0
AGAMA DAN BISNIS
(Studi Komodifikasi Agama dalam Bisnis
Perspektif Yuridis dan Sosiologis di Mojokerto)
PROPOSAL DISERTASI
Penulis:
Imron Rosyadi
PASCASARJANA
1
Perspektif Yuridis dan Sosiologis di Mojokerto)
A.Konteks Penelitian
Agama dan bisnis memuat tiga hubungan interaktif. Pertama, agama dipisahkan dari bisnis. Keduanya bersifat paradoks. Agama diasumsikan
sebagai hal yang sakral, sementara bisnis merupakan kegiatan yang profan. Karena sifat keduanya berbeda dan cenderung berlawanan, agama perlu dipisahkan dari bisnis. Pemikiran sekularisme ini meletakkan agama pada di
tempat ibadah, sedangkan kegiatan bisnis berada di luar tempat ibadah. Agama akan dianggap kotor bila ia dipadukan dengan bisnis. Demikian pula, bisnis
dinilai lambat dan kurang berkembang bila ia diintervensi oleh agama. Bisnis yang dianggap kotor ini lazim dinyatakan sebagai imoral bussines. 1
Kedua, agama dipadukan dengan bisnis. Asumsinya adalah muatan
bisnis dalam ajaran agama. Secara garis besar, ajaran agama mengandung dua dimensi, yaitu vertikal dan horisontal. Dimensi vertikal memuat hubungan
antara manusia dan Tuhannya. Dimensi horisontal mengandung hubungan antara manusia dan makhluk Tuhan. Kegiatan bisnis diatur oleh agama sebagai hubungan antara sesama manusia dalam memenuhi kebutuhan masing-masing.
Ajaran agama mengenai bisnis bisa berwujud etos yang membangkitkan semangat pemeluk agama untuk menjalankan bisnis. Dalam studi Khusniati,
Jamaah Tabligh memiliki etos yang tinggi. Padahal, selama ini mereka
dikesankan sebagai kelompok yang kurang memperhatikan urusan duniawi.
Mereka mampu menggunakan ajaran agama sebagai penggerak motivasi.2
Wujud lainnya adalah etika yang memuat nilai-nilai moral, sehingga kegiatan
bisnis terarah pada kebaikan. Selain etos dan etika, ajaran agama juga berwujud strategi bisnis. Hal ini dapat tergambar melalui beberapa keputusan bisnis oleh penyebar ajaran agama. Dalam Islam, tidak sedikit hadis memuat
praktek Rasulullah dalam berbisnis, seperti hadis tentang larangan penimbunan barang kebutuhan pokok, hadis yang melarang barang tanpa melihat harga
pasar, atau hadis tentang model bagi hasil pertanian. Praktek ini dilakukan langsung oleh Rasulullah maupun oleh para sahabat dengan persetujuan dari Rasulullah.
Di sisi lain, paduan agama dan bisnis akan menghasilkan dua nilai etika. Bisnis bisa terarah pada moral yang terpuji bila ia didampingi oleh
agama. Dalam hal ini, variabel determinan adalah agama. Asumsinya adalah semakin tinggi nilai keagamaan yang dipraktekkan dalam bisnis, semakin tinggi pula tingkat keberhasilan bisnis. Demikian ini diistilahkan dengan
pernyataan: good ethics, good bussiness. Ketika nilai-nilai kejujuran sebagai ajaran agama dipraktekkan dalam bisnis, maka kepercayaan (trust) muncul dalam diri konsumen. Akhirnya, kejujuran bisnis bisa merubah konsumen
menjadi pembeli (buyer), bahkan pelanggan (customer) atau mitra bisnis
2 Rofiah Khusniati, “Agama dan Bisnis: Studi Etos Kerja Pengusaha di Kalangan Jamaah Tabligh Kabupaten Ponorogo”, Prosiding Seminar Nasional dan Temu Ilmiah Jaringan Peneliti
(partner). Begitu pula, nilai-nilai keagamaan akan hidup dinamis ketika ia
digerakkan melalui bisnis. Dalam hal ini, variabel determinannya adalah bisnis. Ajaran agama mengenai filantropi seperti zakat, sedekah, infak, dan wakaf
memerlukan harta yang diperoleh melalui kegiatan bisnis. Oleh karena itu, asumsinya adalah semakin tinggi tingkat keberhasilan bisnis, semakin besar pengamalan ajaran agama. Asumsi ini dapat dinyatakan dengan kalimat: good
bussiness, good ethics.3
Ketiga, agama dan bisnis merupakan entitas yang berbeda. Keduanya
tidak dipertentangkan. Keduanya bisa pula bersatu dan bisa pula berpisah. Masing-masing memiliki tugas dan wilayah yang berbeda dan saling melengkapi. Bisnis yang peduli dengan moral maupun agama ini dinamakan
amoral business. McKenna menegaskan, amoral bisnis justru mereduksi kualitas hidup4. Untuk itu, amoral bisnis dianggap sebagai mitos oleh Mawere.5
Seorang pebisnis dapat dipercaya dalam wilayah bisnis, namun ia tidak dianggap kompeten dalam wilayah agama. Demikian pula, seorang pakar agama kurang dipercaya dalam membahas masalah bisnis. Akan tetapi, pelaku
bisnis dan pemuka agama dapat bekerja sama maupun berdiskusi. Manajemen modern membuat spesialisasi tugas untuk depertemen tertentu. Ketika kebutuhan masyarakat bermuara pada bisnis, maka pebisnis atau pakar bisnis
bisa memasuki peluang tersebut, bukan tokoh agama atau pakar agama.
3, Ibid., 62-67.
4 Richard J. McKenna, “Explaining Amoral Decision Making: An External View of a Human Disaster”, Journal of Business Ethics (Vol.15 tahun 1996), 681-694.
Spesialisasi pekerjaan tidak hanya diterapkan untuk individu,
melainkan pula untuk lembaga. Bisnis yang ditujukan untuk perolehan laba diwujudkan dalam bentuk lembaga bisnis. Sementara itu, agama dimaksudkan
untuk perolehan pahala, sehingga lembaga agama dinyatakan sebagai lembaga nirlaba. Lembaga agama akan dianggap tabu bila ia ditargetkan untuk pencarian laba. Akan tetapi, tidak sedikit lembaga agama mengolah bisnis
untuk pengembangan agama. Model ini dapat dibenarkan bila lembaga agama tersebut berstatus wakaf. Artinya, laba bisnis tidak dimiliki oleh perorangan,
melainkan untuk kelembagaan. Dalam hal ini, pengelolaan bisnis tetap diberikan otoritasnya kepada pebisnis, bukan pemuka agama.
