Siklus Hidup Koksidia dan Gambaran Darah Kasus Ancylostomiasis dan Koksidiosis
Puspa Intan Purnama Sari 14/374396/KH/8315
1. Siklus Hidup Koksidia
Koksidia yang terdapat pada kucing antara lain Isospora felis dan Isospora rivolta (Urquhart dkk., 1996). Proses perkembangan dan siklus hidupnya terjadi didalam usus halus dan terkadang di colon.
Oosista
Oosista yang mengandung zigot berada di luar jaringan hospes dan keluar ke lingkungan bersama feses. Tahap ini merupakan tahap yang resisten dalam siklus hidup koksidia, dan dapat berubah menjadi oosista yang infektif dalam keadaan yang sesuai (Urquhart dkk., 1996).
Bentuk yang paling umum dari koksidia antara lain bulat, ovoid atau elips dan ukurannya beragam tergantung dari spesiesnya. Dinding oosista terdiri dari dua lapisan dan pada umunya bening dengan double outline. Pada oosista yang telah bersporulasi, terdapat 2 sporosista (Isospora).
Siklus hidup parasitik koksidia dimulai ketika oosista yang infektif tertelan oleh hospes yang sesuai. Eksitasi melepaskan sporozoit dalam oosista. Dua stimulus berbeda dibutuhkan untuk eksitasi. Pertama ialah CO2 dan kedua oleh tripsin dan cairan empedu.
Terpaparnya oosista oleh 15% CO2 pada fase gas dibutuhkan untuk mempersiapkan oosista
menerima stimulus kedua. Konsentrasi dan lama waktu terpapar tergantung oleh spesiesnya. Rupanya CO2 menstimulasi aktivasi dan produksi enzim maupun membatasi waktunya yang
Reproduksi aseksual atau Skizogoni
Proses ini dimulai dari sporozoit yang memasuki sel epitel dan berubah menjadi membulat. Perubahan bentuk dapat terjadi dibawah nukleus sel epitel maupun dalam nukleus (beberapa spesies tertentu). Sporozoit yang membulat ini disebut dengan tropozoit dan dalam beberapa hari nukleus tropozoit membelah dalam proses yang dinamakan skizogoni untuk membentuk skizont. Ini merupakan generasi pertama skizogoni atau generasi pertama skizon. Pembelahan nukleus merupakan tipe mitosis. Pada I. felis, oosista infektif yang tertelan membentuk 3 generasi skizon dan gamon dalam usus halus (Soulsby, 1982).
Reproduksi seksual atau gametogoni
Faktor yang menginisiasi terjadinya gametogoni masih belum sepenuhnya dipahami. Pada umumnya jumlah mikrogamet (bentuk jantan) lebih banyak dibanding makrogamet (bentuk betina). Akan tetapi jumlah makrogamon lebih banyak dibanding mikrogamon. Makrogamon muda secara morfologi pada umumnya sulit dibedakan dari bentuk tropozoit. Untuk selanjutnya dapat dibedakan dari nukleus makrogamon yang tidak membelah seperti tropozoit.
Mikrogamon terbentuk dari jalur yang sama seperti makrogamon, akan tetapi nukleusnya mengalami pembelahan multiple sehingga memproduksi mikrogamet lebih banyak. Rupturnya mikrogamet menginisiasi pelepasan mikrogamet (Levine, 1990).
Fertilisasi oleh mikrogamet dapat terjadi dimana saja pada permukaan makrogamet. Selanjutnya zigot terbentuk dan dinding oosista terbentuk di sekitarnya. Ketika dinding sista telah terbentuk sempurna, oosista dikleuarkan dari jaringan lalu keluar bersama feses. Reproduksi seksual pada I. felis terjadi pada hari ketujuh atau ke delapan infeksi (Soulsby, 1982).
