• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pakta Non Agresi Molotov Ribbentrop anta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pakta Non Agresi Molotov Ribbentrop anta"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Review 2

Kelas : Institusi Internasional NPM : 1206210856

Pakta Non-Agresi antara Jerman – Uni Soviet pada Awal Perang Dunia II

Pada periode Perang Dunia II, tidak dapat dipungkiri bahwa Jerman yang saat itu dipimpin oleh Adolf Hitler sangat berperan dalam fenomena-fenomena yang terjadi, khususnya di kawasan Eropa. Ketegangan, rasa khawatir, dan aksi militerpun muncul dari berbagai pihak yang saling bertikai, terutama oleh Jerman, Uni Soviet, Italia, Inggris, dan Perancis. Kemudian, pada 23 Agustus 1939 fenomena penting terjadi antara Jerman dan Soviet, dimana kedua superpower

tersebut sepakat untuk menyetujui pakta non-agresi yang kemudian disebut pakta Molotov-Ribbentrop. Dalam tulisan ini, penulis akan memaparkan mengenai sistem aliansi yang dipaparkan oleh Joseph S. Nye, dilanjutkan dengan penjelasan mengenai perjanjian antara Jerman dan Soviet yang tertera pada pakta Molotov-Ribbentrop, diikuti dengan pembanding dari berbagai sumber serta analisis dari penulis, dan diakhiri dengan kesimpulan.

Menurut Nye (1997, 70), aliansi merupakan pengaturan formal atau informal antarnegara berdaulat yang bergabung dengan tujuan menjaga keamanannya bersama. Negara yang bergabung dalam suatu aliansi biasanya didorong atas kepentingan militer, dimana dua negara yang cukup kuat memutuskan untuk menjaga keamanan terhadap berbagai ancaman dari pihak yang lebih besar dengan membentuk aliansi. Namun, negara juga dapat membentuk aliansi untuk alasan non-militer seperti kesamaan ideologi dan tujuan ekonomi, khususnya aliansi-aliansi yang dibentuk oleh negara yang tidak lagi menitikberatkan pada aspek militer dalam pemerintahannya.

Runtuhnya suatu aliansi dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Namun, faktor yang paling umum adalah tidak ada lagi relevansi antarnegara yang terlibat dalam aliansi, atau salah satu pihak melihat pihak lainnya sebagai ancaman terhadap keamanannya. Hal tersebut dapat terjadi apabila terjadi perubahan rezim atau pemerintahan pada salah satu pihak, juga apabila salah satu pihak mengalami peningkatan pada power-nya sehingga mengakibatkan pihak lainnya merasa terancam dan memutuskan untuk bergabung dengan aliansi lain dalam menghadapi ancaman tersebut.

(2)

kompleks, maka efektivitas suatu aliansi juga akan sulit dicapai, dan aliansi itu sendiri akan sulit untuk dipertahankan.

Berangkat dari penjelasan mengenai aliansi oleh Nye, maka pembahasan selanjutnya akan fokus pada pakta Molotov-Ribbentrop yaitu sebuah perjanjian antara Jerman dan Soviet sebagai salah satu bentuk aliansi yang khusus pada pengaturan non-agresi dan pembagian wilayah secara rahasia antara kedua negara tersebut.

Menurut Srivanto (2008, 130), pakta Molotov-Ribbentrop merupakan pakta yang dikenal sebagai kesepakatan non-agresi antara Nazi Jerman dengan Uni Soviet. Namun begitu, terdapat beberapa protokol rahasia yang di dalamnya menggarisbawahi persetujuan antara Dritte Reich

dengan Soviet untuk membagi wilayah negara yang bebatasan dengan kedua negara tersebut, dengan hasil berupa pembagian wilayah Polandia sebagai sphere of influence bagi Jerman dan Soviet. Pakta ini dianggap sebagai suatu fenomena yang mengejutkan dunia, dimana perbedaan ideologi diantara kedua pihak tersebut justru menciptakan suatu kesepakatan non-agresi dan pembagian wilayah Eropa Timur. Meski demikian, pakta Molotov-Ribbentrop membuat hubungan diplomatik yang kuat antara Jerman dan Soviet, yang bahkan keduanya menjadi rekan dagang yang baik karena sebelum pakta non-agresi dibuat, Jerman dan Soviet juga telah menjalin hubungan ekonomi.

