• Tidak ada hasil yang ditemukan

GARDEN CITY DAN KONSEP PEMBANGUNAN KOTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "GARDEN CITY DAN KONSEP PEMBANGUNAN KOTA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

GARDEN CITY

DAN KONSEP PEMBANGUNAN KOTA IDEAL

By :

Hery Prastowo

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Dalam perkembangan sejarah peradaban kota keinginan untuk mewujudkan sebuah kota impian terkait erat dengan pengertian “Kota Ideal“. “Kota Ideal“ yang dimaksud itu bias mempunyai wujud fisik tertentu bisa juga tidak. Peradaban kota Yunani kuno pada jaman Plato dan peradaban Asia Timur dan Selatan selalu mengkaitkan pengertian “Kota Ideal“ dengan sebuah wujud fisik tertentu. Sesungguhnya pengertian istilah “Kota Ideal“ tidak bisa dilepaskan dari sosok fi losof Plato, bukan saja dia memperkenalkan “Kota Ideal“ Atlantis, tetapi karena dalam filsafat Plato ide dan form merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Plato juga yang pertama mengajarkan bahwa antara kebahagiaan dan kesehatan badan dan jiwa terdapat sebuah hubungan yang erat. Dalam karyanya Critias dan Timaeus Plato memaparkan bahwa di benua Atlantis pada mulanya terdapat sebuah peradaban yang sangat maju dan brilian yang hancur karena korupsi dan keserakahan. Terlepas dari sifat spekulatif dari karya Plato tersebut, ide bahwa sebuah masyarakat urban yang ideal adalah yang diperintah dengan prinsip berkeadilan dan mempunyai prinsip kehidupan bersama berdasarkan etika tetap melekat pada ide-ide “Kota Ideal“ yang lahir sesudah itu. Pada masa revolusi industri abad ke-19 di Eropa Barat, pengertian “Kota Ideal“ dikaitkan dengan wujud fisik dari sebuah masyarakat urban yang mampu mengintegrasikan berbagai kelas sosial dalam sebuah lingkungan yang baik.

Jadi lahirnya ide kota impian pada waktu itu, seperti ide Garden City dari Howard adalah sebuah reaksi terhadap kondisi sosial dan lingkungan yang buruk dari pusat-pusat pertumbuhan industri seperti London, Paris atau Berlin. Pada periode ini pengertian “Kota Ideal“ selain dikaitkan dengan lingkungan hidup yang layak juga dikaitkan dengan prinsip dasar dari revolusi Perancis yang mendeklarasikan persamaan hak bagi semua manusia. Prinsip itu mengangkat hak-hak dasar manusia untuk mendapatkan kehidupan yang layak dan diperlakukan sama di depan hukum. Juga prinsip hidup dalam kebersamaan masyarakat urban sangat digarisbawahi oleh tokoh-tokoh sosialis seperti Owen, Prodhon, Saint Simon.

(3)
(4)

menjadi “Kota Ideal“ yang diharapkan, tetapi ide membangun sebuah ibukota baru seolah-olah tidak pernah mati.

Dalam skala yang lebih kecil, Sukarno pun pernah tertarik dengan ide kota baru ini yang kemudian melahirkan kota Palangka Raya di Kalimantan. Bagaimana pun impian mengenai “Kota Ideal“ dari sebuah masyarakat selalu terikat pada tempat dan waktu. Kota yang menjadi impian sebuah masyarakat disatu pihak selalu berkaitan dengan sistem nilai yang berlaku pada saat itu, dan di lain pihak sangat erat terkait dengan masalah yang dihadapi oleh masyarakat pada saat itu. Pertanyaan mengenai kota impian bagi kita di Indonesia tidak bisa lepas dari kriteria tersebut. Ada dua pertanyaan yang terkait dengan hal itu; pertanyaan pertama adalah masalah-masalah pokok mana yang sedang dihadapi oleh kota-kota di Indonesia, sedangkan pertanyaan kedua adalah mengenai sistem nilai yang akan jadikan dasar untuk mendefi nisikan “Kota Ideal“ yang kita impikan. Dari sistem nilai inilah sebenarnya yang akan menjiwai “roh“ dari kota impian kita. Berangkat dari sistem nilai tersebut akan lahir prinsip-prinsip dasar yang akan dijadikan acuan dalam usaha mengantisipasi ke-empat masalah pokok yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Jadi, sistem nilai inilah juga yang akhirnya akan sangat menentukan wujud fisik, ekonomi, social dan budaya sebuah kota yang dianggap ideal.

