• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF

(STUDY PEMIKIRAN AL-JILLI)

TUGAS INDIVIDUAL

MATA KULIAH TASAWUF KLASIK

Oleh

SEPTIAN DARWIS

NIM. 109032100004

JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

KONSEP INSAN KAMIL DALAM DUNIA TASAWUF

(STUDY PEMIKIRAN AL-JILLI)

Pendahuluan

Dalam dunia pemikiran yang berkembang dikalangan umat Islam ada suatu istilah yang sangat dikenal dan begitu popular dikalangan pengkaji dunia islam yaitu apa yang disebut “Insan Kamil”, alias manusia yang sempurna. Insan Kamil merupakan suatu istilah yang selalu dipakai untuk menggambarkan derajat spritual yang paling tinggi, yang menjadi dambaan setiap muslim. Keinginan untuk bisa mencapai derajat sebagai Insan Kamil sangat berarti bagi seseorang yang beriman, karena mereka benar-benar dapat dan bisa merasakan makna sebagai manusia yang sesungguhnya.1

Pencapain manusia kepada posisi atau derajat sebagai Insan Kamil hanya dikenal dalam dunia tasawuf. Banyak cara atau metode yang ditempuh untuk mencapai derajat tersebut yang dirumuskan oleh para sufi masyhur. Diantaranya adalah salah satu tokoh sufi islam yang terkenal yaitu, Al-Jilli, dalam kitabnya, Al-Insanul Kamil fi Makrifat al-Awakhir wa Awa’il. Ia telah menuliskan pendapatnya tentang Insan Kamil dengan cukup Mendetail dan terperinci– sehingga sering dikutip banyak penulis hingga kini.

Biografi

Nama lengkapnya adalah Abdul Karim ibnu Ibrahim ibnu Khalifah ibnu Ahmad ibnu Mahmud al-Jilli. Untuk mengetahui kapan ia lahir dan wafat, dimana ia lahir dan wafat, para sejarahwan dan pengamat sufi berbeda pendapat. Al-Jilli memang sufi yang sangat misterius, itu dikarenakan riwayat hidupnya juga sangat sulit untuk dilacak. Menurut orientalis barat sekaligus pengamat sufi, Ignaz Goldziher, Al-Jilli lahir di sebuah desa yang berada didekat Bagdad yang bernama Al-Jil – yang kemudian dinisbatkan di belakang namanya.2

Akan tetapi pendapat tersebut dibantah oleh Nicholson, pengamat sufi yang lain, dalam sebuah karyanya ia menulis, Al-Jilli bisa diartikan sebagai

1 "Insan al Kamil dalam perspektif Abdul Karim Al-Jili". The Islamic College. Diakses

pada 23 Desember 2014.

2Oman Fathurrahman, dkk (2008). Ensiklopedi Tasawuf. (Bandung: Penerbit Angkasa). h

(3)

pertalian nasab atau keturunan. Jil atau Jilan menunjukkan bahwa Al-Jilli merupakan seseorang dari keturunan orang Jilan, sebuah daerah di wilayah Bagdad3. Argumentasi ini senada dengan beberapa buku mengenai karya Al-Jilli

yang menyebutkan bahwa Al-Jilli masih keturunan dari Syekh Abdul Qadir Al Jilani, seorang tokoh sekaligus pendiri tarekat Qadiriyah4.

Menurut Al-Jilli sendiri dalam beberapa karyanya menyebutkan bahwa garis nasabnya tersambung dari cucu perempuan Syekh Abdul Qadir Jailani. Tapi beberapa ulama, tokoh serta pengamat sufi sepakat, Al-Jilli lahir pada bulan Muharram tahun 767 H di Baghdad, Irak. Namun untuk mengenai wafatnya para ulama dan pengamat sufi – seperti At-Taftazani, AJ. Arberry maupun Umar Ridha Kahhalah – tidak sepakat dan saling berbeda pendapat.

Pendidikan Al-Jilli

Al-Jilli semasa kecilnya dididik dan diajar dengan keras serta penuh disiplin oleh ayahandanya. Memasuki masa remaja – ketika Baghdad telah dikuasai pasukan Mongol – ia beserta keluarganya hijrah ke Zabid di Yaman. Disinilah ia mendapat pendidikan agama secara intensif, antara lain ia pernah berguru kepada Syekh Syarafuddin Ismail ibnu Ibrahim Al-Jabarti (W. 806 H). belakangan ia juga mengenyam pendidikan kepada seorang sufi besar di Hindukusy, India, pada 709 H, tapi tidak ada suatu catatan pun berapa lama ia tinggal di India.

