• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMODIFIKASI BENCANA DALAM PEMBERITAAN D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KOMODIFIKASI BENCANA DALAM PEMBERITAAN D"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

KOMODIFIKASI BENCANA DALAM PEMBERITAAN DI MEDIA MASSA Makalah Ilmiah Mengenai Studi Jurnalisme dan Psikologi dalam Perspektif

Liputan Bencana dan Psikologi Jurnalisme

Disusun Oleh: Ririn Herlinawaty

210110110432

KAPITA SELEKTA

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS ILMU KOMUNIKASI PROGRAM STUDI ILMU JURNALISTIK

2014

(2)

PENDAHULUAN

Menjadi wartawan artinya harus mampu mengabarkan berbagai peristiwa kepada masyarakat. Bukan hanya peristiwa biasa yang sering ditemui di sekitar, seperti kemacetan lalu lintas, kenaikan harga bahan pokok, dan lain-lain; namun juga peristiwa lainnya yang jarang ditemui, terkesan jauh dari rutinitas hidup, namun sangat penting untuk diberitakan kepada masyarakat. Peristiwa tersebut misalnya bencana alam, perang, atau tragedi kekerasan lainnya.

Di Indonesia sendiri, peristiwa-peristiwa tersebut cukup sering terdengar di media massa. Tentu masih jelas dalam ingatan kita bagaimana Tsunami melanda Nangroe Aceh Darussalam pada 2004 lalu, penangkapan markas teroris di Serang, Banten, beberapa tahun lalu; dan segelintir peristiwa lainnya. Adapun yang masih hangat diberitakan di media massa – dan masih ramai diperbincangkan – adalah peristiwa bencana longsor di Banjarnegara, Jawa Tengah, Minggu (14/12/2014).

Segera setelah peristiwa itu terjadi pada Minggu dini hari, media kita ramai mengabarkan berita duka ini, baik surat kabar, televisi, radio, maupun media online. Longsor tersebut, hingga Minggu petang, dikabarkan telah menelan korban meninggal hingga 24 jiwa, korban hilang 84 jiwa, dan ratusan orang terpaksa mengungsi. Tidak hanya itu, bencana ini juga menyebabkan kerusakan rumah, masjid, sawah, kebun, bahkan hilangnya sungai karena tertutup tanah longsoran. Sejumlah hewan ternak juga dikabarkan menjadi korban. Sementara jumlah kerugian dan kerusakan masih dalam penilaian Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BPBN)1.

Laiknya berita bencana lainnya, media di Indonesia tampaknya lebih senang mengedepankan kecepatan dibandingkan kualitas berita itu sendiri. Akhirnya, berita yang dihasilkan terasa kaku dan dingin, meski data-data yang disajikan terbilang lengkap, mulai dari jumlah korban, kronologi kejadian, dan lain-lain.

Padahal, dalam meliput berita bencana, seorang wartawan memikul kewajiban yang cukup berat. Tidak hanya sekadar melaporkannya kepada masyarakat, namun

      

1 http://news.detik.com/read/2014/12/14/161009/2776855/10/longsor‐banjarnegara‐bnpb‐

(3)

juga mengajak masyarakat untuk lebih sadar terhadap suatu bencana, bagaimana menanggulanginya, bagaimana menghindarinya, dan lain-lain. Hasilnya, berita tersebut justru menambah ketakutan masyarakat pada bencana-bencana lain. Contohnya berita mengenai terorisme 11 September 2001 lalu. Media heboh memberitakan soal terorisme hingga akhirnya membuat masyarakat merasa ketakutan yang berlebihan pada terorisme. Hasilnya, pihak-pihak yang digeneralisasikan sebagai teroris, didiskriminasi dan dikucilkan. Demikian juga dengan pemberitaan mengenai bencana Tsunami Aceh yang mengeksploitas penderitaan dan kesedihan korban. Hasilnya, timbul kesedihan yang berlebihan dan rasa pesimistis dalam diri masyarakat yang terkena terpaan teks berita tersebut.

