• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makam Gus Dur dalam perspektif agama-agama : studi tentang ziarah makam Gus Dur di desa cukir kecamatan diwek kabupaten Jombang.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Makam Gus Dur dalam perspektif agama-agama : studi tentang ziarah makam Gus Dur di desa cukir kecamatan diwek kabupaten Jombang."

Copied!
145
0
0

Teks penuh

(1)

AGAMA DAN HAM

(Studi Kasus tentang Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk)

Skripsi:

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana

Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat

Oleh:

Muh. Kholid Ismatulloh E92213058

FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT

PROGRAM STUDI

STUDI AGAMA-AGAMA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah analisis terhadap kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk. Kolom agama telah menjadi polemik sejak diberlakukan pada 1967. Hingga saat ini, perdebatan mengenai manfaat dan masalah akibat kolom agama masih terjadi. Kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama agama dalam kurun waktu 2011-2016 diantaranya adalah pelarangan jemaat Ahmadiyah, tragedi aliran kepercayaan di Aceh, pembiaran terhadap Suku Anak Dalam di Jambi, kasus Syiah Sampang, serta kasus diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan korelasi antara pencantuman kolom agama dalam KTP dengan hak-hak kewarganegaraan dan pelanggaran kebebasan beragama. Melalui metode studi kasus, muncul asumsi awal bahwa kolom agama di KTP merupakan sebab terjadinya kasus pelanggaran HAM atas nama agama. setelah dilakukan penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa 1) Negara telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya dan melindunginya demi hukum. Berbagai pasal dan undang -undang mengenai kebebasan beragama mulai gencar dibentuk sejak pasca reformasi, termasuk ratifikasi kovenan internasional HAM. Kasus pelanggaran HAM tidak diakibatkan oleh kolom agama, namun membuka potensi diskriminasi terhadap kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan. 2) kolom agama dalam KTP tidak menjadi masalah dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia secara umum. Kolom agama menekan eksistensi kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan, dan berpotensi terhalangnya hak kebebasan beragama bagi kelompok tersebut.

(7)

DAFTAR ISI

Sampul Depan... i

Sampul Dalam ... ii

Abstrak ... iii

Persetujuan Pembimbing ... iv

Pengesahan Skripsi ... v

Pernyataan Keaslian ... vi

Motto ... vii

Kata Pengantar... viii

Daftar Isi ... xi

Daftar Tabel ... xiii

BAB I: PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 6

C. Tujuan Penelitian ... 6

D. Manfaat Penelitian ... 7

E. Telaah Kepustakaan ... 7

F. Metode Penelitian ... 11

G. Metode Analisis Data ... 14

H. Sistematika Penulisan ... 18

BAB II: LANDASAN TEORI ... 20

A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia... 20

(8)

C. Teori Kebebasan Beragama ... 29

D. Islam dan Hak Asasi Manusia ... 42

BAB III: KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA ... 47

A. Pendahuluan ... 47

B. Kasus Pelanggaran HAM Nasional ... 48

1. Kasus Pelarangan Ahmadiyah ... 56

2. Tragedi Aliran Kepercayaan di Aceh ... 61

3. Konversi Agama Suku Anak Dalam ... 70

C. Kasus Pelanggaran HAM Jawa Timur ... 80

1. Konflik Syiah Sampang ... 80

2. Kasus Pernikahan Tionghoa Surabaya ... 85

3. Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan ... 87

D. Kesimpulan... 95

BAB IV PRO DAN KONTRA ... 98

A. Pendahuluan ... 98

B. Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 105

C. Tidak Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 118

D. Kesimpulan... 124

BAB V PENUTUP ... 128

A. Kesimpulan... 128

B. Saran ... 129

Daftar Pustaka ... 131

(9)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perlindungan dan pengakuan terhadap kepastian status pribadi dan status

hukum penduduk merupakan hak setiap warga negara. Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan baru dibentuk di Era Reformasi.

Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, pengaturan tentang

Administrasi Kependudukan, termasuk di dalamnya pengaturan tentang Kartu Tanda

Penduduk (KTP) diatur oleh peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia

Belanda (Staatsblad) dan setingkat peraturan Menteri.

Pentingnya administrasi kependudukan bagi setiap individu yang menetap di

suatu negara, seperti Negara Republik Indonesia, menjadi salah satu alasan kuat

para Penghayat Kepercayaan terus memperjuangkan hak-hak mereka untuk

mendapatkan dokumen-dokumen kependudukan. Sebelum berlakunya Undang-

undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah dilakukan perubahan dengan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan

Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007, demi mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP)

atau demi mendapatkan Akta Perkawinan, para Penghayat Kepercayaan terpaksa

(10)

2

Kolom agama di KTP mereka pun tercantum salah satu agama mayoritas, walaupun

mereka tidak meyakininya. Setelah berlakunya kedua peraturan

perundang-undangan tersebut, terdapat ketentuan di dalam Pasal 64 ayat (5) Undang-undang

Nomor 24 Tahun 2013 yang mengatakan bahwa:

Keterangan tentang agama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi Penghayat Kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan

Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kolom agama dalam KTP seorang

Penghayat Kepercayaan tidak lagi diisi dengan salah satu agama yang diakui oleh

Negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, Budha ataupun Konghucu,

namun dikosongkan atau diberi tanda (-). Akan tetapi hak-hak sipil yang diterima oleh

Penghayat Kepercayaan sama dengan yang diterima oleh penganut agama lainnya

dan tidak boleh dibedakan, serta hal tersebut harus dijamin oleh Pemerintah Negara

Republik Indonesia.

Masalah kolom agama ini sudah cukup lama diperdebatkan. Hal ini

menandakan bahwa masalah ini bukan masalah sepele. Masalah kolom Agama

juga memiliki fungsi yang cukup besar dalam menciptakan perdamaian.

Masalah kolom agama yang tidak segera ditindaklanjuti akan memicu

sebuah konflik besar. Bahkan konflik agama yang belum pernah terjadi sebelumnya.

(11)

3

(10/11/14) menilai hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi administrasi.1 Selain itu,

langkah tersebut kata Bonar memperlihatkan tidak adanya pengakuan yang setara

terhadap agama dan kepercayaan yang ada di luar enam agama resmi. Sesuai dengan

prinsip hak asasi manusia, lembaganya sangat tidak menyetujui adanya kolom agama

di KTP.