Ia hanya mengisahkan beberapa pengalamannya dalam menimba ilmu, antara lain ketika berkenalan dengan tokoh-tokoh tarekat, terutama tarekat Naqsyabandiyah, Khistiyah, dan Syuhrawardiyah. Ia juga menceritakan hubungan persahabatannya dengan teman seperguruannya. Syihabuddin Ahmad Raddad (w. 821 H). perjalanannya ke Parsi, yang kini lebih dikenal dengan sebutan Iran, untuk bertemu dengan beberapa guru sufi di sana.

Menjelang akhir tahun 799 H, ia pergi menunaikan ibadah haji. Ketika itulah ia sempat berdiskusi dengan beberapa ulama besar yang berada di mekah. Selang 4 tahun kemudian, tahun 803 H, ia pergi berkunjung ke Kairo dan sempat

3R.A. Nicholson, Studies In Islamic Mysticism, (India, 1976), h. 99.

4 Hari Zamhari, Insan Kamil: Citra Sufistik al-Jili tentang Manusia, dalam M. Dawam

(4)

singgah di Universitas Al-Azhar untuk bertemu dengan beberapa ulama disana. Ia juga sempat berkunjung ke Gaza salah satu daerah di Palestina dan menetap disana selama kurang lebih dua tahun, tapi tak lama kemudian ia kembali ke Zabid, karena dia ingin mendalami pengetahuannya dengan berguru kembali kepada guru lamanya, Al-Jabarti. Mungkin di kota inilah ia wafat pada tahun 805 H / 1402 M.

Karya-karya Al-Jilli

Tidak jauh seperti halnya para sufi besar lainnya, ia juga banyak menulis kitab-kitab salah satunya tasawuf. Karya-karyanya ini tergolong sangat berat, salah satunya antara lain adalah “Al-Insanul Kamil fi Makrifat Al-Awakhir wa Awail – yaitu, sebuah kitab yang dianggap telah mendapat pengaruh pemikiran seorang tokoh sufi sekaligus sebagai gurunya, Ibnu Arabi. Kitab Lainnya, Arbaun Mautian, yang menceritakan perjalanan mistisnya, hingga saat ini masih tersimpan di Perpustakaan Dar el-Misriyah, Kairo, Mesir5.

Kitab lainnya yang tak kalah hebatnya adalah Bahr al-Hudus wa al-Qidam wal Maujud wa al-Adam, naskahnya tidak ditemukan, tapi disebutkan dalam kitab Maratib al-Wujud. Sementara kitab Akidah al-Akabir al-Muqtabasah min Ahzab wa Shalawat membicarakan akidah para sufi. Kitab ini juga masih tersimpan di perpustakaan Tripoli, Libya.

Tapi karyanya yang sekaligus menjadi Master Piece nya tetaplah Al-Insanul Kamil, yang telah diterbitkan beberapa kali dan sudah tersebar luas keseluruh dunia. Bahkan beberapa penerbit terkenal dengan bangga menerbitkan karyanya tersebut, seperti Muktabah Shabih dan Musthafa al-Babi Al- Halabi, Kairo dan El-Fiqr, Bairut. Kitab yang terdiri dari dua jilid ini memuat 63 bab, 41 bab di jilid pertama, 22 bab di jilid kedua.

Karna sangat menarik dan menjadi acuan oleh kalangan ilmuan dunia, kitab yang mengemukakan gagasan dan pendapat Al-Jilli tentang Insan Kamil ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Seorang tokoh pengamat dunia islam, Titus Burkehardt, misalnya menerjemahkan ke dalam bahasa Prancis

5Abdul Karim Ibn Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali,

(5)

dengan judul De I’Home Universal, yang kemudian disalin lagi oleh Angela Culme Seymour dalam bahasa Inggris dengan diberi judul Universal Man.

