• Tidak ada hasil yang ditemukan

JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Gaya Hidup Pada Pasien Hipertensi Dengan

Resiko Terjadinya Stroke

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah arterial yang langsung terus-menerus (Brashers, Valentina, 2008). Tekanan darah melibatkan dua pengukuran, normal: sistole <120 mmHg dan diastole <80 mmHg. Prehipertensi: sistole 120-139 mmHg dan diastole 80-89 mmHg. Hipertensi tahap 1: sistole140-159 mmHg dan diastole 90-99 mmHg. Hipertensi tahap 2: sistole >160 mmHg dan diastole >100 mmHg. (Turner,Rick, 2010).

(2)

yaitu, hipertensi primer dan hipertensi sekunder. Hipertensi primer adalah hipertensi yang belum bertambahnya umur, stres psikologis, dan faaktor keturunan. Sekitar 90% pasien hipertensi masuk dalam kategori ini..Gaya hidup sering merupakan faktor resiko penting bagi timbulnya hipertensi pada seseorang. Gaya hidup modern dengan pola makan dan gaya hidup tertentu, cenderung mengakibatkan terjadinya hipertensi. Beberapa diantaranya adalah konsumsi lemak, konsumsi natrium, merokok, stres emosional, konsumsi alkohol dan obesitas (Anies, 2006).Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang disebabkan oleh beberapa proses patologik yang dapat dikenali, biasanya yang terkait dengan fisiologi ginjal (Graber, Mark,dkk, 2006). Bila faktor penyebab dapat diatasi, tekanan darah dapat kembali normal.

(3)

dihubungkan dengan hipertensi ringan yang berhubungan dengan peningkatan substrat rennin dan peningkatan kadar angiotensin II dan aldosteron. Insiden hipertensi meningkat dengan bertambahnya usia. Prevalensi hipertensi ringan sebesar 2% pada usia 25 tahun atau kurang, meningkat menjadi 25% pada usia 50 tahun dan 50% pada usia 70 tahun (Davey, Patrick, 2005). Resiko yang paling banyak terjadi akibat komplikasi dari penyakit hipertensi ialah stroke sehingga peneliti membatasi untuk membahas hanya tentang penyakit stroke.Komplikasi yang sering timbul ialah stroke, penyakit jantung, dan gagal ginjal (Gunawan, Lany, 2007).

Stroke dapat terjadi akibat hemoragi tekanan tinggi di otak atau akibat embolus yang terlepas Jurnal Kesehatan STIKes Santo Borromeus 58

1.2 Rumusa Masalah

(4)

1.2.2 Apa klasifikasi dari hipertensi? 1.2.3 Apa etiologi dari hipertensi?

JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 163

KADAR ZINC SERUM DAN HITUNG MONOSIT

DARAH TEPI PENDERITA KUSTA

MULTIBASILAR LEBIH RENDAH DARIPADA

KUSTA PAUSIBASILAR

DI RSUP SANGLAH

Putu Kurniawan Dhana, IGN Darma Putra, Made Wardhana

Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin,

Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/Rumah Sakit

Umum

(5)

ABSTRAK

Zinc (Zn) diketahui memiliki peranan penting dalam sistem imun. Defi siensi zinc dapat menghambat aktivasi dan produksi sitokin Th1 dan menyebabkan disfungsi imunitas seluler. Keadaan ini juga menyebabkan

perubahan limfopoiesis dan hematopoiesis serta apoptosis sel mononuklear darah tepi yang berfungsi

sebagai sel fagosit mononuklear. Penelitian ini bertujuan mengetahui kadar zinc serum dan hitung monosit

darah tepi penderita kusta yang datang ke poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Penelitian

ini menggunakan rancangan penelitian potong lintang. Pengambilan sampel penelitian diambil secara

consecutive sampling dengan jumlah sampel sebesar 75

orang. Rerata kadar zinc serum pada penderita kusta

(6)

(S|

18,21 dan perbedaan ini secara statistik bermakna dengan P < 0,05. Rerata hitung monosit pada kelompok

kusta multibasilar adalah 7,12 (SB 2,53) lebih rendah dibandingkan dengan kelompok kusta pausibasilar

7,88 (SB 3,08), tetapi secara statistik tidak bermakna dengan P> 0,05. Analisis regresi logistik menunjukkan pengaruh kadar zinc terhadap kemungkinan terjadinya kusta. Perlu dipertimbangkan koreksi kadar zinc

serum pada penderita kusta melalui pendekatan nutrisi atau pemberian suplemen zinc. [MEDICINA.

2012;43:163-8].

Kata kunci : rerata kadar zinc serum, monosit, kusta

ZINC SERUM LEVEL AND PERIPHERAL BLOOD

MONOCYTE COUNT OF

MULTIBACILAR LEPROSY PATIENT LOWER

(7)

IN RSUP SANGLAH

Putu Kurniawan Dhana, IGN Darma Putra, Made Wardhana

Dermatovenerology Department, Medical School,

Udayana University/Sanglah Hospital, Denpasar

ABSTRACT

Zinc has been known to have important role in the immune system. Zinc defi ciency can inhibit activation and

production cytokine of Th1 and may cause cellular immunity dysfunction. This conditon also may cause

(8)

Sample of study take by consecutive sampling with sample size contains 75 patient. Mean of zinc serum

status on multibacillary leprosy patient is 5.66 (SB 11.74 ) found lower compare to paucibacillary leprosy patient 19.38 (SB 18.21) and statistically signifi cant with P < 0.05. Mean of peripheral blood monocyte count in multibacillary patient is 7.12 (SB 2.53) lower compare to paucibacillary leprosy patient with 7.88 (SB 3.08), but statistically not signifi cant with P > 0.05. Binary logistic analysis show the infl uence of zinc serum status to probability to have leprosy. This study suggest correction of serum zinc level in leprosy patient through nutritional approach or the granting of a supplement of zinc. [MEDICINA. 2012;43:163-8].

Keywords : mean zinc serum, monocyte, leprosy

ARTIKEL ASLI

(9)

2012

164 • JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN PENDAHULUAN

Kusta adalah infeksi granulomatosa kronis yang disebabkan oleh

(10)

(WHO) pada tahun 1982

memberikan hasil pengobatan yang sangat efektif, akan

tetapi penyakit ini masih menjadi masalah kesehatan di dunia, termasuk negara berkembang.2,3

Spektrum klinis kusta tampaknya berhubungan dengan respon imun host. Gejala klinis kusta merupakan refl eksi dari patogenitas

(11)

respon imun seluler host.4 Mycobacterium leprae

bersifat obligat intraseluler, sehingga yang berperan dalam menghambat multiplikasinya adalah sistem imunitas

seluler.5,6 Respon imun host yang meningkatkan respon imun seluler Th1 menginduksi respon protektif melawan

mikobakteria seperti yang

tampak pada kusta pausibasilar, sedangkan respon imun seluler yang rendah dihubungkan

(12)

Th2 yang berhubungan dengan kerentanan terjadinya bentuk kusta multibasilar.7

Berdasarkan beberapa studi yang bersumber dari percobaan binatang dan pengamatan klinis pada manusia, keadaan nutrisi berperan pada perjalanan dan perkembangan penyakit kusta dan diantara elemen nutrisi tersebut, zinc merupakan trace element yang paling penting untuk pertumbuhan organ

(13)

berperan sebagai organ tempat diferensiasi dan maturasi

sel-sel yang terlibat dalam imunitas selular. Hingga tahun 1961 telah dipertimbangkan bahwa defi siensi zinc pada manusia dapat menyebabkan berbagai permasalahan klinis yang signifi kan.8 Keadaan ini juga dapat menyebabkan apoptosis mononuklear darah tepi, termasuk monosit yang berperan sebagai fagosit

(14)

fagositosis yang efektif oleh fagosit mononuklear menjadi terganggu dan menyebabkan terjadinya hambatan regulasi intracellular killing terhadap mikobakteria sehingga

multiplikasi basil meningkat seperti yang tampak pada kusta multibasilar dengan jumlah basil tahan asam yang lebih banyak d" umpai, lesi kulit yang diseminata, pembentukan granuloma yang lebih sedikit yang menggambarkan

(15)

seluler seperti yang d" umpai pada keadaan defi siensi zinc.9 BAHAN DAN METODE Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan di poliklinik kulit dan kelamin RSUP Sanglah Denpasar pada bulan

(16)

penderita kusta berdasarkan klasifi kasi WHO, bersedia ikut penelitian ini, penderita belum pernah mendapatkan suplemen zinc. Kriteria ekslusi adalah penderita dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal,

penderita sering mengkonsumsi alkohol, penderita mengalami diare kronis, penderita wanita yang hamil dan dalam masa laktasi. Besar sampel dihitung berdasarkan asumsi rerata minimal yang dianggap

(17)

interval kepercayaan sebesar 95% dan power penelitian sebesar 80%, maka setelah dihitung diperoleh jumlah minimal adalah 64 orang, pada penelitian ini besar

sampel dikumpulkan sebanyak 75 orang yang terdiri dari

(18)

dan 28 orang (37,33%) adalah bukan penderita kusta. Dari 47 penderita kusta, didapatkan distribusi kelompok kusta

berdasarkan klasifi kasi WHO adalah 40 orang (85,11%) termasuk dalam kelompok kusta multibasilar dan 7 orang (14,89%) termasuk dalam kelompok kusta pausibasilar. Bahan yang digunakan

dalam penelitian ini adalah

(19)

dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP Sanglah Denpasar. Pemeriksaan sampel dan pengukuran kadar zinc dilakukan di Bagian Biologi Molekular FK Unud Denpasar dan pemeriksaan hitung

monosit darah tepi dilakukan di

JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 165 Laboratorium Swasta Prodia.