Menurut Bonar, semua negara harus setara, tidak boleh ada diskriminasi

agama tertentu. Negara, kata Bonar, sebaiknya mengambil jarak dari agama dan

kepercayaan termasuk masalah administrasi kependudukan. Lebih lanjut dia

menjelaskan dalam sejarahnya, pada tahun kepemimpinan Soekarno-Hatta Indonesia

pernah tidak mencantumkan kolom agama dalam KTP. Pencantuman kolom agama

dilakukan pada masa orde baru. Menurutnya pencantuman dilakukan untuk menekan

paham komunisme dan juga sebagai bentuk kontrol. Bonar mengatakan:

Ke-identitasan sosial kita kan ke-Indonesiaan, selama kita menjadi Indonesia berarti hak-hak kita sebagai warga negara diperlakukan sama. Kedua, kalau ada kolom agama itu berarti ada semacam pembedaan-pembedaan. Dalam pelayanan publik kan juga tidak menjadi penting apa yang disebut dengan identitas keagamaan. Apakah karena agama kamu X, (maka) kamu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan yang lebih dari agama lain, kan tidak kan? Dihapuskan sama sekali tetapi kemudian dicantumkan ke dalam data kependudukan jadi dokumen kependudukan lain yang ada di kelurahan dan kecamatan atau kalau mau mencantumkan semua agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan pilihan warga negara."2

Masalah penghapusan kolom agama menjadi penting karena kehidupan

masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki

1FathiyahWardah, “Pengosongan Agama di KTP Dinilai sebagai Bentuk Diskriminasi”,

http://www.voaindonesia.com/a/pengosongan-agama-di-ktp-diskriminasi/2515027.html (Jumat, 10 Maret 2017, 13.28).

2

(12)

4

keberagaman suku, bangsa, agama, dan masyarakat. Berbagai suku bangsa yang

berbeda mendiami wilayah Indonesia yang terdiri dari 13.466 pulau.3 Dengan

keberagaman tersebut, Indonesia seharusnya bisa menjadi Negara yang bertoleransi

dan menghargai pluralisme. Indonesia memiliki enam agama4 yang diakui sebagai

agama resmi. Banyak aliran serta kepercayaan lain yang tidak termasuk agama resmi

tersebar di wilayah Indonesia.

Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Negara

menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya

masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, serta

dipertegas pula dengan sila pertama Pancasila yang menekankan kebebasan bagi

pemeluk agama yang dianut warga negara, Indonesia telah memiliki dasar sebagai

Negara yang menjunjung tinggi pluralism. Apalagi semboyan Negara Indonesia

yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika menjadi bukti kuat nilai pluralisme telah

diperkenalkan di Indonesia sejak lama.

Pluralisme agama sendiri adalah pemahaman yang tunggal dalam

menghadapi kenyataan yang jamak.5 Konsep pluralisme (kemajemukan) inilah yang

harusnya dikembangkan di Indonesia. Pluralitas (khususnya agama) merupakan

potensi dan mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses integrasi maupun

3

Article 55, UN Convention on the Law of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional) Tahun 1982.

4Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967.

5Suhermanto Ja’far, Filsafat Perenial dan Titik Temu Agama-Agama, (Surabaya: Elkaf, 2007),

(13)

5

pembangunan bangsa, mengingat setiap agama mewajibkan umatnya untuk

mencintai sesama dan hidup rukun.6

Namun, agama sebagai sebuah keyakinan privat harus berhadapan dengan

keyakinan lain yang juga mengusung prinsip kebenaran mutlak. Karena hal inilah,

seringkali muncul sikap taassub (fanatisme) yang akhirnya menjadi paham

absolutisme. Paham inilah yang akhirnya menimbulkan truthclaim di kalangan

penganut agama.

Pemaksaan-pemaksaan kehendak itulah yang akhirnya akan menimbulkan

konflik. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh pihak mayoritas kepada pihak

minoritas. Konflik sendiri adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai,

dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh

perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.

Hubungan dan interaksi pemeluk agama, baik dengan sesama agama

maupun antaragama sering terjadi di Indonesia. Agaknya, hal inilah yang

menimbulkan konflik agama. Seperti pada kolom agama pada kartu tanda

penduduk di Indonesia.

Persaingan mayoritas dan minoritas sangat terlihat dalam penentuan kolom

agama tersebut. Satu sisi menginginkan kolom tetap ada dengan dalih bahwa

agama merupakan identitas diri yang penting untuk diketahui orang lain. Sedangkan

disisi lain orang tidak setuju dengan adanya kolom agama tersebut. Alasannya

6

(14)

6

adalah, agama merupakan urusan pribadi individu. Agama juga dianggap

merupakan sumber dari ketidakadilan dan konflik karena identitas tersebut

melabelkan diri seseorang dengan mayoritas atau minoritas secara tidak langsung.

B.Rumusan Masalah

Dalam penyusunan penelitian ini, agar terhindar dari penyimpangan

masalah yang dibahas, perlu dipertegas masalah-masalah yang akan dianalisis,

sehingga sesuai dengan judul yang diajukan.

1. Adakah hubungan antara pencantuman kolom agama di KTP dengan

pelanggaran hak kebebasan beragama?

2. Apa ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam KTP?

C.Tujuan Penelitian

Penelitian ini diadakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.

1. Untuk mengetahui hubungan antara pencantuman kolom Agama dalam KTP

dengan pelanggaran hak kebebasan beragama.

2. Untuk mengetahui ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam

(15)

7

D.Manfaat Penelitian

Manfaat teoritis dari penelitian ini berkaitan dengan teori yang

disampaikan Thomas Aquinas dan John Locke mengenai human rights7sebagai hak

dan kewajiban sipil merupakan akibat langsung dari teori hukum berdasarkan

kekuasaan, pada hak untuk mempertahankan hidup. Penelitian ini akan diarahkan

untuk memberikan sumbangan teori mengenai penerapan teori oleh Thomas

Aquinas dan John Locke terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Sedangkan manfaat praktis akan diwujudkan dalam penyelesaian masalah

di Indonesia. Hingga saat ini, berbagai konflik dan masalah agama terjadi di Indonesia.

Hal ini dilatarbelakangi oleh agama dan kesenjangan antara mayoritas dan

minoritas. Kesenjangan tersebut diperburuk dengan pelabelan agama dalam KTP

masyarakat. Hasil dari penelitian ini dapat disumbangkan sebagai salah satu solusi

pencegahan konflik untuk mencapai win-win solution.