Syarah atau komentar yang menceritakan tentang kitab ini ditulis oleh beberapa ulama dalam beberapa kitab. Diantaranya adalah Mudhihat al-Hal fi Sa’d Masmu’at al-Dajjal, susunan Syekh Ahmad Muhammad ibnu Madani (w. 1071 H/1660 M), yang mengomentari bab 50-54, yang naskahnya hingga saat ini tersimpan di Liberary on India Office, New Delhi. Sedangkan syarah yang lainnya adalah Kayf Al-Bayan ‘an Asrar al-Adyan fi Kitab Al-Insanul Kamil oleh Abdul Ghani An-Nablusi (w. 1159 H) dan Syekh Ali ibnu Hijazi al- Bayumi (w. 1183 H). Kitab karangan yang ditulis oleh Al-Jilli lainnya yaitu, Al-Kahf wa ar-Raqim, memuat dua naskah. Naskah yang pertama Al-Kahf ar-Raqim al-Kasyif al-Asrar bi Ism Allah al-Rahman al-Rahim, dan naskah kedua, berjudul Al-Kahf wa Raqim fi Syarh Bimillah al-Rahman al-Rahim. Belakangan kenudian kitab ini dicetak ulang oleh Dar al-Ma’arif al-Nidzamiyah, Haiderabat, India, pada tahun 1917 M. kitab tersebut merupakan tafsir kesufian terhadap makna Basmalah. Yang sanagt menarik adalah dia berusaha menafsirkan surat Al-Fatihah, kata demi kata, kalimat demi kalimat6.

Karya Al-Jilli lainnya yang berhubungan dengan dunia tasawuf, antara lain, Maratib al-Wujud wa Haqiqat al-Kulli Maujud, yang telah menguraikan secara panjang lebar beberapa hal tentang peringkat “Wujud” dalam ajaran sufi, yang telah diterbitkan oleh Maktabah Al-Jundi, Kairo. Al-Jilli juga pernah menulis syarah atas karya Ibnu Arabi, Ar-Risalah Al-Anwar, didalam sebuah kitab yang berjudul cukup panjang: Al-Isfar ‘an Risalah Anwar fi ma Yatajalla li Ahl al-Dzikir min Asrar li Syekh Al-Akbar.

Ada satu naskah lagi yang tidak kalah penting yaitu, Al-Sifah Nataij al-Asfar. Naskah ini ditemukan oleh Broclemann yaitu seorang peneliti tasawuf, di Leipzig, Austria. Akan tetapi ada sebuah kitab Al-Jilli lainnya yang hilang, judulnya Al-Marqum al-Sirr al-Tauhid al-Mahjul wa Ma’lum, yang banyak membahas rahasia kemahaesaan Allah SWT. Keberadaan naskah ini banyak disebut dalam kitab Al-Kamalat al-Ilahiyah.

6Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman (terjemahan), (Pustaka,

(6)

Ada sekitar 28 jilid dari 30 jilid kitab yang raib dan tidak diketahui keberadaanya hingga kini. Ke-30 jilid itu telah termaktub dalam kitab AL-Daqiqah al-Haqai, ada dua jilid yang masih bisa ditemukan dan kedua jilid itu adalah Kitab Al-Uqtah (jilid pertama) dan kitab Al-Alif (jilid kedua). Sampai saat ini naskah kedua jilid tersebut tersimpan di Dar el-Kutub al-Misriyah, Kairo.

Al-Jilli juga telah menulis sebuah kitab tentang Akhlak yang luhur yang seharusnya telah didapatkan dan ditempuh oleh seorang sufi, judulnya, Al-Ghunyah Arbab al-Sama fi Kasyf al-Ghina ‘an wajh al-Itsma, yang ia tulis pada tahun 803 H di Kairo. Kitab itu bukan hanya mngenai akhlak ideal seorang sufi, ia juga menulis kitab mengenai beberapa pengalaman-pengalaman sufistisnya. Dalam Al-Manadzir al-Ilahiyah. Kitab ini juga banyak menguraikan dasar-dasar akidah yang wajib diyakini bagi seorang muslim, terutama bagi ,mereka yang menempuh jalan tarekat.

Itulah beberapa karya serta kitab yang dikarang oleh Al-Jilli. Produktivitas serta gagasannya masih dapat dibaca hingga sekarang. Kekayaan serta kepandaian intelektualnya sungguh sangat-sangat mempesona publik tasawuf di seluruh jagat raya.

Konsep Insan Kamil menurut Al-Jilli

Menurut seorang tokoh pengkaji tasawuf, Khan Sahib Khaja Khan, kata ”insan” dipandang berasal dari beberapa turunan kata. Misalnya ”uns” yang artinya cinta. Sedangkan sebagian yang lain memandangnya berasal kata ”nas” yang artinya pelupa, karena seorang manusia hidup di dunia ini dimulai dari terlupa dan akan berakhir dengan terlupa. Yang lain lagi juga berkata asalnya adalah ”ain san”, ”seperti mata”. Manusia dapat diibaratkan dengan mata, dengan nama Tuhan menurunkan sifat dan asma-Nya secara terbatas. Insan Kamil, karenanya merupakan gambaran cermin yang merupakan pantulan dari sifat dan asma Tuhan”7.