Demikian juga dengan berita mengenai bencana longsor di Banjarnegara. Media-media di Indonesia seakan berlomba-lomba mencari kesedihan korban, mulai dari mendatangi mereka yang menangis, mereka yang mengungsi, hingga mereka yang berbaris mengantre bantuan dan sumbangan. Ini dimaksudkan untuk menarik simpati konsumen media, dengan demikian oplah atau rating media tersebut akan meningkat. Akhirnya, kesedihan korban bencana mengalami pergeseran makna menjadi sesuatu yang bisa dijual, dengan kata lain dikomodifikasi.

Padahal, menurut Joe Hight2 dalam Covering Tragedy (2006) mengenai jurnalisme bencana, cara wartawan meliput suatu peristiwa akan mempengaruhi bagaimana individu, keluarga, masyarakat, dan negara dalam bereaksi menyusul tragedi tersebut. Sayang, tampaknya belum banyak media dan awak media yang menganggap serius vitalnya tugas wartawan tersebut pada masa-masa bencana.

(4)
(5)

BAB II

PEMBAHASAN

Dalam memilih dan memutuskan berita mana yang akan dimuat/ ditayangkan dan mana yang tidak, membutuhkan banyak pertimbangan, baik dari wartawan maupun pihak lain yang berkaitan. Banyak penelitian di studi jurnalistik dan komunikasi yang mengkaji hal ini namun menemui jalan buntu karena kompleksnya proses pengambilan keputusan ini. Wolfgang Donsbach dari Universitas Teknologi Dresden dalam Psychology of News Decision (2013) menyebutkan bahwa setidaknya ada empat faktor yang mempengaruhi hal tersebut, yakni faktor nilai berita, institusi media, kekuatan narasumber, dan psikologi wartawan itu sendiri.

Menurut Donsbach, tiga faktor utama tidak menjadi faktor penentu dari pengambilan keputusan dalam membuat berita oleh wartawan. Faktor nilai berita misalnya, dalam pemilihan berita biasanya tidak hanya didasari oleh nilai berita, tapi keberadaan dan keunggulan tertentu dari sebuah berita. Adapun faktor institusi media, di dalam ruang berita sendiri, keputusan penulisan berita justru lebih didasari oleh faktor guessing dan social setting dari pada kekuatan institusi itu sendiri. Adapun faktor ketiga, narasumber atau sumber berita juga tidak memberikan perbedaan, ini karena belum ada penjelasan yang jelas mengenai hubungan antara sumber berita dengan keputusan pembuatan berita oleh wartawan.

Sedangkan faktor terakir, psikologi wartawan, sebenarnya memiliki pengaruh yang lebih jelas dan lebih menentukan dibanding tiga faktor sebeumnya. Ini karena pekerjaan wartawan menuntuk persepsi, simpulan, dan judgment subjektif dari wartawan itu sendiri.

(6)

jurnalistik, menurut Donsbach, sebenarnya saling terkait. Ini karena ilmu jurnalistik sebenarnya penuh dengan keputusan subjektif, baik itu menyangkut kemampuan menerima fakta dan isu, mengenai kebenaran, dan lain-lain. ini menyebabkan apa yang ditulis wartawan sebenarnya merupakan gambaran umum mengenai dunia luar yang didapat masyarakat. Itu sebabnya, wartawan sebenarnya harus berhati-hati dalam menulis beritanya karena akan sangat mempengaruhi diri khalayak.

Ini berkaitan juga dengan konsep peliputan bencana oleh Hight. Sebagai manusia normal, memang sudah sewajarnya bila seorang wartawan mendapat pengalaman emosional saat mewawancarai korban bencana. Namun apabila masuk pada tahapan memproduksi berita, wartawan harus mampu menempatkan dinding antara “human nature” itu dengan profesionalitas sebagai pekerja berita. High menyebutkan bahwa seorang wartawan harus bersikap terbuka pada narasumber korban bencana, namun juga harus pandai mengkonstruksi berita.

