• Tidak ada hasil yang ditemukan

Periwayatan hadis oleh perawi yang dianggap bermasalah: studi analisa kritik sumber.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Periwayatan hadis oleh perawi yang dianggap bermasalah: studi analisa kritik sumber."

Copied!
252
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Abstrak

Penelitian ini mengkaji para periwayat bermasalah dan persebaran hadis-hadisnya dalam Al-Ja>mi’ al-S}ahi>h}. Hal ini dilakukan untuk melihat konsistensi atau inkonsistensi al-Bukha>ri dalam menggunakan standar hadis s}ah}i>h} dan mengaplikasikannya dalam penyeleksikan hadis-hadis. Dari sekian periwayat bermasalah, penelitian ini hanya fokus pada empat periwayat: Isma>‘i>l bin Abi> Uways, H}us}ayn bin ‘Abd al-Rah}ma>n}, Hushaym bin Bashi>r dan ‘Abd al-Razza>q bin Hamma>m. Alasan memilih empat ini sebagai sampel penelitian ialah karena pertama, pertimbangan jarh}, kidhb, ikh}tila>t, tadli>s dan bid‘ah yang disematkan kepada mereka; kedua, banyaknya hadis yang dimasukkan dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}; ketiga, keunikan strategi al-Bukha>ri> dalam meriwayatkan hadis dari mereka. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif sehingga sampel yang ada bisa dilakukan generalisasi. Penelitian ini mengungkap sikap dan faktor al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis-hadis periwayat bermasalah serta implikasinya bagi status

al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}.

Simpulnya, sikap al-Bukha>ri> terhadap periwayat bermasalah sangatlah positif, artinya tetap memasukkan hadis-hadis mereka selagi hafal dari yang diriwayatkan serta tidak ada kekeliruan. Sedangkan faktor al-Bukha>ri> memasukkan hadis-hadis mereka dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} karena beberapa hal, di antaranya: a. mentarjih lafal hadis dari periwayat yang lebih thiqa>t; b. mengunggulkan lafal hadis periwayat bermasalah ketimbang lafal hadis periwayat thiqa>t. Kedua, menunjukkan adanya relatifitas jarh} dalam diri periwayat hadis. Ketiga, menguatkan hadis periwayat bermasalah dengan cara menyertakan periwayat thiqa>t. Keempat, menunjukan kesesuaian periwayat bermasalah dengan jalur periwayat thiqa>t.

(8)

صخلم

زكري

.يراخبلل حيحصلا عماْا ي مهثيداحأ ةرثك عم ءافعضلا ةاورلا ىلع ثحبلا اذ

ْياعم ىلع دامتعا ي مدع وأ يراخبلا ةقد ي صحفلاو رظ لا ىلع ةي بم تيلمعف

ي اْبك امامت ا ثحبلا يطعيف .ثيداحأا ءاقتنا ي قيبطت لا و ليلعتلاو حيحصتلا

ليعاْإ :ءافعض ةعبرأ ةْاعم

دبعو ْشب نب ميش و نْرلا دبع نب نصحو سيوأ بأ نب

يذلا حرْا ةدش رابتعا اه م ،رومأ ةثاث ةعبرأا ذ رايتخا مكَ يذلاف .ما نب قازرلا

ِلا ثيداحأا ةرثك ،ايناث .ةعدبلاو سيلدتلاو طاتخااو ،بذكلا نم وار لك ب فصتي

ب زيْ ام اثلاث ، باتك ي يراخبلا اهلخدأ

.مه ع ةياورلا ي تيفيكو تيجيتاْتسإ نم يراخبلا

تانايبلا ىلع ميمعت ي ا كُ جذوم لا نوكي َح يفيكلا جه ما ثحبلا اذ ي زهتنأو

نع ةياورلا ي عفاودو يقيقْا يراخبلا فقوم ىلع فشكلا و م فدَاو .رخأا

. باتك ةيجح ىلع كلذ نم بتتي امو ءافعضلا

م ةصاْاو

ام مهثيداحأ ىور نأ ذإ ايباَإ دشأ ءافعضلا نم يراخبلا فقوم نإ ،كلذ ن

اه م ،حيحصلا عماْا ي مهثيداحأ ةياور ي تعفد ِلا عفاودلاف .م ولاو إطْا ي اوعقي َ

ءافعضلا نم ثيدْا ظفل حيجرت سكعو مهود نم ىلع تاقثلل ثيدْا ظفل حيجرت اوأ

.ةجرد مه م ىلعأ نم ىلع

،اثلاث .ةاورلا ب فصتي يذلا حرْا ةيبسن ىلع ة ُلا ،ايناث

.تاقثلل مهتقفاوم ىلع ة ُلا ،اعبار .تاقثلا مهكارشإب ءافعضلا ثيداحأ ةيوقت

ىلع كيكشتلا ،اوأ و مهثيداحأ ةياور نم عفاودو يراخبلا فقوم نم بتتي امو

ثيداحأا حيحصت ي يرعم ساسأك ليدعتلاو حرْا رود

جايتحاا ةدش ،ايناث .اهليلعتو

(9)

اذ و .ليلعتلاو حيحصتلا ي طقف ةاورلا ةيعون سيلو م ولاو

يئاقتناا جه ماب ىمسي ام

(10)

DAFTAR ISI

PEDOMAN TRANSLITERASI ... i

ABSTRAK ... ii

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR DIAGRAM ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi dan Batasan Masalah ... 11

C. Rumusan Masalah ... 12

D. Tujuan Penelitian ... 13

E. Kegunaan Penelitian ... 13

F. Kerangka Teoritik ... 15

G. Penelitian Terdahulu ... 16

H. Metode Penelitian ... 19

I. Sistematika Pembahasan ... 21

BAB II SKETSA BIOGRAFIS DAN PEMIKIRAN AL-BUKHA<RI< A. Riwayat Hidup al-Bukha>ri> ... 23

B. Ekspedisi Al-Bukha>ri>> Dalam Bidang Keilmuan ... 34

C. Pemikiran al-Bukha>ri> Tentang Hadis ... 51

BAB III PERIWAYAT HADIS BERMASALAH DALAM AL-JĀMI’ AL-S{AH{I<H{ KARYA AL-BUKHĀRĪ A. Ismā‘īl bin Abī Uways ... 78

B. Huṣayn bin Abd al-Raḥmān ... 89

C. Hushaym bin Bashīr ... 101

D. Abd al-Razzāq bin Hammām ... 107

BAB IV SIKAP AL-BUKHA<RI< DALAM PERIWAYATAN HADIS OLEH PERAWI BERMASALAH A. Sikap Al-Bukhārī terhadap Periwayat Bermasalah ... 116

B. Faktor Al-Bukhārī Meriwayatkan Hadis dari Periwayat Bermasalah ... 183

C. Implikasi Sikap Al-Bukhārī terhadap Status Validitas al-Jāmi’ al-Sāḥīḥ ... 199

BAB V KESIMPULAN ... 228

(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para ulama hadis merumuskan bahwa hadith s}ah}i>h} itu ialah hadith yang

diriwayatkan oleh periwayat yang a>dil, d}a>bit}}, mata rantai periwayatannya

bersambung serta tidak mengandung sha>dh dan ‘illat.1 Ibn al-S}ala>h} mentahbiskan

ketentuan ini sebagai standar yang digunakan semua ahli hadis.2 Dengan kata

lain, pengertian ini diklaim Ibn al-S}ala>h} sebagai ijma> yang tidak bisa diganggu

gugat.3

Syarat dan ketentuan lain tergantung kepada masing-masing ulama hadis

ketika mereka menulis hadis-hadis s}ah}i>h} menurut syarat mereka. Al-Bukha>ri>

misalnya menambahkan thubu>t liqa>’ dan mu‘a>s}arah antara guru dan murid. Ini

untuk melihat eratnya ketersambungan sanad dari bawah sampai atas. Untuk

tujuan serupa, Muslim juga mensyaratkan hal yang sama, namun hanya

penambahan standar mu‘a>s}arah saja sebagai bukti bahwa seorang periwayat

hadis tidak melakukan tadli>s dalam meriwayatkan hadis dari guru-gurunya.4

Standar ini sangatlah ketat sehingga wajar jika para ulama menobatkan kitab

1 Ibn al-S}ala>h}, Muqaddimah fi> Ulu>m al-H}adi>th, 13; Jala>l al-Di>n al-Suyu>t}i>, Tadri>b al-Ra>wi>, 36; Ibn H}ajar al-Asqala>ni>, al-Muqni’ fi> ‘Ulu>m al-Hadi>th, 14

2 Ibn al-S}ala>h}, Muqaddimah fi> Ulu>m al-H}adi>th, 14

3 Ibn al-S}ala>h} tidak sendirian ketika menjadikan ke-thiqat-an periwayat hadis sebagai standar hadis s}ah}i>h}. Ke-thiqat-an juga merupakan prasyarat penting bagi ulama sebelumnya dalam penentuan kualitas hadis. Ini misalnya seperti yang didefinisikan al-Sha>fi‘i>, al-H}umaydi>, al-Dhuhli>, al-Khit}a>bi>, al-H>akim dan al-Khat}i>b.

(12)

2

S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>> dan S}ah}i>h} Muslim sebagai kitab paling otentik dan otoritatif

kedua bagi legislasi shari>‘at Islam setelah al-Quran. Bahkan lebih sakral lagi,

ulama menyebut S}ah}i>h} Bukha>ri>>> atau S}ah}i>h} Muslim sebagai talaqqathu

al-ummat bi al-qabu>l, diterima oleh Umat Islam secara keseluruhan.5

Akan tetapi jika definisi dan standar hadith s}ah}i>h itu ditilik ulang,

kemudian aplikasi epistemiknya diterapkan untuk membaca S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>>

maka akan menimbulkan runtuhnya kesakralan otentisitas yang melekat pada

kitab tersebut.