Dalam konsep Insan Kamil, Tuhan bukanlah merupakan sebuah layar bagi makhluk-Nya, dan makhluk tidak akan tertabiri dari Khalik. Ia menjadi seimbang dalam kedua arah. Ia adalah seseorang yang telah melaksanakan dengan baik

7 Khan Sahib Khaja Khan, Cakrawala Tasawwuf (terjemahan), (Rajawali Pers, Jakarta,

(7)

suluk (perjalanan pencarian) menuju Tuhan dan selalu bersama Tuhan, dan mencapai titik Haqiqat-i-Muhammadi, yang bagaikan sebuah titik yang berjarak antara dua busur atau bahkan lebih dekat lagi. Ia dapat menjadi poros dimana seluruh eksistensi mengelilingi dan menyinari hati makhluk-makhluk lainnya.

Dalam kenyataannya, ini merupakan bentuk pola tidak langsung atau tiruan dari individualitasnya. Ini adalah apa yang disebut Ibn Arabi, seorang tokoh muslim terkenal, sebagai kebijaksanaan individualitas. Penciptaan dimulai dari Muhammad saw, artinya melalui suatu Haqiqat dari ruh Muhammad, kebijaksanaan eksistensi ini mewujud secara lengkap dalam individualitasnya. ”Aku sudah menjadi nabi” ujar Rasul ”ketika Adam masih antara air dan lempung”, artinya Aku sudah diangkat menjadi seorang nabi ketika Adam masih belum dalam pengetahuan Tuhan, dan belum mendapatkan bentuknya mendunia.

Gagasan tentang konsep Insan Kamil al-Jili sebenarnya melanjutkan gagasan yang telah dikemukakan Ibn Arabi. Menurut Ibn Arabi, manusia yang sempurna adalah gambaran alam seluruhnya. Karena Allah ingin melihat substansi-Nya (bertajalli) dalam alam seluruhnya, yang dapat meliputi seluruh hal yang ada, yaitu dikarenakan hal ini bersifat wujud serta hanya kepadanya Allah mengemukakan rahasia-Nya, maka kemunculan manusia sempurna (Insan Kamil). Menurut Ibn Arabi adalah esensi manusia sempurna merupakan kecermelangan cermin alam.

Ibn Arabi telah membedakan manusia sempurna menjadi dua bagian. Pertama manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia baru. Kedua, manusia sempurna dalam kedudukannya sebagai manusia abadi. Karena itu dia memahami bahwa manusia sempurna adalah manusia baru yang abadi, yang muncul, bertahan, dan abadi8.

Bagi Ibn Arabi, tegaknya alam semesta justru oleh manusia dan alam ini akan selalu terpelihara selama manusia sempurna masih ada. Manusia sempurna atau Haqiqat Muhammad (ruh Muhammad) adalah sumber seluruh hukum, kenabian, semua wali, atau individu-individu manusia sempurna (yaitu para sufi yang wali).

8 Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, (Yayasan Nurul Islam, Jakarta,

(8)

Kemudian al-Jili semakin mempertegas gagasan mengenai Insan Kamil. Menurutnya, Insan Kamil adalah Muhammad sendiri secara personal, karena dalam diri beliau terdapat sifat-sifat al-Haq (Tuhan) dan al-Khaliq (makhluk) sekaligus. Dan sesungguhnya Insan Kamil itu adalah esesnsi dari Ruh Muhammad yang diciptakan dalam diri nabi-nabi, wali-wali, serta orang-orang soleh. Insan Kamil merupakan cermin Tuhan (copy Tuhan) yang diciptkan atas nama-Nya, sebagai refleksi dari gambaran nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Seorang Insan Kamil memiliki dua dimensi yaitu sebelah kanan dan sebelah kiri. Yang sebelah kanan merupakan aspek lahir, seperti melihat, mendengar, berkehendak. Sedangkan dimensi sebelah kirinya bercorak batin dan mutlak, seperti azali, baqa, awal, dan akhir.

