• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural studi inklusivitas

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pendidikan Islam Inklusif Multikultural studi inklusivitas "

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

AT-TARBAWI

Jurnal Kajian Kependidikan Islam

Vol. 12. No. 2, Mei 2014

ISSN: 1693-4032

Diterbitkan

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI

(2)
(3)

DAFTAR ISI

DEVELOPING HUMAN RESOURCES THROUGH SCIENCE INTEGRATION BASED EPISTEMOLOGY IN EDUCATION

Asep Kurniawan ... 157 - 176

MANAJEMEN MUTU KINERJA DOSEN PADA PENDIDIKAN TINGGI KEAGAMAAN ISLAM

Ara Hidayat ... 177 - 204

KEPRIBADIAN PENDIDIK PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM

Baidi ... 205 - 220

PEMBENTUKAN KEPRIBADIAN TELADAN MENURUT PENDIDIKAN ISLAM

Misdar ... 221 - 236

PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL: Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional

Andik Wahyun Muqoyyidin ... 237- 254

PENINGKATAN MUTU GURU MADRASAH IBTIDAIYAH MELALUI PELATIHAN CHARACTER BUILDING

(4)

TINGGI KEAGAMAAN ISLAM NEGERI

Toto Suharto dan Suparmin ... 269 - 292

PENINGKATAN PRESTASI BELAJAR PENDIDIKAN AGAMA ISLAM MATERI SHALAT MELALUI METODE JAS BERDASI

(5)

PENDIDIKAN ISLAM INKLUSIF-MULTIKULTURAL:

Upaya Memperkokoh Nilai-Nilai Kebhinnekatunggalikaan Sebagai Dasar Kepribadian Pendidikan Nasional

Oleh: Andik Wahyun Muqoyyidin

(Universitas Pesantren Tinggi Darul ‘Ulum Jombang)

Abstract

This paper aims to revitalize the role of inclusive-multicultural

Islamic education in afirming the values of Bhinneka Tunggal Ika as a personality basis of national education. Supposed to be aware of it very well that because of wisdom predecessors founders of the nation choosen Bhinneka Tunggal Ika as a principle underlying the diversity of national and state, the ideas of NKRI can be manifested to the next generation until now. In this context, Islamic education as a sub-system of national education exposed the problem how it should develop a insight pattern of inclusive-plural-multicultural religiousity. To realize this matter, a variety of components involved in the process of Indonesian education can be planned in supporting the realization of those ideas.

Keywords: Islamic education, inclusive-multicultural, Bhinneka Tunggal Ika, national education

A. Pendahuluan

(6)

religius dengan kerelaan menerima keragaman semacam ini telah lama diterima sebagai kewajaran oleh penduduk Nusantara. Latif (dalam Firdausia 2013: 51) menyebut sejak jaman Majapahit, doktrin agama sipil untuk mensenyawakan keragaman ekspresi keagamaan telah diformulasikan oleh Mpu Tantular dalam buku

Sutasoma, yaitu Binneka Tunggal Ika tan Hana Dharma Mangrwa,

yang berarti berbeda-beda namun satu, tiada kebenaran yang mendua.

Multikultural adalah kata lain untuk menggambarkan keberagaman dan kemajemukan. Di sini, multikultural seakan dua mata pisau, oleh Baidhawy (dalam Supardi, 2013: 376) dijelaskan satu sisi menjadikan bangsa kita kaya akan khasanah kebudayaan, tapi di sisi lain, rentan menimbulkan benturan, perselisihan dan konflik. Diktum Bhinneka Tunggal Ika menjadi semboyan bangsa Indonesia sesungguhnya dapat dijadikan landasan “ideologis” dan “filosofis” untuk mengembangkan kehidupan multikultural di negeri ini. Namun, amat disayangkan karena selama ini semboyan hanya berhenti pada kesadaran kognitif masyarakat kebanyakan, dan menjadi jargon lip service penguasa belaka, tidak

diimplementasikan secara nyata dan tepat dalam kehidupan sosial masyarakat (Saefulloh, 2009: 2).

Buktinya, hingga kini masih dapat terus disaksikan, banyak benturan dan konflik kekerasan, mulai dari antarindividu, antarelit, antarkelompok, antarkampung hingga antar suku di tanah air yang disebabkan oleh persoalan tidak adanya pemahaman multikultural (Zamroni dalam Supardi, 2013: 376). Terutama pasca tumbangnya rezim Orde Baru, aksi terorisme dan radikalisme Islam kian merebak di Indonesia. Contoh kasus radikalisme Islam yang terjadi di Indonesia adalah penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten serta penyerangan pondok pesantren yang diduga beraliran Syiah di Pasuruan dan Sampang, Jawa Timur beberapa waktu lalu.