Kota-kota yang direncanakan dengan baik, biasanya langsung dikenali orang. Aspek penting Garden City adalah denah yang fleksibel dan kepercayaan yang tinggi pada potensi tapak. Untuk mewujudkannya, memang bukan pekerjaan mudah. Demikian pula saat melestarikannya, yang bisa mengakomodir kebutuhan jaman. Meningkatnya jumlah bangunan akibat pertambahan penduduk serta hadirnya kendaraan bermotor terbukti menyebabkan penyimpangan desain di Letchwoth dan Welwyn, juga kota-kota yang menerapkan Garden City.

Pelebaran jalan telah memangkas jarak yang diperlukan untuk mengagumi keindahan deretan bangunan yang ada untuk dirajut dalam memori kita. Apalagi merobohkannya sama sekali. Desain kota memang sangat rentan pada pengaruh luar dan respon itu tak perlu mirip pada kondisi sama. Kita harus tetap melirik aspek lokal sehingga kota kita mempunyai ciri khas yang membuat kita selalu rindu untuk pulang ke ‘kampung halaman’.

(5)

suatu permukiman harus memiliki area khusus untuk perletakan pertamanan. Konsep ini di Indonesia dikenal dengan konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataaan Ruang.

B. SEJARAH GARDEN CITY

Ruang Terbuka Hijau (RTH) aatau dalam istilah asing disebut Garden City, pada mulanya sebuah novel utopis tahun 1888 karya pengarang Amerika, Edward Bellamy, “Looking Backward” ( kisah futuristik tentang Boston tahun 2000 ), Ebenezer Howard mengawali mimpinya memperbaiki kondisi hidup masyarakat sekitar tempat tinggalnya. Terinspirasi visi kota dan masyarakat masa depan yang dilibatkan untuk membawa peradaban baru yang lebih baik dalam buku itu, Howard bertekad melahirkan garden city.

Howard, putra seorang pramuniaga, lahir di Fore Street, London tahun 1850. Waktu sekolah ia banyak diajari soal lingkungan pedesaan. Menyadari tak berbakat menjadi petani, Howard pindah ke Chicago, menjadi reporter koran dan pengadilan. Ia tiba saat kota sedang memulihkan diri dari kebakaran besar tahun 1871, yang menghancurkan sebagian besar kawasan bisnis/ CBD. Howard melihat regenerasi kawasan tersebut, juga daerah pinggiran yang sedang tumbuh pesat. Sejak itu Howard mulai memikirkan cara-cara meningkatkan kualitas hidup penduduk.

Tahun 1876 Howard kembali ke Inggris, bekerja memproduksi rekaman resmi parlemen. Melalui rekaman debat komite dan komisi itu, Howard tersadar sekaligus frustasi, betapa sulitnya parlemen mencari solusi masalah buruh dan perumahan. Howard mengamati semua partai, tak peduli berseberangan secara politis, sosial atau keyakinan, sebenarnya bersatu dalam satu isu, yaitu arus migrasi yang terus berlanjut dari kawasan pedesaan ke kota-kota yang sudah penuh sesak.

(6)

hanya mampu menyewa kamar murah, sehingga tak cukup dana untuk membangun rumah baru.

Urbanisasi menimbulkan petaka bagi kota maupun desa. Kesengsaraan bagi mereka yang tak punya cukup uang. Kemiskinan, kepadatan permukiman, polusi industri, minimnya drainase dan air bersih, kekumuhan, praktek penguburan yang buruk, menjadi penyebab timbulnya penyakit. Wabah kolera membunuh ratusan ribu jiwa antara tahun 1831-1854. Tragedi ini menjadi perhatian nasional.Sejak itu, secara bertahap diperkenalkan peraturan kesehatan publik dan pengawasan perencanaan bangunan. Namun disadari Howard, semua pedoman ini hanya mengatur pembangunan yang sudah ada di sekitar kota, bukan mengatasi masalah migrasi yang menjadi asal muasal kekumuhan kota.Ayah empat anak ini melihat bermacam upaya yang dibuat para industrialis untuk mengupayakan kesehatan, model komunitas yang terencana baik bagi para pekerja mereka.