Persiapan sampel,

darah diambil sebanyak 3 cc kemudian dimasukkan ke

(20)
(21)

telah disusun, dibuat kurva standar dengan menggunakan grafi k regresi linear, pembacaan konsentrasi sampel dihitung melalui standar kurva dengan rumus C = Sa/Sv (nmol/μl atau

Tabel 1. Karakteristik penderita kusta dan bukan penderita kusta

Subyek penelitian Bukan kusta

(n = 28) Kusta (n = 47)

(22)

(tahun)

Indeks bakteri Terapi

Laki - laki Perempuan 15 – 25 26 – 36 37 – 45 46 – 55 56 – 65 0

(23)

Belum Sudah

10 (13,33%) 33 (44%) 18 (24%) 14 (18,66%) 2 (2,67%)

21 (28%) 4 (5,33%)

-1 (-1,33%)

(24)

-7 (9,33%) 13 (17,33%) 10 (13,34%) 7 (9,33%) 10 (13,34%) 7 (14,9%) 3 (6,4%) 9 (19,1%) 26 (55,3%) 2 (4,3%) 19 (40,4%) 28 (59,6%)

Tabel 2. Karakteristik kusta pausibasilar dan multibasilar Subyek penelitian

(25)

(n = 7)

Multibasilar (n = 40)

Jenis kelamin U m u r

(tahun) I n d e k s bakteri Terapi Laki – laki Perempuan 15–25

(26)

56-65 0 +2 +3 +4 +5 Belum Sudah 6 (8%) 1 (1,33%) 1 (1,33%) 3 (4%) 2 (2,67%)

(27)

7 (14,9%)

-5 (10,64%) 2 (4,26%) 27 (36%) 13 (17,33%) 6 (8%)

(28)

-3 (6,4%) 9 (19,1%) 26 (55,3%) 2 (4,3%) 14 (29,79%) 26 (55,32%)

(29)

digunakan untuk menganalisis partikel–partikel sel darah, hasil pemeriksaan terlihat pada monitor dan langsung dicetak oleh printer. Data diolah dan dianalisis dengan perangkat lunak komputer maupun secara manual dan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel. Dilakukan uji t tidak berpasangan dan analisis regresi untuk mengetahui pengaruh zinc terhadap kemungkinan terjadinya kusta.

(30)

Hasil penelitian disajikan pada tabel - tabel berikut ini. Jumlah subyek adalah

(31)

kelompok umur 26–36 tahun. Dari pemeriksaan basil tahan asam (BTA) yang dilakukan didapatkan indeks bakteri terbanyak adalah +4 pada 26 orang penderita kusta.

Dari 47 penderita kusta,

didapatkan distribusi kelompok kusta berdasarkan klasifi kasi WHO adalah 40 orang (85,1%) termasuk dalam kelompok

kusta multibasilar dan 7

MEDICINA • VOLUME 43 NOMOR 3 • SEPTEMBER 2012

(32)

Tabel 3. Analisis bivariat dengan uji t tidak berpasangan rerata

kadar zinc dan hitung monosit darah tepi bukan penderita kusta

dan penderita kusta

Subyek penelitian p (sig) Bukan kusta Kusta

Rerata kadar zinc Rerata hitung

monosit darah tepi 17,52 (SB 14,81)(g/L) 7,58 (SB 1,70)

7,70(SB 13,59) (g/L) 7,23 (SB 2,59)

(33)

Tabel 4. Analisis bivariat dengan uji t tidak berpasangan rerata

kadar zinc dan hitung monosit darah kusta pausibasilar dan

multibasilar

Subyek penelitian P (sig) Pausibasilar Multibasilar Rerata kadar zinc

Rerata hitung

monosit darah tepi 19,38 (SB 18.21) (gr/L)

7,89 (SB 3,08) 5,66 (SB 11,75) (gr/L)

(34)

0,012 0,476

Tabel 5. Analisis regresi hubungan kadar zinc serum, hitung

monosit darah tepi dan kusta

Variabel bebas Variable dependent Kusta Hitung monosit

darah tepi Kadar zinc

Hitung monosit darah tepi Koef reg sig

-0, 047 P = 0,009*

(35)

0,016 P = 0,392

Keterangan : * signifi kan nilai P < 0,05 orang (14,9%) termasuk dalam

kelompok kusta pausibasilar. Distribusi jenis kelamin

kelompok kusta adalah 33

orang (70,2%) pria dan 14 orang (29,8%) adalah perempuan.

Distribusi umur terbanyak adalah pada kelompok umur 26–36 tahun dan pemeriksaan BTA terbanyak adalah +4 sebanyak 26 orang.

(36)
(37)

dengan nilai P < 0,05. Rerata kadar zinc

serum pada kelompok kusta multibasilar lebih rendah dibandingkan dengan

kelompok kusta pausibasilar. Setelah dilakukan uji hipotesis secara statistik dengan

menggunakan uji t independent 2 kelompok diperoleh

(38)

hitung monosit pada kelompok kusta multibasilar lebih

rendah dibandingkan dengan kelompok kusta pausibasilar. Setelah dilakukan uji hipotesis secara statistik dengan

menggunakan uji t independent 2 kelompok diperoleh hasil perbedaan yang tidak bermakna antara hitung monosit darah tepi antara kelompok kusta multibasilar dan penderita kusta pausibasilar dengan nilai P > 0,05.

(39)

dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel. Dengan menggunakan regresi logistik, tampak bahwa kadar zinc serum berpengaruh

signifi kan terhadap kemungkinan terjadinya kusta dengan nilai P 0,009 < 0,05. Hubungan antara hitung monosit darah tepi terhadap kemungkinan terjadinya kusta dilihat dengan menggunakan uji regresi logistik yang

(40)

berpengaruh signifi kan terhadap kemungkinan

terjadinya kusta. Hubungan antara kadar zinc serum dengan hitung monosit darah tepi,

dilihat dengan menggunakan uji regresi linear sederhana yang menunjukkan bahwa kadar

zinc serum tidak berpengaruh signifi kan terhadap hitung monosit darah tepi.

DISKUSI

Secara statistik, penyakit

(41)

terkena dibandingkan dengan wanita, dengan perbandingan 2:1. kasus kusta tipe BB dan

JURNAL ILMIAH KEDOKTERAN • 167 LL (multibasilar) menjadi

(42)

(53,33%) dibandingkan dengan kusta pausibasilar sejumlah 7 kasus (9,33%). Kasusnya lebih banyak ditemukan pada pria sebanyak 33 orang (44%) dibandingkan wanita sebanyak 19 orang (18,66%). Berdasarkan penelitian epidemiologi

ternyata faktor nutrisi dan hygiene berperan dalam

(43)

organ limfoid. Diantara elemen nutrisi, zinc adalah elemen yang berperan penting dalam pertumbuhan organ timus dan maturasi serta perkembangan imunitas seluler.10 Rendahnya kadar zinc pada penderita

(44)

perkembangan penyakit. Pada penyakit kusta,

terdapat penurunan secara gradual konsentrasi serum zinc sesuai dengan derajat beratnya spektrum klinis kusta. Pasien kusta yang

memiliki spektrum borderline tuberkuloid, borderline

(45)

yang berfungsi meningkatkan aksi mikrobicidal dari fagosit untuk mengeliminasi mikroba ditemukan menurun pada penyakit kusta dan dapat mempengaruhi bersihan mikobakterial dan aktivitas mikrobicidal. Pada kusta tipe LL, tampak penurunan kadar zinc dibandingkan dengan kusta tipe TT dan konsentrasi terendah ditemukan pada

(46)
(47)

gradual konsentrasi serum zinc sesuai dengan derajat beratnya spektrum klinis kusta. Defi siensi zinc juga mempengaruhi imunitas innate dan adaptif. Secara in vivo, aktivitas sel NK, fagositosis makrofag dan netrofi l serta jumlah granulosit menurun

pada keadaan defi siensi zinc.14 Keadaan defi siensi zinc dapat menekan sumsum tulang

(48)

tubuh dapat merubah proses hematopoiesis.15 Pada sumsum tulang, IL 1, IL3, dan IL 6

(49)

terjadinya kusta dan kadar

serum zinc tidak mempengaruhi jumlah monosit darah tepi. Hal ini dapat disebabkan karena pada keadaan defi siensi zinc, deplesi bermakna terjadi pada sel eythoid dan lymphoid yang menyebabkan gangguan proses erythopoiesis dan limfoid.