(7)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

dan keseragaman (uniformity). Ironisnya, para teroris dan kaum

radikalis mengklaim bahwa semua itu dilakukan karena perintah agama (Islam) (Muqoyyidin, 2013: 133). Fenomena konflik agama tersebut selain buah dari hilangnya semangat Binneka Tunggal Ika, juga merupakan anak biologis dari kecenderungan paradigma beragama masyarakat yang eksklusif dan superior. Sikap ini jelas-jelas menjadi faktor pendorong munculnya konflik yang tidak saja menodai agama itu sendiri, tetapi juga telah menodai persaudaraan antar manusia (Firdausia, 2013: 52). Di samping itu, peningkatan konstelasi kekerasan ini menimbulkan tanda tanya tentang efektifitas pendidikan selama ini dalam menanamkan budaya toleransi dan saling menghargai satu sama lain dalam kerangka Indonesia yang multikultur (Raihani, 2010: 385).

Realita tersebut menunjukkan bahwa pendidikan agama baik di sekolah umum maupun sekolah agama lebih bercorak eksklusif, yaitu agama diajarkan dengan cara menafikan hak hidup agama lain, seakan-akan hanya agamanya sendiri yang benar dan mempunyai hak hidup, sementara agama lain salah, tersesat dan terancam hak hidupnya, baik di kalangan mayoritas maupun minoritas. Seharusnya pendidikan agama dapat dijadikan sebagai wahana untuk mengembangkan moralitas universal yang ada dalam agama-agama sekaligus mengembangkan teologi inklusif dan pluralis (Nursisto dalam Muliadi, 2012: 56).

(8)

B. Memahami Konsepsi Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural

Banks (dalam Ibrahim 2008: 121) mengatakan bahwa pendidikan multikultural merupakan suatu konsep yang menyatakan bahwa seluruh peserta didik tanpa memperhatikan dari kelompok mana mereka berasal, seperti gender, etnik, ras, budaya, kelas sosial, agama, dan lain-lain diharapkan dapat memperoleh pengalaman pendidikan yang sama di sekolah atau lembaga pendidikan. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun datangnya dan apa pun budayanya. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan nilai-nilai dasar kemanusiaan untuk perdamaian, kemerdekaan dan solidaritas, dengan membuka visi cakrawala semakin luas melintasi batas kelompok etnis, tradisi, budaya dan agama, sehingga mampu melihat “kemanusiaan” sebagai sebuah keluarga yang memiliki perbedaan disamping berbagai persamaan (Afif, 2012: 9).

Secara lebih spesifik Yaqin (2005: 5) menjelaskan bahwa pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada semua jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada peserta didik, seperti perbedaan agama, etnis, bahasa, gender, kelas sosial, kemampuan dan usia agar proses belajar mengajar menjadi lebih efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sendiri sejatinya kompatibel dengan Islam. Tidak sedikit doktrin dan sejarah Islam yang sarat dengan pendidikan multikultural. Pendidikan Islam memiliki peran yang strategis dalam mendiseminasikan pendidikan multikultural (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 102).

(9)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

Kehadiran pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam penting adanya karena praktik pendidikan Islam selama ini tidak cukup mampu atau gagal dalam menelorkan generasi yang multikulturalis (Asroni dan Ma’rifah, 2013: 99). Tidak sedikit fakta-fakta di lapangan yang membuktikan bahwa pendidikan Islam belum sepenuhnya mampu menghadirkan paradigma inklusif, toleran dan berwawasan multikultural bagi peserta didik. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP) Jakarta sungguh mengejutkan. Penelitian yang dilakukan antara Oktober 2010 hingga 2011 terhadap guru Pendidikan Agama Islam (PAI) dan siswa (SMP dan SMA) di Jabodetabek menunjukkan bahwa 49% siswa setuju dengan aksi radikalisme demi agama (Muqoyyidin, 2013: 134). Di beberapa kampus perguruan tinggi umum, kecenderungan mahasiswa untuk mendukung tindakan radikalisme juga sangat tinggi. Hal ini terungkap dalam penelitian tentang Islam Kampus yang melibatkan 2466 sampel mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi ternama di Indonesia. Ketika para mahasiswa ditanya tentang pelaksanaan amar makruf nahi munkar

dalam bentuk sweeping tempat-tempat yang dianggap sumber

maksiat, mereka menjawab sebagai berikut: sekitar 65% (1594 responden) mendukung dilaksanakannya sweeping kemaksiatan,