Dijelaskan oleh Weinberg (1989, 185-186), pada musim panas 1939, menteri luar negeri Jerman, Ribbentrop, mengunjungi Moskow untuk membahas kesepakatan yang diusulkannya dengan Soviet. Kunjungan ini khusus membahas pakta mengenai non-agresi yang juga berisikan pembagian wilayah Eropa Timur, disusul dengan diberikannya surat yang ditulis langsung oleh Hitler kepada Stalin yang berisikan permintaan Jerman terhadap Soviet untuk menerima tawaran tersebut. setelah melalui negosiasi dan pertimbangan yang panjang, pada 23 Agustus 1939, pakta non-agresi ini akhirnya disepakati dan ditandatangani kedua negara oleh masing-masing menteri luar negeri, sehingga penamaan pada pakta tersebut, yaitu pakta Molotov-Ribbentrop, berasal dari nama kedua menteri luar negeri Jerman dan Soviet.

(3)

berkontrak tidak boleh bergabung dalam kelompok tertentu yang mengarah pada perlawanan terhadap salah satu pihak, baik secara langsung atau tidak langsung; [5] Perselisihan atau konflik yang terjadi antara kedua pihak berkontrak harus diselesaikan melalui pertukaran opini secara baik-baik, atau melalui pembentukan komisi arbitrase jika dirasa perlu; [6] Perjanjian ini berlaku untuk jangka waktu 10 tahun, dan apabila tidak ada pihak yang melanggarnya, maka perjanjian diperpanjang untuk 5 tahun berikutnya; [7] Perjanjian harus diratifikasi secepat mungkin dan dilakukan di Berlin, dan perjanjian mulai berlaku setelah penandatanganan.

Kemudian, 3 pasal yang membicarakan protokol rahasia berisikan bahwa: [1] Mengenai penataan ulang teritorial dan pengaruh politik di wilayah Baltik (Finlandia, Estonia, Latvia, Lithuania), batas Utara Lithuania akan merepresentasikan batas pengaruh Jerman dan Soviet, dimana wilayah Lithuania di area Vilna diakui oleh masing-masing pihak; [2] Mengenai penataan ulang teritorial dan pengaruh politik di Polandia, sphere of influence antara Jerman dan Soviet ditentukan dari batas sungai Narew, Vistula, dan San. Mengenai keberlangsungan negara Polandia, keputusan akan diambil dari pertimbangan politik selanjutnya; [3] Mengenai Eropa Tenggara, perhatian akan ditentukan oleh Soviet terkait kepentingannya di Bessarabia, dan Jerman menyatakan wilayah ini telah terdisintegrasi secara politik sepenuhnya.

Dikatakan oleh Weinberg (1989, 178) bahwa tercapainya pakta Molotov-Ribbentrop ini menimbulkan respon pada pihak lain yang secara tidak langsung terlibat dalam kesepakatan, khususnya oleh Polandia, Inggris, dan Perancis. Bagi Polandia, pakta ini menjadi halangan baginya untuk bertahan melawan pasukan Jerman dari Polandia Timur pada musim dingin tahun 1939-1940, karena dari situ Soviet akan menyerbu Polandia dan merebut wilayah yang dialokasikan sebagai

sphere of influence Soviet di Polandia sebagaimana tertera dalam pakta. Bagi Inggris dan Perancis, pakta ini menjadi bukti bahwa Soviet tidak akan menyatakan perang dengan Jerman, sehingga Inggris dan Perancis tidak akan ‘berkawan’ dengan Soviet untuk melawan Jerman kala itu.

Lebih lanjut, Weinberg (1989, 184) juga menjelaskan bahwa pada awalnya, Soviet menganggap perbedaan ideologi dengan Jerman tetap akan mengarah pada hasil yang ingin dicapai olehnya, dengan menganggap bahwa suatu saat capitalist world akan bersatu untuk melawan Soviet, yang mana kemudian dengan adanya kerjasama dengan Jerman, hal ini akan membantu Soviet untuk melawan negara capitalist imperialist yang juga menjadi lawan dari Jerman pada masa itu.