E.Telaah Kepustakaan

Dalam penyusunannya, riset dilakukan dengan pengkajian beberapa

penelitian terdahulu sebagai salah satu sumber data. Riset tersebut diantaranya adalah

penelitian yang dilakukan oleh Anisah Mundari yang berjudul Analisis Yuridis

7Andrew Altman, "Civil Rights", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013

(16)

8

Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik).8 Dalam penelitian ini, riset

dilakukan dengan konsentrasi studi mengenai efektifitas kolom Agama dalam Kartu

Tanda Penduduk ditinjau dari Administrasi Kependudukan. Penelitian ini dilakukan

di Kota Makassar. Objek penelitiannya adalah Kementrian Agama, Kantor Catatan

Sipil, Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Wajo dan Kecamatan Tamalate.

Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya

mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan

Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan

tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam

agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia,

khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi

yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama

-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat,

pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan

hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara.

Penelitian oleh Dwi Jatmiko yang berjudul Kualitas Pelayanan Kartu Tanda

Penduduk (KTP) dalam Meningkatkan Kepuasan Masyarakat (Studi Di Kecamatan

Grobogan Kabupaten Grobogan)9. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

8

Anisah Mundari, “Analisis Yuridis Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik)” (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2016)

(17)

9

dengan mengangkat topik permasalahan tentang efektivitas pelayanan aparat terkait

faktor kepemimpinan kepala desa, Penelitian yang bersifat survey explanatory, yaitu

untuk menjelaskan hubungan variabel dan menguji hipotesanya ini dilakukan di

lingkungan Kantor Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan. Sebagai

populasi adalah seluruh penduduk di Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten

Grobogan dan sebagai sampelnya 116 orang. Elemen dari 20 % dari jumlah KK.Dari

penelitian yang dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan adanya pengaruh yang

signifikan antara kepemimpinan kepala desa terhadap efektivitas pelayanan aparat pada

masyarakat di desa Sobo kecamatan Geyer kabupaten Grobogan.

Penelitian oleh M. Syafi’ie yang berjudul Ambiguitas Hak Kebebasan

Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.10 Dalam

penelitian ini menyoroti beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia

khususnya pada pasal 28I ayat 1. Penelitian ini membahas tentang hak kebebasan

beragama di tengah maraknya kekerasan yang atas nama agama mendorong

beberapa LSM dan tokoh demokrasi untuk melakukan judicial review terhadap UU No.

1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.

Undang-Undang tersebut dianggap bertentangan dengan jaminan hak beragama

yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam konteks tersebut, Mahkamah

diterbitkan, Program Studi Ilmu Administrasi NegaraJurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2012)

(18)

10

Konstitusi menolak seluruh permohonan judicial review UU tersebut, walaupun

terdapat disenting opinion dari salah satu hakim konstitusi. Pasca putusan

Mahkamah Konstitusi, identitas hak beragama di Indonesia menjadi lebih terang,

yaitu bisa dikurangi dan dibatasi. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjadi

kabar gembira bagi para pemohon, karena UU. No. 1/PNPS/1965 bagi mereka

adalah salah satu alat kelompok tertentu untuk membenarkan kekerasan atas nama

agama kontemporer.

Posisi riset ini dipusatkan kepada efektifitas kolom agama dalam Kartu Tanda

Penduduk. Efektifitas yang dimaksud adalah usaha untuk mendapatkan jawaban

masyarakat yang selama ini menghadapi dua isu besar, kolom agama yang dianggap

efektif dalam pengenalan identitas warga Negara dan pengakuan yang sah terhadap

agama yang dianut. Serta isu bahwa kolom agama tidak efektif dicantumkan dalam

Kartu Tanda Penduduk karena dapat menimbulkan diskriminasi sosial terhadap warga

yang tidak menganut enam agama resmi Indonesia.

Riset ini lebih lanjut dapat digunakan sebagai salah satu referensi pemutusan

Rancangan Undang-Undang mengenai kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk

jika diperlukan. Jika riset yang digunakan Dwi Jatmiko berfokus kepada pelayanan

pemerintah kepada penduduk, riset ini berfokus kepada objek benda Kartu Tanda

Penduduk itu sendiri. Sebagai wujud barang pengenalan identitas diri yang sah,

meneliti menganggap bahwa riset ini penting dilakukan karena fungsi objek riset yang

(19)

11

Penelitian M. Syafi’ie berfokus kepada Undang-Undang, sejarah, serta posisi

Kartu Tanda Penduduk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review,

sedangkan riset ini berfokus kepada masyarakat terdampak dari Putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut. Masyarakat terdampak yang dimaksud adalah masyarakat yang

memiliki masalah dengan kolom agama. antara lain adalah masyarakat yang ditolak

karena dianggap memiliki aliran sesat, masyarakat yang memiliki status agama ganda,

masyarakat yang tidak diakui agamanya oleh warga negara lainnya, serta masyarakat

yang memiliki masalah lain mengenai kolom agama sehingga secara administrasi

Kartu Tanda Penduduknya tidak dapat diterbitkan.

F. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Moleong

mendefinisikan penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penelitian yang

menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan

perilaku yang dapat diamati. Menurutnya pendekatan ini diarahkan pada latar dan

individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh

mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu

memandangnya sebagian dari suatu keutuhan.11

11

(20)

12

Artinya, data yang dikumpulkan bukan merupakan data angka-angka,

melainkan dari hasil naskah wawancara, catatan lapangan, dokumentasi, catatan

pribadi, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari

penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empiris di balik fenomena

secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif

dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan teori yang berlaku dengan

menggunakan metode deskriptif.12

Pertimbangan digunakan metode kualitatif ini sebagaimana diungkapkan

oleh Moleong adalah:13

a. Menyesuaikan metode penelitian kualitatif lebih mudah apabila dihadapkan

dengan kenyataan ganda.

b. Metode ini secara tidak langsung merupakan hakikat antara penelitian dan

responden.

c. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan pengaruh terhadap pola

-pola nilai yang dihadapi.

2. Data dan Sumber Data

Menurut S Nasution, data primer adalah data langsung yang dapat

diperoleh dari lapangan atau tempat penelitian.14 Dalam penelitian ini, peneliti

menggunakan wawancara dan observasi untuk mendapat data primer. Wawancara

12Ibid., 131. 13Ibid., 138. 14

(21)

13

dan observasi dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan

dalam masalah yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan.

Pihak-pihak yang dianggap terkait adalah lembaga-lembaga masyarakat

yang berperan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk yaitu pemerintahan. Pihak

lainnya adalah para elit agama bersamaan dengan elit pemerintahan serta tokoh yang

dianggap berpengaruh. Observasi lapangan juga akan dilakukan dengan wawancara

kepada responden yang diambil secara acak.