Tahun 1884-5, komisi kerajaan melaporkan kondisi terburuk di permukiman kumuh. Tahun 1888 sebuah studi mengungkapkan bahwa lebih 300.000 dari 900.000 jiwa warga London Timur hidup dalam kemiskinan ekstrim. Catatan Howard waktu itu mencakup banyak ragam pekerjaan pada bermacam politik dan teori ekonomi.

Howard tinggal di Letchworth Garden City tahun 1905. Ia dipilih sebagai ketua Garden Cities and Town Planning Federation yang baru terbentuk tahun 1913. Howard menjadi sosok internasional yang berpengaruh, menjadi anggota kehormatan Town Planning Institute tahun 1914.Ia pindah ke Welwyn Garden City pada tahun 1921, dimana ia memulai Garden City keduanya. Ia menghabiskan sisa hidupnya di sini hingga wafat 1 Mei 1928, setelah didiagnosa menderita infeksi dada dan kanker perut. Howard dianugerahi gelar bangsawan Inggris tahun 1927.

C. KONSEP PENGEMBANGAN KOTA DI INDONESIA

Kajian pengembangan wilayah perkotaan di Indonesia selama ini selalu didekati dari aspek sektoral dan aspek spasial. Pada kajian aspek sektoral lebih menyatakan ukuran dari aktifitas masyarakat suatu wilayah perkotaan dalam mengelola sumberdaya alam yang dimilikinya. Sementara itu, kajian aspek spasial (keruangan) lebih menunjukkan arah dari kegiatan sektoral atau dimana lokasi serta dimana sebaiknya lokasi kegiatan sektoral tersebut.

(7)

penggunaan ruang sesuai daya dukung, mampu memberi kesempatan kepada sektor untuk berkembang tanpa konflik dan mampu meningkatkan kesejahteraan secara merata. Konsep tersebut digolongkan dalam konsep pengembangan wilayah perkotaan yang didasarkan pada penataan ruang.Kaitan dengan perihal diatas, ada tiga kelompok konsep pengembangan wilayah yaitu konsep pusat pertumbuhan, konsep integrasi fungsional dan konsep pendekatan desentralisasi (Alkadri et all, Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah, 1999). Konsep pusat pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besar-besaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN.

Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja diantara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hirarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumberdaya manusia.

Pendekatan tersebut mempunyai berbagai kelemahan. Dari kondisi ini muncullah beberapa konsep untuk menanggapi kelemahan tersebut. Konsep tersebut antara lainpeople center approach yang menekankan pada pembangunan sumberdaya manusia,natural resources-based development yang menekankan sumberdaya alam sebagai modal pembangunan, serta technology based development yang melihat teknologi sebagai kunci dari keberhasilan pembangunan wilayah. Kenyataan menunjukkan bahwa aplikasi konsep tersebut kurang berhasil dalam membawa kesejahteraan rakyat.

Fenomena persaingan antar wilayah, tren perdagangan global yang sering memaksa penerapan sistem outsourcing, kemajuan teknologi yang telah merubah dunia menjadi lebih dinamis, perubahan mendasar dalam sistem kemasyarakatan seperti demokratisasi, otonomi, keterbukaan dan meningkatnya kreatifitas masyarakat telah mendorong perubahan paradigma dalam pengembangan wilayah. Dengan semakin kompleksnya masalah tersebut dapat dibayangkan akan sangat sulit untuk mengelola pembangunan secara terpusat, seperti pada konsep-konsep yang dijelaskan di atas.

(8)

mengejar pertumbuhan tinggi dengan mengandalkan keunggulan komparatif berupa kekayaan alam berlimpah, upah murah atau yang dikenal dengan bubble economics, sudah usang karena terbukti tak tahan terhadap gelombang krisis. Walaupun teori keunggulan komparatif tersebut telah ber-metamorfose dari hanya memperhitungkan faktor produksi menjadi berkembangnya kebijaksanaan pemerintah dalam bidang fiskal dan moneter, ternyata daya saing tidak lagi terletak pada faktor tersebut (Alkadri etal, 1999).

