• Tidak ada hasil yang ditemukan

Proposal Skripsi Jonathan Saputra Seme

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Proposal Skripsi Jonathan Saputra Seme"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

Proposal Skripsi

Perbandingan Pengaruh Teknik Pengelompokkan Umum

dan Fuzzy K-means Clustering dalam Pembelajaran

Kooperatif tipe Student Teams Achievement Divisions

(STAD) Terhadap Prestasi Belajar, Persepsi akan

Keberagaman, dan Kemampuan Sosial Siswa

Jonathan Saputra

2009110004

STKIP Kebangkitan Nasional

Sampoerna School of Education

(2)

Bab I

Pendahuluan

1. Latar Belakang

Dalam kegiatan pembelajaran Matematika, siswa perlu dijadikan pusat

kegiatan agar siswa mampu membangun pemahaman mereka sendiri akan konsep

yang diajarkan. Pembelajaran kooperatif (Cooperative Learning) merupakan satu

dari sekian banyak pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa. Dalam

penelitiannya, Majoka et al (2010) mengatakan bahwa pembelajaran Matematika

membutuhkan pemikiran logis, argumentatif, serta dekat dengan kehidupan sosial

yang membutuhkan metode pembelajaran khusus seperti pada pembelajaran

kooperatif. Pendekatan pembelajaran kooperatif sendiri terbagi menjadi beberapa

jenis metode pembelajaran, sesuai dengan keinginan guru.

Johnson et al (2000) memaparkan beberapa metode pembelajaran

kooperatif, misalnya Teams-Games-Tournament (TGT), Group Investigation

(GI), Jigsaw, dan Student Teams Achievement Divisions (STAD). Aronson et al

(1978, dalam Lang dan Evans, 2006) mendiskripsikan kegunaan Jigsaw sebagai

alat pendorong terciptanya kerjasama dan pertukaran ilmu antar siswa. Slavin

(1978, dalam Lang dan Evans, 2006) menyebutkan bahwa TGT

mengimplementasi sistem kompetisi, yaitu antara siswa dengan kemampuan

kognitif seimbang dan antara masing-masing kelompok. GI, menurut Sharan dan

Lazarowitz (1980, dalam Lang dan Evans, 2006), membuat siswa mengumpulkan

data, menginterpretasi data melalui diskusi, dan mensintesis kontribusi

(3)

menjelaskan kemiripan metode pembelajaran STAD dan TGT dalam hal

kompetisi antar kelompok. Perbedaan terletak pada STAD yang tidak

menggunakan permainan dan turnamen, namun lebih menekankan pada kerjasama

siswa di dalam kelompok dalam mengulang pembelajaran dari guru.

Dibandingkan dengan metode pembelajaran pembelajaran kooperatif

lainnya, STAD memiliki beberapa keunggulan khusus bagi siswa. Whicker, Bol,

dan Nunnery (1997) menyimpulkan pada penelitiannya bahwa pembelajaran

kooperatif, khususnya metode pembelajaran STAD, lebih meningkatkan prestasi

belajar siswa sekaligus menunjukkan respon siswa yang positif akan pembelajaran

Matematika daripada metode pembelajaran tradisional. Junanto (2010) juga

menemukan dalam penelitiannya bahwa STAD lebih memberi pengaruh positif

pada kemampuan kognitif dan afektif dibandingkan dengan metode

Think-Pair-Share (TPS). Hal-hal tersebut menunjukkan potensi STAD sebagai metode

pembelajaran kooperatif yang dapat digunakan dalam kegiatan pembelajaran

Matematika tingkat SMA di Indonesia.

Arends (2007) menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif ditujukan

untuk mencapai tiga tujuan pembelajaran yang penting: pencapaian akademik,

toleransi dan penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan kemampuan

sosial. Tujuan-tujuan tersebut tercakup secara menyeluruh dalam penggunaan

STAD di dalam kelas. Pada STAD, masing-masing kelompok akan

beranggotakan siswa-siswa dengan kemampuan akademik yang merata. Hal ini

dilakukan untuk menciptakan pertukaran ilmu di antara siswa, sehingga siswa

(4)

akademik sedang dan rendah. Jolliffe (2005) menggali tentang

pengimplementasian pembelajaran kooperatif model STAD pada beberapa

sekolah di Inggris dan menemukan bahwa guru-guru pada sekolah tersebut merasa

yakin dengan keefektivitasan metode STAD berdasarkan dampak positif terhadap

pencapaian kognitif siswa. Masing-masing kelompok juga akan beranggotakan

siswa-siswa dengan latar belakang yang beragam, misalnya latar belakang

ekonomi, budaya, dan sosial. Pembentukan ini juga dilakukan agar siswa-siswa

terbiasa dengan keberagaman dan sikap toleransi di diri mereka akan semakin

mengakar. Siswa pun akan merasa tidak asing dan lebih mudah menerima

keberagaman yang mereka jumpai di kehidupan sehari-hari. Selain itu,

pembentukan kelompok juga diharapkan dapat membantu siswa mengembangkan

kemampuan sosialnya. Sinergi di dalam kelompok adalah hal yang diharapkan

dapat mengembangkan kemampuan sosial para siswa. Sinergi tersebut berupa

kontribusi masing-masing anggota dan interaksi yang tercipta di dalamnya.

Sehingga, kemampuan sosial siswa (komunikasi, tanggung jawab, self-awareness,

dan lain-lain) akan terus berkembang melalui pembelajaran kita. Jolliffe (2005)

juga menemukan bahwa guru-guru pada sekolah-sekolah di Inggris yang

menerapkan pembelajaran kooperatif model STAD merasa yakin dengan

keefektivitasan metode STAD berdasarkan dampak positif terhadap

perkembangan kemampuan sosial siswa.

Mengingat kuatnya pengaruh STAD terhadap perkembangan proses

pembelajaran siswa, ada satu aspek yang perlu menjadi perhatian khusus saat

(5)

pengelompokkan. Kelompok menjadi nyawa dalam metode pembelajaran STAD

karena hampir semua kegiatan pembelajaran dilakukan bersama-sama di dalam

suatu kelompok. Sejauh ini, belum ada suatu acuan pasti dalam pembentukan

kelompok siswa. Cara yang digunakan umumnya hanya menggunakan

perhitungan sederhana, asalkan kelompok-kelompok yang terbentuk dapat

menunjukkan heterogenitas di dalam kelas. Heterogenitas yang dimaksud

merupakan hal-hal mendasar yang berbeda pada masing-masing siswa sesuai

dengan kondisi kelas yang bersangkutan. Sebagai contoh, Armstrong dan Palmer

(1998) dalam penelitiannya membagi siswa ke dalam kelompok dengan

menggunakan cara pengelompokkan STAD sederhana sesuai dengan kemampuan

akademik, jenis kelamin, dan ras siswa pada kelas tersebut.

Terkait dengan cara pengelompokkan, Zadeh (1965) dalam penelitiannya

menyebutkan bahwa banyak kelompok-kelompok yang tidak secara pasti

memiliki suatu kriteria pembentukan kelompok. Bintang laut dan bakteri adalah

contoh yang menurut Zadeh (1965) menciptakan ambiguitas pada kriteria

pembentukan kelompok hewan. Meski begitu, Zadeh (1965) juga menyebutkan

bahwa tetap ada kelompok-kelompok dengan kriteria pembentukan kelompok

yang sudah pasti. Jenis kelamin adalah contoh dari dasar pembentukan kelompok

yang memiliki kriteria yang jelas. Karena hanya ada dua kriteria pada dimensi

jenis kelamin, yaitu laki-laki dan perempuan, maka setiap orang akan secara jelas

masuk ke dalam suatu kriteria. Dengan demikian, adanya kelompok yang sudah

(6)

pengelompokkan yang biasa menjadi kurang sensitif terhadap nilai

keanggotaannya masing-masing datanya.