Data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui bahan bacaan dan

sumber-sumber lainya yang terdiri dari surat-surat pribadi, catatan-catatan, hingga

surat-surat resmi dari instansi pemerintahan. Dalam penelitian ini, sumber sekunder

diperoleh dari data-data berbagai media baik cetak maupun elektronik yang

membahas mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP. Beberapa

dokumentasi mengenai observasi langsung peneliti kepada masyarakat juga

dilampirkan.

3. Metode Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data, digunakan metode wawancara. Wawancara

ditujukan kepada para ahli agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang concern terhadap

isu terkait. Wawancara juga dilakukan kepada korban terdampak kebijakan

pencantuman kolom agama. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas

atau free interview.15 Sedangkan pengumpulan sumber data dilakukan dengan teknik

15Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

(22)

14

snowball. Metode ini digunakan karena dapat dengan mudah memperoleh

informasi dari informan sebab memiliki rasa kebersamaan dan saling percaya.

Proses wawancara dan survei dilakukan sekaligus pengumpulan data melalui

dokumentasi. Survei dilakukan pada tiga lokasi, pertama di desa Manislor Kabupaten

Kuningan, Jawa Barat. Kedua di forum lintas agama di Batu, Malang. Ketiga,

wawancara dilakukan di Kota Surabaya.

Dokumentasi dilakukan dengan melihat dan menelaah data-data yang

telah dikumpulkan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Metode

library research juga dilakukan guna menguatkan data yang diperoleh.

G. Metode Analisis Data

Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah

data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta

tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi.

Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan

yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan/verifikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data , penyajian data,

dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang saling menjalin merupakan

proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data

dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang disebut “analisis”.16

16

(23)

15

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup

transkrip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Dari

hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.

berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:

1. Reduksi Data

Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data

diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,

pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis

di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama selama proyek

yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data.

Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu

membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat

partisi, dan menulis memo.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data

sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan

diverifikasi.

Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian

lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat

disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui seleksi ketat,

melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih

(24)

16

2. Triangulasi

Selain menggunakan reduksi data peneliti juga menggunakan teknik

Triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dalam pengertiannya

triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu

yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.17

Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda18

yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk

mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution,

selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti

terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.

Denzin membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan

memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini,

dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik

pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.19

Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik

derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang

berbeda dalam penelitian kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka

ditempuh langkah sebagai berikut :

17

Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 330.

18 M. A. Nasution, Metode Research, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003), 115. 19

(25)

17

a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara

b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang

dikatakan secara pribadi.

c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian

dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.

d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan

pandangan masyarakat dari berbagai kelas.

e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.

Sementara itu, dalam catatan Tedi Cahyono dilengkapi bahwa dalam riset

kualitatif triangulasi merupakan proses yang harus dilalui oleh seorang peneliti

disamping proses lainnya, dimana proses ini menentukan aspek validitas informasi

yang diperoleh untuk kemudian disusun dalam suatu penelitian. teknik pemeriksaan

keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan

pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.

Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui

sumber lain. Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi antara

pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori yang tepat.

3. Menarik Kesimpulan

Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Ketika

kegiatan pengumpulan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari

arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi

(26)

18

Kesimpulan yang mula-mulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih

terperinci. Kesimpulan-kesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya

kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode

pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti. Tetapi seringkali kesimpulan

itu telah dirumuskan sebelumnya sejak awal.

H. Sistematika Penulisan

Mengawali tulisan ini adalah bab pertama yang merupakan pendahuluan.

Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,

manfaat diadakannya penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis, metodologi

penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab kedua

yang berupa landasan teori. Dalam bab ini akan dibahas beberapa teori yang

berkaitan dengan penghapusan kolom agama.

Teori utama yang akan diajukan berasal dari Thomas Aquinas. Kemudian

dilakukan pengembangan teori tersebut oleh John Locke. Sedangkan bab ketiga

mengidentifikasi beberapa contoh kasus pelanggaran hak asasi manusia atas nama

agama di Indonesia, pembahasan dilanjutkan dengan beberapa kasus yang terjadi di

Jawa Timur. Identifikasi kasus juga dilengkapi dengan pendapat para korban dalam

wawancara untuk mendapatkan beberapa sudut pandang sekaligus demi tercapainya

metode penelitian. Beberapa kasus yang lain dilengkapi dengan kutipan pendapat para

ahli yang concern terhadap isu terkait. Identifikasi tersebut dimaksudkan agar

(27)

19

Sedangkan bab keempat berisi pembahasan mengenai pendapat-pendapat

dan sikap yang telah dihimpun dari bab ketiga, serta akan dilakukan teknik triangulasi

dan komparasi dengan DUHAM dan teori John Locke jika dimungkinkan. Dengan

demikian, himpunan berbagai sudut pandang tersebut akan mengarahkan kepada tujuan

penelitian sehingga didapatkan kesimpulan. Kesimpulan mengenai hasil studi kasus

pada bab-bab sebelumnya serta menarik kesimpulan mengenai keterkaitan antara

kolom agama dalam KTP dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia atas

nama agama. Faktor-faktor tersebut dianalisa melalui teori tentang Civil Society

Engagement dan teori lain yang sesuai.

Bab kelima, yang menjadi bab terakhir berisi penutup. Penutup terdiri dari

(28)

20

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang

Maha Esa semata-mata karena ia manusia. Hak ini melekat pada setiap diri manusia

dan bersifat tidak dapat dicabut (inalienable). Hak ini bukan merupakan hukum positif

atau pemberian masyarakat terhadap satu individu atau dapat dibedakan dengan

individu yang lain. Oleh karena itu, apapun alasan perbedaan suku, bahasa, ras,

keyakinan, warna kulit, negara, maupun seseorang melakukan kejahatan paling berat

sekalipun, seseorang tidak akan kehilangan martabatnya dan hak asasi sebagai

manusia.1

Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia bersumber dari teori hukum kodrati

(natural law theory) Thomas Aquinas. Ia membedakan hukum menjadi empat hal,

yaitu: a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancar indera

manusia). b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancar indera

manusia). c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam

1

(29)

21

rasio manusia). d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di

dunia).2

Menurut Hugo De Groot atau Grotius, sumber hukum adalah tolak ukur yang

membedakan sifat-sifat manusia dengan makhluk lain, yaitu dengan kemampuan akal

yang dimilikinya. Sedangkan hukum alam adalah hukum yang muncul sebagai kodrat

manusia melalui akalnya, tetapi tuhan yang memberikan kekuatan dan mengikatnya.3

Grotius membuat landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat

manusia. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pembentukan tiang hukum alam yaitu:

semua prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan

pada janji; prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas

hukum alam. Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan

suatu keadilan sesuai dengan porsinya.