Dengan tiga pola di atas, keterlibatan pemuka agama dalam kegiatan
bisnis menarik untuk dikaji. Keterlibatan ini bisa memunculkan komodifikasi agama. Komodifikasi berasal dari kata komoditas. Barang atau jasa yang
menjadi obyek bisnis dinamakan komoditas. Komodifikasi agama menggunakan agama sebagai produk atau strategi bisnis. Produk agama yang dijadikan sebagai komoditas bisnis berasal dari ajaran agama yang menuntut
adanya kegiatan bisnis. Di antara produk agama adalah ibadah umroh yang saat ini semarak sebagai komoditas bisnis. Komoditas umroh juga tidak terlepas dari penggunaan agama sebagai strategi bisnis. Dalam strategi bisnis,
segmentasi pasar (segmenting), target pasar (targetting), dan pembentukan citra usaha (positioning) diimplementasikan oleh pemuka agama. Tentu saja,
sebagaimana seorang pebisnis. Namun, pemuka agama memiliki nilai tambah,
yaitu penggunaan agama sebagai instrumen kepercayaan. Karena agama menjadi tolok ukur moralitas, konsumen lebih percaya kepada pemuka agama
dibandingkan pebisnis yang tidak memiliki latar belakang agama.
Bisnis yang dijalankan oleh pemuka agama akan menemukan masalah yang lebih besar ketika bisnis tersebut bermasalah. Masalah bisnis mempunyai
ragam bentuk. Ia tergantung pada akar masalah dan dampaknya. Masalah bisnis pemuka agama yang sering ditemukan adalah wanprestasi atau inkar
janji. Dampak masalah bisnis yang dijalankan oleh pemuka agama tidak hanya berakibat pada kerugian finansial, tetapi juga ia bisa meruntuhkan kewibawaan agama. Kesalahan individu berdampak pada kesalahan lembaga.6 Dengan
demikian, studi masalah bisnis oleh pemuka agama juga menarik untuk ditelaah dari sisi yuridis maupun sosiologis. Secara yuridis, masalah bisnis bisa
menimbulkan sengketa perdata yang diselesaikan dalam pengadilan tata niaga maupun arbitrase. Namun, ia juga bisa masuk dalam hukum pidana bila delik perbuatan yang melawan hukum telah ditemukan. Karena wanprestasi bisnis
berakibat pada kerugian yang ditanggung oleh subyek hukum, delik pidananya berupa delik aduan. Tanpa adanya pengaduan, pemuka agama tidak bisa dijerat secara pidana maupun perdata.
Secara sosiologis, kasus wanprestasi bisnis yang melibatkan pemuka agama berakibat pada dampak yang besar dan luas. Hal ini dipengaruhi oleh
tingkat kepercayaan konsumen kepada pemuka agama. Semakin tinggi tingkat
6 Roger Friedland, “Institution, Practice, and Ontology: Toward Religious Sosiology”, Research in
kepercayaan, semakin luas masyarakat yang menjadi korban, dan semakin
besar jumlah kerugiannya. Agama merupakan strategi yang efektif dalam menanamkan kepercayaan. Pemuka agama dilihat sebagai sosok yang memiliki
kedalaman ilmu, budi pekerti yang luhur, serta pengaruh yang luas. Dampak ini menimbulkan keresahan dan mengganggu ketertiban. Faktor sosiologis ini penting untuk digali dari para penegak hukum saat mereka menangani kasus
wanprestasi bisnis yang melibatkan pemuka agama.
Tidak semua kerugian bisnis yang dijalankan pemuka agama
disebabkan oleh wanprestasi. Kegiatan bisnis lebih dipengaruhi oleh situasi lingkungan bisnis daripada kompetensi pebisnis. Oleh karena itu, banyak pemuka agama mengalami penurunan bisnis di luar kemampuannya. Namun,
hal ini sulit diterima oleh konsumen. Pemuka agama pun terjerat masalah hukum karena laporan pengaduan. Dengan demikian, pemilahan kasus penting
untuk dilakukan, agar masalah hukum dapat teridentifikasi. Di samping itu, kegiatan bisnis yang melibatkan pemuka agama juga dapat dibandingkan. Tidak sedikit pemuka agama berhasil dalam membangun bisnis dan
mengembangkannya. Telaah keberhasilan bisnis dengan komoditas yang sama akan membantu untuk melihat akar masalah bisnis yang tidak berhasil. Jadi, komodifikasi agama dalam bisnis perlu diteliti secara mendalam,
komprehensif, dan integral.
Kasus-kasus komodifikasi agama dalam bisnis yang melibatkan
Mojokerto. Secara kuantitatif, kasus komodifikasi agama berulang kali dengan
pemuka agama yang berbeda. Unsur kharisma pemuka agama bagi masyarakat Mojokerto lebih menonjol. Kharismatik ini dilihat dari pola budaya masyarakat
yang melihat sisi supranatural.
Ada dua kasus komodifikasi agama di Mojokerto yang tersangkut hukum pidana maupun perdata. Kedua kasus ini melibatkan tokoh yang dikenal
luas oleh masyarakat Mojokerto dan di luar Mojokerto. Kedudukan kedua tokoh ini juga berada pada tingkat elit dalam organisasi sosial keagamaan.
Jumlah korban dari komodifikasi agama ini juga besar. Demikian juga, kerugian yang ditimbulkan juga tergolong besar. Di sisi yang lain, beberapa pemuka agama masih menjalankan bisnis dengan komodifikasi agama.
Kenyataannya, mereka masih berkomitmen dan dipercaya oleh masyarakat. Kasus-kasus yang sama dan akibat yang berbeda ini menarik untuk diteliti.
B.Fokus Penelitian
Studi komodifikasi agama dalam bisnis dapat ditelaah dari berbagai sudut pandang. Agar pembahasan tidak melebar, penelitian ini difokuskan pada
sisi perbuatan pemuka agama dalam menjalankan bisnis. Perbuatan ini bisa muncul karena motif. Selain itu, perbuatan tersebut juga mengandung dampak. Dari telaah perbuatan pula, unsur komodifikasi agama dapat ditemukan.
Dengan fokus pada perbuatan, penelitian ini menghindari pemikiran pemuka agama mengenai bisnis. Fokus pada perbuatan terarah bisnis yang
Perbuatan merupakan obyek kajian hukum, sehingga penelitian ini lebih
mengarah pada aspek hukum. Faktor-faktor sosial yang ditemukan dapat menjadi penafsir dan penguat pada aspek hukumnya.
C.Rumusan Masalah
Perbuatan bisnis pemuka agama dapat memunculkan beberapa masalah
yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini hanya mnegambil tiga masalah yang dirumuskan sebagai berikut.
1. Apakah bentuk komodifikasi agama yang dilakukan pemuka agama dalam kegiatan bisnis?
2. Apakah bentuk delik yang dikenakan pada kasus komodifikasi agama dalam
bisnis?
3. Apakah dampak sosial akibat komodifikasi agama dalam bisnis yang
menjadi pertimbangan bagi para penegak hukum?
