

Menurut Mernissi bahwa derajat manusia dihadapan Allah adalah

sama kecuali yang membedakan adalah kesalehan dan ketakwaan manusia itu

sendiri. Begitu pula tentang kedudukan perempuan dalam Islam seharusnya

setara dan sejajar dengan laki-laki. Akan tetapi tradisi dan doktrin agama

17

(21)

34

dibuat seolah perempuan adalah makhluk yang inferior. Ironisnya yang

memposisikan perempuan seperti ini adalah kaum lelaki dalam tardisi

patriarki.

Konsep Fatimah Mernissi yang lain adalah tentang relasi antara

laki-laki dan perempuan di dalam Islam. Pada dasarnya kemitrasejajaran antara

laki-laki dan perempuan telah tercantum dalam al-Qur’an, akan tetapi tradisi

dan masyarakat Islam sendiri yang menyebabkan antara keduanya tidak

terjalin kemitraan, sehingga dalam kondisi ini perempuanlah yang selalu

dirugikan hampir dari segala lini.

Dari situ dapat dilihat dari pandangan Islam yang dianut tokoh

feminisme muslim dalam memperjuangkan seorang perempuan, sebuah

karya-karya dan pemikirannya menfokuskan pada kesetaraan perempuan dan

laki-laki. Begitu juga pula teori feminis liberal dapat disangkut pautkan

dengan fenomena Kartini yang terlihat dalam memperjuangkan hak dan

menitikberatkan pada ide yang tertera dalam surat-surat Kartini.

Fenomena yang terjadi pada kondisi perempuan saat itu dapat

dianalisis melalui teori feminis liberal dan pandangan Islam menurut pemikir

muslim yaitu Fatimah Mernissi yang dapat menjelaskan bagaimana keadaan

dan gagasan seorang Kartini tentang sebuah feminisme dan sebuah

pandangan islam tentang fenomena femisme Islam yang ada dalam pemikiran

seorang pejuang wanita R.A.Kartini.

Dari sini dapat ditarik kesimpulan bahwa ketika R.A.Kartini

(22)

35

perempuan di masa Kartini mengalami hal yang sangat tragis seperti

orang-orang pribumi tidak mendapatkan keadilan dalam pendidikan. Jadi dalam

fenomena yang terjadi bahwa perempuan masa Kartini mengalami

ketidakadilan dalam hal pendidikan, dan tradisi yang mengekang seorang

perempuan di masa itu, Kartini membuat sebuah pergerakan dan perjuangan

untuk wanita yang bisa disebut dengan feminisme dan pemikirannya dalam

Islam terhadap wanita ketika itu.

G. Metode Penelitian

Metode Penelitian ini memegang peranan penting dalam mencapai

tujuan dalam suatu penelitian. Penelitian ini merupakan penelitian sejarah

dengan metode yang dilakukan adalah metode sejarah yaitu meliputi tentang

analisis. Gagasan pada masa lampau untuk merumuskan generalisasi yang

berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan dan kebenaran sejarah.18 Langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Pemilihan topik

Dalam penelitian ini, peneliti memilih topik tentang ”Gagasan dan

Gerakan Feminisme Islam R.A.Kartini (1891-1904)” yang menjelaskan

tentang pergerakan dan perjuangan dan pandangan feminisme Islam oleh

R.A.Kartini.

2. Heuristik (pengumpulan data)

18

(23)

36

Pada tahap ini peneliti akan melakukan penelitian literatur dalam

pengumpulan sumber terhadap karya-karya ilmiah ini, terutama ada

kaitannya dengan pokok bahasan dalam skripsi ini. Proses dalam

melakukan pencarian sumber-sumber melalui data-data primer dan

sekunder. Penulis juga mendatangi badan arsip jawa timur untuk

mengumpulkan bukti-bukti agar penelitian dapat di pertanggung

jawabkan.

Beberapa sumber primer yang dapat peneliti kumpulkan:

a. Dokumen berupa surat-surat adik Kartini yang telah dibukukan.

b. Sumber primer yang dijadikan sebuah rujukan Karya R.A.Kartini “Habis

gelap terbitlah terang” berupa kumpulan surat-surat yang berisikan lebih

dari 150 pucuk surat yang dibukukan oleh Ny Abendanon.

c. Dokumen tentang foto Kartini pada masa perjuangannya

d. Dalil Al-Qur’an yang menerangkan tentang laki-laki dan perempuan (Q.S

Al-Qamar/54-59), (Q.S Al-Nisa/4-32) dll.

Sumber sekunder yang dapat mem bantu peneliti untuk meneliti

diantaranya yaitu buku-buku yang “membincangkan feminisme” dalam karya Dadang S. Anshori, Engkos Kosasih Dkk, “Pemahaman Islam dan

Tantangan Keadilan Jender” yang ditulis oleh Sri Suhandjati Sukri, dan

karya yang dibuat oleh Saparinah Sadli, Djohan Effendi dalam buku

“Muslimah Perempuan Pembaharu Keagaman Reformis”, karya Siti

Muslikhati dalam buku “Feminisme dan pemberdayaan perempuan dalam

(24)

37

Perspektif Al-Qur’an”. Karya Soemondari Soeroto “Kartini Sebuah

Biografi”, karya Elisabeth keesing “ Betapa Besar Pun Sebuah Sangkar

Hidup, Suratan dan Karya Kartini”.

3. Verifikasi (Kritik sumber)

Data diperoleh penulis berusaha melakukan kritik sumber. Pada

proses ini penulis akan memilah-milah sumber. Sumber-sumber yang telah

penulis kumpulkan merupakan sumber pencarian tentang semua yang

terkait tentang feminisme pada saat Kartini, Peneliti akan mencoba

memilah sumber sekunder dan primer yang sesuai dengan judul yang

diteliti.

4. Interpretasi (Penafsiran)

Aplikasi beberapa teori untuk menganalisis masalah. Pada langkah

ini penulis akan menggunakan teori konflik. Peneliti akan menafsirkan

fakta-fakta agar suatu peristiwa dapat direkonstruksi dengan baik, yakni

dengan jalan menyeleksi, menyusun, mengurangi tekanan, dan

menempatkan fakta dalam urutan kausal. Penulis juga akan mencoba untuk

bersikap se-objektif mungkin terhadap penyusunan penelitian ini.