Pembagian kelompok berdasarkan teknik fuzzy,atau dapat disebut sebagai

fuzzy clustering, dapat menjadi solusi untuk mengatasi kendala sensitivitas yang

ditemukan dalam cara pengelompokkan klasik pada metode pembelajaran STAD.

Ada beberapa kelebihan yang dimiliki teknik fuzzy clustering. Pertama, nilai

keanggotaan siswa sebagai suatu data akan masing-masing kelompok akan lebih

jelas terlihat. Sehingga, guru dapat lebih percaya diri dalam membuat kelompok

yang lebih merata. Kedua, teknik fuzzy clustering melihat lebih dari satu dimensi

secara bersama-sama dalam penentuan nilai keanggotaan siswa. Seperti

disebutkan sebelumnya, kelompok belajar dalam metode pembelajaran STAD

haruslah mewakili keheterogenitasan yang ada di kelas. Untuk itu, guru dapat

melihat lebih dari satu dimensi heterogenitas secara bersama-sama melalui teknik

ini. Ketiga, teknik fuzzy clustering dapat mengakomodir isu sensitivitas yang

kurang terakomodir di cara yang biasa. Sudah jelasnya nilai keanggotaan

masing-masing siswa membuat kekeliruan pada saat guru membentuk kelompok dapat

diminimalisir. Secara umum, terlihat bahwa teknik fuzzy clustering juga dapat

membantu guru untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran kooperatif melalui

STAD, yaitu pencapaian akademik, penerimaan akan keberagaman, dan

pengembangan kemampuan sosial (Arends, 2007).

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti tentang pengaruh metode

pembelajaran STAD dengan menggunakan dua teknik pengelompokkan. Teknik

(7)

Teknik umum yang dimaksud adalah cara pengelompokkan biasa yang

menggunakan cara pembagian sederhana berdasarkan kriteria-kriteria yang

diingini. Teknik pengelompokkan yang kedua adalah fuzzy clustering, tepatnya

teknik fuzzy k-means clustering. Teknik fuzzy k-means clustering adalah cara

pembentukan kelompok yang mengaplikasikan konsep fuzzy k-means dalam

penentuan nilai anggota dari setiap data.

Dasar pembentukan kelompok, disebut pula sebagai dimensi pembentukan

kelompok, yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah kemampuan kognitif,

status sosial, jenis kelamin, dan suku asal. Armstrong dan Palmer (1998)

menjabarkan bahwa metode STAD membagi kelompok sesuai heterogenitas akan

kemampuan kognitif, jenis kelamin, dan suku asal. Status sosial menjadi elemen

tambahan karena peneliti menganggap faktor ini dapat turut mempengaruhi

penerimaan siswa akan keberagaman. Dari keempat dimensi tersebut, kemampuan

kognitif dan status sosial menjadi dimensi pembentukan kelompok yang belum

memiliki kriteria khusus, sesuai dengan penjabaran Zadeh (1965) dalam

penelitiannya akan kriteria pembentukan kelompok. Di lain pihak, jenis kelamin

dan suku asal menjadi dimensi pembentukan kelompok yang sudah memiliki

kriteria pengelompokkan yang pasti. Berkaitan dengan cara pembentukan

kelompok pada masing-masing teknik pengelompokkan, teknik umum/biasa akan

membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok sesuai cara perhitungan sederhana

namun mengakomodir keempat dimensi yang diingini. Sedangkan teknik fuzzy

k-means clustering akan memiliki cara perhitungan khusus dalam penentuan nilai

(8)

dua dimensi yang akan diukur melalui perhitungan fuzzy k-means. Sehingga,

masing-masing kelompok akan memiliki ketersebaran yang rata antara jenis

kelamin, suku asal, dan hasil perhitungan fuzzy k-means untuk kemampuan

kognitif dan status sosial. Pada akhirnya, akan ada dua data yang

diperbandingkan, yaitu data eksperimen (data hasil penggunaan teknik fuzzy

k-means clustering) dan data kontrol (data hasil penggunaan teknik umum/biasa).

Hal yang akan diperbandingkan dari data eksperimen dan data kontrol

adalah pengaruh masing-masing data akan prestasi belajar siswa dalam

matematika. Prestasi yang dimaksud adalah prestasi kognitif siswa. Prestasi ini

akan diukur melalui produk akhir pembelajaran (contoh: ulangan harian, tugas

individu dalam kelompok, kuis, dan lain-lain). Selain prestasi kognitif, rasa

toleransi dan penerimaan keberagaman juga akan dilihat perbedaannya pada

pengimplementasian kedua teknik pengelompokkan. Terakhir, kemampuan sosial

juga akan dilihat perkembangannya di bawah kondisi pembelajaran dengan

masing-masing teknik pengelompokkan. Hal-hal ini perlu untuk dipertimbangkan,

mengingat tujuan STAD menurut Arends (2007) adalah membuat siswa mampu

meningkatkan prestasi akademik, mengembangkan toleransi dan penerimaan akan

keberagaman, dan mengembangkan kemampuan sosial.

2. Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian kali ini, peneliti akan membandingkan pengaruh dari

penggunaan dua teknik pengelompokkan berbeda dalam metode pembelajaran

(9)

teknik fuzzy k-means. Pengaruh yang dimaksud adalah pengaruh positif terhadap

prestasi pembelajaran siswa persepsi siswa akan keberagaman, dan kemampuan

sosial siswa. Sehingga, pertanyaan penelitian yang muncul adalah:

1. Apakah penggunaan teknik fuzzy k–means clustering dalam pembentukan

kelompok dapat memberi pengaruh yang lebih positif terhadap prestasi

belajar siswa dalam Matematika dibandingkan dengan penggunaan teknik

umum/biasa?

2. Apakah ada perbedaan pada persepsi siswa akan keberagaman dalam

kondisi pembelajaran yang sama?

3. Apakah ada perbedaan pada perkembangan kemampuan sosial siswa

dalam kondisi pembelajaran yang sama?

3. Tujuan

Berdasarkan latar belakang dan pertanyaan penelitian, tujuan yang ingin

dicapai dari penelitian ini adalah:

1) Mengidentifikasi besarnya pengaruh dari teknik fuzzy k-means clustering

terhadap prestasi belajar siswa dalam Matematika dan perbandingannya

dengan teknik pengelompokkan umum,

2) Mengidentifikasi besarnya pengaruh positif dari teknik fuzzy k-means

clustering terhadap persepsi siswa akan keberagaman dan

(10)

3) Mengidentifikasi besarnya pengaruh positif dari teknik fuzzy k-means

clustering terhadap perkembangan kemampuan sosial siswa dan

perbandingannya dengan teknik pengelompokkan umum,

4) Menentukan teknik pengelompokkan yang paling sesuai dengan metode

pembelajaran STAD, ditinjau dari prestasi belajar siswa, persepsi siswa

akan keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial siswa.