(50)

yang heterogen diantara populasi myeloid. Hal yang serupa dikatakan terjadi

peningkatan proporsi jumlah absolut sel granulositik dan sel monositik di sumsum tulang baik pada keadaan defi siensi zinc marginal dan defi siensi zinc berat.15 Pada penelitian ini, hitung monosit darah tepi sebagai fagosit mononuklear, sebagai imunitas seluler

(51)

karena juga terdapat imunitas seluler lain yang berperan dalam patogenesis penyakit kusta seperti sekresi sitokin subset Th1 seperti IFN, IL 2 yang juga menentukan dan mempengaruhi perjalanan penyakit kusta.17

SIMPULAN Kadar zinc serum

penderita kusta lebih rendah

MEDICINA • VOLUME 43 NOMOR 3 • SEPTEMBER 2012

(52)

serum bukan penderita kusta dan diantara penderita kusta tersebut, kadar zinc serum penderita kusta multibasilar lebih rendah dibandingkan kadar zinc serum kusta pausibasilar. Diperlukan koreksi kadar zinc serum pada penderita kusta melalui pendekatan nutrisi atau

pemberian suplementasi zinc. DAFTAR PUSTAKA

(53)

ancient neglected disease. Bol Med Hosp Infant mex. 2011;68(2):110–6.

2. Bakker M, Ha# a M, Kwenang A, Van Benthem H, Van Beers SM, Klatser PM, dkk. Prevention of leprosy Using Rifampicin As Chemoprophylaxis. Am. J. Trop. Med. Hyg. The American Society of Tropical Medicine and

Hygiene. 2005;72(4):443–8. 3. Ho CK, Lo KK.

(54)

and response to treatment in Hongkong. Hongkong Med J. 2006;12(3):174–9. 4. Gupta TSC, Sinha PK, Murthy VS, Kumari

GS. Leprosy in an

HIV – infected person. Indian J sex Transm Dis. 2007;28(2):100-2.

5. Goulart I, Bernardes Souza, Marques CR, Pimenta VL, Goncalves MA, Goulart LR. Risk and Protective Factors for Leprosy

(55)

by Epidemiological

Surveillance of Household Contacts. Clinical and vaccine Immunology. 2008;15(1):101–5. 6. Rea TH, Modlin RL. Leprosy. Dalam : Freedberg IM, Elsen AZ, Wolff K, penyunting. Fitzpatricks Dermatology In General Medicine. Edisi ke-7. New York : McGraw-Hill, 2008; h.1786-96.

(56)

modern assessment of an ancient neglected disease. Bol Med Hosp Infant mex. 2011;68(2):110-6.

8. Prasad AS. Impact of The Discovery of Human Zinc Defi ciency on Health. Journal of the American College of Nutrition. 2009; 28 (3):257-65.

9. Gomes GI, Nahn NP, Santos RK, Da Silva WD, Kipnis

(57)

Hyg. The American Society of Tropical Medicine and Hygiene. 2008;78(4):605-10.

10. Shankar AH, Prasad AS. Zinc and Immune Function : The biological basis of altered resistence to infection. The American Journal of Clinical

Nutrition. 2000;68:447s-63s.

11. Haase H, Overbeck S, Rink L. Zinc Supplementation

(58)

prevention of disease : Current status and future perspective. Experimental gerontology. 2007;43:394-408.

12. Arora B, Dhillon MKS, Rajan SR, Sayal SK, Al Das C. Serum Zinc Levels in Cutaneus Disorders. MJAFI. 2002;58:304-6.

(59)

Disease. Arch, Immunol. Ther. Exp, Rev. 2008;56:15 -30.

14. Helge K, Rink L. Immunity Enhanced by Trace

Elements : Zinc Altered Immune Function. The journal of Nutrition American Society for

Nutritional Sciences. 2003; 133 :1452s–6s.

(60)

Society for Nutritional Sciences. 2002;3301-8.

16. Wieringa FT, D" khuizen MA, West Ce, Ven

Jongekr" g, Muhilal, JWM van der Meer. Reduced Production of Immunoregulatory

cytokines in vitamin A and Zinc defi cient Indonesian Infants. European Journal of Clinical Nutrition.

2004;58:1498-504.

(61)

and Chronic Infl amation. Current Opinion in Clinical Nutrition and Metabolic

(62)
(63)

18

Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi Persepsi Penderita Terhadap Stigma

Penyakit Kusta

Soedarjatmi *), Tinuk Istiarti**), Laksmono Widagdo**)

*) Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo Kota Semarang **) Bagian Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UNDIP Semarang

ABSTRACT

(64)

1.989 of them on going treatment, 163 were children and

241 of people deformed due to

leprosy. Lack of knowledge on leprosy cause negative

perception toward this disease, so will

increase stigma in the community. This study aims to

describe the patients’ perception to

leprosy disease.

Method: This study was a qualitative case study, involved 8 patients selected from leprosy

cases with the criteria of on going treatment in Tugurejo

Hospital Semarang. In-depth interview

was conducted to obtain details answers from

respondents.

Result: Respondents perceived that leprosy was an infectious disease and it was possible to

be infected to other people easily, especially to those

(65)

behavior. Most of respondents were lack of knowledge of

the disease transmission. They

perceived that leprosy is a dangerous disease and lead to

death or deformities. Positive

behaviors were depicted as a good self care, regular

treatment, and socialization whereas

negative behaviors were described as in-complying

treatment, being isolated and giving up

of hopes. All respondents covering their disease and limit

their socialization in order to avoid

stigmatization.

Keyword : Perception, Stigmatization, Leprosy

Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi,

Tinuk I, Laksmono W)

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 /

Januari 2009

(66)

PENDAHULUAN

Penyakit kusta mempunyai pengaruh yang luas pada kehidupan penderita mulai dari

perkawinan, pekerjaan, hubungan antar pribadi, kegiatan bisnis sampai kehadiran mereka pada acara –acara keagamaan serta acara di

lingkungan masyarakat (Leprosy Review, 2005). Penyakit kusta juga menimbulkan masalah

yang sangat kompleks, masalah yang dimaksud bukan hanya dari segi medis tetapi meluas sampai masalah sosial, ekonomi, psikologis, budaya,

(67)

melaksanakan fungsi sosial yang normal serta kehilangan status sosial secara progresif,

terisolasi dari masyarakat, keluarga dan temantemannya ( Munir, 2001). Sedangkan secara

psikologis bercak, benjolan-benjolan pada kulit penderita membentuk paras yang menakutkan. Kecacatannya juga memberikan gambaran yang menakutkan menyebabkan penderita kusta

merasa rendah diri, depresi dan menyendiri

bahkan sering dikucilkan oleh keluarganya. Suatu kenyataan bahwa sebagian besar penderita kusta berasal dari golongan ekonomi lemah keadaan tersebut turut memperburuk keadaan (Depkes RI, 2005).

(68)

penyakit yang ditakuti masyarakat dan keluarga. Saat itu telah terjadi pengasingan secara spontan karena penderita merasa rendah diri dan malu (stigma). Disamping itu masyarakat menjauhi karena merasa jijik dan takut hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan atau pengertian juga kepercayaan yang keliru terhadap penyakit kusta. Masyarakat masih banyak beranggapan bahwa kusta disebabkan oleh kutukan, gunaguna, dosa, makanan ataupun keturunan. Diera

modern ini muncul istilah “stigmatisasi” yang lebih mencerminkan “kelas” daripada fisik. Proses

(69)

adanya suatu persepsi tentang penyakit kusta yang keliru.