5. Historiografi (Penulisan Sejarah),

Tahap ini merupakan bentuk penulisan, pemaparan atau pelaporan

hasil penelitian yang telah dilakukan sebagai penelitian sejarah yang

menekankan aspek kronologis masa lampau, menjelaskan tentang

(25)

38

Tahap ini akan menjelaskan bagaimana pandangan Islam dan Kartini

dalam sebuah konsep feminisme.

H. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam kajian ini diuraikan menjadi beberapa bab serta

sub bab untuk memudahkan dalam penulisan dan mudah untuk dipahami

secara runtut. Kerangka penulisannya tersistematika sebagai berikut:

Bab pertama pendahuluan, meliputi latar belakang yang merupakan

deskripsi singkat dari penelitian ini, rumusan masalah, tujuan penelitian,

kegunaan penelitian, pendekatan dan kerangka teoritik, penelitian terdahulu,

metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua menerangkan tentang bagaimana kedudukan perempuan

Jawa pada masa sebelum dan sesudah R.A. Kartini sehingga memunculkan

sebuah ide untuk memperjuangkan perempuan pada saat itu.

Bab ketiga menjelaskan tentang feminisme Islam dalam pandangan

Kartini, dan bagaiman kondisi perempuan pada masa Kartini yang disebut

juga feminisme yang memperjuangkan hak perempuan pada saat itu.

Bab Keempat, memberikan penjelasan Peran feminisme di Era Kartini

dan mengurai tentang pemikiran dan perjuangnnya.

Bab kelima merupakan bab terakhir sebagai bab penutup yang terdiri

(26)

20

BAB II

KEDUDUKAN PEREMPUAN SEBELUM DAN PADA MASA R.A. KARTINI

A. Kedudukan Perempuan Jawa Sebelum Kartini

Jika orang Barat ingin mengerti benar akan kedudukan hukum

perempuan dalam pergaulan hidup Indonesia di Hindia Belanda, maka

pertama-tama harus disadari adanya kenyataan, bahwa pergaulan hidup

Indonesia di Hindia Belanda memberikan gambaran yang berbeda sekali serta

mempunyai ciri yang sama sekali berbeda dari pada pergaulan hidup Barat.

Pergaulan hidup di Jawa yang berbeda itu telah mengakibatkan, bahwa

kedudukan perempuan dalam pergaulan hidup tersebut berlainan dari pada

kedudukan wanita Eropa dalam pergaulan hidup Barat.1 Kedudukan seorang perempuan pada zaman kolonial sebelum adanya tokoh perjuangan perempuan

Kartini sungguhlah begitu memprihatinkan, begitu banyak perempuan yang

buta akan pendidikan dan terkengkang karena kebijakan pihak penjajah yang

sangat membatasi pendidikan untuk perempuan.2

Kedudukan seorang perempuan ketika masa itu sebelum adanya

Kartini sangat begitu mengharuhkan terutama masyarakat pribumi yang

dibedakan dalam bidang pendidikan. Anak-anak perempuan pribumi boleh

dikatakan tidak punya kesempatan menempuh pendidikan formal saat itu.

Dikalangan pribumi, hanya anak kaum bangsawan/pamong praja yang bisa

bersekolah, itu pun biasanya hanya yang laki-laki saja.

1

Holleman, Kedudukan Hukum Wanita Indonesia dan Perkembanganya di Hindia Belanda, 9.

2Vickers, Sejarah Indonesia Modern

(27)

21

Pada tahun 1799 terjadi perubahan besar di Indonesia, yakni adanya

pergantian kekuasan dari pemerintahan VOC kepada pemerintahan Hindia

Belanda yang disebabkan VOC mengalami keruntuhan akibat dari kekosongan

kas negara dan hutang yang besar. Pemerintah Kolonial Belanda kemudian

mengangkat Gubernur Jendral yang baru untuk Indonesia yaitu Johannes Van

den Bosch yang dikenal dengan sistem kebijakan Tanam Paksa

(cultuurstelsel), kebijakan tersebut dianggap dapat medatangkan pemasukan

yang besar bagi pemeritahan Hindia Belanda.3

Dengan adanya program Tanam Paksa yang diciptakan oleh

pemerintah Hindia Belanda telah memaksa pemerintah untuk memberikan

pendidikan kepada orang-orang bumiputra. Pada dasarnya sistem Tanam

Paksa merupakan sistem eksploitasi dimana setiap penduduk diwajibkan

menanam tanaman untuk komoditi ekspor serta harus mempekerjakan

sejumlah besar orang bumiputra sebagai pegawai rendahan yang murah guna

menjaga agar perkebunan pemerintah berjalan lancar. Pegawai rendahan yang

dimaksud sedapat mungkin dipilih dari anak-anak kaum ningrat yang telah

memiliki kekuasaan tradisional untuk menjamin keberhasilan kekuasaan.

Van Den Bosch sebagai pencipta Tanam Paksa ketika menjadi

gubernur Jendral mulai dapat merasakan bahwa, tanpa bantuan penduduk

bumiputra yang terdidik baik untuk administarasi pemerintahan maupun

pekerja bawahan, pembangunan ekonomi di Hindia Belanda tidak akan

3

(28)

22

berhasil. pendirian sekolah bagi anak bumiputra meskipun pada awalnya

hanya terbatas untuk anak-anak kaum ningrat.4

Sistem pendidikan bagi penduduk Indonesia mengalami perkembangan

yang lebih pesat baru tampak selama zaman Liberal. Di mana pemerintahan

Hindia Belanda pada tahun 1870 menerapkan sistem politik liberal yang

membawa pengaruh dalam komposisi masyarakat Jawa, juga membawa

pengaruh dalam situasi dan kondisi ekonomi bagi masyarakat Jawa.5

Pada waktu itu selain mengusahakan sekolah-sekolah bagi laki-laki

dulu mengusahakan pendidikan bagi kaum perempuan. Karena kaum

perempuan masih terasa sulit untuk dapat mengenyam pendidikan yang setara

dengan laki-laki. Bagi perempuan, situasinya benar-benar berbeda, dimana

dikemukakan pendidikan yang belum merata pada kaum wanita Jawa.