Dalam kaitannya dengan kasus komodifikasi korban bencana, dua konsep yang dijelaskan Donsbach dan Hight seharusnya bisa menjadi patokan bagaimana seorang wartawan mengemas berita bencana. Dengan berbagai pendekatan psikologi, menurut Hight, seorang wartawan mampu menyentuh sisi terdalam dari narasumbernya. Tanpa rasa empati, mustahil seorang wartawan mendapatkan berita yang bagus.

Namun menerapkan konsep itu pun belum cukup. Harus ditambah dengan konsep psikologi sosial dan psikologi kognitif dalam memutuskan berita mana yang akan diangkat. Setelah mendapatkan cukup informasi mengenai suatu hal, seorang wartawan harus memutuskan info mana yang pantas diberikan kepada masyarakat dengan berbagai pertimbangan tertentu.

(7)

BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

Berita mengenai bencana, baik bencana alam maupun bukan, pasti menarik untuk diliput dan diberitakan kepada khalayak. Namun seringkali, berita yang dihasilkan, bukannya menambah informasi masyarakat, malah justru menimbulkan efek negatif seperti paranoid atau ketakutan yang berlebihan terhadap hal yang terjadi. Ini semua dikarenakan adanya komodifikasi bencana dalam pemberitaan di media massa. Berita bencana dianggap disukai oleh masyarakat sehingga mampu menarik profit sebanyak-banyaknya. Padahal, apa yang ditulis wartawan mengenai suatu hal, mampu mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat.

Untuk mengatasi hal tersebut, penulis merekomendasikan agar wartawan mempelajari lebih lanjut mengenai konsep jurnalisme bencana dan jurnalisme psikologi. Dalam jurnalisme bencana, wartawan diajak untuk lebih memahami korban bencana tanpa mengeksploitasi kesedihan korban. Sedangkan dalam psikologi jurnalisme, wartawan akan memahami proses pertimbangan suatu berita sehingga lebih mampu melihat manfaat yang terkandung dalam berita untuk masyarakat.

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Donsbach, Wolfgang. Psychology of News Decisions: Factors Behind Journalists’

Professional Behavior. 2013. SAGE Publications.

Hight, Joe. Covering Tragedy. 2006. Dart Centre Europe for Journalism and Trauma.

Mosco, Vincent. The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal.

1996. Lexington Books.

Scanlon, Joseph. Research About Mass Media and Disaster: Never (Well Hardly

Referensi

Dokumen terkait

terkait dengan proyek ini, yaitu fitness centre, aerobic serta yoga yang merupakan olahraga ringan dan tidak membutuhkan tenaga yang besar seperti angkat beban. Fasilitas yang

Berdasarkan rekaman ambient noise (mikrotremor) yang diperoleh dari sepuluh titik pengukuran yang tersebar di daerah Makassar, Gowa, diperoleh spektra hasil analisis dengan

Dengan selesainya penulisan buku ini, maka penyusun menyadari bahwa semua proses yang dilakukan untuk terselesaikannya buku tidak lepas dari semua yang turut serta secara langsung

Penetapan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Dan Pejabat Pengelola Informasi Dan Dokumentasi Pembantu (PPID Pembantu) Di Lingkungan Pemerintah Kabupaten Mojokerto

Dalam konteks Komunikasi Transendental, pesan (perintah) shalat dari Allah, disampaikan dengan cara yang berbeda kepada nabi Muhammad SAW dan kepada manusia.. Kalau dalam

Alat ukur ini menawarkan kemudahan untuk memahami caranya tentukan posisi saat ini (as-is) dan posisi masa depan (to-be) dan memungkinkan organisasi membuat

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pemerolehan bahasa Indonesia pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik pada anak usia dini yang berusia

Hasil penelitian berupa penilaian raters terhadap ekspresi emosi marah, sedih, senang dan takut dengan media audio visual yang terdiri dari 20 scence.. Berdasarkan