Seperti telah disebut di atas, ulama mengklaim bahwa standar hadis s}ah}i>h}

itu harus dinarasikan oleh periwayat thiqat. Pengertian thiqat di sini ialah yang

terhimpun dalam dirinya kualitas ke-‘adalah-an dan ke-d}abit}-an tingkat tinggi

yang memungkinkan dapat ditentukannya kualitas hadis sebagai s}ah}i>h}. Dalam

al-Ja>mi’ al-Sahi>h} karya al-Bukha>ri>, tidak semua periwayatnya memiliki kualitas

ke-‘a>dil-an dan ke-d}a>bit}-an tingat tinggi ini. Kebanyakan yang biasa-biasa saja, atau

sebutlah thiqat, tanpa ada embel-embel seperti thabat, mutqin dan lain-lain yang

hanya dimiliki oleh segelintir periwayat saja.

Membaca hadis melalui prinsip ini akan mendorong kita berkesimpulan

bahwa kualitas sebuah hadith sangat ditentukan secara logis melalui kualitas

periwayatnya. Jika sebuah hadis diriwayatkan oleh periwayat thiqat, maka

hadisnya s}ah}i>h}; hadis yang diriwayatkan oleh periwayat s}adu>q, maka kualitas

(13)

3

hadisnya hasan; hadis yang diriwayatkan oleh periwayat d}ai>f atau bermasalah

maka kualitas hadis darinya dinilai d}ai>f. Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat

thiqat namun bertentangan dengan yang lebih thiqat disebut hadis sha>dz. Hadis

yang diriwayatkan oleh periwayat d}ai>f namun bertentangan dengan hadis

periwayat thiqat disebut sebagai hadis munkar. Simpulnya kualitas hadis di sini

ditentukan oleh kualitas periwayat. Wajar jika kemudian muncul kitab-kitab

Rija>l al-H}adi>th yang memberikan perjenjangan kualitas periwayat berdasar

kepada al-Jarh} dan al-Ta‘di>l-nya.6

Definisi yang memfokuskan kepada periwayat-centris ini justru akan

meruntuhkan kualitas hadis-hadis s}ah}i>h} sendiri dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h} karya

al-Bukha>ri>. Artinya penyematan kitab paling otentik setelah al-Quran ini tidak

begitu pas dan tidak mendapat justifikasi kuat. Pasalnya, ada beberapa periwayat

hadis yang bermasalah atau sangat bermasalah menurut para kritikus hadis

namun Bukha>ri> sendiri masih tetap memasukkan hadis-hadisnya ke dalam

al-Ja>mi’ al-Sahi>h}. Bahkan ada periwayat hadis yang dicap sendiri oleh al-Bukha>ri>

sebagai bermasalah dalam Kita>b al-D}u’afa> al-S}aghi>r namun hadith-hadithnya

tetap dimasukkan ke dalam al-Ja>mi‘ al-Sahi>h}. Jadi jelas-jelas di sini al-Bukha>ri

sangat tidak konsisten memegang prinsip-prinsip penyeleksian hadis sahih dalam

kitabnya yang terkenal itu, bahkan ia mengabaikan standar yang menurut Ibn

al-S}ala>h} disepakati oleh ulama hadis. Kenyataan yang mempertegas inkonsistensi

al-Bukha>ri> dalam memasukan hadis-hadis sahih dalam kitabnya itu ialah adanya

periwayat yang menurut ulama sangat bermasalah. Kebermasalahannya tidak

(14)

4

tanggung-tanggung, bahkan sangat merusak salah satu standar penentu kualitas

hadis sahih, yakni ke-thiqat-an periwayat.

Contoh dari periwayat yang sangat bermasalah ini ialah Isma>’i>l bin Abi>

Uways. Beliau di-jarh} sebagian besar ulama sebagai kadhdha>b, yasriq al-hadi>th,

yukhlit} dan lain-lain.7 Menariknya, penilaian ulama hadis ini tidak sekedar

penilaian namun dipertegas oleh pengakuan Isma>’i>l sendiri sebagai pemalsu hadis

yang direkam dengan sangat baik dalam buku-buku mengenai Rija>l al-Hadi>th,

terutama dalam karya al-Mizzi>, Tahdhi>b al-Kama>l: diriwayatkan dari ulama

Makkah terkemuka, Salamah bin Shabi>b dari Isma>’i>l bin Abi Uways bahwa ia

pernah mengaku:

ُر َ ِ

ُك ا

ْ

ُت

َأ

َض

ُع

َْا

ِد ْي

َث

َِأ

ْ ِل

ْلا

َم ِد

ْ ي َ َة

ِإ

َذ

ْخا ا

َ ت َل ُف

ْو

ِي ا

َش

ْي ٍئ

ِف ْي

َم

َ ب ا

ْ ي َ ُه

ْم

8

Dulu aku pernah memalsukan hadith di kalangan penduduk Madi>nah jika terjadi perselisihan pendapat di kalangan mereka.

Pernyataan langsung mengenai tindak pemalsuan Isma>’i>l bin Abi> Uways

ini dipertegas kembali oleh Ibn H}ajar al-Asqala>ni> dalam salah satu karyanya

Tahdhi>b al-Tahdhi>b, bahwa:

َل َع

ل

َذ ِل

َك

ِي

َش

ِب ْي َب ِت

ِ

ُ

ْنا

َص َل

َح

9

Kemungkinan tindak pemalsuan hadith yang dilakukan Isma>’i>l bin

Abi> Uways terjadi ketika berusia muda. Adapun setelah masa itu, ia telah bertobat dari kebohongannya.

Jelas kebohongan tidak dapat diterima secara mutlak taubatnya namun

menariknya al-Bukha>ri meriwayatkan hadith-hadith Isma>’i>l Abi> bin Uways10

7 Pembahasan lebih detail tentang jarh} yang disematkan kepadanya akan difokuskan di bab III dari penelitian ini.

(15)

5

dalam jumlah yang begitu besar. Jumlah hadisnya mencapai dua ratus lebih yang

terhimpun di dalam kita>b-kita>b yang berkenaan dengan akidah, hukum, sejarah

dan lain-lain.

Dari sekian banyak hadith yang diriwayatkan al-Bukha>ri> melalui jalur

Isma>’i>l bin Abi> Uways, ada beberapa di antaranya yang diriwayatkan secara

tafarrud baik dari Isma>’i>l dari gurunya maupun dari al-Bukha>ri> sendiri dari

Isma>’i>l. Dengan demikian, sebagian hadith Isma>’i>l yang diriwayatkan tidak

memiliki muta>ba‘ah dari jalur lain. Misalnya seperti hadis berikut:

7099

-

اََ ث دَح

ُليِعاَِْْإ

ُنْب

ِدْبَع

ِ للا

َلاَق

ََِث دَح

ىِخَأ

ْنَع

َناَمْيَلُس

ْنَع

ِماَشِ

ِنْب

َةَوْرُع

ْنَع

ِيِبَأ

ْنَع

َةَشِئاَع

-ىضر

ها

اه ع

ْتَلاَق

ُتْلُ ق

اَي

َلوُسَر

ِ للا

َتْيَأَرَأ

ْوَل

َتْلَزَ ن

اًيِداَو

ِيِفَو

ٌةَرَجَش

ْدَق

َلِكُأ

ِم

اَهْ

،

َتْدَجَوَو

اًرَجَش

ََْ

ْلَكْؤُ ي

اَهْ ِم

،

ِ

اَه يَأ

َتُْك

ُعِتْرُ ت

َكَِْعَب

َلاَق

«

ِ

ىِذ لا

ََْ

ْعَتْرُ ي

اَهْ ِم

. »

َِْعَ ت

نَأ

َلوُسَر

ِ للا

-ىلص

ها

يلع

ملسو

ََْ

ْج وَزَ تَ ي

اًرْكِب

اََرْ يَغ

.

11

Telah menginformasikan kepada kami Ismail bin Abd Allah, ia telah berkata: telah menginformasikan kepadaku, yakni saudaraku, dari Sulayman dari Hisham bin Urwah dari ayahnya dari Aisyah, ia telah berkata: aku bertanya kepada Rasul, Wahai Rasul Allah jika engkau turun melewati lembah dan menemukan pepohonan yang buahnya sudah dimakan orang lalu menemukan lagi pohon yang buahnya belum pernah dimakan dimanakah engkau akan mengikatkan untamu? Lantas nabi pun menjawab: aku akan mengikat untaku di pohon yang belum terjamah, maksudnya Nabi SAW tidak akan menikahi perawan selain Aisyah.

10 Isma>‘i>l bin ‘Abd Alla>h bin ‘Abd Alla>h bin Abi> Uways bin Abi> ‘A<mir al-Aṣbah}i>. Lihat Abū Abd Allah Al-Bukhāri, al-Tārīkh al-Kabīr (Beirut: Dār al-Fikr, t.t.) Juz. 1, 364.

(16)

6

Hadith ini tidak memiliki muta>ba‘ah dari jalur lain, baik dari t}abaqa>t

Isma>’i>l sendiri maupun dari t}abaqa>t al-Bukha>ri>. Sebagai akibatnya, karena

diriwayatkan oleh periwayat yang di-jarh} para ulama sebagai kadhdha>b, hadis ini

pastinya ditolak jika menggunakan tolak ukur standar hadis s}ah}i>h} seperti telah

disebut di atas yang diklaim Ibn al-S}ala>h} sebagai sudah menjadi kesepakatan di

kalangan ahli hadis.