18% (446 responden) mendukung sekaligus berpartisipasi aktif dalam kegiatan sweeping. Sekitar 11% (268 responden) menyatakan

tidak mendukung sweeping, dan sisanya, 6% (158 responden) tidak

memberikan jawabannya. Selanjutnya, mereka yang mendukung

sweeping beralasan bahwa kegiatan sweeping tersebut sebagai

bagian dari perintah agama (88%), mendukung sweeping karena

berpendapat bahwa aparat keamanan tidak mampu menegakkan hukum (4%), dan karena alasan dekadensi moral (8%) (Fadjar, et.al.

2007, dalam Muqoyyidin, 2013: 134).

Karena itu salah satu tantangan pendidikan Islam di era multikulturalisme dan pluralisme dewasa ini adalah ketidakmampuannya dalam membebaskan peserta didik untuk dapat keluar dari eksklusifitas beragama. Menurut Nuryatno (dalam Muliadi 2012: 62), pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk

(10)

Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama sangat eksklusif dan tidak toleran. Padahal di era pluralisme dewasa ini, pendidikan agama mesti melakukan reorientasi filosofis paradigmatik tentang bagaimana membangun pemahaman keberagamaan peserta didik yang lebih inklusif-pluralis, multikultural, humanis, dialogis-persuasif, kontekstual, substantif dan aktif sosial.

Maksum (dalam Muliadi 2012: 62) menjelaskan paradigma keberagamaan yang inklusif-pluralis berarti menerima pendapat dan pemahaman lain yang memiliki basis ketuhanan dan kemanusiaan. Pemahaman keberagamaan yang multikultural berarti menerima adanya keragaman ekspresi budaya yang mengandung nilai-nilai kemanusiaan dan keindahan. Pemahaman yang humanis adalah mengakui pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam beragama, artinya seorang yang beragama harus dapat mengimplementasikan nilai-nilai kemanusiaan; menghormati hak asasi orang lain, peduli terhadap orang lain dan berusaha membangun perdamaian bagi seluruh umat manusia.

Paradigma dialogis-persuasif lebih mengedepankan dialog dan cara-cara damai dalam melihat perselisihan dan perbedaan pemahaman keagamaan dari pada melakukan tindakan-tindakan fisik seperti teror, perang, dan bentuk kekerasan lainnya. Paradigma kontekstual berarti menerapkan cara berfikir kritis dalam memahami teks-teks keagamaan. Peradigma keagamaan yang substantif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nilai agama daripada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Sedangkan paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial berarti agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi, yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

C. Format Distingtif Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural

(11)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

terwujudnya perubahan format perilaku sosial yang kondusif dan ditengah kehidupan masyarakat yang majemuk. Sarana terbaik dan strategis yang digunakan untuk membangun dan mensosialisasikan konsep multikultural agar melahirkan perilaku sosial kondusif, ”kearifan sosial”, ”kearifan budaya” dan “kearifan moral” adalah lewat pendidikan formal melalui persekolahan dan menanamkan “pendidikan multikultural” (Octaviani, 2013: 113).

Dalam konteks ini, terdapat problem serius yang masih menghinggapi semangat pendidikan agama di Indonesia, dimana hal tersebut dapat dilihat dari visi, tujuan, kurikulum, guru, literatur dan penyikapan terhadap kemajemukan yang masih banyak menyisakan beragam persoalan. Beragam persoalan itu antara lain misalnya terletak pada masih belum jelasnya epistemologi ilmu-ilmu agama, materi yang diberikan sangat bernuansa sektarian dan iqh oriented, kurikulum yang masih tumpang tindih, serta pola yang masih berkutat pada eksklusivisme, dalam arti bersikap alergi terhadap kemajemukan paham, apalagi kemajemukan agama (Susanto, 2006: 784).

Oleh karena itu, perumusan format distingtif pendidikan Islam inklusif-multikultural merupakan suatu keniscayaan. Untuk mewujudkan hal tersebut, berbagai komponen yang terlibat dalam proses pendidikan perlu direncanakan sedemikian rupa sehingga mendukung terwujudnya gagasan tersebut. Dalam hal ini, yang perlu mendapat perhatian adalah faktor kurikulum, pendidik, dan strategi pembelajaran yang digunakan pendidik (Muqowim dalam Muqoyyidin, 2013: 143).

