AGAMA DAN HAM
(Studi Kasus tentang Kolom Agama dalam Kartu Tanda Penduduk)
Skripsi:
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Akhir guna Memperoleh Gelar Sarjana
Strata Satu (S-1) dalam Ilmu Ushuluddin dan Filsafat
Oleh:
Muh. Kholid Ismatulloh E92213058
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
PROGRAM STUDI
STUDI AGAMA-AGAMA
ABSTRAK
Tujuan dari penelitian ini adalah analisis terhadap kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk. Kolom agama telah menjadi polemik sejak diberlakukan pada 1967. Hingga saat ini, perdebatan mengenai manfaat dan masalah akibat kolom agama masih terjadi. Kasus-kasus pelanggaran HAM atas nama agama dalam kurun waktu 2011-2016 diantaranya adalah pelarangan jemaat Ahmadiyah, tragedi aliran kepercayaan di Aceh, pembiaran terhadap Suku Anak Dalam di Jambi, kasus Syiah Sampang, serta kasus diskriminasi terhadap penghayat kepercayaan. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan korelasi antara pencantuman kolom agama dalam KTP dengan hak-hak kewarganegaraan dan pelanggaran kebebasan beragama. Melalui metode studi kasus, muncul asumsi awal bahwa kolom agama di KTP merupakan sebab terjadinya kasus pelanggaran HAM atas nama agama. setelah dilakukan penelitian, dapat diambil kesimpulan bahwa 1) Negara telah menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan warganya dan melindunginya demi hukum. Berbagai pasal dan undang -undang mengenai kebebasan beragama mulai gencar dibentuk sejak pasca reformasi, termasuk ratifikasi kovenan internasional HAM. Kasus pelanggaran HAM tidak diakibatkan oleh kolom agama, namun membuka potensi diskriminasi terhadap kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan. 2) kolom agama dalam KTP tidak menjadi masalah dalam kehidupan keberagamaan di Indonesia secara umum. Kolom agama menekan eksistensi kelompok aliran kepercayaan dan minoritas keagamaan, dan berpotensi terhalangnya hak kebebasan beragama bagi kelompok tersebut.
DAFTAR ISI
Sampul Depan... i
Sampul Dalam ... ii
Abstrak ... iii
Persetujuan Pembimbing ... iv
Pengesahan Skripsi ... v
Pernyataan Keaslian ... vi
Motto ... vii
Kata Pengantar... viii
Daftar Isi ... xi
Daftar Tabel ... xiii
BAB I: PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan Penelitian ... 6
D. Manfaat Penelitian ... 7
E. Telaah Kepustakaan ... 7
F. Metode Penelitian ... 11
G. Metode Analisis Data ... 14
H. Sistematika Penulisan ... 18
BAB II: LANDASAN TEORI ... 20
A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia... 20
C. Teori Kebebasan Beragama ... 29
D. Islam dan Hak Asasi Manusia ... 42
BAB III: KASUS PELANGGARAN HAM DI INDONESIA ... 47
A. Pendahuluan ... 47
B. Kasus Pelanggaran HAM Nasional ... 48
1. Kasus Pelarangan Ahmadiyah ... 56
2. Tragedi Aliran Kepercayaan di Aceh ... 61
3. Konversi Agama Suku Anak Dalam ... 70
C. Kasus Pelanggaran HAM Jawa Timur ... 80
1. Konflik Syiah Sampang ... 80
2. Kasus Pernikahan Tionghoa Surabaya ... 85
3. Diskriminasi terhadap Penghayat Kepercayaan ... 87
D. Kesimpulan... 95
BAB IV PRO DAN KONTRA ... 98
A. Pendahuluan ... 98
B. Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 105
C. Tidak Setuju terhadap Penghapusan Kolom Agama ... 118
D. Kesimpulan... 124
BAB V PENUTUP ... 128
A. Kesimpulan... 128
B. Saran ... 129
Daftar Pustaka ... 131
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perlindungan dan pengakuan terhadap kepastian status pribadi dan status
hukum penduduk merupakan hak setiap warga negara. Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan baru dibentuk di Era Reformasi.
Sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006, pengaturan tentang
Administrasi Kependudukan, termasuk di dalamnya pengaturan tentang Kartu Tanda
Penduduk (KTP) diatur oleh peraturan peninggalan Pemerintah Kolonial Hindia
Belanda (Staatsblad) dan setingkat peraturan Menteri.
Pentingnya administrasi kependudukan bagi setiap individu yang menetap di
suatu negara, seperti Negara Republik Indonesia, menjadi salah satu alasan kuat
para Penghayat Kepercayaan terus memperjuangkan hak-hak mereka untuk
mendapatkan dokumen-dokumen kependudukan. Sebelum berlakunya Undang-
undang Nomor 23 Tahun 2006 yang telah dilakukan perubahan dengan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 serta Peraturan Pelaksananya yaitu Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007, demi mendapatkan Kartu Tanda Penduduk (KTP)
atau demi mendapatkan Akta Perkawinan, para Penghayat Kepercayaan terpaksa
2
Kolom agama di KTP mereka pun tercantum salah satu agama mayoritas, walaupun
mereka tidak meyakininya. Setelah berlakunya kedua peraturan
perundang-undangan tersebut, terdapat ketentuan di dalam Pasal 64 ayat (5) Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2013 yang mengatakan bahwa:
Keterangan tentang agama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) bagi penduduk yang agamanya belum diakui sebagai agama berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan atau bagi Penghayat Kepercayaan tidak diisi, tetapi tetap dilayani dan dicatat dalam database kependudukan
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kolom agama dalam KTP seorang
Penghayat Kepercayaan tidak lagi diisi dengan salah satu agama yang diakui oleh
Negara, yaitu Islam, Kristen Protestan, Khatolik, Hindu, Budha ataupun Konghucu,
namun dikosongkan atau diberi tanda (-). Akan tetapi hak-hak sipil yang diterima oleh
Penghayat Kepercayaan sama dengan yang diterima oleh penganut agama lainnya
dan tidak boleh dibedakan, serta hal tersebut harus dijamin oleh Pemerintah Negara
Republik Indonesia.
Masalah kolom agama ini sudah cukup lama diperdebatkan. Hal ini
menandakan bahwa masalah ini bukan masalah sepele. Masalah kolom Agama
juga memiliki fungsi yang cukup besar dalam menciptakan perdamaian.
Masalah kolom agama yang tidak segera ditindaklanjuti akan memicu
sebuah konflik besar. Bahkan konflik agama yang belum pernah terjadi sebelumnya.
3
(10/11/14) menilai hal tersebut sebagai bentuk diskriminasi administrasi.1 Selain itu,
langkah tersebut kata Bonar memperlihatkan tidak adanya pengakuan yang setara
terhadap agama dan kepercayaan yang ada di luar enam agama resmi. Sesuai dengan
prinsip hak asasi manusia, lembaganya sangat tidak menyetujui adanya kolom agama
di KTP.