Salah satu misi Depertemen Kesehatan

dalam pemberantasan penyakit kusta adalah menghilangkan stigma sosial (ciri negatip yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya) dengan mengubah persepsi masyarakat terhadap penyakit kusta melalui pembelajaran secara intensif tentang penyakit kusta (Depkes RI, 2005). Menurunkan stigma dan mengurangi diskriminasi mendorong perilaku masyarakat dalam menerima penderita kusta. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan percaya diri penderita dan keluarga dalam

(70)

Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)

Tugurejo Semarang merupakan Rumah Sakit kelas B milik Provinsi Jawa Tengah. Terletak di Semarang bagian barat, sebelum menjadi rumah sakit umum merupakan Rumah Sakit Khusus penderita kusta, sampai saat ini RSUD Tugurejo masih memberikan pelayanan penyakit kusta dan menjadi pusat rujukan serta pendidikan penyakit kusta di Jawa Tengah. Data kunjungan rawat jalan penderita kusta setiap tahun meningkat, tahun 2005 adalah 3.839 pasien, tahun 2006 berjumlah 3.975 dan tahun 2007 sebanyak 4.127

(71)

rawat inap kkusus kusta tahun 2005 adalah 190 pasien, tahun 2006 sebanyak145 penderita dan tahun 2007 terdapat 130 penderita yang harus dirawat (RSUD Tugurejo, 2007).

Dari pengamatan awal yang telah

dilakukan peneliti ditemukan beberapa perilaku penderita kusta yang berobat di RSUD Tugurejo berbeda dengan penderita penyakit lainnya,

diantaranya mereka selalu mengambil tempat di belakang atau di sudut ruang saat menunggu giliran diperiksa. Sebagian besar mereka menundukkan kepalanya dan penderita laki-laki menggunakan topi. Jika diajak bicara mereka tidak menatap

20

(72)

baju lengan panjang. Survey awal yang dilakukan peneliti pada bulan Oktober 2007 terhadap 10 orang penderita kusta memperoleh hasil bahwa masih ada persepsi negatif penderita kusta

terhadap penyakit kusta

Atas dasar hal tersebut diatas maka perlu diteliti mengenai faktor-faktor yang

melatarbelakangi persepsi penderita terhadap stigma penyakit kusta. Secara Umum penelitian ini bertujuan untuk mendiskripsikan faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode

(73)

studi kasus (Moleong, 2002). Responden dipilih secara porposif terdiri dari penderita kusta yang berobat ke RSUD Tugurejo sebanyak 8 orang. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, selanjutnya data di analisis dengan content analysis (diskripsi isi) (Bungin, 2005). HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Gambaran umum responden menunjukkan bahwa responden terbanyak berumur antara 26

tahun sampai 35 tahun dengan jenis kelamin lakilaki. Pada kelompok umur tersebut merupakan

(74)

merasa bahwa aktivitas sehari - harinya sangat terganggu oleh penampilannya dikarenakan adanya perubahan pada fisik dan kepercayaan diri yang menurun.

Pendidikan merupakan salah satu faktor yang mendasar untuk melaksanakan tindakan

(Fisbein-Ajzen, 1975), dilihat dari segi pendidikan sebagian besar responden

berpendidikan Sekolah Menengah Atas, hanya ada satu responden yang tidak bersekolah. Sebagian besar responden tidak bekerja,

selain sulit dalam mencari pekerjaan responden merasa takut apabila pimpinan dan temantemannya mengetahui bahwa responden

(75)

menyadari kelelahan akan mengakibatkan

kekambuhan penyakitnya, dengan tidak bekerja responden menyatakan bahwa tidak mempunyai penghasilan.

(76)

akan muncul kembali.

2. Faktor-faktor yang melatar belakangi persepsi penderita kusta terhadap stigma penyakit kusta

a. Stigma penyakit kusta menurut persepsi

responden.

Stigma adalah hal-hal yang membawa aib,

hal yang memalukan, sesuatu dimana seseorang menjadi rendah diri, malu dan takut karena

(77)

mengetahui responden menderita kusta. Untuk mengatasi stigma ini, sebagian besar responden melakukannya dengan tetap bekerja, ada juga dengan cara membatasi diri, menutup diri, tidak memperdulikan lingkungannya, walaupun ada juga yang tetap mengikuti kegiatan di

kampungnya seolah-olah tidak sedang sakit. Untuk menghindari efek stigmatisasi

penderita kusta menggunakan beragam cara agar orang lain tidak mempelajari atau mengetahui

Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi,

Tinuk I, Laksmono W)

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 /

Januari 2009

21

(78)

menyembunyikan secara efektif tentang penyakitnya, mencegah pengungkapan diri

terhadap masyarakat, keluarga dan temantemannya (Dayakisni, 2003). Wawancara

mendalam terhadap responden dalam mengatasi stigma ini diperoleh jawaban bahwa, responden selalu menggunakan pakaian tertutup, seperti berkerudung, memakai baju lengan panjang, rok panjang dan bagi penderita laki-laki

menggunakan jaket, memakai sepatu berkaos kaki dan bertopi juga tidak menceritakan kepada siapapun tentang penyakit yang dideritanya. b. Persepsi penderita terhadap kemudahan

kemungkinan terkena penyakit.

(79)

bahwa ketika individu mengetahui adanya kerentanan pada dirinya, dia percaya bahwa

penyakit akan berakibat serius pada organ tubuh. Adanya gejala - gejala fisik mungkin

mempengaruhi persepsi keparahan dan motivasi pasien untuk mengikuti instruksi yang diberikan (Ogen, 1996).

Penyakit kusta adalah penyakit menular

(80)

penularan yaitu tipe penyakit kusta , faktor kuman kusta dan faktor daya tahan tubuh (Depkes,

2005).

Sebagian besar responden mempunyai

persepsi bahwa penyakit kusta dapat menimpa semua orang, sebagian responden menganggap bahwa orang yang jorok dan kondisinya menurun yang dapat tertular penyakit kusta. Penyakit kusta dapat ditularkan dari penderita kusta kepada

orang lain. Sebagian besar responden tidak mengetahui cara penularan penyakit kusta dan

ada yang mengatakan penyakit ini menular melalui udara dan satu responden menyatakan bisa

(81)

akan tertular.

c. Persepsi penderita terhadap kegawatan

penyakit.

Pada penelitian ini, didapatkan jawaban

(82)

responden merasa pengobatan yang dilakukan kurang tepat, justru penyakitnya menjadi berat dalam arti lain terlambat berobat untuk penyakit kustanya karena salah dalam mendiagnosa

penyakit.

d. Persepsi penderita terhadap manfaat

berperilaku positip.

(83)

dapat menjadi aktif kembali, sehingga timbul gejala-gejala baru pada kulit dan saraf yang dapat memperburuk keadaan (Depkes, 2004). Semua responden menyatakan orang yang menderita penyakit kusta harus berobat secara rutin, karena kalau tidak rutin akan kambuh lagi, perasaan tenang, tidak stres, tidak lelah sangat membantu responden mengurangi frekuensi kekambuhan. Kecacatan yang berlanjut dapat

menimbulkan ketidak mampuan melaksanakan fungsi sosial yang normal, serta kehilangan status sosial secara progresif, terisolasi dari

22

(84)

Sebagian besar dari responden menyatakan, perawatan diri dengan rajin sangat perlu, supaya cacatnya tidak bertambah parah, dengan

mengoles pelembab di tangan dan kakinya akan mengurangi kekeringan pada kulit yang bisa membuat luka / pecah-pecah. Menurut

responden setiap hari penderita kusta harus

memeriksa anggota badannya apakah terjadi luka atau tidak, karena anggota badan penderita

mengalami mati rasa sehingga kalau terjadi luka tidak terasa sakit, menurut responden

mengetahui terjadinya luka secara dini akan

(85)

e. Persepsi penderita terhadap risiko

berperilaku negatip

Dari hasil wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum risiko

berperilaku negatip yaitu tentang hal-hal yang tidak boleh di lakukan, responden mengutarakan bahwa jenis-jenis makanan tertentu tidak boleh dimakan seperti daging kambing, durian, nangka, makanan beralkohol dan keadaan stres, capek / kelelahan harus dihindari karena akan

memunculkan gejala-gejala penyakit kusta (reaksi kusta).

(86)

gambaran yang menakutkan, hal ini menyebabkan penderita kusta merasa rendah diri, depresi dan menyendiri (Depkes RI, 2005).Sebagian besar responden menanggapi bahwa penderita kusta yang selalu mengucilkan diri karena malu itu tidak baik, karena penderita kusta harus berobat,

apabila tidak berobat secara rutin maka tidak akan sembuh dan sebagian lagi menyatakan mengucilkan diri adalah tindakan yang paling tepat agar tidak menjadi bahan pembicaraan

tetangga. Responden lain sebenarnya mengetahui bahwa tindakan mengucilkan diri adalah tidak baik, akan tetapi responden tersebut

(87)

responden tentang penderita yang tidak berobat semua responden berpendapat bahwa tindakan tersebut merupakan kesalahan besar karena penderita kusta jika tidak berobat selain tidak sembuh akan mengalami reaksi dan bisa menjadi cacat dan sebagian responden menyatakan perlu adanya terapi mental oleh psykolog karena selain fisik yang sakit penderita kusta juga menderita sakit secara mentalnya.

f. Faktor Internal yang melatar belakangi

persepsi penderita terhadap stigma

penyakit kusta.