Tak hanya periwayat kadhdha>b, periwayat yang disepakati ulama hadis

sebagai mukhtalit}-pun di akhir masa hidupnya diterima hadis-hadisnya oleh

al-Bukha>ri> dan bahkan lulus seleksi sebagai hadis s}ah}i>h}. Ini tentu jika dilihat secara

sekilas menunjukan inkonsistensi al-Bukha>ri> dalam memegang teguh prinsip

hadis s}ah}i>h}. Contoh dari tipe periwayat mukhtalit} yang terkenal ialah H}us}ayn bin

Abd al-Rah}ma>n.

Menurut Ibn al-S}ala>h}, al-Bukha>ri> meriwayatkan hadith-hadith dari

periwayat mukhtalit} sebelum mereka mengalami ikhtila>t}. Pendapat ini kemudian

diikuti oleh al-Nawa>wi> dan al-Ira>qi>.12 Namun setelah ditelisik lebih jauh,

ternyata al-Bukha>ri> pun meriwayatkan hadis-hadis dari mereka pasca mengalami

ikhtila>t}. Hadis berikut merupakan bukti dari ketidak sesuaian pendapat mereka

dengan fakta yang ada:

056:

-اََ ث دَح

ُةَبْيَ تُ ق

اََ ث دَح

ُريِرَج

ُنْب

ِدْبَع

ِديِمَْْا

اََ ث دَح

ُْنَصُح

ُنْب

ِدْبَع

ِنَْْ رلا

ْنَع

وِرْمَع

ِنْب

ٍنوُمْيَم

ىِدْوَأا

َلاَق

ُتْيَأَر

َرَمُع

َنْب

ِبا طَْْا

-

ىضر

ها

ع

َلاَق

اَي

َدْبَع

ِ للا

َنْب

َرَمُع

،

ْبَْذا

ََِإ

مُأ

َنِِمْؤُمْلا

َةَشِئاَع

(17)

7

-ىضر

ها

اه ع

ْلُقَ ف

ُأَرْقَ ي

ُرَمُع

ُنْب

ِبا طَْْا

ِكْيَلَع

َمَا سلا

،

ُ

اَهْلَس

ْنَأ

َنَفْدُأ

َعَم

َِِحاَص

.

ْتَلاَق

ُتُْك

ُُديِرُأ

ىِسْفَ ِل

،

ُ نَرِثوُأَف

َمْوَ يْلا

ىَلَع

ىِسْفَ ن

.

ا مَلَ ف

َلَبْ قَأ

َق

َلا

َُل

اَم

َكْيَدَل

َلاَق

ْتَنِذَأ

َكَل

اَي

َِْمَأ

َنِِمْؤُمْلا

....

13

Telah menginformasikan kepada kami Qutaybah, telah menginformasikan kepada kami Jarir bin Abd al-Hamid, telah menginformasikan kepada kami Husayn bin Abd al-Rahman dari Amru bin Maymun al-Awdiy, dia telah berkata: aku pernah melihat Umar bin al-Khattab berkata kepada anaknya, Wahai Abd Allah bin Umar pergilah menemui Aisyah, Ummul Mukminin, sampaikan salamku kepadanya dan tanyakanlah aku minta izin kepadanya untuk dikuburkan bersama dua sahabatku. Aisyah menjawab: aku sebenarnya ingin dikuburkan di situ tapi aku dahulukan Umar atas diriku sendiri. Tatkala pulang, Ibn Umar ditanya, bagaimana sikap Aisyah? Ibn Umar menjawab: ia mengizinkkanmu wahai amir al-mukminin...dst

Jari>r bin Abd al-Hami>d pada hadith di atas merupakan salah satu murid

H}us}ayn bin Abd al-Rah}ma>n. Menariknya, al-Sakha>wi> menyebut Jari>r belajar

hadis kepada H}us}ayn bin Abd al-Rah}ma>n pasca ikht}ila>t}.14

Ikhtila>t} merupakan salah faktor terganggunya ke-d}abit}-an periwayat

hadis. Jika ke-d}abit}-an terganggu, kualitas periwayat dalam meriwayatkan hadis

akan menurun. Menurunnya kualitas hafalan akan menurunkan kualitas hadis

yang diriwayatkannya. Konsekwensi logisnya, ikht}ila>t} akan menjadikan

periwayat turun kualitasnya sementara standar kualitas hadis ditentukan berdasar

kualitas periwayatnya, maka tak terbayangkan jika hadisnya diriwayatkan oleh

al-Bukha>ri>, tentu dari perspektif yang menolak riwayat hadis pasca-ikhtila>t},

tentunya ini menunjukan inkonsistensi al-Bukha>ri> dalam menggunakan standar

kualifikasi hadis.

13 Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri> al-Ju’fi>, al-Ja>mi’ al-S}ah}i>h}, Ba>b Ma> Ja>’a fi Qabri al -Nabiyyi, Jilid. 1, 469, hadith no. 1328

(18)

8

Tak hanya menerima hadis dari periwayat mukhtalit} pasca-ikhtila>t},

al-Bukha>ri> juga meriwayatkan hadis dari periwayat yang terkenal sering melakukan

tadli>s. Contoh yang menarik terkait hal ini ialah periwayat yang bernama

Hushaym bin Bashi>r.

Dengan demikian, periwayat hadis yang bermasalah karena tadli>s, patut

dicurigai sighat periwayatan yang digunakannya. Jika yang digunakan ialah

sighat tah}di>th seperti h}addathana>, akhbarana>, sami’na> dan lain-lain, maka

periwayatannya bisa diterima. Namun jika yang digunakan ialah sighat ‘an‘anah,

maka patut dicurigai.

Ibn H}ajar al-Asqala>ni> mengkategorikan Hushaym bin Bashi>r15 sebagai

tingkat mudallis ketiga, yang itu artinya harus berhati-hati terhadap bentuk

periwayatan yang digunakannya. Al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis-hadisnya yang

menggunakan sighat ‘an‘anah:

6;7

-اََ ث دَح

وُرْمَع

ُنْب

َةَراَرُز

َلاَق

اَنَرَ بْخَأ

ٌمْيَشُ

ِنَع

ِناَبْي شلا

ْنَع

ِدْبَع

ِ للا

ِنْب

ِدا دَش

ِنْب

ََْا

ِدا

َلاَق

َِْتَرَ بْخَأ

ََِلاَخ

ُةَنوُمْيَم

ُتِْب

ِثِراَْْا

ْتَلاَق

َناَك

ىِشاَرِف

َلاَيِح

ى لَصُم

ِِ لا

-ىلص

ها

يلع

ملسو

-اَ ُِرَ ف

َعَقَو

ُُبْوَ ث

ىَلَع

اَنَأَو

ىَلَع

ىِشاَرِف

.

16

Telah menginformasikan kepada kami Amru> bin Zura>rah, ia telah berkata telah menginformasikan kepada kami Hushaym dari al-Shayba>ni> dari Abd Allah bin Shada>d bin al-Ha>d, ia telah berkata: telah menginformasikan kepada ku Maymu>nah binti al-H}a>rith, ia telah berkata: tempat tidurku dekat dengan tempat salat Nabi SAW,

15 Hushaym bin Bashi>r bin al-Qa>sim bin Di>na>r al-Sullamiy Abū Mu’a>wiyah bin Abi> Kha>zim al-Wa>siṭi> al-Bukha>ri>. Al-Dzahabī, Tadzkirah al-Huffādz, Jilid 2, 167

(19)

9

kemungkinan bajunya menempel bajuku sedangkan aku berada di atas tempat tidurku.

Tadli>s merupakan salah satu faktor yang merusak ketersambungan jalur

periwayatan yang implikasinya mengurangi kualitas sebuah hadis. Karenanya

prinsip ketersambungan sanad sangat penting bagi penentuan kualitas sebuah

hadis.

Tidak hanya mudallis yang hadith-hadithnya diriwayatkan al-Bukha>ri>

dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h}, periwayat non-sunni yang ekstrim dengan ke-bid‘

ah-annya dimasukkan juga oleh al-Bukha>ri> dalam kitabnya tersebut. Tipe periwayat

hadis yang dikenal sebagai periwayat bid‘ah yang menjadi fokus perhatian

penelitian ini ialah Abd al-Razza>q bin Hamma>m al-S}an’a>ni>. Beliau adalah ulama

besar namun dikategorikan para ulama besar Shi‘ah - yang concern dalam Rija>l

al-H>adi>th –sebagai sahabat Ima>m Ja’far al-Sa>diq. 17

Karena itu sangat wajar jika sebagian besar ulama menilainya Shi‘ah.

Al-Bazza>r, Ibn H}ibba>n, Ibn Adiyy dan Ibn Sha>hi>n sepakat mengakategorikannya

sebagai mutashayyi‘. Bahkan ada yang lebih parah lagi dalam men-jarh} Abd

al-Razza>q bin Hamma>m; Abbas bin Abd al-Adzhim al-Anbari (w. 240)

mengkategorikannya sebagai periwayat kadhdha>b karena ke-Shi‘ah-annya ini.18

Hadis-hadisnya di riwayatkan al-Bukha>ri> dalam berbagai kitab. Contoh berikut

merupakan hadis Abd al-Razza>q bin Hamma>m yang termsuk kategori hadis

hukum, sebuah kategori yang seharusnya dihindari dalam periwayatan

hadis-hadis jika periwayatnya tergolong bermasalah karena akidah:

17 Abu Jakfar Muhammad bin al-Hasan al-Tusi, Rijāl al-Tūsī (Qum: Muassasah al-Nashr al-Islāmiy, 1965), 265

(20)

10

605

-اََ ث دَح

ََََْ

َلاَق

اَنَرَ بْخَأ

ُدْبَع

ِقا ز رلا

َلاَق

اَنَرَ بْخَأ

ُنْبا

ٍجْيَرُج

َلاَق

ِنَرَ بْخَأ

ُنْبا

ٍباَهِش

ْنَع

ِلْهَس

ِنْب

ٍدْعَس

نَأ

ًاُجَر

َلاَق

اَي

َلوُسَر

،ِ للا

َتْيَأَرَأ

ًاُجَر

َدَجَو

َعَم

ِِتَأَرْما

ًاُجَر

ُُلُ تْقَ يَأ

اََعَاَتَ ف

ِ

ِدِجْسَمْلا

اَنَأَو

ٌدِاَش

19

Telah menginformasikan kepada kami Yah}ya>, ia telah berkata telah menginformasikan kepada kami Abd al-Razza>q, ia telah berkata telah menginformasikan kepada kami Ibn Jurayj, ia telah berkata telah menginformasikan kepada kami Ibn Shiha>b dari Sahl

bin Sa’ad< bahwa seorang laki-laki berkata kepada Nabi wahai Rasul Allah, bagaimana pendapatmu jika ada seorang laki-laki melihat laki-laki lain tidur bersama istriny, apakah ia boleh membunuhnya? Lantas suami istri tersebut saling melaknat di mesjid.