Ma’arif (dalam Ma’rifah, 2012: 246) menyebutkan ada beberapa hal yang seharusnya direalisasikan untuk mendesain kurikulum pendidikan Islam berwajah inklusif-multikulturalis sehingga senantiasa relevan dengan kebutuhan dan dinamika masyarakat Indonesia yang majemuk. Pertama, mengubah filosofi

(12)

sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat bangsa dan dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanisme, progresivisme, dan rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum. Kedua, teori kurikulum tentang konten haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek substantif yang berisikan fakta, teori, generalisasi kepada pengertian yang mencakup pula nilai, moral, prosedur, dan ketrampilan yang harus dimiliki generasi muda. Ketiga, teori belajar

yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri pada teori psikologi belajar yang bersifat individualistik dan menempatkan peserta didik dalam suatu kondisi free value, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar

yang menempatkan peserta didik sebagai makhluk sosial, budaya, politik, dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia. Keempat, proses belajar yang dikembangkan untuk peserta

didik haruslah pula berdasarkan proses yang memiliki tingkat

isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya, proses

belajar yang mengandalkan peserta didik belajar individualistis harus ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara kelompok dalam suatu situasi positif. Dengan cara demikian maka perbedaan antar-individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok dan peserta didik terbiasa hidup dengan berbagai keragaman budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi politik. Kelima, evaluasi yang digunakan

haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian peserta didik, sesuai dengan tujuan dan content yang dikembangkan.

Alat evaluasi yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat tujuan dan informasi yang ingin dikumpulkan.

Kemudian dalam rangka membangun keberagamaan inklusif di sekolah ada beberapa materi pendidikan agama Islam yang bisa dikembangkan dengan nuansa multikultural, antara lain:

Pertama, materi al-Qur’an, dalam menentukan ayat-ayat

(13)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

agama, sehingga sedini mungkin sudah tertanam sikap toleran, inklusif pada peserta didik, yaitu: 1) Materi yang berhubungan dengan pengakuan al-Qur’an akan adanya pluralitas dan berlomba dalam kebaikan (Q.S. al-Baqarah: 148). 2) Materi yang berhubungan dengan pengakuan koeksistensi damai dalam hubungan antar umat beragama (Q.S. al-Mumtah}anah: 8-9). 3) Materi yang berhubungan dengan keadilan dan persamaan (Q.S. an-Nisa>’: 135).

Kedua, materi fikih bisa diperluas dengan kajian fikih siyasah (pemerintahan). Dari fikih siyasah inilah terkandung konsep-konsep kebangsaan yang telah dicontohkan pada zaman Nabi, sahabat ataupun khalifah-khalifah sesudahnya. Pada zaman Nabi misalnya, bagaimana Nabi Muhammad mengelola dan memimpin masyarakat Madinah yang multietnis, multikultur, dan multiagama. Keadaan masyarakat Madinah pada masa itu tidak jauh beda dengan masyarakat Indonesia, yang juga multietnis, multikultur, dan multiagama.

Ketiga, materi akhlak yang memfokuskan kajiannya pada

perilaku baik-buruk terhadap Allah, Rasul, sesama manusia, diri sendiri, serta lingkungan, penting artinya bagi peletakan dasar-dasar kebangsaan. Sebab, kelanggengan suatu bangsa tergantung pada akhlak, bila suatu bangsa meremehkan akhlak, punahlah bangsa itu. Dalam al-Qur’an telah diceritakan tentang kehancuran kaum Luth, disebabkan runtuhnya sendi-sendi moral. Agar pendidikan agama bernuansa multikultural ini bisa efektif, peran guru agama Islam memang sangat menentukan. Selain selalu mengembangkan metode mengajar yang variatif, tidak monoton, dan yang lebih penting, guru agama Islam juga perlu memberi keteladanan.

Keempat, materi SKI, materi yang bersumber pada fakta dan

realitas historis dapat dicontohkan praktik-praktik interaksi sosial yang diterapkan Nabi Muhammad ketika membangun masyarakat Madinah. Dari sisi historis proses pembangunan Madinah yang dilakukan Nabi Muhammad ditemukan fakta tentang pengakuan dan penghargaan atas nilai pluralisme dan toleransi (Muliadi dalam Muqoyyidin, 2013: 145).

(14)

dikutip Ma’rifah (2012: 248), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menghasilkan pendidik yang inklusif-multikulturalis.