Pada umumnya responden tidak

(88)

seperti petugas kesehatan, saudara atau perangkat desa, sebagian besar responden merasa kaget, takut dan tidak percaya saat

pertama kali mengetahui terserang penyakit kusta dan satu responden berusaha bunuh diri saat

mengetahuinya. Sebagian besar responden mengatakan, keluarga sangat kaget saat

mengetahui responden terserang penyakit kusta, sikap keluarga saat itu selalu mendorong untuk berobat walaupun ada perasaan kecewa, waswas dan takut. Satu responden mengatakan

keluarganya biasa saja dengan penyakit

(89)

ini karena keluarga tidak mengetahui perbedaan antara kusta dan lepra, dan waktu pertama

responden menderita kusta keluarga mengatakan bahwa baru di beri cobaan dari Allah harus

diterima.

g. Faktor ekternal yang melatar belakangi

persepsi penderita terhadap stigma

penyakit kusta.

Stigmatisasi diri sendiri penderita kusta

sangat nyata, orang dengan kusta dapat menjadi malu mungkin karena sikapnya juga

Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi,

Tinuk I, Laksmono W)

Jurnal Promosi Kesehatan Indonesia Vol. 4 / No. 1 /

Januari 2009

(90)

kecacatannya dan sikap ini dapat mengisolasikan mereka dari masyarakat, dengan demikian

pendapat bahwa kusta itu menjijikan, memalukan harus ditutupi akan menjadi stigma yang nyata pada penderita, penderita akan mengalami

kesulitan untuk berinteraksi, akan mengucilkan diri dan sikap ini akan menjadi permanen (Leprosy Review, 2005). Semua responden

mengatakan, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa responden menderita kusta, mereka mengira

(91)

responden.

Stigma menunjukkan “tanda” yaitu tanda yang diberikan dalam bentuk cap oleh

masyarakat terhadap seseorang, orang yang terstigmatisasi menjadi berperilaku seolah-olah mereka dalam kenyataan yang memalukan atau namanya tercemar (Dayakisni, 2003). Efek dari stigmatisasi berakibat dapat membuat

masyarakat / orang lain untuk merubah persepsi dan perilaku mereka terhadap individu yang dikenai stigma, dan pada umumnya

menyebabkan orang yang dikenai stigma untuk merubah persepsi tentang dirinya serta

(92)

wawancara yang telah dilakukan menunjukkan bahwa secara umum masyarakat, keluarga dan teman penderita kusta tidak memberikan suatu tindakan yang mengarah ke stigmatisasi terhadap responden.

Penyakit kusta adalah penyakit menular menahun, disebabkan oleh kuman kusta.

(93)

menggunakan wawancara mendalam di peroleh hasil sebagian besar Informan mengatakan bahwa penyakit kusta adalah penyakit menular, bisa

menimpa semua orang dan orang yang kondisi kesehatannya menurun, kurang menjaga

kebersihan adalah orang yang bisa tertular penyakit ini, dan tiga dari lima Informan

(94)

tidak menyebabkan kematian hanya bisa mengakibatkan kecacatan. Suami responden

(95)

lingkungan tidak mengetahui kalau menderita kusta sehingga lingkungan tidak melakukan tindakan apapun terhadap penderita.

SIMPULAN

1. Responden (penderita kusta) dalam penelitian ini berjumlah 8 orang dengan rentang usia 14 – 51 tahun, berjenis kelamin laki-laki sebanyak lima orang dan enam orang berasal dari luar Semarang. Dilihat dari

latar belakang tingkat pendidikan responden, mulai dari tidak bersekolah sampai dengan lulus Sekolah Menengah Atas. Lima orang

24

responden tidak bekerja dan enam orang

(96)

sampai 5 tahun lamanya.

2. Penderita kusta berpersepsi, masyarakat disekitar tempat tinggal dan teman-temannya tidak mengetahui bahwa penderita sedang mengalami sakit kusta, penderita

beranggapan bahwa, tetangga dan temantemannya menyangka penderita berpenyakit

lain seperti penyakit diabetes, penyakit syaraf atau penyakit alergi karena salah minum obat, penderita kusta berpersepsi, sikap

membatasi diri dalam pergaulan, menutupi kekurangannya / kecacatannya merupakan tindakan untuk mengurangi / mengatasi cap buruk / stigma.

(97)

penyakit kusta merupakan penyakit menular, dapat menimpa semua orang, terutama orang yang tidak melaksanakan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). b. Penderita kusta berpersepsi bahwa, penyakit kusta merupakan penyakit yang berbahaya dan serius, bisa menimbulkan kematian atau kecacatan seumur

hidupnya.

c. Penderita kusta berpersepsi untuk berperilaku positip ditunjukkan dengan : berobat secara rutin, melakukan

perawatan diri dengan rajin, dan mau berinteraksi dengan lingkungan.

(98)

negatip yaitu : tidak mau berobat karena malu, mengucilkan/mengisolasikan diri, dan putus asa.

KEPUSTAKAAN

Bungin Burhan. 2005. Analisis Data Penelitian Kualitatif; Pemahaman Filosofis dan

Metodologis ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Dayakisni Tri, Hudaniah. 2003. Psikologi Sosial. Edisi Revisi. UMM-Press. Malang.

Departemen Kesehatan RI. 2004. Pedoman Kusta Nasional untuk pelaksanaan

(99)

Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Jakarta.

Departemen Kesehatan RI. 2005. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan. Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Cetakan XVII.

Fishbein, M, Ajzen. 1975. I Belief, Attitude, Intention and Behavior an Introduction to

Theory and Research. Philippines : Addison Wesley Publishing.

Leprosy Review. 2005. A journal Contributing to better understanding of Leprosy and its control, Volume 76, Number 2, England.

(100)

Research. Volume 76, Number 4.

Moleong, L.J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya. Bandung. Munir Baderal. 2001. Dinamika Kelompok Penerapannya dalam laboratorium Ilmu Perilaku. Universitas Sriwijaya. Palembang. Ogen Jane. 1996. Health Psychology. Open University Press. Buckingham. Philadelphia. RSUD Tugurejo. 2007. Laporan Kunjungan Rawat Jalan Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo. Semarang.

RSUD Tugurejo. 2007. Evaluasi Kunjungan Rawat Inap Penderita Kusta Rumah Sakit Umum Daerah Tugurejo. Semarang.

(101)

Indonesia Dictionary. Seven edition. Modern English Press. Jakarta.

Faktor-faktor Yang Melatarbelakangi... (Soedarjatmi,

Tinuk I, Laksmono W)

1

PERBANDINGAN TITER ANTIBODI ANTI PHENOLIC GLYCOLIPI

D-1 PADA

NARAKONTAK SERUMAH DAN NARAKONTAK TIDAK SERUMAH PEN

DERITA

(102)

BUPATEN

MAJENE, SULAWESI BARAT (

The comparison between Antibody Anti Phenolic Glyco lipid-1 level in Household contact and

non Household contact in MultiBasiler Leprosy Patie nts in Endemic Area, Majene,Sulawesi

Barat)

Yuniarti Arsyad, Indopo Agusni,Anis Irawan Anwar ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbandin gan titer Antibodi Anti

Phenolic Glycolipid -1

(103)

k serumah penderita kusta tipe Multibasiler

di daerah endemik kusta,Kabupaten Majene,Sulawesi B arat.Penelitian ini dilaksanakan di

Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Sulawesi Barat dengan rancang bangun potong lintang.

Pada 60 narakontak yang terdiri dari 30 narakontak serumah dan 30 narakontak tidak serumah

dilakukan pengambilan darah kapiler pada ujung jari yang selanjutnya di serapkan pada

Whatman paper

dan diukur titer IgM anti PGL-1 secara ELISA. Has il pengukuran dalan

Optical Density

(104)

rogram Biolise pada computer.Hasil

penelitian menunjukkan bahwa jumlah seropositif pad a narakontak serumah lebih besar

dibandingkan dengan narakontak tidak serumah, diman a dari 30 narakontak serumah terdapat 15

orang (50%) seropositif dan dari 30 narakontak tid ak serumah hanya terdapat 11 orang (36,7%)

seropositif.

Kata kunci : kusta, narakontak serumah,narakontak t idak serumah

ABSTRACT

The aim of this study to find out the comparison be tween Antibody Anti PGL-1 level in

(105)

Majene, Sulawesi Barat. This study was carried out in Majene City, Sulawesi Barat Province with

cross sectional study. Sixty contact which is thirt y household contact and thirty non household

contact were examined serologically and ELISA test was performed to measure the level IgM anti

PGL-1. The result of test by ELISA reader in Optica l Density (OD) were converted to Unit/ml by

Biolise computer program.The results shows that ser opositivity in household contact is higher than

in non household contact which is from thirty house hold contact were fifteen (50%) seropositif

dan from thirty non household contact were eleven ( 36,7%) seropositif.