4. Manfaat

Berdasarkan latar belakang, pertanyaan penelitian, dan tujuan penelitian,

manfaat dari penelitian ini adalah:

1) Untuk peneliti, penelitian ini bermanfaat untuk mengasah kemampuan

peneliti dalam melakukan penelitian sekaligus menambah ilmu

pengetahuan tentang dunia pendidikan, khususnya pada pengujian metode

pembentukan kelompok belajar di dalam kelas,

2) Untuk Sampoerna School of Education (SSE) selaku institusi peneliti,

penelitian ini bermanfaat sebagai dokumen tertulis yang dapat digunakan

sebagai rujukan untuk penelitian dengan isu yang serupa,

3) Untuk para guru, penelitian ini bermanfaat sebagai bahan rujukan untuk

penggunaan teknik pengelompokkan dalam pembelajaran kooperatif

metode STAD, dan

4) Untuk para peneliti lain, penelitian ini bermanfaat sebagai rujukan untuk

contoh pengimplementasian fuzzy k-means dalam dunia pendidikan,

(11)

Bab II

Tinjauan Pustaka

2.1. Pembelajaran Kooperatif 2.1.1. Definisi

Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu contoh pendekatan

pembelajaran modern yang berpusat pada siswa. Cruickshank, Jenkins, dan

Metcalf (2009) mengartikan pembelajaran kooperatif sebagai istilah yang

digunakan untuk menjelaskan kondisi dimana pembelajar bekerja bersama-sama

di dalam kelompok kecil dan dihargai untuk pencapaian mereka secara

bersama-sama. Eggen dan Kauchak (2006) mendefinisikan pembelajaran kooperatif

sebagai kumpulan metode pembelajaran yang menyediakan kegiatan terstruktur

sekaligus menekankan pada interaksi sosial.

Pembelajaran kooperatif memiliki prinsip dasar yang menjadi landasan

dalam pengimplementasiannya di dalam kelas. Prinsip-prinsip tersebut, menurut

Muslimin et al (2000, dalam Widyantini 2008) adalah:

a) Setiap siswa dalam suatu kelompok memiliki tanggung jawab akan semua

hal yang dikerjakan di dalam kelompok mereka.

b) Setiap siswa dalam suatu kelompok harus mengetahui bahwa semua

anggota kelompok memiliki tujuan yang sama.

c) Setiap siswa dalam suatu kelompok memiliki tugas dan tanggung jawab

yang seimbang di antara anggota kelompok mereka.

(12)

e) Setiap siswa dalam suatu kelompok berbagi kepemimpinan dan

membutuhkan keterampilan untuk belajar bersama selama proses belajar

mereka.

f) Setiap siswa dalam suatu kelompok akan diminta untuk

mempertanggungjawabkan secara individual materi-materi yang

dikerjakan di dalam kelompok.

Keenam prinsip diatas menjadi ciri khusus yang dimiliki oleh pembelajaran

kooperatif. Prinsip-prinsip tersebut juga merupakan gambaran umum mengenai

pengimplementasian metode-metode pembelajaran kooperatif di dalam kelas.

2.1.2. Metode Pembelajaran

Dalam pengimplementasiannya, kegiatan-kegiatan pembelajaran

kooperatif bergantung pada metode pembelajaran yang dipilih oleh guru.

Beberapa contoh metode pembelajaran yang termasuk ke dalam pembelajaran

kooperatif adalah Teams-Games-Tournament (TGT), Group Investigation (GI),

Jigsaw, Think-Pair-Share (TPS), dan Student-Team Achievement Divisions

(STAD). Tabel berikut memaparkan metode-metode tersebut dan definisinya saat

diimplementasikan di kegiatan pembelajaran:

Tabel 2.1 definisi metode-metode pembelajaran kooperatif

Metode Definisi

TGT

TGT dikembangkan oleh DeVries dan Edwards pada 1974. TGT

merupakan metode pembelajaran dengan prosedur pelaksanaan

yang sama dengan STAD, namun disertai dengan kuis dan

kompetisi. Masing-masing kelompok di dalam kelas akan

(13)

kognitif seimbang.

GI

GI dikembangkan oleh Sharan dan Lazarowitz pada 1980. Pada

GI, guru akan menjelaskan topik umum pada siswa, yang

kemudian akan diinvestigasi dan dibuat laporan akan

masing-masing subtopik. Siswa akan mendapat tugas secara individual

dalam kelompoknya dan akan disintesis ke dalam hasil kerja

kelompok setelah melalui diskusi terlebih dahulu.

Jigsaw

Jigsaw dikembangkan oleh Aronson et al pada 1978. Pada Jigsaw,

masing-masing siswa bertanggungjawab akan subtopik yang

mereka punya. Siswa-siswa dengan subtopik yang sama akan

berdiskusi untuk memahami subtopik tersebut. Setelah itu, setiap

siswa akan kembali ke kelompok masing-masing untuk

menjelaskan subtopik yang mereka kuasai pada anggota kelompok

lainnya.

TPS

TPS dikembangkan oleh Lyman pada 1985. Setelah mendalami

materi atau menerima penjelasan guru, siswa akan mendapatkan

waktu untuk berpikir terlebih dahulu. Lalu, siswa akan bekerja

berpasangan untuk mendiskusikan hasil pemikiran mereka.

Terakhir, masing-masing pasangan akan berbagi mengenai hasil

diskusi mereka dengan pasangan-pasangan lainnya.

STAD

STAD dikembangkan oleh Slavin pada 1978. STAD merupakan

metode pembelajaran kooperatif paling sederhana, dimana siswa

di dalam kelompok belajar dan saling membantu dalam

penguasaan materi belajar. Terdapat nilai peningkatan sebagai

apresiasi terhadap peningkatan yang siswa capai di dalam

kelompoknya.

Sumber: Arends (2007); Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009); Eggen dan Kauchak (2006); Lang dan Evans (2006)

(14)

Pembelajaran kooperatif memiliki manfaat-manfaat yang penting dan

berbeda sesuai dengan sudut pandang yang dipakai. Emmer dan Gerwels (1998,

dalam Eggen dan Kauchak, 2006) berpendapat bahwa keberagaman tujuan

pembelajaran yang bisa dibuat oleh guru sebagai manfaat dari pembelajaran

kooperatif. Keberagaman yang dimaksud adalah pencapaian prestasi yang lebih

tinggi, peningkatan motivasi, peningkatan kemampuan sosial dan hubungan yang

lebih baik diantara siswa dengan latar belakang yang beragam. Lang dan Evans

(2006) memaparkan manfaat pembelajaran kooperatif lainnya dengan tinjauan

dari karakter siswa. Karakter siswa akan berbeda sesuai dengan pendekatan

pembelajaran yang digunakan. Pada pembelajaran tradisional, kesuksesan satu

siswa mengakibatkan kegagalan bagi siswa lainnya. Sebagai contoh, nilai ulangan

tertinggi di kelas hanya dimiliki oleh satu siswa, sedangkan siswa yang lain akan

gagal mendapatkannya. Kondisi tersebut membuat karakter siswa yang tercipta

menjadi karakter yang kompetitif. Hal yang bertolakbelakang muncul pada

karakter siswa hasil pembelajaran kooperatif. Siswa-siswi yang terlibat dalam

pendekatan pembelajaran kooperatif didorong dan/atau diminta untuk

bekerjasama pada tugas yang sama, dan mereka harus memusatkan kerja keras

mereka untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sehingga, karakter yang terbentuk

akan lebih mengarah pada karakter yang kooperatif.