Pertama, menyelenggarakan berbagai training, workshop, seminar,

dan kegiatan-kegiatan lainnya yang berwawasan multikultural kepada para pendidik. Kedua, menyelenggarakan dialog keagamaan dengan pendidik agama, pemuka, atau umat beragama lainnya. Dengan demikian, para pendidik agama Islam dan pendidik agama lainnya dapat berbaur dan mengenal satu sama lain, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sikap apresiatif dan toleran terhadap agama lain. Ketiga, memperkenalkan bacaan-bacaan atau berbagai

referensi yang bernuansa pendidikan multikultural sejak dini kepada para pendidik.

Untuk dialog antaragama paling tidak berlangsung dalam tiga level. Pertama, dialog tingkat wacana, yaitu dialog yang

membahas masalah-masalah teologis yang muncul. Misalnya konsep Tuhan Allah dengan paham Trinitas Kristen. Kedua, membagi (sharing) pengalaman spiritual, misalnya sama-sama

puasa untuk menghayati kehidupan orang miskin. Ketiga, dialog

dalam level aksi, yaitu para peserta dialog tanpa membeda-bedakan agamanya sama-sama menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Harus digarisbawahi bahwa muara dialog adalah memberi kesadaran secara teologis bahwa perbedaan itu bukan buatan manusia tapi desain Tuhan. Oleh karena itu, saling menghargai dalam perbedaan sangat diperlukan. Bertolak dari pandangan inklusif-pluralis ini, para pemeluk agama yang berbeda dapat menjalin kerja sama (Muqoyyidin, 2013: 57).

Guru dan sekolah memegang peranan penting dalam mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan yang inklusif dan moderat di sekolah. Apabila guru mempunyai paradigma pemahaman keberagamaan yang inklusif dan moderat, maka dia juga akan mampu mengajarkan dan mengimplementasikan nilai-nilai keberagamaan tersebut pada siswa di sekolah (Zainiyati dalam Muqoyyidin, 2013: 146). Peran guru dalam hal ini meliputi; pertama,

(15)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

ketika terjadi bom Bali (2003), maka seorang guru yang berwawasan multikultural harus mampu menjelaskan keprihatinannya terhadap peristiwa tersebut. Ketiga, guru/dosen seharusnya menjelaskan

bahwa inti dari ajaran agama adalah menciptakan kedamaian dan kesejahteraan bagi seluruh umat manusia, maka pemboman, invasi militer, dan segala bentuk kekerasan adalah sesuatu yang dilarang oleh agama. Keempat, guru/dosen mampu memberikan pemahaman

tentang pentingnya dialog dan musyawarah dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan keragaman budaya, etnis, dan agama (aliran), misalnya, kasus penyerbuan dan pengusiran Jamaah Ahmadiyah di Lombok-NTB dan kekerasan pada jamaah Syiah di Sampang Madura baru-baru ini tidak perlu terjadi, jika wacana inklusivisme beragama ditanamkan pada semua elemen masyarakat termasuk peserta didik (Muqoyyidin, 2013: 146).

Pendidik agama Islam tidak boleh terpaku pada satu metode saja, namun harus dapat mengelaborasi berbagai metode seperti ceramah, diskusi, ield trip atau studi banding, dan lain-lain. Peserta didik misalnya dapat diajak mengunjungi rumah ibadah dan berdialog dengan pengurus rumah ibadah atau jemaat. Pendidik (dan lembaga pendidikan) juga dapat mengagendakan untuk mengundang seorang atau kelompok minoritas agama untuk memberikan ceramah dan berdiskusi dengan peserta didik. Dengan begitu, peserta didik mendengar, berdiskusi, dan sharing pengalaman

tentang apa saja yang mereka rasakan selama ini sebagai kaum minoritas. Pasca mendengar testimoni kaum minoritas, dalam diri peserta didik diharapkan tumbuh sikap apresiatif dan empatik terhadap kaum minoritas, sehingga mereka dapat menerima serta menempatkan kaum minoritas secara terhormat dan sederajat seperti halnya kelompok masyarakat yang lain (Ma’rifah, 2012, dalam Muqoyyidin, 2013: 147).

C. Peran Signifikan Pendidikan Islam Inklusif-Multikultural dalam Pendidikan Nasional

(16)

sebagai jargon politik, dan belum menjadi kebijakan pendidikan nasional yang terimplementasikan secara sistematik dan konsisten. Melihat realitas tersebut, upaya pembangunan sistem pendidikan nasional sudah saatnya digagas dalam kerangka kepentingan pengembangan multikulturalisme dan peradaban umat manusia dalam semangat persaudaraan, kesetaraan, persatuan dan kesatuan atau “keikaan” di dalam “kebhinekaan”, untuk mengantisipasi kuatnya tekanan arus globalisasi di satu sisi dan bangkitnya kesadaran identitas etnik partikularistik di sisi lain (Octaviani, 2013: 115).