D.Tujuan Penelitian
Penelitian ini ditujukan untuk memberikan gambaran yang utuh dan mendalam atas jawaban dari masalah penelitian. Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Untuk membuat dekripsi dan klasifikasi mengenai bentuk komodifikasi agama yang dilakukan pemuka agama dalam kegiatan bisnis.
3. Untuk menggambarkan dampak sosial akibat komodifikasi agama yang
dijadikan pertimbangan bagi para penegak hukum.
E.Signifikansi Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini termasuk dalam kategori
multidisipliner. Pada awalnya, persoalan komodifikasi agama merupakan bagian dari ilmu-ilmu sosial, semacam Sosiologi dan Antropologi. Dalam
penelitian ini, komodifikasi dikembangkan juga dengan teori-teori dalam ilmu hukum. Karena itu, penilaian atas komodifikasi agama terdiri atas dua pandangan. Pandangan pertama melihat komodifikasi agama sebagai fakta
sosial yang bukan termasuk kejahatan. Dalam hal ini, komodifikasi agama ditelaah dan dianalisis dengan teori-teori Sosiologi. Sementara itu, pandangan
kedua mengamati komodifikasi agama sebagai kejahatan, bukan sekedar fakta sosial. Teori-teori dalam Kriminologi dimanfaatkan untuk menemukan unsur deliknya. Pengenaan delik dalam komodifikasi agama dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku memerlukan bantuan dari teori-teori Ilmu Hukum. Dengan demikian, disiplin ilmu yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Kriminologi, dan Ilmu
Hukum.
Karena pemuka agama dijadikan sebagai subyek penelitian, penelitian
Kajian ini melihat praktek keagamaan dari ajaran Islam yang termaktub dalam
bentuk teks. Sifat dari teks al-Qur’an dan teks al-Hadis adalah statis. Tidak ada perubahan dalam teks, meskipun pemahaman dan penafsirannya dapat
mengalami perubahan. Dari pemahaman atas teks ini, perilaku keagamaan mengemuka. Tentu saja, faktor lingkungan dan perubahan sosial ikut mewarnai perilaku keagamaan individu maupun masyarakat. Dalam studi agama, perilaku
keagamaan masyarakat dipengaruhi oleh perilaku keagamaan pemuka agamanya. Hubungan paternalistik ini tetap berlangsung sepanjang otoritas
tafsir atas teks ajaran agama masih dipegang oleh pemuka agama. Jadi, teori-teori mengenai agen perubahan sosial dikembangkan dalam penelitian ini untuk sosok pemuka agama.
Secara praktis, hasil penelitian ini bisa dijadikan acuan hukum atas problematika komodifikasi agama. Setidaknya, ada tiga lembaga yang bisa
memanfaatkan hasil penelitian ini. Pertama, lembaga keagamaan yang berkepentingan untuk melindungi umat beragama dari komodifikasi agama oleh para pemuka agama. Melalui hasil penelitian ini pula, lembaga keagamaan
bisa memperoleh faktor-faktor yang mendorong para pemuka agama untuk melakukan komodifikasi agama. Harapannya adalah adanya pencegahan lebih dini oleh lembaga keagamaan atas perilaku para pemuka agama yang menjadi
anggotanya.
Kedua, lembaga bisnis yang berkepentingan dalam mempertahankan
perilaku yang tidak jujur. Perilaku komodifikasi agama bisa mengarah pada
perilaku yang tidak jujur. Untuk itu, lembaga bisnis perlu memperoleh informasi mengenai gejala-gejala komodifikasi agama yang mengarah pada
perilaku yang tidak jujur.
Ketiga, lembaga hukum yang menangani perkara perdata maupun pidana akibat komodifikasi agama. Kasus ini sangat kompleks. Ia tidak bisa
dianalisis dengan pendekatan logika hukum semata, melainkan keterlibatan analisis sosial perlu diajukan. Para praktisi hukum akan mendapatkan
gambaran mengenai hal tersebut dari hasil penelitian ini.
F. Kajian Pustaka
Studi tentang komodifikasi agama telah dilakukan oleh banyak peneliti. Studi ini merupakan paduan antara ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu humaniora.
Obyek kajiannya berupa fenomena keagamaan, namun pendekatannya bisa menggunakan Ilmu Komunikasi, Ilmu Ekonomi, Antropologi, Sosiologi, dan Ilmu Hukum. Nurhasanah7 dan Fakhruroji8 menelaah Komodifikasi agama
dengan pendekatan Ilmu Komunikasi. Khraim mendalaminya dengan pendekatan Ilmu Ekonomi.9 Dengan pendekatan Ilmu Ekonomi pula, studi
Muthohar dan Triatmaja justru menempat ulama sebagai veriabel determinan
7 Sulistiani Nurhasanah, “Komodifikasi Agama Islam dalam Iklan Televisi Nasional”, Skripsi (Yogyakarta: Prodi SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2014)
8 Moh. Fakhruroji, “Komodifikasi Agama Sebagai Masalah Dakwah”, Jurnal Ilmu Dakwah (Vol. 5 No. 16 Tahun 2010), 1-17.
9 Hamza Khraim, “Measuring Religiosity in Consumer Research From an Islamic Perspective”,
dalam tingkat konsumsi masyarakat.10 Halimatussa’diyah11, Spickard12 dan
Goulding13 mengkaji komodifikasi dengan pendekatan Sosiologi dan
Antropologi. Penelitian ini mempelajari komodifikasi agama dengan
pendekatan Sosiologi Hukum dan Ilmu Hukum. Dalam penelusuran beberapa literatur, pendekatan Ilmu Hukum dalam kajian komodifikasi agama belum ditemukan.
Secara tematis, studi komodifikasi agama terbagi dalam tiga aspek. Pertama, komodifikasi agama yang disorot dari sisi pelakunya. Muthohar dan
Triatmaja, Halimatussa’diyah, dan Spickard menekankan aspek pelaku individu maupun masyarakat. Kedua, komodifikasi agama yang ditelaah dari sudut perbuatannya. Kajian ini ditelaah oleh Nurhasanah, Fakhruroji, Khraim,
Goulding, Mirantika dan Marbun14, Sinha15, Einstein16, serta beberapa penulis
dalam buku yang diedit oleh Kitiarsa17 maupun Fealy dan White18. Ketiga,
10 Muchsin Muthohar dan Amin Ramadhan Triatmaja, “Pengaruh Endorser Ulama Terhadap Sikap Dan Minat Beli Konsumen: The Influence of Islamic Preacher Toward The Attitude And Consumers Purchase Intention”, Jurnal Bisnis dan Ekonomi (Vol. 19, No. 1 tahun 2013)m 86-99.