Kenyataan menunjukkan bahwa daya saing dapat pula diperoleh dari kemampuan untuk melakukan perbaikan dan inovasi secara menerus. Menurut Porter (1990) dalam Tiga Pilar pengembangan Wilayah (1999) keunggulan komparatif telah dikalahkan oleh kemajuan teknologi. Namun demikian, setiap wilayah masih mempunyai faktor keunggulan khusus yang bukan didasarkan pada biaya produksi yang murah saja, tetapi lebih dari itu, yakni adanya inovasi untuk pembaruan. Suatu wilayah dapat meraih keunggulan daya saing melalui empat hal yaitu keunggulan faktor produksi, keunggulan inovasi, kesejahteraan masyarakat, dan besarnya investasi.

Apabila dicermati maka paradigma pengembangan wilayah telah bergeser pada upaya yang mengandalkan tiga pilar yaitu sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan teknologi. Ketiga pilar tersebut merupakan elemen internal wilayah yang saling terkait dan berinteraksi membentuk satu sistem. Hasil interaksi elemen tersebut mencerminkan kinerja dari suatu wilayah. Kinerja tersebut akan berbeda dengan kinerja wilayah lainnya, sehingga mendorong terciptanya spesialisasi spesifik wilayah. Dengan demikian akan terjadi persaingan antar wilayah untuk menjadi pusat spatial network dari wilayah-wilayah lain secara nasional. Namun pendekatan ini mempunyai kelemahan yang antara lain apabila salah didalam mengelola spatial network tadi tidak mustahil menjadi awal dari proses disintegrasi. Untuk itu harus diterapkan konsep pareto pertumbuhan yang bisa mengendalikan keseimbangan pertumbuhan dan dikelola oleh Pemerintah Pusat. Konsep pareto ini diharapkan mampu memberikan keserasian pertumbuhan antar wilayah perkotaan dengan penerapan insentif-insentif kepada wilayah perkotaan yang kurang berkembang.

D. KONSEP RUANG TERBUKA HIJAU (GARDEN CITY) DI INDONESIA

(9)

Berdasarkan Undang-undang tersebut proporsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah 30 % (tiga puluh persen) dari luas wilayah perkotaan. Ruang Terbuka Hijau (RTH) terdiri atas Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik dan Ruang Terbuka Hijau RTH) Privat, dimana luas untuk RTH Publik minimal 20 % (dua puluh persen) dari luas wilayah kota. (UU No. 26 Tahun 2007, pasal 28).

Dengan mempedomani Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tersebut, maka setiap Kota wajib mengalokasikan wilayahnya sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota.

Konsep tentang Ruang Terbuka Hijau (RTH) ini merupakan wujud dari penerapan Garden City pada negara-negara maju.

E. PERMASALAHAN POKOK KOTA BESAR DI INDONESIA

Dalam rangka untuk mendapatkan rumusan awal tentang konsep “Kota Ideal“, pertama-tama kita berangkat dari masalah pokok apa yang dihadapi oleh kota-kota kita saat ini. Masalah pokok yang dimaksud terdiri dari (4) empat masalah, yaitu:

1) Masalah pokok pertama dan juga yang paling utama yang harus dihadapi oleh kota-kota di Indonesia pada saat ini adalah menemukan cara terbaik untuk mengatasi proses Urbanisasi yang sedang berlangsung.

Masalah urbanisasi ini mempunyai dua karakteristik yang menjadikan dia sangat sulit untuk diatasi, yang pertama adalah kecepatannya dan yang kedua adalah dimensinya. Secara dimensional, penduduk daerah urban Indonesia akan menjadi dua kali lipat dalam 25 tahun yang akan datang dan dalam kurun waktu tersebut jumlahnya bertambah dari sekitar 85 juta menjadi lebih dari 170 juta jiwa. Walaupun proses urbanisasi sebenarnya adalah proses yang sudah sejak lama kita kenal, tetapi dari segi dimensinya dan kecepatannya yang sekarang belum pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban urban di Indonesia maupun di dunia. Tahun 2008 lalu untuk pertama kali jumlah penduduk dunia di perkotaan telah melampaui batas magis 50% dari penduduk dunia.