Sporogoni
Dengan beberapa pengecualian, sporulasi tidak terjadi sampai dengan oosista dilepaskan keluar tubuh hospes. Pada awalnya, zigot hampir memenuhi rongga oosista, namun dalam beberapa jam diluar hospes, protoplasma membentuk sporont dan membentuk area bening antara zigot dan dinding oosista. Waktu yang dibutuhkan untuk sporulasi mebentuk tahap infektif sangat spesifik pada tiap spesies. Oksigen dan kelembaban sangat dibutuhkan dalam proses ini dan dalam temperatur yang konstan, persentaseoosista yang terbunuh dapat menurun. Temperatur optimum untuk sporulasi ialah sekitar 30oC. Pada
umunya, oosista yang bersporulasi lebih resisten padda suhu yang dingin dan dapat bertahan selama lebih dari dua minggu pada sihu -12oC sampai dengan -20oC. Bentuk yang belum
Pada umunya, infeksi koksidia self-limiting (terbatas) dan reproduksi aseksual tidak berlangsung tidak terbatas. Tanpa adanya reinfeksi, hanya satu siklus perkembangan yang dapat terjadi. Dibawah kondisi alami, infeksi berulang biasanya terjadi. Hasil dari reinfeksi ialah terbentuknya imunitas hospes. Terbentuknya imunitas hospes dapat mereduksi potensial biotik dari koksidia (Soulsby, 1982).
2. Gambaran Darah
Pada kasus Kucing “Shaggy” umur 4 bulan dengan berat badan 0,9 kilogram dengan diagnosa ancylostomiasis dan koksidiosis dilakukan pemeriksaan darah. Hasil pemeriksaan darah menunjukkan adanya leukositosis dengan jumlah total leukosit 42850 sel/mm3 dengan
batas normal pada kucing 5500-19500 sel/mm3 (Weiss, 2010). Neutrofil terjadi peningkatan
dengan jumlah 30423 sel/mm3 dengan normalnya 2500-12500 sel/mm3. Eosinofil juga turut
meningkat sebesar 8570 sel/mm3 dengan batas normal pada kucing 0-1500 sel/mm3. Untuk
monosi mengalami sedikit peningkatan dari batas normal ialah 857 sel/mm3 dengan batas
normal pada kucing 0-850. Limfosit tidak dijumpai adanya peningkatan yaitu sebesar 3428 sel/mm3 dengan batas normal 1500-7000 sel/mm3. Dari hasil pemeriksaan dapat dikatakan
bahwa kucing mengalami neutrofilia, eosinofilia dan monositosis.
menghisap darah (Subronto, 2006). Selain itu, Ancylsotoma juga menyekresikan peptida yang mampu menghambat koagulasi darah melalui mekanisme yang unik (Gillespie, 2001). Hal ini juga menyebabkan adanya reaksi keradangan, sehingga memicu terjadinya neutrofilia. Derajat neutrofilia yang terjadi tergantung dari ukuran dan lesi keradangan (Kociba, 1996).
Berdasarkan pemeriksaan darah juga terjadi eosinofilia. Eosinofilia diakibatkan oleh adanya reaksi hipersensitivitas pada kondisi seperti infestasi parasit dan reaksi alergi (Coles, 1974). Infestasi Acylostoma dan Koksidia yang terjadi dalam kasus ini merupakan penyebab utama terjadinya eosinofilia. Parasit yang menyebabkan eosinofilia merupakan parasit yang melekat pada jaringan tubuh hospes (Coles, 1974). Eosinofil berperan ganda dalam proses pertahanan terhadap parasit, antara lain sebagai penghancur langsung pada cacing dan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen yang dilepaskan oleh antigen cacing (Caroll dan Grove, 1984).
Daftar Pustaka
Caroll, S.M dan Grove, D.I. 1984. Parasitological, Hematologic, and Immunologic Responses in Acute and Chronic Infection of Dogs with Ancylostoma ceylanicum : A Model of Human Hookworm Infection. The Journal of Infectious Disease. Vol 150 No.2
Coles, E.H. 1974. Veterinary Clinical Pathology 2nd ed. W.B. Saunders Company. Philadelphia. 71-81
Gillespie, S.H. 2001. Intestinal Nematoda. Dalam: Gillespie. S. H, Pearson, R. D. (eds). Principles and Practice of Clinical Parasitology. John Willey & Sons, Ltd. West Sussex, England. 568-571
Kociba, G.J. 1996. Leukocytosis and Leukopenia. Proceedings of The 20th Waltham/OSU symposium.
Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 55-57, 71-74
Soulsby, E.J.L. 1982. Helminths, Atrhropods and Protozoa of Domesticated Animal 7th ed. The English Languange Book Society. London. 594-599,622-624
Subronto. 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Weiss, D.J dan Wardrop, K.J. 2010. Schalm’s Veterinary Hematology 6th ed. Wiley-Blackwell. Iowa. 813-815