Disebutkan bahwa pendidikan para ”gadis Jawa” hanya memikirkan anak

-anak perempuan dari kalangan bangsawan atau priyayi bukannya gadis-gadis

miskin di desa atau di kampung, yang bekerja di sawah sejak subuh hingga

senja dan hanya memiliki sedikit waktu untuk menikmati indahnya

pendidikan.6

Salah satu faktor penghambat lainnya adalah dimana tidak meratanya

pendidikan bagi perempuan Jawa ketika banyak sekolah-sekolah yang

mayoritas peserta didiknya anak laki-laki yang lebih besar jumlahnya dari

pada anak perempuan. Hal ini disebabkan keberatan orang tua Jawa jika anak

4

Idrus, Wanita Dulu Sekarang dan Esok, 45. 5

Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 43.

6

(29)

23

perempuan mereka satu kelas dengan anak laki-laki. Sehingga semakin sulit

bagi wanita Jawa untuk dapat menikmati pendidikan.7

Masa penjajahan orang asing yang datang ke Indonesia begitu banyak

peraturan yang mengekang warga Indonesia sehingga menciptakan sebuah

klas-klas tertentu, salah satu dari peraturan bahwa seorang yang terpandang

yang menjabat sebagai pemimpin harus menikahi seorang yang berdarah

ningrat, dari sini dapat disimpulkan ada kelas-kelas tertentu yang mempunyai

keistimewaan, sedangkan para kaum pribumi yang tak mempunyai kekuasaan

hanya dapat menerima apa yang di tentukan oleh pihak penjajah.8

Ketika itu ibu dari seorang Kartini yang dari keluarga biasa di nikahi

seorang pemimpin, dalam peraturan awal telah tertera bahwa harus menikah

dengan orang yang mempunyai derajat lebih tinggi, dan secara tidak langsung

ayah Kartini harus menikah lagi dengan orang yang sebanding dengan dia,

dinilai dengan kekuasaan dan kekayaan, dan akhirnya dampak yang tragis

kembali lagi kepada perempuan yang akhirnya di poligami.

Mengenai kedudukan sosial kaum perempuan Indonesia pada masa

kolonial, ternyata sangat memprihatinkan. Mereka dianggap sebagi kaum yang

lemah. Tidak mengherankan jika dalam status sosial masyarakat feodal,

kedudukan perempuan berada di bawah kaum laki-laki. Rendahnya status

sosial perempuan tersebut diperburuk oleh adat, khususnya yang menyangkut

budaya pingitan yang menutup ruang gerak mereka. Perlakuan lainnya adalah

poligami yang dapat menyudutkan kedudukan kaum perempuan. Apalagi

7

Taruna, Ciri Budaya Manusia Jawa, 34.

8

(30)

24

kalau poligami itu dipaksakan (kawin paksa) untuk dijadikan selir dan

perkawinan muda. Poligami pada waktu itu tidak hanya dijadikan istri ke-2, 3,

atau 4, melainkan lebih dari itu. Ketika Indonesia memasuki masa penjajahan,

kedudukan perempuan Indonesia sampai akhir abad ke-19 belum membawa

perubahan berarti. Bahkan, kebijakan kolonial juga seolah membedakan antara

kedudukan perempuan dan laki-laki.9

Dalam konstruk budaya Jawa peranan perempuan hanya berkisar pada

tiga kawasan yaitu di sumur (mencuci dan bersih-bersih), di dapur (memasak)

dan di kasur (melayani suami). Atau dengan perkataan lain peranan

perempuan adalah macak, masak dan manak. Lebih jauh gambaran perempuan

Jawa adalah sebagai konco wingking, yaitu sebagai pembantu yang melayani

suami untuk urusan belakang. Karena peranannya yang marjinal tersebut maka

perempuan tidak perlu mendapatkan pendidikan yang tinggi.10

Keadaan perempuan Indonesia, khususnya di Jawa sebelum adanya

Kartini bahwa hampir tidak ada atau sedikit sekali gadis-gadis yang pergi ke

sekolah, Semua kebebasan yang dimiliki gadis-gadis hilang lenyap pada usia

menjelang kawin, yaitu pada usia sepuluh atau dua belas tahun. Ketika itu

Perempuan sangat terkekang dalam adat budaya Jawa yang harus di anut, dari

situ adat budaya Jawa memunculkan sedemikian kuat sebuah ketidakadilan

gender yang berdampak pada perempuan seolah-olah perempuan tidak

9

Vickers, Sejarah Indonesia Modern , 65.

10

(31)

25

mempunyai peran penting dan hanya bisa melakukan kegiatan yang sesuai

dengan peraturan budaya Jawa.11

Semakin luasnya kekuasaan kolonial di Indonesia maka untuk

mempertahankan dan menjalankan struktur dan tugasnya, pemerintah kolonial

memanfaatkan potensi manusia Indonesia. Kebutuhan akan tenaga kerja

manusia yang profesional, setidaknya tenaga kerja yang bisa membaca dan

menulis semakin dibutuhkan. Keadaan tersebut semakin diperkuat

keberadaannya setelah adanya tuntutan perbaikan nasib bangsa, terutama

dalam bidang pendidikan dan wawasan bangsa Indonesia dari golongan

humanis, akhirnya mendorong pemerintah kolonial untuk mengadakan

pendidikan bagi kaum pribumi.12

Pelaksanaan politik pendidikan oleh pemerintah kolonial pada awalnya

bertujuan untuk menyiapkan individu yang bisa membaca dan menulis,

sehingga nantinya bisa dipekerjakan pada perkebunan-perkebunan atau

perusahaan-perusahaan industri. Tenaga kerja yang bisa membaca dan menulis

ini biasanya ditempatkan sebagai mandor yang mengawasi para pekerja atau

buruh lainnya. Meskipun kebijakan seperti itu para penjajah hanya ingin

mengambil keuntungan dan masyarakat Indonesia dianggap sebagai budak

mereka.