Data di atas paling tidak mengetengahkan fakta secara sementara bahwa

al-Bukha>ri> yang dikenal sebagai ami>r al-mu’minin fi al-hadi>th seharusnya

memegang teguh standar keadalahan periwayat hadis. Data di atas menunjukan

bahwa al-Bukha>ri tampaknya kurang begitu memperhatikan prinsip ini sehingga

dengan mudahnya menerima hadith-hadith dari periwayat bermasalah karena

kidzb seperti Isma>i>l bin Abi> Uways.20 Selain itu, agaknya al-Bukha>ri>

mengabaikan peranan al-jarh} dan al-ta‘di>l dalam mempertimbangkan kualitas

sebuah hadis. Bagi al-Bukha>ri>, jarh} dan ta‘di>l bukan asas epistemik bagi

penilaian validitas sebuah hadis. Hal demikian dapat dibuktikan dengan mudah,

yakni dengan adanya periwayat-periwayat bermasalah dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h}.

Ketiga, tampaknya bagi al-Bukha>ri>, periwayat hadis entah itu thiqat, sadu>q, d}a‘i>f

19 Muh}ammad bin Isma>’i>l al-Bukha>ri> al-Ju’fi, al-Jāmi’ al-Sahīh, Kitāb al-Talāq, Bāb al-Talā‘un fi al-Masjid, Juz 8, 70,

(21)

11

atau kadhdha>b tidak menjadi persoalan penting bagi penilaian hadis s}ah}i>h},

artinya penilaiannya itu tidak ditentukan oleh analisis periwayat-centris tapi

marwiyat-sentris.

Berdasar kepada melencengnya al-Bukha>ri> dari prinsip dasar periwayatan

hadis s}ah}i>h} yang menekankan ke-thiqat-an periwayat, maka tesis ini kami beri

judul: ‚Analisis Tentang Periwayatan Hadis Oleh Perawi Bermasalah Dalam

S{ah{i>h} Al-Bukha>ri>: Telaah atas Sikap, Faktor dan Implikasi Menerima Hadith

Periwayat Bermsalah dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h}.‛

B.Identifikasi dan Batasan Masalah

Berdasarkan kepada latar belakang di atas maka perlu kiranya dilakukan

penelitian secara mendalam mengenai konsistensi dan inkonsistensi al-Bukha>ri

dalam menggunakan standar kualifikasi hadith sahih. Keterangan di atas paling

tidak menunjukan beberapa problem; pertama, adanya kesenjangan antara teori

hadis s}ah}i>h} yang digariskan oleh Ibn al-S}ala>h}, al-Nawa>wi>, Ibn Hajar al-Asqalani>

dengan praktik kerja kualifikasi hadis s}ah}i>h} ala al-Bukha>ri>; kedua, penerimaan

hadis-hadis dari periwayat bermasalah kemudian memasukannya ke dalam

kategori hadith s}ah}i>h} dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h} menunjukan adanya ketidak

ketatan al-Bukha>ri> dalam menyeleksi hadis s}ah}i>h}, karena, seperti telah

dikemukakan di muka, al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis dari periwayat kadhdha>b

dalam jumlah yang begitu besar. Secara sementara ini menunjukan inkonsistensi.

Ketiga, problem yang berkenaan dengan al-jarh} dan al-ta’di>l. Seperti yang sering

didengungkan Ibn Si>ri>n, bahwa sanad itu bagian dari agama karena dengan sanad

(22)

12

yang di dalamnya terdapat periwayat bermasalah dan itu dikategorikan sebagai

s}ah}i>h} menurut ami>r al-mu’mini>n fi al-hadi>th, maka implikasinya ialah sandaran

agama tidak terlalu kuat karena sebagiannya ditopang oleh periwayat kadhdha>b.

Keempat, jika memang dengan permasalahan-permasalahan yang dikemukakan di

atas al-Ja>mi’ al-S{ah}i>h} masih tetap dikategorikan sebagai sumber otentik kedua

setelah al-Quran, maka tentunya al-Bukha>ri> memiliki metode sendiri dalam

menyeleksi hadis-hadis s}ah}i>h} dan tentu pada tahap selanjutnya kita

mempertanyakan definisi yang selama ini disepakati para ulama hadis. Karena itu

penelitian ini dibatasi pada hadis-hadis periwayat bermasalah yang ada dalam

al-Ja>mi’ al-Sahi>h}. Periwayat bermasalah tersebut dibatasi hanya empat periwayat

yang menurut peneliti dapat mewakili secara keseluruhannya, periwayat itu

ialah< Isma>’i>l bin Abi> Uways, H}us}ayn bin Abd al-Rah}ma>n, Hushaym bin Bashi>r

dan Abd al-Razza>q bin Hamma>m al-S}an’a>ni>. Keempat periwayat ini akan diteliti

hadith-hadithnya untuk diketahui sikap dan faktor al-Bukha>ri> meriwayatkan

hadis dari mereka serta implikasinya bagi status al-Ja>mi’ al-Sahi>h}.

Dari analisis sikap, faktor dan implikasi tersebut akan dapat disimpulkan

mengenai konsistensi dan inkonsistensi al-Bukha>ri> dalam menggunakan standar

kualifikasi dan seleksi hadis-hadis s}ah}i>h}.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan kepada identifikasi dan batasan masalah di atas, tentunya

penelitian ini dapat dibingkai dalam beberapa rumusan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sikap al-Bukha>ri terhadap periwayat bermasalah serta

(23)

13

2. Faktor apa saja yang mendorong al-Bukha>ri> untuk memasukan

hadis-hadis periwayat bermasalah ke dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h} ?

3. Bagaimana implikasi dari sikap dan faktor tersebut bagi status ke-

s}ah}i>h}-an hadis-hadis dalam al-Ja>mi’ al-Sahi>h} ?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan penelitian di atas, tujuan penelitian ini ialah:

1. Menjelaskan sikap al-Bukha>ri terhadap periwayat bermasalah serta status

hadis-hadis mereka yang dimasukannya ke dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}.

2. Menjelaskan beberapa faktor yang mendorong al-Bukha>ri> memasukkan

hadis-hadis periwayat bermasalah ke dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}.

3. Menjelaskan implikasi dari sikap dan faktor tersebut bagi status ke-

s}ah}i>h}-an hadis-hadis dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}.

E. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki kegunaan pada tataran teoretis dan tataran

praktis. Adapun kegunaan penelitian ini secara teoretis dapat dikemukakan

sebagai berikut:

1. Memberikan penjelasan secara teoretis bahwa prinsip yang digunakan

al-Bukha>ri> dalam meriwayatkan hadis tidak melulu karena pertimbangan

ra>wi-centris tapi lebih dari itu, yakni fokus kepada marwiyyat-centris

dengan penekanan kepada variabel ‘illat dan sha>dz sehingga jarh} dan

ta‘di>l tidak terlalu menjadi pertimbangan penting bagi penilaian hadis.

2. Memberikan sumbangsih pemikiran bahwa bagi al-Bukha>ri> tidak ada

(24)

14

matru>k (?) bagi penentuan kualitas hadis s}ah}i>h}. Prinsipnya ialah

intensitas kesalahan dan kekeliruan yang dilakukan masing-masing

periwayat thiqat, saduq, d}ai>f dan matruk berdasar kepada cara kerja

kritik muwafaqah, mukha>lafah dan tafarrud.

3. Memberikan tawaran baru bagi pengertian hadis s}ah}i>h} yang selama ini

didefinisikan sebagai hadis yang diriwayatkan oleh periwayat yang

memiliki integritas moral yang tinggi (‘a>dil), hafalan yang kuat (d}a>bit}),

ketersambungan sanad, tidak ada ‘illat, dan tidak sha>dh. Pengertian

tersebut sangat terpusat kepada rawi-sentris sehingga jika diterapkan

secara konsisten terhadap hadis-hadis al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h}, maka hasilnya

tidak semua hadis al-Bukhari dinilai s}ah}i>h}. Karena itu, bisa saja

al-Bukha>ri> memiliki pengertian sendiri tentang hadis s}ah}i>h} yang justru

berbeda dari yang digariskan ulama hadis lainnya.

4. Meski ada inkonsistensi pada sikap al-Bukha>ri> yang men-jarh} para

periwayat hadis seperti tersebut dalam kitab al-Du‘afa al-Saghi>r dan

karyanya yang lain dan periwayat tersebut tetap dinukil hadisnya di

dalam kitab S{ah}i>h}-nya, tetap saja itu tidak menghalangi status

otentisitas kitab ini sebagai sumber Islam yang kedua setelah al-Quran

dan al-Bukha>ri> tetap konsisten memegang metode penyeleksian hadis

s}ah}i>h}.

