1
Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Komunikasi Pada
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik dengan Minat Utama Komunikasi Public Relations
Oleh :
Reza Yogaiswara
NIM. 0811220135
BIDANG MINAT PUBLIC RELATIONS
JURUSAN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TAARUF DALAM PERSPEKTIF ISLAM
(Studi Kualitatif Mengenai Taaruf Sebagai Proses Komunikasi Dalam Perspektif Islam)
REZA YOGAISWARA
Mahasiswa Bidang Minat Public Relations Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya Malang, Jl. Veteran, Malang.
E-mail personal : rezayogaiswara@gmail.com
ABSTRACT
Western Theories’s inability to explain various phenomena and communication behavior that appears in Eastern States (Asia) encourage the emergence of a variety of communication studies with oriental perspective (Eastern Perspective). Islam as a religion that contribute to the development history of science communication then enrich the perspective of the east with the idea of the Islamic perspective, which is based on Al-Quran and Al-Hadith. Islamic perspective is very useful for understanding various concepts in Islam and to explain various phenomena that arise as a result of acculturation of Islam with local culture such as taaruf.
Review of the literature that is used is the theory and concepts rooted in Islamic perspective as taaruf concept and the concept of the prophetic communication. Some excerpts from the Al-Quran and Al-Hadith, both the original quote and the interpretation from some experts, was presented as a main reference source for taaruf peel thoroughly in the Islamic perspective. This study used a qualitative approach in order to deepen the meaning of understanding taaruf informants. Informants selected with specific criteria through purposive sampling. The data is then collected through in-depth interviews.
These results indicate that taaruf interpreted as prenupyial recognition process that honest, open, and carried out in the corridors of Islamic law without the involvement of an excessive feelings to cause serenity. Transcendent motivation is the main reason taaruf choosen among other prenuptial relations. Taaruf seen carrying the prophetic spirit, the humanization (restore human nature), liberation (liberating people from the injustice of social structures) and transcendence (faith in God).
The transcendent motivation led to a proposition that in the Islamic perspective, transcendental communication is a source of peace which can freed from a situation of uncertainty. The existence of a facilitator in taaruf also be evidence that in the Islamic perspective, transcendence has become a necessity, motif, as well as the purpose of communication.
Keywords : Islamic perspective, taaruf, communication, transcendence, serenity, qualitative
I. ISLAM DAN ILMU KOMUNIKASI
Perjalanan komunikasi sebagai ilmu telah mengalami sejumlah etape evolusi keilmuan. Syahputra (2007) menceritakan bahwa sebagai sebuah ilmu, perkembangan ilmu komunikasi sangat
dipengaruhi oleh situasi lingkungan masyarakat yang melingkupinya. Pada awalnya, tradisi keilmuan termasuk kajian komunikasi telah berkembang di Eropa yang lebih dikenal dengan mahzab Frankfurt atau Frankfurt School. Sekitar tahun 1930-an terjadi migrasi ke Chicago, Amerika karena kekejaman
Dua aliran keilmuan tersebut banyak mendominasi wacana keilmuan di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia. Teori-teori komunikasi yang dipelajari oleh komunitas pendidikan tinggi
ilmu komunikasi maupun para praktisi komunikasi di Indonesia selama ini merupakan produk dari sejarah intelektual Barat (Raharjo, 2009). Dissanayake (1988) dalam Hair (2013) menunjukkan bahwa banyak penelitian komunikasi di negara-negara dunia ketiga yang tidak relevan dengan kondisi sosial
yang diteliti. Teori barat dianggap tidak tepat dan tidak memadai untuk menjelaskan fenomena dan perilaku komunikasi yang muncul di negara timur (Asia) yang memiliki akar budaya yang berbeda.
Teori-teori komunikasi perspektif timur pun bermunculan dan memberikan makna yang berbeda pada komunikasi khususnya dalam konteks Asia. Teori-teori Asia menekankan sistem, kelompok, jaringan,
dan pendekatan makro dan oleh karenanya lebih mirip dengan filsafat, yang tidak bisa dengan mudah diuji dengan cara ilmiah Barat (Littlejohn & Foss, 2009, h.48).
Littlejohn & Foss (2009) kemudian menambahkan bahwa meskipun secara geografis cakupan Asia meliputi wilayah Timur tengah, Asia tengah, dan Rusia timur, teori-teori komunikasi perspektif
asia hanya berfokus pada filosofi besar India dan China, serta kebudayaan dan agama yang terdapat di antara keduanya, baik hindu, budha, konfusionisme maupun Islam.
Tanpa banyak disadari sebenarnya Islam sebenarnya juga mengalami masa renaissance pada abad ke-8 hingga abad ke-10. Tradisi keilmuan Islam merupakan mata rantai yang menghantarkan
kemajuan perkembangan keilmuan masa Yunani kuno kepada masa renaissance di Eropa (Syahputra, 2007). Pada masa itu terjadi penerjemahan ilmu asing secara besar-besaran ke dalam kitab-kitab
berbahasa Arab.