(106)

Penyakit kusta ( Hansen’s disease

) adalah penyakit infeksi kronis granulamatosa yang disebabkan oleh

Mycobacterium leprae (

M.leprae

) terutama menyerang saraf tepi, kemudian

menyerang kulit, mukosa mulut, saluran napas bagian atas, sistem retikuloendotelial, mata, otot,

tulang dan testis kecuali susunan saraf pusat.(Rea and Modlin, 2008)

Sampai saat ini kusta masih merupakan salah satu ke sehatan masyarakat di Indonesia,

(107)

h dapat mencapai eliminasi kusta yang

ditargetkan, akan tetapi data yang dilaporkan jumla h penderita baru sampai saat ini tidak

menunjukkan adanya penurunan yang bermakna.

Consecutive

Tujuan penelitian ini Mengukur titer antibodi IgM a nti PGL-1 dengan teknik ELISA pada

narakontak serumah penderita kusta tipe MB di Kabup aten Majene, mengukur titer antibodi IgM

anti PGL-1 dengan teknik ELISA pada narakontak tid ak serumah penderita kusta tipe MB di

Kabupaten Majene.,melakukan analisis perbandingan antara kedua kelompok tersebut.

METODE DAN CARA

(108)

dengan menggunakan rancang bangun

lintang/cross sectional. Populasi penelitian ini ad alah semua narakontak serumah dan narakontak

tidak serumah penderita kusta tipe MB di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene, Propinsi

Sulawesi Barat. Sampel penelitian adalah narakontak serumah dan narakontak tidak serumah

penderita kusta tipe MB di Kecamatan Banggae, Kabup aten Majene, Propinsi Sulawesi Barat

dengan jumlah minimal sampel 60 orang dan memenuhi kriteria inklusi.

Pada penelitian ini diambil darah kapiler pada ujun g jari dengan menggunakan tabung

(109)

membentuk bulatan dan dikeringkan,

untuk selanjutnya diperiksa IgM PGL-1 dengan tehnik ELISA.

HASIL PENELITIAN Gambaran Umum

Penelitian dilakukan pada Kecamatan Banggae , Kabup aten Majene, Sulawesi

Barat. Secara geografis daerah ini merupakan datara n tingggi dimana sumber air penduduknya

berasal dari tempat yang sama yaitu satu sumur yang digunakan secara bersama. Mayoritas

penduduk daerah ini adalah suku mandar dengan mata pencaharian sebagai petani. Setelah seluruh

(110)

gejala kusta, maka dilakukan pengambilan sampel dar ah dengan menggunakan kertas saring dari

30 narakontak serumah dan 30 narakontak tidak serum ah penderita kusta MB. Didapatkan 60

sampel dengan menggunakan kertas saring selanjutnya dilakukan pemeriksaan di Laboratorium

Leprosy Tropical Disease Center Unair di Surabaya.

Gambaran sampel penelitian narakontak serumah dan n arakontak

tidak serumah

Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene dipilih sebagai tempat penelitian karena daerah

(111)

tersebut yang mudah dijangkau dengan kendaraan roda empat. Sampel penelitian terdiri dari 30

narakontak serumah dan 30 narakontak tidak serumah yang telah memenuhi kriteria inklusi. Secara

rinci gambaran distribusi sampel penelitian sebagai berikut :

3

Tabel 4. Distribusi sampel narakontak di Kecamatan Banggae,Kabupaten Majene

Kelompok Narakontak Jumlah % Narakontak serumah 30 50

Narakontak tidak serumah 30 50 Total 60 100

(112)

orang perempuan. Distribusi sampel menurut jenis ke lamin sebagai berikut :

Tabel 5. Distribusi sampel narakontak berdasarkan j enis kelamin di Kecamatan Banggae,

Kabupaten Majene

No Jenis Kelamin NK Serumah NKT Serumah T otal

Jumlah (%) Jumlah (%) N (% )

1. Laki-laki 13 50 13 50 26 100

2. Perempuan 17 50 17 50 34 100 Total 30 100 30 100 60

100

(113)

NKT serumah : narakontak tidak serumah

Tabel 5. menunjukkan bahwa dari 60 sampel didapatka n jumlah sampel laki-laki sebanyak

13 orang pada narakontak serumah dan 13 orang pada narakontak tidak serumah sedangkan jumlah

sampel perempuan sebanyak 17 orang pada narakontak serumah dan 17 orang pada narakontak

tidak serumah. Hal ini menunjukkan bahwa dari 60 sa mpel, lebih banyak ditemukan sampel jenis

kelamin perempuan yaitu sekitar 34 orang dibandingk an sampel jenis kelamin laki-laki yaitu 26

orang.

Hasil Pemeriksaan Serologi IgM anti PGL-1

(114)

dapatkan konversi 2,7 untuk mendapatkan titer dalam serum. Dikatakan seropositif jika titer IgM

anti PGL-1 > 605 unit/ml. Dari 30 sampel narakonta k serumah dan 30 sampel narakontak tidak

serumah dengan uji serologi hasilnya diketahui berk isar antara 59,7 unit/ml sampai 5.641,3

unit/ml. Distribusi sampel narakontak berdasarkan h asil serologi dapat dilihat sebagai berikut :

Tabel 6. Distribusi sampel narakontak berdasarkan h asil pemeriksaan serologi di

Kecamatan Banggae,Kabupaten Majene

______________________________________________ _____

_________

(115)

egatif Total N (%) N (%) N (%)

______________________________________________ _____

______________________ 1. Narakontak serumah 15 50 15 50 30 100

2. Narakontak TS 11 36,7 19 63,3 30

100

Total 26 43,3 34 56,7 60 100

______________________________________________ _____

(116)

NK : narakontak

Narakontak TS : narakontak tidak serumah

Hasil pemeriksaan ELISA dari 60 sampel penelitian m enunjukkan dari 30 sampel

narakontak serumah didapatkan titer seropositif seb anyak 15 sampel (50%) dan 15 sampel (50%)

titer seronegatif, pada 30 sampel narakontak tidak serumah didapatkan 11 sampel seropositif

(36,7%) dan 19 sampel (63,3%) seronegatif, hal ini menunjukkan bahwa titer seropositif lebih

banyak ditemukan pada narakontak serumah dibandingk an narakontak tidak serumah.

4

(117)

menjadi tiga kelompok yaitu sumber kontak yang masi h dalam terapi, sumber kontak RFT 2 - < 5

tahun dan sumber kontak RFT ≥

5 tahun. Secara rinci distribusi sampel berdasarka n jenis sumber

kontak sebagai berikut :

Tabel 7. Distribusi hasil serologi berdasarkan jeni s sumber kontak di Kecamatan

Banggae,Kabupaten Majene

______________________________________________ _____

______________

(118)

Jumlah (%) Jumlah (%) Jum lah (%)

1. MB sedang terapi 3 33,3 6 66,7 9

100

2. RFT 2 - 4 tahun 16 61,5 10 38,5 26

100 3. RFT ≥

5 tahun 7 28 18 72 25 100 Total 26

(119)

RFT : release from treatment

Tabel 7 menunjukkan bahwa titer seropositif ditemu kan pada narakontak dengan jenis

sumber kontak yang sedang dalam terapi sebanyak 3 o rang, RFT 2-4 tahun sebanyak 16 orang dan

RFT ≥

5 tahun sebanyak 7 orang.

Analisis Hasil Pemeriksaan Serologi

Untuk mengetahui perbedaan narakontak serumah dan n arakontak tidak serumah dengan

hasil pemeriksaan serologi dilakukan uji statistik chi-square

. Hasil pemeriksaan serologi dari 60

(120)

ah dan 30 sampel narakontak tidak serumah

menunjukkan bahwa sampel seropositif pada narakonta k serumah memiliki proporsi lebih besar

dibandingkan dengan narakontak tidak serumah. Dari 30 sampel narakontak serumah didapatkan

15 orang (50%) seropotif dan 15 orang seronegatif ( 50%) sedangkan pada narakontak tidak

serumah didapatkan seropositif sebanyak 11 orang (3 6,7%) dan 19 orang seronegatif (63,3%).

Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 8 :

Tabel 8. Hasil pemeriksaan serologi narakontak seru mah dan narakontak tidak serumah di

Kecamatan Banggae,Kabupaten Majene

(121)

____________________

No Kelompok Narakontak Hasil se rologi Total

Ser

opositif Seronegatif Jum

lah (%) Jumlah (%) Jum lah (%)

1. Narakontak serumah 15 50 15 50 30

100

2. Narakontak tidak serumah 11 36,7 19 63,3 30

(122)

43,3 34 56,7 60 100

Chi-square

p = 0,297 (p >0,05)

Tabel 8 menunjukkan bahwa titer seropositif pada n arakontak serumah memiliki proporsi

lebih besar dibandingkan dengan narakontak tidak se rumah, walapun hasil uji statistik

menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antar a seropositif pada narakontak serumah

dengan narakontak tidak serumah (p>0,05).