5. Memberikan sumbangsih secara teoretis bahwa ada kesenjangan dan

(25)

15

ini diwakili oleh al-Bukha>ri> dan manhaj mutaakhiri>n yang diwakili oleh

Ibn al-S}ala>h, al-Nawa>wi> dan lain-lain.

Adapun kegunaan penelitian ini secara praktis dapat dikemukakan sebagai

berikut:

1. Penelitian ini memiliki kegunaan secara praktis jika dikaitkan dengan

bagaimana penerapan teori al-Jarh} dan al-Ta‘di>l dalam mengkaji validitas

sebuah hadis-hadis.

2. Penelitian ini paling tidak memberikan sketsa baru bagi pemahaman

hadis-hadis s}ah}i>h} dalam kitab al-Jami’ al-S{ah}i>h} karya al-Bukha>ri>.

Terutama dalam bingkai pembedaan penyeleksian hadis-hadis sahih ala

manhaj mutaqaddimi>n dan mutaakhiri>n.

F. Kerangka Teoretik

Penelitian ini bermula dari kerangka kerja pembedaan secara signifikan

antara penentuan kualitas hadis berdasar kepada ra>wi>-sentris yang diwakili oleh

manhaj muta’akhkhiri>n dan marwiyya>t-sentris yang terepresentasikan pada

manhaj mutaqaddimi>n. Pembedaan ini perlu untuk melihat titik temu dan titik

pisah antara kedua manhaj tersebut. Bagi manhaj mutaakhiri>n yang ra>wi>-sentris

akan banyak mempersoalkan atau tidak mempersoalkan al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} dari

sudut pandang periwayat-periwayatnya yang bermasalah, entah itu dalam

kerangka membela al-Bukha>ri> dengan argumen sana-sini bagi yang tidak

mempersoalkan atau dalam kerangka menghujatnya bagi yang mempersoalkan.

Karena itu pada manhaj ini, akan ditemukan karya-karya mengenai biografi

(26)

16

Min al-Ruwa>t Bi al-Ikht}ila>t}, Rija>l al-Bukha>ri, Hady al-Sa>ri>, Taqri>b al-Tahdhi>b,

Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Tahdhi>b al-Kama>l, al-Ikma>l fi> Tahdhi>b al-Kama>l dan lain

sebagainya. Termasuk takhri>j al-hadi>th yang selama ini dilakukan pasti akan

merujuk kitab-kitab tersebut untuk menentukan kualitas sebuah hadis berdasar

kepada kualitas periwayatnya. Ini manhaj mutaakhiri>n yang ra>wi>-sentris.

Sedangkan untuk marwiyya>t-sentris, fokus analisis hadisnya tidak hanya

kualitas periwayat tapi variabel-variabel illat dan shudhu>dh yang ada pada

masing-masing hadis berdasar kepada prinsip muwa>faqah, mukha>lafah dan

tafarrud. Dengan cara kerja muwa>faqah, mukha>lafah dan tafarrud pada analisis

hadis, akan dapat ditentukan kualitas periwayatnya. Jadi kualitas periwayat

ditentukan oleh sejauh mana periwayat tersebut ber-muwafaqah, mukha>lafah dan

tafarrud dengan periwayat lainnya.

Dari kerangka teroretis seperti ini, akan terlihat bagaimana sikap dan

faktor al-Bukha>ri> dalam memasukkan hadis-hadis periwayat bermasalah dalam

al-Ja>mi‘ al-Sahi>h-nya.

G. Penelitian Terdahulu

Banyak sekali penelitian yang membahas al-Bukha>ri> dari berbagai macam

sudut. Namun dari sekian penelitian itu, yang membahas mengenai konsistensi

dan inkonsistensi al-Bukha>ri> - dalam meriwayatkan hadis-hadis dari periwayat

bermasalah di dalam al-Ja>mi‘ al-S{ah}i>h} - secara memadai hanya segelintir. Itu

juga tak jauh dari bingkai al-Jarh} dan al-Ta‘di>l yang dijadikan asas epistemik

(27)

17

Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Muhammad T}awa>lib yang

berjudul ‚Man Rawa>hu al-Bukha>ri> Maqru>ni>n‛. Penelitian ini membahas tentang

salah satu cara kerja periwayatan hadith ala al-Bukha>ri>, yakni dengan

menggunakan strategi penyebutan dua atau beberapa periwayat dari t}abaqat

gurunya. Berdasarkan penemuannya, ada 36 periwayat yang disertakan periwayat

lainnya ketika menerima hadis dari satu guru. Misalnya riwayat Abd Allah

ditemani dengan al-Hasan ketika meriwayatkan dari gurunya yang bernama

Ja’far. Kemudian T}awa>lib juga menyebutkan alasan mengapa seorang periwayat

itu di-maqrun-kan dengan periwayat lain. Banyak sekali alasan yang

dikemukakan di penelitian ini, misalnya karena kebid‘ahan, kekeliruan dan

lain-lain. Sayangnya dari 36 periwayat yang di-maqrun-kan, T{awa>lib mendasarkan

temuannya berdasarkan kepada pengumpulan pendapat ulama ini ulama itu dan

tidak melalui telaah langsung al-Ja>mi’ al-Sahi>h}. Akibatnya, masih banyak

periwayat yang tidak dimasukkan kepada jajaran periwayat maqru>n ini. Isma>’i>l

Abi> bin Uways, misalnya, meski terkadang riwayatnya di-maqrun-kan dengan

periwayat lain yang lebih thiqat, sayangnya ia tidak disebutkan ke dalam jajaran

Man Rawa>hum al-Bukha>ri> Maqru>ni>n.

Kedua, penelitian yang dilakukan oleh Sa>lim bin S}a>lih} al-Umma>ri yang

berjudul ‚Rija>l al-Bukha>ri> Alladhi>na Awrada-hum fi> Kita>bihi al-D}u‘afa>’ wa

Riwa>ya>tuhum fi al-S}ah}i>h}.‛ Fokus penelitian ini ialah perbandingan sikap

al-Bukha>ri> berkenaan dengan periwayat yang dinilainya bermasalah dan

dimasukkannya ke dalam al-D}uafa> al-S}aghi>r namun hadis-hadisnya tetap

(28)

18

alasan al-Bukha>ri> berdasarkan kepada tafsiran Ibn H}ajar al-Asqala>ni> dari kitab

Hady al-Sa>ri>. Penelitian ini tidak lain hanya mengulang atau tah}si>l al-h}a>s}il dari

pendapat Ibn H}ajar al-Asqala>ni>. Tidak ada sesuatu yang baru yang dikemukakan.

Tidak ada temuan melainkan hanya reproduksi ulang pandangan Ibn H}ajar

al-Asqala>ni>. Sayangnya penelitian serupa juga dilakukan oleh Abd Alla>h bin

Fawza>n bin S}a>lih} al-Fawza>n dengan judul ‚al-Ruwa>t alladhi>na Jarah}a-hum

al-Bukha>ri> wa Akhraja-hum fi al-S}ah}i>h.‛ Usahanya tidak lain mereproduksi ulang

pandangan Ibn H}ajar terkait alasan al-Bukha>ri> meriwayatkan hadis-hadis dari

periwayat bermasalah.

Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Zakariyya binti Ah}mad Muhammad

Ghalfa>n Zikra> yang berjudul ‚al-Tajri>h al-Nisbiy fi Ba‘d} al-Amkinah du>na Ba‘d}

min Man Kharraja lahum al-Bukha>ri> fi S}ah}i>h}ihi‛. Penelitian ini fokus kepada

para periwayat thiqat yang di-jarh} d}ai>f jika meriwayatkan hadis dari guru dari

wilayah tertentu sementara ia d}a>bit}} ketika meriwayatkan hadis dari gurunya dari

wilayah lain. Penelitian ini menarik karena menjelaskan alasan mengapa

periwayat thiqat tidak dapat diandalkan jika meriwayatkan hadis bukan dari asal

wilayahnya, bukan dari guru tertentu dan lain-lain. Inilah yang disebut dengan

tajri>h nisbiy, sebuah jarh} yang disematkan kepada periwayat tertentu namun

tidak secara mutlak menolak periwayatannya.

Semua penelitian ini hanya menyentuh aspek ra>wi-sentris dan tidak

menyentuh marwiyya>t-nya sehingga ada celah bagi penelitian ini untuk

(29)

19

H. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena berdasar kepada

karakter objeknya dimana masalah yang muncul sebagai objek penelitian belum

bisa disimpulkan secara holistik.21 Maka dari itu, dalam penelitian kualitatif

langkah metode penelitian ini akan dibagi ke dalam empat bagian; jenis

penelitian, data dan sumber data, teknik pengumpulan data, dan metode analisis

data.

1. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan penelitian kepustakaan

(library reseacrh), yaitu sebuah penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji

atau meneliti buku-buku yang terkait dengan pokok-pokok pembahasan dalam

tesis ini.

2. Data dan Sumber Data

Objek penelitian ini ingin mengungkap tiga hal; pertama, sikap

al-Bukha>ri> terhadap hadis-hadis periwayat bermasalah. Kedua, faktor yang

melatarbelakangi al-Bukha>ri> dalam meriwayatkan hadis periwayat bermasalah.

Ketiga, menjelaskan implikasi dari sikap dan faktor al-Bukhari meriwayatkan

hadis periwayat bermasalah terhadap status kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>>. Semua ini

dilakukan untuk melihat sejauh mana al-Bukha>ri> konsisten dalam memegang

prinsip dan standar hadith s}ah}i>h} seperti yang telah digariskan oleh para ulama.

Berdasarkan kepada objek kajiannya, penelitian ini tergolong studi pustaka

(library research).