Mengingat sangat signifikannya pendidikan multikultural bagi kehidupan bangsa, menurut Asroni dan Ma’rifah (2013: 99) sudah semestinya para pemangku kepentingan (stakeholders) terutama institusi pengambil kebijakan pendidikan di negeri ini, yakni Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kementerian Agama memasukkan mata pelajaran/ kuliah pendidikan multikultural ke dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Islam sebagai bagian integral dari pendidikan nasional semestinya dapat mengambil peran untuk memperkenalkan pendidikan inklusif-multikultural. Dalam konteks ini, Kementerian Agama misalnya dapat memasukkan mata pelajaran/mata kuliah tersebut dalam kurikulum pendidikan Islam. Kalaupun tidak menjadi mata pelajaran/mata kuliah tersendiri, pendidikan multikultural dapat diintegrasikan dalam mata pelajaran/kuliah lain.

(17)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

komponen masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan (Muri’ah, 2011: 9).

Dengan melihat bentuk-bentuk pendidikan agama sebagaimana disebutkan dalam PP No. 55 tahun 2007, maka posisi pendidikan agama sangat kuat dalam pendidikan nasional. Kuatnya pendidikan agama dan keagamaan yang diintegrasikan ke dalam pendidikan nasional ini, oleh wacana dominan dianggap sebagai suatu yang baik bagi kemajuan bangsa, untuk membentuk manusia-manusia Indonesia yang religius, dengan dibuktikan terwujudnya UU Sisdiknas dan keluarnya PP No. 55 tahun 2007 yang memang menganggap pendidikan agama sebagai bagian dari pendidikan nasional. Akan tetapi, apakah pendidikan agama bisa diandalkan untuk memajukan bangsa, memperkokoh kebangsaan Indonesia, dan ikut terlibat dalam mengatasi problem-problem kebangsaan dalam konteks pendidikan, termasuk kekerasan berbasis agama, masih terus aktual dan bergulir, karena ia masih berlangsung, di tengah posisi dan madzhab pendidikan agama itu sendiri (Ridwan, 2013: 184).

Pengintegrasian nilai-nilai dan kurikulum pendidikan multikultural dalam sistem pendidikan nasional memiliki urgensi dan signifikansi besar bagi pengembangan keharmonisan dan pemeliharaan semangat Bhineka Tunggal Ika. Penelitian Muslimah (dalam Rahim, 2012: 176) menunjukkan urgensi pengintegrasian nilai-nilai pendidikan multikultural dalam teks mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, yaitu sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, supaya siswa tidak tercerabut dari akar budaya, upaya untuk membangun sikap sensitif gender, membangun sikap anti diskriminasi etnis di sekolah, membangun sikap toleransi terhadap keberagaman inklusif, dan sebagai upaya minimalisasi konflik kepentingan.

(18)

keragaman, bahaya diskriminasi, HAM, demokrasi, dan subjek-subjek lain yang relevan. Bentuk kurikulum PAI hendaknya tidak lagi ditujukan pada peserta didik secara individu menurut agama yang dianutnya, tetapi ditujukan pada peserta didik secara kolektif berdasarkan pada keragaman agama peserta didik. Sementara pada level pendidik, pendidik (guru dan dosen PAI) harus memiliki pengetahuan dan kesadaran multikultural. Dengan begitu, proses pembelajaran PAI yang inklusif akan berjalan dengan baik dan efektif. Materi PAI pun harus menekankan proses edukasi sosial, sehingga pada diri peserta didik tertanam sikap saling menghargai. Para pendidik PAI dituntut pula sekreatif mungkin untuk mendesain serta menggunakan metode dan media pembelajaran yang tepat, sehingga dapat memotivasi anak didiknya untuk mengaktualisasikan nilai-nilai toleransi ke dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, evaluasi pembelajaran PAI tidak boleh hanya didasarkan pada kemampuan kognitif dan psikomotorik saja, namun juga harus mencakup kemampuan afektif peserta didik. Standar penilaian yang digunakan bukan hanya didasarkan pada angka-angka, namun yang terpenting adalah sikap dan kesadaran peserta didik akan ajaran agamanya, termasuk dalam hal menghargai pemeluk agama lain.