Kita tidak bisa memungkiri sebuah fakta sejarah bahwa renaissance yang terjadi di dataran Eropa telah membawa banyak perubahan dan kemajuan keilmuan yang besar. Akan tetapi sangat
disayangkan bahwa perkembangan keilmuan tersebut sering menafikan peran agama (Syahputra, 2007). Berdasarkan teori sekulerisme, modernisasi akan menggiring lenyapnya kekuatan sosial
agama, agama dan modernitas tidak bisa bertemu dan ketika modernitas muncul, maka agama akan tersingkir (Gorski dalam Dillon, 2003, h.111). Agama hanya akan berakhir sebagai ritual keagamaan
tanpa memberikan kontribusi dalam bentuk apapun dalam kehidupan sosial.
Wacana mengenai koneksitas antara ilmu pengetahuan nampaknya masih akan melalui proses
perdebatan panjang. Meskipun hal ini sudah terwujud dalam beberapa aksi akademik, tetapi belum menjadi aksi intelektual yang masif, alih-alih menjadi tradisi keilmuan baru. Mahatir Muhammad
dalam Syahputra (2007, h.52) menyatakan bahwa dalam tiga peradaban manusia, yaitu revolusi hijau, revolusi industri dan revolusi informasi, tak satupun ilmuwan muslim tercatat namanya dalam
lembaran tinta emas pengembangan ilmu pengetahuan. Oleh Syahputra (2007, h.51) hal ini disebabkan oleh sibuknya Islam mengurusi konflik konseptual di dalam dirinya sendiri (pertentangan antara golongan substansialis yang menghendaki islam dengan kontekstualisme dan golongan
Koneksitas antara Islam dan ilmu pengetahun dilandasi pemahaman bahwa Al Quran dan sunnah bukan hanya berada di belakang setiap problematika, menunggu berbagai isu kontemporer
yang akan menghampirinya, melainkan berada di depan sebagai panduan, ditengah realitas sebagai sumber inspirasi, dan berada di belakang sebagai motivasi untuk menguak berbagai rahasia kehidupan, alam dan relasi kemanusiaan (Syahputra, 2007). Dengan demikian, siapa saja yang dapat
mengartikulasikan Al quran ketika diletakkan di sebagai panduan, inspirasi dan motivasi akan menjadi orang yang beruntung, seperti yang termaktub dalam al quran sebagai berikut :
“Sesungguhnya telah datang dari Tuhanmu bukti-bukti yang terang (Al Quran); maka barangsiapa yang dapat memanfaatkannya, maka dialah yang akan beruntung …” (Q.S. Al-An’am: 104)
Islam telah memberikan kontribusi dalam sejarah perkembangan ilmu komunikasi. Galander
(2002) bahkan menyebutkan bahwa Islam merupakan agama yang berbasis komunikasi, komunikasi antara Tuhan dengan manusia (Habluminallah), dan komunikasi antara sesame manusia
(Habluminannas).
Syahputra (2007, h.11-13) memberikan pemaparan empirik yang menarik mengenai
dokumentasi wahyu Tuhan dalam pelepah kurma, kulit binatang, tulang dan batu pada jaman Rasulullah saw memberikan kontribusi besar pada sejarah perkembangan tulis menulis yang menjadi
dasar perkembangan percetakan dan industri media pada jaman sekarang. Sayangnya bagian terpenting dari sejarah perkembangan percetakan pada masa awal ini tidak mendapat tempat yang cukup dalam khazanah sejarah perkembangan ilmu komunikasi. Oleh Syahputra (2007, h.13-14) hal
ini disebabkan karena penulisan ayat quran di peepah kurma, tulang dan kulit hewan memiliki tendensi religius sehingga dianggap bukan merupakan bagian dari urusan manusia di dunia. Ia
menambahkan bahwa kebanyakan sejarah perkembangan komunikasi yang dipelajari adalah sejarah yang bersumber dari barat (Amerika) sehingga sering dilupakan bahwa islam juga member kontribusi
besar bagi sejarah komunikasi manusia.
Karya monumental mengenai kajian ilmu sosial dalam perspektif Islam di Indonesia pernah
muncul melalui gagasan seorang ilmuwan Islam kontemporer bernama Kuntowijoyo. Kuntowijoyo dalam gagasannya mengenai Ilmu Sosial Profetik, menekankan adanya transformasi sosial menuju
transendensi yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya konseptualisasi mengenai Komunikasi Profetik (Syahputra, 2007, h.122). Konsep mengenai komunikasi profetik mengusung semangat
humanisasi (mengembalikan hakikat kemanusiaan), liberasi (pembebasan manusia dari ketidakasilan struktur sosial) dan transendensi (keimanan kepada Tuhan) (Syahputra, 2007, 128-129).