Pada perkembangan di masa selanjutnya, John Locke dalam bukunya “The

Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke

mengajukan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai hak yang melekat untuk

hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak

dapat dicabut oleh negara.4

Holocaust Nazi sebagai salah satu pelanggaran berat terhadap hak asasi yang

saat itu belum dideklarasikan. Serta masa perang dunia II sebagai pelanggaran berat

2e-dokumen.kemenag.go.id/files/WE8qkJdK1346383974.pdf (Rabu, 10 Mei 2017, 11.59), 2.

3 Ibid,.

4 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning

(30)

22

terhadap kemanusiaan selama masa sejarahnya. Davidson mengatakan bahwa gerakan

untuk kembali menghidupkan kembali hak kodrati dengan dirancangnya instrumen

Evolusi Pemikiran dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional yang

utama mengenai hak asasi manusia.5

Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai

wadah penyatuan pemikiran antarbangsa serta pencegahan pelanggaran hak asasi

manusia kembali terjadi di masa mendatang. Dalam Preamble Piagam PBB disebutkan

“menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan

kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan

kesetaraan negara besar dan kecil”.

Dalam forum inilah dimulainya pemahaman secara universal mengenai

gagasan hak asasi manusia. Masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak

asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan

semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”).

Hal ini ditandai dengan diterimanya ssuatu rezim hukum hak asasi manusia

internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan

International Bill of Human Rights”.

Dari penjelasan tersebut jelas bahwa teori hak-hak kodrati memiliki kontribusi

yang sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang

5 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan

(31)

23

dianggap lebih tinggi dari hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi

manusia internasional.

Lahirnya hak-hak kodrati dalam hukum internasional yang berkaitan langsung

dengan masyarakat akhirnya melampaui substansi dasar mengenai hak sipil dan politik,

namun kemudian juga berkembang pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan

belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang

disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna

hak asasi manusia dipahami saat ini.

B. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia

Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia merupakan landasan orientasi berpikir

dalam penegakan hak asasi manusia secara universal. Dalam hampir semua perjanjian

internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas.

Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan

kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk

melindungi hak-hak tertentu.6

1. Prinsip Kesetaraan

Satu gagasan tertinggi dalam hak asasi manusia adalah meletakkan setiap

individu di dunia ini dalam satu tingkatan yang sama dalam penghormatan terhadap

martabatnya. Setiap orang terlahir tanpa ikatan kewajiban apapun dan memiliki hak

6

(32)

24

asasi yang sama dalam kehidupannya sebagai manusia. Hal ini mensyaratkan bahwa

setiap manusia dalam kondisi yang sama harus diperlakukan secara sama.

Namun kemudian muncul perdebatan berbanding terbalik, apakah jika situasi

yang dihadapi berbeda, maka perlakuan juga harus berbeda. Walau kedua situasi

memiliki satu substansi rumit yang ternyata memiliki kesamaan. Atau ketika seseorang

berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang

sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus

walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan.

Tindakan afirmatif mengizinkan negara melakukan perlakuan yang berbeda

terhadap kelompok tertentu yang tidak terwakili. Seperti laki-laki dan perempuan

dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang sama. Tindakan afirmatif dilakukan

dengan mengizinkan perempuan yang diterima semata-mata karena lowongan tersebut

memiliki jumlah pekerja yang kebanyakan laki-laki dengan jumlah perempuan terlalu

sedikit, sehingga tidak proporsional7. Contoh tersebut sebagai aplikasi pada Pasal 4

CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts

Women)8 yang berbunyi:

1. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh Negara-negara Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai.

7 Ibid,.

8 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Pasal

(33)

25

2. Penerapan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Peserta, termasuk tindakan-tindakan yang tercantum dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi.

Contoh lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk

mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat

mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang

non-adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Seperti di Indonesia, sebagai

upaya untuk melestarikan suku anak dalam, pemerintah melayani anak-anak suku anak

dalam untuk mendapatkan akses sekolah gratis.

2. Prinsip Diskriminasi

Prinsip diskriminasi seolah merupakan antitesis dari prinsip kesetaraan.

Namun jika ditelaah lebih lanjut. Kedua prinsip memiliki perbedaan. Dalam

kesetaraan, semua orang diharapkan memiliki derajat yang sama, namun jika terdapat

manusia yang memiliki derajat yang berbeda, tidak ada tindakan apapun terhadap

orang tersebut.

Sedangkan dalam pembahasan prinsip anti-diskriminasi, merupakan

tanggapan dari tesis “Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan

yang diskriminatif” (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai

kesetaraan). Penekanan dilakukan kepada subyek bawah, bukan subyek yang menjadi

mayoritas.

Diskriminasi digolongkan dalam dua kelompok besar; Diskriminasi Langsung

(34)

26

langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable)

daripada lainnya. Seperti sikap seseorang yang menganggap orang yang berkulit hitam

adalah suku pedalaman. Atau mencerca seseorang yang berpenampilan jelek.

Sedangkan diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum

atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak

ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan

jelas akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada kepada laki-laki.

Atau pengosongan kolom agama bagi agama yang tak diakui menjadi sebab perbedaan

pelayanan administrasi kependudukan.

Diskriminasi sering kali dilakukan seseorang atau kelompok orang kepada

orang lain yang dianggap memiliki perbedaan yang menjadikan martabatnya lebih

rendah. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa alasan

diskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik

atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda

(property), kelahiran atau status lainnya.9 Semua hal itu merupakan alasan yang

tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan

diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.

3. Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu

Dalam DUHAM, suatu negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk

secara aktif memenuhi hak-hak dan kebebasan warganya. Negara dilarang melakukan

9

(35)

27

pembiaran terhadap warganya sehingga sikap pasif ini menyebabkan hak asasi

warganya dilanggar.10

Hak yang dimaksud adalah hak asasi manusia, sedangkan kebebasan yang

dimaksud adalah segala hal yang menjadi kebolehan perlakuan tanpa ada sanksi

tertentu terhadapnya. Hak dibagi menjadi hak yang bisa dibatasi (derogable rights)

serta hak yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights).11

Pembatasan hak yang dimaksud diatas dapat berupa pembatasan yang

digunakan untuk melakukan kontrol, karena dengannya negara berada pada kondisi

damai demi memberikan hak yang lebih tinggi bagi warganya. Sedangkan hak yang

tidak dibatasi, karena memang hak tersebut benar-benar tidak dapat dibatasi, seperti

hak untuk berkeyakinan dan berpikir. Atau hak yang memang jika tidak dibatasi tidak

akan terindikasi menyebabkan pelanggaran hak terhadap hak lain.

4. Hak Sipil dan Kewarganegaraan

Hak asasi manusia adalah upaya untuk memperlakukan semua orang sesuai

martabatnya. Istilah kesetaraan gencar dipromosikan demi mewujudkan hal tersebut.

Kesetaraan yang menandakan bahwa setiap manusia memiliki porsi masing-masing

untuk penghargaan dan perlakuan yang pantas atas kehidupannya. Perlakuan sesuai

martabat ini yang kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif yang

membeda-bedakan semua orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis.

10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 39. 11

(36)

28

Dorongan untuk mematuhi dan menjalankan HAM ini seringkali terbentur

oleh kebijakan diskriminatif. Diantaranya adalah kebijakan politik yang

memperlakukan satu negara dengan negara lain lewat kriteria ekonomi. Salah satu

kovenan yang sangat penting dan seringkali dilanggar adalah hak sipil dan politik. Hak

yang memberikan jaminan sekaligus perlindungan bagi sikap politik maupun dalam

cara berorganisasi.

Timbulnya hak sipil dan politik ini sebagian didasari oleh keinginan untuk

terhindar dari kekuasaan diktator. Suatu kekuasaan yang menutup iklim demokrasi.

Jenis kekuasaan yang enggan untuk berbagi dan bertanggung jawab terhadap publik.

Dalam kovenan sipil dan politik memang banyak sekali pengaturan yang di

satu sisi kebebasan sekaligus pembatasan pada kuasa negara. Kovenan ini dalam

penyusunannya memang menghadapi banyak persoalan. Terutama bagaimana

mengatasi kepentingan diantara beberapa negara yang berbeda. Di satu pihak gagasan

mengenai hak asasi manusia meliputi semua hak yang melekat dalam setiap individu

dan tidak menerima persyaratan apapun. Sedang di pihak lain ada banyak negara yang

sulit untuk menerima pemberlakuan ini secara mutlak, apalagi jika tanpa prasyarat

apapun. Persoalan pilihan ini juga membayangi di sejumlah negara yang akan

meratifikasi kovenan ini.

Indonesia dianggap masih kontroversial dalam memaknai pemberlakuan

HAM ini. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi anak dari kovenan hak sipil dan

politik, seperti kovenan anti penyiksaan, kovenan anak dan kovenan perempuan tapi

(37)

29

Jaminan hukum atas Hak Asasi Manusia dimuat secara utuh dalam UU No 39

tahun 1999. Dalam kaitan dengan perlindungan atas kelompok rentan yang sering kali

menjadi sasaran kebijakan. Kelompok rentan itu diantaranya adalah kaum difabel.12

Upaya Represif yang diperkenankan lewat undang-undang harus

mempertimbangkan, pertama adalah perlindungan dari segala tindakan kekerasan,

kedua jikalau tindakan kekerasan diambil itu selalu merupakan langkah terakhir setelah

berbagai upaya ditempuh dan ketiga tindakan represif itu tidak membahayakan nyawa

dan keselamatan orang. Tidak ada pelanggaran HAM yang muncul tanpa didahului

oleh struktur dan sistem yang tidak menjamin diakui dan ditegakkannya nilai HAM.

Penghormatan atas HAM dapat dikerjakan jika institusi mengawalinya terlebih dulu.

C. Teori Kebebasan Beragama

Berbagai perjanjian dan deklarasi kebebasan beragama dalam sejarahnya

tidak dapat menciptakan peluang langsung untuk memberikan pengakuan hak

mengubah agama, dasar-dasar kebebasan beragama dan memberikan dukungan kepada

mereka yang percaya bahwa kebebasan beragama merupakan Hak Sipil. Kebebasan

beragama tidak dapat dipisahkan dari kebebasan untuk mengubah agama. Artinya,

dalam banyak kasus seseorang diperbolehkan untuk memilih agama mana yang sesuai

dengan keyakinannya. Bukan untuk menciptakan keyakinan agama dengan

12

(38)

30

benar sesuai pemikirannya. Lebih lanjut, hal ini menimbulkan kontrak sosial dalam

hukum untuk menentukan agama mana yang seharusnya ada dan tidak seharusnya ada.

Sepanjang tahun 1986, Elisabeth Odio Benito menulis laporan pengamatan

Deklarasi dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dari tahun 1948

hingga 1981. Dalam laporannya dia menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak

untuk meninggalkan agama atau kepercayaannya untuk mengadopsi kepercayaan lain,

atau tetap dalam kepercayaannya tanpa sama sekali memaknai itu.

Dalam komentar umumnya mengenai pasal 18 Kovenan Internasional tentang

Hak Sipil dan Politik, Manusia Komite Hak mencapai kesimpulan yang sama. Ini

mengamati bahwa kebebasan untuk "memiliki atau mengadopsi" sebuah agama atau

keyakinan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau keyakinan,

termasuk hak untuk mengganti salah satu agama atau kepercayaan satu dengan yang

lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan

agama atau kepercayaan seseorang. Oleh karena itu Pelapor Khusus dalam OHCHR

menekankan hak mengubah agama sebagai aspek penting secara hukum kebebasan

beragama.

Manusia memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan percaya pada apa pun

yang mereka inginkan, agama atau sebaliknya, serta praktik dan berbagi

keyakinan-keyakinan dalam pengaturan swasta dan publik. Manusia harus mendapatkan

kebebasan ini sebagai warga negara di bawah aturan hukum. Artinya, pemerintah juga

(39)

31

warga. Mereka memiliki hak untuk membawa keyakinan untuk pembahasan mengenai

isu masyarakat, pemerintahan, dan urusan global.

Dengan kata lain, kebebasan beragama berkelanjutan adalah hukum yang

dilindungi serta budaya yang harus diterima sebagai kesempatan untuk memilih,

merubah, membiarkan, atau menolak keyakinan apapun, termasuk yang religius, serta

untuk membawa keyakinan mereka dalam diskusi publik.