Menurut Bonar, semua negara harus setara, tidak boleh ada diskriminasi
agama tertentu. Negara, kata Bonar, sebaiknya mengambil jarak dari agama dan
kepercayaan termasuk masalah administrasi kependudukan. Lebih lanjut dia
menjelaskan dalam sejarahnya, pada tahun kepemimpinan Soekarno-Hatta Indonesia
pernah tidak mencantumkan kolom agama dalam KTP. Pencantuman kolom agama
dilakukan pada masa orde baru. Menurutnya pencantuman dilakukan untuk menekan
paham komunisme dan juga sebagai bentuk kontrol. Bonar mengatakan:
Ke-identitasan sosial kita kan ke-Indonesiaan, selama kita menjadi Indonesia berarti hak-hak kita sebagai warga negara diperlakukan sama. Kedua, kalau ada kolom agama itu berarti ada semacam pembedaan-pembedaan. Dalam pelayanan publik kan juga tidak menjadi penting apa yang disebut dengan identitas keagamaan. Apakah karena agama kamu X, (maka) kamu mendapatkan pelayanan kesehatan, pendidikan yang lebih dari agama lain, kan tidak kan? Dihapuskan sama sekali tetapi kemudian dicantumkan ke dalam data kependudukan jadi dokumen kependudukan lain yang ada di kelurahan dan kecamatan atau kalau mau mencantumkan semua agama dan kepercayaan di Indonesia berdasarkan pilihan warga negara."2
Masalah penghapusan kolom agama menjadi penting karena kehidupan
masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa dan negara yang memiliki
1FathiyahWardah, “Pengosongan Agama di KTP Dinilai sebagai Bentuk Diskriminasi”,
http://www.voaindonesia.com/a/pengosongan-agama-di-ktp-diskriminasi/2515027.html (Jumat, 10 Maret 2017, 13.28).
2
4
keberagaman suku, bangsa, agama, dan masyarakat. Berbagai suku bangsa yang
berbeda mendiami wilayah Indonesia yang terdiri dari 13.466 pulau.3 Dengan
keberagaman tersebut, Indonesia seharusnya bisa menjadi Negara yang bertoleransi
dan menghargai pluralisme. Indonesia memiliki enam agama4 yang diakui sebagai
agama resmi. Banyak aliran serta kepercayaan lain yang tidak termasuk agama resmi
tersebar di wilayah Indonesia.
Sesuai dengan UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berbunyi: “Negara
menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, serta
dipertegas pula dengan sila pertama Pancasila yang menekankan kebebasan bagi
pemeluk agama yang dianut warga negara, Indonesia telah memiliki dasar sebagai
Negara yang menjunjung tinggi pluralism. Apalagi semboyan Negara Indonesia
yang berbunyi Bhineka Tunggal Ika menjadi bukti kuat nilai pluralisme telah
diperkenalkan di Indonesia sejak lama.
Pluralisme agama sendiri adalah pemahaman yang tunggal dalam
menghadapi kenyataan yang jamak.5 Konsep pluralisme (kemajemukan) inilah yang
harusnya dikembangkan di Indonesia. Pluralitas (khususnya agama) merupakan
potensi dan mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses integrasi maupun
3
Article 55, UN Convention on the Law of The Sea (Konvensi PBB tentang Hukum Laut Internasional) Tahun 1982.
4Keppres No.6 Tahun 2000 tentang Pencabutan Instruksi Presiden No.14 Tahun 1967.
5Suhermanto Ja’far, Filsafat Perenial dan Titik Temu Agama-Agama, (Surabaya: Elkaf, 2007),
5
pembangunan bangsa, mengingat setiap agama mewajibkan umatnya untuk
mencintai sesama dan hidup rukun.6
Namun, agama sebagai sebuah keyakinan privat harus berhadapan dengan
keyakinan lain yang juga mengusung prinsip kebenaran mutlak. Karena hal inilah,
seringkali muncul sikap taassub (fanatisme) yang akhirnya menjadi paham
absolutisme. Paham inilah yang akhirnya menimbulkan truthclaim di kalangan
penganut agama.
Pemaksaan-pemaksaan kehendak itulah yang akhirnya akan menimbulkan
konflik. Apalagi jika hal tersebut dilakukan oleh pihak mayoritas kepada pihak
minoritas. Konflik sendiri adalah sebuah ekspresi heterogenitas kepentingan, nilai,
dan keyakinan yang muncul sebagai formasi baru yang ditimbulkan oleh
perubahan sosial yang muncul bertentangan dengan hambatan yang diwariskan.
Hubungan dan interaksi pemeluk agama, baik dengan sesama agama
maupun antaragama sering terjadi di Indonesia. Agaknya, hal inilah yang
menimbulkan konflik agama. Seperti pada kolom agama pada kartu tanda
penduduk di Indonesia.
Persaingan mayoritas dan minoritas sangat terlihat dalam penentuan kolom
agama tersebut. Satu sisi menginginkan kolom tetap ada dengan dalih bahwa
agama merupakan identitas diri yang penting untuk diketahui orang lain. Sedangkan
disisi lain orang tidak setuju dengan adanya kolom agama tersebut. Alasannya
6
6
adalah, agama merupakan urusan pribadi individu. Agama juga dianggap
merupakan sumber dari ketidakadilan dan konflik karena identitas tersebut
melabelkan diri seseorang dengan mayoritas atau minoritas secara tidak langsung.
B.Rumusan Masalah
Dalam penyusunan penelitian ini, agar terhindar dari penyimpangan
masalah yang dibahas, perlu dipertegas masalah-masalah yang akan dianalisis,
sehingga sesuai dengan judul yang diajukan.
1. Adakah hubungan antara pencantuman kolom agama di KTP dengan
pelanggaran hak kebebasan beragama?
2. Apa ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam KTP?
C.Tujuan Penelitian
Penelitian ini diadakan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu.
1. Untuk mengetahui hubungan antara pencantuman kolom Agama dalam KTP
dengan pelanggaran hak kebebasan beragama.
2. Untuk mengetahui ide dibalik pro dan kontra mengenai kolom Agama dalam
7
D.Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis dari penelitian ini berkaitan dengan teori yang
disampaikan Thomas Aquinas dan John Locke mengenai human rights7sebagai hak
dan kewajiban sipil merupakan akibat langsung dari teori hukum berdasarkan
kekuasaan, pada hak untuk mempertahankan hidup. Penelitian ini akan diarahkan
untuk memberikan sumbangan teori mengenai penerapan teori oleh Thomas
Aquinas dan John Locke terhadap kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.
Sedangkan manfaat praktis akan diwujudkan dalam penyelesaian masalah
di Indonesia. Hingga saat ini, berbagai konflik dan masalah agama terjadi di Indonesia.
Hal ini dilatarbelakangi oleh agama dan kesenjangan antara mayoritas dan
minoritas. Kesenjangan tersebut diperburuk dengan pelabelan agama dalam KTP
masyarakat. Hasil dari penelitian ini dapat disumbangkan sebagai salah satu solusi
pencegahan konflik untuk mencapai win-win solution.
E.Telaah Kepustakaan
Dalam penyusunannya, riset dilakukan dengan pengkajian beberapa
penelitian terdahulu sebagai salah satu sumber data. Riset tersebut diantaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Anisah Mundari yang berjudul Analisis Yuridis
7Andrew Altman, "Civil Rights", The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2013
8
Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik).8 Dalam penelitian ini, riset
dilakukan dengan konsentrasi studi mengenai efektifitas kolom Agama dalam Kartu
Tanda Penduduk ditinjau dari Administrasi Kependudukan. Penelitian ini dilakukan
di Kota Makassar. Objek penelitiannya adalah Kementrian Agama, Kantor Catatan
Sipil, Kecamatan Biringkanaya, Kecamatan Wajo dan Kecamatan Tamalate.
Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 1/PNPS Tahun 1965 hanya
mengakui enam agama yaitu Islam, Kristen, Protestan, Hindu, Budha, dan
Khonghucu. Pengakuan negara terhadap agama tertentu memang dibolehkan dan
tidak melanggar hak asasi manusia. Sayangnya pengakuan negara terhadap enam
agama tersebut menimbulkan dampak terlanggarnya beberapa hak asasi manusia,
khususnya para penganut aliran kepercayaan dan agama-agama selain agama resmi
yang diakui negara. Dampak yang timbul dari pengakuan negara terhadap agama
-agama tertentu tersebut adalah pembubaran aliran-aliran yang dianggap sesat,
pencantuman agama di dalam KTP yang kemudian menjadi pintu masuk pembatasan
hak-hak para penganut aliran kepercayaan dan agama yang tidak diakui negara.