(30)

20

Data yang digunakan akan dibagi menjadi dua. Pertama data primer dan

data sekunder. Data primer mengacu pada kriteria hadis al-Bukha>ri> dan kualitas

periwayat al-Bukha>ri>. Data sekunder kriteria mengacu pada kriteria hadis s}ah}i>h}

menurut ulama hadis, al-jarh} wa al-ta‘di>l. Sumber data yang digunakan adalah

karya-karya ulama mutaqaddimi>n dan mutaakhiri>n yang memuat sejumlah

periwayat bermasalah. Dalam hal ini, sumber data akan dibagi menjadi dua

bagian, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer yang digunakan adalah karya-karya para ulama hadis

mengenai rija>l hadi>th seperti Muqaddimah Fath} Ba>ri>, Tabaqa>t

al-Mudallisi>n, Tahdhi>b al-Tahdhi>b, Taqri>b al-Tahdhi>b, Tahdhi>b al-Kama>l, al-Ikma>l

fi Tahdhi>b al-Kama>l, kitab-kitab yang berkenaan dengan ‘ilal al-h}adi>th dan

lain-lain.

Selanjutnya sumber data sekunder yang akan digunakan adalah

kitab-kitab must}ala>h} al-h}adi>th yang memuat sejumlah teori dan rumusan ulama hadis

mengenai kriteria hadis maqbu>l dan hadis mardu>d seperti Muqaddimah Fi> Ulu>m

al-Hadi>th karya Ibn al-S>ala>h}, al-Taqyi>d wa al-I>d}a>h} karya al-Ira>qi>, Taysi>r

Mus}t}alah} al-H{adi>th karya Mah}mu>d al-T{ah}h}a>n, karya-karya Hamzah Abd Allah

al-Mali>ba>ri> dan lain-lain.

3. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dapat dilakukan dalam berbagai cara. Dalam penelitian

ini menggunakan teknik pengumpulan data triangulasi,22 yaitu teknik

pengumpulan data yang bersifat menggabungkan dari berbagai teknik

(31)

21

pengumpulan data dan sumber data yang telah ada. Dari data dan sumber data

yang ada akan menganalisis periwayat bermasalah dalam S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>>

kemudian diklasifikasikan menjadi empat kategori perawi bermasalah, yaitu

periwayat kadhdha>b, periwayat mubtadi‘ (dianggap melakukan kebid‘ahan),

ikht}ila>t} (perawi yang menurun kapabilitas dan kredibilitasnya), dan mudallis

(perawi pelaku tadlis).

4. Metode Analisis Data

Dalam menganalisis data yang ditemukan, penulis menggunakan analisis

data secara sistematis, faktual dan akurat terhadap beberapa periwayat yang

dianggap bermasalah dalam kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>>.

I. Sistematika Pembahasan

Pembahasan dalam tesis ini secara keseluruhan akan memuat lima bab.

Bab I berisi pendahuluan yang memuat latarbelakang masalah, indentifikasi,

batasan, dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelitian

terdahulu, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan. Ini semua dilakukan

guna memberikan peta konseptual yang jelas mengenai alur penelitian ini

mencakup batas-batas kajiannya. Hal ini untuk memberi pijakan yang kuat bagi

peneliti di satu sisi, dan pembaca di sisi lain.

Bab II akan membahas sketsa biografi dan pemikiran al-Bukha>ri> yang

didalamnya memuat riwayat hidup al-Bukha>ri>, pendidikan, karya-karya, dan

pemikirannya dalam bidang hadis. Pembahasan ini diperlukan untuk mengetahui

(32)

22

Bab III membahas biografi periwayat bermasalah seperti Isma>‘i>l bin Abi>

Uways, H}us}ayn bin Abd al-Rah}ma>n, Husha>ym bin Bashi>r dan Abd al-Razza>q bin

Hamma>m al-S}an‘a>ni> berikut dengan detail penilaian para kritikus hadis mengenai

periwayat bermasalah tersebut.

Bab IV membahas sikap al-Bukha>ri> terhadap masing-masing periwayat

bermasalah dengan menganalisis persebaran hadis-hadisnya di dalam al-Ja>mi‘

al-S{ah}i>h} dan mencari muta>ba‘ah-nya di kitab-kitab hadis lainnya. Selain sikap,

faktor yang mendorong al-Bukha>ri> dalam mengambil hadis dari periwayat

bermasalah pun akan dibahas secara lebih mendalam. Sikap dan faktor tersebut

akan menentukan implikasinya bagi status kitab S}ah}i>h} al-Bukha>ri>>>. Berdasar

kepada analisis ketiga hal tadi akan dapat disimpulkan mengenai konsistensi dan

inkonsistensi al-Bukha>ri> dalam memegang teguh prinsip dan standar hadis sahih.

Bab V sebagai penutup yang terdiri dari kesimpulan dan jawaban atas

(33)

BAB II

SKETSA BIOGRAFIS DAN PEMIKIRAN AL-BUKHA<RI<

A. Riwayat Hidup Al-Bukha>ri>>

1. Nama lengkap dan masa hidup Al-Bukha>ri>>

Nama al-Bukha>ri>> adalah Muh}ammad bin Isma>‘i>l bin Ibra>hi>m bin

al-Mughi>rah bin Badhdizbah,1 ada yang mengatakan Bardizabah al-Ju‘fi>.2

Nama Bukha>ri>> merupakan penisbatan pada daerah kelahirannya.

Sedangkan nama al-Ju’fi dinisbatkan kepada beliau sebab kakeknya yang

bernama al-Mughi>rah masuk Islam – yang sebelumnya beragama Majusi –

atas tuntunan Yama>n al-Ju’fi, seorang penguasa Bukha>ra>. Dari situlah

penisbatan al-Ju’fi disematkan kepada al-Bukha>ri>>. Selain itu trah

keturunan al-Ju’fi merupakan mantan majikannya.3

1 Jama>l al-din Abi> al-Hajja>j Yu>suf al-Mizzi>, Tahdhi>b al-Kama>l, (Muassasah al-Risa>lah; Beirut 1985) cet IV, Juz 24, 431.

2 Banyak riwayat yang berbeda mengenai nama kakek dari al-Bukha>ri> yang bernama Badhdizbah. Nama Badhdizbah merupakan logat bahasa Bukha>ra yang memiliki arti petani (al-zarra>’). Lihat Abu> ‘Abd Allah Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar A‘la>m al-Nubala’,

(Muassasah al-Risa>lah; Beirut 1993) cet IX, Juz 12, 391. Amir bin Ma>ku>la> menyebutnya dengan nama Bardizbah dengan menggunakan huruf ba’ kemudian ra’ yang disukun kemudian dal yang dikasrah kemudian zay disukun kemudian ba’ dan ha’. Lihat Abu> Bakr Ka>fi>, Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ri> Fi> Tas}h}i>h} al-Aha>di>th Wa Ta’li>miha>, (Beirut; Da>r Ibn H}azm, 2000) cet I, 66. Menurut Ibn Hajar pendapat inilah yang paling masyhur. Lihat Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Hady al-Sa>ri> Muqaddimah al-Fath} al-Ba>ri>, (Kairo; Da>r al-Rayya>n, 1986) 501.

(34)

24

Muh}ammad bin Isma>‘i>l lebih akrab dipanggil Bukha>ri>>. Nama

al-Bukha>ri>> diambil dari daerah kelahiran beliau yang bernama Bukha>ra>.

Daerah ini masuk kawasan ma> wara>’a al-nahr. Orang Arab menyebutnya

dengan istilah tersebut yang artinya ‘yang berada di luar sungai’ karena

posisinya terletak diantara Sungai Amu Darya dan Sungai Syr Darya.

Sementara orang Barat lebih sering menyebut tempat ini dengan nama

Transoxiana. Kawasan ini dikenal dengan nama Transoxiana hanya

bertahan sampai abad ke 7. Namun setelah orang-orang Arab menaklukkan

kawasan ini di abad ke 8 nama itupun diganti menjadi ma> wara>’a al-nahr.

Kawasan ini terbilang cukup luas sebab sebagian besarnya – untuk

sekarang – meliputi Uzbekistan, sebagian selatan Kazakhtas, Tajikistan

dan Turkmenistan. 4

Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>> lahir pada hari Jumat, 13 Syawal

194 H (810 M) setelah salat Jum’at di Bukha>ra>. Meninggal dunia pada

Sabtu malam saat melaksanakan salat ‘Isha>’ pada malam hari raya ‘Idul

Fitri 1 Syawal 256 H (870), dalam usia 62 tahun. Beliau dimakamkan

setelah salat Z{uhur di wilayah Khartank, Samarqand.

2. Kondisi sosial, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan.

Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>> hidup pada 194 - 256 H. Tahun

tersebut masuk pada akhir masa Daulah ‘Abba>siyyah pertama dan awal

(35)

25

masa Daulah ‘Abba>siyyah kedua. Tepatnya, al-Bukha>ri>> hidup pada masa

al-Ami>n berkuasa, beliau putra dari Haru>n al-Rashi>d, khalifah kelima dari

dinasti ‘Abba>siyyah yang menggantikan al-Ha>di>. Dilanjutkan al-Ma’mu>n,

al-Mu‘tas}i>m, al-Wathiq, al-Mutawakkil, al-Muntas}ir, al-Musta‘in, dan al

-Mu‘taz. Secara politik masa ini terbilang relatif aman dari pihak eksternal,

meski secara internal terdapat beberapa konspirasi politik akibat

perebutan kekuasaan.5

Pada periode ini terbilang memiliki pemerintahan yang cukup kuat,

berdaulat dan memiliki wilayah kekuasaan yang sangat luas. Selain

memiliki strategi yang cukup matang untuk mempertahankan garis

teritorial yang dikuasainya, khalifah periode ini juga digandrungi dengan

semangat kebangkitan daya intelektual bangsanya. Hal ini tak lain sebab

pengaruh asing, sebagian Indo-Persia, Suriah, dan yang paling penting

adalah pengaruh Yunani.6

Manuver-manuver politik di masa Haru>n al-Rashi>d bisa dikatakan

sebagai pemulus kebangkitan intelektual sebagai puncaknya didikanlah

rumah kebijaksanaan, bait al-h}ikmah. Di situ banyak memulai gerakan

penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa arab secara kolektif. Pada

masa al-Ma’mu>n-lah sebenarnya bait al-h}ikmah mencapai masa kejayaan.