Menurut al-Jili, Insan Kamil adalah dia yang mampu berhadapan dengan Pencipta dan pada saat yang sama juga mampu berhadapan dengan makhluk. Insan Kamil atau manusia sempurna merupakan Qutb atau eksis, yang merupakan tempat segala sesuatu berkeliling dari permulaan hingga akhir. Oleh karena itu segala sesuatu menjadi ada, maka dia adalah satu (wahid) untuk selamanya. Ia memiliki berbagai bentuk dan ia akan muncul dalam kana’is atau dalam bentuk rupa yang bermacam-macam. Untuk menghormati hal yang demikian, maka namanya akan dipanggil secara berbeda pula dan untuk menghormati selain daripadanya, maka panggilan nama yang demikian tidak akan dipergunakan pada mereka. Siapakah dia? Nama sebenarnya adalah Muhammad, nama untuk kehormatannya adalah Abdul Qosim, dan gelarnya Syamsudin atau Sang Menteri Agama9.

Suatu pengalaman pribadi pernah dikemukakan oleh al-Jili, yakni menurutnya: “sekali waktu saya pernah bertemu dengan dia dalam wujudnya persis seperti syekh saya, Syarifuddin Ismail al-Jabarti, tetapi saya tidak mengetahui bahwa dia (syekh) itu sebenarnya adalah nabi, padahal saya mengetahui bahwa dia (nabi) adalah syekh. Ini adalah satu penglihatan yang saya dapati sewaktu berada di Zabit pada tahun 796 H”. Makna yang sebenarnya yang terdapat dalam peristiwa ini adalah bahwasanya nabi memiliki kekuatan untuk

9 A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawwuf (terjemahan), (Mizan, Bandung, 1985),

(9)

menampilkan diri dalam setiap bentuk. Demikianlah keadaan Muhammad. Akan tetapi manakala ia dalam bentuk lain dan diketahui bahwa ia Muhammad, maka ia akan dipanggil dengan nama sebagaimana yang terdapat dalam bentuk tersebut.

Nama Muhammad tidaklah bisa diterapkan kepada sesuatu hal kecuali kepada ”ide tentang Muhammad” (al-Haqiqatul Muhammadiyya). Maka dengan demikian, ketika muncul dalam bentuk Syibli, maka Syibli berkata kepada kawannya: ”saksikanlah bahwa saya adalah utusan Tuhan”, dan orang tersebut sebagai orang yang telah bersatu dengan roh Muhammad dan telah mengenali Muhammad. Dan ia berkata: ”Saya bersaksi bahwasannya Anda adalah utusan Tuhan.”

Dari keterangan di atas sangat nampak bahwa Haqiqat Muhammad atau Nur Muhammad itu qadim, sebab dia sebagian dari Ahadiyah. Sebagian dari suatu dan satu. Dia tetap ada, Haqiqat Muhammad itulah yang telah memenuhi tubuh Adam dan tubuh Muhammad. Dan apabila Muhammad telah mati seluruh tubuhnya namun Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammad akan tetap ada sebab dia sebagian dari Tuhan. Jadi, Allah, Adam, Muhammad adalah satu. Dan Insan Kamil-pun adalah Allah juga dan Adam pada hakikatnya. Jadi, menurut al-Jili, sebagaimana yang telah dikutip oleh Harun Nasution, manusia sempurna )Insan Kamil) itu merupakan copy (nuskha) Tuhan10.

Tapi dalam keyakinan al-Jili, manusia tidak akan pernah sampai kepada pemahan untuk mengidentifikasi bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan. Dalam sebuah terminologi kaum sufi, berpindahnya Tuhan ke dalam manusia sehingga terjadi persatuan antara hamba dan Tuhan yang disebut esensi. Al-Jili dan kaum sufi pada umumnya merumuskan Tuhan bukan dalam dzat-Nya akan tetapi sebagai sebuah bentuk esensi dan segala sesuatu yang ada dalam jagat raya memiliki unsur esensi ilahi, sehingga makhluk yang disebut manusia sangat dimungkinkan melakukan persatuan atau pertemuan esensi dirinya dengan esensi Tuhan.

Dengan menerima gagasan dari Ibn Arabi tentang kesatuan wujud, al-Jili mengemukakan bahwa penampakkan dari esensi Tuhan itu melalui tiga tahap

(10)

manifestasi beruntun yang disebutnya: ”Kesatuan” (Ahadiah), ”Ke-Diaan” (Hiwiyah), dan ”Ke-Akuan” (Aniyah).