Penelitian oleh Dwi Jatmiko yang berjudul Kualitas Pelayanan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) dalam Meningkatkan Kepuasan Masyarakat (Studi Di Kecamatan
Grobogan Kabupaten Grobogan)9. Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
8
Anisah Mundari, “Analisis Yuridis Pencantuman Agama dalam E-KTP (KTP Elektronik)” (Skripsi tidak diterbitkan, Program Studi Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar, 2016)
9
dengan mengangkat topik permasalahan tentang efektivitas pelayanan aparat terkait
faktor kepemimpinan kepala desa, Penelitian yang bersifat survey explanatory, yaitu
untuk menjelaskan hubungan variabel dan menguji hipotesanya ini dilakukan di
lingkungan Kantor Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten Grobogan. Sebagai
populasi adalah seluruh penduduk di Desa Sobo Kecamatan Geyer Kabupaten
Grobogan dan sebagai sampelnya 116 orang. Elemen dari 20 % dari jumlah KK.Dari
penelitian yang dilakukan diperoleh hasil yang menunjukkan adanya pengaruh yang
signifikan antara kepemimpinan kepala desa terhadap efektivitas pelayanan aparat pada
masyarakat di desa Sobo kecamatan Geyer kabupaten Grobogan.
Penelitian oleh M. Syafi’ie yang berjudul Ambiguitas Hak Kebebasan
Beragama di Indonesia dan Posisinya Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi.10 Dalam
penelitian ini menyoroti beberapa regulasi tentang hak asasi manusia di Indonesia
khususnya pada pasal 28I ayat 1. Penelitian ini membahas tentang hak kebebasan
beragama di tengah maraknya kekerasan yang atas nama agama mendorong
beberapa LSM dan tokoh demokrasi untuk melakukan judicial review terhadap UU No.
1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan atau Penodaan Agama.
Undang-Undang tersebut dianggap bertentangan dengan jaminan hak beragama
yang tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Dalam konteks tersebut, Mahkamah
diterbitkan, Program Studi Ilmu Administrasi NegaraJurusan Ilmu Administrasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas 17 Agustus 1945 Semarang, 2012)
10
Konstitusi menolak seluruh permohonan judicial review UU tersebut, walaupun
terdapat disenting opinion dari salah satu hakim konstitusi. Pasca putusan
Mahkamah Konstitusi, identitas hak beragama di Indonesia menjadi lebih terang,
yaitu bisa dikurangi dan dibatasi. Putusan Mahkamah Konstitusi tidak menjadi
kabar gembira bagi para pemohon, karena UU. No. 1/PNPS/1965 bagi mereka
adalah salah satu alat kelompok tertentu untuk membenarkan kekerasan atas nama
agama kontemporer.
Posisi riset ini dipusatkan kepada efektifitas kolom agama dalam Kartu Tanda
Penduduk. Efektifitas yang dimaksud adalah usaha untuk mendapatkan jawaban
masyarakat yang selama ini menghadapi dua isu besar, kolom agama yang dianggap
efektif dalam pengenalan identitas warga Negara dan pengakuan yang sah terhadap
agama yang dianut. Serta isu bahwa kolom agama tidak efektif dicantumkan dalam
Kartu Tanda Penduduk karena dapat menimbulkan diskriminasi sosial terhadap warga
yang tidak menganut enam agama resmi Indonesia.
Riset ini lebih lanjut dapat digunakan sebagai salah satu referensi pemutusan
Rancangan Undang-Undang mengenai kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk
jika diperlukan. Jika riset yang digunakan Dwi Jatmiko berfokus kepada pelayanan
pemerintah kepada penduduk, riset ini berfokus kepada objek benda Kartu Tanda
Penduduk itu sendiri. Sebagai wujud barang pengenalan identitas diri yang sah,
meneliti menganggap bahwa riset ini penting dilakukan karena fungsi objek riset yang
11
Penelitian M. Syafi’ie berfokus kepada Undang-Undang, sejarah, serta posisi
Kartu Tanda Penduduk pasca Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai judicial review,
sedangkan riset ini berfokus kepada masyarakat terdampak dari Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Masyarakat terdampak yang dimaksud adalah masyarakat yang
memiliki masalah dengan kolom agama. antara lain adalah masyarakat yang ditolak
karena dianggap memiliki aliran sesat, masyarakat yang memiliki status agama ganda,
masyarakat yang tidak diakui agamanya oleh warga negara lainnya, serta masyarakat
yang memiliki masalah lain mengenai kolom agama sehingga secara administrasi
Kartu Tanda Penduduknya tidak dapat diterbitkan.
F. Metodologi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Moleong
mendefinisikan penelitian kualitatif ini sebagai prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan
perilaku yang dapat diamati. Menurutnya pendekatan ini diarahkan pada latar dan
individu tersebut secara holistic (utuh). Jadi, dalam hal ini tidak boleh
mengisolasikan individu atau organisasi ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi perlu
memandangnya sebagian dari suatu keutuhan.11
11
12
Artinya, data yang dikumpulkan bukan merupakan data angka-angka,
melainkan dari hasil naskah wawancara, catatan lapangan, dokumentasi, catatan
pribadi, memo, dan dokumen resmi lainnya. Sehingga yang menjadi tujuan dari
penelitian kualitatif ini adalah ingin menggambarkan realita empiris di balik fenomena
secara mendalam, rinci, dan tuntas. Oleh karena itu penggunaan pendekatan kualitatif
dalam penelitian ini adalah dengan mencocokkan teori yang berlaku dengan
menggunakan metode deskriptif.12
Pertimbangan digunakan metode kualitatif ini sebagaimana diungkapkan
oleh Moleong adalah:13
a. Menyesuaikan metode penelitian kualitatif lebih mudah apabila dihadapkan
dengan kenyataan ganda.
b. Metode ini secara tidak langsung merupakan hakikat antara penelitian dan
responden.
c. Metode ini lebih peka dan menyesuaikan diri dengan pengaruh terhadap pola
-pola nilai yang dihadapi.
2. Data dan Sumber Data
Menurut S Nasution, data primer adalah data langsung yang dapat
diperoleh dari lapangan atau tempat penelitian.14 Dalam penelitian ini, peneliti
menggunakan wawancara dan observasi untuk mendapat data primer. Wawancara
12Ibid., 131. 13Ibid., 138. 14
13
dan observasi dilakukan terhadap pihak-pihak tertentu yang memiliki kewenangan
dalam masalah yang terjadi di Indonesia secara keseluruhan.
Pihak-pihak yang dianggap terkait adalah lembaga-lembaga masyarakat
yang berperan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk yaitu pemerintahan. Pihak
lainnya adalah para elit agama bersamaan dengan elit pemerintahan serta tokoh yang
dianggap berpengaruh. Observasi lapangan juga akan dilakukan dengan wawancara
kepada responden yang diambil secara acak.
Data sekunder adalah data-data yang diperoleh melalui bahan bacaan dan
sumber-sumber lainya yang terdiri dari surat-surat pribadi, catatan-catatan, hingga
surat-surat resmi dari instansi pemerintahan. Dalam penelitian ini, sumber sekunder
diperoleh dari data-data berbagai media baik cetak maupun elektronik yang
membahas mengenai penghapusan kolom agama dalam KTP. Beberapa
dokumentasi mengenai observasi langsung peneliti kepada masyarakat juga
dilampirkan.
3. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data, digunakan metode wawancara. Wawancara
ditujukan kepada para ahli agama dan tokoh-tokoh masyarakat yang concern terhadap
isu terkait. Wawancara juga dilakukan kepada korban terdampak kebijakan
pencantuman kolom agama. Jenis wawancara yang digunakan adalah wawancara bebas
atau free interview.15 Sedangkan pengumpulan sumber data dilakukan dengan teknik
15Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
14
snowball. Metode ini digunakan karena dapat dengan mudah memperoleh
informasi dari informan sebab memiliki rasa kebersamaan dan saling percaya.
Proses wawancara dan survei dilakukan sekaligus pengumpulan data melalui
dokumentasi. Survei dilakukan pada tiga lokasi, pertama di desa Manislor Kabupaten
Kuningan, Jawa Barat. Kedua di forum lintas agama di Batu, Malang. Ketiga,
wawancara dilakukan di Kota Surabaya.
Dokumentasi dilakukan dengan melihat dan menelaah data-data yang
telah dikumpulkan melalui berbagai media, baik cetak maupun elektronik. Metode
library research juga dilakukan guna menguatkan data yang diperoleh.
G. Metode Analisis Data
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data empiris yang diperoleh adalah
data kualitatif berupa kumpulan berwujud kata-kata dan bukan rangkaian angka serta
tidak dapat disusun dalam kategori-kategori/struktur klasifikasi.
Menurut Miles dan Huberman, kegiatan analisis terdiri dari tiga alur kegiatan
yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data, penyajian data, dan penarikan
kesimpulan/verifikasi. Terjadi secara bersamaan berarti reduksi data , penyajian data,
dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu yang saling menjalin merupakan
proses siklus dan interaksi pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data
dalam bentuk sejajar yang membangun wawasan umum yang disebut “analisis”.16
16
15
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup
transkrip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Dari
hasil analisis data yang kemudian dapat ditarik kesimpulan.
berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:
1. Reduksi Data
Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data
diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan,
pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis
di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung terus-menerus, terutama selama proyek
yang berorientasi kualitatif berlangsung atau selama pengumpulan data.
Selama pengumpulan data berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu
membuat ringkasan, mengkode, menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat
partisi, dan menulis memo.
Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,
menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan mengorganisasi data
sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan akhirnya dapat ditarik dan
diverifikasi.
Reduksi data atau proses transformasi ini berlanjut terus sesudah penelitian
lapangan, sampai laporan akhir lengkap tersusun. Jadi dalam penelitian kualitatif dapat
disederhanakan dan ditransformasikan dalam aneka macam cara: melalui seleksi ketat,
melalui ringkasan atau uraian singkat, menggolongkan dalam suatu pola yang lebih
16
2. Triangulasi
Selain menggunakan reduksi data peneliti juga menggunakan teknik
Triangulasi sebagai teknik untuk mengecek keabsahan data. Dalam pengertiannya
triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu
yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian.17
Triangulasi dapat dilakukan dengan menggunakan teknik yang berbeda18
yaitu wawancara, observasi dan dokumen. Triangulasi ini selain digunakan untuk
mengecek kebenaran data juga dilakukan untuk memperkaya data. Menurut Nasution,
selain itu triangulasi juga dapat berguna untuk menyelidiki validitas tafsiran peneliti
terhadap data, karena itu triangulasi bersifat reflektif.
Denzin membedakan empat macam triangulasi diantaranya dengan
memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik dan teori. Pada penelitian ini,
dari keempat macam triangulasi tersebut, peneliti hanya menggunakan teknik
pemeriksaan dengan memanfaatkan sumber.19
Triangulasi dengan sumber artinya membandingkan dan mengecek balik
derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat yang
berbeda dalam penelitian kualitatif. Adapun untuk mencapai kepercayaan itu, maka
ditempuh langkah sebagai berikut :
17
Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2004), 330.
18 M. A. Nasution, Metode Research, (Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2003), 115. 19
17
a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang
dikatakan secara pribadi.
c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian
dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu.
d. Membandingkan keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendapat dan
pandangan masyarakat dari berbagai kelas.
e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen yang berkaitan.
Sementara itu, dalam catatan Tedi Cahyono dilengkapi bahwa dalam riset
kualitatif triangulasi merupakan proses yang harus dilalui oleh seorang peneliti
disamping proses lainnya, dimana proses ini menentukan aspek validitas informasi
yang diperoleh untuk kemudian disusun dalam suatu penelitian. teknik pemeriksaan
keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data itu untuk keperluan
pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu.
Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui
sumber lain. Model triangulasi diajukan untuk menghilangkan dikotomi antara
pendekatan kualitatif dan kuantitatif sehingga benar-benar ditemukan teori yang tepat.
3. Menarik Kesimpulan
Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verifikasi. Ketika
kegiatan pengumpulan data dilakukan, seorang penganalisis kualitatif mulai mencari
arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi-konfigurasi
18
Kesimpulan yang mula-mulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih
terperinci. Kesimpulan-kesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya
kumpulan-kumpulan catatan lapangan, pengkodeannya, penyimpanan, dan metode
pencarian ulang yang digunakan, dan kecakapan peneliti. Tetapi seringkali kesimpulan
itu telah dirumuskan sebelumnya sejak awal.
H. Sistematika Penulisan
Mengawali tulisan ini adalah bab pertama yang merupakan pendahuluan.
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah,
manfaat diadakannya penelitian ini baik secara teoritis maupun praktis, metodologi
penelitian yang digunakan, serta sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan bab kedua
yang berupa landasan teori. Dalam bab ini akan dibahas beberapa teori yang
berkaitan dengan penghapusan kolom agama.
Teori utama yang akan diajukan berasal dari Thomas Aquinas. Kemudian
dilakukan pengembangan teori tersebut oleh John Locke. Sedangkan bab ketiga
mengidentifikasi beberapa contoh kasus pelanggaran hak asasi manusia atas nama
agama di Indonesia, pembahasan dilanjutkan dengan beberapa kasus yang terjadi di
Jawa Timur. Identifikasi kasus juga dilengkapi dengan pendapat para korban dalam
wawancara untuk mendapatkan beberapa sudut pandang sekaligus demi tercapainya
metode penelitian. Beberapa kasus yang lain dilengkapi dengan kutipan pendapat para
ahli yang concern terhadap isu terkait. Identifikasi tersebut dimaksudkan agar
19
Sedangkan bab keempat berisi pembahasan mengenai pendapat-pendapat
dan sikap yang telah dihimpun dari bab ketiga, serta akan dilakukan teknik triangulasi
dan komparasi dengan DUHAM dan teori John Locke jika dimungkinkan. Dengan
demikian, himpunan berbagai sudut pandang tersebut akan mengarahkan kepada tujuan
penelitian sehingga didapatkan kesimpulan. Kesimpulan mengenai hasil studi kasus
pada bab-bab sebelumnya serta menarik kesimpulan mengenai keterkaitan antara
kolom agama dalam KTP dengan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia atas
nama agama. Faktor-faktor tersebut dianalisa melalui teori tentang Civil Society
Engagement dan teori lain yang sesuai.