Seorang perempuan yang semakin terjajah ketika masa itu hanya dapat

di arahkan sebagai buruh oleh penjajah, karena tidak mendapatkan pendidikan

11

Chodijah, Rintihan Kartini, 57.

12

(32)

26

yang layak dan ketika masa itu masyarakat pribumi memang masih di kelabui

oleh tradisi-tradisi yang ada di tempat tinggalnya.

kaum perempuan Indonesia dibelenggu dengan aturan-aturan tradisi

dan adat yang cenderung membatasi peran mereka dalam kehidupan

masyarakat. Kaum perempuan Indonesia lebih banyak hanya berperan sebagai

ibu rumah tangga dan sebagai pelayan suami di rumah. Kebebasan

perempuanpun sangat terbatas, mulai dari tutur kata, gerak gerik, bahkan

sampai dengan pemikiran pun turut dibatasi dengan tidak mengijinkan seorang

wanita untuk duduk di bangku sekolah.13 Dunia mereka hanyalah sebatas tembok rumah. Masih dengan masa yang dahulu, dimana seorang perempuan

juga selalu berada dibawah ketidakadilan bahkan hampir tidak diakui

keberadaannya. Hal ini semacam diskriminasi gender antara seorang wanita

dan seorang pria.

Perempuan pada waktu itu tidak mendapatkan hak untuk mengenyam

pendidikan. Pendidikan yang mereka peroleh hanya terbatas pada usaha untuk

mempersiapkan diri untuk menjadi seorang ibu. Kaum perempuan Indonesia

juga tidak memiliki kebebasan untuk menentukan masa depannya sendiri.

Peran wanita sangat terbatas bahkan terpinggirkan. Hanya sekedar sebagai ibu

rumah tangga, melayani suami bahkan dikalangan ningrat terkenal dengan

tradisi “pingit”.14

Budaya poligami, pingitan, perjodohan dan berbagai perlakuan tidak

adil lainnya dialami oleh mereka. Sistem adat yang syarat dengan ideologi

13

Adji, Istri-istri Raja Jawa, 124.

14

(33)

27

patriarki membuat perempuan Jawa menjadi kaum yang tertindas. Di

Indonesia terdapat 3 sistem adat kekerabatan yakni: sistem matrilineal, sistem

patrilineal dan sistem bilineal. Semua sistem kekerabatan itu bersintesis

dengan Islam dan kemudia memproduksi hukum untuk mengatur perempuan

dalam perkawinan. Ketiga sistem adat itu sama-sama menempatkan

perempuan sebagai “penjaga rumah”, tetapi tidak berarti mempunyai

pengambilan keputusan atas properti, yakni harta kekayaan, termasuk anak,

yang memberi status social sebuah keluarga.15

Terdapat dua permasalahan yang cukup krusial bagi kaum perempuan.

Pertama, berhubungan dengan berbagai soal di seputar perkawinan dan yang

kedua berkenaan dengan tidak adanya hak untuk mengenyam pendidikan.

Titik krusial dari urusan perkawinan tersebut adalah poligami dan hak

perempuan yang tersingkir jauh dari pengambilan keputusan untuk kawin,

cerai dan pewarisan. Terdapat asumsi bahwa jika perempuan bersekolah maka

usia perkawinannya dapat ditunda dan sekaligus mereka tahu dimana

kedudukannya dalam hukum perkawinan.16 Problem itulah yang mengawali pertumbuhan organisasi perempuan pada awal abad ke-20 pada saat itu.

Sejak dulu laki-laki adalah kaum yang diproritaskan daripada kaum

wanita karena kaum laki-laki dianggap memiliki kemampuan berpikir yang

lebih baik dan dianggap lebih layak melakukan pekerjaan yang membutuhkan

pemikiran. Sedangkan perempuan hanya dianggap sebagai pelengkap

kehidupan semata, perempuan hanya dianggap sebagai budak yang harus

15

Stuers, Sejarah Perempuan Indonesia Gerakan dan Pencapaianya, 97.

16

(34)

28

menurut kata suami dan diam di dapur tanpa didengar aspirasinya,

pernyataannya maupun ide-idenya.

Sehingga menyebabkan mereka harus terkurung dan terkucilkan dari

dunia luar dan menerima apa yang diperintahkan kepada mereka. Perempuan

juga harus rela menyia-nyiakan masa sekolah mereka untuk memenuhi kodrat

mereka sebagai seorang perempuan yang diartikan oleh masyarakat dulu

sebagai budak suami yaitu seorang wanita yang harus menuruti setiap

perkataan suami tanpa kecuali. Mereka harus rela diam di dapur untuk

membantu ibu mereka tanpa mengetahui bagaimana cara membaca dan

menulis yang dipelajari oleh kaum laki-laki. Mereka tidak mengetahui

bagaimanakah keadaan dunia luar yang akan menunggu mereka dan

permasalahan-permasalahan yang mungkin saja dapat terpecahkan oleh

ide-ide wanita yang cerdas dan dianggap sebelah mata oleh kaum lelaki ini.17 Dari sini bahwa ketika kondisi perempuan yang memprihatinkan

membutuhkan figur seseorang yang dapat mendobrak dialah Raden Ajeng

Kartini yang sontak menggegerkan pemerintah kolonial Hindia Belanda

karena perjuangannya melawan diskriminasi terhadap kaumnya. Belanda

bingung, mengapa seseorang yang dibesarkan oleh kultur budaya patriarki dan

berada dibawah jajahannya, bisa memiliki pemikiran semodern dan semaju

itu. Tapi, itulah Kartini yang dapat menjunjung tinggi derajat perempuan dan

menginspirasiakan perempuan masah kini.18

17

Maria Ulfa Subadio, Peranan dan Kedudukan Wanita Indonesia (Yogyakarta: Anggota IKAPI, 1994), 97.