Hal ini mungkin akan memunculkan sebuah pertanyaan kontradiktif dalam benak kita. Jika
transformatif ? tentu tidak demikian. Islam sebagai agama datang dengan suatu misi perubahan. Dalam sebuah hadits diriwayatkan sebagai berikut :
“Aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak manusia (Al-Hadits)”
Hadits tersebut dapat dimaknai dengan semangat transformasi, yaitu perubahan terhadap akhlak manusia yang tadinya mengalami dehumanisasi, terpenjara dalam struktur sosial dan tidak
berkiblat pada transendensi. Perubahan itulah yang abadi dalam Islam. Inilah yang dimaksud oleh Kuntowijoyo (2005, h.85) dalam Syahputra (2007, h. 128) sebagai transformasi menuju transendensi.
Hal ini berarti dimensi agama tidak lagi bisa dipisahkan dari ilmu pengetahuan. Jika selama ini dalam sejarah keilmuan kita melihat ada pertentangan dominasi antara ilmu pengetahuan dan agama, maka
perspektif Islam ini muncul pandangan baru yang berbeda karena nurani yang bernyawakan transendensi inilah yang akan menuntun akal untuk mencari kebenaran. Aplikasinya, Al Quran dan Al
Hadits akan muncul sebagai rujukan utama dengan tingkat kebenaran mutlak.
Syahputra (2007, h.129) menambahkan bahwa istilah profetik ini juga mengacu pada
kembalinya Rasulullah saw di tengah masyarakat setelah peristiwa Isra’ Mi’raj. Pengalaman religius yang dialami Rasulullah saw menjadi dasar keterlibatannya dalam sejarah kemanusiaan untuk
menyerukan kebenaran dan melakukan transformasi transenden. Hal ini membulatkan sebuah pemahaman bahwa dalam Islam, keimanan tidak hanya berakhir sebagai sebuah keshalihan pribadi,
tetapi harus menjadi keshalihan sosial yang berkontribusi riil terhadap masyarakat. Sehingga pada akhirnya konsep profetik ini dipakai untuk kategori etis, bukan sebagai kategori ilmu maupun kategori terapan.
Dalam tulisannya, Hair (2013, h.1) memaparkan dua alasan mengenai digunakannya perspektif non-barat dalam kajian perbandingan teori komunikasi. Pertama, dapat membantu
memperlebar area dalam wacana teori komunikasi, serta dapat memfasilitasi pentingnya wawasan baru dari beragam kultur yang memungkinkan kita untuk mengkonseptualisasikan perilaku
komunikasi secara lebih baik. Kedua akan membantu memunculkan teori yang kompatibel dengan kondisi sosial di tempat yang diteliti agar hasil penelitian menjadi lebih komprehensif.
Di Indonesia, komunikasi dalam perspektif islam ini sendiri masih belum tereksplorasi secara maksimal. Hal ini dibuktikan dengan sedikitnya penelitian komunikasi yang menggunakan Islamic
perspective. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2010) adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, dengan lebih dari 207 juta jiwa, meskipun secara resmi bukanlah negara
II. TAARUF : PROSES TRANSENDENSI
Dalam Islam, manusia disebutkan memiliki kecenderungan alamiah terhadap lawan jenis.
Dalam Quran surat Ali Imran ayat 14 disebutkan bahwa : Dijadikan indah pada pandangan manusia, kecintaan kepada apa-apa yang diinginkan, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari
jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang (Q.S. Ali Imran : 14). Untuk merealisasikan ketertarikan tersebut dalam sebuah hubungan yang manusiawi, Islam datang dengan konsep pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah konsep yang menafikkan konsep membujang di satu sisi sekaligus mengingkari adanya kebebasan mutlak dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan.
Kecenderungan alamiah manusia untuk tertarik kepada lawan jenis tidak dibunuh atau dimampatkan, namun juga tidak dibebaskan begitu saja sehingga manusia terjerumus dalam sifat kebinatangan tanpa
aturan. Pernikahan ini menjadi konsep yang menjembatani keduanya, sehingga menurut Takariawan (2013) konsep pernikahan akan mampu mengakomodasi kecenderungan alamiah tersebut dalam suatu
susunan kerangka yang bijak dan manusiawi. Pernikahan ini menjadi sebuah konsep yang penting sehingga pernikahan ini disebut sebagai separuh dari agama (Muzanni, 2014).
Pentingnya pernikahan membuat cara-cara yang digunakan untuk mewujudkannya menjadi penting. Setiap usaha menuju pernikahan akan diganjar dengan kebaikan seperti pernikahan itu
sendiri. Termasuk upaya untuk mengenali pasangan sebelum menikah. Menentukan pilihan pasangan hidup bukan peristiwa yang dampaknya hanya sesaat, melainkan memiliki dampak luas dan panjang sampai seumur hidup (Takariawan, 2013, h.47). Takariawan kemudian menjelaskan bahwa pada masa
Rasulullah SAW, dikenal konsep nadhor sebagai aktivitas yang diajarkan untuk sarana pengenalan pranikah. Nadhor yang dalam bahasa arab melihat dilaksanakan secara tekstual seperti maknanya,
yaitu dengan bertemu secara fisik dengan calon pasangannya. Nadhor inilah yang kemudian diadaptasi kedalam konsep taaruf yang banyak dilakukan di Indonesia.