Strategi untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan beragama di luar

negeri mengambil dua bentuk dasar (meskipun berbagai variasi hybrid mungkin

dilakukan). Strategi yang menganjurkan kebebasan beragama cenderung ke arah proses

publik. Pendekatan ini menghasilkan kesadaran tentang kebebasan beragama,

membangun kebebasan beragama: teori perubahan, pelanggaran, sekaligus

menciptakan ruang untuk mengambil kebijakan. Keterlibatan dan kesempatan untuk

mendapatkan secara ilegal mengenai kebebasan menentukan agama dan kepercayaan

dapat berujung pada penahanan hingga kurungan penjara.

Segala tindakan hukum yang diambil baik dalam melakukan tindakan hukum

berupa pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling) maupun penerbitan

ketetapan atau keputusan (beschiking), mensyaratkan bahwa seseorang secara

independen tanpa paksaan apapun dapat menentukan pilihan terhadap agama yang

diyakininya serta mendapat perlindungan hukum atasnya.

Hak kebebasan beragama diakui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak

Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diadopsi

(40)

32

Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional13 Tentang

Hak-Hak Sipil Dan Politik dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.14

Dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan

Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981,

pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa :

setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya15

Pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia

diatur juga dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa :

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Serta ketentuan pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa

Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.

13

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional.

14 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 18.

15 Persatuan Bangsa-Bangsa, Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan

(41)

33

Hal itu juga diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945

yang menyebutkan bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya

dan kepercayaannya itu.16

Dari pengaturan dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan (2), serta ketentuan

pasal 28I ayat (1), dan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, maka secara

konstitusional Indonesia menetapkan hak beragama merupakan bagian dari hak

asasi manusia yang harus dijamin, dihormati dan dilindungi baik oleh masyarakat

maupun pemerintah, sehingga perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan

hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana

ditetapkan dalam ketentuan pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945: Perlindungan,

pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab

negara, terutama pemerintah.17

Di Indonesia ditetapkan UUD Tahun 1945 telah mengatur juga tentang

jamin negara terhadap hak beragama sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan

Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha

Esa, dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.

Pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang

kemudian ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-undang Nomor 5

16 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2. 17

(42)

34

Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang tersebut.

terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen

Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi tidaklah berarti

bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf

berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti

bahwa agama-agama lainnya, seperti Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di

Indonesia.18

Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi

manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas yaitu dalam ketentuan

pasal 28E ayat (1) (2), dan pasal 28 I ayat (1), serta pasal 29 ayat (2) UUD Tahu n

1945, maka dalam tataran Undang-Undang terdapat sejumlah ketentuan yang

mengatur mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diantaranya

dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak

Asasi Manusia menyebutkan bahwa

“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran

dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui

sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut

atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat

dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

18 Republik Indonesia, Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965; Republik Indonesia,

(43)

35

Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun

199919 disebutkan bahwa :

(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Selain itu dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12

tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan

Politik20 (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan

bahwa:

Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.

Menurut Chris Seiple, terdapat berbagai strategi untuk menjunjung hak

kebebasan beragama.21 Strategi terburuk adalah "name, blame, and shame".

Pemerintah khususnya menganggap bahwa isu ini benar-benar tidak berpengaruh dan

selalu berusaha untuk menutup mulut orang-orang yang akan secara terbuka membuka

kedok pemerintahannya.

Strategi yang membangun kebebasan beragama cenderung menuju proses

kerja pribadi dari dalam ke luar yang melibatkan pejabat pemerintah dan pemimpin

19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

20 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan

Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.

21

(44)

36

agama di negara tertentu. Strategi pelaksanaannya adalah dikembangkan

bersama-sama dengan terus mengubah lingkungan sehingga terbatas untuk satu golongan

tertentu. Masyarakat ditanamkan nilai negara tradisi iman sebagai hal paling penting

untuk kesejahteraan negara secara keseluruhan. Kebebasan beragama digunakan oleh

pemerintah sebagai potongan propaganda untuk membuat kesan bahwa tidak ada

masalah di negaranya.

Strategi yang lain adalah pembangunan kebebasan beragama "a think-and-do

mentality" Akal tanpa kehendak merupakan kelemahan, dan kehendak tanpa akal

adalah berbahaya. kebebasan beragama harus dipahami dan dilindungi, dipromosikan

dalam konteks perbandingan tren lingkungan global dan lokal. filsafat politik dan

teologi harus menyentuh lapisan terbawah, bermakna kemitraan praktis di tengah

kebebasan untuk memiliki keyakinan yang tak terdamaikan.22

Mentalitas seperti itu harus dibentuk dan diinformasikan oleh "A Global

Network of Scholar-Practitioners" Memahami universalitas kebebasan beragama lokal

membutuhkan pengembangan ulama lokal dan praktisi agama (termasuk didalamnya

pemerintah dan pemimpin agama) yang dapat menjembatani pemikiran lokal dan

global, dan melakukan seminar pelatihan lokal tentang kebebasan beragama.

Perubahan yang berkelanjutan dimulai hanya dari pendidikan yang dapat mengubah

pola pikir. Oleh karena itu perilaku seperti jaringan membawa "Perbandingan

Perspektif & Pendekatan Interdisipliner". Kebebasan beragama yang terbaik adalah

22

(45)

37

belajar dalam perbandingan lokal. Konteks global yang memberikan contoh kebebasan

beragama ini memungkinkan untuk membuka jaringan keterkaitan dengan isu-isu

lainnya.23

Sebuah diskusi memungkinkan munculnya kebijakan baru seperti “Integrated

Citizens" sebagai kondisi untuk mengasimilasi kelompok minoritas yang secara

eksplisit maupun implisit mengharapkan/menyarankan bahwa minoritas apapun

terlihat dan bertindak seperti budaya mayoritas. Sebuah demokrasi yang berkelanjutan

didefinisikan sebagai sebuah lapangan umum yang mengintegrasikan semua orang

sebagai sesama warga akuntabel di bawah aturan hukum. Kebebasan untuk membawa

esensi dari identitas seseorang untuk diskusi apapun tidak hanya ditoleransi tetapi

dirayakan.24

Identitas dikembangkan dan diimplementasikan secara simultan dan

transparan dari top-down dan bottom-up, demi kebebasan beragama. Karakteristik ini

inheren, menuntut kapasitas negara untuk rekonsiliasi praktis dan kolaborasi.