11 Iim Halimatussa’diyah, “The Religious Market in Contemporary Indonesia: A Case Study of The eden-Salamullah Group”, Jurnal Studia Islamika (Vol. 15 No. 1 Tahun 2008), 101-121. 12 James V. Spickard, “Religion in Consumer Society: Brands, Consumers, and Markets”, Journal
of Contemporary Religion (Vol. 30 No. 1 tahun 2014), 155-157,
13 Christina Goulding, “The Commodification of the Past, Post Modern Pastiche, and the Search for Authentic Experiences at Contemporary Heritage Attractions”, European Journal of Marketing
(Vol. 34 No. 7 Tahun 2000), 835-853.
14 Noni Mirantika dan Saortua Marbun, “Pengaruh Modernisasi terhadap Perkembangan Komodifikasi Mukena”, Jurnal Studi Kultural (Vol. I No. 2 Tahun 2016), 116-123.
15 Vineeta Sinha, Religion and Commodification: ‘Merchandizing’ Diasporic Hinduism (New York: Routledge, 2011).
16 Mara Einstein, Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age (New York Routledge, 2008).
komodifikasi agama yang terfokus pada sisi media. Ibrahim dan Ali Akhmad19
menyorotinya dengan pendekatan budaya media.
Penelitian ini juga melihat sisi perbuatan komodifikasinya. Namun
demikian, suatu perbuatan tidak bisa dilepaskan dari pelakunya. Perbedaan penelitian ini yang dibandingkan dengan kajian-kajian terdahulu adalah perbuatan komodifikasi yang dilihat sebagai perbuatan hukum. Meskipun
perbuatan ini belum dinyatakan sebagai perbuatan yang melawan hukum, namun ia dianggap sebagai pendorong kuat untuk melakukan perbuatan yang
melawan hukum.
Disertasi terbaru mengenai komodifikasi agama ditulis oleh
Hariyanto.20 Disertasi ini telah diujikan di Program Doktor Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Unversitas Airlangga Surabaya tahun 2018. Disertasi
ini mendalami komodifikasi agama dengan kasus pelaksanaan umroh di Jawa Timur dari aspek sosiologis, tepatnya analisis teori Baudrillard. Sementara itu, penelitian ini idak hanya menyoroti komodifikasi agama dari sisi sosiologis,
melainkan juga dari aspek yuridis. Di samping itu, analisis sosiologis penelitian ini menggunakan teori strukturasi dari Anthony Giddens. Dengan demikian, penelitian ini memiliki perbedaan dengan disertasi Hariyanto tersebut.
19 Idi Subandy Ibrahim dan Bachruddin Ali Akhmad, Komunikasi dan Komodifikasi (Jakarta: Yayaysan Pustaka Obor Indonesia, 2014), 18.
20 Didik Hariyanto, “Komodifikasi Agama dalam Pelaksanaan Umrah di Jawa Timur: Pemaknaan Jamaah Terhadap Komodifikasi Umrah di Jawa Timur dalam Perspektif Teori Baudrillard,
G.Konseptualisasi
Komodifikasi berasal dari kata komoditi, yaitu barang atau jasa yang bisa dijadikan obyek bisnis. Suatu barang atau jasa belum dinyatakan sebagai
komoditas sebelum ia ditawarkan kepada konsumen. Penawaran ini berarti pemberian nilai atas suatu barang atau jasa. Semula, barang atau jasa tersebut tidak memiliki nilai. Nilainya tergantung pada kesepakatan antara penawaran
dan permintaan. Ia bisa bernilai tinggi bila permintaannya lebih besar dari penawarannya. Nilai komoditas pun mengikuti harga pasar. Dengan demikian,
komodifikasi merupakan upaya memasarkan barang atau jasa yang berangkat dari proses produksi hingga konsumsi. Dengan kalimat yang singkat, komodifikasi adalah “proses perubahan nilai guna menjadi nilai tukar
(commodification is the process of transforming use values into exchange values)”21
Agama yang dijadikan sebagai komoditas diproduksi sesuai dengan selera pasar. Produk agama bisa berwujud barang perlengkapan kegiatan keagamaan atau jasa bimbingan agama. Dalam sistem produksi, input, proses,
dan output berlaku untuk produk agama. Inputnya berwujud modal bahan baku (raw-input) maupun peralatan yang digunakan untuk produksi (instrument input). Prosesnya pun melalui teknik, metode, hingga strategi. Output produk
agama juga menggunakan target hasil, waktu, dan modal. Pendek kata, komodifikasi agama tidak terlepas dari manajemen bisnis, baik eksplorasi
komponen-komponen manajemen maupun efektifitas dan efesiensi
fungsi manajemen. Keseluruhan pengelolaan manajerial tersebut dikerjakan
oleh pemuka agama. Jadi, komodifikasi agama adalah komersialisasi agama atau mengubah keimanan dan simbol-simbolnya menjadi komoditas yang dapat
diperjualbelikan untuk mendapat keuntungan.
Komodifikasi agama lahir, karena adanya konsumsi simbol keagamaan
(consumer ritualized symbolic practices). Konsumsi simbol keagamaan ini
mengandung lima faktor pendukung. Pertama, konsumsi simbol keagamaan menciptakan objek dari agama yang dapat dijual dan dikonsumsi melalui
proses sosial. Ia juga disebarkan dengan jaringan sosial yang ada dalam masyarakat. Contoh sederhana adalah penjualan buku-buku agama. Kedua, konsumsi simbol keagamaan menciptakan pembelaan agama pada komunitas
sosial. Kegiatan atau ritual yang telah biasa dilakukan diberikan objektifikasi. Setelah itu, ia mendapatkan pembelaan seperti sebuah produk. Ketiga,
konsumsi simbol keagamaan menciptakan pertunjukan/tontonan agama.
Keempat, konsumsi simbol keagamaan dijadikan sebagai lahan pencarian keuntungan dan pencarian ketenangan psikologi. Kelima, konsumsi simbol
keagamaan difungsikan sebagai pengembang layanan yang rasional. Hal ini dipengaruhi oleh teori moderenisasi seperti Mcdonalization. Praktek atau kegiatan keagamaan harus diciptakan serasional mungkin, agar ia dapat
diterima oleh masyarakat perkotaan.22
Pemuka agama adalah orang yang diberikan otoritas dalam memahami
dan memahamkan maksud pesan-pesan ajaran agama. Otoritas ini memperoleh
legitimasi dari teks keagamaan. Status pemuka agama ini diberikan oleh
masyarakat sesuai dengan peranannya. Semakin besar peranannya, semakin tinggi tingkat statusnya. Dalam stratifikasi sosial, pemuka agama menduduki
kelas atas. Ia juga menjadi pemimpin non formal bagi masyarakatnya, karena pemikirannya dijadikan rujukan referensi dan perilakunya dijadikan teladan. Dalam perubahan sosial, pemuka agama berperan sebagai agen perubahan. Ia
mentransformasikan nilai-nilai dalam masyarakat sekaligus menginternalisasikannya. Oleh karena itu, pemuka agama yang memperoleh
legitimasi dari teks keagamaan dan otoritas dari masyarakat sangat tidak terpuji bila ia membuat agama sebagai produk yang dipasarkan. Nilai pasar terlalu kecil bagi agama. Hal ini berarti, bahwa pemuka agama yang melakukan
komodifikasi agama memperkecil dan merendahkan nilai agama.