Pendapat lain dikemukakan Arends (2007) mengenai manfaat dari

pembelajaran kooperatif. Manfaat-manfaat tersebut adalah pencapaian akademik,

penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan kemampuan sosial. Yang

(15)

dengan berbagai tingkatan kognitif (tinggi, sedang, rendah). Hal ini dapat

terwujud karena masing-masing kelompok akan memiliki ketersebaran dalam hal

tingkatan kognitif. Melalui interaksi di dalam kelompok, pertukaran ilmu antar

siswa akan tercipta dalam pengimplementasian metode-metode pembelajaran

yang dikehendaki. Sehingga, tidak hanya siswa dengan kemampuan kognitif

tinggi yang akan meningkat, namun juga siswa dengan tingkatan kognitif rendah

atau sedang. Selanjutnya, penerimaan akan keberagaman sosial adalah

ketersediaan kesempatan pada pembelajaran kooperatif untuk mengakomodir

keberagaman latar belakang siswa. Interaksi di dalam kelompok yang terdiri dari

siswa yang beragam akan mampu meningkatkan rasa toleransi antar siswa. Rasa

toleransi ini akan semakin berguna saat diaplikasikan siswa dalam kehidupan

sehari-hari mereka. Sama seperti pada pencapaian akademik dan penerimaan akan

keberagaman, perkembangan kemampuan sosial siswa juga akan tercapai melalui

interaksi yang terjadi di dalam kelompok. Kemampuan sosial, seperti kemampuan

berkomunikasi, mendengar, dan menyampaikan pendapat, juga akan berguna bagi

siswa dalam menghadapi kehidupan sehari-hari mereka.

Jika ditinjau lebih lanjut, manfaat-manfaat tersebut memiliki hubungan

satu dengan yang lain. Manfaat yang dijabarkan Emmer dan Gerwels (1998,

dalam Eggen dan Kauchak, 2008), yaitu keberagaman tujuan pembelajaran,

memiliki makna yang menyerupai manfaat pembelajaran kooperatif menurut

penjabaran Arends (2007). Tujuan pembelajaran yang dimaksud oleh Emmer dan

Gerwels (1998, dalam Eggen dan Kauchak, 2008) sejalan dengan peningkatan

(16)

kemampuan sosial yang dipaparkan Arends (2007). Karakter siswa sesuai

penjabaran Lang dan Evans (2006) juga sesuai dengan manfaat pembelajaran

kooperatif menurut penjabaran Arends (2007). Tanpa adanya karakter kooperatif

pada siswa, maka tiga manfaat yang dijabarkan Arends (2007) tidak akan

terwujud dalam pembelajaran tipe kooperatif. Sebaliknya, jika siswa semakin

memiliki karakter kooperatif yang matang, tiga manfaat tersebut pun akan

semakin mudah didapatkan pada pembelajaran kooperatif.

2.2. STAD 2.2.1. Definisi

Slavin (1995, dalam Eggen dan Kauchak, 2006) mengartikan STAD

sebagai metode pembelajaran kooperatif untuk mengajarkan fakta, konsep, dan

kemampuan dengan menggunakan kelompok dengan kemampuan bervariasi.

Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009) menyebutkan STAD sebagai metode

pembelajaran kooperatif dimana penempatan siswa-siswa dalam kelompok

heterogen untuk menguasai materi pembelajaran dilakukan setelah guru

menjelaskan materi tersebut. Kelompok heterogen merupakan hal yang penting di

dalam STAD, karena manfaat-manfaat pembelajaran kooperatif dapat terpenuhi

pada kelompok heterogen tersebut. Banyak faktor yang digunakan untuk

membentuk heterogenitas di dalam kelompok belajar STAD. Arends (2007)

menyebutkan beberapa contoh faktor, seperti jenis kelamin dan kemampuan

kognitif. Faktor-faktor tersebut dapat berkembang lebih lanjut sesuai dengan

tujuan pembentukan kelompok yang dilakukan oleh guru.

(17)

STAD memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan

metode-metode pembelajaran kooperatif lainnya. Tabel berikut menjabarkan

perbandingan kelebihan dan kekurangan yang dimiliki dari masing-masing

metode pembelajaran:

Tabel 2.2 penjabaran kelebihan dan kekurangan masing-masing metode Metode Perbandingan kelebihan dan kekurangan

TGT

Pada TGT, kompetisi digunakan sebagai motivasi oleh guru untuk

meningkatkan prestasi belajar siswa. Di sisi lain, TGT cenderung

membentuk karakter siswa dengan dominasi sisi kompetitif

daripada kooperatif.

GI

Berbeda dengan TGT atau STAD yang mengedepankan kerjasama

antar siswa dalam menguasai materi pembelajaran, GI lebih

mengedepankan kerjasama dalam hal menginvestigasi dan

melaporkan materi. Namun, metode ini lebih dapat diaplikasikan

pada kelompok dengan siswa dengan pemikiran tingkat tinggi.

Jigsaw

Pada Jigsaw, murid dituntut untuk bertanggungjawab akan

subtopik yang mereka dapatkan. Di satu sisi, hal ini baik untuk

meningkatkan rasa kesadaran dan tanggung jawab siswa. Namun,

pemahaman siswa juga terancam untuk tidak terakomodir dengan

baik karena hanya berdasarkan pemahaman seorang anggota di

dalam kelompoknya.

TPS

TPS biasa digunakan sebagai alternatif akan diskusi tanya-jawab

yang biasa dilakukan bersama-sama. Yang menjadi perhatian

adalah waktu pelaksanaan metode ini. Metode ini membutuhkan

tiga langkah pelaksanaan (berpikir sendiri, diskusi berpasangan,

dan berbagi antar pasangan), maka guru wajib mengalokasikan

penggunaan waktu yang tepat.

(18)

kelompok akan mendapatkan nilai tertinggi. Apresiasi berupa nilai

peningkatan juga menjadi nilai positif metode ini. Satu hal yang

perlu diperhatikan adalah kontrol guru terhadap kinerja yang

terjadi di dalam kelompok.

Sumber: Arends (2007); Cruickshank, Jenkins, dan Metcalf (2009); Eggen dan Kauchak (2006); Lang dan Evans (2006)

Dari penjabaran di atas, metode pembelajaran STAD merupakan metode

yang paling pas untuk digunakan dalam pembelajaran terkait dengan tujuan

penerapan pembelajaran kooperatif (pencapaian akademik, penerimaan akan

keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial). Pembentukan kelompok

yang mampu mengakomodir ketiga tujuan tersebut merupakan kunci dari metode

pembelajaran STAD untuk mengakomodir tujuan-tujuan tersebut. Tidak seperti

metode-metode yang lain, pada metode STAD akan didapatkan karakter siswa

akan lebih mengarah ke arah kooperatif, pengaturan waktu yang lebih baik,

pemahaman yang lebih merata, dan kondisi awal siswa yang tidak mensyaratkan

pemikiran tingkat tinggi sebagai hal yang signifikan. Hal-hal tersebut merupakan

hal-hal yang tidak atau kurang terakomodir pada metode pembelajaran kooperatif

selain STAD. Guru pun dapat lebih mengontrol kinerja kelompok melalui

cara-cara, seperti dibuatnya lembar kontribusi atau refleksi di dalam kelompok.

Sehingga, pemanfaatan pembentukan kelompok yang dilakukan pada metode

STAD dapat lebih memberi hasil yang maksimal.

2.2.3. Penerapan dalam Pembelajaran

Lang dan Evans (2006) menjelaskan bahwa kelompok dalam STAD

adalah kelompok heterogen yang beranggotakan empat atau lima orang. Dalam

(19)

lain-lain. Persaingan yang terjadi menjadi persaingan antar kelompok untuk

sama-sama mendapatkan nilai yang terbaik. Eggen dan Kauchak (2006) menyebutkan

bahwa semua kelompok bisa mendapat nilai yang terbaik dan tidak harus ada

kelompok yang kalah.