(10)

membangun berbagai fasilitas sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat luas. Lebih jauh dari itu daerah perkampungan penduduk dan daerah hunian lainnya secara terus menerus semakin terdesak oleh ekspansi dari proses komersialisasi lahan. Ini menyebabkan turunnya jumlah unit hunian rumah di pusat kota dan mendorong terjadinya urban sprawl dalam bentuk hunian sub-urban di pinggiran kota. Dampak dari semua ini adalah terjadinya desintegrasi fungsi kota yang menghancurkan koherensi dari sistem perkotaan yang ada dan semakin tidak efi siennya sistem urban kota-kota di Indonesia

2) Masalah pokok kedua yang dihadapi kota-kota kita adalah bahwa proses urbanisasi tersebut berlangsung dibawah tekanan struktur kekuasaan ekonomi dan politik global. Sebagai akibat lebih terbukanya hubungan lintas Negara satu dengan lainnya maka kompleksitas dari masalah yang kita hadapi akan meningkat, terutama dalam hal-hal yang terkait dengan arus komunikasi, barang dan manusia. Pengaruh globalisasi sistem ekonomi dan komunikasi akan berdampak kuat terhadap perubahan struktur ekonomi dan sistem nilai kultural di kota-kota kita. Intensifi kasi hubungan antara kota-kota besar di Indonesia dengan pusat-pusat ekonomi di dunia bisa berakibat melemahnya hubungan kota-kota di Indonesia dengan daerah belakangnya. Kondisi ini akan menyebabkan kota-kota Indonesia lebih berfungsi sebagai bridgeheads bagi ekonomi global dan menjadi agen-agen pemasaran dan mediasi demi kepentingan ekonomi global. Semua itu di satu pihak akan memperlemah ekonomi lokal setempat secara structural dan memicu sebuah perubahan sistem nilai kultural yang kontradiktif dengan nilai-nilai kultural setempat.

(11)
(12)

BAB II. GARDEN CITY KOTA PALU

A. RENCANA TATA RUANG KOTA PALU 2011

Merujuk pada Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan berkaitan dengan kewajiban pengembangan Garden City/ Ruang Terbuka Hijau (RTH), Pemerintah Kota Palu telah merencanakan pembangunan dan pengembangan ruang terbuka hijau sebagaimana tercantum dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu berdasarkan PERDA Nomor 16 Tahun 2011, tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Palu 2010-2030. Rencana kawasan RTH di Kota Palu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 PERDA 16 Tahun 2011,huruf c, terdiri atas :

a. RTH publik ; dan b. RTH privat.

RTH publik publik yang telah ada di Kota Palu sebagaimana dimaksud meliputi kawasan seluas kurang lebih 1.833 hektar atau sekitar kurang lebih 4,64 persen dari luas wilayah Kota Palu yang meliputi:

a. taman kota yang terdistribusi di Kecamatan Palu Timur, Palu Selatan, dan Palu Barat, dengan luas kurang lebih 7,39 hektar;

b. hutan kota kurang lebih seluas 395,56 hektar yang meliputi wilayah Kecamatan Palu Timur;

c. pemakaman umum dan Taman Makam Pahlawan seluas kurang lebih 91,39 hektar yang terdistribusi di Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur, Kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Palu Barat;

d. arboretum di Kelurahan Talise, Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 95 hektar; e. daerah penyangga Tahura di Kelurahan Poboya seluas kurang lebih 21,64 hektar; f. daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Barat seluas kurang lebih 208,40 hektar; g. daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 134,41 hektar; h. daerah penyangga hutan di Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 327,69 hektar; i. daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih

12,79 hektar;

j. daerah penyangga kawasan industri hilir di Kecamatan Palu Selatan seluas kurang lebih 135,81 hektar;

k. daerah penyangga kawasan perkandangan ternak di Kecamatan Palu Selatan seluas kurang lebih 94,25 hektar;

l. daerah penyangga KKOP di sekitar Bandara Mutiara Kelurahan Birobuli Utara Kecamatan Palu Selatan seluas 127,17 hektar;

(13)

n. lapangan terbuka hijau terdapat di Kecamatan Palu Utara, Kecamatan Palu Timur,

kecamatan Palu Selatan dan Kecamatan Palu Barat seluas kurang lebih 79,34 hektar. RTH privat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b meliputi pekarangan rumah tinggal dan halaman perkantoran.