Secara bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan taaruf sebagai perkenalan. Kata taaruf diserap dari Bahasa Arab yang secara harfiah bermakna “saling mengenal”. Kata taaruf terdapat dalam Al-Quran, surat Al-Hujurat, ayat 13 :
ري خ مي ع ّّا ّ إ ْمكاقْتأ ّّا ْنع ْم مرْكأ ّ إ ا فراعتل لئا ق اب عش ْمكانْ عج ىثْن أ رك ْنم ْمكانْق خ اّنإ ساّنلا ا ّيأ اي
Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
untuk keperluan yang bersifat umum maupun untuk keperluan yang bersifat khusus dengan cara-cara yang sesuai syariat.
Makna ini bagi sebagian kalangan dipersempit, menjadi lebih spesifik merujuk kepada proses penjajakan pranikah. Arlina (2012, h.3) mendefinisikan taaruf sebagai sebuah proses penjajakan
mencari pasangan hidup dengan tahapan-tahapan yang harus dilalui yang berbeda dengan tahapan hubungan pada umumnya. Ahmad Setiyaji dalam Sumarsya (2010, h.32) mengatakan bahwa taaruf itu dikatakan memiliki kekhususan, jika memang ada tujuan atau pesan tertentu yang ingin disampaikan.
Hal itu bisa dilihat dalam pernyataannya berikut ini : “Taaruf yang khusus itu adalah yang memiliki tujuan yang pasti yaitu pernikahan, karena banyak hal yang patut untuk diketahui oleh masing-masing
pihak sebelum menikah. Intinya ada pesan khusus yang diberikan oleh komunikator kepada komunikan, yang pada akhirnya menghasilkan feedback yaitu keputusan untuk melanjutkan proses ke pernikahan atau tidak”.
Hasil wawancara mendalam yang dilakukan kepada informan penelitian ini menunjukkan
bahwa taaruf dimaknai sebagai proses pengenalan pranikah yang jujur, terbuka, serta dilakukan dalam koridor syariat Islam tanpa disertai keterlibatan perasaan yang berlebihan untuk menimbulkan
ketenangan.
Ada lima poin utama dalam pemaknaan ini, kejujuran, keterbukaan, koridor syariat Islam,
keterlibatan perasaan, dan motivasi ketenangan. Kejujuran dimaknai sebagai upaya untuk berbagi informasi apa adanya selama taaruf. Salah satu prinsip dalam konsep Islamic interpersonal
communication milik Olayiwola (1993) adalah larangan untuk berdusta, serta mencampuradukkan antara kebenaran dengan kebohongan. Kejujuran ini dianggap sebagai landasan penting dalam membangun hubungan dalam taaruf.
Hal yang paling melandasi dimensi kejujuran ini tentu saja motif taaruf itu sendiri. Tentu tidak logis jika seseorang memilih taaruf pranikah sebagai solusi pengenalan pranikah yang sesuai
dengan syariat Islam tapi menggunakan cara-cara yang tidak sesuai syariat seperti berdusta. Ketidakselarasan antara motif, keyakinan dan perilaku tentu akan menjadi isu tersendiri yang dapat
mengganggu kognisi pelaku taaruf.
Poin kedua dalam pemaknaan taaruf adalah keterbukaan. Sedikit beririsan dengan kejujuran,
keterbukaan dalam konsep taaruf juga dimaknai sebagai upaya untuk berbagi informasi tanpa ada hal yang ditutup-tutupi. Keterbukaan ini berkaitan dengan jenis informasi yang dibagikan selama taaruf.
Taaruf mengharuskan pelakunya untuk tidak saja berbagi mengenai informasi demografik dan biografik seperti nama, alamat, usia dan data diri lainnya, akan tetapi juga informasi yang sifatnya lebih intim dan personal menyangkt motif pernikahan, visi misi hidup, life map, bahkan informasi
Poin ketiga yang turut mendefinisikan pemaknaan informan mengenai taaruf merupakan syariat Islam. Keberadaan syariat Islam ini merupakan sebuah diferensiasi yang akhirnya membuat
taaruf berbeda dengan pengenalan pranikah lainnya. Syariat Islam tidak hanya hadir sebagai batasan dalam tataran teknis pelaksanaan taaruf tetapi juga menjadi landasan utama dan motif seseorang untuk melakukan taaruf.