Perbuatan komodifikasi agama termasuk perilaku yang tercela. Namun,
keburukan moral dari komodifikasi agama sulit untuk diamati, karena ia memerlukan motif dari pelakunya. Sementara itu, pihak sasaran juga belum bisa dinyatakan sebagai korban. Ia bisa diuntungkan dengan komodifikasi
agama. Ia baru dinyatakan sebagai korban, setelah ia mengadukan perkaranya kepada penegak hukum. Untuk itu, komodifikasi agama dapat dianalisa secara yuridis bila motif dan pengaduan korban ditemukan. Namun demikian,
pemidanaan kasus komodifikasi agama dapat juga dihentikan oleh penegak hukum, karena adanya alasan sosiologis tertentu, seperti perdamaian di antara
Subyek komodifikasi agama yang bisa dijerat oleh hukum adalah
pelaku yang melakukan kejahatan pidana maupun perdata dengan memanfaatkan simbol agama untuk meraih keuntungan finansial. Jika
seseorang menggunakan simbol agama untuk melakukan kejahatan yang tidak terkait dengan perolehan keuntungan finansial, maka ia bukan termasuk subyek komodifikasi agama. Perbuatan pencurian dan korupsi bukan termasuk
komodifikasi agama, meskipun subyeknya adalah orang yang menggunakan simbol agama. Perbuatan ini murni merupakan kejahatan, bukan perbuatan
bisnis. Demikian pula, kebangkrutan bisnis juga bukan termasuk komodifikasi agama, meksipun ia dilaporkan secara perdata maupun pidana, selama simbol agama tidak dijadikan sebagai komoditas. Dengan demikian, komodifikasi
agama bukan termasuk perbuatan melawan hukum baik formil (kepastian hukum) maupun materiil (nilai keadilan). Tidak ada klausul tersirat maupun
tersurat mengenai komodifikasi agama dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hukum Islam pun tidak melarang pemuka agama untuk menjalankan bisnis. Akan tetapi, perbuatan bisnis yang melawan hukum akan
berdampak lebih besar bila ia diiringi oleh komodifikasi agama. Karena itu, posisi komodifikasi agama dalam delik pidana maupun perdata penting ditelaah secara lebih dalam.
Perbuatan yang melawan hukum selalu disertai oleh motif dan dampak. Keduanya sulit terukur, sehingga keduanya selalu diperdebatkan dan diabaikan.
Masing-masing memiliki corak tersendiri.23 Kedua hal ini terumuskan dalam
beberapa klausul peraturan perundang-undangan. Sekalipun komodifikasi agama bukan termasuk delik, namun ia tidak bisa diabaikan, ia bagian dari
motif dan kehendak. Selain itu, dampaknya lebih besar dibanding kasus serupa yang lain.
H.Paradigma Penelitian
Deskripsi konsep di atas memudahkan pembuatan paradigma
penelitian. Dalam penelitian ini, paradigma yang digunakan adalah perilaku sosial yang dibangun oleh B.F. Skinner, karena delik komodifikasi agama memerlukan motif. Motif merupakan suatu dorongan untuk memberikan
respon atas stimulus yang ditawarkan. Penggalian motif dari pemuka agama memerlukan dasar teoritis. Dalam hal ini, teori pertukaran sosial (exchange theory) lebih tepat, karena komodifikasi agama merupakan tindakan pertukaran
antara komoditas agama dengan kepuasan yang diharapkan. Motif termasuk salah satu dari unsur teori pertukaran. Unsur-unsur yang lain adalah satuan
analisis, faedah atau keuntungan, serta pengesahan sosial.24
Ketika pertukaran sosial ini diarahkan ke pertukaran ekonomi atau bisnis, maka ia bisa berpola redistribusi atau resiprositas. Redistribusi adalah
“perpindahan barang atau jasa dari pihak yang secara politis berada pada posisi bawah kepada pihak yang berada pada posisi atas selaku pemegang otoritas
23 Teguh Prasetya, Hukum Pidana (Jakarta: Rajawali Pers, 2006), 95-115.
24 I.B. Wirawan, Teori-teori Sosial dalam Tiga Paradigma: Fakta Sosial, Definisi Sosial, dan
ekonomi dan politik”.25 Redistribusi mensyaratkan hubungan yang asimetris.
Jika hubungannya bersifat simetris, maka pertukaran timbal baliknya dinamakan resiprositas. Dalam melakukan komodifikasi agama, para pemuka
agama bisa melakukan pertukaran ekonomi dengan jamaah yang berada dalam bimbingannya atau dengan orang lain yang bukan bagian dari jamaahnya.
Selain motif, komodifikasi agama juga mempertautkan individu dengan
struktur. Artinya, orang yang melakukan komodifikasi agama (agency) berinteraksi dengan struktur. Pola interaksi ini bersifat dualitas, yakni produksi
dan reproduksi. Pelaku adalah hasil dari struktur sekaligus media pembentukan struktur yang baru. Struktur itu dimaksudkan sebagai aturan-aturan regulatif maupun konstitutif serta sumber-sumber alokatif maupun otoritatif.26 Dengan
demikian, tinjauan yuridis atas komodifikasi agama didasarkan pada teori strukturasi Anthony Giddens.
Setelah motif ditemukan, langkah berikutnya adalah pendalaman pada dampak sosial. Analisa dampak ini menggunakan pohon masalah. Setelah pertimbangan sebab dan akibat, keputusan pun bisa diambil. Pertimbangan
pada pencegahan kerugian yang diderita oleh banyak orang dapat dijelaskan melalui teori utilitarianisme dari Jeremy Bentham. Semula, teori ini memandang etika dari sisi nilai kemanfaatan suatu perbuatan. Semakin besar
nilai manfaatnya dan semakin banyak orang yang menikmatinya, maka semakin terpuji perbuatannya (the greatest happiness of the greatest number).
Untuk analisa dampak atau akibat dari komodifikasi agama, teori
25 Sjafri Sairin, Pujo Semedi, dan Bambang Hudayana, Pengantar Antropologi Ekonomi (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), 70.
utilitarianisme dibalik dengan konsep kerusakan atau penderitaan. Semakin
besar kerusakan dan ditimbulkan oleh suatu perbuatan dan semakin banyak orang yang menderita, maka semakin buruk perbuatan tersebut. Utilitarianisme
demikian ini dinamakan konsekuensialisme.27 Adagium utilitarianisme ini memuat tiga komponen dampak, yaitu jumlah korban, kerugian material, dan kerugian non material. Dalam konteks hukum, teori utilitarianisme terwujud
dalam hedonistic utilitarianism yang mengajarkan, “Pemidanaan hanya bisa diterima, apabila ia memberikan harapan bagi tercegahnya kejahatan yang
lebih besar”.28 Dengan demikian, ketiga teori di atas bisa digambarkan dengan bagan sebagai berikut.