5 Shamsh al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Siyar A‘la>m al

-Nubala>’, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1993) Juz 9, 336.

(36)

26

Sebagai bukti nyatanya adalah banyaknya para sarjana muslim yang

muncul di sana. Pada masa al-Ma’mu>n juga mulai mendirikan

observatorium, bait al-h}ikmah sebagai pusat studi humaniora dan ilmu

pengetahuan yang terbaik pada abad pertengahan Islam, meliputi bidang

matematika, astronomi, kedokteran, alkimia dan kimia, zoologi, geografi

dan kartografi. Juga dengan mengambil literatur-literatur dari India,

Yunani, dan Persia, para ilmuwan disana mampu mengumpulkan koleksi

pengetahuan dunia secara masif, dan berdasarkan itu semua mereka

membuat penemuan-penemuan mereka sendiri.

Hal ini tidak terkecuali dalam disiplin ilmu hadis. Memang pada

dasarnya bukan pada masa kekhilafahan bani ‘Abbasiyyah yang dikenal

para sejarahwan muslim sebagai pionir dalam pengkodifikasian hadis.

Lebih tepatnya adalah Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, khalifah dari bani

Umayyah. Namun justru di pundak para khalifah ‘Abba>siyyah inilah di

kenal dengan masa kejayaan Sunnah, min ‘us}u>r al-izdihar atau masa

keemasan Sunnah, min al-‘us}u>r al-dhahabiyah. Disebut demikian, sebab

masa ini berhasil menghimpun seluruh hadis dan pada abad berikutnya

tidak mengalami perkembangan yang signifikan.7 Masa kejayaan ini

memunculkan kitab-kitab induk hadis, ummaha>t kutub al-sittah. Buku

(37)

27

induk itulah yang sampai sekarang dipakai sebagai sumber referensi

primer dalam hadis.

Seiring dengan berjalannya gerakan kebangkitan, fakta sejarah

membuktikan adanya catatan hitam dalam mewujudkan eksistensi

ideologi sebuah negara. Menurut Michel Foucault ada hubungan

kecurigaan dan kepentingan dalam relasi pengetahuan (knowledge) dan

kekuasaan (power). Keduanya merupakan hubungan timbal balik, di mana

kekuasaan selalu terartikulasikan lewat pengetahuan dan pengetahuan

selalu menimbulkan efek kuasa. Penguasa selalu memproduksi

pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Penguasa tidak

memperbolehkan adanya kekuatan wacana tandingan yang nantinya dapat

mempengaruhi kebijakan dan kelangsungan kekuasaannya. Secara

otomatis, penguasa menggulirkan kebijakan untuk menghilangkan

kekuatan-kekuatan oposisi dengan menerapkan kebijakan dan menetapkan

berbagai peraturan yang bersifat menekan pihak-pihak yang tidak sepakat

dengan penguasa.8

Terbukti kasus teokrasi (mih}nah) yang sebenarnya sudah ada pasca

perang siffi>n yang berujung pada proses arbritrasi (tah}kim). Mu‘awiyah

misalnya, lebih cenderung pada sekte Murji‘ah. Dinasti Fat}imiyah lebih

memilih Shi>‘ah sebagai ideologi negara. Dinasti Saljuk yang menjunjung

(38)

28

tinggi ajaran Sunni. Dalam waktu yang bersamaan, siapa saja yang

berhaluan dengan ideologi negara maka bisa dipidanakan. Saat al-Ma’mu>n

berkuasa, sekte Mu‘tazilah mendapat posisi strategis dihadapan khalifah.

Bahkan beliau sendiri termasuk fanatikus Mu‘tazilah. Al-Ma’mu>n

percaya, bahwa dari paradigma Mu‘tazilah mampu merangsang rasa cinta

terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban.

Mih}nah sendiri pada dasarnya lebih merugikan khususnya bagi mereka

yang konsen dalam bidang agama. Tak terkecuali dalam hal ini adalah

al-Bukha>ri>>. Ketika beliau dibenturkan dalam sebuah majlis dengan

pertanyaan apakah al-Qur’an makhlu>q atau bukan makhlu>q ?. Al-Bukha>ri>>

hanya berpaling, sehingga membuat pertanyaan tersebut diulangi kembali.

Al-Bukha>ri>> tetap tidak menjawab dan pertanyaan itu terulang sampai tiga

kali. Pada akhirnya beliau mengemukakan pendapatnya, bahwa al-Qur’an

kala>m Allah bukan makhlu>q, sedangkan perbuatan hamba adalah makhlu>q,

dan menanyakannya termasuk perbuatan bid‘ah. Setelah pernyataan

tersebut disampaikan oleh al-Bukha>ri>>, sejak itulah orang-orang mulai

meninggalkan majlisnya.9 Banyak pihak yang meminta al-Bukha>ri>> untuk

mencabut statementnya, akan tetapi beliau justru bersikukuh dengan

pendapatnya kecuali ada yang bisa menjelaskan kemakhlukan al-Qur’an

9 Shamsh al-Di>n Muh}ammad bin Ah}mad bin ‘Uthma>n al-Dhahabi>, Siyar A‘la>m al

(39)

29

dengan argumentasi yang lebih kuat dari argumentasi yang beliau

sampaikan.10

Dari satu sisi terlihat keteguhan pendirian al-Bukha>ri>>. Bagaimana

beliau tetep berpendirian teguh dengan pendapatnya, meski kondisi saat

itu merupakan hal yang sangat mengkhawatirkan bagi para cendekiawan

untuk berpendapat bahwa al-Qur’an adalah makhluk11. Pada masa

kekhalifahan al-Ma’mu>n berkuasa, beliau memberikan intruksi kepada

gubernur Baghda>d, Ish}aq bin Ibra>hi>m al-Khuza‘i tepatnya pada bulan

10 Al-Khat}ib al-Baghda>di>, Ta>ri>kh Baghda>d wa Dhuyu>lih, (Beirut: Da>r Kutub al-Alamiyah, 1996) Juz 2, 29.

(40)

30

Rabi>‘ al-Awwal 218 H, agar memeriksa seluruh pejabat negara, meliputi

hakim, qad}i dan para muh}addith tentang kemakhlukan al-Qur’an.12

Ada empat macam tingkatan dalam eksekusi mih}nah, pertama,

mereka yang menolak tidak boleh dijadikan saksi dalam hal apapun, serta

dianggap pendusta. Kedua, mereka yang berprofesi sebagai guru atau

muballigh, tidak lagi mendapat tunjangan dari Khalifah. Ketiga, jika

masih tetap menolak akan dicambuk dan dirantai kemudian dimasukkan

ke dalam penjara. Keempat, proses terakhir dari segalanya adalah

hukuman mati dengan leher dipancung.13 Poses mih}nah yang telah

dilakukan oleh khalifah al-Ma’mu>n terus dilanjut oleh khalifah-khalifah

setelahnya. Al-Bukha>ri>> juga tidak luput dari kejadian semacam ini.

Sampai pada akhirnya, beliaupun berdoa agar segera dipercepat

meninggalkan dunia lantaran ganasnya fitnah mih}nah tersebut.14

3. Keluarga Al-Bukha>ri>>

a) Ayah

Bapaknya yang bernama Isma>‘i>l bin Ibra>hi>m bin Mughi>rah,

Abu> al-H{asan dikenal sebagai ahli hadis. Ibn H{ibba>n

12 Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-T{abari> Ta>ri>kh al-Rusul wa al-Mulu>k, (Mesir: Da>r al-Ma‘a>rif, 0;89) Juz 8, 631.

13 Muh}ammad bin Jari>r al-T{abari>, Ta>ri>kh al-T{abari> Ta>ri>kh al-Rusul wa al-Mulu>k, Juz 8, 631-645.

14 Al-Bukha>ri> berdoa, ‚Allahumma Innahu Qad D{a>qat ‘Alayya al-Ard} Bima> Rah}ubat

(41)

31

mencantumkan biografinya dalam kitab al-Thiqa>t. Ibn H{ibba>n

berkata ‚Isma>‘i>l bin Ibra>hi>m, orang tua al-Bukha>ri>> masuk dalam

T{abaqa>t keempat, beliau mengambil periwayatan dari H{amma>d

bin Zaid, Ja‘far al-Baikandi, dan Ma>lik. Begitu juga orang-orang

ahli ‘Ira>q mengambil periwayatan darinya‛.15

Al-Bukha>ri>> sendiri menyebut nama Isma>‘i>l bin Ibra>hi>m

dalam al-Ta>ri>kh al-Ka>bi>r.16 Bahwa ayah al-Bukha>ri>>, Isma>‘i>l bin

Ibra>hi>m melihat H{amma>d bin Zaid bersalaman dengan Ibn

Muba>rak di Makkah dengan kedua tangannya. Penyebutan

tersebut menunjukkan bahwa ayah al-Bukha>ri>> termasuk

golongan orang-orang saleh.17

b) Kakek

Nama kakek al-Bukha>ri>> adalah Ibra>hi>m bin al-Mughi>rah.