Hal ini mengacu pada keberadaan taaruf dalam Islam sebagai pengenalan pranikah. Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa taaruf dalam Islam tidak disebutkan secara literal sebagai konsep
perkenalan pranikah. Taaruf hadir sebagai representasi sekumpulan syariat Islam yang mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam upaya pengenalan pranikah. Sehingga ketika
seseorang memutuskan untuk melakukan taaruf, sebenarnya mereka sedang berupaya menerapkan sekumpulan syariat Islam tersebut kedalam cara mereka untuk mengenali calon pasangan yang hendak
dinikahi. Dengan kata lain, kesesuaian dengan syariat Islam inilah yang sebenarnya mereka cari. Sehingga tidak berlebihan rasanya jika syariat Islam ini merupakan bagian besar yang turut
mendefinisikan taaruf itu sendiri.
Poin keempat merupakan keterlibatan perasaan. Artinya dalam proses taaruf, para pelakunya
akan melakukan serangkaian upaya pengelolaan sejauh mana perasaan mereka dilibatkan dalam proses taaruf. Taaruf bukanlah proses pengenalan pranikah yang melarang pelakunya untuk bertemu
sama sekali. Akan tetapi munculnya ketertarikan dalam hubungan yang belum halal diikat dalam pernikahan merupakan sebuah dosa karena itu merupakan zina hati. Pemahaman tersebut didasarkan
pada hadits riwayat Bukhari dan Muslim sebagai berikut : “Sesungguhnya Allah menetapkan jatah zina untuk setiap manusia. Dia akan mendapatkannya dan tidak bisa dihindari: Zina mata dengan
melihat, zina lisan dengan ucapan, zina hati dengan membayangkan dan gejolak syahwat, sedangkan kemaluan membenarkan semua itu atau mendustakannya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Hal ini menyiratkan urgensi pengelolaan keterlibatan perasaan dalam proses taaruf. Maka
dibatasilah proses taaruf dari obrolan-obrolan atau interaksi yang tidak menjadi pertimbangan utama dalam keputusan untuk menikah. Dalam situasi interaksi yang terbatas, mereka harus berbagi
informasi personal yang bersifat intim dan rahasia. Taaruf memberikan ruang seluas-luasnya untuk berbagi konten (isi) informasi personal yang bersifat intim dan rahasia, tetapi sangat membatasi
bagaimana konteks penyampaian pesan tersebut agar tidak menimbulkan zina hati.
Poin kelima sekaligus terakhir adalah motivasi ketenangan. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa taaruf dipilih karena darinya mereka bisa mendapatkan ketenangan. Motivasi ketenangan ini berkaitan dengan dua hal, pertama ketenangan yang timbul karena ada keselarasan antara aktivitas
taaruf dengan syariat Islam. Kedua, ketenangan yang muncul berkaitan dengan kondisi jika taaruf tidak berakhir dengan pernikahan. Ada semacam jaminan bahwa hubungan silaturahim antara pelaku taaruf akan tetap terjalin dengan baik meskipun taaruf yang dilakukan tidak berujung pada
proses taaruf, kecuali dengan orang yang berkepentingan, sehingga orang-orang yang tidak memiliki hubungan dengan pelaku taaruf tidak akan tahu dengan siapa saja pelaku pernah bertaaruf.
Setelah penelusuran makna, penting untuk memahami motif yang digunakan informan untuk bertaaruf. Motivasi yang paling kuat muncul sebagai dorongan utama merupakan motivasi ketuhanan
atau motivasi transenden. Motivasi ini berkaitan dengan keyakinan informan bahwa taaruf merupakan proses pengenalan pranikah yang sejalan dengan apa yang disyariatkan dalam Islam.
Motivasi transenden ini menjadi landasan atas setiap tindakan yang diambil berkenaan dengan
pengenalan pranikah. Misalnya saja mengenai pola interaksi yang harus dibangun dengan melibatkan orang ketiga sebagai perantara. Dalam konteks pengenalan pranikah yang cenderung diidentikkan
dengan konteks hubungan yang romantis, kita mungkin saja tergoda untuk memaknai kehadiran orang ketiga ini sebagai gangguan. Informan menganggap bahwa hal ini menjadi sebuah keharusan dan
kebutuhan karena mereka berkeyakinan bahwa Islam melarang dua orang laki-laki dan perempuan untuk berdua-duaan.
Cara-cara lain yang digunakan untuk saling mengenali pasangan selama taaruf pun juga mengindikasikan hal yang sama. Alih-alih lebih banyak menghabiskan waktu berdua (atau bertiga)
bersama pasangan taarufnya, para informan justru lebih banyak mengahbiskan waktu untuk ‘berduaan dengan Tuhan-nya’ dalam aktivitas sholat istikharah. Bertanya kepada Tuhan diakui mereka tidak serta merta menyingkap tabir ketidakpastian mengenai pasangan taaruf mereka. Akan tetapi hal ini diyakini dapat memberikan rasa mantap da menghilangkan keraguan atas keputusan mereka untuk menikah atau menghentikan proses taaruf.