Gambar 1. Theoretical Framework
Komponen-komponen yang diambil dari teori-teori di atas merupakan data utama. Data ini diperdalam dan dikembangkan di lapangan, sehingga laju
penelitian ini tetap terarah pada masalah penelitian. Teori pertukaran menjadi
27 K. Bertens, Pengantar Etika Bisnis (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 66-67.
dasar untuk menemukan bentuk komodifikasi agama yang dirumuskan dalam
masalah pertama. Teori strukturasi dijadikan pedoman untuk mencari unsur delik perbuatan yang melawan hukum, sebagaimana dalam rumusan masalah
kedua. Teori ini relevan, karena ia menghadapkan pelaku (agency) pada norma hukum (struktur). Demikian pula, teori utilitarianisme juga dinilai tepat untuk menjadi dasar dalam menggali data tentang dampak sosial, sebagaimana
rumusan masalah ketiga.
I. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan ini terfokus pada interaksi sosial di tingkat mikro. Ia mencari data-data verbal,
simbol, proses relasi sosial, dan memberikan makna. Data-data mengenai komodifikasi agama yang terkait dengan bisnis bersifat kualitatif. Komodifikasi agama dimulai dari interaksi sosial hingga mewujudkan
relasi sosial. Relasi ini dibangun dengan motif bisnis. Motif ini sulit diukur, sehingga ia lebih tepat ditemukan dengan pendekatan kualitatif. Dengan
demikian, pendekatan kualitatif relevan dengan obyek penelitian ini.
2. Jenis Penelitian
Di antara jenis-jenis penelitian dengan pendekatan kualitatif, penelitian ini mengambil jenis grounded research. Penelitian jenis ini
berbeda. Penelitian jenis ini berupaya untuk menemukan teori yang bisa
digunakan untuk situasi yang berbeda. Glaser dan Strauss merumuskan empat karakter teori yang ditemukan melalui grounded research. Pertama,
teori itu harus sangat cocok dengan area substantif yang akan digunakan.
Kedua, teori harus mudah dimengerti oleh orang awam yang bersangkutan
dengan areanya. Ketiga, teori harus cukup berlaku umum untuk banyak
situasi sehari-hari yang beragam dalam area substantif, bukan hanya jenis
situasi tertentu. Keempat, teori harus memungkinkan bagi para pengguna
parsial untuk mengontrol struktur dan proses situasi sehari-hari saat mereka
berubah sepanjang waktu.29 Jadi, penelitian graounded research
menemukan teori yang cocok, bisa dipahami, bisa digeneralisasi, serta bisa
menjadi kontrol.
3. Data Penelitian
Data penelitian ini terbagi dalam tiga bentuk. Pertama, data tentang
pelaku komodifikasi agama yang kebanyakan merupakan para pemuka agama. Kedua, data tentang perbuatan komodifikasi agama yang disorot
melalui norma hukum agama dan norma legal. Ketiga, data mengenai dampak dari komodifikasi agama, baik secara psikologis, sosiologis, politis, maupun ekonomis. Data mengenai pemuka agama dan perbuatan
komodifikasinya merupakan data primer, karena data-data ini digali langsung dari sumbernya. Sementara itu, data tentang dampak dari
29 Barney G. Glaser dan Anselm L. Strauss, The Discovery of Grounded Research: Strategies for
komodifikasi merupakan data sekunder yang telah diolah dari sumber
primer.
Data pelaku komodifikasi agama terkait dengan jati diri dan tatanan
sosial yang melingkupinya, antara lain: obsesi, emosi, motivasi, naluri, kompetensi, edukasi, eksistensi dan posisi, citra diri, reputasi, prestasi dan prestise, pekerjaan dan jabatan, kekayaan, keluarga, status dan peranannya,
keinginan dan kebutuhannya, relasi dan mitranya, modal dan keuntungannya, harapan dan kepuasan, pengetahuan dan pengalaman,
kepemimpinan dan kepengikutan, serta penghargaan dan ujiannya. Data perbuatan komodifikasi berkenaan dengan hal-hal berikut ini, yaitu investasi, produksi, pengemasan, penentuan harga, promosi, segmentasi,
penentuan lokasi, distribusi, penentuan strategi, mobilisasi, jalinan relasi, komunikasi, transparansi, kalkulasi, pelayanan, dan pertahanan pelanggan.
Data dampak dari komodifikasi agama dapat diuraikan sebagai berikut, yaitu skala dampak, sifat dampak, dampak personal, dampak institusional, dampak relasional, dampak finansial, dampak kultural, dampak moral, dan
dampak material.
4. Sumber Data
Informan yang menjadi sumber data dalam penelitian ini terbagi
dalam dua macam, yaitu pelaku komodifikasi agama dan penegak hukum kasus yang terkait dengan komodifikasi agama. Informan pelaku
komodifikasi agama yang tersangkut kasus delik pidana maupun perdata.
Dari informan ini, data-data proses komodifikasi lebih lengkap, karena ia mengalami masa kesuksesan, keruntuhan, hingga pemidanaan. Kedua,
informan pelaku komodifikasi agama yang tidak tersangkut hukum, tetapi ia tercela secara moral. Sanksi sosial ini dijatuhkan oleh masyarakat, baik sebagai korban maupun bukan korban. Ketiga, informan pelaku
komodifikasi agama yang berhasil mengolah bisnis secara komitmen, meskipun ia menjadikan simbol-simbol agama sebagai komoditas sekaligus
strategi bisnis. Sementara itu, informan penegak hukum ditujukan untuk data-data yuridis yang terkait komodifikasi agama. Penegak hukum ini adalah polisi, jaksa, dan hakim.
5. Teknik Pengumpulan Data
Data-data di atas dikumpulkan dari sumbernya dengan tiga teknik pengumpulan data. Pertama, wawancara terstruktur dan mendalam, yakni upaya pendalaman data dengan diskusi sesuai dengan pertanyaan yang
telah disiapkan. Wawancara ini dilakukan secara berulangkali. Hasil wawancara pun dikonfirmasi untuk memperoleh validitas data. Kedua, pengamatan non partisipan, yakni upaya melihat situasi dan kondisi secara
seksama dan penuh teliti tanpa terlibat dalam kegiatan. Pengamatan ini dilakukan secara berulangkali untuk mendapatkan konsistensi dan
tertulis sekaligus meminta penjelasan atas makna data tertulis tersebut.
Sumber data dokumentasi beserta keterangan waktu juga ditanyakan.