Pada saat perencanaan kegiatan pembelajaran dengan menggunakan

STAD, Eggen dan Kauchak (2006) memaparkan beberapa langkah yang harus

dilakukan:

1) Merencanakan instruksi untuk kelas sebagai satu kesatuan, yaitu guru

perlu merencanakan cara yang akan digunakan untuk menyampaikan

materi di awal pembelajaran. Pengidentifikasian materi, penjelasan

objektif pembelajaran, dan penyediaan contoh adalah hal-hal yang harus

dicakup pada tahap ini.

2) Membentuk kelompok, yaitu guru perlu membentuk kelompok-kelompok

yang heterogen. Faktor-faktor heterogenitas dapat ditentukan oleh guru

sesuai dengan kondisi yang ada di dalam kelas.

3) Merencanakan untuk pembelajaran kelompok, yaitu guru perlu

menyiapkan materi pembelajaran yang bisa menciptakan interaksi di

dalam kelompok. Materi pembelajaran juga harus jelas, sehingga tidak

menciptakan ambiguitas di dalam kelompok.

4) Menghitung nilai dasar dan nilai penghargaan, yaitu guru perlu

mengetahui nilai dasar atau nilai awal siswa. Nilai dasar adalah nilai yang

dimiliki siswa sebelum mengikuti kegiatan pembelajaran STAD. Nilai

(20)

dengan nilai dasar. Nilai penghargaan diatur guru menyesuaikan dengan

kondisi yang terjadi di dalam kelas.

Pada saat pengimplementasian kegiatan pembelajaran dengan STAD,

Eggen dan Kauchak (2006) juga menjabarkan beberapa langkah, yaitu pemberian

instruksi, transisi ke dalam kelompok, pembelajaran di dalam kelompok, dan

penilaian akhir. Pada saat melakukan penilaian akhir, Eggen dan Kauchak (2006)

kembali memaparkan beberapa kriteria, yaitu menggunakan nilai peningkatan

dalam perhitungan nilai dan meninjau proses yang terjadi dalam kelompok.

Dengan melakukan perencanaan, pengimplementasian, dan penilaian akhir yang

sesuai dengan kondisi kelas, maka penerapan STAD di dalam kelas akan efektif

dan memberi dampak positif pada siswa.

2.3. Teknik Pengelompokkan

Dalam pembelajaran kooperatif, khususnya dalam metode pembelajaran

STAD, pembentukan kelompok menjadi elemen penting yang tidak terpisahkan

dalam proses pembelajaran. Hal ini dikarenakan pentingnya interaksi yang ada di

dalam kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan pembelajaran kooperatif

(pencapaian akademik, penerimaan akan keberagaman, dan pengembangan

kemampuan sosial).

Davidson (1990b, dalam Leikin et al, 1999) mengatakan bahwa

heterogenitas dalam kelompok kecil merupakan salah satu isu penting dalam

merancang pembelajaran kooperatif. Slavin (1995, dalam Eggen dan Kauchak

(21)

kognitif, jenis kelamin dan etnis. Hal ini tentu dapat dimodifikasi sesuai dengan

macam heterogenitas yang ada di dalam kelas tersebut.

2.3.1. Teknik Pengelompokkan Umum

Teknik pengelompokkan umum adalah teknik pengelompokkan dengan

menggunakan perhitungan biasa, namun tetap mengakomodir heterogenitas di

dalam kelas. Eggen dan Kauchak (2006) memberi contoh penggunaan teknik

pengelompokkan umum di dalam kelas. Tabel berikut menggambarkan urutan

siswa berdasarkan kemampuan kognitif mereka:

Tabel 2.3 daftar siswa berdasarkan nilai ujian

Nama Nilai Ujian Nama Nilai Ujian

1. Rizal 98 14. Vydia (68) 68

2. Galih 85 15. Harum (66) 66

3. Lorreta 93 16. Armando (65) 65

4. Prildy 92 17. Cornel (62) 62

5. Effrika 87 18. Raja (59) 59

6. Cynthia 86 19. Tama (58) 58

--- --- --- ---

7. Maria 84 20. Linda (54) 54

8. Rosa 80 21. Maya (54) 54

9. Regina 78 22. Benrio (52) 52

10. Dion 77 23. Jupen (52) 52

11. Febri 77 24. Sardi (49) 49

12. Mega 73 25. Resiani (36) 36

13. Agnes 71

Contoh pengelompokkan yang dipakai Eggen dan Kauchak (2006) adalah

(22)

pada dua kelompok lain. Sehingga, guru dapat membentuk enam kelompok yang

beranggotakan empat orang dengan kemampuan kognitif yang beragam.

Kelompok satu akan beranggotakan Rizal, Maria, Tama, dan Resiani, dan akan

berlanjut terus hingga kelompok enam dengan anggota Cynthia, Mega, Vydia, dan

Linda.

Setelah membentuk kelompok yang mengakomodir heterogenitas di sisi

kemampuan kognitif, guru juga perlu menimbang kembali dari dimensi-dimensi

keberagaman lain. Sebagai contoh, kelompok tiga akan beranggotakan tiga pria

dan satu wanita, sedangkan kelompok empat akan beranggotakan satu pria dan

tiga wanita. Maka, guru dapat menukar posisi para siswa untuk memenuhi

keberagaman jenis kelamin dengan masih mengakomodir keberagaman

kemampuan kognitif. Hal ini berlangsung sampai guru merasa keheterogenitasan

yang ingin diakomodir sudah tercapai.

2.3.2. Fuzzy K-means Clustering 2.3.3.1. Logika Klasik

Pada logika klasik, status data pada suatu kelompok memiliki dua

kemungkinan, yaitu benar dan salah. Hanya ada dua nilai keanggotaan pada logika

klasik, yaitu 1 untuk status benar dan 0 untuk status salah. Logika klasik tidak

mengenal suatu nilai di antara dua nilai tersebut.

Logika klasik juga dapat ditemukan dalam teknik pengelompokkan umum.

Penulisan berikut merupakan penggambaran dari nilai keanggotaan suatu data

pada logika klasik:

(23)

µA(x) = 0, jika x merupakan bukan elemen dari himpunan A

Jika dipermisalkan bahwa kelompok kognitif pertama sebagai himpunan A,

kelompok kedua sebagai himpunan B, kelompok ketiga sebagai himpunan C, dan

kelompok keempat sebagai himpunan D, maka himpunan A, B, C, dan D dapat

dituliskan dengan:

A={Rizal, Galih, Lorreta, Prildy, Effrika, Cynthia}

B={Maria, Rosa, Regina, Dion, Febri, Mega, Agnes}

C={Vydia, Harum, Armando, Cornel, Raja, Tama}

D={Linda, Maya, Benrio, Jupen, Sardi, Resiani}

Selanjutnya, nilai keanggotaan seseorang terhadap masing-masing himpunan

dapat ditentukan. Sebagai contoh, nilai keanggotaan Cornel terhadap himpunan A

adalah 0 karena Cornel bukan merupakan elemen dari himpunan A, atau dapat

dituliskan dengan:

µA(Cornel) = 0, Cornel bukan merupakan elemen dari himpunan A

Nilai keanggotaan Cornel pada himpunan A akan sama dengan nilai

keanggotaannya pada himpunan B dan D. Hal ini dikarenakan pada logika klasik

hanya ada dua nilai keanggotaan, yaitu 1 (benar) dan 0 (salah). Dengan kata lain,

nilai keanggotaan Cornel pada himpunan C dapat dituliskan dengan:

µA(Cornel) = 1, Cornel merupakan elemen dari himpunan A

2.3.3.2. Logika Fuzzy

Logika fuzzy pertama kali dikembangkan oleh L. A. Zadeh pada tahun

1965. Zadeh (1965) berpendapat bahwa tidak semua kelompok memiliki

(24)

nilai keanggotaan (1 untuk status benar dan 0 untuk status salah), maka nilai

keanggotaan pada logika fuzzy merupakan rentang di antara 0 hingga 1. Nilai

keanggotaan tersebut ditentukan oleh tingkat kemiripan data dengan karakteristik

masing-masing kelompok yang ada. Penulisan berikut merupakan penggambaran

dari nilai keanggotaan suatu data pada logika fuzzy:

µA(x) = 1, jika x memiliki karakteristik yang sama dengan himpunan A

µA(x) = (0,1), jika x memiliki kemiripan karakteristik yang samar dengan

himpunan A

µA(x) = 0, jika x tidak memiliki karakteristik yang sama dengan himpunan A

Pada logika fuzzy, suatu syarat tertentu ditentukan untuk menempatkan

suatu data pada suatu kelompok tertentu. Sebagai contoh, pada tabel 2.3 terdapat

syarat bahwa kelompok pertama merupakan kumpulan siswa dengan nilai ≥85,

kelompok kedua antara 85 dan 70, kelompok ketiga antara 70 dan 55, serta

kelompok keempat dengan nilai ≤55. Syarat-syarat demikian dalam logika fuzzy

(25)

Sehingga, nilai keanggotaan seorang siswa terhadap masing-masing

kelompok pada logika fuzzy dapat dituliskan dengan:

1, x ≥ 85

µA(x)= , 77,5 < x < 85

0, x ≤ 77,5

, 62,5 < x < 77,5

µB(x)= , 77,5 ≤ x < 85

0, x ≤ 62,5 atau x ≥ 85

, 55 < x < 62,5

µC(x)= , 62,5 ≤ x < 77,5

0, x ≤ 55 atau x ≥ 77,5

1, x ≤ 55

µD(x)= , 55 < x < 62,5

0, x ≥ 62,5

Sebagai contoh, nilai keanggotaan Mega terhadap masing-masing

himpunan akan berbeda. Maria memiliki nilai 84, sehingga nilai keanggotaan

Maria adalah 0 untuk himpunan C dan D. Hal ini dikarenakan prasyarat yang ada

pada nilai keanggotaan elemen pada himpunan C dan D. Nilai keanggotaan Maria

pada himpunan A adalah 0,8667 dan pada himpunan B adalah 0,1333. Maka,

Maria secara logika fuzzy cenderung mengarah pada himpunan A, sedangkan pada

logika klasik Maria merupakan elemen dari himpunan B.

(26)

K-means merupakan salah satu cara pengelompokkan data-data dengan

karakteristik yang sama ke dalam suatu cluster atau kelompok (Agusta, 2007).

Agusta (2007) menyebutkan tujuan dari metode ini adalah meminimalisasi fungsi

objektif, dengan kata lain meminimalisasi variasi antar data dalam satu kelompok

dan memaksimalisasi variasi antar kelompok. Macqueen (1967, dalam Agusta

2007) menjabarkan langkah-langkah umum dalam penggunaan metode K-means,

yaitu:

- Menentukan jumlah kelompok yang diinginkan,

- Menempatkan data ke dalam kelompok secara acak,

- Menghitung centroid/rata-rata/pusat kelompok dari data yang ada di

masing-masing kelompok,

- Menempatkan masing-masing data ke kelompok yang paling tepat sesuai

dengan kesesuaian dengan centroid, dan

- Kembali ke langkah ketiga apabila masih ada data yang berpindah

kelompok, atau nilai centroid yang masih berubah, atau nilai pada

objective function berada diatas nilai threshold (kriteria penghentian

langkah pengulangan)

Pada penerapannya, ada beberapa alternatif yang digunakan untuk

mengembangkan teori-teori perhitungan yang sudah ada, yaitu:

1) Fungsi jarak (fungsi yang digunakan untuk mengitung data dengan

centorid)

Pedrycz (2005, dalam Kusumadewi et al, 2006) menjabarkan beberapa

(27)

Euclidean (city block) distance. Pada penelitian ini, fungsi jarak yang dipakai

adalah Euclidean (city block) distance, yaitu:

2) Metode pengalokasian ulang

Pada dasarnya, ada dua metode pengalokasian ulang data pada saat iterasi

(pengulangan langkah). Metode tersebut adalah crisp k-means clustering dan fuzzy

k-means clustering. Crisp k-means clustering merupakan metode pengalokasian

ulang data ke dalam masing-masing kelompok dengan berdasarkan pada

perbandingan jarak antara data dengan setiap centroid di masing-masing

kelompok. Nilai keanggotaan suatu data pada crisp k-means memakai konsep

logika klasik, dirumuskan oleh Macqueen (1967, dalam Agusta 2007):

dimana:

= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (crisp)

= nilai centroid cluster ke-i

Berbeda dengan crisp k-means clustering, fuzzy k-means clustering

mengalokasian ulang data ke dalam masing-masing kelompok dengan

berdasarkan pada besarnya kemungkinan suatu data menjadi anggota ke dalam

suatu kelompok (Agusta, 2007). Pada fuzzy k-means clustering, nilai keanggotaan

memakai konsep logika fuzzy. Bezdek (1981, dalam Agusta 2007) merumuskan

(28)

disebut pula dengan pangkat pembobot, dapat mengubah besaran pengaruh nilai

keanggotaan. Nilai dari w yang umum digunakan adalah dua, karena belum ada

ketentuan khusus mengenai besaran pangkat pembobot, selama w>1. Secara

umum, Bezdek (1981, dalam Agusta 2007) merumuskan fuzzy k-means:

dimana:

= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (fuzzy) [0, 1]

= nilai centroid cluster ke-i

w = pangkat pembobot (bernilai >1, umum digunakan m=2)

3) Fungsi objektif

Penggunaan fungsi objektif bergantung pada metode pengalokasian ulang

yang dipakai. Karena crisp k-means dan fuzzy k-means memakai pendekatan

logika yang berbeda, maka penggunaan fungsi objektif pun berbeda. Adapun

penggunaan fungsi objektif pada masing-masing metode adalah sebagai berikut:

Crisp k-means clustering:

Fuzzy k-means clustering:

dimana:

N = jumlah data

c = jumlah kelompok

= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (crisp)

= nilai keanggotaan data ke-k terhadap kelompok ke-i (fuzzy) [0, 1]

= nilai centroid cluster ke-i

(29)

2.3.3.4. Penerapan Fuzzy K-means Clustering

Pada penerapannya, fuzzy k-means clustering memiliki algoritma khusus.

Kusumadewi et al (2006) menjabarkan langkah-langkah penerapan sebagai

berikut:

1. Tentukan:

a. Matriks X berukuran n x p, dengan n = jumlah data yang akan

dikelompokkan; dan p = jumlah peubah (kriteria)

b. Jumlah kelompok yang akan dibentuk = C (≥2)

c. Pangkat pembobot = w (>1)

d. Maksimum pengulangan (iterasi)

e. Threshold (kriteria penghentian) = ξ (nilai positif yang sangat kecil)

f. Iterasi awal, t=1, dan Δ=1;

2. Bentuk matriks partisi awal, U0, sebagai berikut:

(matriks partisi awal umum dipilih secara acak)

3. Hitung centroid, v, untuk setiap kelompok:

4. Tentukan nilai keanggotaan data pada setiap kelompok, dengan

(30)

5. Tentukan kriteria berhenti, yaitu perubahan matriks partisi pada iterasi

sekarang dengan iterasi sebelumnya, sebagai berikut:

Proses iterasi berhenti ketika Δ ≤ ξ. Namun, apabila Δ > ξ, maka iterasi

selanjutnya dilakukan (t = t+1) dan langkah berulang ke langkah ketiga. Pencarian

nilai Δ dapat dilakukan dengan mengambil elemen terbesar dari nilai mutlak

(31)

Bab III

Metodologi Penelitian

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dibuat dengan beberapa tujuan yang ingin dicapai oleh

peneliti. Tujuan-tujuan tersebut adalah pengidentifikasian besarnya pengaruh

positif dari teknik fuzzy k-means clustering terhadap prestasi belajar siswa dalam

Matematika, persepsi siswa akan keberagaman, dan perkembangan kemampuan

sosial. Peneliti juga akan membandingkan pengaruh tersebut dengan pengaruh

teknik pengelompokkan umum, sehingga dapat menyimpulkan teknik

pengelompokkan yang paling tepat digunakan dalam metode pembelajaran STAD.