Kemudian agar berjalan dengan efektif, pelaksanaan pendidikan Islam inklusif-multikultural harus memperhatikan model pendidikan yang dibutuhkan dalam transformasi pendidikan nasional di Indonesia, sebagaimana yang digarisbawahi oleh Tilaar (2002: 185-190) yaitu sebagai berikut: Pertama, “Right to Culture” dan identitas budaya lokal. Pendidikan multikultural di

Indonesia haruslah diarahkan kepada terwujudnya masyarakat madani (civil society) di tengah-tengah kekuatan kebudayaan

global. Kedua, kebudayaan Indonesia-yang-menjadi, artinya kebudayaan Indonesia merupakan Weltanschauung yang terus

berproses dan merupakan bagian integral dari proses kebudayaan mikro. Sebagai suatu Weltanschauung, hal tersebut merupakan

suatu sistem nilai yang baru (value system). Sebagai suatu value system yang baru memerlukan suatu proses perwujudannya antara

(19)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

sistem nilai baru yang akan kita wujudkan, yaitu sistem nilai keindonesiaan. Ketiga, konsep pendidikan multikultural normatif

yaitu model pendidikan yang memperkuat identitas nasional yang terus menjadi tanpa harus menghilangkan identitas budaya lokal yang ada. Keempat, pendidikan multikultural merupakan suatu

rekonstruksi sosial, artinya pendidikan multikultural tidak boleh terjebak pada xenophobia, fanatisme dan fundamentalisme, baik

etnik, suku, ataupun agama. Kelima, pendidikan multikultural

di Indonesia memerlukan pedagogik baru. Karena pedagogik tradisional membatasi proses pendidikan di dalam ruang sekolah yang sarat dengan pendidikan intelektualistik, maka perlu pedagogik baru yaitu pedagogik pemberdayaan (pedagogy of

empowerment) dan pedagogik kesetaraan dalam kebudayaan yang

beragam (pedagogy of equity). Pedagogik pemberdayaan pertama-tama berarti, seseorang diajak mengenal budayanya sendiri dan selanjutnya digunakan untuk mengembangkan budaya Indonesia di dalam bingkai negara-bangsa Indonesia. Dalam upaya tersebut diperlukan suatu pedagogik kesetaraan antar-individu, antar suku, antar agama dan beragam perbedaan yang ada. Keenam,

pendidikan multikultural bertujuan mewujudkan visi Indonesia masa depan serta etika bangsa. Pendidikan ini perlu dilakukan untuk mengembangkan prinsip-prinsip etis (moral) masyarakat Indonesia yang dipahami oleh keseluruhan komponen sosial-budaya yang plural. Dalam TAP/MPR RI Tahun 2001 No. VI dan VII mengenai visi Indonesia masa depan serta etika kehidupan berbangsa perlu dijadikan pedoman yang sangat berharga dalam mengembangkan konsep pendidikan multikultural. Dalam kaitan ini perlu dipertimbangkan menghidupkan kembali pendidikan budi pekerti terutama di tingkat pendidikan dasar, melengkapi pendidikan agama yang sudah ditangani dengan UU. No. 20 Tahun 2003.

E. Kesimpulan

(20)
(21)

Pendidikan Islam Inklusif Multikultural

DAFTAR PUSTAKA

Afif, Ahmad, 2006. “Model Pengembangan Pendidikan Islam Berbasis Multikultural”, Tadris: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, No. 1, hlm. 9.

Asroni, Ahmad dan Ma’rifah, Indriyani, 2013. “Model Pendidikan Multikultural dalam Pendidikan Islam”, Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, Vol. 19, No. 1, hlm. 99-102.

Baidhawy, Zakiyudin. 2005. Pendidikan Berwawasan Multikultural. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Fadjar, Abdullah et.al. 2007. Laporan Penelitian Islam Kampus.

Jakarta: Ditjen Dikti Depdiknas.

Firdausia, Nury, 2013. “Al Quran Menjawab Tantangan Pluralisme terhadap Kerukunan Umat Beragama”, Ulul Albab: Jurnal Studi Islam, Vol. 14, No. 1, hlm. 51-52.

Ibrahim, Ruslan, 2008. “Pendidikan Multikultural: Upaya Meminimalisir Konflik dalam Era Pluralitas Agama”,

El-Tarbawi: Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 1, No. 1, hlm. 121. Ma’rifah, Indriyani. 2012. “Rekonstruksi Pendidikan Agama Islam:

Sebuah Upaya Membangun Kesadaran Multikultural untuk Mereduksi Terorisme dan Radikalisme Islam”, Conference

Proceedings pada Annual International Conference on

Islamic Studies (AICIS) XII IAIN Sunan Ampel Surabaya, 5-8 November 2012.