6. Teknik Analisa Data
Karena penelitian ini merupakan grounded reseacrh, maka teknik analisa datanya terfokus pada pengkodean. Budiasih menulis,
“Ada beberapa cara untuk melakukan pengkodean, yaitu: 1)
pengkodean terbuka, 2) pengkodean terporos, dan 3) pengkodean terpilih. Pengkodean terbuka terdiri atas beberapa langkah, yaitu: a) melakukan pelabelan fenomena, yaitu pemberian nama terhadap
benda dan kejadian yang diperoleh melalui pengamatan atau wawancara; b) menemukan dan pemberian nama katagori
menggunakan istilah yang dipakai oleh subjek yang diteliti; dan c) menyusun katagori berdasarkan pada sifat dan ukurannya. Sifat katagori berdasarkan pada karakteristik atau atribut suatu katagori,
sedangkan ukuran katagori berarti posisi dari sifat katogori tersebut. Pengkodean terporos merupakan sekumpulan prosedur penempatan
data kembali dengan cara-cara baru dengan membuat hubungan antar katagori. Sedangkan pengkodean terpilih dilakukan dengan beberapa tahapan yaitu: a) mengulang kembali susunan data ke
dalam pokok pikiran, b) mengidentifikasi data dengan menuliskan inti dari data yang ada, c) menyimpulkan dan memberikan kode
semua data atau fenomena yang ada; dan d) menentukan pilihan
kategori inti yang merupakan penemuan tema pokok dari riset
tersebut”.30
Hasil pengkodean di atas diberi makna. Peneliti mendiskusi
data-data yang telah diberi kode di lapangan hingga ia benar-benar memahaminya. Diskusi juga dilakukan dengan perbandingan hasil
penelitian maupun konsep-konsep yang serupa. Hasil pemahaman ini untuk menemukan teori yang spesifik, bukan teori yang dihasilkan dari generalisasi. Tahapan terakhir adalah penyusunan bangunan teori secara
naratif.
J. Sistematika Pembahasan
Secara keseluruhan, penelitian ini terbagi dalam tujuh bab. Masing-masing bab tersusun secara sistematis. Mula-mula, penelitian ini mengajukan
masalah penelitian. Dari masalah ini, paradigma dan pondasi teori diajukan. Berangkat dari teori ini, metode pengumpulan data hingga analisisnya bisa
ditemukan. Akhirnya, hasil penelitian sekaligus analisis datanya dikemukakan dalam tiga bab berikutnya. Sebelum penutup, penelitian ini mengemukakan bab tersendiri untuk mempertajam teori yang ditemukan.
Dalam bab pendahuluan, fokus pada perbuatan komodifikasi agama ditonjolkan. Fokus ini menjadi titik sentral kajian yang melacak studi-studi
30 I Gusti Ayu Nyoman Budiasih, “Metode Grounded Theory dalam Riset Kualitatif”, Jurnal
terdahulu untuk menunjukkan orisinalitas penelitian ini. Dari fokus ini pula,
tiga masalah penelitian dapat dimunculkan. Tiga masalah ini tidak muncul begitu saja, namun ia memiliki latar belakang mengenai alasan pentingnya
memunculkan masalah tersebut. Dari masalah pula, tujuan penelitian ini dapat dirumuskan. Dengan demikian, bab pertama ini merupakan pengantar singkat tentang kandungan penelitian ini secara global.
Bab selanjutnya adalah penjelasan tentang paradigma perilaku sosial yang dijadikan pijakan bagi teori pertukaran, strukturasi, dan utilitarianisme.
Ketiga teori ini dijelaskan hingga konsep bangunan masalah penelitian dapat tergambarkan dengan baik. Bangunan ini diperlukan untuk pencarian dan pengembangan data penelitian lebih lanjut. Oleh karena itu, teori merupakan
jembatan antara masalah dan data. Koherensi data dengan masalah tergantung pada teori yang dibangun.
Data penelitian dianggap penting, karena ia merupakan jawaban atas suatu masalah yang telah dirumuskan. Gambaran tentang data ini dikemukakan dalam bab ketiga. Bab ini membingkai metode penelitian, yakni suatu cara
penentuan, perolehan, pengolahan, dan analisa data. Selain itu, bab ini juga menjelaskan jenis dan pendekatan penelitian ini, agar arah dan bentuk penelitian ini dapat dipahami. Pengenalan model penelitian sebelum diskripsi
datanya dimaksudkan, agar data mengikuti bentuk dan arah penelitiannya. Data-data di lapangan digali dan diklasifikasikan berdasarkan rumusan
komodifikasi agama. Penggalian data ini lebih banyak pada para pemuka
agama. Hasilnya dianalisis secara langsung, bahkan temuan lapangan diupayakan untuk muncul. Tentu saja, kemunculannya telah melalui dialog
yang panjang antara teori dan lapangan.
Kedua, data tentang delik yang terkait dengan komodifikasi agama digali, ditemukan, diolah, dan dianalisis. Sumber data ini banyak diperoleh dari
lembaga penegak hukum. Karena itu, bab ini dipersempit pada perbuatan yang melawan hukum. Artinya, perbuatan komodifikasi agama yang tidak terkait
dengan delik diabaikan. Pendalaman data ini dikemukakan dalam bab tersendiri.
Ketiga, data mengenai dampak delik yang terkait dengan perbuatan
komodifikasi agama digali dari berbagai sumber: pelaku, penegak hukum, dan korban. Data ini menggambarkan bentuk perbuatan komodifikasi agama yang
sesungguhnya, karena implikasi suatu perbuatan bisa menunjukkan hakekat perbuatan tersebut. Selain itu, dampak suatu perbuatan dikonfirmasikan dengan sanksi hukum yang diterima oleh terpidana. Keterkaitannya menjadi benang
merah dalam bab ini.
Penelitian ini berusaha untuk menggali temuan yang menarik. Setidaknya, temuan ini menjadi postulat yang menerima pengujian kembali.
Konfirmasi teori dan data menjadi pembahasan dalam bab ini. Akhirnya, bab ini membuat beberapa preposisi yang dijadikan wacana dialog akademik masa
Penelitian ini pun diakhiri dengan bab penutup. Bab ini berisi jawaban
singkat atas rumusan masalah yang dikemukakan dalam bab pertama. Karena rumusan masalahnya ada tiga macam, maka jawabannya juga tiga macam.
Selain itu, bab ini juga memuat rekomendasi sesuai dengan signifikansi penelitian. Dalam hal ini, rekomendasi mengandung dua arah, yaitu rekomendasi praktis dan rekomendasi teoritis.
K.Bibliografi
Bertens, K. Pengantar Etika Bisnis. Yogyakarta: Kanisius, 2000.
Budiasih, I Gusti Ayu Nyoman. “Metode Grounded Theory dalam Riset Kualitatif”. Jurnal Ilmiah Akuntansi dan Bisnis. Vol. 9 No. 1 Tahun 2014.
Einstein, Mara. Brands of Faith: Marketing Religion in a Commercial Age.
New York Routledge, 2008.
Fakhruroji, Moh. “Komodifikasi Agama Sebagai Masalah Dakwah”. Jurnal Ilmu Dakwah. Vol. 5 No. 16 Tahun 2010.