3.2. Jenis dan Pendekatan Penelitian

Peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dalam penelitian ini.

Sukmadinata (2010) menjabarkan penelitian dengan pendekatan kuantitatif

sebagai kajian terhadap fenomena objektif yang bersifat positivism secara

kuantitatif. Secara spesifik, peneliti menggunakan jenis penelitian eksperimen

kuasi (semu). Penelitian kuasi adalah penelitian yang hanya mengontrol satu

peubah yang paling dominan. Dalam hal ini, teknik pengelompokkan merupakan

peubah yang paling dominan dalam pengimplementasian STAD di dalam

pembelajaran.

3.3. Desain Penelitian

Dalam pelaksanaan penelitian eksperimen kuasi, ada beberapa hal yang

menjadi fokus dalam penelitian ini. Pertama, teknik pengelompokkan menjadi

(32)

menjadi dua atribut yang akan diperbandingkan. Penelitian ini memiliki tiga

peubah terikat, yaitu prestasi belajar siswa dalam Matematika, persepsi siswa akan

keberagaman, dan perkembangan kemampuan sosial siswa. Kedua, yang menjadi

kelompok eksperimen adalah kelompok dengan perlakuan fuzzy k-means

clustering, sedangkan kelompok yang dibentuk melalui teknik pengelompokkan

umum menjadi kelompok kontrol. Ketiga, kelompok eksperimen dan kelompok

kontrol merupakan dua kelompok yang saling bebas. Sehingga, tidak

memungkinkan untuk terjadi interaksi antar kelompok yang akan memberi

pengaruh.

Desain yang akan dipakai dalam penelitian ini adalah Matching

Pretest-Posttest Control Group Design atau Desain Kelompok Kontrol Prates-Pascates

Berpasangan (Sukmadinata, 2010). Penggambarannya adalah sebagai berikut:

Tabel 3.1 desain kelompok kontrol prates-pascates berpasangan Kelompok Prates Perlakuan Pascates

Pasangan A (Eksperimen) O X O

Pasangan B (Kontrol) O O

Kelompok A dan B merupakan kelompok dengan karakteristik (minimal satu

karakteristik) yang sama atau tidak dibentuk secara acak. Kedua kelompok akan

diberi prates yang sama. Lalu, kelompok A (eksperimen) akan diberi perlakuan

dengan pembentukan kelompok belajar melalui teknik fuzzy k-means clustering

dan kelompok B (kontrol) akan diberi perlakuan biasa (pembentukan kelompok

belajar dengan teknik pengelompokkan umum). Setelah itu, pascates akan

(33)

Dalam penelitian ini, peneliti akan sekaligus menjadi guru yang

menerapkan pembelajaran STAD dengan teknik pengelompokkan yang berbeda.

Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan muncul peubah ekstra

(extraneous variable) yaitu kesalahpenggunaan metode pembelajaran. Ada

beberapa pertimbangan hal yang dipakai peneliti untuk langkah antisipasi ini.

Pertama, guru kemungkinan besar akan mengalami kekurangpahaman untuk

mengajar dengan metode STAD. Kedua, implementasi teknik fuzzy k-means

clustering pun akan menyulitkan bagi guru, karena teknik ini tergolong baru dan

membutuhkan perhitungan dan logika pemikiran yang rumit. Ketiga, peneliti

dapat lebih mengontrol hal-hal yang terjadi agar semua hal diluar teknik

pengelompokkan berlangsung seimbang untuk kedua kelompok.

3.4. Jenis dan Teknik Pengumpulan Data 3.4.1. Jenis Data

Data yang dipakai pada penelitian ini merupakan data kuantitatif. Pada

pengukuran terhadap pencapaian akademik berupa prestasi belajar, data awal

didapat melalui hasil tes, yaitu prates yang diberikan oleh guru. Setelah

pengimplementasian masing-masing teknik pengelompokkan pada metode STAD,

data akhir akan didapat melalui hasil pascates oleh guru. Untuk pengukuran

terhadap penerimaan akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial,

data prates didapat melalui hasil kuesioner yang mereka isi. Lalu, kuesioner akan

diberikan kembali di akhir pembelajaran sebagai data pascatessiswa.

(34)

Sumber data pada penelitian ini adalah hasil tes dan kuesioner yang

dikerjakan siswa pada awal dan akhir pengimplementasian masing-masing teknik

pengelompokkan melalui metode pembelajaran STAD. Pada penelitian ini,

peneliti menggunakan teknik purposive sampling dalam penentuan populasi dan

sampel penelitian. Populasi yang dipakai merupakan sebuah SMA negeri di

Jakarta. SMA negeri di Jakarta menjadi populasi dengan asumsi ketersebaran latar

belakang sosial dan ekonomi (sebagai dua syarat dimensi pembentukan

kelompok) lebih beragam dibanding SMA swasta atau SMA negeri di luar

Jakarta. Sampel yang akan dipilih adalah dua kelas dengan tingkat kelas yang

sama. Tingkat kelas yang sama merupakan suatu hal yang wajib karena

dibutuhkan perlakuan setara dalam pelaksanaan STAD pada penelitian ini.

3.4.3. Instrumen Penelitian

Arikunto (1992, dalam Suparno 2010) membagi instrumen penelitian

menjadi beberapa model. Berdasarkan pihak yang menyediakan informasi,

peneliti memakai instrumen berdasarkan subyek yang diteliti. Berdasarkan sumber

instrumen, peneliti memakai instrumen buatan sendiri. Hal ini dikarenakan

peneliti, yang juga sekaligus menjadi guru, lebih mengerti kondisi kelas yang

diajar. Sehingga, tata bahasa dan format instrumen dapat dibuat lebih tepat.

Berdasarkan bentuk instrumen, peneliti memakai instrumen berupa tes tertulis

(hasil tes dan kuesioner).

Sukmadinata (2010) membagi jenis instrumen menjadi dua, yaitu

instrumen mengukur (tes) dan menghimpun (nontes). Pada penelitian ini, peneliti

(35)

pada masing-masing peubah terikat. Untuk mengukur pencapaian akademik,

peneliti menggunakan instrumen mengukur berupa tes pelajaran. Untuk mengukur

sikap penerimaan akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial,

peneliti menggunakan instrumen menghimpun berupa kuesioner.