Bab kelima, yang menjadi bab terakhir berisi penutup. Penutup terdiri dari
20
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Hak Asasi Manusia
Hak Asasi Manusia merupakan hak yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang
Maha Esa semata-mata karena ia manusia. Hak ini melekat pada setiap diri manusia
dan bersifat tidak dapat dicabut (inalienable). Hak ini bukan merupakan hukum positif
atau pemberian masyarakat terhadap satu individu atau dapat dibedakan dengan
individu yang lain. Oleh karena itu, apapun alasan perbedaan suku, bahasa, ras,
keyakinan, warna kulit, negara, maupun seseorang melakukan kejahatan paling berat
sekalipun, seseorang tidak akan kehilangan martabatnya dan hak asasi sebagai
manusia.1
Gagasan mengenai Hak Asasi Manusia bersumber dari teori hukum kodrati
(natural law theory) Thomas Aquinas. Ia membedakan hukum menjadi empat hal,
yaitu: a. lex aeterna (hukum rasio tuhan yang tidak dapat ditangkap oleh pancar indera
manusia). b. lex divina (hukum rasio tuhan yang dapat ditangkap oleh pancar indera
manusia). c. lex naturalis (hukum alam, yaitu penjelmaan lex aeterna ke dalam
1
21
rasio manusia). d. lex positivis (penerapan lex naturalis dalam kehidupan manusia di
dunia).2
Menurut Hugo De Groot atau Grotius, sumber hukum adalah tolak ukur yang
membedakan sifat-sifat manusia dengan makhluk lain, yaitu dengan kemampuan akal
yang dimilikinya. Sedangkan hukum alam adalah hukum yang muncul sebagai kodrat
manusia melalui akalnya, tetapi tuhan yang memberikan kekuatan dan mengikatnya.3
Grotius membuat landasan-landasan pembatasan terhadap hukum yang dibuat
manusia. Pembatasan tersebut dilakukan dengan pembentukan tiang hukum alam yaitu:
semua prinsip kupunya dan kau punya. Milik orang lain harus dijaga; prinsip kesetiaan
pada janji; prinsip ganti rugi dan prinsip perlunya hukuman karena pelanggaran atas
hukum alam. Dengan demikian hukum akan ditaati karena hukum akan memberikan
suatu keadilan sesuai dengan porsinya.
Pada perkembangan di masa selanjutnya, John Locke dalam bukunya “The
Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning Toleration” Locke
mengajukan pemikiran bahwa semua individu dikaruniai hak yang melekat untuk
hidup, kebebasan dan kepemilikan, yang merupakan milik mereka sendiri dan tidak
dapat dicabut oleh negara.4
Holocaust Nazi sebagai salah satu pelanggaran berat terhadap hak asasi yang
saat itu belum dideklarasikan. Serta masa perang dunia II sebagai pelanggaran berat
2e-dokumen.kemenag.go.id/files/WE8qkJdK1346383974.pdf (Rabu, 10 Mei 2017, 11.59), 2.
3 Ibid,.
4 John Locke, The Second Treatise of Civil Government and a Letter Concerning
22
terhadap kemanusiaan selama masa sejarahnya. Davidson mengatakan bahwa gerakan
untuk kembali menghidupkan kembali hak kodrati dengan dirancangnya instrumen
Evolusi Pemikiran dan Sejarah Perkembangan Hak Asasi Manusia Internasional yang
utama mengenai hak asasi manusia.5
Hal ini diwujudkan dengan dibentuknya Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai
wadah penyatuan pemikiran antarbangsa serta pencegahan pelanggaran hak asasi
manusia kembali terjadi di masa mendatang. Dalam Preamble Piagam PBB disebutkan
“menegaskan kembali kepercayaan terhadap hak asasi manusia, terhadap martabat dan
kemuliaan manusia, terhadap kesetaraan hak-hak laki-laki dan perempuan, dan
kesetaraan negara besar dan kecil”.
Dalam forum inilah dimulainya pemahaman secara universal mengenai
gagasan hak asasi manusia. Masyarakat internasional bersepakat menjadikan hak
asasi manusia sebagai “suatu tolok ukur pencapaian bersama bagi semua rakyat dan
semua bangsa” (“a commond standard of achievement for all peoples and all nations”).
Hal ini ditandai dengan diterimanya ssuatu rezim hukum hak asasi manusia
internasional yang disiapkan oleh PBB atau apa yang kemudian lebih dikenal dengan
“International Bill of Human Rights”.
Dari penjelasan tersebut jelas bahwa teori hak-hak kodrati memiliki kontribusi
yang sangat besar dalam menyiapkan landasan bagi suatu sistem hukum yang
5 Scott Davidson, Hak Asasi Manusia: Sejarah Teori dan Praktek dalam Pergaulan
23
dianggap lebih tinggi dari hukum nasional suatu negara, yaitu norma hak asasi
manusia internasional.
Lahirnya hak-hak kodrati dalam hukum internasional yang berkaitan langsung
dengan masyarakat akhirnya melampaui substansi dasar mengenai hak sipil dan politik,
namun kemudian juga berkembang pada hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Bahkan
belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-hak “baru”, yang
disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks keseluruhan inilah seharusnya makna
hak asasi manusia dipahami saat ini.
B. Prinsip-Prinsip Hak Asasi Manusia
Prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia merupakan landasan orientasi berpikir
dalam penegakan hak asasi manusia secara universal. Dalam hampir semua perjanjian
internasional, prinsip-prinsip ini diaplikasikan ke dalam hak-hak yang lebih luas.
Prinsip-prinsip tersebut adalah prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan
kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk
melindungi hak-hak tertentu.6
1. Prinsip Kesetaraan
Satu gagasan tertinggi dalam hak asasi manusia adalah meletakkan setiap
individu di dunia ini dalam satu tingkatan yang sama dalam penghormatan terhadap
martabatnya. Setiap orang terlahir tanpa ikatan kewajiban apapun dan memiliki hak
6
24
asasi yang sama dalam kehidupannya sebagai manusia. Hal ini mensyaratkan bahwa
setiap manusia dalam kondisi yang sama harus diperlakukan secara sama.
Namun kemudian muncul perdebatan berbanding terbalik, apakah jika situasi
yang dihadapi berbeda, maka perlakuan juga harus berbeda. Walau kedua situasi
memiliki satu substansi rumit yang ternyata memiliki kesamaan. Atau ketika seseorang
berasal dari posisi yang berbeda tetapi diperlakukan secara sama. Jika perlakuan yang
sama ini terus diberikan, maka tentu saja perbedaan ini akan terjadi terus menerus
walaupun standar hak asasi manusia telah ditingkatkan.
Tindakan afirmatif mengizinkan negara melakukan perlakuan yang berbeda
terhadap kelompok tertentu yang tidak terwakili. Seperti laki-laki dan perempuan
dengan kualifikasi dan pengalaman kerja yang sama. Tindakan afirmatif dilakukan
dengan mengizinkan perempuan yang diterima semata-mata karena lowongan tersebut
memiliki jumlah pekerja yang kebanyakan laki-laki dengan jumlah perempuan terlalu
sedikit, sehingga tidak proporsional7. Contoh tersebut sebagai aplikasi pada Pasal 4
CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againts
Women)8 yang berbunyi:
1. Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh Negara-negara Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai.
7 Ibid,.
8 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan, Pasal
25
2. Penerapan tindakan-tindakan khusus oleh Negara-negara Peserta, termasuk tindakan-tindakan yang tercantum dalam Konvensi ini, yang ditujukan untuk melindungi kehamilan tidak dianggap sebagai diskriminasi.
Contoh lain, beberapa negara mengizinkan masyarakat adat untuk
mengakses pendidikan yang lebih tinggi dengan berbagai kebijakan yang membuat
mereka diperlakukan secara lebih (favourable) dibandingkan dengan orang-orang
non-adat lainnya dalam rangka untuk mencapai kesetaraan. Seperti di Indonesia, sebagai
upaya untuk melestarikan suku anak dalam, pemerintah melayani anak-anak suku anak
dalam untuk mendapatkan akses sekolah gratis.
2. Prinsip Diskriminasi
Prinsip diskriminasi seolah merupakan antitesis dari prinsip kesetaraan.
Namun jika ditelaah lebih lanjut. Kedua prinsip memiliki perbedaan. Dalam
kesetaraan, semua orang diharapkan memiliki derajat yang sama, namun jika terdapat
manusia yang memiliki derajat yang berbeda, tidak ada tindakan apapun terhadap
orang tersebut.