1. Pembatasan Hak Beragama

Hak beragama dijamin sepenuhnya oleh negara melalui perundang-undangan

sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Hak tersebut secara otomatis wajib

dihormati oleh negara. Namun, pemenuhan tersebut memiliki batasan dalam

pelaksanaannya. Pembatasan tersebut dilakukan jika terindikasi membahayakan

ketentraman, ketertiban, dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan

23 Ibid. 24

(46)

38

publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat

demokrasi.

Dengan alasan diatas. Negara diperkenankan, atau bahkan diwajibkan untuk

melakukan pembatasan atau larangan pelaksanaan kebebasan beragama. Hal ini di

dasarkan pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:

Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Atas dasar pengaturan tersebut maka hak beragama juga dilakukan

pembatasan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang

Nomor 12 tahun 2005 menyebutkan bahwa:

Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain

Pada pasal 29 Deklarasi HAM dan pasal 18 ayat (3) Kovenan Sipol

seperti telah dijelaskan di atas mempunyai pendekatan berbeda di dalam

membatasi hak atas kebebasan beragama. Pasal 29 Deklarasi HAM25 mensyaratkan

dua hal agar pembatasan tersebut legal yaitu :

1. Pembatasan diatur oleh hukum, tentu tidak sembarangan hukum yang bisa mengatur pembatasan atas kebebasan beragama, pembatasan tersebut harus dirumuskan menurut istilah-istilah yang umum dan objektif , untuk membedakan dengan sebuah putusan pengadilan. Biasanya keputusan untuk membatasi hak manifestasi agama dikeluarkan oleh pemerintah dan dijalankan oleh sebuah badan administrasi pemerintah dengan memperhatikan scope kewenangannya;

2. Pembatasan harus sesuai dengan salah satu alasan (justifikasi) yaitu untuk mengamankan dan menghomati hak dan kebebasan orang lain, dan sesuai dengan

25

(47)

39

moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum di dalam suatu masyarakat yang demokratis.

Pembatasan hak atas kebebasan beragama di dalam DUHAM PBB dengan

pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipol memiliki sedikit perbedaan. Pasal 18 ayat (3)

Kovenan Sipol menekankan pembatasan hanya terhadap right to manifest religion,

bukan right to maintain/to change religion. Sementara Deklarasi HAM PBB

me-generalisir pembatasan untuk seluruh hak dan kebebasan beragama.

Menurut Archot Krishnaswami ini bisa terjadi karena ada perbedaan di dalam

metode penyusunannya. Pembatasan yang ada di dalam pasal 18 ayat (3) Kovenan

Sipol ditujukan secara langsung terhadap pasal-pasal spesifik yang menjabarkan

hak-hak yang substantif, sehingga secara alami pembatasan yang ada di dalam pasal 18 (3)

lebih tepat dibandingkan dengan pasal 29 Deklarasi HAM yang mana ditempatkan

pasal yang paling akhir.26

Elemen hak kebebasan beragama dibagi menjadi dua hak berbeda. Pertama,

yaitu hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion). Dalam hal ini

intervensi yang ilakuan dari luar dianggap sebagai hal yang tidak dapat dilakukan

(illegitimate) atau bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Right to change/manifest

religion tidak memiliki batasan tertentu. Tidak boleh ada paksaan yang akan

26 Archot Krishnaswami, Study of Discrimination in The Matter of Religious Rights and

(48)

40

melanggar right to change/manifest religion. Inti dari paksaan adalah adanya batasan

right to change/manifest religion.27

Hak atas manifest atau maintain agama tidak boleh dilanggar, sehingga

kebebasan harus dijamin, akan tetapi jika ada konflik dengan suatu agama atau

kepercayaan yang menyebabkan sikap acuh tak acuh, maka di dalam suatu masyarakat

yang menganut banyak agama, pembatasan praktek keagamaan atau kebiasaan

keagamaan perlu dilakukan sebagai proses rekonsiliasi kepentingan berbagai

kelompok baik mayoritas maupun minoritas. Proses tersebut tidak dapat dilakukan

dengan mengunggulkan satu agama tertentu dan merendahkan agama yang lain.

Pelaksanaan pembatasan kebebasan beragama harus fair dengan asas kesetaraan dan

kebutuhan pemenuhan atas kepentingan bersama.

Agama memiliki dua sisi yang berbeda. Secara pribadi, agama mampu

membentuk karakter manusia sesuai dengan apa yang diyakininya secara

sungguh-sungguh. Secara sosial, agama mampu menyatukan kelompok orang yang sama sekali

tidak memiliki kesamaan atau keterikatan untuk bersatu.

Kebebasan beragama merupakan salah satu perwujudan dari kebebasan untuk

berkumpul secara damai, berserikat dan berorganisasi

Kovenan Sipol sendiri hanya membatasi hak atas kebebasan beragama yang

manifest (eksternal), dengan persyaratan (kumulatif) sebagai berikut :

27

(49)

41

1. Diatur oleh hukum, dan perlu untuk melindungi keamanan masyarakat, ketertiban

umum, kesehatan atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain yang

fundamental;

2. Pembatasan harus dihubungkan dan proporsional dengan kebutuhan yang spesifik;

3. Pembatasan tidak

Gambar

Tabel. 1. Skema kasus-kasus pelanggaran HAM nasional:
Tabel. 2. Komunitas Adat terpencil Suku Anak Dalam Kategori
Tabel 3.Komunitas Adat Terpencil Suku Anak dalam Kategori Menetap

Referensi

Dokumen terkait

beroperasi dalam keadaan satu fasa stator terbuka dengan beban yang sama dalam keadaan normal kecepatan motor induksi lebih rendah dari pada keadaan normal, hal

Pada 09 Ogos 2018, Pusat Sumber UiTM (Melaka) Kampus Bandaraya telah menerima lawatan ‘Job Attachment ‘ dari Perpustakaan Tun Abdul Razak (PTAR) UiTM Cawangan Peraki. Lawatan

Salah Konvensi Internasional tersebut adalah Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination Off All Forms of

Jurnal Berkala Arkeologi Vol 36, Edisi Nomor 2, November 2016 menampilkan dengan komposisi tiga tulisan hasil penelitian Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta, satu

Parameter yang digunakan untuk membangkitkan suara gamelan full synthetic merupakan fitur-fitur sinyal antara lain: amplitudo, frekuensi dasar, frekuensi harmonisa,

Pada proses pengembangan sistem informasi menggunakan prototyping model yang terdiri dari 7 tahap yaitu : (1) Mengumpulkan dan menganalisis kebutuhan, (2)