Pada tahapan Ahadiah, esensi Tuhan dalam keabsolutannya baru keluar dari al-a’ma, kabut kegelapan, tanpa nama dan sifat. Pada tahap Huwiyah, nama dan sifat Tuhan telah muncul, akan tetapi Ia masih dalam bentuk potensi. Pada tahap Aniyah, Tuhan telah menampakkan diri sepenuhnya dengan nama-nama-Nya dan sifat-sifat-nama-nama-Nya.

Kesimpulan

Walaupun manusia merupakan esensi dari Tuhan yang paling sempurna diantara semua makhluk-Nya, namun esensi diri Tuhan tidak sama pada semua manusia. Penampakkan diri Tuhan yang sempurna hanya akan terdapat dalam diri Insan Kamil. Dan jalan untuk menuju ke tingkatan Insan Kamil tersebut, menurut al-Jili adalah dengan pengamalan Islam, Iman, Shalat, Ihsan, Syahadah, Shiddiqiyah, dan Qurbah. Melalui beberapa tahapan, yaitu: Mubtadi, Mutawasit, dan Ma’rifat yang kemudian mencapai maqam khatam (penghabisan)11.

Pada tingkat Mubtadi, seseorang sufi telah disinari oleh nama-nama Tuhan, pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan esensi diri-Nya dalam nama-nama-Nya seperti Pengasih, Penyayang, dan seterusnya. Pada tingkat Mutawasit, seorang sufi disinari oleh sifat-sifat Tuhan seperti: Hayat, Ilmu, Qudrat, dan lain-lain. Pada sufi yang demikian Tuhan menampakkan esensi diri-Nya dengan sifat-sifat-diri-Nya. Sedangkan pada tingkat Ma’rifat, seorang sufi disinari oleh zat Tuhan. Pada sufi yang demikian Tuhan telah menampakkan diri dengan zat-Nya. Pada tingkatan ini seorang sufi mencapai maqam khatam, sehingga dapat mencapai atau menjadi Insan Kamil. Ia telah menjadi manusia sempurna, mempunyai sifat ketuhanan dan dalam dirinya terdapat bentuk (shurah) Allah. Ia adalah bayangan Tuhan yang sangat sempurna.

Itulah adalah beberapa gagasan mengenai konsep Insan Kamil menurut al-Jili. Wallahualam bis shawaab...

Referensi

Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1992

(11)

R.A. Nicholson, Studies In Islamic Mysticism, India, 1976.

Abu al-Wafa al-Ghanimi al-Taftazani, Sufi dari zaman ke zaman (terjemahan), Pustaka, Bandung, 1985.

Abdul Karim Ibn Ibrahim al-Jili, al-Insan al-Kamil fi ma’rifat al-Awakhir wa al-Awali, juz 2, Dar al-Fikr.

Hamka, Tasawuf Perkembangan dan Pemurniannya, Yayasan Nurul Islam, Jakarta, 1980.

Harun Nasution, Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jilid II, UI Press, Jakarta, 1995.

A.J. Arberry, Pasang Surut Aliran Tasawwuf (terjemahan), Mizan, Bandung, 1985, 136.

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana partai politik (parpol) pengusung dan pendukung kedua pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati OKU dalam Pemilukada serentak 2015 memanfaatkan jejaring sosial

Stasioner dalam rata-rata adalah fluktuasi data berada di sekitar suatu nilai rata-rata yang konstan, tidak bergantung pada waktu dan variansi dari fluktuasi tersebut.. Dari bentuk

Pelanggan dipertanggungjawabkan terhadap Urus Niaga Perdagangan (sebagaimana yang disebut dalam perkara iii. yang disertai oleh Bank sebagai Ejen, menurut Terma dan

Memenuhi Asosiasi Petani Hutan Rakyat (APHR) Tri Wana Lestari telah membuat dokumen lingkungan yang relevan untuk kegiatan penebangan kayu di APHR , yaitu

Analisis biaya dari pilihan 2 : Biaya yang ditanggung adalah berkurangnya area parkir yang menunjang kegiatan ekonomi di jalan Jenderal Sudirman Salatiga terkait dengan kenaikan

Dari keseluruhan persentase kusioner yang telah ditanyakan kepada para Staff proyek gedung RSUD Pekanbaru tentang sistem Penerapan SMK3 di atas maka untuk mengetahui

Di sisi lain dark pools memiliki dampak positif seperti; menjaga nilai saham dan investor dapat melakukan transaksi sesuai dengan jumlah yang akan