(4)

aliansi antara Inggris-Soviet-Perancis, dan netralisasi Soviet dalam perang Jerman-Polandia. Dari sisi Soviet, Roberts berpendapat bahwa pakta Molotov-Ribbentrop muncul dari adanya krisis manajemen jangka pendek dari para pemimpin Soviet, khususnya antara Stalin dan Molotov dalam merespon inisiatif dan tindakan negara lain. Dengan demikian, hal ini memperlihatkan bahwa pakta tersebut lebih mengacu sebagai keputusan tiba-tiba bagi Soviet ketimbang sebagai hasil dari sebuah rencana yang telah dipikirkan secara matang. Dari pihak Moskow, pakta ini dianggap sebagai kebijakan tidak tepat yang diambil oleh Soviet, bukan sebagai goal-oriented policy ataupun kalkulasi strategi.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, pihak Jerman sendiri sebenarnya memiliki alasan tersendiri sehingga memutuskan untuk memberikan tawaran kerjasama dengan Soviet. Fokus Jerman saat itu adalah netralisasi Soviet di wilayah Polandia yang telah lama ingin di invasi oleh Jerman, serta wilayah-wilayah Baltik lain seperti yang telah disebutkan dalam pakta rahasia. Dengan disetujuinya pakta tersebut, Jerman akhirnya berani untuk menginvasi Polandia pada 1 September 1939 tanpa khawatir akan adanya intervensi oleh Soviet (Weinberg, 1989, 187). Bagi Soviet, wilayah Finlandia, Estonia, dan Latvia kemudian menjadi sphere of influence-nya di wilayah Baltik (Roberts, 1999, 657).

Namun, penguatan posisi dan pengaruh Jerman di wilayah Baltik dan wilayah Eropa lainnya pada 1940-1941 mengubah posisi Soviet dan esensi dari pakta Molotov-Ribbentrop, sehingga membuat Soviet mengusulkan untuk membuat substansi baru dalam pakta tersebut. Selain itu, ekspansi Jerman juga dianggap telah melampaui posisi Soviet di Baltik, khususnya di Finlandia, yang bahkan dikatakan oleh Roberts telah melanggar perjanjian dengan Soviet mengenai sphere of influence di kawasan tersebut (1999, 661).

Meski pakta Molotov-Ribbentrop disepakati untuk berlaku selama sepuluh tahun, namun ternyata ambisi Jerman dalam meluaskan teritorialnya membawa keputusannya untuk menginvasi Soviet pada 22 Juni 1941 dalam Operasi Barbossa, sehingga kesepakatan non-agresi antara Jerman dan Soviet-pun berakhir (Weinberg, 1989, 187).

(5)

untuk menjaga hubungan politiknya dengan melakukan komunikasi dan memberikan kesempatan untuk saling menukarkan opini atau bahkan membentuk komisi arbitrase apabila muncul permasalahan antar kedua belah pihak.

Kedua, penulis juga melihat bahwa faktor pembentukan aliansi yang salah satunya didorong oleh kepentingan militer tercermin dalam pakta Molotov-Ribbentrop. Hal ini terlihat dari adanya kesepakatan untuk membagi sphere of influence antara Jerman dan Soviet di kawasan Eropa Timur. Tidak hanya itu, kepentingan militer lain terlihat dari tindakan Jerman yang langsung menginvasi Polandia tidak lama setelah pakta ditandatangani. Hal tersebut dikarenakan dengan diberlakukannya pakta dengan Soviet, maka Jerman tidak akan mengkhawatirkan adanya intervensi oleh Soviet dalam perangnya dengan Polandia.

Ketiga, terlihat bahwa perbedaan ideologi antara Jerman dan Soviet ternyata tidak menghalangi tercapainya kesepakatan politik dan militer yang kemudian disahkan dalam pakta Molotov-Ribbentrop. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, hal ini mengindikasikan bahwa kepentingan Jerman maupun Soviet untuk mencapai kesepakatan lebih didorong oleh adanya kepentingan militer, yang mana saat itu keduanya sangat aktif dalam perluasan wilayah dan peperangan pada awal Perang Dunia II. Dari sisi Jerman, pakta Molotov-Ribbentrop terlihat sebagai usahanya mencari ‘kawan’ dari tekanan Inggris dan Perancis, dan dalam mencegah terbentuknya aliansi oleh Inggris-Soviet-Perancis seperti yang telah disampaikan oleh Roberts dalam pembahasan sebelumnya.