3.5. Keabsahan Data 3.5.1. Keabsahan Instrumen

Seperti dijabarkan sebelumnya, penelitian ini menggunakan dua macam

instrumen dalam pengukurannya, yaitu hasil tes dan kuesioner. Masing-masing

instrumen memiliki pembuktian yang berbeda akan keabsahannya, yaitu:

- Keabsahan hasil tes

Hasil tes akan terbukti keabsahannya karena kedua kelompok mendapat

perlakuan yang sama dalam hal metode pembelajaran. Penelitian ini

bertujuan menguji metode pengelompokkan pada metode STAD, sehingga

peneliti menggunakan STAD sebagai satu-satunya metode pembelajaran

dengan dua teknik pengelompokkan yang berbeda. Alasan kedua

mengenai keabsahan hasil tes adalah peran peneliti yang juga sebagai

guru. Peneliti akan menilai pembelajaran siswa sesuai dengan materi yang

sudah mereka dapatkan. Sehingga, tes yang akan digunakan pada prates

dan pascates untuk kedua kelompok akan sama secara kualitas dan

kuantitas soal.

- Keabsahan kuesioner

Kuesioner akan terbukti keabsahannya karena kuesioner yang akan dipakai

(36)

dengan sampel yang dipakai pada penelitian ini. Pengujian akan berlaku

sampai peneliti merasa kuesioner yang dipakai sudah konsisten dan tidak

lagi mengalami perubahan. Kuesioner akan berisi kumpulan pertanyaan

yang mengarah pada dua peubah terikat yang akan diuji, yaitu penerimaan

akan keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial siswa.

3.5.2. Keabsahan Metode

Pada penelitian ini, ada beberapa alasan yang dapat membuat metode yang

dipakai menjadi absah. Pertama, metode yang dipakai berdasarkan teori-teori

pembelajaran yang sudah ada. Sehingga, peneliti dalam pelaksanaan penelitian ini

akan mengimplementasi tahap-tahap yang ada pada metode pembelajaran STAD.

Peneliti juga akan menjadi guru dalam penelitian ini. Hal ini dilakukan untuk

meminimalisir kemungkinan munculnya extraneous variable, seperti kesalahan

dalam penggunaan metode, kekeliruan dalam langkah penghitungan fuzzy k-means

clustering, dan lain-lain.

Dalam penggunaan skema algoritma fuzzy k-means clustering pada data

prates siswa, peneliti akan menggunakan software SPSS untuk pengolahan data.

Hal ini dilakukan agar data yang dihasilkan lebih dapat dipercaya, sekaligus dapat

meminimalisir tingkat kesalahan perhitungan jika dilakukan secara manual.

3.6. Analisis Data

Peneliti akan menggunakan uji hipotesis untuk menganalisa data yang

didapat pada dua kelompok uji (kelompok eksperimen dan kelompok kontrol).

(37)

peneliti akan menggunakan dua pendekatan uji hipotesis yang berbeda pada tiga

peubah terikat yang ada.

Pada analisis pengaruh teknik pengelompokkan terhadap prestasi belajar,

peneliti akan menggunakan uji hipotesis untuk perbandingan dua populasi dengan

sampel yang bebas. Pada pengujian hipotesis terhadap penerimaan akan

keberagaman dan perkembangan kemampuan sosial, peneliti akan menggunakan

(38)

Daftar pustaka:

Agusta, Y. (2007). K-means – Penerapan, Permasalahan, dan Metode Terkait.

Jurnal Sistem dan Informatika. 3: 47-60

Arends, R. I. (2007). Learning To Teach (7th Edition). New York: McGraw-Hill.

Armstrong, S. dan Palmer, J. (1998). Student Teams Achievement Divisions

(STAD) in a Twelfth Grade Classroom: Effect on Student Achievement

and Attitude. Journal of Social Studies Research. 22: 3-6

Artzt, A. F. (1993). How To Use Cooperative Learning In The Mathematics

Class. Virginia: The National Council of Teachers of Mathematics.

Cruickshank, D. R., Jenkins, D. B., and Metcalf K. K. (2009). The Act of

Teaching (5th Edition). New York: McGraw-Hill.

Eggen, P. D. dan Kauchak D. P. (2006). Strategies and Models for Teachers:

Teaching Content and Thinking Skills. Boston: Pearson.

Johnson, D. W., Johnson, R. T. dan Stanne M. B. (2000). Cooperative Learning

Methods: A Meta-Analysis. Minnesota: Pillsbury Drive.

Jollife, W. (2005). The Implementation of Cooperative Learning in the

Classroom. Paper dipresentasikan pada British Educational Research

Association Annual Conference, University of Gloamorgan, 14-17

September 2005. Diakses dari

http://www.leeds.ac.uk/educol/documents/143432.htm pada 19-05-2012.

Junanto, T. (2010). Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Student Teams

Achievement Divisions (STAD) dan Think-Pair-Share (TPS) Terhadap

Prestasi Belajar Ditinjau Dari Sikap Ilmiah. Jurnal Pendidikan

Matematika dan IPA. 1: 74-89.

Leikin, R. dan Zaslavsky, O. (1999). Cooperative Learning in Mathematics. The

(39)

Lang, H. R. dan Evans, D. N. (2006). Models, Strategies, and Methods for

Effective Teaching. Boston: Pearson.

Majoka, M. I., Dad, M. H. dan Mahmood T. (2010). Student Team Achievement

Division (STAD) As An Active Learning Strategy: Empirical Evidence

From Mathematics Classroom. Journal of Education and Sociology. X:

16-20.

Stephens, L. J. (2004). Advanced Statistics Demystified. United States of America:

McGraw-Hill.

Sukmadinata, N. S. (2010). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: PT Remaja

Rosdakarya.

Suparno, P. (2010). Metode Penelitian Pendidikan Fisika (Buku Kuliah

Mahasiswa). Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

Tokushige, S., Yadohisa, H. dan Inada K. (2007). Crisp and Fuzzy K-means

Clustering Algorithms for Multivariate Functional Data. Computational

Statistics. 22: 1-16.

Whicker, K. M., Bol, L. dan Nunnery, J. A. (1997). Cooperative Learning in

Secondary Mathematics Classroom. The Journal of Educational Research.

91: 42-48.

Gambar

Tabel 2.1 definisi metode-metode pembelajaran kooperatif
Tabel 2.2 penjabaran kelebihan dan kekurangan masing-masing metode
Tabel 2.3 daftar siswa berdasarkan nilai ujian
Grafik 2.1 analogi logika fuzzy
+2

Referensi

Dokumen terkait

pembelajaran dipengaruhi oleh intensitas pendidik mengikuti pelatihan, sharing dengan pendidik dalam MGMP, dan atau studi lanjut. Namun demikian, pendidik di Pondok Pesantren

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang golongan senyawa kimia yang terdapat pada fraksi bunga bintaro (Cerbera odollam) yang

Seperti halnya penelitian hubungan antara pemberitaan okezone.com dan pemenuhan kebutuhan informasi mahasiswa (studi kasus terhadap mahasiswa ilmu komunikasi fisip

Untuk semester 5 tahun ajaran 2010/2011, terdapat penghapusan 3 matakuliah (keamanan komputer, prakt. pbo1 dan sistem multimedia) dan diganti dengan mata kuliah SCM dan CRM.

alat yang akan dibuat agar dapat berjalan dengan baik sesuai dengan perancangan. Penelitian ini menggunakan perangkat lunak Arduino IDE versi 1.6.9 untuk proses

Pembentukan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menangah (Dirjen Dikdasmen) berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2015 tentang Kementerian Pendidikan

Judul yang dipilih adalah “Karakteristik Pasien Bakterial Vaginosis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, Medan Periode 2009 – 2012”, yang merupakan salah satu syarat untuk

di atas bahwa penelitian tentang pengaruh pemberian ekstrak etanol daun kelor ( Moringa oleifera L) terhadap konsentrasi spermatozoa epididimis mencit ( Mus musculus L)