Rencana pengembangan RTH Kota Palu untuk mencapai 30,10 persen dari luas wilayah kota yaitu seluas 11.889,74 hektar, yang terdiri dari 20,00 persen RTH Publik dan 10,10 persen RTH Privat meliputi:

a. pengembangan taman RT dan RW yang akan didistribusikan pada pusat unit-unit pengembangan perumahan;

b. pemanfaatan halaman depan perkantoran pemerintahan dan swasta sebagai taman publik; c. pengembangan taman kota yang akan diditribusikan di setiap kelurahan dan kecamatan

pada wilayah Kota Palu;

d. pengembangan median dan pedestrian ruas jalan di Kota Palu sebagai ruang terbuka hijau; e. pengembangan ruang terbuka hijau pada Kawasan Industri Palu di Kecamatan Palu Utara

berupa taman lingkungan, taman pada pedestrian dan median jalan kurang lebih seluas kurang lebih 300 hektar;

f. pengembangan agro wisata di Kelurahan Lambara Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 150 hektar;

g. pengembangan hutan kota di Kelurahan Kawatuna Kecamatan Palu Selatan seluas kurang lebih 100 hektar dan kebun raya di Kecamatan Palu Utara seluas kurang lebih 200 hektar; h. Pengembangan daerah sempadan SUTT di Kecamatan Palu Utara dan Palu Timur seluas

kurang lebih 55,18 hektar;

i. Pengembangan Hutan Kota di Kecamatan Palu Timur seluas kurang lebih 612 hektar; j. Pengembangan daerah KKOP disekitar Bandara Mutiara Palu menjadi Ruang Terbuka

Hijau seluas kurang lebih 165,3 hektar;

k. pengembangan fungsi-fungsi kawasan lindung lainnya menjadi ruang terbuka hijau yang meliputi sempadan pantai, sempadan sungai, sekitar mata air, sempadan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT), kawasan rawan bencana dan lindung geologi kota Palu.

B. IMPLEMENTASI PEMBANGUNAN GARDEN CITY

Sebagaimana uraian Rencana Pembangunan RTH Publik di Kota Palu, maka arah pengembangannya adalah pengembangan RTH yang sudah ada saja, sebagaimana yang tercantum dalam PERDA Nomor 16 Tahu 2011 tersebut.

(14)

hijau pada jalan protokol yang ada di Kota Palu, seperti misalnya Jl. Moh Yamin, Jl. Sam Ratulangi dan Jl. Abdurahman Saleh.

(15)

BAB III. PERMASALAHAN DAN PEMBAHASAN

A. PERMASALAHAN

Berdasarkan uraian sebagaimana pada bab-bab terdahulu, permasalahan pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH/ Garden City pada beberapa kota besar di Indonesia pada pokoknya adalah permasalahan kecukupan 30 % RTH dari luas wilayah Kota yang ada.

Permasalahan tersebut juga terjadi pada Kota Palu yang sedang berkembang. Dari Luas wilayah yang ada yaitu seluas 1.844 Ha atau 4,64 % dari luas wilayah Kota Palu seluas 39.506,00 Ha. Dengan demikian ketersediaan RTH di Kota Palu masih sangat jauh dari luas yang diamanatkan dalam undang-undang tata ruang. Apabila berdasarkan undang-undang tata ruang maka Kota Palu harus membangun RTH seluas + 11.851 Ha dimana RTH Publik seluas + 7.901 Ha dan sisanya seluas + 3.950 Ha RTH Privat.

Kondisi tersebut bukan hanya terjadi di Kota Palu saja namun secara umum kota-kota di Indonesia memiliki luas dari 30 %, terutama kota-kota besar di Pulau Jawa seperti Jakarta, Surabaya, Semarang dan Jogjakarta. Permasalahan pokok kota besar di Indoensia dalam pembangunan RTH adalah sebagai berikut :

1. Kurangnya kepedulian dan ketaatan Pemerintah Daerah, dalam hal ini pemerintah Kota untuk membangun ruang terbuka hijau.