Kemudian, apabila dikatakan sebelumnya bahwa pecahnya suatu aliansi dapat disebabkan tidak ada lagi relevansi antarnegara yang terlibat, hal ini juga terlihat pada pakta Molotov-Ribbentrop, dimana kepentingan dan ambisi Jerman yang lebih kuat dalam meningkatkan power -nya tidak lagi sesuai dengan Soviet, yang bahkan menimbulkan ketegangan antara kedua belah pihak. Selain itu, berdasarkan penjelasan sebelumnya, terlihat pula bahwa Jerman menjadi pihak yang paling melanggar kesepakatan yang tertuang dalam pakta, seperti sphere of influence-nya di wilayah Baltik yang ‘melampaui’ kesepakatan, serta dilakukannya operasi Barbossa sehingga hal ini melanggar pasal 1 dalam pakta mengenai perjanjian untuk tidak saling serang. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa pakta Molotov-Ribbentrop tidak mampu menahan ambisi Jerman untuk tidak menyerang Soviet, sehingga dapat dikatakan bahwa pakta ini tidak terlalu signifikan dalam penerapannya.

(6)

non-agresi. Selain itu, posisinya yang juga sebagai dasar pembagian pengaruh wilayah kemudian menjadi alasan bagi dijalankannya berbagai invasi di wilayah Eropa Timur, sehingga menimbulkan berbagai peperangan khususnya yang melibatkan Jerman kala itu. Terciptanya pakta Molotov-Ribbentrop juga menjadi penghalang bagi Inggris dan Perancis untuk mengumpulkan dukungan dan kerjasama dari Soviet dalam melawan Jerman. Tidak hanya itu, perbedaan ideologi dan tujuan utama dari pihak yang membuat kesepakatan, khususnya dalam kasus Molotov-Ribbentrop terbukti tidak dapat menciptakan hasil akhir yang menguntungkan kedua pihak, karena pada akhirnya Jerman berani untuk menginvasi Soviet pada pertengahan 1941 dan perjanjianpun tidak terlaksana sebagaimana yang telah ditetapkan.

Daftar Pustaka

Srivanto, Fernando R. (2008) das PANZER: Strategi dan Taktik lapis Baja Jerman 1935-1945. Yogyakarta: NARASI.

Nye, Joseph S. (1997) Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History. New York: Longman.

Roberts, Geoffrey. (1992) ‘The Soviet Decision for a Pact with Nazi Germany’. Soviet Studies, 44 (1): 57-78

Roberts, Geoffrey. (1999) ‘Ideology, Calculation, and Improvisation: Spheres of Influence and Soviet Foreign Policy 1939–1945’. Review of International Studies 25 (1): 655–673

Yale Law School: Lilian Goldman Law Library (2008). Treaty of Nonaggression Between Germany and the Union of Soviet Socialist Republics. Tersedia di http://avalon.law.yale.edu/20th_century/nonagres.asp (diakses pada 11 November 2013). Weinberg, Gerhard L. (1989) ‘The Nazi-Soviet Pacts: A Half Century Later’. Foreign Affairs, 68

Referensi

Dokumen terkait

Non Product Ouput (NPO) adalah keluaran yang bukan merupakan produk dan dapat dikatergorikan jenis limbah yang masih bisa dipakai ulang, diminimisasi atau dilakukan

Pengaruh tersebut dapat dilihat dari koefisien persamaan kuadratik dari model indeks kekuatan tarik dalam bentuk kode variabel yang dituliskan pada persamaan 2. Berdasarkan

Nasution, 2002, ”Hukum Perlindungan Konsumen” , Diadit Media, Jakarta Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, 2001,” Metodologi Penelitian, Bumi

Dengan hal tersebut di temukan tiga metode yang digunakan subjek F untuk mengatasi masalah yakni metode lain subjek F juga berusaha melatih tangan kirinya agar

Salah satu bagian dari face recognition yang telah dikembangkan saat ini adalah pengenalan jenis kelamin ( gender recognition ) Kemiripan antara gender recognition

Sedangkan pola asuh itu sendiri seperti yang diungkapan oleh, Thoha menyatakan bahwa pola asuh orang tua adalah merupakan suatu cara terbaik yang ditempuh orang tua

Penemuan teknologi SEMS memberikan pilihan baru yang lebih baik sebagai terapi drainase bilier baik temporer maupun paliatif karena memberikan tingkat kesuksesan yang

Hasil rendah dipengaruhi oleh Mn/K daun yang tidak berimbang dan protein daun yang tinggi akibat pengaruh karakteristik tanah Inseptisols (pH lebih rendah, Mn dan K lebih tinggi)