Fealy, Greg dan Sally White (ed). Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapura: ISEAS, 2008.
Friedland, Roger “Institution, Practice, and Ontology: Toward Religious Sosiology”, Research in Sociology of Organization. Vol. 27 tahun 2009.
Glaser, Barney G. dan Anselm L. Strauss. The Discovery of Grounded Research: Strategies for Qualitative Research. New Jersey: Aldine Transaction, 2006.
Goulding, Christina. “The Commodification of the Past, Post Modern Pastiche, and the Search for Authentic Experiences at Contemporary Heritage Attractions”. European Journal of Marketing. Vol. 34 No. 7 Tahun 2000.
Halimatussa’diyah, Iim. “The Religious Market in Contemporary Indonesia: A Case Study of The eden-Salamullah Group”. Jurnal Studia Islamika
.Vol. 15 No. 1 Tahun 2008.
Hasanah, Riezqie. “Pola Komodifikasi Agama : Studi Tentang ESQ Leadership Center”. Skripsi. Jakarta: Universitas Negeri Jakarta, 2010.
Ibrahim, Idi Subandy dan Bachruddin Ali Akhmad. Komunikasi dan Komodifikasi. Jakarta: Yayaysan Pustaka Obor Indonesia, 2014.
Khraim, Hamza. “Measuring Religiosity in Consumer Research From an Islamic Perspective”. Journal of Economis and Administration Sciences
.Vol. 26. No. 12010.
Khusniati, Rofiah “Agama dan Bisnis: Studi Etos Kerja Pengusaha di Kalangan Jamaah Tabligh Kabupaten Ponorogo”, Prosiding Seminar Nasional dan Temu Ilmiah Jaringan Peneliti (Banyuwangi: IAI Darussalam Blokagung, t.t.
---. “Agama dan Produktifitas Perempuan: Studi Perilaku Bisnis Ibu-Ibu Muslimah Dusun Mayak Kelurahan Tonatan Ponorogo”.
Jurnal Kodifikasia. Vol. 10 No. 1 Tahun 2016.
Kittiarsa, Pattana (ed.). Religious Commodifications in Asia. New York: Routledge, 2008.
Mawere, M. “The Business of Business is Business?”: The myth of Amoral Business and Bbusiness Practices in Zimbabwe, Jounal of Social Development of Africa. Vol. 25. No. 1 Tahun 2010.
McKenna, Richard J. “Explaining Amoral Decision Making: An External View of a Human Disaster”. Journal of Business Ethics. Vol.15 tahun 1996. Mirantika, Noni dan Saortua Marbun. “Pengaruh Modernisasi terhadap
Perkembangan Komodifikasi Mukena”. Jurnal Studi Kultural .Vol. I No. 2 Tahun 2016.
Muthohar, Muchsin dan Amin Ramadhan Triatmaja. “Pengaruh Endorser Ulama Terhadap Sikap Dan Minat Beli Konsumen: The Influence of Islamic Preacher Toward The Attitude And Consumers Purchase Intention”. Jurnal Bisnis dan Ekonomi .Vol. 19, No. 1 tahun 2013. Nugroho, Alois A. Dari Etika Bisnis ke Etika EkoBisnis. Jakarta: Gramedia,
2001.
Nurhasanah, Sulistiani. “Komodifikasi Agama Islam dalam Iklan Televisi Nasional”. Skripsi. Yogyakarta: Prodi SKI Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2014.
Prasetya, Teguh. Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 2006.
Rasjidi, Lili dan Ira Thania Rasjidi. Pengatar Filsafat Hukum. Bandung: Mandar Maju, 2012.
Sinha, Vineeta. Religion and Commodification: ‘Merchandizing’ Diasporic Hinduism. New York: Routledge, 2011.
Spickard, James V. “Religion in Consumer Society: Brands, Consumers, and Markets”. Journal of Contemporary Religion .Vol. 30 No. 1 tahun 2014.
RIWAYAT HIDUP
Drs. H. Imron Rosyadi, S.H., M.H. dilahirkan pada hari Selasa tanggal 10 Maret 1969 di Dusun Glonggongan Desa Sumbertebu Kecamatan Bangsal Kabupaten Mojokerto dari pasangan suami-istri, H. Ahmad Subhan (alm.) dan Hj. Siti Masyitoh. Anak pertama dari lima saudara ini menempuh pendidikan dasarnya di kampung kelahirannya, Madrasah Ibtidaiyah (MI) Hidayatul Mubtadiin Dusun Glonggongan dan lulus pada tahun 1982. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya di SMP dan lulus pada tahun 1985. Selama sekolah di MI dan SMP ini, suami dari seorang istri Hj. Malikha Rosyadi ini mengaji sebagai santri di pondok pesantren Sirojut Tholibin yang diasuh oleh KH. Mahfud Zaini. Selama tiga tahun berikutnya (1985-1988), ayah dari empat anak ini belajar di Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Mojosari sekaligus mengaji di pondok pesantren Darul Hikmah Sawahan Mojosari yang diasuh oleh KH. A. Qusyairi Mansyur (alm.). Setelah itu, ia merantau ke Surabaya untuk mengikuti kursus Bahasa Arab di Lembaga Pengajaran Bahasa Arab (LPBA) Masjid Agung Sunan Ampel Surabaya pada tahun 1988-1989. Selama itu pula, ia mengajar ngaji secara privat dari rumah ke rumah, bahkan ia pernah mengajar di keluarga besar Bapak Warsito Rasman, Wakil Gubernur Jawa Timur saat itu.
Pada tahun 1989, Cak Imron –demikian ia dipanggil- mendaftarkan kuliah di Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya. (1989-1993). Ia pernah mendapatkan beasiswa Supersemar,sehingga ia menjadi anggota Keluarga Mahasiswa Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS). Selama kuliah, ia aktif di kegiatan organisasi intra dan ekstra kampus, disamping ia aktif memberikan ceramah agama di beberapa daerah Surabaya. Setelah ia lulus sebagai sarjana, Prof. Dr. H. Nur Syam, M.Si dan Prof. DR. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag memberikan kepercayaan kepadanya sebagai asisten dosen di almamaternya. Selama dipercaya oleh Prof. Nur Syam, ia melakukan penelitian tentang “Kehidupan Penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah di Jawa Timur yang berpusat di Pondok Pesantren Darul Ulum Jombang”. Bersamaan dengan posisinya sebagai asisten dosen IAIN, ia juga pernah mengajar di beberapa perguruan tinggi swasta, antara lain: Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Muhammadiyah Mojosari Mojokerto dan Universitas Islam Majapahit (UNIM) Mojokerto. Selain itu, ia juga mengajar di Fakultas Hukum Universitas Mayjen Sungkono Mojokerto ( UNIMAS ) hingga sekarang. Statusnya saat ini sebagai dosen tetap Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Ampel Surabaya.