Hubungan Sebaran Jenis Kelamin dengan Hasil Pemerik saan Serologi pada Narakontak

(123)

perempuan, didapatkan bahwa seropositif pada peremp uan sebanyak 9 orang (52,9%) dan

seronegatif sebanyak 8 orang (47,1%) sedangkan sero positif pada laki-laki sebanyak 6 orang

(46,2%) dan seronegatif sebanyak 7 orang (53,8%). Dari 30 sampel narakontak tidak serumah yang terdi ri dari 13 orang laki-laki dan 17 orang

perempuan didapatkan bahwa seropositif pada laki-la ki sebanyak 6 orang (46,2%) dan seronegatif

5

sebanyak 7 orang (53,8%) sedangkan pada wanita dida patkan seropositif sebanyak 5 orang

(29,4%) dan seronegatif sebanyak 12 orang (70,6%). Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 9 :

(124)

erologi pada narakontak di

Kecamatan Banggae,Kabupaten Majene No Karakteristik kontak Jenis kelamin Sero positif Seronegatif Total

Jumlah (%) Jumlah (%) Jumlah (%)

______________________________________________ _____

____________________

1. Narakontak serumah Laki-laki 6 46,2 7 53,8 13

100

(125)

Total

15 50 15 5 0 30 100

______________________________________________ _____

____________________

2. Narakontak Tidak Laki-laki 6 46,2 7 53,8 13

100

serumah Perempuan 5 29,4 12 70,6 17

100 Total

(126)

Chi-square

1 p = 0.713 (p>0,05) Chi-square

2 p = 0.346 (p>0,05)

Berdasarkan Tabel 9 dapat dilihat bahwa hasil serop ositif pada narakontak serumah dengan

jenis kelamin perempuan sebanyak 9 orang (52,9%) da n jenis kelamin laki-laki yaitu hanya 6

orang (46,2%). Hal ini menunjukkan bahwa hasil sero positif pada narakontak serumah dengan

jenis kelamin perempuan memiliki proporsi lebih bes ar dibandingkan dengan jenis kelamin

laki-laki. Pada narakontak tidak serumah didapatkan hasi l seropositif pada jenis kelamin laki-laki

(127)

empuan sebanyak 5 orang (29,4%). Hal ini

menunjukkan bahwa hasil seropositif pada narakontak tidak serumah dengan jenis kelamin

laki-laki memiliki proporsi lebih besar dibanding peremp uan. Hasil uji statistik pada kedua kelompok

narakontak ini menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara jenis kelamin tertentu

dengan hasil seropositif (p > 0,05).

Hubungan Sebaran Jenis Sumber Kontak dengan Hasil P emeriksaan Serologi pada

Narakontak

Dari 30 sampel narakontak serumah, 15 orang memili ki seropositif dan 15 orang dengan

(128)

penderita kusta tipe MB masih dalam terapi, 12 oran g dengan jenis sumber kontak adalah penderita

kusta MB yang telah RFT 2-4 tahun dan 2 orang denga n jenis sumber kontak adalah penderita

kusta MB yang telah RFT 5 tahun atau lebih. Secara rinci dijelaskan sebagai berikut :

Tabel 10. Hubungan sebaran jenis sumber kontak deng an hasil pemeriksaan serologi pada

narakontak serumah di Kecamatan Banggae, Kabupaten Majene

No Jenis sumber kontak Seropostif Seronegatif Total

Jumlah (%) Jumlah (%) Juml ah (%)

(129)

6,7 2 13,3 3 10

2. RFT 2 – 4 tahun 12 80 5 33,3 17 56,7

3. RFT ≥

5 tahun 2 13,3 8 53,3 10 33,3 Total 15

100 15 100 30 100 Chi square

p = 0,033 (p<0,05)

Tabel 10. menunjukkan bahwa hasil uji statistik pa da kelompok jenis sumber kontak

(130)

narakontak serumah dengan jenis sumber kontak yang telah RFT 2-4 tahun lebih besar (80%)

6

dibandingkan jumlah seropositif pada narakontak ser umah dengan jenis sumber kontak yang

sedang dalam terapi (6,7%) dan jenis sumber kontak yang telah RFT

5 tahun (13,3%), akan tetapi

tidak terdapat hubungan liniear antara jenis sumber kontak penderita kusta MB dengan titer

seropositif.

Tabel 11. Hubungan sebaran jenis sumber kontak deng an hasil pemeriksaan serologi pada

(131)

aten Majene

No Jenis sumber kontak Seropositi f Seronegatif Total

Juml

ah (%) Jumlah (%) Jumla h (%)

1. MB terapi 2 18,2 4 21,4 6 20

2. RFT 2-4 tahun 4 36,4 5 26,3 9

30 3. RFT ≥

(132)

10 52,6 15 5 0

Total 11

100 19 100 30 100

Chi-square

p = 0,846 (p>0,05) MB : Multibasiler

RFT : Release from treatment

Tabel 11 menunjukkan bahwa dari 11 seropositif na rakontak tidak serumah didapatkan 2

orang seropositif dengan jenis sumber kontaknya ad alah penderita kusta tipe MB yang sedang

(133)

2-4 tahun, dan 5 orang seropositif dengan jenis sum ber kontak penderita kusta tipe MB yang telah

RFT selama 5 tahun atau lebih. Hasil uji statistik menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang

bermakna antar jumlah seropositif pada ketiga kelom pok ini (p>0,05).

Hasil pemeriksaan serologi pada Narakontak serumah dan Narakontak tidak serumah

Hasil pemeriksaan serologi pada kedua narakontak menunjukkan bahwa

seropositif pada narakontak serumah (50%) lebih bes ar dibandingkan dengan narakontak tidak

serumah (36,7%) walaupun perhitungan statistik ( chi-square

(134)

narakontak ini, diperoleh nilai p > 0,05 yang berar ti bahwa tidak terdapat perbedaan yang

bermakna dalam seropositifitas kedua kelompok ini. Narakontak serumah memiliki resiko paling

besar untuk terjadinya kusta subklinis (KSS). Penel itian prospektif oleh Douglas, et al (2004)

menunjukkan bahwa status seropositif pada narakonta k serumah dengan kasus indeks MB yang

sudah diterapi, masih merupakan faktor risiko untuk menderita kusta. Penelitian ini juga

menunjukkan adanya kemungkinan transmisi kepada nar akontak serumah pada saat kasus indeks

belum terdiagnosis karena belum menampakkan gejala, (Douglas et al., 2004) selain itu juga

(135)

penularan penyakit kusta. Faktor kontak antar

kulit, kontak intim, kontak berulang juga merupakan risiko untuk terjadinya penyakit kusta ini.

Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung mau pun kontak tidak langsung, dapat juga melalui

saluran pernafasan (udara).(Noordeen, 1994). . Pada penelitian ini, secara statistik seropositif pada narakontak serumah tidak memiliki

perbedaaan yang bermakna dengan seropositif pada na rakontak tidak serumah. Hal ini disebabkan

karena daerah ini merupakan daerah dengan endemitas kusta yang tinggi dimana penularan dapat

terjadi melalui kontak langsung maupun kontak tidak langsung (melalui inhalasi). Penelitian yang

(136)

positif pada dua kelompok narakontak

penderita kusta tipe MB dengan tehnik ELISA memberi kan hasil yang serupa dimana pada kedua

kelompok narakontak ini hasil seropositif tidak did apatkan adanya perbandingan yang

bermakna.(Agusni, 2005)

Penelitian oleh Frota et al yang membandingkan jum lah seropositifitas antara narakontak

serumah dan narakontak tidak serumah dengan menguku r titer IgM PGL-1 menunjukkan

perbedaan yang tidak bermakna antara dua kelompok i ni dimana jumlah seropositifitas narakontak

serumah sebesar 15,8% dan seropositifitas narakonta k tidak serumah sebesar 15,1%.(Frota et al.,

(137)

7

5.2 Hubungan sebaran jenis kelamin dengan hasil ser ologi pada narakontak

Penyakit kusta dapat menyerang manusia baik pada j enis kelamin laki-laki maupun

perempuan, tetapi jenis kelamin laki-laki lebih ban yak menderita dibandingkan perempuan. Jumlah penderita laki-laki dewasa biasanya 2-3 kali lebi h besar daripada wanita, hal ini dihubungkan

dengan aktifitas pria diluar rumah sehingga resiko tertular lebih besar.(Agusni, 2005)

Pada penelitian ini angka kejadian seropositif kelo mpok jenis kelamin perempuan (

(138)

kelompok ini menunjukkan tidak adanya perbedaan yan g bermakna antara jenis kelamin dengan

angka kejadian seropositif.