18

(35)

29

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikirannya tentang

kondisi sosial saat itu, terutama tentang kondisi perempuan pribumi. Sebagian

besar surat-suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya menyangkut

budaya di Jawa yang dipandang sebagai penghambat kemajuan perempuan.

A. Kedudukan perempuan pada masa Kartini

Kartini adalah seorang tokoh perjuangan perempuan, ia merupakan

Tokoh perempuan yang sangat terkenal di Indonesia. Karena mampu

berbahasa Belanda, Kartini menulis surat pada teman-teman korespondensinya

yang berasal dari Belanda. Salah satunya adalah Rosa Abendanon yang

banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran-koran, dan majalah-majalah

Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan Eropa. Dari

bacaan-bacaan yang di lahapnya, hasrat Kartini untuk memajukan perempuan pribumi

yang berada pada status sosial rendah itu mulai timbul.19

Kartini banyak membaca surat kabar semarang, De Locomotief, yang

di asuh oleh Pieter Brooshooft. Kartini juga menerima Leestrommel, paket

majalah yang diedarakan toko buku pada pelanggan. Diantaranya, terdapat

majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup berat serta majalah

wanita Belanda De Hollandsche Lelie dan dimuatnya.20

Dari Surat-suratnya terkesan kalau Kartini telah membaca apa saja

dengan penuh kecermatan. Perhatiannya bukan sekedar persoalan perempuan,

namun juga masalah sosial umum. Kartini melihat perjuangan perempuan agar

19

Chodijah, Rintihan Kartini, 68.

20

(36)

30

memperoleh kebebasan, otonomi, dan persamaan hukum sebagai bagian dari

gerakan yang lebih luas. Di antara buku yang di baca Kartini sebelum berumur

20 tahun, antara lain: Max Havelaar, “Surat-surat Cinta” karya Multatuli, De Stille Kraacht Louis Coperus, serata karya dari Van Eeden, Augusta de Witt,

Goekoop de-jong Van Bee, dan Berta Voin Suttner.21

Kartini menikah dengan Bupati Rembang yakni Adipati Ario Singgih

Djojo Adiningrat pada 12 November 1903. Oleh suaminya, Kartini diberi

kebebasan dan didukung untuk mendirikan sekolah wanita di sebelah timur

pintu gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang yang kini dijadikan

sebagai gedung pramuka. Berkat kegigihan Kartini, kemudian didirikan

sekolah perempuan oleh Yayasan Kartini.

Setelah Kartini wafat (1904), Abendon mengumpulkan surat-surat

yang di kirimkan Kartini pada teman-temanya di Eropa. Terbitnya surat-surat

Kartini sangat menarik perhatian bagi masyarakat Belanda. Melalui surat-surat

Kartini tersebut mulai dapat mengubah pandangan masyarakat Belanda

terhadap perempuan pribumi di Jawa. Pemikiran-pemikiran Kartini yang

tertuang dalam surat-suratnya juga menginspirasi batokoh-tokoh kebangkitan

nasional Indonesia, semisal W.R Supratman yang menciptakan lagu berjudul

“Ibu Kita Kartini.22

Pada surat-surat Kartini tertulis pemikiran-pemikiran tentang kondisi

sosial, terutama kondisi perempuan pribumi saat itu. Sebagian surat-suratnya

berisi keluhan-keluhan dan gugatan terhadap budaya di Jawa yang dipandang

21

Imron Rosyadi, R.A Kartini Biografi Singkat 1879-1904 (Yogyakarta: Garasi, 2010), 10.

22

(37)

31

sebagai penghambat kemajuan perempuan. Kartini menginginkan wanita

memiliki kebebasan dalam belajar dan menuntut ilmu. Gagasan dan cita-cita

Kartini tersebut terangkum dalam Zelf-ontwikkeling, Zelf onderricht, Zelf

Vertrouwen, Zelf werkaanmheid, dan Solidariteit.23

Pandangan-pandangan lain yang diungkap Kartini melalui

surat-suratnya adalah kritik terhadap agamanya. Kartini mempertanyakan mengapa

kitab suci harus dihafalkan tanpa wajib dipahami. Kartini mengungkapkan

pandanganya, bahwa dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering

menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti.

Kartini mempertanyakan tentang agama yang dijadikan pembenaran bagi

kaum laki-laki untuk berpoligami.24

Kartini adalah gambaran tragis perempuan di awal abad ke-20, ketika

harkat perempuan dimaknai sebatas kanca wingking, yang berkutat di sumur,

dapur, dan kasur. Riwayat hidupnya menggambarkan penderitaan perempuan

Jawa yang terpasung dalam tembok tradsi dan adat istiadat masyarakat

feodal-patriarkal Jawa yang begitu angkuh dan kukuh serta membatasi ruang gerak

mereka, mulai dari pelarangan belajar, adanya pingitan, hingga harus siap

poligami dan tunduk pada seorang suami yang telah dinikahinya.25

Kartini ingin mendobrak tradisi feodal-patriarkal yang menghambat

kemajuan kaumnya menuju masa depan yang lebih cerdas, bebas, aktif, dan

merdeka sebagai wanita yang tidak terjajah. Untuk itu pendidikan mutlak

diperlukan perempuan untuk mengangkat derajat seorang perempuan agar

23

Rosyadi, R.A Kartini biografi singkat 1879-1904, 54.

24

Asvi Warman Adam, Seabad Kontroversi Sejarah (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2007), 15.

25

(38)

32

tidak terjajah dan dapat berfikiran maju dan dapat mengangakat martabat

Indonesia sebagai bangsa, pengajaran kepada perempuan secara tidak

langsung akan meningkatkan derajat bangsa.