Motivasi transenden ini bisa saja telah ada secara natural dalam diri pelaku taaruf sejak sebelum taaruf dilaksanakan, tetapi juga bisa ditumbuhkan selama proses taaruf berlangsung. Hal ini
terlihat dari adanya informan yang memilih taaruf sebagai sarana untuk mencoba metode pengenalan pranikah yang baru. Seiring berjalannya waktu, fasilitator taarifnya mendorong dan berusaha
menumbuhkan motivasi ketuhanan dalam aktivitas taaruf yang sedang ia jalani. Hal ini tentu berbeda jika dibandingkan dengan informan seperti RP dan YDK yang secara sadar memilih taaruf karena
adanya kesesuaian dengan tuntunan Islam.
Motivasi transenden yang muncul adalah hasil dari keyakinan informan atas apa yang
dijanjikan oleh Allah pada ayat berikut :
…
… wamayyattaqillaha yaj’allahu makhrojawwayarzuqhu min haisu laa yahtasib…
Yang artinya : “….Barangsiapa bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia (Allah) akan
Bagi informan usaha menjalani hubungan pranikah melalui taaruf merupakan upaya pembuktian ketaqwaan1. Upaya ini diharapkan oleh informan bisa memberikan jalan keluar atas
kecemasan mengenai jodoh dalam taaruf yang mereka jalani. Setelah memilih jalan yang baik dalam mencari jodoh melalui taaruf, kemudian menimbang kualitas keimanan calon pasangan sebagai syarat utama, keputusan terakhir diambil setelah bertanya pada Allah melalui sholat istikharah.
Rangkaian proses ini dirasa cukup oleh informan untuk meyakinkan diri dalam mengambil keputusan untuk melanjutkan ke pernikahan atau tidak.
Meskipun hasil sholat istikharah tidak memberikan hasil berupa wawasan atau informasi tambahan mengenai siapa pasangan taarufnya, upaya ini berhasil mengurangi ketegangan kognitif
informan. Informan mendapat keyakinan bahwa jika tujuan dan cara mencapai tujuan dilakukan dengan cara yang baik sesuai tuntunan syariat Islam, maka hasilnya akan mendapatkan pasangan yang
baik. Meskipun nanti pada akhirnya ada hal-hal mengenai pasangan yang tidak sesuai keinginan informan, tujuan dan cara mencapai tujuan yang baik dianggap mampu memberikan alasan bagi Allah
untuk membantu mereka mengatasi kesulitan yang ditimbulkan karenanya.
Motivasi transenden juga dapat kita lihat dari informasi yang ingin didapat dari calon
pasangan mereka. Dalam proses taaruf, pertanyaan mengenai data demografik dan biografik mengenai calon tidak terlalu banyak menjadi bahan diskusi. Hal ini disebabkan dua hal. Pertama, informasi
tersebut sudah dicantumkan dalam proposal pranikah secara lengkap. Kedua, dan menjadi alasan yang cukup menarik, berkaitan dengan apa yang mereka cari dari sosok pasangan hidup.
Dalam Islam mereka diajarkan untuk mencari pasangan hidup tidak berdasarkan pada
keelokan parasnya, kekayaannya, atau silsilah keturunannya. Mereka didorong untuk memilih pasangan hidup berdasarkan keimanannya. Dalam hadits Abdullah bin Amr, Rasulullah Saw.
Bersabda,
“Janganlah kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena boleh jadi kecantikan itu akan membinasakannya; dan janganlah kamu menikahi mereka karena hartanya, karena boleh jadi
harta itu akan menjadikannya sombong. Tetapi nikahilah wanita karena agama. Budak yang hitam kulitnya tetapi beragama itu adalah lebih utama (HR. Ibnu Majah)
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa agama atau kualitas keimanan sebaiknya menjadi motif
utama dalam pencarian jodoh. Hal ini akhirnya berpengaruh pada cara informan mencari informasi. Informasi yang ingin didalami oleh informan bukan informasi yang sifatnya dangkal seperti nama,
alamat, pekerjaan dan lain sebagainya. Informasi yang lebih banyak dicari dan menjadi bahan diskusi adalah informasi yang dianggap bisa menunjukkan kualitas keimanan calonnya, semisal kondisi ibadah harian, visi ibadah kedepan, pandangannya mengenai rumah tangga islami dan lain-lain.
1Ketaqwaan : berasal dari kata taqwa yang berarti senantiasa menjalankan perintah Allah dan menjauhi
Informasi-informasi demikian menjadi lebih penting bagi informan karena yang mereka cari adalah pasangan hidup yang memiliki kualitas keimanan yang baik.