Sedangkan dalam pembahasan prinsip anti-diskriminasi, merupakan
tanggapan dari tesis “Jika semua orang setara, maka seharusnya tidak ada perlakuan
yang diskriminatif” (selain tindakan afirmatif yang dilakukan untuk mencapai
kesetaraan). Penekanan dilakukan kepada subyek bawah, bukan subyek yang menjadi
mayoritas.
Diskriminasi digolongkan dalam dua kelompok besar; Diskriminasi Langsung
26
langsung maupun tidak langsung diperlakukan dengan berbeda (less favourable)
daripada lainnya. Seperti sikap seseorang yang menganggap orang yang berkulit hitam
adalah suku pedalaman. Atau mencerca seseorang yang berpenampilan jelek.
Sedangkan diskriminasi tidak langsung muncul ketika dampak dari hukum
atau dalam praktek hukum merupakan bentuk diskriminasi, walaupun hal itu tidak
ditujukan untuk tujuan diskriminasi. Misalnya, pembatasan pada hak kehamilan
jelas akan berpengaruh lebih besar kepada perempuan daripada kepada laki-laki.
Atau pengosongan kolom agama bagi agama yang tak diakui menjadi sebab perbedaan
pelayanan administrasi kependudukan.
Diskriminasi sering kali dilakukan seseorang atau kelompok orang kepada
orang lain yang dianggap memiliki perbedaan yang menjadikan martabatnya lebih
rendah. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyebutkan beberapa alasan
diskriminasi antara lain ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pendapat politik
atau opini lainnya, nasional atau kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda
(property), kelahiran atau status lainnya.9 Semua hal itu merupakan alasan yang
tidak terbatas dan semakin banyak pula instrumen yang memperluas alasan
diskriminasi termasuk di dalamnya orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.
3. Kewajiban Positif untuk Melindungi Hak-Hak Tertentu
Dalam DUHAM, suatu negara diasumsikan memiliki kewajiban positif untuk
secara aktif memenuhi hak-hak dan kebebasan warganya. Negara dilarang melakukan
9
27
pembiaran terhadap warganya sehingga sikap pasif ini menyebabkan hak asasi
warganya dilanggar.10
Hak yang dimaksud adalah hak asasi manusia, sedangkan kebebasan yang
dimaksud adalah segala hal yang menjadi kebolehan perlakuan tanpa ada sanksi
tertentu terhadapnya. Hak dibagi menjadi hak yang bisa dibatasi (derogable rights)
serta hak yang tidak dapat dibatasi (non-derogable rights).11
Pembatasan hak yang dimaksud diatas dapat berupa pembatasan yang
digunakan untuk melakukan kontrol, karena dengannya negara berada pada kondisi
damai demi memberikan hak yang lebih tinggi bagi warganya. Sedangkan hak yang
tidak dibatasi, karena memang hak tersebut benar-benar tidak dapat dibatasi, seperti
hak untuk berkeyakinan dan berpikir. Atau hak yang memang jika tidak dibatasi tidak
akan terindikasi menyebabkan pelanggaran hak terhadap hak lain.
4. Hak Sipil dan Kewarganegaraan
Hak asasi manusia adalah upaya untuk memperlakukan semua orang sesuai
martabatnya. Istilah kesetaraan gencar dipromosikan demi mewujudkan hal tersebut.
Kesetaraan yang menandakan bahwa setiap manusia memiliki porsi masing-masing
untuk penghargaan dan perlakuan yang pantas atas kehidupannya. Perlakuan sesuai
martabat ini yang kemudian mendorong dihindarinya sikap diskriminatif yang
membeda-bedakan semua orang berdasar jenis kelamin, kelas sosial, agama dan etnis.
10 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), 39. 11
28
Dorongan untuk mematuhi dan menjalankan HAM ini seringkali terbentur
oleh kebijakan diskriminatif. Diantaranya adalah kebijakan politik yang
memperlakukan satu negara dengan negara lain lewat kriteria ekonomi. Salah satu
kovenan yang sangat penting dan seringkali dilanggar adalah hak sipil dan politik. Hak
yang memberikan jaminan sekaligus perlindungan bagi sikap politik maupun dalam
cara berorganisasi.
Timbulnya hak sipil dan politik ini sebagian didasari oleh keinginan untuk
terhindar dari kekuasaan diktator. Suatu kekuasaan yang menutup iklim demokrasi.
Jenis kekuasaan yang enggan untuk berbagi dan bertanggung jawab terhadap publik.
Dalam kovenan sipil dan politik memang banyak sekali pengaturan yang di
satu sisi kebebasan sekaligus pembatasan pada kuasa negara. Kovenan ini dalam
penyusunannya memang menghadapi banyak persoalan. Terutama bagaimana
mengatasi kepentingan diantara beberapa negara yang berbeda. Di satu pihak gagasan
mengenai hak asasi manusia meliputi semua hak yang melekat dalam setiap individu
dan tidak menerima persyaratan apapun. Sedang di pihak lain ada banyak negara yang
sulit untuk menerima pemberlakuan ini secara mutlak, apalagi jika tanpa prasyarat
apapun. Persoalan pilihan ini juga membayangi di sejumlah negara yang akan
meratifikasi kovenan ini.
Indonesia dianggap masih kontroversial dalam memaknai pemberlakuan
HAM ini. Meskipun Indonesia sudah meratifikasi anak dari kovenan hak sipil dan
politik, seperti kovenan anti penyiksaan, kovenan anak dan kovenan perempuan tapi
29
Jaminan hukum atas Hak Asasi Manusia dimuat secara utuh dalam UU No 39
tahun 1999. Dalam kaitan dengan perlindungan atas kelompok rentan yang sering kali
menjadi sasaran kebijakan. Kelompok rentan itu diantaranya adalah kaum difabel.12
Upaya Represif yang diperkenankan lewat undang-undang harus
mempertimbangkan, pertama adalah perlindungan dari segala tindakan kekerasan,
kedua jikalau tindakan kekerasan diambil itu selalu merupakan langkah terakhir setelah
berbagai upaya ditempuh dan ketiga tindakan represif itu tidak membahayakan nyawa
dan keselamatan orang. Tidak ada pelanggaran HAM yang muncul tanpa didahului
oleh struktur dan sistem yang tidak menjamin diakui dan ditegakkannya nilai HAM.
Penghormatan atas HAM dapat dikerjakan jika institusi mengawalinya terlebih dulu.
C. Teori Kebebasan Beragama
Berbagai perjanjian dan deklarasi kebebasan beragama dalam sejarahnya
tidak dapat menciptakan peluang langsung untuk memberikan pengakuan hak
mengubah agama, dasar-dasar kebebasan beragama dan memberikan dukungan kepada
mereka yang percaya bahwa kebebasan beragama merupakan Hak Sipil. Kebebasan
beragama tidak dapat dipisahkan dari kebebasan untuk mengubah agama. Artinya,
dalam banyak kasus seseorang diperbolehkan untuk memilih agama mana yang sesuai
dengan keyakinannya. Bukan untuk menciptakan keyakinan agama dengan
12
30
benar sesuai pemikirannya. Lebih lanjut, hal ini menimbulkan kontrak sosial dalam
hukum untuk menentukan agama mana yang seharusnya ada dan tidak seharusnya ada.
Sepanjang tahun 1986, Elisabeth Odio Benito menulis laporan pengamatan
Deklarasi dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Hak Politik dari tahun 1948
hingga 1981. Dalam laporannya dia menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak
untuk meninggalkan agama atau kepercayaannya untuk mengadopsi kepercayaan lain,
atau tetap dalam kepercayaannya tanpa sama sekali memaknai itu.