2. Kurangnya lahan dalam rang pembangunan RTH disebabkan rata-rata kota di Indonesia berkembang dengan sendirinya, sehingga alokasi lahan untuk pembangunan memerlukan biaya yang mahal.

3. Tidak adanya sanksi yang tegas terhadap pelanggaran Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, sehingga pembangunan RTH hanya sebatas wacana yang tercantum dalam RTRW Kota.

4. Kesadaran masyarakat, terutama sektor swasta dalam turut serta mengembangkan RTH/Garden City masih kurang. Pada beberapa kota kecil belum ada kewajiban bagi pengembang perumahan untuk membangun 10 % dari pemukiman yang dibangun sebagai ruang terbuka hijau.

B. PEMBAHASAN

(16)

Konsep Garden City yang telah dilaksanakan di negara-negara maju sejak abad 19 tentunya sangat urgen untuk dilaksanakan di Indonesia, dimana kota-kota di Indoensia terus berkembang dan bertransformasi menjadi kota industri yang memerlukan keseimbangan dengan konsep pembangunan berwawasan lingkungan.

(17)

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari uraian makalah mengenai Garden City/ Ruang Terbuka Hijau (RTH) adalah sebagai berikut :

1. Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH)/ Garden City adalah merupakan amanat Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang harus dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah/Pemerintah Kota dalam rangka mewujudkan Kota sebagai tempat tinggal yang nyaman bagi penghuninya.

2. Penyediaan Ruang Terbuka Hijau merupakan tanggungjawab Pemerintah dan juga tanggungjawab masyarakat dimana Ruang Terbuka yang harus ada sebesar 30 % dari luas wilayah kota, 20 % merupakan ruang publik dan 10 % merupakan ruang privat.

3. Implemetasi penyediaan/pembangunan ruang terbuka hijau di kota-kota di Indonesia masih sangat jauh dari amanat undang-undang teruma di Kota Palu hanya sebesar 4,64 %.

B. SARAN

Berdasarkan kseimpulan sebagaimana tersebut diatas, penulis memberikan saran alternatif sebagai berikut :

1. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pemerintah Kota yang tidak melaksanakan ketentuan sebagaimana Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007, khususnya pasal 28 tentang Pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH).

2. Penerapan sanksi yang tegas terhadap pengembang perumahan yang tidak memperhatikan ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada kompleks perumahan yang dibangun.

Referensi

Dokumen terkait

sebagai identitas dan kebanggaan Kota Bogor dengan memperlihatkan kriteria khusus pada tata ruang dan berbagai elemen pembentuknya; (2) menjadi rekomendasi bagi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat: (1) membuka pemahaman bahwa pentingnya Garden City sebagai identitas dan kebanggaan Kota Bogor dengan memperlihatkan kriteria

Dalam Feng Shui, dapat menemukan komposisi yang paling cocok untuk diri sendiri, untuk itu, hal pertama yang harus Anda lakukan adalah menemukan elemen utama yang mempengaruhi

point penting yang sedang dihadapi oleh Kota Yogyakarta adalah meningkatnya pembangunan disetiap unsur, kemajuan baik urbanisasi, migrasi antar kota dan peningkatan

Percobaan terdiri dari dua tahap, tahap pertama adalah ditujukan untuk menemukan hari fermentasi terbaik yang menghasilkan kualitas gizi yang terbaik daun azolla,

Kawasan Kotabaru (dulu disebut nieuwe wijk) yang merupakan usaha perluasan kota menciptakan sebuah “kota baru dalam kota” (new town in town). Pola zonasi Garden City

Suatu cabang ilmu ekonomi yang menganalisis masalah-masalah yang dihadapi oleh negara-negara sedang berkembang dan mendapatkan cara-cara untuk mengatasi

Dalam karakter politik hukum yang demikian, masalah-masalah utama yang dihadapi oleh masyarakat adat antara lain: Pertama, masyarakat adat dihadapkan kepada prosedur