III. SYARIAT ISLAM SEBAGAI SUMBER KETENANGAN
Al-Ghifari (2003) menjelaskan bahwa taaruf dalam konteks pranikah tidak hanya sekedar mengenal nama dan wajah seseorang saja, tetapi juga mengenal hal-hal yang lebih dari itu dalam
koridor ketentuan syariat agama Islam. Syari’at islam yang dimaksud dalam kutipan di atas didasarkan pada dalil-dalil seperti yang diulas dalam Qutbh (1992) berikut ini :
ع اق ْم س هْي ع ه ى ص ه ْ سر ّ أ ا ْنع ه يضر ساّ ع نْبإ ن :
رْحم عم ّاا ارْماب ْمك حا ْحي ا
wa 'anibni 'Abbasin RA. anna Rasulullahi SAW qoola : Laa yahdu ahadukum bimroatin
illa ma'a dzii mahromin
Yang artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasannya Rasulullah S.A.W Bersabda : “Janganlah sekali-kali salah seorang diantara kalian bersembunyi-sembunyi dengan perempuan, kecuali disertai mahramnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Dalil lain yang dijadikan rujukan adalah :
هل ّلحت ا أرْما ّس يْنأ ْنم هل رْيخ ْي ح ْنم طيْخ ب لج ر سْأر ْيف ْنعْطي ّ ِ
liaanna yuth'an fii ro'si rojulin bimikhyathin min hadiidin khoirun lahu min ayyamassa
imroatan laa tahilla lahu
yang artinya : “Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya.” (HR. Thobroni).
Dari kedua dalil di atas, dapat dipahami bahwa batasan dalam melakukan taaruf adalah tidak
berdua-duaan kecuali disertai mahramnya, dan tidak ada sentuhan atau kontak fisik dengan seseorang yang bukan mahramnya. Nurdin (2003, h.41) kemudian melengkapi batasan pergaulan antara laki-laki
dan perempuan dalam Islam menjadi empat hal, yaitu menjauhi khalwat (berdua-duaan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya), menjauhi kontak fisik dengan lawan jenis yang bukan
mahramnya, menjauhi ikhtilat (bercampur baur antara lelaki dan peremuan yang bukan mahramnya) dan menundukkan pandangan.
Syariat Islam ini pada dasarnya digunakan untuk mengatur batasan pergaulan antara laki-laki dan perempuan dalam konteks yang universal, tidak dikhususkan untuk pergaulan pranikah saja.
Logikanya, para informan seharusnya sudah terikat batasan syariat ini jauh sebelum mereka memutuskan untuk taaruf. Meskipun faktanya, tidak semua informan memahami dan menerapkan
masyarakat islam di Indonesia cenderung abangan atau hanya menerapkan islam dengan lebih sinkretis dan cenderung mengikuti budaya lokal, membuat masyarakat kurang mengenali
konsep-konsep islam secara mendalam.
Pada hubungan yang sebelumnya telah bergulir tanpa batasan syariat Islam, norma ini tetap
muncul dan membatasi saat taaruf dimulai. Munculnya komitmen untuk menerapkan syariat Islam dalam taaruf berasal dari hasil perenungan dan diskusi bersama fasilitator taaruf. Penerapan syariat Islam tersebut diyakini akan membawa lebih banyak kebaikan dalam hubungan taaruf yang akan ia
jalani.
Fenomena Taaruf menjadi semakin menarik ketika didapati batasan inilah yang kemudian
berubah menjadi motif bagi para informan untuk lebih memilih taaruf dibanding proses pengenalan pranikah lainnya. Data penelitian menyatakan bahwa alasan pemilihan taaruf adalah karena taaruf
merupakan proses pengenalan pranikah yang sesuai dengan ajaran Islam. Kesesuaian dengan syariat Islam ini mereka akui dapat memberikan ketenangan psikologis dan ketentraman hati bagi para
pelakunya, meskipun selain motif ini masih ada informan yang memiliki motif sampingan lainnya.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keberadaan orang ketiga sebagai fasilitator menjadi
sangat penting. Selain dapat menghindarkan mereka dari khalwat atau berdua-duaan dengan lawan jenis saat taaruf, keberadaan fasilitator tersebut juga dimanfaatkan sebagai tempat curhat atau
konsultasi serta sebagai orang yang memastikan rangkaian taaruf yang dijalani sesuai dengan syariat Islam.
Kita mungkin akan tergoda untuk berfikir bahwa keberadaan orang ketiga (fasilitator) dalam
taaruf berpotensi untuk menjadi noise komunikasi dan menghambat keterbukaan. Pemaparan hasil penelitian Fariza (2007) mengenai pembukaan diri dalam taaruf antar kader PKS pun juga
mengungkapkan bahwa pelaku taaruf merasa tidak leluasa untuk melakukan pembukaan diri karena ada orang ketiga yang terlibat dalam pembicaraan intim yang terjadi saat taaruf. Apabila dilihat dari
segi jumlah, keberadaan orang ketiga sebagai fasilitator dalam taaruf memunculkan hambatan keterbukaan. Akan tetapi data hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah orang yang terlibat bukan
satu-satunya hal yang dapat menghambat pembukaan diri. Beberapa faktor yang mempengaruhi pembukaan diri antara lain kepribadian, budaya, jenis kelamin, jumlah pendengar yang terlibat, serta
topik dan media yang digunakan. Kita juga tidak bisa melewatkan begitu saja fakta bahwa orang ketiga yang dipilih sebagai fasilitator tidak datang sebagai orang asing dalam proses taaruf tersebut.