Kedudukan seorang perempuan ketika muncul seorang pejuang Kartini

sungguhlah sangat membantu dalam sebuah kemajuan seorang wanita, dalam

sebuah bait-bait suratnya ia menuliskan sebuah pemikiran modern yang ingin

mendobrak sebuah pemikiran para wanita yang ada pada masa itu, karena

ketika itu perempuan sangat dibedakan dalam hal apapun dengan lelaki,

wanita kala itu hanya dapat mengikuti dan menurut dalam adat Jawa, yang

benar-benar mengekang perempuan sehingga tidak bisa berfikir maju dan

ujungnya wanita hanya menjadi sebuah bawahan lelaki.26

Dengan adanya Kartini kala itu, sedikit demi sedikit perubahan terjadi

karena keinginan Kartini ingin memajukan dan mengangkat derajat

perempuan sehingga memunculkan sebuah pemikiran bahwa Kartini adalah

tokoh perjuangan wanita yang dapat disebut dengan feminisme. Di Indonesia

sendiri feminisme sudah berkembang sebelum kemerdekaan Indonesia melalui

perjuangan Kartini yang mengusung tema emansipasi wanita. Perjuangan

Kartini secara tidak langsung membuat banyak perempuan terinspirasi

olehnya dan mulai memunculkan gerakan-gerakan yang mengusung

kesetaraan gender.27 Gagasan-gagasan Kartini yang mengiginkan pendidikan

26

Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 403. 27

Syahfitri Anita,” Gerakan Perempuan: Tinjauan Sejarah (Sebagai Pengantar Diskusi Lingkar

(39)

33

bagi wanita, Karena menurut Kartini ketika wanita itu bisa dikatakan merdeka

disaat wanita mengenyam pendidikan yang layak.28

Kartini adalah seorang perempuan Jawa yang senantiasa gelisah berada

didalam kerangkeng budaya patriarkhi kaum priayi. Semangat untuk

memperjuangkan emansipasi di kalangan perempuan yaitu melalui dunia

pendidikan Kartini menaruh harapan untuk kemajuan kaum perempuan. Untuk

merombak kultur feodal patriarki yang selama berabad-abad membelenggu

kaum perempuan, dimana kaum hawa hanya dibatasi pada sektor domestik,

antara dapur, sumur, dan kasur. Kaum perempuan sangat sulit sekali

menduduki bangku sekolah sehingga perempuan tidak bisa mengembangkan

kemampuannya, ini semua adalah stereotip masyarakat yang menganggap

bahwa perempuan adalah makhluk yang lemah hanya sebagai pendamping

laki-laki.29

Kartini merupakan satu diantara sekian banyak tokoh wanita Indonesia

yang telah mendapat perhatian. Hal ini karena semata-mata beliau

meninggalkan pemikiran-pemikiran yang dapat dianalisa dari surat-suratnya

yang telah dibukukan. Perjuangannya yang begitu gigih untuk memerdekan

perempuan sangatlah tidak mudah, Kartini mencoba memberikan pandangan

terhadap kaum perempuan agar dapat keluar dari sebuah kungkungan adat dan

lebih berfikir maju dengan cara mengenyam pendidikan setinggi-tingginya.

28

Sitisoemandiri Soeroto, Kartini Sebuah Biografi (Jakarta: PT Gunung Agung, 1984), 320.

29

(40)

34

B. Faktor Pendorong Perjuangan R.A Kartini

Sebuah keadaan yang sangat memprihatinkan pada kala itu terhadap

wanita muncullah seorang Kartini yang ingin memperjuangan perempuan

agar tidak ketinggalan zaman dan dapat berfikiran maju seperti wanita di

Eropa yang dapat berfikir modern dan bisa mengenyam pendidikan yang

sesuai. Dalam sebuah kejadian pada masa itu terjadi sebuah konflik yang

sangat signifikan menurut Kartini dalam diri seorang perempuan ketika itu,

seperti konflik yang dalam pemikiran Kartini adalah ketidakadilan terhadap

perempuan atau ketidaksetaraan gender dalam hal seperti aspek pendidikan,

sosial, budaya. Dari situlah sebuah pendorong Kartini ingin mendobrak dan

menjunjung tinggi martabat seorang perempuan.

Faktor yang mendorong Kartini ingin memperjuangkan hak seorang

perempuan karena yang pertama para wanita pada zaman itu tidak mendapat

pendidikan yang layak sehingga wanita hanya menurut dan tak berfikiran

maju yang hanya mengadalkan sebuah adat istiadat yang di anut oleh para

kaum pribumi.30 Hal lain yang menjadi perhatian Kartini tentang ketidakadilan terhadap wanita adalah berkembang suburnya poligami.

Kartini berpendapat bahwa poligami merupakan salah satu bentuk

kesewenang-wenangan pria terhadap wanita. Kartini melihat, dan merasakan

betapa besar penderitaan dan pengorbanan kehidupan wanita yang dimadu

oleh suaminya, hal ini pun dilakukan oleh orang tuanya. Menurut Kartini,

gadis-gadis tersebut tidak dapat dipersalahkan karena pada umumnya mereka

30

(41)

35

merupakan anak-anak dari keluarga yang melarat yang terdiri dari petani dan

buruh pabrik.

Mereka berangan-angan mendapat kemewahan, kehormatan, dan

kenikmatan duniawi lainnya. Dikawini oleh bangsawan merupakan anugerah

yang membuka jalan bagi mereka untuk mobilitas sosial secara vertikal.

Mereka akan menjadi putri-putri kabupaten, kepangeranan, atau kesultanan

yang bergelimang dengan kemewahan. Kartini melihat dan mencatat

kejadian-kejadian tersebut dalam hati sanubarinya. Ia merasakan betapa getir nasibnya

nanti apabila dirinya akan mengalami nasib seperti gadis-gadis tersebut.

Faktor lain dalam perjuangan Kartini adalah Kartini berkorespodensi

langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar secara tidak

langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal.31 Hal ini dapat dilihat dari program utamanya yaitu membebaskan perempuan dari

kebutaan pendidikan atau pengetahuan dengan mendirikan sekolah khusus,

agar hak perempuan untuk mengikuti pendidikan setara dengan hak

pendidikan.

Kartini menyadari bahwa untuk membuat bangsanya maju, khususnya

kaum wanita, maka tidak bisa tidak dengan jalan belajar dari dunia Barat.