Dalam komentar umumnya mengenai pasal 18 Kovenan Internasional tentang
Hak Sipil dan Politik, Manusia Komite Hak mencapai kesimpulan yang sama. Ini
mengamati bahwa kebebasan untuk "memiliki atau mengadopsi" sebuah agama atau
keyakinan tentu memerlukan kebebasan untuk memilih agama atau keyakinan,
termasuk hak untuk mengganti salah satu agama atau kepercayaan satu dengan yang
lain atau untuk mengadopsi pandangan ateistik, serta hak untuk mempertahankan
agama atau kepercayaan seseorang. Oleh karena itu Pelapor Khusus dalam OHCHR
menekankan hak mengubah agama sebagai aspek penting secara hukum kebebasan
beragama.
Manusia memiliki hak untuk mendapatkan kebebasan percaya pada apa pun
yang mereka inginkan, agama atau sebaliknya, serta praktik dan berbagi
keyakinan-keyakinan dalam pengaturan swasta dan publik. Manusia harus mendapatkan
kebebasan ini sebagai warga negara di bawah aturan hukum. Artinya, pemerintah juga
31
warga. Mereka memiliki hak untuk membawa keyakinan untuk pembahasan mengenai
isu masyarakat, pemerintahan, dan urusan global.
Dengan kata lain, kebebasan beragama berkelanjutan adalah hukum yang
dilindungi serta budaya yang harus diterima sebagai kesempatan untuk memilih,
merubah, membiarkan, atau menolak keyakinan apapun, termasuk yang religius, serta
untuk membawa keyakinan mereka dalam diskusi publik.
Strategi untuk melindungi dan mempromosikan kebebasan beragama di luar
negeri mengambil dua bentuk dasar (meskipun berbagai variasi hybrid mungkin
dilakukan). Strategi yang menganjurkan kebebasan beragama cenderung ke arah proses
publik. Pendekatan ini menghasilkan kesadaran tentang kebebasan beragama,
membangun kebebasan beragama: teori perubahan, pelanggaran, sekaligus
menciptakan ruang untuk mengambil kebijakan. Keterlibatan dan kesempatan untuk
mendapatkan secara ilegal mengenai kebebasan menentukan agama dan kepercayaan
dapat berujung pada penahanan hingga kurungan penjara.
Segala tindakan hukum yang diambil baik dalam melakukan tindakan hukum
berupa pembuatan peraturan perundang-undangan (regeling) maupun penerbitan
ketetapan atau keputusan (beschiking), mensyaratkan bahwa seseorang secara
independen tanpa paksaan apapun dapat menentukan pilihan terhadap agama yang
diyakininya serta mendapat perlindungan hukum atasnya.
Hak kebebasan beragama diakui Kovenan Internasional tentang Hak-Hak
Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights) yang diadopsi
32
Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional13 Tentang
Hak-Hak Sipil Dan Politik dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) menyebutkan bahwa:
Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.14
Dalam Deklarasi tentang Penghapusan Segala Bentuk Intoleransi dan
Diskriminasi Berdasarkan Agama atau Kepercayaan yang diadopsi PBB tahun 1981,
pada Pasal 1 juga dinyatakan bahwa :
setiap orang bebas untuk memilih dan menganut agama, dan memanifestasikannya secara pribadi dan berkelompok, baik dalam beribadat, pengamalan, maupun pengajarannya15
Pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia
diatur juga dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan ayat (2) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa :
(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
Serta ketentuan pasal 28 I ayat (1) yang menyebutkan bahwa
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
13
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 Tentang Pengesahan Kovenan Internasional.
14 Persatuan Bangsa Bangsa, Kovenan Sipil dan Politik, Pasal 18.
15 Persatuan Bangsa-Bangsa, Deklarasi tentang Penghapusan Semua Bentuk Intoleransi dan
33
Hal itu juga diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945
yang menyebutkan bahwa: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk
untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya
dan kepercayaannya itu.16
Dari pengaturan dalam ketentuan pasal 28E ayat (1) dan (2), serta ketentuan
pasal 28I ayat (1), dan pasal 29 ayat (2) UUD Tahun 1945, maka secara
konstitusional Indonesia menetapkan hak beragama merupakan bagian dari hak
asasi manusia yang harus dijamin, dihormati dan dilindungi baik oleh masyarakat
maupun pemerintah, sehingga perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan
hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah sebagaimana
ditetapkan dalam ketentuan pasal 28I ayat (4) UUD Tahun 1945: Perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.17
Di Indonesia ditetapkan UUD Tahun 1945 telah mengatur juga tentang
jamin negara terhadap hak beragama sebagaimana ditetapkan dalam ketentuan
Pasal 29 UUD 1945 menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha
Esa, dan bahwa negara menjamin kebebasan setiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu.
Pada tahun 1965, dengan Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965, yang
kemudian ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-undang Nomor 5
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, pasal 29, ayat 2. 17
34
Tahun 1969, dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 1 Undang-undang tersebut.
terdapat 6 agama yang hidup dan berkembang di Indonesia, yaitu: Islam, Kristen
Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Tetapi tidaklah berarti
bahwa hanya 6 agama itu yang boleh hidup di Indonesia, karena pada paragraf
berikutnya dari Penjelasan Pasal 1 itu dinyatakan bahwa hal itu tidaklah berarti
bahwa agama-agama lainnya, seperti Zoroaster, Shinto, dan Tao dilarang di
Indonesia.18
Selain pengaturan mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi
manusia dalam konstitusi sebagaimana disebutkan diatas yaitu dalam ketentuan
pasal 28E ayat (1) (2), dan pasal 28 I ayat (1), serta pasal 29 ayat (2) UUD Tahu n
1945, maka dalam tataran Undang-Undang terdapat sejumlah ketentuan yang
mengatur mengenai hak beragama sebagai bagian dari hak asasi manusia diantaranya
dalam ketentuan pasal 4 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia menyebutkan bahwa
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.
18 Republik Indonesia, Penetapan Presiden Nomor 1 Tahun 1965; Republik Indonesia,
35
Lebih lanjut dalam ketentuan pasal 22 Undang-undang Nomor 39 Tahun
199919 disebutkan bahwa :
(1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
(2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Selain itu dalam ketentuan pasal 18 ayat (1) Undang-undang Nomor 12
tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan
Politik20 (International Covenant on Civil and Political Rights) yang menyebutkan
bahwa:
Setiap orang berhak atas kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama. Hak ini mencakup kebebasan untuk menganut atau menerima suatu agama atau kepercayaan atas pilihannya sendiri, dan kebebasan, baik secara individu maupun bersama-sama dengan orang lain, dan baik di tempat umum atau tertutup untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan ibadah, ketaatan, pengamalan dan pengajaran.
Menurut Chris Seiple, terdapat berbagai strategi untuk menjunjung hak
kebebasan beragama.21 Strategi terburuk adalah "name, blame, and shame".
Pemerintah khususnya menganggap bahwa isu ini benar-benar tidak berpengaruh dan
selalu berusaha untuk menutup mulut orang-orang yang akan secara terbuka membuka
kedok pemerintahannya.
Strategi yang membangun kebebasan beragama cenderung menuju proses
kerja pribadi dari dalam ke luar yang melibatkan pejabat pemerintah dan pemimpin
19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
20 Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Kovenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil dan Politik.
21
36
agama di negara tertentu. Strategi pelaksanaannya adalah dikembangkan
bersama-sama dengan terus mengubah lingkungan sehingga terbatas untuk satu golongan
tertentu. Masyarakat ditanamkan nilai negara tradisi iman sebagai hal paling penting
untuk kesejahteraan negara secara keseluruhan. Kebebasan beragama digunakan oleh
pemerintah sebagai potongan propaganda untuk membuat kesan bahwa tidak ada
masalah di negaranya.