Muliadi, Erlan, 2012. “Urgensi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Multikultural di Sekolah”, Jurnal Pendidikan

Islam, Vol. I, No. 1, hlm. 56-62.

Muqowim, 2004. “Mencari Pola Pendidikan Agama dalam Perspektif Multikultural”, MDC Jatim, Vol. I, No. 3, hlm. 8.

Muqoyyidin, Andik Wahyun, 2013. “Membangun Kesadaran Inklusif-Multikultural untuk Deradikalisasi Pendidikan Islam”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 133-147.

(22)

Muri’ah, Siti, 2011. “Pendidikan Agama Islam dan Multikulturalisme; (Sumbangsih Agama Islam dalam Membingkai NKRI)”, Jurnal Ilmiah Manahij, Vol. IV, No. 1, hlm. 9.

Octaviani, Laila, 2013. “Pandatara dan Jarlatsuh: Model Pendidikan Multikultural di SMA Taruna Nusantara Magelang”, Komunitas: Research and Learning in Sociology and

Anthropology, Vol. 5, No. 1, hlm. 113-115.

Rahim, Rahmawaty, 2012. “Signifikansi Pendidikan Multikultural terhadap Kelompok Minoritas”, Analisis: Jurnal Studi

Keislaman, Vol. XII, No. 1, hlm. 176.

Raihani. 2010. “Islam dan Kemajemukan Indonesia: Studi Kasus Pesantren dan Pendidikan Multikultural”, Conference

Proceedings pada Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) Ke-10 Banjarmasin, 1-4 November 2010.

Ridwan, Nur Khalik, 2013. “Pancasila dan Deradikalisasi Berbasis Agama”, Jurnal Pendidikan Islam, Vol. II, No. 1, hlm. 184. Rokhmad, Abu, 2012. “Radikalisme Islam dan Upaya Deradikalisasi

Paham Radikal”, Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial

Keagamaan, Vol. 20, No. 1, hlm. 81.

Saefulloh, Aris, 2009. “Membaca ‘Paradigma’ Pendidikan dalam Bingkai Multikulturalisme”, Insania: Jurnal Pemikiran Alternatif Kependidikan, Vol. 14, No. 3, hlm. 2.

Supardi, 2013. “Pendidikan Islam Multikultural dan Deradikalisasi di Kalangan Mahasiswa”, Analisis: Jurnal Studi Keislaman, Vol. XIII, No. 2, hlm. 376.

Susanto, Edi, 2006. “Pendidikan Agama Berbasis Multikultural (Upaya Strategis Menghindari Radikalisme)”, Karsa: Jurnal Sosial & Budaya Keislaman, Vol. IX, No. 1, hlm. 784-785. Tilaar, H.A.R. 2002. Multikulturalisme; Tantangan-Tantangan

Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan

Nasional. Jakarta: Grasindo.

Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural

Under Standing untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta:

Pilar Media.

Referensi

Dokumen terkait

MUSTOFA HAKIM dan EKA MULYANA). Menganalisis perilaku petani dalam memasarkan hasil panen nanas di Desa Tanjung Atap Kecamatan Tanjung Batu Kabupaten Ogan Ilir,

Unit 1 membahas tentang Pancasila sebagai kepribadian bangsa Indonesia, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, serta keteladanan nilai-nilai luhur Pancasila dalam

Dari penjabaran diatas menjelaskan bahwa kompensasi mempengaruhi kinerja karyawan melalui kepuasan kerja akan tetapi pengaruh langsung disiplin kerja terhadap kinerja

Nilai R Square atau koefisien determinasi memiliki nilai sebesar 0,281 artinya pengaruh kompensasi dan kepuasan kerja terhadap turnover intention karyawan pizza hut Palu

Pemberian edukasi gizi kepada pasien dan keluarga pasien mengenai diet yang diberikan (jenis diet, tujuan diet, syarat diet, makanan dianjurkan dan makanan tidak

Koefisien perpindahan panas konduksi pipa kalor struktur sumbu fiber carbon lebih besar dibandingkan dengan pipa kalor struktur sumbu stainless steel mesh 100 dengan nilai

Program JKBM adalah sebuah kebijakan yang ditujukan untuk memberikan rasa keadilan kepada masyarakat dengan menyediakan pelayanan kesehatan yang pembiayaannya disubsidi

Keseluruhan indikator dituangkan dalam 28 item pertanyaan yang diukur dengan menggunakan lima poin skala likert untuk mengukur tingkat profesionalisme akuntan publik,