Namun sosok beliau hanya diketahui sebatas namanya, bahkan

tidak ada satupun riwayat tetang kakek al-Bukha>ri>> yang sampai

pada kita, bagaimana kehidupan serta kredibilitas keilmuan

yang dimilikinya. Sebagaimana yang telah disampaikan oleh Ibn

15 Muh}ammad bin H{ibba>n bin Ah}mad Abu> H{a>tim al-Tami>mi> al-Busti>, al-Thiqa>t, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1975) Juz 8, 98.

(42)

32

H{ajar dalam Muqaddimah Fath} al-Ba>ri ‚Tidak ada satupun

riwayat Ibra>hi>m bin al-Mughi>rah yang sampai pada kita‛.18

c) Buyut

Buyut al-Bukha>ri>> bernama al-Mughi>rah yang mulai masuk

Islam pada masa kepemimpinan al-Yama>n al-Ju‘fi>. Al-Yama>n

al-Ju‘fi adalah buyut dari ‘Abd Allah bin Muh}ammad bin Ja‘far

bin Yama>n al-Bukha>ri>> al-Ju‘fi>. Dari situlah penisbatan nama

al-Ju‘fi dimulai. Penisbatan tersebut sebagai penisbatan wala’.19

d) Ayah buyut

Para ahli sejarah mencatat, bahwa kakek al-Bukha>ri>> yang

ketiga, memiliki banyak riwayat yang berbeda ada yang

menyebut Bardizbah, Badhdizbah,20 atau Bardizabah.21

Sedangkan yang nama yang terakhir lebih disepakati oleh ahli

sejarah dibanding dua nama sebelumnya.22 Sedangkan

Badhdizbah merupakan logat bahasa Bukha>ra yang memiliki

arti petani (al-zarra>’) dalam bahasa arab.23

18 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Hady al-Sa>ri> Fi> Muqaddimah Fath} al-Bari>, 501. 19 Yusuf bin al-Zaki> Abu> al-Hajja>j al-Mizzi>, Tahdhi>b al-Kama>l, (Beirut: Muassasah al-Risa>lah, 1980) cet. I, Juz 24, 437.

(43)

33

Buyut al-Bukha>ri>> yang bernama Bardizbah merupakan

putra dari Badhidhbah seperti yang telah disampaikan oleh Ta>j

al-Di>n al-Subki> dalam al-T{abaqa>t al-Kubra>.24 Hanya saja para

ahli sejarah kebanyakan mecukupkan nasabnya sampai

Bardizbah saja. Keduanya adalah orang Persia asli, bukan orang

Arab. Bahkan, selama hidupnya ia penganut agama Majusi.25

Lebih-lebih info semacam ini ditulis sendiri oleh al-Bukha>ri>>

dalam karya autografinya yang berjudul al-Ta>ri>kh al-S{aghi>r.

e) Ibu

Ibu al-Bukha>ri>> dinilai sebagai orang yang taat beribadah,

mustaja>b al-da‘wah, dan memiliki karamah. Ghanja>r

meriwayatkan dalam Ta>ri>kh Bukha>ra> dan al-La>laka>ni> dalam

Sarh} al-Sunnah bab Karama>t al-Auliya>’ bahwa ketika

al-Bukha>ri>> masih kecil pernah mengalami buta. Sejak itu, tiada

hari bagi ibu al-Bukha>ri>> kecuali ia bermunajat dengan

doa-doanya. Hingga pada suatu malam ibunya bermimpi bertemu

Nabi Ibra>hi>m as. Beliau berkata ‚Allah swt telah

24Sebagian Ahli sejarah menyebut al-Ah}naf sebagai ganti dari nama Bardizbah. Dahulu terdapat seorang laki-laki bernama al-Ah}naf bin Qays al-Tami>mi> tergolong t}abaqat muh}ad}ram yang thiqat, memiliki akal cemerlang. Karenanya, sebagai bentuk penghormatan terhadap seseorang yang memiliki akal cerdas dan cemerlang, buyut al-Bukha>ri> diberi gelar al-Ah}naf karena Bardizbah juga terkenal memiliki akal yang cemerlang. Lihat ‘Abd Sala>m al-Muba>rakfu>ri>, Si>rah al-Ima>m al-Bukha>ri> Sayyid al-Fuqaha>’ wa Ima>m al-Muh}addithi>n, (Makkah< Da>r ‘A<lam al-Fawa>id, 1422 H) cet I, Juz 1, 51-56.

(44)

34

mengembalikan penglihatan anakmu, karena engkau sering

menangis dalam doamu‛. Saat pagi harinya, Allah swt telah

benar-benar mengembalikan penglihatan al-Bukha>ri>>.26 Mengenai

nama dari ibu al-Bukha>ri>>, belum ada para sejarahwan yang

mencatatnya.

f) Saudara

Al-Bukha>ri>> hanya memiliki satu saudara bernama Ah}mad

bin Isma>‘i>l yang berumur lebih tua dari al-Bukha>ri>>. Terakhir kali

al-Bukha>ri>> bersama saudaranya saat menunaikan ibadah haji

bersama ibunya pada 210 H. Kemudian al-Bukha>ri>> menetap di

Makkah kemudian melanjutkan ke Madinah untuk belajar hadis

kepada para imam-imam hadis, sedangkan saudara dan ibunya

kembali ke Bukha>ra>. Tidak lama kemudian Ah}mad bin Isma>‘i>l

meninggal dunia.27

B. Ekspedisi Al-Bukha>ri>> dalam Bidang Keilmuan

1. Sifat-sifat dan Integritas al-Bukha>ri>>

Muh}ammad bin Isma>‘i>l al-Bukha>ri>> dikenal memiliki perawakan

sedang, bertubuh tegap, tidak tinggi dan tidak pendek.28 Berakhlak mulia,

teguh dalam berprinsip, memiliki integritas yang tinggi, serta memiliki

26 Abu> ‘Abd Allah Shams al-Di>n al-Dhahabi>, Siyar A‘la>m al-Nubala’, Juz 12, 393. 27 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Hady al-Sa>ri> Muqaddimah al-Fath} al-Ba>ri>, 693. 28 ‘Abd Allah bin ‘Ady bin ‘Abd Allah bin Muh}ammad Abu> Ah}mad al-Jurja>ni>, al-Ka>mil

(45)

35

semangat yang tinggi dalam belajar.29 Semangat belajar hingga kepenjuru

dunia ini ditunjang dengan kemampuan finansial yang memadai. Berkat

harta peninggalan orang tuanya yang memang tergolong orang yang

berkecukupan.30 Meski demikian, al-Bukha>ri>> tetap memilih hidup

sederhana, tidak berfoya-foya apalagi tergoda dengan gemerlap kehidupan

duniawi. Selain itu, al-Bukha>ri>> dikenal sebagai ahli ibadah, zuhud dan

wara‘. Dalam masalah ibadah, terkhusus ketika masuk bulan Ramad}a>n

beliau sangat rajin s}alat dan membaca al-Quran. Tiap pagi hari melakukan

satu kali hataman al-Qur’an dan melaksanakan s}alat qiya>m al-lail setelah

tara>wi>h} ditiap sepertiga malam dengan satu kali hataman al-Qur’an.31

Al-Bukha>ri>> pernah mengalami buta dua kali. Pertama sewaktu ia

masih kecil, seperti yang telah dijelaskan di atas. Berkat doa ibunya,

penglihatan al-Bukha>ri>> bisa kembali. Kedua saat ia melakukan rih}lah

‘ilmiyah di wilayah Khurasan, akan tetapi penglihatannya bisa dipulihkan

kembali.32 Bukan hanya kembali dapat melihat, tapi pasca kebutaan yang

dialaminya sewaktu kecil, al-Bukha>ri>> kemudian dianugrahi daya ingat

yang sangat kuat.

29 Ah}mad bin ‘Ali> bin H{ajar al-‘Asqala>ni>, Hady al-Sa>ri> Muqaddimah al-Fath} al-Ba>ri>, 504. 30 Ibid., 502-504.

31 Abu> Bakr Ka>fi>, Manhaj al-Ima>m al-Bukha>ri> Fi> Tas}h}i>h} al-Aha>di>th Wa Ta’li>miha>, cet I, 47.

(46)

36

Sebagian riwayat menjelaskan, bahwa tingkat daya ingat al-Bukha>ri>>

sangat tinggi bahkan mampu menghafal dengan sempurna hanya dengan

sekali melihat. Al-Farbari> berkata, saya mendengar Muh}amm

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa korelasi adalah “hubungan timbal balik atau sebab akibat”. 1 Dengan demikian korelasi dapat disimpulkan sebagai hubungan

Dari kedua pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa proses belajar mengajar PKn meliputi kegiatan yang dilakukan guru mulai dari perencanaan, pelaksanaan kegiatan,

Setelah dilakukannya telaah dokumen didapatkan hasil bahwa: dalam pelaksanaan program KIA terdapat 15 orang orang yang berprofesi sebagai bidan yang terdiri atas 11

Mata kuliah ini membahas tentang konsep dasar teori bimbingan dan konseling anak usia dini,tujuan dan jenis bimbingan dan konseling anak usia dini, jenis

Penelitian lain dilakukan oleh Dewi (2018) dengan periode data yang lebih panjang yaitu dari tahun 1980-2016, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam nilai

March dan Smith (2001) dan Parham (1970) mengemukakan bahwa jika pada temperatur rendah (25 0 C) akan menghasilkan produk para- hidroksiasetofenon sedangkan pada

Beberapa penelitian tentang nama orang dan nama keluarga yang telah dilakukan sebelumnya yang memiliki kaitan dengan topik ini, yaitu:.. ³1DPD .HOXDUJD GDODP %DKDVD

Tujuan dari penelitian ini, yaitu menentukan pengaruh perbedaan konsentrasi rumput laut, kolagen dan interaksi keduanya terhadap sifat fisiko-kimia serta mutu sensoris