Peradaban Barat yang demikian gemilang menyilaukan semangat Kartini

untuk belajar demi pembebasan dari kungkungan feodalisme budaya yang

timpang itu.

31

(42)

36

Dijadikannya R.A. Kartini sebagai pahlawan bangsa Indonesia dilatar

belakangi oleh faktor pendorong Kartini yang ingin memperjuangkan hak-hak

wanita seperti pemikiran-pemikiran dan perjuangan terhadap kaumnya.32

Pribadinya yang lembut dan santun, tanpa meninggalkan sifat

keperempuanannya (Feminim) mencoba mendobrak keterbelengguan yang

mengungkung dirinya dan kaum perempuan pada masa itu.

Sebagai catatan bagi kita bahwa beliau tidak bergerak dengan

sifat-sifat kelelakian (maskulin), seperti halnya perempuan-perempuan Barat,

namun beliau bergerak dengan kelembutan dan penanya. Dengan penanya,

Kartini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang dituangkan dalam

tulisan-tulisan tangannya. Adapun pemikiran-pemikiran tersebut menceritakan

tentang kondisi sosial pada waktu itu, terutama tentang kondisi perempuan

pribumi.

Ia menggambarkan penderitaan perempuan Jawa akibat kungkungan

adat, yaitu tidak bisa bebas duduk di bangku sekolah, harus dipingit,

dinikahkan, dan bersedia dimadu, sehingga Kartini mengklaim bahwa budaya

Jawa dianggap sebagai penghambat kemajuan perempuan. Pergerakan yang

dilakukan untuk melepas kungkungan adat tersebut, bisa dipahami dari

cita-citanya yang luhur yaitu menggagas pembebasan perempuan, dengan

mendirikan sekolah bagi para perempuan Bumi Putra kala itu.33

Kartini begitu sangat antusias ingin memajukan pendidikan di

Indonesia terutama kepada perempuan, ia seorang pejuang yang berfikiran

32

Kuncoro Hadi dan Sustianingsih, Pahlawan Nasional (Yogyakarta: Familia, 2013), 76.

33

(43)

37

modern, sangat jarang seorang perempuan mempunyai pemikiran seperti itu.

Kartini ingin melihat seorang perempuan pribumi seperti orang-orang

perempuan yang ada di Barat yang sangat berfikiran maju, ia selalu membaca

buku-buku dan majalah tentang dunia luar dan buku-buku orang luar, sehingga

dia terinpirasi mempunyai pemikiran semodern itu sampai dia dalam bait-bait

suratnya menjelaskan tentang pergolakanya terhadap budaya Jawa yang

mengukung keberadaan perempuan.34

Dia sebenarnya menentang budaya Jawa karena menurut dia budaya

Jawa tersebut sangat mengekang kehidupan seorang perempuan sehingga

memunculkan ketidaksetaraan gender, Kartini bermaksud mengubah adat

lama yang menghalangi kemajuan bagi kaum perempuan, ia mengawalinya

dengan meperjuangkan kemajuan dan kedudukan perempuan bangsawan

karena perempuan golongan biasa dengan sendirinya akan meniru kemajuan

perempuan bangsawan. Dalam mengejar cita-citanya Kartini mendirikan

sekolah untuk gadis bangsawan, dengan maksud para gadis pribumi di

kemudian hari dapat memperbaiki kedudukan kaum perempuan. Cita-cita dan

semangatnya tertuang dalam surat-surat yang ditulis dan dikirimkanya kepada

sahabat-sahabatnya sejak umur 20 tahun, termasuk kepada pasangan Abendon.

Perempuan Indonesia memiliki peranan dan kedudukan sangat penting

sepanjang perjalanan sejarah. Kiprah perempuan di atas panggung sejarah

tidak diragukan lagi. Gerakan kebangkitan nasional berhubungan dengan

politik etis Hindia-Belanda yang memberi kesempatan bagi para Bumi Putera

34

(44)

38

untuk bersekolah.35 Sebenarnya maksud pemerintah Hindia Belanda adalah untuk menghasilkan buruh-buruh terdidik, guru-guru, birokrat rendahan yang

cukup terdidik, dokter-dokter yang mampu menangani penyakit menular pada

bangsa pribumi. Tindakan ini dilakukan karena Hindia Belanda harus

menekan biaya operasional tanah jajahan Indonesia yang terlalu mahal bila

menggunakan tenaga impor dari Belanda.

Meskipun yang diizinkan memasuki sekolah Belanda saat itu hanyalah

kaum bangsawan, priyayi, dan kaum elit. Seorang pejuang perempuan, yaitu

R.A. Kartini (1879-1904). Beliau adalah pelopor dan pendahulu perjuangan

untuk pendidikan perempuan dan persamaan hak perempuan. Kartini

berpendapat bahwa bila perempuan ingin maju dan mandiri, maka perempuan

harus mendapat pendidikan. Kartini selama ini kita kenal sebagai seorang

pejuang emansipasi perempuan, terutama di bidang pendidikan. Kartinilah

yang membangun pola pikir kemajuan, dengan cara menggugah kesadaran

orang-orang sejamannya, bahwa kaum perempuan harus bersekolah. Tidak

hanya di Sekolah Rendah, melainkan harus dapat meneruskan ke sekolah yang

lebih tinggi, sejajar dengan saudara-saudaranya yang laki-laki.36

Bagi Kartini, perempuan harus terpelajar sehingga dapat bekerja

sendiri, mencari nafkah sendiri, mengembangkan seluruh kemampuan dirinya,

dan tidak tergantung pada siapa pun, termasuk suaminya. Mengingat suasana

pada waktu itu, ketika adat feodal masih sangat kental di sekeliling R.A.

Kartini, maka dapat kita bayangkan, betapa maju dan progresifnya pikiran

35

Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia, 24.