Fasilitator tersebut diminta dengan sadar oleh informan untuk hadir menjadi ‘orang ketiga’ dalam taaruf yang ia jalani. Ia dianggap sebagai orang yang memahami informan, paham akan keinginannya untuk mencari jodoh sesuai dengan kriteria yang disyaratkan informan. Beberapa
informan seperti RP dan RAA bahkan mempercayakan usaha pencarian calon pasangan kepada fasilitator taaruf mereka. RP dan RAA cukup menyerahkan biodata dan kriteria untuk kemudian
Jadi bisa disimpulkan orang ketiga yang terlibat dalam proses taaruf informan dapat dikatakan sebagai orang dekat, sehingga proses pembukaan diri dapat berjalan dengan baik. Hal ini sesuai
dengan ungkapan Mukaffi (2003) yang menjelaskan bahwa perantara sebaiknya adalah seseorang yang dapat mengungkapkan siapa sesungguhnya jati diri sang calon, yakni orang yang intens berinteraksi dengan salah satu atau kedua pihak. Peluang ini banyak dimiliki oleh orang yang hidup
serumah dengan salah satu pihak, baik itu orang tua, kakak, adik, atau saudara, sahabat, dll. Dalam kasus ini peran perantara banyak diberikan kepada Ustadz / Murobbi yang menjadi pembina pengajian
yang diikuti informan.
Faktor kedua yang tak bisa kita abaikan adalah budaya. Informan meyakini bahwa taaruf
merupakan produk budaya Islam. Motif melakukan taaruf dilandasi kebutuhan untuk menyelaraskan proses pengenalan pranikah dengan syariat Islam. Kesesuaian prosedur taaruf dengan syariat Islam
dapat memberikan ketenangan pada informan karena ada keselarasan antara apa yang mereka lakukan dengan apa yang mereka yakini sebagai norma yang mengikat perilaku mereka. Hal ini
menghindarkan informan dari disonansi kognitif yang mungkin muncul.
Keberadaan orang ketiga selain sebagai fasilitator, dianggap bisa menjaga informan untuk
selalu berada dalam koridor syariat Islam. Keberadaannya bisa menghindarkan informan dari khalwat, dan menjaga mereka dari zina hati. Lihat saja bagaimana YDK yang lebih memilih untuk membuat
grup aplikasi chatting WA bersama pasangan taaruf dan fasilitatornya untuk menghindari khalwat, padahal jika tidak ada keterikatan dengan syariat Islam ia bisa saja berkomunikasi secara langsung
dengan pasangan taarufnya. Informan lain malah memilih cara yang lebih ekstrim dengan menjadikan fasilitator sebagai perantara komunikasi. Teknisnya, informan mengirim pesan ke fasilitator, fasilitator akan meneruskan pesan tersebut ke pasangan taarufnya.
Sehingga dapat dikatakan bahwa, daripada menganggap fasilitator sebagai noise atau penghambat komunikasi, informan lebih memilih untuk memaknai keberadaan fasilitator sebagai
penjaga yang memastikan apa yang mereka lakukan sesuai dengan syariat Islam. Dengan kata lain, kebutuhan pelaku taaruf untuk menyelaraskan proses taaruf dengan syariat Islam lebih besar daripada
kebutuhan informan atas sebuah komunikasi yang efektif dan noise-less.
IV. KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa taaruf dimaknai sebagai proses pengenalan pranikah yang jujur, terbuka, serta dilakukan dalam koridor syariat Islam tanpa disertai keterlibatan perasaan
yang berlebihan untuk menimbulkan ketenangan. Motivasi transenden menjadi alasan utama pemilihan taaruf atas proses pengenalan pranikah lainnya. Taaruf dipandang mengusung semangat
profetik, yaitu humanisasi (mengembalikan hakikat kemanusiaan), liberasi (pembebasan manusia dari ketidakasilan struktur sosial) dan transendensi (keimanan kepada Tuhan).
Motivasi transenden tersebut memunculkan sebuah proposisi bahwa dalam perspektif Islam,
perspektif Islam, transendensi telah menjadi kebutuhan, motif, sekaligus tujuan dalam berkomunikasi. Pada akhirnya, Penelitian ini masih berupa penelitian pendahuluan mengenai pelaksanaan taaruf
sebagai proses komunikasi. Peneliti berharap proposisi yang dihasilkan dari penelitian ini bisa diuji dan disempurnakan, agar dapat menjelaskan pelaksanaan taaruf secara lebih komprehensif.
V. REFERENSI