Pada kelompok narakontak tidak serumah angka kejad ian seropositif pada kelompok jenis

kelamin laki-laki (46,2%) lebih banyak dibandingkan dengan kelompok jenis kelamin perempuan

(29,4%). Hasil uji statistik pada kelompok ini menu njukkan tidak ada perbedaan yang bermakna

antara jenis kelamin dengan angka kejadian seroposi tif. Hal ini disebabkan karena baik pada

laki-laki maupun wanita memiliki tingkat paparan yang sa ma karena aktifitas mereka diluar rumah.

(139)

menunjukkan perbedaan yang tidak bermakna antara ke dua kelompok ini. Penelitian yang

dilakukan oleh Saenong,dkk yang mendeteksi mycobact erium leprae dari mukosa hidung anak

sekolah dengan metode reaksi rantai polimerase menu njukkan bahwa dari 17 anak dengan hasil

positif didapatkan 8 orang anak laki-laki dan 9 ora ng anak perempuan yang menunjukkan tidak

terdapat perbedaan yang bermakna antara kedua kelom pok ini.(Saenong, 2007) Penelitian yang

dilakukan oleh Nerawati yang memeriksa prevalensi s eropositif narakontak serumah dan

narakontak tidak serumah menunjukkan bahwa jumlah s eropostitif pada jenis kelamin laki-laki dan

(140)

jukkan perbedaan yang tidak bermakna.(Nerawati, 2003)

Hubungan Sebaran Jenis Sumber Kontak dengan Hasil Pemeriksaan Serologi pada Narakontak

hingga saat manusia masih diyakini sebagai sumber p enularan

M.leprae

yang utama terutama

penderita kusta tipe MB. Banyak penderita baru yang ditemukan tidak mempunyai riwayat kontak

dengan penderita kusta yang mengeluarkan bakteri da ri lesi kulitnya. Untuk penularan diperlukan

kontak yang intim dan lama, terutama pada kontak se rumah dan satu tempat tidur. Kontak serumah

(141)

ng 5-10 kali lebih besar kemungkinan

untuk tertular. Para pakar kusta sependapat bahwa f rekuensi kontak dengan sumber infeksi

merupakan hal yang penting dalam penularan.(Nurjant i and Agusni, 2002)

Penularan kusta juga dapat terjadi secara tidak lan gsung, yaitu melalui lingkungan. Hal ini

diperkuat dengan adanya kenyataan bahwa adanya penu runan prevalensi kusta ternyata tidak

diikuti dengan penurunan insidensi dan masih tetap adanya penderita baru yang ditemukan

walaupun kasus aktif sebagai sumber infeksi telah d iobati.

(142)

diluar tubuh manusia dan keluar terutama dari sekre t nasal.

Mycobacterium leprae ditemukan pada

tanah disekitar lingkungan rumah penderita, dan hal ini dibuktikan dengan salah satu penelitian

menggunakan telapak kaki mencit sebagai media kultu r, juga dapat dibuktikan bahwa

M.leprae

mampu hidup beberapa waktu di lingkungan. (Cree and Smith, 1998)

Mycobacterium leprae juga

(143)

sumber infeksi, akan tetapi hal ini masih memerluka n penelitian lanjut.(Nurjanti and Agusni, 2002)

Jenis sumber kontak pada penelitian ini dibagi atas tiga kelompok yaitu 1) jenis sumber

kontak dengan penderita kusta tipe MB yang sedang d alam terapi, 2) jenis sumber kontak dengan

penderita kusta tipe MB yang telah RFT 2-4 tahun da n 3) jenis sumber kontak dengan penderita

kusta tipe MB yang telah RFT 5 tahun atau lebih. Ha sil penelitian seropositif pada narakontak

serumah menunjukkan perbedaan yang bermakna antar tiap kelompok tersebut, dimana jumlah

seropositif pada narakontak serumah dengan jenis su mber kontak yang telah RFT 2-4 tahun lebih

(144)

rakontak serumah dengan jenis sumber

kontak yang sedang dalam terapi (6,7%) dan jenis su mber kontak yang telah RFT

5 tahun, akan

tetapi tidak terdapat hubungan liniear antara jenis sumber kontak penderita kusta MB dengan titer seropositif. Hal ini kemungkinan disebabkan karena adanya sumber penularan lain selain dari

penderita kusta itu sendiri yaitu lingkungan, terut ama sumber airnya dimana penduduk didaerah ini mengambil dan menggunakan air dari satu sumber. Hal ini didukung oleh penelitian yang

8

(145)

M.leprae

dengan menggunakan metode PCR pada

sumber air penduduk di daerah endemis kusta di Kabu paten Sumenep menunjukkan adanya

perbedaan yang bermakna dimana pada daerah prevalen si kusta yang tinggi ditemukan 13 sampel

positif yang berasal dari air sumur penduduknya dib andingkan pada daerah dengan prevalensi

kusta rendah yang hanya ditemukan 6 sampel positif. (Adriaty, 2005)

KESIMPULAN

Hasil seropositifitas dari 30 narakontak serumah p enderita kusta MB sebanyak 15 orang

(146)

serumah penderita kusta MB sebanyak 11 orang (36,7% ) dan seronegatif sebanyak 19 orang

(63,3%).Terdapat perbedaan yang tidak bermakna anta ra seropositifitas narakontak serumah dan

narakontak tidak serumah. Dengan proporsi positip l ebih tinggi pada narakontak terumah

dibanding yang tak serumah. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jenis kelamin tertentu

dengan hasil seropositif .Terdapat perbedaan yang b ermakna antara seropositifitas narakontak

serumah dengan kelompok jenis sumber kontak pender ita kusta MB yang sedang terapi, kelompok

jenis sumber kontak yang telah RFT 2-4 tahun dan ke lompok jenis sumber kontak yang telah RFT

(147)

ermakna antara seropositifitas narakontak tidak

serumah dengan kelompok jenis sumber kontak penderi ta kusta MB yang sedang terapi, kelompok

jenis sumber kontak yang telah RFT 2-4 tahun dan ke lompok jenis sumber kontak yang telah RFT

5 tahun atau lebih. KEPUSTAKAAN

ADRIATY, D. (2005) Deteksi DNA M.leprae pada sumber

air penduduk di daerah endemik kusta. Ilmu Kedokteran Tropis.

Surabaya, Airlangga.

AGUSNI, I. (2000) Imunologi penyakit kusta. IN SUDI GDOADI, SUTEDJA, E., AGUSNI, Y. &

(148)

Buku makalah lengkap kursus imunodermatologi. Bandung, Bungsu

rusli.

AGUSNI, I. (2003) Penyakit kusta penyakit tua denga n segudang misteri.

Pidato penerimaan

jabatan guru besar UNAIR. Surabaya; FK-UNAIR.

AGUSNI, I. (2005) Kusta stadium subklinis pada dua jenis kelompok narakonta

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini bertentangan dengan penelitian yang dilakukan oleh Winahyungsih, dkk (2010), Priyono (2010), Nugroho (2006) yang menyatakan bahwa rendahnya

Mowen dan Michael (2002:55), mengatakan bahwa diferensiasi produk (product differentiation) adalah proses memanioulasi bauran pemasaran untuk menempatkan sebuah merek, sehingga

 Konsep rumah tangga pertanian mengalami perluasan dibanding Sensus Pertanian 1983, yaitu untuk konsep rumah tangga pertanian pengguna lahan ditambah dengan usaha

2 Liliawati, “Ladrang Dandanggula Majasih Laras Slendro Patet Sanga Gaya Yogyakarta: Suatu Tinjauan Garap Sindenan” (Tugas Akhir Program Studi Karawitan Jurusan

Penelitian yang dilakukan oleh Wayan Adi Virawan (2013) dengan judul “Pengaruh Harga, Kualitas Produk Dan Citra Merek Terhadap Keputusan Pembelian (Studi Pada Mahasiswa

4.7 Merancang, melakukan, dan menyimpulkan serta menyajikan hasil percobaan faktor-faktor yang mempengaruhi laju reaksi dan orde reaksi.  Merancang percobaan faktor-faktor yang

Proses penugasan dan penjadwalan tenaga sukarelawan ke daerah bencana dapat dimodelkan dalam goal programming dengan fungsi objektif meminimumkan biaya penalti yang diakibatkan

txtID.Text = GenerateID txtDate.Text = FormatToday, "dd MMM yyyy" txtBookID.Clear txtDescription.Clear txtMemberID.Clear txtName.Clear isidtLoan id = 0 btnAdd.Enabled =