36

(45)

39

R.A. Kartini tersebut. Selain itu, meskipun dalam situasi pingitan, terisolasi,

dan merasa sunyi, Kartini mampu membangun satu gagasan politik yang

progresif pada zaman itu, baik untuk kepentingan kaum perempuan maupun

bagi para kawula miskin di tanah jajahan.37

Faktor pendorong yang telah dijelaskan di atas yang sangat mengugah

sanubari Kartini terhadap seorang perempuan tidaklah sia-sia Kartini telah

membuka jendela pemikiran para gadis ketika itu agar serentak memajukan

pola pikir mereka terutama dalam pendidikan, karena di situlah dapat merubah

kehidupan seorang perempuan menjadi lebih baik agar tidak memprihatinkan

dan tragis yang dialami sebelum-belumnya. Telah banyak terjadi perubahan

kepada para perempuan saat itu, ketika Kartini mencoba untuk membuka

sebuah pemikiran baru dan mendobrak pemikiran perempuan Jawa pada saat

itu, yang hanya terpaku pada suatu adat yang menjadi panutan mereka.

37

(46)

40

BAB III

PEMIKIRAN FEMINISME ISLAM KARTINI A. Biografi Kartini

1. Riwayat Kartini

Dialah Raden Ajeng Kartini atau dikenal sebagai R.A Kartini, dia

dikenal sebagai salah satu pahlawan nasional yang teramat tangguh

memperjuangkan emansipasi perempuan kala ia hidup. Mengenai biografi

dan profil R.A Kartini, beliau sendiri lahir pada tanggal 21 April tahun

1879 di Kabupaten Jepara, hari kelahirannya itu kemudian diperingati

sebagai Hari Kartini untuk menghormati jasa-jasanya pada bangsa

Indonesia.1

Kartini lahir ditengah-tengah keluarga bangsawan. Ayahnya

bernama R.M. Sosroningrat, putra dari Pangeran Ario Tjondronegoro IV.

Ayah Kartini merupakan seorang bangsawan yang menjabat sebagai

bupati Jepara. R.M. Sosroningrat merupakan orang yang terpandang sebab

posisinya kala itu sebagai bupati Jepara kala Kartini lahir. 2Ibunya bernama M.A. Ngasirah, beliau ini merupakan anak seorang kyai atau guru

agama di Telukawur, Kota Jepara. Ibu R.A Kartini M.A. Ngasirah bukan

keturunan dari bangsawan, melainkan hanya rakyat biasa saja, karena

peraturan kolonial Belanda ketika itu mengharuskan seorang Bupati

menikah dengan bangsawan juga, maka akhirnya ayah Kartini kemudian

1

Rosyadi, R.A Kartini Biografi Singkat 1879-1904, 10.

2Andi Prasetya, “Biografi R.A Kartini”, dalam

(47)

41

mempersunting seorang perempuan bernama Raden Adjeng Woerjan yang

merupakan seorang keturunan langsung dari Raja Madura ketika itu.3 Kartini adalah anak ke-5 dari 11 bersaudara kandung dan tiri. Dari

seluruh saudara kandungnya, Kartini merupakan anak perempuan tertua.

Kakeknya Ario Tjondronegoro diangkat sebagai bupati saat berusia 25

tahun. Kakak kandungnya Sosrokartono, seorang ahli dalam bidang

bahasa.4

Oleh orang tuanya Kartini disuruh menikah dengan bupati

Rembang, Raden Adipati Joyoningrat yang sudah memiliki tiga istri.

Kartini menikah pada tanggal 12 November 1903. Kartini diberikan

kebebasan mendirikan sekolah perempuan disebelah timur pintu gerbang

kompleks kantor Kabupaten Rembang yang kini digunakan sebagai

gedung Pramuka.

Anak pertama sekaligus terakhir R.M. Soesilat, lahir pada tanggal

13 September 1904 selang beberapa hari kemudian tanggal 17 Sertember

1904 Kartini meninggal pada usia 25 tahun, Kartini dimakamkan di desa

Bulu, Rembang. 5

Berkat kegigihannya Kartini kemudian didirikan sekolah

perempuan oleh yayasan Kartini di Semarang pada 1912, kemudian di

Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun Cirebon dan daerah lainnya, nama

sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartni ini didirikan

oleh keluarga Van Deventer seorang tokoh politik etis.

3

Horton, Perempuan-perempuan yang Mengubah Dunia, 214.

4

Rosyadi, R.A Kartini biografi singkat 1879-1904, 10.

5

(48)

42

2. Sekilas Pendidikan Kartini

Kartini adalah seorang anak terpandang ia mempunyai

keistimewaan untuk belajar di Europese Lagere Scholl (ELS). Di sekolah

itu, Kartini belajar bahasa Belanda. Namun sewaktu berusia 12 tahun pada

tahun 1892, ia pun harus meninggalkan bangku sekolah. Masuk dalam

pingitan, ayahnya yang dalam beberapa hal boleh dikatakan berpikiran

maju, ternyata belum dapat melepaskan tardisi bangsawan kuno untuk

memingit putrinya di dalam rumah sampai tiba saatnya nanti seorang pria

datng melamarnya.

Betapa sedihnya Kartini dapat dibayangkan dalam surat-suratnya

yang telah ditorehkannya, Seperti surat berikut ini yang di tulisnya kepada

Nyonya Abendon, 8 tahun sesudahnya:

“Gadis itu t

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil dapat disimpulkan bahwa scluruh penderita pedikulosis kapitis adalah perempuan dan lebih dari 75% santri yang memiliki pengetahuan baik, perilaku baik dan sikap

mengasuhnya., karena nenek perempuan juga mempunyai hak h}ad}a>nah (mengasuh). Namun kalau dilihat dari pengertiannya bahwa h}ad}a>nah ialah memelihara dan

Adapun produk dari KHI tentang z\awi< al-arh}a>m adalah ahli waris pengganti yang menjadikan kedudukan cucu baik laki-laki maupun perempuan mendapat hak atas harta

Selanjutnya dikatakan pula dalam al-Qur’an bahwa (pria adalah pemimpin bagi wanita) dan wanita (isteri) itu mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara

Karena ketentuan Kompilasi Hukum Islam bahwa ; Pasal 176 yang menyatakan : “Anak perempuan bila hanya seorang ia dapat separo bagian, bila dua orang atau lebih mereka bersama-sama