Strategi yang lain adalah pembangunan kebebasan beragama "a think-and-do
mentality" Akal tanpa kehendak merupakan kelemahan, dan kehendak tanpa akal
adalah berbahaya. kebebasan beragama harus dipahami dan dilindungi, dipromosikan
dalam konteks perbandingan tren lingkungan global dan lokal. filsafat politik dan
teologi harus menyentuh lapisan terbawah, bermakna kemitraan praktis di tengah
kebebasan untuk memiliki keyakinan yang tak terdamaikan.22
Mentalitas seperti itu harus dibentuk dan diinformasikan oleh "A Global
Network of Scholar-Practitioners" Memahami universalitas kebebasan beragama lokal
membutuhkan pengembangan ulama lokal dan praktisi agama (termasuk didalamnya
pemerintah dan pemimpin agama) yang dapat menjembatani pemikiran lokal dan
global, dan melakukan seminar pelatihan lokal tentang kebebasan beragama.
Perubahan yang berkelanjutan dimulai hanya dari pendidikan yang dapat mengubah
pola pikir. Oleh karena itu perilaku seperti jaringan membawa "Perbandingan
Perspektif & Pendekatan Interdisipliner". Kebebasan beragama yang terbaik adalah
22
37
belajar dalam perbandingan lokal. Konteks global yang memberikan contoh kebebasan
beragama ini memungkinkan untuk membuka jaringan keterkaitan dengan isu-isu
lainnya.23
Sebuah diskusi memungkinkan munculnya kebijakan baru seperti “Integrated
Citizens" sebagai kondisi untuk mengasimilasi kelompok minoritas yang secara
eksplisit maupun implisit mengharapkan/menyarankan bahwa minoritas apapun
terlihat dan bertindak seperti budaya mayoritas. Sebuah demokrasi yang berkelanjutan
didefinisikan sebagai sebuah lapangan umum yang mengintegrasikan semua orang
sebagai sesama warga akuntabel di bawah aturan hukum. Kebebasan untuk membawa
esensi dari identitas seseorang untuk diskusi apapun tidak hanya ditoleransi tetapi
dirayakan.24
Identitas dikembangkan dan diimplementasikan secara simultan dan
transparan dari top-down dan bottom-up, demi kebebasan beragama. Karakteristik ini
inheren, menuntut kapasitas negara untuk rekonsiliasi praktis dan kolaborasi.
1. Pembatasan Hak Beragama
Hak beragama dijamin sepenuhnya oleh negara melalui perundang-undangan
sebagai bagian dari pemenuhan hak asasi manusia. Hak tersebut secara otomatis wajib
dihormati oleh negara. Namun, pemenuhan tersebut memiliki batasan dalam
pelaksanaannya. Pembatasan tersebut dilakukan jika terindikasi membahayakan
ketentraman, ketertiban, dan keselamatan umum, moralitas publik, kesehatan
23 Ibid. 24
38
publik, kepentingan keadilan, dan kesejahteraan umum dalam suatu masyarakat
demokrasi.
Dengan alasan diatas. Negara diperkenankan, atau bahkan diwajibkan untuk
melakukan pembatasan atau larangan pelaksanaan kebebasan beragama. Hal ini di
dasarkan pada ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa:
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata- mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Atas dasar pengaturan tersebut maka hak beragama juga dilakukan
pembatasan. Hal tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang
Nomor 12 tahun 2005 menyebutkan bahwa:
Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan dasar orang lain
Pada pasal 29 Deklarasi HAM dan pasal 18 ayat (3) Kovenan Sipol
seperti telah dijelaskan di atas mempunyai pendekatan berbeda di dalam
membatasi hak atas kebebasan beragama. Pasal 29 Deklarasi HAM25 mensyaratkan
dua hal agar pembatasan tersebut legal yaitu :
1. Pembatasan diatur oleh hukum, tentu tidak sembarangan hukum yang bisa mengatur pembatasan atas kebebasan beragama, pembatasan tersebut harus dirumuskan menurut istilah-istilah yang umum dan objektif , untuk membedakan dengan sebuah putusan pengadilan. Biasanya keputusan untuk membatasi hak manifestasi agama dikeluarkan oleh pemerintah dan dijalankan oleh sebuah badan administrasi pemerintah dengan memperhatikan scope kewenangannya;
2. Pembatasan harus sesuai dengan salah satu alasan (justifikasi) yaitu untuk mengamankan dan menghomati hak dan kebebasan orang lain, dan sesuai dengan
25
39
moralitas, ketertiban umum dan kesejahteraan umum di dalam suatu masyarakat yang demokratis.
Pembatasan hak atas kebebasan beragama di dalam DUHAM PBB dengan
pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipol memiliki sedikit perbedaan. Pasal 18 ayat (3)
Kovenan Sipol menekankan pembatasan hanya terhadap right to manifest religion,
bukan right to maintain/to change religion. Sementara Deklarasi HAM PBB
me-generalisir pembatasan untuk seluruh hak dan kebebasan beragama.
Menurut Archot Krishnaswami ini bisa terjadi karena ada perbedaan di dalam
metode penyusunannya. Pembatasan yang ada di dalam pasal 18 ayat (3) Kovenan
Sipol ditujukan secara langsung terhadap pasal-pasal spesifik yang menjabarkan
hak-hak yang substantif, sehingga secara alami pembatasan yang ada di dalam pasal 18 (3)
lebih tepat dibandingkan dengan pasal 29 Deklarasi HAM yang mana ditempatkan
pasal yang paling akhir.26
Elemen hak kebebasan beragama dibagi menjadi dua hak berbeda. Pertama,
yaitu hak untuk pindah agama (right to change and maintain religion). Dalam hal ini
intervensi yang ilakuan dari luar dianggap sebagai hal yang tidak dapat dilakukan
(illegitimate) atau bahkan bisa dikatakan tidak mungkin. Right to change/manifest
religion tidak memiliki batasan tertentu. Tidak boleh ada paksaan yang akan
26 Archot Krishnaswami, Study of Discrimination in The Matter of Religious Rights and
40
melanggar right to change/manifest religion. Inti dari paksaan adalah adanya batasan
right to change/manifest religion.27
Hak atas manifest atau maintain agama tidak boleh dilanggar, sehingga
kebebasan harus dijamin, akan tetapi jika ada konflik dengan suatu agama atau
kepercayaan yang menyebabkan sikap acuh tak acuh, maka di dalam suatu masyarakat
yang menganut banyak agama, pembatasan praktek keagamaan atau kebiasaan
keagamaan perlu dilakukan sebagai proses rekonsiliasi kepentingan berbagai
kelompok baik mayoritas maupun minoritas. Proses tersebut tidak dapat dilakukan
dengan mengunggulkan satu agama tertentu dan merendahkan agama yang lain.
Pelaksanaan pembatasan kebebasan beragama harus fair dengan asas kesetaraan dan
kebutuhan pemenuhan atas kepentingan bersama.
Agama memiliki dua sisi yang berbeda. Secara pribadi, agama mampu
membentuk karakter manusia sesuai dengan apa yang diyakininya secara
sungguh-sungguh. Secara sosial, agama mampu menyatukan kelompok orang yang sama sekali
tidak memiliki kesamaan atau keterikatan untuk bersatu.
Kebebasan beragama merupakan salah satu perwujudan dari kebebasan untuk
berkumpul secara damai, berserikat dan berorganisasi
Kovenan Sipol sendiri hanya membatasi hak atas kebebasan beragama yang
manifest (eksternal), dengan persyaratan (kumulatif) sebagai berikut :
27
41
1. Diatur oleh hukum, dan perlu untuk melindungi keamanan masyarakat, ketertiban
umum, kesehatan atau moral, atau hak dan kebebasan orang lain yang
fundamental;
2. Pembatasan harus dihubungkan dan proporsional dengan kebutuhan yang spesifik;
3. Pembatasan tidak